• Tidak ada hasil yang ditemukan

B 5.Pembuatan Kompos

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "B 5.Pembuatan Kompos"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM

BIOTEKNOLOGI

PEMBUATAN KOMPOS

Oleh :

Kelompok 5 (Pendidikan Biologi 6B ) Penanggung Jawab :

M. Iqbal 1111016100068 M. Noor Ismail 1111016100051

Anggota Kelompok :

Ade Faridah 1111016100074 Enny Zuita 1111016100041 Serlin Nur Hidayati 1111016100048 Fitriasari 1111016100057 Risyca Nova P. 1111016100056

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

KATA PENGANTAR

Tiada kata syukur yang pantas disampaikan selain kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penyusun berkeyakinan bahwa hanya dengan izin dan ridho-Nya Laporan Prakitkum yang berjudul ‘Pembuatan Kompos’ dapat diselesaikan dengan baik.

Tujuan pembuatan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar Bioteknologi dan sebagai arsip pelaporan hasil prakitkum yang telah dilakukan.

Dalam pembuatan laporan hasil praktikum ini, penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Meiry Fadilah Noor, M.Si selaku dosen pembimbing mata kuliah Pengantar Bioteknologi yang telah membimbing dan mengarahkan kami dalam pembuatan laporan ini.

Kami menyadari dalam pembuatan laporan ini masih terdapat banyak kesalahan ataupun kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran para pembaca akan kami terima dengan senang hati demi penyempurnaan laporan di masa yang akan datang.

Akhir kata, kami berharap Laporan Hasil Praktikum ini dapat memenuhi persyaratan nilai yang diajukan oleh dosen pembimbing dan dapat diterima oleh masyarakat.

Tangerang Selatan, April 2014

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...2

DAFTAR ISI...3

BAB I : PENDAHULUAN... 4

Latar Belakang ... 4

Tujuan ... 4

Rumusan Masalah ... 5

Hipotesis ... 5

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 6

BAB III : METODE PENELITIAN ... 9

Alat dan Bahan ... 9

Langkah Kerja ... 10

Variabel Percobaan ...14

BAB IV : PEMBAHASAN... 15

Analisis Data ... 15

Tabel Hasil Pengamatan Kompos ... 15

Pembahasan... 20

BAB VI : PENUTUP ... 23

Kesimpulan... 23

Saran ... 24

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Kompos adalah hasil penguraian parsial atau tidak lengkap dari campuran bahan bahan organik yang dapat di percepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford,2003).

Sedangkan pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi.

Kompos dibuat dari sampah sampah organik yang di hasilkan dari sampah rumah tangga, dedaunan, kotoran hewan, serbuk kayu, dll. Melihat dari jumlah sampah yang dihasilkan oleh manusia khususnya di wilayah DKI Jakarta tiap harinya menghasilkan 6000 ton sampah dan 65% diantaranya adalah sampah organic maka ada baiknya dilakukan upaya Bioremediasi terhadap salah satu bahan penghasil sampah organik tersebut, salah satunya bahan kompos yang dapat digunakan adalah kotoran kelinci yang terdapat pada peternakan kelinci dengan jumlah kotoran yang dihasilkan sangatlah banyak perharinya dan masih mengandung banyak kandungan protein dan mineral yang tidak dapat di serap seluruhnya oleh kelinci.

Pada dasarnya kotoran kelinci dapat teruran dengan sendirinya di alam, tetapi membutuhkan waktu yang lama dalam proses penguraiannya, untuk itu dilakukanlah proses pengomposan kotoran kelinci yang pada akhirnya membutuhkan waktu yang lebih cepat dan dapat menghasilkan produksi pertanian yag lebih banyak dari penambahan pupuk kompos dari kotoran kelinci.

2. TUJUAN

a. Untuk mengetahui faktor faktor yang mempengaruhi proses pengomposan.

(5)

3. RUMUSAN MASALAH

a. Apakah saja faktor faktor yang mempengaruhi proses pengomposan? b. Kompos dari starter apakah yang memiliki karakteristik yang lebih baik? 4. HIPOTESIS

a. Faktor yang mempengaruhi pengomposan adalah suhu, kelembapan, ketersedianan oksigen.

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Laju pertambahan penduduk Indonesia tak dapat diimbangi dengan laju pertambahan populasi ternak. Keadaan ini tentu saja akan sangat mengkhawatirkan kalau terus berlangsung berlarut – larut. Pada ternak besar, akibat langsung yang terasa adalah menurunnya populasi ternak besar. Penurunan ternak besar ini khususnya disebabkan oleh tingginya angka pemotongan, serta angka kelahiran yang rendah. Disamping karena banyaknya serangan penyakit yang belum bisa diatasi dengan cara – cara yang telah ada. Hal inilah yang selain membuat petani merugi tentu akan sangat membahayakan kehidupan dan perkembangan bangsa kelak dikemudian hari. Mengingat ternak besar di pedesaan sampai saat ini seperti kerbau dan sapi masih merupakan penunjang utama dalam mengolah dan meningkatkan produksi pangan secara nasional (Sartika, dkk, 1998).

Guna mengurangi pemotongan ternak besar maka perlu digalakkan usaha pemanfaatan ternak kecil seperti ayam dan kelinci. Harapannya agar mampu membantu memenuhi kebutuhan akan daging sebagai konsumsi, selain itu beternak kecil – kecilan sebagai kegiatan keluarga diharapkan mampu mengisi waktu senggang dan juga diharapkan mampu membantu ekonomi keluarga.

Ternak kelinci sebenarnya tak hanya berguna sebagai binatang percobaan di laboratorium penelitian, manfaat yang diperoleh darinya sungguh tidak kecil nilainya. Kelinci disamping bisa diharapkan menjadi penghasil daging secara cepat, mudah dan murah, ternyata kotorannya pun dapat dimanfaaatkan sebagai pupuk kompos yang sangat besar manfaatnya bagi tanaman (Karama, dkk, 1991).

Kelinci dipilih karena mampu tumbuh dan berkembang biak dengan cepat dan mampu memanfaatkan hijauan, hasil limbah pertanian dan industri hasil pertanian. Pakan kelinci tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, kelinci dapat dipelihara dalam skala kecil dengan pola ”backyard farming”, sehingga cocok untuk kondisi masyarakat pedesaan. Daging kelinci mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi, kandungan protein 21%, lebih tinggi dari ayam (19,5%), kalkun (20%), domba (17%), babi (10%), veal (19%) dan sapi (15,5%) sementara lemak kelinci hanya 8%, dibandingkan dengan ayam 12%, kalkun 16%, domba 21%, babi 52%, veal 10% dan sapi 20% (Sartika et al., 1998; Duldjaman et al., 1985; Farrel dan Raharjo, 1984). Kulit bulu kelinci dapat dimanfaatkan untuk bahan kerajinan.

(7)

seperti terlihat pada Gambar 1. Gambar 1 memperlihatkan bahwa terdapat 4 segmen produk kelinci yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Hasil pemotongan ternak kelinci menghasilkan daging dan kulit bulu. Melalui serangkaian proses maka akan didapatkan berbagai bahan pangan (nugget, sosis, baso, sate) serta bahan industri kerajinan kulit (tas, mantel, hiasan dsb). Produk lain adalah penggunaan kelinci sebagai hewan peliharaan (pet) dan penghasil kotoran untuk pupuk (Sartika, dkk, 1998).

Kotoran kelinci sebagai limbah organic dapat diolah menggunakan teknologi pengomposan. Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. (Anonim, 2010)

Kotoran kelinci merupakan limbah organic yang banyak mengandung unsur-unsur nitrogen (N), sedangakan untuk mencapai nisbah C/N yang ideal dalam proses pengomposan diperlukan campuran bahan-bahan organic lainnya yang mengandung sumber karbon. Salah satunya adalah serbuk gergaji. Nisbah C/N merupakan perbandingan unsur karbon dan nitrogen yang terdapat dalam suatu bahan organic.

Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N ratio bahan organik tanah sehingga sama dengan C/N ratio tanah (kurang dari 20). Dengan semakin tingginya C/N ratio maka akan semakin lama proses pengomposan yang dilakukan. Masing-masing bahan pembuat kompos memiliki C/N ratio berbeda, misalnya jerami C/N rationya 50-70, cabang tanaman 15-60 dan kayu tua dapat mencapai 400. Waktu yang diperlukan untuk menuurunkan C/N ratio tersebut bermacam-macam, mulai dari tiga bulan hingga tahunan. (Indriani 2010)

Kematangan kompos menurut Harada et al . (1993) sangat berpengaruh terhadap mutu kompos. Kompos yang sudah matang akan memiliki kandungan bahan organik yang dapat didekomposisi dengan mudah, nisbah C/ N yang rendah, tidak menyebarkan bau yang ofensif, kandungan kadar airnya memadai dan tidak mengandung unsur- unsur yang merugikan tanaman. Oleh sebab itu, kematangan kompos merupakan faktor utama dalam menentukan kelayakan mutu kompos (Anonim 2010). Kriteria kematangan kompos bervariasi tergantung bahan asal kompos, kondisi dan proses dekomposisi selama pengomposan. Gaur (1981) dalam Anonim (2010) menyatakan bahwa ada beberapa parameter untuk menentukan kematangan kompos, yaitu:

(8)

natrium hidroksida atau natrium fosfat

2) Nisbah C/N, status dari kandungan hara tanaman, dan nilai kompos yang ditunjukkan oleh uji tanaman

3) Tidak berbau dan bebas dari patogen parasit dan biji rumput- rumputan.

Proses pegomposan yang terjadi secara alami berlangsung dalam waktu cukup lama, sekitar 2-3 bulan bahkan ada yang 6-12 bulan tergantung bahannya. Oleh karena itu para ahli melakukan berbagai macam upaya untuk mempercepat proses tertentu. Proses tersebut dapat dipercepat menjadi 2-3 minggu tergantung pada bahan dasarnya, antara lain dengan menambahkan bioaktivator seperti EM4 (Indriani 2010) EM4 sebenarnya adalah singkatan untuk Effective Microorganism 4 . EM4 merupakan larutan yang mengandung 80 jenis mikroorganisme yang dapat mempercepat pengomposan. Dengan menambahkan EM4, pengomposan dapat berlangsung secara anaerob dan bau dapat dikurangi. Kompos yang dihasilkan melalui pemberian EM4 sering disebut bokashi (Indriani 2010). Kompos dibuat dari bahan organik yang berasal dari bermacam-macam sumber. Dengan demikian kompos merupakan sumber bahan organic dan nutrisi tanaman.

Kemungkinan bahan dasar kompos mengandung selulosa 15% - 60%, hemiselulosa 10 % - 30%, lignin 5% - 30%, protein 5% - 40%, bahan mineral (abu) 3% - 5%, di samping itu, terdapat bahan larut air panas dan dingin (gula, pati, asam amino, urea, garam ammonium) sebanyak 2% - 30 % , dan 1%-15%, lemak larut eter dan alcohol, minyak, dan lilin. Komponen organik ini mengalami proses dekomposisi di bawah kondisi mesofik dan termofilik. Komponen organik yang sering dikomposkan antara lain jerami dan dedak (Sutanto 2002). Dalam membuat kompos sering ditambahkan bahan-bahan penolong seperti urea, air, gula pasir, bioaktivator dan dedak (bekatul). Fungsi urea pada proses pembuatan kompos adalah sebagai pensuplai NH3 yang digunakan sebagai sumber energi bagi mikrobia

dalam poses fermentasi. Jadi disini urea tidak sebagai penambah nutrisi pakan namun dapat dikatakan sebagai katalisator dalam proses pembuatan kompos itu sendiri. (Deptan 2010).

(9)

BAB III

METODE PENELITIAN

1. ALAT DAN BAHAN

Alat

Bahan

2 Buah Ember Feses Kelinci

Sekop Pengaduk

Serbuk Kayu

Botol Penyemprot

(10)

2. LANGKAH KERJA

(11)

11

No

. Gambar Langkah Kegiatan

1.

Siapkan alat dan bahan berupa feses kelinci, wadah untuk kompos, dan serbuk kayu.

2.

Melakukan pengukuran

perbandingan serbuk kayu dengan kotoran kelinci menggunakan perhitungan hingga didapat 1 : 1,5. Serbuk kayu dan feses kelinci dibuat layer.

3. Hasil campuran dimasukkan ke

kantung plastik untuk kemudian diaduk.

4. Campuran serbuk kayu dan kotoran

(12)

b. Pembuatan Kompos dengan Kotoran Hewan Menggunakan Starter Alami dimasukkan ke dalam wadah (ember) yang telah diberi lubang dibawahnya

4. Tambahkan starter alami yang telah dibuat ke dalam wadah yang berisi sampah daun kering dan kotoran hewan, kemudian aduk hingga merata

5. Tutup wadah tersebut dan simpan ditempat yang kering.

3. VARIABEL PERCOBAAN a. Variabel Terikat

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variable bebas. Variabel terikat dalam praktikum ini yaitu kompos (Hasil akhir komposnya).

b. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab terjadinya perubahan. Variabel bebas yang digunakan dalam praktkum ini adalah EM4 (Starter buatan), starter Alami, serbuk kayu, dan daun kering,

c. Variabel Kontrol

(13)
(14)

BAB IV PEMBAHASAN

1. ANALISIS DATA KOMPOS KOTORAN HEWAN DENGAN EM4 a. Perbandingan Massa Feses Kelinci dan Serbuk Kayu

Hasil analisis kadar C dan N serta kadar air pada feses kelinci dan serbuk gergaji, hasil analisis C dan N serta kadar air pada feses kelinci (Kadar C=27,14% N=1,75% Kadar Air=30,67% dengan nisbah C/N=15,5) dan serbuk gergaji mengandung kadar C=28,62% Kadar N=0,26% kadar Air=32,28% dan Nisbah C/N=110. Selanjutnya menghitung massa komponen tiap perlakuan.

Massa Bahan Komposan (Richard & Trautman, 2003)

(15)

Ember 2

Agak lembab, warna cokelat kemerahan seperti tanah, tidak berbau (adapun bau yang tercium adalah aroma serbuk kayu)

c. Tabel Hasil Pengamatan Setelah Kompos dengan Sarter EM4 didiamkan selama 2 Minggu

Pengamatan Keterangan

Hari Ke-3

Ember 1 : Lembab dan Bau busuk

Ember 2 : Kering, Bau busuk Menyengat, Berjamur

Hari Ke-6

(16)

Ember 2 : Kering, Bagian tengah agak hangat, sudah tidak terlalu bau.

Hari Ke-9

Ember 1 : Kering secara keseluruhan, tidak bau, agak hangat, warna coklat kehitaman.

Ember 2 : Kering secara keseluruhan, tidak bau, agak hangat, warna coklat kehitaman.

(17)

Ember 1 : Coklat kehitaman, tidak bau, dan kering

Ember 2 : Coklat Kehitaman, tidak bau, kering, dan agak ringan ketika ember di angkat.

Hasil Akhir (Hari Ke-12)

Ember 1 : Kering, warna cokelat kehitaman, tidak berbau.

Ember 2 : Kering, warna cokelat kehitaman, tidak berbau, mengalami penyusutan.

(18)

Hari

- Sebagian kompos sudah tertutup jamur

- Terdapat semut - Bau menyengat

9

- Lembab dan sedikit mengempis dari ukuran awal

- Terdapat semut - Bau menyengat

12

- Lembab dan mengempis dari ukuran awal

- Banyak ditumbuhi jamur - Terdapat semut

- Baunya sudah berkurang

2. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil percobaan yang diamati selama 12 hari dihasilkan kompos organic yang tidak berbau dan mengalami penyusutan dalam volumenya. Kualitas kompos sangat dipengaruhi oleh proses pengolahan, sedangkan proses pengolahan kompos sendiri sangat dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya

a. Kelembapan ; Kondisi penyimpanan harus dijaga agar mikroorganisme dapat bekerja secara optimal. Kelembapan yang rendah atau tinggi dapat menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati

b. Rasio karbon/nitrogen ; Mikroorganisme membutuhkan karbon untuk pertumbuhan dan nitrogen untuk sintesis protein. Disini kami menggunakan C/

N Rasio 25. Ini sesuai

dengan teori yang kami baca bahwa rasio C/

N antara 25 – 35 sangat efisien untuk

pengomposan. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.

c. Adanya bahan mikroorganisme : Proses pengomposan tergantung pada berbagai macam jasad renik. Berdasarkan kondisi habitatnya jasad – jasad renik tersebut terdiri atas dua golongan yaitu mesolifik dan termolifik. Masing – masing jenis membentuk koloni atau habitatnya sendiri. Jasad renik mesolifik adalah yang hidup pada suhu antara 0 – 45o C, sedangkan jenis termolifik adalah yang hidup pada suhu antara 45 –

65o C. Pada tahap mesolifik terdapat jamur dan bakteri yang memproduksi asam,

(19)

actinomycetes, jamur yang termolifik. Bakteri termolifik tidak begitu penting dalam mendegradasikan selulosa dan lignin, tetapi penting dalam mendegradasikan protein, lipid dan hemiselulosa,

d. Suhu ; Suhu yang tinggi selama pengomposan merupakan indikator laju proses pengomposan dan kegiatan mikroba. Peningkatan suhu mencapai 65 – 70o C pada

awal pengomposan telah dapat mencegah atau mengurangi nematode, insekta, jamur dan bakteri patogen, tetapi dipihak lain juga dapat menurunkan populasi mikroba mesolifik, oleh karena itu peningkatan suhu tinggi yang terlalu lama perlu dicegah agar tidak menghambat proses pengomposan

e. Tingkat oksigen ; Oksigen yang cukup sangat berpengaruh terhadap aerasi pengomposan. Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh posiritas dan kandungan air bahan(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.

f. Ukuran partikel ; Aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas).

g. Effective microorganisme (EM4) ; Merupakan kultur campuran berbagai jenis mikroorganisme yang bermanfaat (bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, ragi, aktinomisetes dan jamur peragian) yang dapat dimanfaatkan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman mikrobia tanah.

Berdasarkan hasil pengamatan bahwa hipotesis sebelum tahap penelitian tidak tepat karena terdapat factor – faktor lainnya yang sangat mempengaruhi dalam proses pengomposan.

Hasil (produk) kompos yang dihasilkan dengan menggunakan starter EM4 lebih baik hasilnya dari pada starter alami dikarenakan pada EM4 dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen atau yang merugikan tanah dan tanaman sekaligus menghilangkan bau yang ditimbulkan dari proses penguraian bahan organik, meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang menguntungkan, misalnya Mycorhiza, Rhizobium, bakteri pelarut fosfat.

(20)

dikarenakan terjadi fermentasi anaerobik dan menghasilkan senyawa-senyawa berbau yang mungkin akan berbahaya bagi tanaman. Keadaan seperti tersebut menandakan kompos masih belum matang

Pada hari ke-6 keadaan kompos pada ember 1 dan 2 menunjukan yang sama yaitu permukaan kering dan sudah tidak berbau. Pada hari ke-9 keadaan kompos kering, tidak berbau, tekstur terasa hangat dan warna berubah menjadi coklat kehitaman. Dan pada hari ke-12 menunjukan kompos kering, tidak berbau, warna coklat kehitaman, dan mengalami penurunan massa(berat).

Pada hari ke -12 kompos ini menunjukan bahwa kompos mulai sudah matang karena pada kompos yang telah matang tidak akan berbau menyengat. Kemungkinan akan berbau dapat terjadi namun bau yang ditimbulkan biasanya berbau tanah yang beraroma tidak menyengat. Kompos yang telah matang akan terasa lunak ketika dihancurkan. Bentuk kompos mungkin masih menyerupai bahan asalnya, tetapi ketika diremas – remas akan mudah hancur. Warna kompos yang sudah matang adalah coklat kehitam – hitaman. Apabila kompos masih berwarna mirip dengan bahan mentahnya berarti kompos tersebut belum matang. Dan yang paling terlihat secara jelas bahwa kompos yang matang mengalami penyusutan volume/bobot kompos seiring dengan kematangan kompos. Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat kematangan kompos. Penyusutan berkisar antara 20 – 40 %. Apabila penyusutannya masih kecil/sedikit, kemungkinan proses pengomposan belum selesai dan kompos belum matang.

(21)

BAB V

PENUTUP

1.

KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa ;

a. Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi.

b. Faktor yang mempengaruhi proses pengomposan adalah Kelembaban, Rasio C/N, Suhu, Tingkat oksigen, Ukuran partikel, EM4

c.

Pengomposan yang menggunakan EM4 lebih cepat matang dibandingkan dengan pengomposan yang menggunakan starter alami karena kandungan mikroba dalam starter alami tidak seefektif mikroba yang terkandung dalam EM4

d.

Pengomposan menggunakan EM4 mulai menunjukkan kematangan pada hari keenam sedangkan pengomposan menggunakan starter alami pada hari yang sama belum menunjukkan tanda yang berarti.

2. SARAN

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Karama, A.S., A.R. Marzuki dan I.Manwan. 1991. Penggunaan Pupuk Organik Pada

Tanaman Pangan. Pros. Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan pupuk V. Cisarua. Puslittanak. Bogor.

Sartika T,. T. Antawijaya dan K. Diwyanto. 1998. Peluang Ternak Kelinci Sebagai Sumber Daging yang Potensial di Indonesia. Wartazoa Vol. 7 No. 2 1998 pp:47-54

Gambar

GambarLangkah Kegiatan
No.Langkah KerjaGambar
GambarKeterangan

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

RENI RHYS : Uji jenis dekomposer pada pembuatan kompos dari limbah pelepah kelapa sawit terhadap mutu kompos yang dihasilkan, dibimbing oleh LUKMAN ADLIN HARAHAP dan AINUN

Limbah sayuran sawi telah dibuat menjadi pupuk kompos dengan menggunakan perbandingan antara bakteri EM4, tanah gambut, dan tanpa starter, difermentasi selama 10

RENI RHYS : Uji jenis dekomposer pada pembuatan kompos dari limbah pelepah kelapa sawit terhadap mutu kompos yang dihasilkan, dibimbing oleh LUKMAN ADLIN HARAHAP dan AINUN

RENI RHYS : Uji jenis dekomposer pada pembuatan kompos dari limbah pelepah kelapa sawit terhadap mutu kompos yang dihasilkan, dibimbing oleh LUKMAN ADLIN HARAHAP dan AINUN

Limbah sayuran sawi telah dibuat menjadi pupuk kompos dengan menggunakan perbandingan antara bakteri EM4, tanah gambut, dan tanpa starter, difermentasi selama 10

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka, dapat ditarik kesimpulan yaitu: pengaplikasian kompos organik limbah jamur dengan penambahan EM4 untuk pertumbuhan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka, dapat ditarik kesimpulan yaitu: pengaplikasian kompos organik limbah jamur dengan penambahan EM4 untuk

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka, dapat ditarik kesimpulan yaitu: Pengaplikasian kompos organik limbah jamur dengan penambahan EM4 untuk pertumbuhan