ABSTRAK
DISTRIBUSI BAHAN KERING BEBERAPA GENOTIPE SORGUM (Sorghum bicolor [L.] Moench) YANG DITUMPANGSARIKAN
DENGAN UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz.)
OLEH
RENI YULIASARI
Bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia menyebabkan kebutuhan pangan akan meningkat, sehingga ketersediaan pangan harus ditingkatkan. Untuk
meningkatkan ketersediaan pangan dilakukan upaya intensifikasi dan diversifikasi pangan. Salah satu usaha intensifikasi pangan adalah dengan dilakukannya
penanaman ganda atau tumpangsari.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pola distribusi bahan kering sorgum pada sistem monokultur dan tumpangsari. Mengetahui pengaruh distribusi bahan kering sorgum beberapa genotipe sorgum dalam sistem monokultur dan tumpangsari. Penelitian ini dilaksanakan di kebun teknis Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Desa Negara Ratu Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Benih Fakultas Pertanian Universitas
digunakan pada penelitian ini berukuran 4x3,2 m. Data dianalisis dengan
ANOVA. Perbedaan nilai tengah perlakuan ditentukan dengan uji BNJpada taraf 5%. Parameter yang diamati adalah bobot kering daun, batang, malai, biji, dan indeks panen.
Akumulasi bahan kering tanaman sorgum pada batang daun dan akar berbeda, secara umum akumulasi bahan kering tanaman sorgum sama pada monokultur dan tumpangsari, sorgum lebih banyak mengakumulasikan bahan kering pada bagian tanaman berupa batang, daun dan yang terkecil didapat oleh akar.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Sorgum (Sorghum bicolor [L.] Moench) adalah tanaman serealia yang potensial untuk dibudidayakan dan dikembangkan, khususnya pada daerah-daerah marginal
dan kering di Indonesia. Keunggulan sorgum terletak pada daya adaptasi
agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, memerlukan
input lebih sedikit serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibanding
tanaman pangan lain. Selain itu, tanaman sorgum memiliki kandungan nutrisi
yang tinggi, sehingga sangat baik digunakan sebagai sumber bahan pangan
maupun pakan ternak alternatif (Sirappa, 2003).
Menurut Reddy dan Dar (2007), biji sorgum dapat dijadikan sebagai bahan
pangan utama sumber karbohidrat. Di Amerika Serikat, India, dan Cina, sorgum
digunakan sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar bioetanol, dan dapat pula
dijadikan bahan baku industri bir, anggur (wine), sirup, lem, dan cat.
Bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia menyebabkan kebutuhan pangan
akan meningkat, sehingga ketersediaan pangan harus ditingkatkan.
Untuk meningkatkan ketersediaan pangan dilakukan upaya seperti intensifikasi
dan diversifikasi pangan. Salah satu usaha intensifikasi pangan adalah dengan
Menurut Arifin (1986), tumpangsari merupakan program peningkatan
kesejahteraan petani melalui usaha diversifikasi pertanian, karena dengan sistem
ini mempunyai arti melakukaan penanaman penganekaragaman jenis tanaman
yang diusahakan petani, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Tumpangsari ubikayu dengan sorgum merupakan dua jenis tanaman yang sesuai
untuk ditumpangsarikan asalkan kedua tanaman ditanam dengan waktu yang
bersamaan, karena ubikayu dan sorgum merupakan tanaman yang mempunyai
habitus yang berbeda, sehingga dalam memanfaatkan pengaruh dari faktor
lingkungan akan berbeda pula sehingga tidak akan berpengaruh terhadap proses
fotosintesis , biomasa tanaman, partisi tanaman.
Pengembangan sorgum secara monokultur akan berkompetisi dalam penggunaan
lahan untuk per kembangan tanaman pangan lain. Oleh karena itu, pengembangan
sorgum melalui sistem tumpangsari dapat menjadi alternatif mengurangi
kompetisi penggunaan lahan tanaman pangan. Hamim et.al (2012) melaporkan bahwa sorgum biasa ditumpangsarikan dengan ubikayu. Keberhasilan sistem
tumpangsari sangat tergantung pada tingkat kompetisi antar tanaman yang di
tumpangsarikan.
Biomasa tanaman merupakan suatu ukuran komphrehensif pertumbuhan tanaman.
Laju penggunaan fotosintat dalam tanaman dapat mempengaruhui tingkat
fotosintesis; laju fotosintesis menurun apabila fotosintat terakumulasi dalam daun
tidak digunakan dalam proses pertumbuhan atau pembentukan biomasa baru
laju pemanfaatan fotosintat sangat penting, sehingga pendistribusian hasil
fotosintat ke organ lain seperti batang, daun, dan akar sangat kritikal.
Menurut Sitompul dan Guritno (1995), daun secara umum dipandang sebagai
organ produsen fotosintat utama. Pengamatan daun sangat diperlukan selain
sebagai indikator pertumbuhan juga sebagai data penunjang untuk menjelaskan
proses pertumbuhan yang terjadi seperti pada pembentukan biomasa tanaman.
Batang sering diamati sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter
yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang
diterapkan. ini didasarkan atas kenyataan bahwa batang berhubungan langsung
dengan tinggi tanaman dan merupakan ukuran pertumbuhan yang paling mudah
dilihat. Sebagai parameter pengukur pengaruh lingkungan, tinggi tanaman sensitif
terhadap faktor lingkungan tertentu seperti cahaya. Tanaman yang mendapat
cahaya cukup lebih tinggi dari tanaman yang mengalami kekurangan cahaya
(Sitompul dan Guritno, 1995).
Perananan akar dalam pertumbuhan tanaman berfungsi untuk menyediakan unsur
hara dan air yang diperlukan dalam metabolism tanaman. Jumlah unsur hara dan
air yang diserap tanaman tergantung pada kesempatan untuk mendapatkan air dan
unsur hara tersebut dalam tanah.
Distribusi bahan kering merupakan pembagian hasil fotosintesis yang
dikolerasikan pada organ-organ tanaman baik dalam bentuk struktur vegetatif
Distribusi bahan kering dipengaruhui oleh faktor genetik dan lingkungan
(Zanski and Shaffer, 1996).
Pengetahuan ini sangat penting tidak hanya untuk memperluas wawasan akan
proses pertumbuhan tanaman khususnya pembentukan biomasa, tetapi juga untuk
menilai efisiensi pertumbuhan tanaman dalam penggunaan bahan pertumbuhan
(substrat).
Berdasarkan uraian diatas dalam penelitian ini dapat di rumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Apakah distribusi bahan kering sorgum yang ditanam pada sistem monokultur
berbeda dengan yang ditanam secara tumpangsari.
2. Bagaimanakah pengaruh genotipe sorgum terhadap bobot kering biomasa
yang ditanam secara tumpangsari dengan tanaman ubikayu.
1.2Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah dikemukakan maka tujuan
penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh pola distribusi bahan kering sorgum pada sistem
monokultur dan tumpangsari .
2. Mengetahui pengaruh distribusi bahan kering beberapa genotipe sorgum
1.3Kerangka Pemikiran
Tanaman sorgum dapat tumbuh di daerah tropis maupun subtropis dari dataran
rendah hingga dataran tinggi yang mencapai ketinggian 1.500 m dari permukaan
laut (dpl) (Rismunandar, 1989).
Pertumbuhan tanaman sorgum akan terhambat apabila ditanam pada daerah
dengan ketinggian >500 m dpl jadi tanaman sorgum dapat tumbuh baik pada.
suhu optimal berkisar 23-30° C, dengan kelembapan udara 20 % dan suhu tanah
25°C.
Pengembangan sorgum di indonesia masih tergolong rendah hal ini karena
teknologi pengolahan hasil produksi sorgum masih sangat minim. Bahkan petani
di Indonesia enggan untuk menanam sorgum secara monokultur , karena sorgum
secara monokultur tidak akan memberikan pendapatan yang baik .
Tumpangsari adalah penanaman lebih dari satu jenis tanaman yang berbeda dalam
persyaratan tumbuh atau mempunyai sifat pertumbuhan yang berbeda, misalnya
penanaman sorgum dan ubikayu tanaman yang mempunyai tajuk tinggi dan tajuk
rendah tetapi harus ditanam dalam waktu yang bersamaan agar tidak terjadi
persaingan. Akibat langsung dari persaingan adalah penghambatan pertumbuhan
dan penurunan hasil pada tanaman yang dibudidayakan (Buhaira, 2007).
Salah satu upaya diversifikasi pertanian yang dapat dilakukan adalah dengan cara
melakukan penanaman ganda atau lebih dikenal dengan pola tanam tumpangsari,
Berbagai faktor seperti persaingan unsur hara, cahaya matahari, jarak tanam. salah
satu bahan pertimbangan untuk menanam kedua tanaman (ubikayu dan sorgum)
dalam waktu penanaman yang bersamaan adalah tanaman tersebut tidak akan
saling merugikan sehingga tidak akan berpengaruh pada proses fotosintesis yang
akan mengganggu pada proses penyebaran hasil dari fotosintesis pada bagian-
bagian tanaman seperti daun, batang, akar, dan bahan generatif lainnya. Organ
vegetatif ini merupakan cadangan makanan pada saat tanaman memasuki fase
generatif, dimana fotosintat digunakan untuk pembentukan organ generatif
seperti malai dan sebagiannya lagi ditranslokasikan ke biji.
Unsur hara yang tersedia saat pertumbuhan menyebabkan fotosintesis berjalan
aktif. Hasil fotosintesis akan ditranslokasikan keseluruh bagian tanaman untuk
Pembentukan organ tanaman dan sebagian akan tersimpan sebagai bahan kering
(Jumin, 1991). Hasil bahan kering tanaman hampir 90 % dibentuk dari
fotosintesis. Pertumbuhan tinggi tanaman, diameter batang, luas daun dan secara
langsung akan meningkatkan bobot kering bagian atas tanaman
(Gardner et al.,1991).
Rangkaian proses ini menunjukkan bahwa hasil tanaman sorgum yang
dibudidayakan tidak terlepas dari pertumbuhan vegetatifnya. Pertumbuhan
vegetatif yang baik memungkinkan tanaman dapat melakukan fotosintesis secara
optimal sehingga fotosintat yang dihasilkan meningkat. Selanjutnya fotosintat
digunakan untuk pembentukan malai dan pengisian biji pada akhirnya akan
Hal ini menunujukan bahwa sorgum baik jika ditanam serempak dengan ubikayu
Tujuannya tidak akan terjadi persaingan dalam mendapatkan cahaya, air dan unsur
hara.
Penyerapan hara mineral yang efisien sangat ditentukan oleh kondisi perakaran.
Volume dan jumlah akar yang banyak memungkinkan tanaman mengeksploitasi
volume tanah yang lebih luas dan meningkatkan penyerapan hara, sehingga
kesempatan tanaman menguasai ruang tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan
ubikayu.
Seiring dengan bertambahnya pemanjangan sel tanaman maka tinggi tanaman
akan meningkat. Pada saat memasuki fase generatif, sebagian fotosintat
digunakan untuk pembentukan organ generatif seperti malai mempengaruhi
kegiatan enzim dalam pemanjangan dan pembelahan sel tanaman
(Dwijosepoetro, 1984).
Sorgum merupakan tanaman C4 yang mampu beradaptasi dengan baik pada
intensitas cahaya matahari yang tinggi, tegak,tidak memiliki cabang yang
renggang , sehingga tanaman ini akan memperoleh sinar matahari secara langsung
dan memberikan tanaman lain tumbuh dibawahnya. Ubikayu merupakan tanaman
yang berumur panjang sedangkan sorgum adalah tanaman yang berumur pendek
sehingga tidak akan berpengaruh terhadap faktor lingkungan sehingga kedua
tanaman akan mendapatkan distribusi hasil fotosintesis secara merata pada
bagian- bagian tanaman.
Pengembangan sorgum di Indonesia masih sangat rendah hal ini di karenakan
petani di Indonesia enggan untuk menanam sorgum secara monokultur , para
petani beranggapan bahwa menanam sorgum secara monokultur tidak akan
memberikan pendapatan yang baik maka petani di Indonesia melakukan
penanaman sorgum dengan cara tumpangsari.
1.4 Hipotesis
Dari kerangka pemikiran yang telah dikemukakan dapat diambil hipotesis sebagai
berikut:
1. Terdapat perbedaan distribusi bahan kering tanaman sorgum yang ditanam
secara monokultur dan tumpangsari.
2. Terdapat perbedaan distribusi bahan kering antar genotipe sorgum yang
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Tanaman Sorgum
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) banyak ditanam di daerah beriklim panas dan daerah beriklim sedang. Sorgum dibudidayakan pada ketinggian 0-700 m di
atas permukaan laut (dpl). Memerlukan suhu lingkungan 23°-34° C tetapi suhu
optimum berkisar antara 23° C dengan kelembaban relatif 20-40%. Sorgum tidak
terlalu peka terhadap keasaman (pH) tanah, tetapi pH tanah yang baik untuk
pertumbuhannya adalah 5.5-7.5 (Rismunandar 1989). Tanaman sorgum tahan
terhadap kekeringan, sebagai perbandingan satu kg bahan kering sorgum hanya
memerlukan sekitar 332 kg air selama pembudidayaan, sedangkan pada jumlah
bahan kering yang sama, jagung membutuhkan 368 kg, barley 434 kg, dan
gandum 514 kg air (Suprapto dan Mudjisihono ,1987).
Berdasarkan klasifikasi botaninya, Sorghum bicolor (L.) Moench termasuk ke dalam :
kingdom : Plantae divisi : Magnoliophyta class : Liliopsida ordo : Cyperales family : Poaceae genus : Sorghum
Sorgum adalah jenis serealia yang di Indonesia belum banyak dimanfaatkan
kegunaannya (Nurmala, 1998). Tanaman sorgum masih demikian kurang
perkembangannya, padahal hasilnya dapat merupakan bahan pangan pengganti
beras atau untuk diekspor (Kartasapoetra, 1994).
Daun sorgum berbentuk mirip seperti daun jagung, tetapi daun sorgum dilapisi
oleh sejenis lilin yang agak tebal dan berwarna putih. Lapisan lilin ini berfungsi
untuk menahan atau mengurangi penguapan air dari dalam tubuh tanaman
sehingga mendukung resistansi terhadap kekeringan (Mudjisihono,1987). Ukuran
daun meningkat dari bawah (pertama ketika mulai tumbuh) ke atas umumnya
sampai daun ketiga atau keempat kemudian menurun sampai daun bendera .
Jumlah daun pada saat dewasa berkorelasi dengan panjang periode vegetatif
tetapi, umumnya berkisar antara 7-18 helai daun atau lebih .
Menurut Sumantri (1994), batang sorgum tegak lurus dan beruas-ruas, setiap ruas
mempunyai alur yang letaknya berselang-seling. Dari setiap buku keluar daun
berhadapan dengan alur. Batang sorgum ada yang mengandung nira dengan kadar
gula cukup tinggi disebut sorgum manis. Tinggi batang sorgum beragam mulai
kurang dari 150 cm hingga lebih dari 2,5 meter. Untuk sorgum manis tipe
varietas ideal yang berpotensi nira cukup tinggi adalah yang relatif tinggi dan
mempunyai diameter yang besar. Batang tanaman sorgum beruas-ruas dan
berbuku-buku, tidak bercabang dan pada bagian tengah batang terdapat seludang
Sistem perakaran sorgum terdiri dari akar-akar primer dan sekunder yang
panjangnya hampir dua kali panjang akar jagung pada tahap pertumbuhan yang
sama sehingga merupakan faktor utama penyebab toleransi sorgum terhadap
kekeringan (Thomas et al. 1976).
Toleransi sorgum terhadap kekeringan disebabkan karena pada endodermis akar
sorgum terdapat endapan silika yang berfungsi mencegah kerusakan akar pada
kondisi kekeringan. Sorgum juga efisen dalam penggunaan air karena didukung
oleh sistem perakaran sorgum yang halus dan letaknya agak dalam sehingga
mampu menyerap air dengan cukup (Doggett,1970).
Rangkaian bunga sorgum terdapat di ujung tanaman, Bunga tersusun dalam
malai, Rangkaian bunga ini nantinya akan menjadi bulir-bulir sorgum. Bunga
terbentuk setelah pertumbuhan vegetatif, bunga berbentuk malai bertangkai
panjang tegak lurus terlihat pada pucuk batang (Sumantri, 1994). Setiap malai
mempunyai bunga jantan dan bunga betina. Persarian berlangsung hampir tanpa
bantuan serangga. Kira-kira 95% dari bunga betina yang berbuah adalah hasil
persarian sendiri (Mudjisihono, 1987).
Secara umum, biji sorgum dapat dikenali dengan bentuknya yang bulat dan terdiri
dari tiga lapisan utama, yaitu kulit luar (8%), lembaga (10%), dan endosperma
(82%). Ukuran bijinya kira-kira adalah 4.0 x 2.5 x 3.5mm, dan berat biji 100 butir
berkisar antara 8 mg sampai 50 mg dengan rata-rata 28mg. Berdasarkan bentuk
dan ukurannya, biji sorgum dapat digolongkan sebagai biji berukuran kecil
(8-10 mg), sedang (12-24 mg), dan besar (25-35 mg). Kulit bijinya ada yang
2.2 Syarat Tumbuh
Tanaman sorgum dapat berproduksi walaupun dibudidayakan dilahan yang
kurang subur, air yang terbatas dan masukkan (input) yang rendah, bahkan dilahan
yang berpasirpun sorgum dapat dibudidayakan.Namun apabila ditanam pada
daerah yang berketinggian diatas 500 m dpl tanaman sorgum akan terhambat
pertumbuhannya dan memiliki umur yang panjang.
Selain persyaratan diatas sebaiknya sorgum jangan ditanam di tanah podzolik
merah kuning (PMK) yang masam, namun untuk memperoleh pertumbuhan dan
produksi yang optimal perlu dipilih tanah ringan atau mengandung pasir dan
bahan organik yang cukup (Yanuwar, 2002).
Sorgum dapat bertahan pada kondisi panas lebih baik dibandingkan tanaman
lainnya seperti jagung, namun suhu yang terlalu tinggi dapat menurunkan
produksi biji. Curah hujan yang diperlukan berkisar 375-425 mm/musim tanam
dan tanaman sorgum dapat beradaptasi dengan baik pada tanah yang sering
tergenang air pada saat turun hujan apabila sistem perakarannya sudah kuat.
Laimeheriwa (1990), menyebutkan sorgum berproduksi baik pada lingkungan
yang curah hujannya terbatas atau tidak teratur. tanaman ini mampu beradaptasi
dengan baik pada tanah yang sedikit masam hingga sedikit basa .
Sistem tanam tumpangsari adalah salah satu sistem tanam di mana terdapat dua
atau lebih jenis tanaman yang berbeda ditanam secara bersamaan dalam waktu
relatif sama atau berbeda dengan penanaman berselang-seling dan jarak tanam
teratur pada sebidang tanah yang sama. Dikatakan oleh Rukmana dan Oesman
jenis-jenis tanaman yang mempunyai kanopi daun yang berbeda, yaitu jenis tanaman
yang lebih rendah yang akan menggunakan sinar mataharilebih efisien. Pemilihan
jenis tanaman yang ditumpangsarikan akan dapat meningkatkan produksi karena
dengan pemilihan tanaman yang tepat dengan habitus dan sistem perakaran yang
berbeda diharapkan dapat mengurangi kompetisi dalam penggunaan faktor tumbuh.
Pertanaman tumpangsari sebagai salah satu usaha intensifikasi yang memanfaatkan ruang danwaktu, banyak dilakukan terutama pada pertanianlahan sempit, lahan kering atau lahan tadah hujan.Sebagai salah satu sistem produksi, tumpangsari
diadopsi karena mampu meningkatkan efisiensipenggunaan faktor lingkungan (seperti cahaya, unsur hara dan air), tenaga kerja, serta menurunkan serangan hama dan penyakit dan menekan pertumbuhan gulma. Selain itu pertanaman
secara tumpangsarimasih memberikan peluang bagi petaniuntuk mendapatkan hasil jika salah satu jenis tanamanyang ditanam gagal (Buhaira, 2007).
Menurut Sanchez (1976), kompetisi di antara tanaman yang ditanam secara
tumpangsari dapat terjadi pada bagian tajuk (terutama cahaya) danakar tanaman (terutama air dan hara). Kompetisi di atas dan di dalam tanah saling mempengaruhi. Tanaman yang sangat ternaungi akan mempunyai sistem perakaran lebih lemah
bila dibandingkantanaman yang mendapat cahaya penuh. Selanjutnyadikatakan bahwa besarnya kompetisi ini tergantungkepada lamanya kompetisi dan daya kompetisi dari masing-masing tanaman yang ditumpangsarikan.
Untuk meminimumkan kompetisi terhadapcahaya matahari perlu dilakukan suatu cara sehingga hasil maksimal dalam sistem tumpangsari dapat tercapai. Usaha untuk mengurangi kompetisidalam pemanfaatan cahaya matahari dapat dilakukan
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di kebun teknis Badan Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Desa Negara Ratu Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan
Laboratorium Benih Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan
November 2012 sampai Maret 2013.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah bibit ubikayu: Kasetsart; dan 5 genotipe sorgum
yaitu Batan S-3, Batan S-12, Keller, Wray, Numbu. Pupuk Urea, SP-36, KCl.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bajak garu dan bajak rotari, alat
tugal, cangkul, sabit, pisau, bambu, meteran, kertas koran, kertas label, oven,
timbangan elektrik, streples, tali raffia, plastik, karung, buku tulis, spidol, camera
digital, pena, golok.
3.3 Metode penelitian
Untuk menjawab pertanyaan dalam perumusan masalah dan menguji hipotesis,
rancangan perlakuan disusun dengan faktorial dalam rancangan petak terbagi
pertanaman tumpangsari dan monokultur sedangkan anak petak adalah genotipe
tanaman sorgum Batan S-3, Batan S-12, Keller, Wray, Numbu. Petak percobaan
yang digunakan pada penelitian ini berukuran 4x3.2 m. Data dianalisis dengan
ANOVA. Perbedaan nilai tengah perlakuan ditentukan dengan uji BNJ pada
taraf 5%.
3.4 Pelaksanaan penelitian
3.4.1 Persiapan lahan dan Pembuatan Petak
Lahan diolah dengan pembajakan rotari sebanyak dua kali dan garu sebanyak satu kali.
Tanah yang telah diolah kemudian dibentuk menjadi petakan-petakan berukuran
3,2 m x 4 m dengan jumlah 30 petak.
3.4..2 Penanaman dan Penentuan jarak tanam
Penanaman bibit ubikayu dilakukan dengan cara menancapkan bibit setek sedalam
sepertiga panjang batang kedalam tanah dengan arah mata tunas menghadap ke
atas. Ukuran setek yang digunakan adalah 25 cm. Sedangkan penanaman benih
sorgum dilakukan dengan cara memasukan benih pada lubang tanam sebanyak 5
butir lalu ditutup dengan tanah. Adapun jarak tanam yang digunakan pada
penelitian ini ubikayu adalah 80 x 60 cm dan tanaman sorgum ditanam disela
tanaman ubikayu dengan jarak 80 x 20 cm (Lihat Gambar 8).
3.4.3 Pemupukan
Pemupukan Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis 200, 100, 100 kg/ha. Pemberian
pupuk dilakukan sebanyak dua kali, pemupukan pertama setengah bagian yang
dari pupuk Urea di berikan pada saat tanaman berumur 4 minggu setelah tanam
(mst). Pupuk diberikan dengan cara dilarik dengan jarak ± 10 cm dari lubang
tanam sedalam 5 cm.
3.4.5. Pemeliharaan
Pemeliharaan pada penelitian ini adalah pengendalian gulma,dan pembuatan
paret. Pengendalian gulma dilakukan secara manual menggunakan arit dan
cangkul. Pembuatan paret dilakukan apabila curah hujan tinggi supaya tidak
menggenang disekitar areal pertanaman.
3.5 Variabel yang diamati
(1). Bobot Kering Daun (g)
Bobot kering daun didapat dengan cara mengeringkan daun dalam oven selama
tiga hari dengan suhu 80°C. Sample diambil dari 4 minggu setelah tanam (mst)
dengan interval waktu 2 minggu .
(2). Bobot Kering Batang (g)
Bobot kering batang bobot didapat dengan cara mengeringkan batang dalam oven
selama tiga hari dengan suhu 80°C. Sample diambil dari 4 minggu setelah tanam
(mst)dengan interval waktu 2 minggu.
(3). Bobot Kering Akar (g)
Bobot kering akar didapat dengan cara mengeringkan akar dalam oven selama
tiga hari dengan suhu 80°C. Sample diambil dari 4 minggu setelah tanam (mst)
(4). Bobot Kering Malai (g)
Bobot kering malai didapat dengan cara mengeringkan malai dalam oven selama
tiga hari dengan suhu 80°C. Sample diambil saat panen.
(5). Bobot Kering Biji (g)
Bobot kering biji didapat dengan cara mengeringkan biji dalam oven selama tiga
hari dengan selama tiga hari dengan suhu 80°C. Sample diambil saat panen.
(6). Indeks Panen (g)
Bobot kering seluruh bagian tanaman didapat dengan cara mengeringkan
brangkasan tanaman dalam oven selama tiga hari dengan suhu 80°C. Sample
diambil saat panen. Indeks panen didapat dari perhitungan:
Biji X100 %
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Pola pertanaman monokultur dan tumpangsari berpengaruh pada bobot kering
daun 6 - 12 mst, batang 6, 10 mst , akar 4 – 12 mst. Pertanaman monokultur
menghasilkan bobot kering daun, batang, dan akar lebih besar dari pada
pertanaman tumpangsari. Sebagian besar bahan kering diakumulasikan pada
batang diikuti daun dan yang terkecil pada akar.
2. Perbedaan genotipe berpengaruh terhadap bobot kering daun pada 6 -12 mst
batang pada 4, 6 dan 10 mst dan akar pada 6 dan 8 mst.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyarankan:
1. Untuk mengetahui hasil yang komfrehensif maka pengamatan kanopi ubikayu
PUSTAKA ACUAN
Arifin.1986.Pengaruh Beberapa Pola Tanam Tumpangsari Jagung dan kacang Tanah Terhadap Penetrasi Energi Radiasi Matahari, Laporan Penelitian. Tidak Dipublikasikan. Universitas Brawijaya.Malang. 33 hlm.
Buhaira. 2007.Respons Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) dan Jagung(Zea Mays L.) Terhadap Beberapa Pengaturan Tanam Jagung PadaSistem Tanam Tumpangsari. Jurnal Agronomi 11 (1) : 41.
Dwijosepoetro, D. 1990. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia, Jakarta. Doggett, H. 1970.Sorghum. Longmans Green & Co. Ltd. Cambridge, USA. Gardner, F. P., Pearce R.B., dan Mitchell R.L. diterjemahkan oleh Susilo, H dan
Subiyanto., 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta.
Jumin. 1991.Pengantar Agronomi. Gramedia, Jakarta.
Kartasapoetra, A.G. 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. PT Rineka Cipta. Jakarta.
Kamal, M. 2011.Kajian Sinergi Pemanfaatan Cahaya dan Nitrogen Dalam Produksi Tanaman Pangan. Pidato ilmiah dalam rangka pengukuhan guru besar dalam bidang ilmu tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Bandar Lamapung tanggal 23 Februari 2011. Penerbit Universitas Lampung, Bandar Lampung .68 hlm.
Kusumo, H, B. 2012. Kualitas dan Hay Berangkasan Sorgum yang dipergunakan Sebagai Pakan Sapi Jantan Muda. Prosiding Insinas.
Laimeheriwa, J. 1990. Teknologi budidaya sorgum. Departemen Pertanian. Balai informasi pertanian. Irian Jaya. Departemen Pertanian Irian Jaya.16 hlm.
Nurmala,S.W. T.1998. Sumber Karbohidrat Utama. Rineka Cipta.Jakarta.93hlm. Rismunandar. 1989.Sorghum Tanaman Serba Guna. Bandung: Sinarbaru.
Rukmana, H., dan Y. Oesman. 2001. Usaha tani sorgum. Kanisius. Jakarta.40 hal Reddy,B.V.S., dan W.D. Dar. 2007. Sweet sorghum for bioetanol. Makalah pada
Workshop Peluang dan Tantangan Sorgum Manis Sebagai Bahan BakuBioetanol. Dirjen Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta. Sanchez, P. A. 1976. Properties and Management ofSoils in the Tropics. John
Wiley and Sons, NewYork.
Suprapto., dan R. Mudjisihono. 1987.Budidaya dan Pengolahan Sorgum. Jakrata:Penebar Swadaya.
Sirappa, M.P. 2003. Prospek Pengembangan Sorgum di Indonesia
SebagaiKomoditas Alternatif Untuk Pangan, Pakan, dan Industri. Jurnal Penelitian dan Pengambangan Pertanian,Jakarta.22 (4):133-140. Sitompul., dan B. Guritno.1995.Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta:
Gadjah mada University Press.
Sumantri, A. 1994. Pedoman Teknis Budidaya Sorgum Manis Sebagai Bahan Baku Industri Gula. Pasuruan.
Sunyoto., dan M. Kamal. 2009. PenampilanAgronomi Berbagai Genotipe Sorgum (Sorghum bicolor L.) di Bandar Lampung selama Dua Musim Penampilan Tanam. Prosiding Seminar NasionalTeknologi Tepat Guna Agroindustri dan Diseminasi Hasi-hasil Penelitian Dosen Polinela.
Suwarto., dan S.Yahya. Handoko., M. A. Chozin. 2005. Kompetisi Tanaman Jagungdan Ubikayu dalam Sistem Tumpangsari. Buletin Agro. 33 (2):1-7 Thomas J. C., K. W. Brown and W. R. Jordan. 1976. Stomata response to leaf
water potential as affected by preconditioning water stree in the field’, Agron. J., 68: 706708.
Yanuwar, W. 2002. Aktivitas Antioksidan dan Imunomodulator Serealia Non-Beras. Institut Pertanian Bogor.