PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING DAN MINAT
BELAJARTERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA
DIDIK KELAS VII SMP YASPENHAN-2 MEDAN PADA MATA
PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
TESIS
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu
Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Dasar
Oleh :
SRI NINGSIH
NIM : 8146182039
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
i ABSTRAK
Sri Ningsih, 814618203, Pengaruh Model Problem Based Learning Dan Minat Belajar Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik Kelas VII SMP Yaspenhan-2 Medan Pada Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelompok peserta didik yang dibelajarkan dengan model problem based learning (PBL) dan kelompok peserta didik yang dibelajarkan dengan menggunakan model konvensional; (2) perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelompok peserta didik yang memiliki minat belajar tinggi yang dibelajarkan dengan model problem based learning (PBL) dan kelompok peserta didik yang memiliki minat belajar tinggi yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional; (3) perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelompok peserta didik yang memiliki minat belajar rendah yang diajarkan dengan model problem based learning (PBL) dan kelompok peserta didik yang memiliki minat belajar rendah yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional; serta (4) interaksi antara model problem based learning dengan minat belajar terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik. Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII SMP Yaspenhan-2 Medan Kecamatan Medan Labuhan Tahun Ajaran 2015/2016 dengan populasi sekaligus menjadi sampel penelitian yakni seluruh peserta didik kelas VII sebanyak 51 siswa. Metode yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan desain factorial 2x2. Adapun instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah angket, tes kemampuan berpikir kritis, lembar observasi serta wawancara. teknik analisa yang digunakan adalah Anava dengan taraf signifikan 0,01. Hasil penelitian menunjukkan (1) Kemampuan belajar kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model problem based learning lebih tinggi dibandingkan pada kelompok peserta didik yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional pada mata pelajaran PKn di kelas VII SMP Yaspenhan-2 Medan. Rata-rata kemampuan berpikir kritis peserta didik yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran PBL sebesar 81,758. Sedangkan model pembelajaran konvensional adalah sebesar 77,666; (2) Kemampuan berpikir kritis kelompok peserta didik yang memiliki minat belajar tinggi yang diajarkan dengan model problem based learning (PBL) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok peserta didik yang memiliki minat belajar tinggi yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional dengan nilai > dari nilai = 1,711; (3) tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelompok peserta didik yang memiliki minat belajar rendah yang diajarkan dengan model pembelajaran problem based learning (PBL) dan kelompok peserta didik yang memiliki minat belajar rendah yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional dengan nilai < dari nilai = 1,714; (4) terdapat interaksi antara model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan minat belajar terhadap kemampuan berpikir kritis di kelas VII SMP Yaspenhan-2 Medan. Dimana Nilai = 2.909 > = 2,82
ii ABSTRACT
Sri Ningsih, NIM. 8146182039. Effect Of Problem Based Learning Model And Interest On Learning Critical Thinking Skills Students Class VII Junior Yaspenhan - 2 Medan Subject Field Of Citizenship Education
This study aims to determine: (1) the difference between the critical thinking skills of learners that learned with a model problem based learning (PBL) and a group of students that learned using conventional models; (2) the difference between the critical thinking skills of learners who have a high interest in learning taught by the model of problem-based learning (PBL) and a group of students who have a high interest in learning that learned using conventional models; (3) the difference between the critical thinking skills of learners who have low learning interest that learned with a model problem based learning (PBL) and a group of students who have a low interest in learning is taught using conventional models; and (4) the interaction between the model problem based learning with interest in learning the critical thinking skills of learners. The research was conducted in class VII Yaspenhan - 2 Medan district of Medan Labuhan Academic Year 2015/2016 by the population as well as a sample of the total enrollment of 51 students of class VII. The method used is quasi experiment with a 2x2 factorial design. The data collection instruments used were questionnaires, tests critical thinking skills, observation and interview sheet. an analytical technique used is Anava with significance level of 0.01. The results showed (1) the ability to study groups of students who are taught by a model problem based learning was higher than in the group of students who were taught using conventional models on the subjects of Civics in class VII Yaspenhan - 2 Medan. Where the average critical thinking skills students are taught using PBL learning model amounted to 81.758. While the conventional learning model amounted to 77.666; (2) The ability to think critically groups of students who have interest in learning high-taught with a model problem based learning (PBL) is higher than the group of students who have interest in learning high-taught using conventional models with value t_hitung = 3.212> value t_tabel = 1.711; (3) there is no difference in the ability of critical thinking among groups of students who have interest in low learning taught by the teaching model of problem-based learning (PBL) and a group of students who have interest in low learning is taught using conventional models with value t_hitung = 0.592 < of the value t_tabel = 1.714; (4) There is no interaction between the learning model Problem Based Learning (PBL) and interest in learning the critical thinking skills in class VII Yaspenhan – 2 Medan. Where F_hitung value = 2,909>F_tabel=2,82
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan
hidayah-Nya, yang telah memberikan kesehatan dan hikmah kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Model Problem Based
Learning dan Minat Belajar Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik Kelas VII
SMP YASPENHAN – 2 Medan Pada Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan”,
dengan baik dan tepat waktu. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Dasar pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Medan.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan dapat diselesaikan dengan
baik dan tepat waktu tanpa bantuan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd, selaku Rektor Universitas Negeri Medan,
2. Bapak Prof. Dr. Bornok Sinaga, M.Si, Selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Negeri Medan,
3. Ibu Prof. Dr. Anita Yus, M.Pd, Selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dasar,
4. Bapak Dr. Daulat Saragih, M.Hum, Selaku sekretaris Program Studi Pendidikan
Dasar,
5. Bapak Dr. Deny Setiawan, M.Si, dan Bapak Prof. Dr. Yusnadi, M.S, selaku Dosen
pembimbing yang dengan sabar memberikan motivasi, pengarahan, saran, masukan,
dan bimbingan kepada penulis sejak awal penulisan hingga selesainya.
6. Bapak Dr. Dede Ruslan, M.Si, Bapak Dr. Hidayat, M.Si dan Ibu Dr. Reh Bunganna
Br. Parangin-angin, M. Hum, Selaku nara sumber dan tim penguji yang telah
memberikan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan dalam penulisan
iv
7. Kepala SMP YASPENHAN 2 Medan Labuhan, serta guru-guru dan para peserta didik
yang telah berkenan memberikan bantuan kepada penulis dalam rangka pengumpulan
data, informasi dan keterangan yang penulis perlukan dalam penelitian ini.
8. Suami tercinta; Irsan Maruhawa, S.Pd.I, yang telah sabar dan memberikan semangat yang sangat positif sekaligus pendukung utama sehingga tanpa lelah memberikan hal
yang sangat berarti untuk penulis,
9. Tercinta dan tersayang anak-anakku; Farhan Karim Maruhawa dan Fitri Rahma
Maruhawa, dengan ketulusan dan kepolosan kalian merupakan kekuatan cinta yang tidak ada tandingannya segenap jiwa dan sepenuh hati kami berikan dan harapan kami
pada kalian jadilah anak yang berakhlak mulia, berbakti kepada semua dan doa kami
selalu hanya untuk kebahagiaan kalian dunia dan akhirat.
10. Kepada kedua orangtua penulis haturkan terima kasih atas pengorbanan kalian kepada
penulis yang tidak dapat penulis balas selain pengabdian setelah pengabdian penulis
kepada suami.
Semoga bantuan, semangat yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan
dari Allah SWT. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada tesis ini,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
v
1.1 Latar Belakang Masalah……… 1
1.2 Identifikasi Masalah….………..………… 12 TAT II KAJIAN TEORITIS... 18
2.1 Kajian Teoritis……….………... 18
2.1.1 Kemampuan Berpikir Kritis ...………….……... 18
2.1.2 Model Pembelajaran Problem Based eearning... 25
2.1.3 Minat Belajar ……….…………... 35
2.2 Penelitian yang Relevan………... 41
2.3 Kerangka Berpikir ………... 42
2.4 Hipotesis Penelitian………...………... 45
TAT III PETODOLOGI PENELITIAN……..………... 47
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian………... 47
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ………...………... 48
3.3 Metode dan Desain Penelitian………... 49
3.4 Prosedur dan Pelaksanaan Perlakuan... 50
vi
3.4.2 Pelaksanaan Penelitian... 51
3.5 Pengontrolan Perlakuan... 53
3.6 Variabel dan Defenisi Operasional... 54
3.6.1 Variabel Penelitian... 54
3.6.2 Defenisi Operasional... 55
3.7 Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian…... 56
3.7.1 Teknik Pengumpulan Data... 56
3.7.2 Instrumen Penelitian... 58
TAT IV HASIL PENELITIAN DAN PEPTAHASAN... 74
4.1. Hasil Penelitian... 74
4.1.1 Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik yang Diajarkan Dengan Menggunakan Model Problem Based eearning... 74
4.1.2 Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik yang Diajarkan Dengan Menggunakan Model Konvensional ... 76
4.1.3 Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik yang Memiliki Minat Belajar Tinggi pada Kelas yang Diajarkan Dengan Model Problem Based eearning... 78 4.1.4Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik yang Memiliki Minat Belajar Rendah pada Kelas yang Diajarkan Dengan Model Problem Based eearning... 80 4.1.5 Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik yang Memiliki Minat Belajar Tinggi pada Kelas yang Diajarkan Dengan Model Konvensional... 82 4.1.6 Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik yang Memiliki Minat Belajar Rendah pada Kelas yang Diajarkan Dengan Model Konvensional... 84 4.2 Pengujian Persyaratan Analisis Data... 86
4.2.1 Uji Normalitas Data... 86
vii
4.3 Pengujian Hipotesis... 89
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian... 103
4.4.1 Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik yang Diajarkan Dengan Model Problem Based eearning Lebih Tinggi Dibandingkan Kemampuan Berpikir Kritis Pada Kelompok Peserta Didik yang Diajarkan Dengan Menggunakan Model Konvensional... 103 4.4.2 Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik yang Memiliki Minat Belajar Tinggi yang Diajarkan Dengan Model Problem Based eearning Lebih Tinggi Dibandingkan Kemampuan Berpikir Kritis Pada Kelompok Peserta Didik yang Memiliki Minat Belajar Tinggi yang Diajarkan Dengan Menggunakan Model Konvensional... 111 4.4.3 Tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang memiliki minat belajar rendah yang diajarkan dengan Model Problem Based eearning dibandingkan kemampuan berpikir kritis pada kelompok peserta didik yang memiliki minat belajar rendah yang diajarkan dengan menggunakan Model Konvensional. 117 4.4.4Terdapat interaksi antara model pembelajaran Problem Based eearning (PBL) dan minat belajar terhadap kemampuan berpikir kritis Peserta Didik... 123 4.5 Keterbatasan Penelitian... 128
TAT V KESIPPULAN DAN SARAN... 130
5.1 Kesimpulan... 130
5.2 Saran... 132
Daftar Pustaka... 134
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran... 43 Gambar 4.1 Grafik distribusi frekuensi kemampuan berpikir kirits pada
kelasyang menggunakan Problem Based eearning.
...
75
Gambar 4.2 Grafik distribusi frekuensi kemampuan berpikir kirits pada
kelasyang menggunakan model konvensional
…...
77
Gambar 4.3 Grafik distribusi frekuensi kemampuan berpikir kirits peserta didik yang memiliki minat belajar tinggi yang diajarkan dengan menggunakan model problem based learning (PBL) ...
79
Gambar 4.4 Grafik distribusi frekuensi kemampuan berpikir kirits peserta didik yang memiliki minat belajar rendah yang diajarkan dengan menggunakan model problem based learning (PBL) ...
81
Gambar 4.5 Grafik distribusi frekuensi kemampuan berpikir kirits peserta didik yang memiliki minat belajar tinggi yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional...……...……..…...
83
Gambar 4.6 Grafik distribusi frekuensi kemampuan berpikir kirits peserta didik yang memiliki minat belajar rendah yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional...……..…...
85
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Angket Model Pembelajaran PBL...……….... 136
Lampiran 2. Angket Minat Belajar...……….... 138
Lampiran 3. Tes Pilihan Berganda Kemampuan Berpikir Kritis...…………... 140
Lampiran 4. Pedoman Wawancara...……….... 145
Lampiran 5. Lembar Observasi Penggunaan Model PBL...……….... 147
Lampiran 6. Lembar Observasi Minat Belajar Peserta Didik....………... 149
Lampiran 7. Lembar Observasi Kemampuan Berpikir Kritis....………... 151
Lampiran 8. RPP Kelas Eksperimen...……….... 153
Lampiran 9. RPP Kelas Kontrol... 169
Lampiran 10. Hasil Uji Validasi dan Reabilitas... 191
Lampiran 11. Pengelompokan minat belajar kelas eksperimen dan kelas kontrol 195 Lampiran 12. Pengelompokan hasil tes kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas eksperimen dan kelas kontrol... 200 Lampiran 13.Titik Persentase Distribusi F ... 218
1
BABBIB
PENDAHULUANB
B B
1.1 LatarBBelakangBMasalahB
Hampir empat dasarwarsa terakhir, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian
Pendidikan Nasional dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan berbagai macam
kebijakan dalam sistem pendidikan nasional guna mencapai mutu pendidikan. Berbicara
mutu bukan hanya hasil yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti serangkaian
kegiatan pembelajaran. Akan tetapi berkaitan dengan berbagai macam dimensi
pendidikan yang terkait diantara satu dan lainnya. Secara konseptual mutu pendidikan
dapat diartikan sebagai “kemampuan lembaga pendidikan dalam mendayagunakan
berbagai macam potensi atau sumber pendidikan untuk meningkatkan kemampuan
belajar seoptimal mungkin”. (Suryadi, 1992 dalam Suryadi, 2009:197). Jika mutu
pendidikan mengarah pada ketercapaian proses pembelajaran yang mendorong peserta
didik untuk belajar, maka hasil yang diharapkan yakni adanya perubahan atau
kompetensi dalam diri peserta didik setelah mengikuti pembelajaran.
Bagi seorang guru upaya mencapai kompetensi pembelajaran adalah hal yang
paling utama yang harus diperhatikan sebagai bahagian dari mutu pendidikan. Guru
yang tidak mengetahui kompetensi apa yang akan diperoleh peserta didik, maka guru
telah melakukan kelalaian dalam melaksanakan pembelajaran. Tipe guru seperti ini
yang tentunya mengajar hanya dijadikan sebagai upaya melepas kewajiban, mengajar
tidak memiliki harapan, orientasi, serta target atau tujuan yang ingin dicapai. Bila ini
terjadi, maka akan menyebabkan peserta didik tidak mempunyai cita-cita, gairah, serta
kebulatan tekad dalam belajar. Peserta didik yang berangkat dari rumah menuju
2
sekolahpun tanpa dibarengi dengan tujuan yang jelas dan pasti. Sehingga tidak sedikit
peserta didik yang acuh, tidak memberikan perhatian, bahkan ada yang terlelap tidur
ketika berlangsungnya pembelajaran. Kondisi ini menyebabkan rendahnya sikap
ketekunan belajar dalam diri peserta didik. Padahal prestasi yang lahir karena ketekunan
dan kesungguhan akan menjadikan peserta didik menjadi masyarakat pembelajaryakni
warga masyarakat yang menjadikan belajar sebagai kebutuhan pokok dalam hidupnya.
Peserta didik yang telah menjadi masyarakat pembelajar akan mengetahui pentingnya
belajar untuk masa depan. Untuk itu peran guru sangat berkontribusi dalam
membangkitkan motivasi belajar peserta didik sehingga kompetensi di setiap mata
pelajaran dapat tercapai.
Kompetensi bukan hanya menunjukkan pada kemampuan pengetahuan peserta
didik semata, akan tetapi gambaran secara kategorial yang mencakup aspek sikap,
pengetahuan, dan keterampilan pada setiap mata pelajaran. Ketiga aspek ini sangat
mempengaruhi peserta didik khususnya bagi kehidupan di masa mendatang. Karena
keberhasilan peserta didik bukan hanya dipengaruhi oleh intelektualnya saja melainkan
dipengaruhi oleh faktor psikososial (sikap) serta faktor keterampilan yang dimilikinya.
Hal ini sebagai upaya menghasilkan peserta didik yang akan mampu berpikir secara
utuh, kreatif, kritis serta matang sehingga akan mempengaruhi pola sikap, tindakan dan
ucapan yang mencerminkan jatidiri sebaga manusia yang berkarakter.
Dalam proses pembelajaran di sekolah, Kementerian Pendidikan Nasional dan
Kebudayaan (Kemendikbud) melalui kurikulum 2013 mewajibkan setiap mata pelajaran
untuk memperkuat sikap dan keterampilan peserta didik. Walaupun pada kurikulum
sebelumnya aspek sikap dan keterampilan telah dimuat di dalam standar kompetensi
3
aspek pengetahuan (kognitif). Sedangkan aspek sikap dan keterampilan masih belum
tersentuh khususnya dalam proses pembelajaran.
Dalam perspektif kewarganegaraan dikenal adanya tiga kompetensi yang perlu
dimiliki seorang warganegara yaitu pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge),
kecakapan kewarganegaraan (civic skill) dan watak kewarganegaraan (civic
disposition). Ketiga kompetensi ini bersinergi secara bersamaan membangun kualitas
peserta didik agar menjadi baik (good), cerdas (smarth) dan dapat diandalkan sebagai
warga negara muda yang dewasa. Peserta didik yang cerdas dan berperilaku baik
merupakan tujuan utama dari pendidikan. Dengan demikian tujuan inimerupakan
menjadi misi suci dari Pendidikan Kewargaranegaraan.
Sekaitan dengan itu Rahmat, dkk (2009:5) menjelaskan secara aksiologi mata
pelajaran PKn bertujuan “untuk pendewasaan peserta didik sebagai anggota
masyarakat, warga negara dan komponen bangsa Indonesia”. Salah satu indikator yang
dapat ditunjukkan sebagai warga negara dewasa adalah kemampuan berbuat, bertindak
dan bersikap berdasarkan pengetahuan dan pertimbangan moral yang dimiliki. Kondisi
ini harus diperkuat dengan sebuah “proses sistematis yang memungkinkan peserta didik
untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri, dan hal
inilah yang disebut dengan berpikir kritis.” (Jhonson, 2009: 185).
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) mensyaratkan setiap warga negara
memiliki kemampuan berpikir kritis sebagai bagian dari proses belajar kognitif serta
kecakapan warga negara(civic skill).Pengetahuan kewarganegaraan dan kecakapan
kewarganegaraan (civic skill) merupakan komponen yang paling esensial dalam
pendidikan kewarganegaraan (PKn).
4
kecakapan-kecakapan intelektual dan partisipatoris yang relevan. Kecakapan-kecakapan intelektual yang penting untuk seorang warganegara yang berpengetahuan, efektif, dan bertanggung jawab disebut sebagai kemampuan berpikir kritis. (dalam Budimansyah,2008:58).
Kemampuan berpikir kritis akan menggali potensi warga negara untuk
menganalisis, mengevaluasi (mengkoreksi) dari berbagai bentuk hak dan kewajiban
yang dilaksanakan maupun kemampuan menjelaskan dan menganalisis berbagai gejala
dalam kehidupan masyarakat, berbangsa maupun bernegara (khususnya pemerintah)
apakah fungsi pemerintah yang dijalankan itu berjalan dengan baik atau tidak. Sekaitan
dengan itu, PKn menurut Somantri (2001:299) dirumuskan sebagai berikut.
Pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan yang demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah masyarakat, dan orang tua yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan berindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa pembelajaran PKn
merupakan mata pelajaran yang mampu melatih peserta didik agar dapat berpikir kritis
sebagai misi esensial PKn. Warga negara yang mampu berpikir kritis berarti
mempersyaratkan kehidupan sivil yang demokratis guna mencapai tujuan demokrasi itu
sendiri. Dalam konteks ilmu politik kemampuan warganegara berpikir kritis upaya
menempatkan seorang warganegara lebih cakap dalam kehidupan politik. Artinya
warganegara tidak hanya sebagai penonton saja melainkan ikut merumuskan,
menganalisis, mengevaluasi bahkan mengkaji berbagai kebijakan pemerintah.
Jika menghendaki warga negara memiliki kemampuan berpikir kritis, maka
sejak dini harus didukung dengan proses pembelajaran yang mampu mendorong peserta
didik untuk melaksanakan proses berpikir. Jika tidak maka peserta didik akan menjadi
5
informasi sampai mengambil keputusan dalam berbagai situasi dan kondisi.
Kemampuan inilah yang sangat diharapkan bagi seorang warga negara sebagai
masyarakat yang demokratis yang membutuhkan partisipasi yang bertanggung jawab,
efektif dan ilmiah dalam proses politik dan dalam civil sociaty.Karena kemampuan
berpikir kritis pada dasarnya adalah berpikir untuk “1) membandingkan dan
mempertentangkan berbagai gagasan; 2) memperbaiki dan memperhalus; 3) bertanya
dan verifikasi; 4) menyaring, memilih, mendukung gagasan; 5) membuat keputusan dan
pertimbangan; dan 6) menyediakan landasan untuk suatu tindakan”.(dalam Surya,
2015:123).
Sekaitan dengan itu, Standar Kompetensi Lulusan yang diatur dalam Peraturan
Menteri Nomor 23 Tahun 2006 menjelaskan bahwa “Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan mata pelajaranyang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang
memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi
warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh
Pancasila dan UUD NRI 1945”. Dalam peraturan tersebut dijelaskanjuga bahwa mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar perserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut:
1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan;
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta anti korupsi;
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya;
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
6
Dari keempat tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang diamanatkan
dalam Peraturan Menteri di atas, maka tampak bahwa berpikir kritis merupakan salah
satu tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan kewarganegaraan.Untuk itu kegiatan
belajar mengajar harus mendorong peserta didik memiliki kemampuan ini khususnya
dalam menanggapi isu-isu kewarganegaraan. Bila kemampuan ini telah tercapai maka
diharapkan peserta didik mampu berpartisipasi secara aktif dan penuh tanggung jawab
serta dapat bertindak secara cerdas dalam berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara maupun dalam dunia internasional yang tetap memperkuat nilai-nilai
identitas nasional (local genius).
Akan tetapi bila dilihat secara implementatif maka masih banyak proses
pembelajaran PKn di sekolah-sekolah yang belum mampu mengembangkan
keterampilan berpikir kritis peserta didik. Kondisi tersebut dapat dilihat dari proses
pembelajaran PKn yang selama ini dilaksanakan di SMP Swasta Yaspenhan-2 Medan.
Terdapat beberapa indikator yang peneliti identifikasisebagai penyebab lemahnya
pembelajaran PKn di SMP Yaspenhan-2 Medan, sehingga mempengaruhi kemampuan
berpikir kritis peserta didiknya. Diantaranya adalah guru PKn terjebak dengan pola-pola
pembelajaran konvensional yang didominasi oleh metode ceramah dan tanya
jawab.Pembelajaran konvensional yang dilaksanakan oleh guru PKn di sekolah ini
hanya dapat mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik pada kognitif tingkat
rendah. Dalam setiap proses pembelajaran peserta didik hanya sebatas memahami
konsep yang diajarkan akan tetapi tidak mampu mengkaitkan, menganalisis,
menyimpulkan, menilai dan mengevaluasi, serta mengambil keputusan dan sikap dari
7
Lemahnya kemampuan berpikir kritis ini dapat dilihat pada saat pembelajaran
PKn distandar kompetensi sebelumnya pada materiHak Asasi Manusia. Melalui
observasi awal yang dilakukan terhadap 51 orang peserta didik di dua kelas yang
berbeda, dapat dilihathanya sekitar 10 orang atau 19,23% peserta didik yang memiliki
kemampuan berpikir kritis lebih baik dengan ditunjukkan sikap berani mengemukakan
pendapat (bertanya, berargumentasi, dan menjawab pertanyaan), serta mampu
menganalisis dan menyimpulkan materi pembelajaran. Kemampuan inipun tidak diikuti
dengan keterampilan mensintesis, menyimpulkan, mengevaluasi sampai pada
keterampilan mengambil keputusan. Selain peserta didik yang memiliki kemampuan
berpikir kritis lebih baik, ternyata tidak sedikit peserta didik yang memiliki kemampuan
berpikir kritis rendah yakni sebanyak 42 orang atau 80.77%, dimana peserta didik
hanya mampu mengetahui konsep PKn melalui hafalan tetapi tidak bisa menganalisis,
mensintesis, menyimpulkan, mengambil keputusan dan mengkaitkan materi tersebut
dengan kondisi nyata kehidupannya.
Selain guru terjebak pada pola pembelajaran konvensional, faktor lain yang
menyebabkan lemahnya pembelajaran PKn yang ikut mempengaruhi kemampuan
berpikir kritis peserta didik adalah keterbatasan kemampuan guru dan peserta didik
dalam mengakses, memanfaatkan dan menggunakan berbagai sumber dan media
pembelajaran PKn. Buku pelajaran adalah sumber belajar satu-satunya yang
dimanfaatkan oleh guru dan peserta didik dalam belajar. Begitu juga dengan minimnya
media pembelajaran PKn, yang diikuti dengan terbatasnya kreativitas guru dalam
mengembangkan media pembelajaran di sekolah ini. Menurut hemat peneliti, serta dari
hasil observasi dan wawancara yang dilakukan dengan guru PKn menunjukkan bahwa
8
mengembangkan sumber dan media belajar PKn adalah terbatasnya fasilitas belajar
yang tersedia di sekolah. Keterbatasan tersebut dapat dilihat dari tidak tersedianya
jaringan internet yang dapat digunakan untuk mengakses sumber-sumber belajar, tidak
tersedianya LCD projector, laboraturium komputer yang tidak memadai serta kurang
lengkapnya koleksi buku pembelajaran PKn yang tersedia di perpustakaan SMP
Yaspenhan-2 Medan.
Berbagai faktor yang menjadi permasalahan pembelajaran PKn di atas
menyebabkan belajarPKn lebih menekankan padapola-pola pembelajaran kognitif based
education,sehingga mempengaruhi minat peserta didik dalam belajaryang ditunjukkan
dengan sikap acuh, cepat bosan, malas berpikir dan tidak kooperatif. Pembelajaranyang
dilaksanakan tidak mampu menjadikan mata pelajaran PKn menjadi kuat (powerfull).
Lebih lanjut Budimansyah dan Sapriya, (2012:3) mengemukakan“pembelajaran yang
kuat adalah ditandai dengan ciri-ciri bermakna (meaningful), terintegrasi (integrated),
berbasis nilai (value based), menantang (challenging) dan mengaktifkan
(activating)peserta didik dalam belajar”.
Jika proses pembelajaran dapat mengaktifkan peserta didik untuk belajar maka
dengan sendirinya akan meningkatkan minatnya untuk belajar. Akan tetapi proses
belajar yang tidak mampu mengaktfikan serta memberikan rangsangan,dan perhatian
kepada peserta didik,maka akan mempengaruhi minatnya untukbelajar. Kondisi ini
mengakibatkan terpecahnya konsentrasi dalam belajar. Dan inilah yang terjadi pada
peserta didik di kelas VII SMP Yaspenhan-2 Medan. Peneliti memahami bahwa
tahapan-tahapan proses pembelajaran PKn yang dilaksanakan oleh guru di kelas
cenderung tidak memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menggali pemikiran
9
yang heterogen yakni sebagian memiliki minat belajar yang tinggi akan tetapi tidak
sedikit yang memiliki minat belajar yang sangat rendah.
Berbagai upaya telah dilakukan gurudalam mengembangkan kemampuan
berpikir kritis peserta didik melalui penggunaan metode yang dapat merangsang peserta
didik berpikir sepertihalnya diskusi dan tanya jawab. Akan tetapi metode ini belum
mampu melibatkan peserta didik secara merata untuk aktif belajar bahkan dalam
mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Padahal peserta didik yang duduk di
tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah fase dimana terjadinya
perkembangan kogntif untuk berpikir logis yang telah memasuki tahap peringkat
concrete operational pada usia 6 sampai dengan 12 tahun. Fase peringkat concrete
operational menurut Surya (2015:122) adalah “fase dimana anak telah dapat membuat
pemikiran tentang situasi atau konkrit secara logis. Perkembangan kognitif pada fase ini
memberikan kecakapan anak untuk berkenaan dengan konsep klasikasi, hubungan dan
kuantitas”. Untuk itu penggalian pemahaman peserta didik berkenaan dengan
kemampuan menganalisis, menjelaskan sampai kemampuan mengambil keputusan
harus dilaksanakan pada siswa di tingkat ini.
Berbagai teori dan pendapat para ahli telah menunjukkan bahwa kemampuan
berpikir kritis dapat dibentuk melalui penggunaan berbagai model pembelajaran yang
mampu mendukungnya. “Salah satu alternatif model pembelajaran yang
memungkinkan dikembangkannya keterampilan berpikir peserta didik (penalaran,
komunikasi, dan koneksi) dalam memecahkan masalah adalah melalui penggunaan
model pembelajaran berbasis masalah atau lebih dikenal dengan problem based
10
Menurut Tan (2003), dalam Rusman, (2012:229) “Pembelajaran berbasis
masalah merupakan inovasi dalam pembelajaran karena dalam PBM kemampuan
berpikir siswa betul-betul dioptimalkan melalui proses kerja kelompok atau tim yang
sistematis, sehingga dapat memperdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan
kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan”. Tahapan awal model ini dimulai
denganmenghantarkan siswa belajar dari sejumlah permasalahan. Karena permasalahan
yang merupakan kunci utama dari model ini maka Dewey (1933) dalam Komalasari,
(2014:266) menegaskan bahwa :
Berpikir dimulai apabila seseorang dihadapkan pada sesuatu masalah (perplexity). Ia menghadapi sesuatu yang menghendaki adanya jalan keluar. Situasi yang menghendaki adanya jalan keluar tersebut, mengundang yang bersangkutan untuk memanfaatkan pengetahuan, pemahaman atau keterampilan yang sudah dimiliki. Untuk memanfaatkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang sudah dimilikinya terjadi suatu proses tertentu di otaknya sehingga ia mampu menemukan sesuatu yang tepat dan sesuai untuk digunakan mencari jalan keluar terhadap masalah yang dihadapinya. Dengan demikian yang bersangkutan melakukan proses yang dinamakan berpikir.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh, Komalasari (2014:58) bahwa “strategi
pembelajaran menggunakan masalah dunia nyata merupakan satu konteks bagi peserta
didik untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta
untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari mata pelajaran”.
Karakteristik pembelajaran PKn selalu mengkaitan materi pada permasalahan bangsa
dan negara serta kehidupan nyata peserta didik. Bila pembelajaran PKn menggunakan
model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), maka dapat dikatakan
bahwa strategi ini sangat sesuai untuk mengembangkankemampuan berpikir kritis
peserta didik. Karena pada dasarnya “Setiap orang dapat belajar berpikir dengan kritis
karena otak manusia secara konstan berusaha memahami pengalaman”. (dalam
11
dikembangkan. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Jindrich
(2005) dalam Panjaitan, (2011:495) bahwa “kecerdasan anak banyak berkembang
melalui aktivitas-aktivitas, seperti : pemecahan masalah dan penalaran, pembentukan
konsep, peniruan/memori, atau asosiasi dan klasifikasi”.
Sekaitan dengan itu, “Peserta didik yang berusaha memecahkan masalah
biasanya telah menentukan hasil apa yang diinginkan dari awal”. (dalam Jhonson,
2014:203). Hasil yang diinginkan bisa berupa prestasi belajar, pujian, hadiah
(reward),penghargaan, perubahan sikap dan keterampilan, serta hasil-hasil lainnya.
Untuk mencapai berbagai keinginan ini tentunya harus didukung oleh minat belajar
yang tinggi yang harus dimiliki oleh peserta didik. Karena tanpa minat belajar sudah
dipastikan sebaik apapun strategi pembelajaran yang dilaksanakan, tidak akan
mempengaruhi hasil belajarnya termasuk kemampuan berpikir kritis.
Pembelajaran yang menantang dapat meningkatkan respon peserta didik untuk
belajar. Seorang guru yang mampu melibatkan peserta didik agar ikut terlibat aktif
dalam belajar, maka akan memungkinkan timbulnya minat belajar peserta didik.
Pendapat ini kemudian diperkuat oleh Santrock (2004:530) bahwa “motivasi dan
kinerja murid mungkin dipengaruhi oleh ekspektasi guru”. Untuk itu seorang guru
diharapkan memiliki ekspektasi terhadap minat setiap peserta didik baik yang memiliki
minat rendah, sedang maupun tinggi sehingga ada rasa percaya diri dalam diri peserta
didik untuk melaksanakan berbagai tahapan proses pembelajaran yang dapat
menumbuhkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Guru Pendidikan Kewarganegaraan dituntut agar mampu mengembangkan
kemampuan berpikir kritis peserta didik. Karena berpikir kritis merupakan bahagian
12
muda.Kemampuan berpikir kritis hanya dapat dikembangkan jika pembelajaran dapat
melibatkan peserta didik untuk belajar. Pendapat ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Panjaitan (2011:492) bahwa “keterlibatan peserta didik secara aktif
dalam proses pembelajaran memberi sumbangan sangat besar dalam membangun dan
mengembangkan prakarsa, kreativitas dan berpikir kritis peserta didik, yang pada
akhirnya mampu menyiapkan lulusan untuk hidup dalam masyarakat secara mandiri,
cerdas, dan kompetitif”.
Dari pendapat di atas serta didukung oleh latar belakang permasalahan,
khususnya fakta empirik berkaitan dengan lemahnya kemampuan berpikir kritis peserta
didik kelas VII di SMP Yaspenhan-2 Medan, maka hal inilah yang menjadi latar
belakang peneliti melaksanakan penelitian ini. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis melalui model pembelajaran problem based
learning (PBL) dan minat belajar peserta didikpada mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraandi kelas VII SMP Yaspenhan-2 Medan.
1.2 IdentifikasiBMasalahBB
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka adapun
beberapa permasalahan yang diidentifikasikan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta didik sehingga menyebabkan proses
pembelajaran PKn berjalan pasif. Kondisi ini dapat terlihat dimana masih banyak
peserta didik yang tidak berani bertanya dan menjawab pertanyaan, takut
menyampaikan gagasan dan menyanggah gagasan orang lain, serta tidak mampu
menganalisis dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang diajukan oleh
13
mengevaluasi, mengambil keputusan (jalan keluar) serta menyimpulkan hasil
pembelajaran PKn pada saat itu. Sehingga tidak jarang setelah pembelajaran PKn
selesai tidak tampak ada perubahan sikap dan kemampuan berpikir peserta didik.
2. Kurangnya pemanfaatan media dan sumber pembelajaran PKn sehingga
mempengaruhi minat belajar peserta didik. Media pembelajaran yang digunakan
hanya sebatas gambar seperti gambar pahlawan atau gambar contoh kasus yang ada
dibuku pegangan peserta didik.
3. Penggunaan model dan metode pembelajaran yang cenderung respository
(konvensional). Metode pembelajaran yang digunakan hanya sebatas ceramah plus
yakni ceramah, diskusi dan tanya jawab. Guru jarang bahkan tidak pernah
menggunakan model pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik seperti
pembelajaran dengan pendekatan berbasis masalah melalui penggunaan model
problem based learning(PBL).
4. Kondisi di atas mempengaruhi minat belajar peserta didik. Hal ini dapat dilihat
dimana masih ada peserta didik yang tidak fokus atau kurang memberikan pehatian
pada guru di kelas, sering permisi atau keluar masuk kelas bahkan tidak sedikit
peserta didik yang “menguap”bahkan ngantuk saat berlangsungnya pembelajaran.
5. Fasilitas pembelajaran yang kurang memadai sehingga tidak mendukung proses
pembelajaran.Fasilitas tersebut berupa perpustakaan yang tidak memadai, tidak
tersedianya infokus (LCD Projector) serta peralatan elektronik yang mendukung
pembelajaran (seperti TV, komputer, tape dll) serta tidak didukungnya jaringan
internet yang dapat digunakan untuk mengakses sumber/informasi pembelajaran
14
1.3 PembatasanBMasalahB
Dari identifikasi masalah penelitian di atas, serta didukung dari latar belakang
masalah, maka perlu kiranya membatasi pokok masalah penting dalam penelitian ini
mengingat keterbatasan waktu penelitian. Untuk itu, penelitian ini hanya dibatasi pada
penerapan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) serta pengaruhnya
terhadap kemampuan berpikir kritis yang ditinjau dari minat belajar peserta didik yakni
minat belajar tinggi dan minat belajar rendah di kelas VII SMP Yaspenhan-2 Medan.
1.4 RumusanBMasalahB
Berangkat dari latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka adapun
yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah kemampuan berpikir kritis peserta didik yang menggunakan model
pembelajaranProblem Based Learning(PBL) lebih tinggi dibandingkan dengan
belajar secara konvensional di kelas VII SMP Yaspenhan-2 Medan?
2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelompok peserta didik
yang memiliki minat belajar tinggi yang diajarkan dengan model pembelajaran
Problem Based Learning (PBL) dan kelompok peserta didik yang memiliki minat
belajar tinggi yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional di kelas VII
SMP Yaspenhan-2 Medan?
3. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelompok peserta didik
yang memiliki minat belajar rendah yang diajarkan dengan model pembelajaran
Problem Based Learning (PBL) dan kelompok peserta didik yang memiliki minat
belajar rendah yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional di kelas
15
4. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran Problem Based Learning
(PBL) dan minat belajar terhadap kemampuan berpikir kritis di kelas VII SMP
Yaspenhan-2 Medan?
1.5 TujuanBPenelitianB
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perbedaan
kemampuan berpikir kritis peserta didik antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis peserta didik yang menggunakan
model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) lebih tinggi dibandingkan
dengan peserta didik yang belajar secara konvensional di kelas VII SMP
Yaspenhan-2 Medan.
2. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar antara kelompok siswa yang memiliki
minat belajar tinggi yang diajarkan dengan model pembelajaran Problem Based
Learning (PBL) dan kelompok siswa yang memiliki minat belajar tinggi yang
diajarkan dengan menggunakan model konvensional di kelas VII SMP Yaspenhan-2
Medan?
3. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar antara kelompok siswa yang memiliki
minat belajar rendah yang diajarkan dengan model pembelajaran Problem Based
Learning (PBL) dan kelompok siswa yang memiliki minat belajar rendah yang
diajarkan dengan menggunakan model konvensional di kelas VII SMP Yaspenhan-2
Medan?
4. Untuk mengetahui interaksi antara model pembelajaran Problem Based Learning
(PBL) dan minat belajar terhadap kemampuan berpikir kritis di kelas VII SMP
16
1.6 ManfaatBPenelitianB
Sebagai bahagian dari penelitian kuasi eksperimen, maka penelitian ini
diharapkan menjadi contoh serta sumbang pemikiran yang bermanfaat untuk seluruh
praktisi pendidikan khususnya pendidikan kewarganegaraan (PKn) berkenaan
penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning(PBL) dan pengaruh minat
belajar terhadapkemampuan berpikir kritis peserta didik pada pembelajaran PKn. Untuk
itu peneliti mencoba menggambarkan manfaat penelitian baik secara praktis maupun
secara teoritis.
SecaraBPraktisB
1. Sebagai sumbang pemikiran guna meningkatkan kompetensi pedagogik dan
profesional pendidik melalui penggunaan model dan metode pembelajaran yang
lebih bervariatif, inovatif, dan kreatif.
2. Sebagai upaya meningkatkan keterampilan berpikir kritis peserta didik. Hal ini
sangatlah sejalan dengan kompetensi kewarganegaraan yang diharapkan bagi warga
negara muda (the young citizen).
3. Sebagai bentuk implementasi pemikiran peneliti untuk mengaplikasikan wawasan
dan keilmuan di Pendidikan Dasar guna melaksanakan pembelajaran PKn yang lebih
inovatif sehingga PKn menjadi pembelajaran yang lebih bermakna, menantang,
mengasyikkan bagi peserta didik.
SecaraBTeoritisB
Penelitian ini mencoba mengkonstruksi antara model pembelajaran Problem
Based Learning (PBL) dan minat belajar terhadap kemampuan berpikir kritis peserta
didik. Penggabungan keduanya diharapkan menjadi sumbang pemikiran yang
17
ini juga diharapkan mampu menjadi landasan pemikiran pendidik dalam menentukan
langkah, strategi, model, dan metode apa yang paling tepat digunakan pada
pembelajaran PKn sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan yang tentunya
130
BABBVB
KESIMPULANBDANBSARANB
B B 5.1 KesimpulanB
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Kemampuan belajar kelompok siswa yang diajarkan dengan model problem based
learning lebih tinggi dibandingkan pada kelompok peserta didik yang diajarkan
dengan menggunakan model konvensional pada mata pelajaran PKn di kelas VII
SMP Yaspenhan-2 Medan. Hal ini terlihat dari rata-rata kemampuan berpikir kritis
peserta didik yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran PBL
sebesar 81,758. Sedangkan rata-rata kemampuan peserta didik yang diajarkan
dengan menggunakan model pembelajaran konvensional adalah sebesar 77,666.
Dengan demikian terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang
menggunakan model pembelajaran problem based learning (PBL) serta peserta
didik yang menggunakan model konvensional dimana nilaiF = 6,703 lebih
besar dari nilaiF = 2,82pada taraf signifikansi 0.1%.
2. Kemampuan berpikir kritis kelompok peserta didik yang memiliki minat belajar
tinggi yang diajarkan dengan model problem based learning (PBL) lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok peserta didik yang memiliki minat belajar tinggi
yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional dengan nilai t =
3,212> dari nilai t = 1,711 pada taraf signifikansi 0.1%. Selain itu terlihat juga
dari rata-rata kemampuan berpikir kritis kelompok peserta didik yang memiliki
minat belajar tinggi yang diajarkan dengan menggunakan model PBL sebesar
131
85,333 lebih tinggi dari kelompok peserta didik yang diajarkan dengan
menggunakan model pembelajaran konvensional sebesar 78,54.
3. Tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelompok peserta didik
yang memiliki minat belajar rendah yang diajarkan dengan model pembelajaran
problem based learning(PBL) dan kelompok peserta didik yang memiliki minat
belajar rendah yang diajarkan dengan menggunakan model konvensional dengan
nilai t = 0,592< dari nilai t = 1,714 pada taraf signifikansi 0.1%. Dimana
nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis kelompok pesert adidik yang memiliki
minat belajar rendah yang diajarkan dengan menggunakan model PBL sebesar
78,18 hampir sama dengan peserta didik yang menggunakan model pembelajaran
konvensional sebesar 77,71.
4. Terdapat interaksi antara model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan
minat belajar terhadap kemampuan berpikir kritis di kelas VII SMP Yaspenhan-2
Medan. Dimana Nilai F = 2,909 >F = 2,82pada taraf signifikansi 0.1%.
Selain itu diperoleh hasil bahwa rata-rata kemampuan berpikir kritis peserta didik
yang memiliki minat tinggi yang diajarkan dengan menggunakan model problem
based learningyakni sebesar 85,33sedangkan yang diajarkandengan model
konvesional sebesar78,78. Selanjutnya rata-rata kemampuan berpikir kritis peserta
didik yang memiliki minat rendah yang diajarkan dengan menggunakan model
problem based learningyakni sebesar 78,18sedangkan yang diajarkandengan model
konvesional sebesar76,78. Hal ini menunjukkan bahwa interkasi model
pembelajaran PBL dan minat belajar peserta didik jauh lebih baik dalam
meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik dibandingkan dengan
132
interaksi model pembelajaran PBL dengan minat belajar terhadap kemampuan
berpikir kritis peserta didik di kelas VII SMP Yaspenhan-2 sebesar 30,1% dan
sisanya sebesar 69,9% merupakan kontribusi dari variable diluar interaksi model
pembelajaran PBL dengan minat belajar.
5.2 SaranB
Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan pada kesimpulan, maka ada
beberapa hal yang disarankan dalam penelitian ini.
1. Kepada Sekolah, diharapkan agar kiranya secara sungguh-sungguh dalam
mengajarkan murid untuk berpikir kritis dengan merencanakan program sekolah
baik intrakurikuler, ekstrakuriuler maupun kurikuker yang benar-benar
mengajarkan anak untuk berpikir kritis.
2. Kepada semua guru kelas diharapkan agar dapat mengembangkan proses
pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik untuk belajar, sehingga timbul
minatnya untuk belajar.
3. Khusus dalam pembelajaran PKn diharapkan guru lebih dapat menggunakan
model-model pembelajaran bervariatif dan menyenangkan, misalnya model PBL
sehingga tujuan PKn dapat tercapai sepertihalnya mengembangkan kemampuan
berpikir kritis peserta didik. Hal ini karena dari hasil penelitian telah
menyimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran bervariatif yang
didukung oleh minat belajar tinggi secara simultan dapat mengembangkan
kemampuan anak dalam berpikir. Dengan demikian hasil penelitian ini telah
mampu merubah pandangan peserta didik bahwa mata pelajaran PKn bukan
merupakan mata pelajara hafalan dan membosankan, akan tetapi sebagai mata
133
4. Kepada peneliti selanjutnya yang tertarik untuk mengkaji terkait dengan
pembelajaran model PBL khususnya dalam mengembangkan keilmuan dan
134
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Budimansyah, Dasim dan Karim Suryadi (2008). PKn dan Masyarakat Multikultural.
Bandung: Program Studi PKn Sekolah Pascasarjana UPI Bandung.
Budimansyah dan Sapriya (2012). Refleksi Implementasi Project Citizen Dalam
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam Buku Dimensi-Dimensi
Praktik Pendidikan Karakter. Bandung: Widya Aksara Press Chatib, M. (2012). Gurunya Manusia. Bandung: Kaifa
Dewi, Irianti (2014). Integrasi Model Pembelajaran Problem Based Learning dengan
Appreciative Inquiry Approach dalam Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis.Online: http//. www.respisitory.upi.ac.id. diakses pada tanggal 15 Februari 2016.
Djamarah, Syaiful Bahri. (2011). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Febriyani, Rizqi (2013). Keefektifan Problem Based Learning (PBL) terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa kelas IV Sekolah Dasar Negeri 1 Dagan Kabupaten Purbalingga Pada Materi Globalisasi.
Fisher, Alec (2008). Berpikir Kritis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga. Diterjemahkan dari Judul Asli Critical Thinking: An Introduction (2007). Cambridge University Perss.
http//www. ediconnect.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 8 April 2016, pukul 13.00 Wib.Teori Belajar Berpikir Kritis.
Idrus, Muhammad (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendakatan Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.
Indiyanto, B. (2012). Dimensi Pembangunan Karakter dan Strategi Pendidikan. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan. 18 (1). Terakreditasi LIPI Nomor
307/AU1/P2MBI/08/2010
Jhonson, Elaine B (2009). Contextual Teaching Learning: Menjadikan Kegiatan
Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Bandung: Kaifa.
Diterjemahkan dari buku Aslinya Contextual Teaching Learning: What It Is and Why It’s Hero to Stay. Corwin Press, Inc, Thousand Oaks California, 2002.
Komalasari, Kokom (2014). Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi.
Bandung: Reflika Aditama.
Lee, BC, Rooney P, And Parada RH. (2014). Fostering Intentional Learning With System Dynamic Modeling.Australian Juurnal uf Educatiun.Vol.58 (1) 89-103.
Panjaitan, O.M, (2011). Kemampuan Tim Pengembang Kurikulum Merancang
135
Berpikir Kompleks. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 17 (5).
Terakreditasi LIPI Nomor 307/AU1/P2MBI/08/2010.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Nomor 22 Tahun 2006. Tentang Standar Isi. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Nomor 23 Tahun 2006. Tentang Standar
Kompetensi Pendidikan
Rahmat, dkk. (2009). Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung:
Laboraturium Pendidikan Kewarganegaraan UPI
Rohsidin (2010). Efektivitas Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Masalah Dalam Meningkatkan Kecakapan Kewarganegaraan Siswa SMP Sebagai Warga Negara Demokratis (Penelitian Tindakan Kelas Pada Siswa Kelas VIII-2 SMP Negeri 1 Gabuswetan-Kabupaten Indramayu).Online: http//. www.respisitory.upi.ac.id. diakses pada tanggal 15 Februari 2016.
Rusman (2012). Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru.
Jakarta: PT. Raja Grafindo
Santrock, Jhon W. (2004). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana(Diterjemahkan dari buku aslinya Educational Psychology, 2nd Edition), (Mc Graw Hill Company). Cetakan ke-6 Oleh Penerbit Kencana: Jakarta
Sardiman, (2004). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Sugiono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito
Surakhmad, W. (1980) Pengantar Penelitian Ilmiah., Bandung : Tarsito
Suryosubroto. (2009). Proses Belajar Mengajar Di Sekolah. Jakarta: PT. Rianeka Cipta.
Sulianti, Raden (2015) Penelitian Efektivitas Model Problem Based Learning Dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Untuk Meningkatkan Keterampilan Kewarganegaraan Siswa (Studi Quasi Eksperimen di Kelas XI MIA SMA Negeri 1 Cicalengka).Online: http//. www.respisitory.upi.ac.id.
diakses pada tanggal 20 Februari 2016.
Syah, M.(2010). Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers
Suryadi, Ace, dan Budimansyah, Dasim. (2009). Paradigma Pembangunan Pendidikan
Nasional : Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Widya Aksara Pers
Suharkat (2011). Pengaruh Penerapan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah
Terhadap Peningkatan Berpikir Kritis dan Motivasi Instrinsik Siswa Pada Pembealjaran Ilmu Pengetahuan Sosial (Studi Eksperimen Kuasi terhadap Siswa SDN Kiansantang Kelas V dengan Subbidang Studi Ekonomi dan
Sejarah Tahun Pelajaran 2010/2011). Tesis SPS UPI Bandung: Tidak
136
Surya, Mohamad (2015). Strategi Kognitif dalam Proses Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Somantri, N (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja
Rosdakarja
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas
Wahab, A.A. (2008). Metode dan Model-Model Mengajar IPS Bandung: CV Alfabeta.
Warsita, B. (2008). Teknologi Pembelajaran: Landasan dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.