PENGUJIAN BEBERAPA KEHALUSAN TEPUNG BATUAN
SUNGAI DAN PENGEKSTRAK TERHADAP
SIFAT KIMIA ULTISOL
SKRIPSI
OLEH
RICHARD ALEX STEPANUS SINAGA 090301210
ILMU TANAH
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013
PENGUJIAN BEBERAPA KEHALUSAN TEPUNG BATUAN
SUNGAI DAN PENGEKSTRAK TERHADAP
SIFAT KIMIA ULTISOL
SKRIPSI
Oleh
RICHARD ALEX STEPANUS SINAGA 090301210
ILMU TANAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013
Judul Skripsi : Pengujian Beberapa Kehalusan Tepung Batuan Sungai dan Pengekstrak terhadap Sifat Kimia Ultisol
Nama : Richard Alex Stepanus Sinaga
NIM : 090301210
Program Studi : Agroekoteknologi Minat Studi : Ilmu Tanah
Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing
Ketua MP. Bintang, Ir.
Anggota MP. SP., Jamilah,
Mengetahui,
nologi Agroekotek Studi
Program Ketua
Ph.D. M.Agr.Sc., Sabrina,
T. Ir.
ABSTRAK
RICHARD ALEX STEPANUS SINAGA: Pengujian Beberapa Kehalusan Tepung Batuan Sungai dan Pengekstrak terhadap Sifat Kimia Ultisol. Dibimbing oleh BINTANG dan JAMILAH.
Tanah telah mengalami pemiskinan hara di banyak tempat, sementara itu beberapa batuan (agromineral) di Indonesia masih kurang dimanfaatkan. Untuk itu, penelitian ini dilakukan untuk mempercepat ketersediaan hara dengan memperhatikan kehalusan batuan dan penggunaan pengekstrak yang mengandung asam-asam organik. Penelitian ini dilakukan pada April–Juni 2013 di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian USU menggunakan rancangan acak lengkap faktorial 2 faktor, yaitu kehalusan (80, 40, dan 20 mesh) dan pengekstrak (aquades, urine sapi, air nenas, dan air gambut). Parameter yang dianalisis adalah reaksi tanah (pH H2O), C-organik, P-tersedia, basa-basa tukar (K, Na, Ca, dan
Mg), KTK, dan kejenuhan basa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehalusan tepung batuan sungai mampu memperbaiki parameter pH H2O dan K-tukar, tetapi belum mampu
memperbaiki parameter C-organik, P-tersedia, Na-tukar, Ca-tukar, Mg-tukar, KTK, dan kejenuhan basa. Pengekstrak mampu memperbaiki parameter pH H2O,
C-organik, K-tukar, Mg-tukar, dan kejenuhan basa, tetapi belum mampu memperbaiki parameter P-tersedia, Na-tukar, Ca-tukar, dan KTK. Interaksi kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap semua parameter.
Kata Kunci: Tepung Batuan Sungai, Kehalusan, Pengekstrak, Sifat Kimia Ultisol
ABSTRACK
RICHARD ALEX STEPANUS SINAGA: The Testing of Some Fineness of River Rock Dust and Extractors to Ultisol Chemical Propesties. Supervised by BINTANG and JAMILAH.
Soil has suffered impoverishment nutrient in many place, meanwhile rocks (argomineral) in Indonesia still underutilized. Therefore, the research was done to speed up the availability of nutrients with regard fineness of rocks and using organic acid’s extractors. The research has been conducted in April–Juni 2013 at the greenhouse, College of Agriculture–USU using factorial randomized completely design with two factors, i.e. fineness (80, 40, and 20 mesh) and extractors (aquadest/distilled water, cow urine, pineapple juice, and peat water).
The analyzing parameters was soil reaction (pH H2O), C-organic, P-available,
exchange bases (K, Na, Ca, and Mg), CEC, and base saturation.
The result showed that the fineness of river rock dust was able to fix pH
H2O and K-exchange, it hasn’t been able to fix C-organic, P-available,
Na-exchange, Mg-exchange, CEC, and base saturation. The extractors was able
to fix pH H2O, C-organic, K-exchange, Mg-exchange, and base saturation, but it
hasn’t been able to fix P-available, Na-exchange, Ca-exchange, and CEC. Both of treatment interaction hasn’t been able to fix all of the analyzing parameters. Keywords: River Rock Dust, Fineness, Extractors, Ultisol Chemical Properties
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 12 September 1991 dari ayah
Mangadar Tua Sinaga dan ibu Siti Flora Siregar. Penulis merupakan putra ketiga
dari tiga bersaudara.
Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Santo Thomas 3 Medan dan pada
tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih minat studi
Ilmu Tanah, Program Studi Agroekoteknologi.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota seksi sosial
Himpunan Mahasiswa Agroekoteknologi (HIMAGROTEK), sebagai asisten
praktikum di Laboratorium Perbanyakan Vegetatif Tanaman pada tahun 2011 dan
Laboratorium Teknologi Budidaya Tanaman Hortikultura pada tahun 2012.
Penulis memperoleh beasiswa BUMN Peduli Pendidikan dari PT. Angkasa
Pura II (Persero) pada tahun 2011 hingga 2013.
Penulis melaksanakan praktik kerja lapangan (PKL) di PT. Perkebunan
Nusantara III Kebun Bangun Kecamatan Gunung Malela Kabupaten Simalungun
mulai 9 Juli 2012 hingga 6 Agustus 2012.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas
segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pengujian Beberapa Kehalusan Tepung Batuan Sungai dan Pengekstrak
terhadap Sifat Kimia Ultisol”.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih
kepada kedua orang tua yang membesarkan dan mendidik penulis selama ini.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ir. Bintang, MP. dan
Jamilah, SP., MP. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah
membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua staf
pengajar dan pegawai di Program Studi Agroekoteknologi, kepada teman-teman
Agroekoteknologi dan Ilmu Tanah 2009 yang telah membantu selama penelitian
berlangsung, dan pihak-pihak lain yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
pihak yang membutuhkan.
Medan, Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Pelaksanaan Penelitian ... 25
Pengambilan dan persiapan sampel tanah ... 25
Persiapan tepung batuan sungai ... 25
Persiapan pengekstrak ... 25
Aplikasi perlakuan ... 26
Parameter Pengamatan ... 26
Sebelum inkubasi ... 26
Sesudah inkubasi ... 27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Reaksi Tanah (pH H2O) ... 28
C-organik ... 30
P-tersedia ... 31
K-tukar ... 33
Na-tukar ... 34
Ca-tukar ... 36
Mg-tukar ... 37
Kapasitas Tukar Kation (KTK) ... 38
Kejenuhan Basa ... 40
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 42
Saran ... 42
DAFTAR PUSTAKA ... 43
LAMPIRAN ... 46
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Kandungan unsur kimia dalam kerak bumi yang bobotnya >1 persen .... 7
2. Rataan reaksi tanah (pH H2O) ultisol pengaruh interaksi beberapa
kehalusan tepung batuan sungai dan pengekstrak pada inkubasi 4 minggu ... 29
3. Rataan C-organik ultisol pengaruh interaksi beberapa kehalusan tepung batuan sungai dan pengekstrak pada inkubasi 4 minggu ... 30
4. Rataan P-tersedia ultisol pengaruh interaksi beberapa kehalusan tepung batuan sungai dan pengekstrak pada inkubasi 4 minggu ... 32
5. Rataan K-tukar ultisol pengaruh interaksi beberapa kehalusan tepung batuan sungai dan pengekstrak pada inkubasi 4 minggu ... 33
6. Rataan Na-tukar ultisol pengaruh interaksi beberapa kehalusan tepung batuan sungai dan pengekstrak pada inkubasi 4 minggu ... 35
7. Rataan Ca-tukar ultisol pengaruh interaksi beberapa kehalusan tepung batuan sungai dan pengekstrak pada inkubasi 4 minggu ... 36
8. Rataan Mg-tukar ultisol pengaruh interaksi beberapa kehalusan tepung batuan sungai dan pengekstrak pada inkubasi 4 minggu ... 37
9. Rataan KTK ultisol pengaruh interaksi beberapa kehalusan tepung batuan sungai dan pengekstrak pada inkubasi 4 minggu ... 39
10. Rataan kejenuhan basa ultisol pengaruh interaksi beberapa kehalusan tepung batuan sungai dan pengekstrak pada inkubasi 4 minggu ... 40
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1. Data analisis awal ultisol Kwala Bekala ... 46
2. Data analisis tepung batuan sungai PT. Supra Trackindo ... 46
3. Data analisis pengektrak ... 46
4. Bagan penelitian ... 47
5. Data analisis pH H2O tanah inkubasi 4 minggu ... 48
6. Daftar sidik ragam analisis pH H2O tanah inkubasi 4 minggu ... 48
7. Tabel dwi kasta (H×P) pH H2O tanah inkubasi 4 minggu ... 48
8. Data analisis C-organik (%) tanah inkubasi 4 minggu... 49
9. Daftar sidik ragam analisis C-organik tanah inkubasi 4 minggu ... 49
10. Tabel dwi kasta (H×P) C-organik tanah inkubasi 4 minggu ... 49
11. Data analisis P-tersedia (ppm) tanah inkubasi 4 minggu ... 50
12. Daftar sidik ragam analisis P-tersedia tanah inkubasi 4 minggu ... 50
13. Tabel dwi kasta (H×P) P-tersedia tanah inkubasi 4 minggu ... 50
14. Data analisis K-dd (me/100 g) tanah inkubasi 4 minggu ... 51
15. Daftar sidik ragam analisis K-dd tanah inkubasi 4 minggu ... 51
16. Tabel dwi kasta (H×P) K-dd tanah inkubasi 4 minggu ... 51
17. Data analisis Na-dd (me/100 g) tanah inkubasi 4 minggu ... 52
18. Daftar sidik ragam analisis Na-dd tanah inkubasi 4 minggu ... 52
19. Tabel dwi kasta (H×P) Na-dd tanah inkubasi 4 minggu ... 52
20. Data analisis Ca-dd (me/100 g) tanah inkubasi 4 minggu ... 53
21. Daftar sidik ragam analisis Ca-dd tanah inkubasi 4 minggu ... 53
22. Tabel dwi kasta (H×P) Ca-dd tanah inkubasi 4 minggu ... 53
23. Data analisis Mg-dd (me/100 g) tanah inkubasi 4 minggu ... 54
24. Daftar sidik ragam analisis Mg-dd tanah inkubasi 4 minggu ... 54
25. Tabel dwi kasta (H×P) Mg-dd tanah inkubasi 4 minggu ... 54
26. Data analisis KTK (me/100 g) tanah inkubasi 4 minggu ... 55
27. Daftar sidik ragam analisis KTK tanah inkubasi 4 minggu ... 55
28. Tabel dwi kasta (H×P) KTK tanah inkubasi 4 minggu ... 55
29. Data analisis kejenuhan basa (%) tanah inkubasi 4 minggu ... 56
30. Daftar sidik ragam analisis kejenuhan basa tanah inkubasi 4 minggu ... 56
31. Tabel dwi kasta (H×P) kejenuhan basa tanah inkubasi 4 minggu ... 56
32. Data analisis keseluruhan parameter tanah inkubasi 4 minggu ... 57
33. Rataan analisis keseluruhan parameter tanah inkubasi 4 minggu ... 58
34. Foto tepung batuan sungai dan pengekstrak ... 58
35. Foto aplikasi perlakuan tepung batuan sungai + aquades ... 59
36. Foto aplikasi perlakuan tepung batuan sungai + urine sapi ... 59
37. Foto aplikasi perlakuan tepung batuan sungai + air nenas ... 59
38. Foto aplikasi perlakuan tepung batuan sungai + air gambut ... 59
39. Foto aplikasi perlakuan dengan ultisol Kwala Bekala ... 60
40. Foto supervisi lapangan oleh komisi pembimbing ... 60
41. Foto sampel tanah aplikasi tepung batuan sungai 80 mesh... 61
42. Foto sampel tanah aplikasi tepung batuan sungai 40 mesh... 62
43. Foto sampel tanah aplikasi tepung batuan sungai 20 mesh... 63
44. Foto sampel tanah aplikasi pengekstrak ... 64
ABSTRAK
RICHARD ALEX STEPANUS SINAGA: Pengujian Beberapa Kehalusan Tepung Batuan Sungai dan Pengekstrak terhadap Sifat Kimia Ultisol. Dibimbing oleh BINTANG dan JAMILAH.
Tanah telah mengalami pemiskinan hara di banyak tempat, sementara itu beberapa batuan (agromineral) di Indonesia masih kurang dimanfaatkan. Untuk itu, penelitian ini dilakukan untuk mempercepat ketersediaan hara dengan memperhatikan kehalusan batuan dan penggunaan pengekstrak yang mengandung asam-asam organik. Penelitian ini dilakukan pada April–Juni 2013 di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian USU menggunakan rancangan acak lengkap faktorial 2 faktor, yaitu kehalusan (80, 40, dan 20 mesh) dan pengekstrak (aquades, urine sapi, air nenas, dan air gambut). Parameter yang dianalisis adalah reaksi tanah (pH H2O), C-organik, P-tersedia, basa-basa tukar (K, Na, Ca, dan
Mg), KTK, dan kejenuhan basa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehalusan tepung batuan sungai mampu memperbaiki parameter pH H2O dan K-tukar, tetapi belum mampu
memperbaiki parameter C-organik, P-tersedia, Na-tukar, Ca-tukar, Mg-tukar, KTK, dan kejenuhan basa. Pengekstrak mampu memperbaiki parameter pH H2O,
C-organik, K-tukar, Mg-tukar, dan kejenuhan basa, tetapi belum mampu memperbaiki parameter P-tersedia, Na-tukar, Ca-tukar, dan KTK. Interaksi kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap semua parameter.
Kata Kunci: Tepung Batuan Sungai, Kehalusan, Pengekstrak, Sifat Kimia Ultisol
ABSTRACK
RICHARD ALEX STEPANUS SINAGA: The Testing of Some Fineness of River Rock Dust and Extractors to Ultisol Chemical Propesties. Supervised by BINTANG and JAMILAH.
Soil has suffered impoverishment nutrient in many place, meanwhile rocks (argomineral) in Indonesia still underutilized. Therefore, the research was done to speed up the availability of nutrients with regard fineness of rocks and using organic acid’s extractors. The research has been conducted in April–Juni 2013 at the greenhouse, College of Agriculture–USU using factorial randomized completely design with two factors, i.e. fineness (80, 40, and 20 mesh) and extractors (aquadest/distilled water, cow urine, pineapple juice, and peat water).
The analyzing parameters was soil reaction (pH H2O), C-organic, P-available,
exchange bases (K, Na, Ca, and Mg), CEC, and base saturation.
The result showed that the fineness of river rock dust was able to fix pH
H2O and K-exchange, it hasn’t been able to fix C-organic, P-available,
Na-exchange, Mg-exchange, CEC, and base saturation. The extractors was able
to fix pH H2O, C-organic, K-exchange, Mg-exchange, and base saturation, but it
hasn’t been able to fix P-available, Na-exchange, Ca-exchange, and CEC. Both of treatment interaction hasn’t been able to fix all of the analyzing parameters. Keywords: River Rock Dust, Fineness, Extractors, Ultisol Chemical Properties
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanah merupakan penentu keberhasilan usaha pertanian karena tanah
sebagai medium tumbuh tanaman dijumpai unsur hara. Di dalam tanah juga
berlangsung pertukaran ion, terdapat larutan tanah dengan muatan listrik dan
koloid tanah serta memiliki kapasitas tukar kation dan anion, dan ketersediaan
unsur hara itu sendiri. Kesuburan tanah diberi batasan sebagai mutu kemampuan
suatu tanah untuk menyediakan unsur hara pada takaran dan kesetimbangan
tertentu secara berkesinambungan, untuk menunjang pertumbuhan suatu jenis
tanaman pada lingkungan dengan faktor pertumbuhan lainnya dalam keadaan
menguntungkan (Damanik, dkk, 2011).
Saat ini di banyak tempat, tanah mengalami pemiskinan unsur hara,
sehingga menjadi tidak subur untuk tanaman. Sehingga dibutuhkan suatu teknik
untuk mengembalikan kesuburan tanah seperti teknik pemineralan kembali pada
tanah (Soil Remineralization; SR). SR membentuk tanah-tanah subur dengan cara mengembalikan mineral-mineral ke dalam tanah secara alami, seperti
menghancurkan batuan menjadi tanah (Warmada dan Titisari, 2004).
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai
sebaran luas mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan
Indonesia. Sehingga tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari
datar hingga berbukit (Subagyo, dkk, 2004).
Ditinjau dari luasnya, ultisol mempunyai potensi tinggi untuk
pengembangan pertanian lahan kering. Namun demikian, pemanfaatan tanah ini
menghadapi kendala karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan
tanaman, di antaranya kemasaman tanah tinggi (pH rata-rata 4,50), kejenuhan Al
tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca, Mg, dan kandungan
bahan organik rendah (Hardjowigeno, 1993).
Batuan dan mineral dapat berperan cukup potensial di bidang pertanian,
karena di dalam beberapa mineral dan batuan terkandung nutrisi-nutrisi penting
yang dapat digunakan untuk mempertahankan dan menambah produktivitas lahan
maupun hasil pertanian yang disebut sebagai agromineral. Batuan alam mengandung banyak unsur hara esensial yang dibutuhkan bagi pertumbuhan
tanaman. Hampir semua pupuk buatan berasal dari batuan yang diproses secara
kimiawi, yaitu batuan yang telah dimodifikasi secara kimia, ditambah dengan
beberapa nutrisi mikro yang sering dibutuhkan oleh tanaman, seperti kalsium (Ca),
magnesium (Mg), sulfur (S), tembaga (Cu), kobalt (Co), besi (Fe), dan sebagainya
(Basyuni, 2009).
Agromineral pada umumnya hanya diubah secara fisik, misalnya dengan
penumbukan dan pemecahan. Walaupun kadang perlu pengolahan untuk beberapa
batuan dan mineral turunan yang mempergunakan sejumlah zat kimia tertentu
digabungkan dengan agromineral, akan tetapi hanya merupakan teknik sederhana
dan bertujuan agar pemakaian dapat lebih optimal. Oleh karena itu agromineral
diharapkan menjadi satu alternatif pengganti pupuk yang lebih murah dan lebih
mudah diperoleh untuk menambah nutrisi tanaman serta memperbaiki struktur
tanah, dengan cara memanfaatkan sumber daya geologi yang terdapat di sekitar
lahan pertanian tersebut (Warmada dan Titisari, 2004).
Beberapa dari batuan dan mineral tersebut hanya dapat agak larut dalam
waktu yang pendek tetapi dapat melepaskan kandungan nutrien ke dalam tanah
untuk waktu yang lama dan memasok nutrisi secara perlahan
(slow release). Beberapa cara yang dapat dilakukan agar unsur hara cepat tersedia
bagi tanaman, yaitu memperhatikan tingkat kehalusan batuan dan penggunaan
pelarut berupa larutan asam kuat yang mampu mempercepat ketersediaan hara
(Priyono, 2005).
Asam-asam organik dan CO2 yang merupakan hasil pelapukan dari bahan
organik berpengaruh terhadap ketersediaan hara di dalam tanah. Asam-asam
organik seperti asam malonat, tartarat, humat, fulvik akan menghasilkan anion
organik. Anion-anion organik ini dapat mengikat logam-logam seperti Al, Fe, dan
Ca dari dalam larutan tanah, kemudian membentuk senyawa komplek yang
bersifat sukar larut. Dengan pengikatan Al, Fe, dan Ca ini, ion-ion akan bebas dari
pengikatan logam tersebut sehingga tersedia di dalam larutan tanah. Proses
pengikatan logam tersebut oleh senyawa asam-asam organik kompleks disebut
khelasi dan senyawa kompleksnya disebut khelat (Damanik, dkk, 2011).
Air gambut mengandung senyawa organik terlarut yang menyebabkan air
menjadi berwarna coklat dan bersifat asam. Senyawa organik tersebut adalah
asam humus yang terdiri dari asam humat, asam fulvat dan humin. Asam humus
adalah senyawa organik dengan berat molekul tinggi dan berwarna coklat sampai
kehitaman, terbentuk karena pembusukan tanaman dan hewan, sangat tahan
terhadap mikroorganisme dalam waktu yang cukup lama (Notodarmojo, 1994).
Di sisi lain, pemanfaatan bahan organik sebagai bahan dasar pupuk dapat
diperoleh dari alam dengan jumlah dan jenis unsur hara yang terkandung secara
alami dan beragam. Salah satu sumber bahan organik tersebut berasal dari urine
sapi. Potensi urine sapi yang dapat dimanfaatkan sekitar 15-20 liter/hari/ekor sapi
dengan kandungan unsur hara makro dan mikro yang lengkap (Deptan, 2012).
Nenas (Ananas comosus) merupakan buah yang cukup popular yang bisa kapan saja kita peroleh dikarenakan buah nenas ini tak mengenal musim. Dari
berbagai macam bahan baku yang dapat digunakan dalam proses produksi asam
sitrat, nenas dapat digunakan sebagai salah satu bahan baku asam sitrat. Pada kulit
nenas umumnya lebih banyak terdapak kadar asam sitrat, yaitu sekitar 5,5%,
dibandingkan pada daging sekitar 2%, dan bonggol nenas sekitar 3%
(Nuswamarhaeni, dkk, 1999).
Aplikasi batuan alam, seperti halnya batuan yang berasal dari sungai,
memberikan pengaruh yang positif terhadap sifat fisik dan kimia dalam tanah.
Menurut Tarigan (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa aplikasi kompos
jerami padi yang diperkaya tepung batuan menunjukkan bahwa pada dosis 50 g
kompos jerami + 175 g tepung batuan sungai, kandungan P-tersedia tanah sebesar
31,13 ppm dan K-dd tanah sebesar 3,59 me/100 g, sedangkan pada dosis 50 g
kompos jerami + 350 g tepung batuan sungai, kandungan P-tersedia tanah sebesar
130,66 ppm dan K-dd tanah sebesar 3,58 me/100 g.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk menguji
kemampuan tepung batuan sungai dalam memperbaiki beberapa sifat kimia tanah
ultisol yang dipercepat dengan memperhatikan kehalusan tepung batuan dan
pengekstrak yang mengandung asam-asam organik. Ketersediaan bahan baku
yang cukup di Indonesia memungkinkan keberhasilan pengaplikasian teknik ini
sebagai pengganti pupuk yang murah dan ramah lingkungan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan tepung batuan sungai
dalam memperbaiki beberapa sifat kimia tanah ultisol yang dipercepat dengan
memperhatikan kehalusan dan pengekstrak yang digunakan.
Hipotesis Penelitian
Peningkatan kehalusan tepung batuan sungai yang dilarutkan dengan
pengekstrak yang mengandung asam-asam organik serta interaksi keduanya,
mampu memperbaiki beberapa sifat kimia tanah ultisol.
Kegunaan Penulisan
Penulisan skripsi ini berguna sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan dan sebagai
informasi bagi pihak yang membutuhkan dalam pemanfaatan potensi tepung
batuan sungai.
TINJAUAN PUSTAKA
Batuan sebagai Penyedia Hara
Batuan adalah material alam yang tersusun atas kumpulan (agregat)
mineral baik yang terkonsolidasi maupun yang tidak terkonsolidasi yang
merupakan penyusun utama kerak bumi serta terbentuk sebagai hasil proses alam.
Batuan bisa mengandung satu atau beberapa mineral. Atas dasar cara
terbentuknya, batuan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu batuan beku,
sebagai hasil proses pembekuan atau kristalisasi magma; batuan sedimen, sebagai
hasil proses sedimentasi; dan batuan metamorf, sebagai hasil proses
metamorfisme (Warmada dan Titisari, 2004).
Sekitar 98 persen kerak bumi tersusun dari delapan unsur kimia, dan unsur
oksigen dan silikon menyusun 75 persen dari jumlah tersebut. Banyak unsur yang
penting bagi pertumbuhan tanaman dan hewan terdapat dalam jumlah kecil.
Sebagian besar unsur kerak bumi telah berkombinasi dengan satu atau lebih unsur
lainnya untuk membentuk senyawa-senyawa yang disebut mineral. Mineral-mineral tersebut pada umumnya terdapat dalam campuran untuk membentuk
batuan bumi. Sebagai contoh, batu kapur merupakan batuan sedimen yang
penting dan terdiri atas sebagian besar kalsium dan magnesium karbonat serta
jumlah mineral-mineral lain yang jumlahnya bervariasi sebagai selingan.
Mineral-mineral yang dominan dalam batuan-batuan ini adalah feldspar, amfibol, piroksen,
kuarsa, mika mineral tanah liat, limonit (oksida besi), dan mineral-mineral
karbonat (Foth,1994). Komposisi unsur kimia yang menyusun kerak bumi dapat
Tabel 1. Kandungan unsur kimia dalam kerak bumi yang bobotnya >1 persen
Agromineral adalah mineral-mineral yang bermanfaat bagi
perkembangbiakan tumbuhan, seperti mineral-mineral yang mengandung nitrogen,
karbon, fosfor, potassium, belerang, kalsium, magnesium, boron, zeolit, dan perlit
(van Straaten, 1999). Tanaman memerlukan nutrien untuk tumbuh, di antaranya
nitrogen, fosfat, potassium, kalsium, magnesium, sulfur, dan mikroelemen lain,
yang tidak dipunyai oleh tanah yang kurang subur. Sumber fosfat umumnya
diperoleh dari batuan fosfat. Batuan fosfat ini tidak dapat digunakan langsung
sebagai pupuk disebabkan oleh sifat daya larutnya yang terlalu kecil dalam air
sehingga diusahakan untuk merubahnya menjadi senyawa fosfat yang mudah larut
dalam air, sehingga mudah diserap oleh akar tumbuh-tumbuhan (Basyuni, 2009).
Salah satu bahan induk yang banyak mengandung unsur-unsur hara yang
penting bagi tanaman adalah bahan induk yang berasal dari batuan beku. Proses
pelepasan hara dari batuan beku berbeda-beda, ada yang mudah melepaskan
elemen/hara ke dalam larutan tanah dan ada juga yang sangat lambat. Hal ini
disebabkan karena setiap jenis batuan beku mengandung mineral yang
berbeda-beda dan memiliki ketahanan yang berberbeda-beda pula (Ibrahim dan Ahmad, 2012).
Proses pelapukan menyebabkan terubahnya batuan asal menjadi material
mempercepat terurainya ikatan kimia mineral pada batuan. Proses pelapukan
dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a) Pelapukan fisik, yang mengakibatkan
pengurangan ukuran partikel; dan b) Pelapukan kimia, yang menyebabkan mineral
pada batuan mengalami dekomposisi (Warmada dan Titisari, 2004).
Di alam, pelapukan fisik dan kimia dapat terjadi serempak. Keduanya
biasanya mengawali proses pembentukan tanah dari batuan keras. Telah
dilaporkan bukti bahwa bahan organik mempunyai pengaruh nyata terhadap
pelapukan. Dalam beberapa kasus, tingkat pelapukan yang dirangsang oleh bahan
organik tanah dapat lebih penting daripada yang dihasilkan oleh reaksi kimia saja.
Melalui dekomposisi bahan organik, sejumlah senyawa organik dilepaskan atau
dibentuk. Kebanyakan dari senyawa-senyawa organik tersebut, seperti asam-asam
fluvat dan humat, mempunyai kapasitas untuk mengkhelat atau mengkompleks
ion-ion logam (Tan, 1998).
Pemberian dua macam bahan yang berlainan dalam jumlah setara pada
tanah tidak berarti bahwa hasil yang dicapai harus sama. Hal ini benar adanya
apabila kedua bahan tersebut memiliki butir-butir berlainan, baik dalam besar
maupun dalam kekerasan. Hal yang sudah jelas diketahui bahwa semakin halus
suatu bahan, maka semakin cepat pula larut dan bereaksi dalam tanah
(Buckman dan Brady, 1982).
Tingkat kelarutan akan menentukan kualitas batuan yang digunakan secara
langsung sebagai pupuk. Demikian pula kehalusan atau ukuran butir pupuk,
makin halus ukuran butir maka kelarutannya makin tinggi. Namun beberapa
batuan kelarutannya ditentukan oleh sifat reaktivitas kimianya (Hartatik, 2011).
yang digiling halus sangat potensial untuk dapat digunakan sebagai pupuk yang
secara agronomis lebih efektif atau sama efektifnya dengan pupuk kimia (dalam
bentuk senyawa garam mudah larut dalam air).
Aplikasi Pengekstrak
Beberapa cara praktis untuk mempercepat pelarutan hara dari batuan ke
dalam larutan tanah telah dikaji, misalnya melalui pengasaman (acidulation) dengan asam kuat dan penggilingan intensif. Teknik tersebut telah digunakan
untuk memproduksi pupuk dan ternyata dapat meningkatkan efektivitas dari
berbagai jenis mineral silikat, fosfat alam, basalt, dan K-feldspar (Priyono, 2005).
Asam-asam organik, merupakan bagian dari bahan organik, adalah hasil
kegiatan jasad hidup baik yang terdapat di dalam maupun di permukaan batuan.
Senyawa ini umumnya merupakan hasil buangan (sekresi, eksudat) atau pun
rombakan. Asam-asam ini, seperti asam anorganik umumnya karena pada gugus
fungsionalnya dapat mengalami disosiasi yang melepaskan proton (H+) dan proton ini dapat menyerang mineral batuan. Selain itu sisa asamnya (anion organik) dapat
membentuk senyawa kompleks dengan kation-kation pada tepi mineral atau
kation yang terlepas dari mineral. Dengan demikian asam-asam ini nyata berperan
dalam pelapukan kimia (Ismagil dan Hanudin, 2005).
Pelapukan kimia di alam ini hanya dapat berlangsung apabila ada air,
namun adanya asam-asam pelapukan tersebut dipercepat. Peran asam anorganik
ataukah asam organik yang mempercepat pelapukan mineral merupakan
pertanyaan yang sulit dijawab. Namun, dari kenyataan tanah atau batuan yang
diperkirakan bahwa asam organik lebih besar peranannya dalam pelapukan
daripada asam-asam anorganik(Sposito, 1994).
Pengaruh asam-asam organik dalam degradasi mineral batuan berupa
reaksi pelarutan. Proses pelarutan ini sebenarnya adalah reaksi terbaginya zat
padat, mineral, ke dalam air atau larutan asam organik. Reaksi kimia yang utama
pada pelarutan adalah hidrolisis, kemudian hidrolisis yang dipacu dengan adanya
asam (Ismagil dan Hanudin, 2005).
Beberapa bahan yang diaplikasikan sebagai pengekstrak merupakan
bahan-bahan yang mengandung asam-asam organik bertujuan dalam
meningkatkan kelarutan agromineral antara lain urine sapi, air nenas, dan air
gambut. Berdasarkan literatur Deptan (2012), pupuk organik merupakan pupuk
dengan bahan dasar yang diambil dari alam dengan jumlah dan jenis unsur hara
yang terkandung secara alami. Pupuk organik juga merupakan salah satu bahan
yang berperan dalam upaya memperbaiki kesuburan tanah secara aman.
Urine sapi merupakan cairan dari proses pembuangan sisa metabolisme
oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh sapi melalui proses
urinasi. Berbeda dengan pupuk buatan yang hanya mengandung satu nutrisi saja,
pupuk organik yang dibuat dari urine sapi mengandung nutrisi yang beragam dan
seimbang. Untuk mengolahnya menjadi pupuk organik cair, urine sapi harus
difermentasi dalam kondisi anaerob (Affandi, 2011).
Buah nenas merupakan salah satu buah yang dapat digunakan sebagai
pupuk organik cair karena mampu menghasilkan mikroorganisme dari hasil
fermentasinya. Kandungan kimia buah nenas dari bagian buah sangat bervariasi
nenas mengandung protein 0,4%, gula 12-15%, asam 0,6% (terbanyak 85%
asam sitrat), air 80-85%, dan vitamin. Asam organik utama yang terdapat dalam
buah nenas adalah asam sitrat, yang merupakan asam tidak menguap yang
terbanyak dalam buah nenas. Selain asam sitrat, dalam buah nenas juga terdapat
asam malat dan asam oksalat. Dalam ekstrak buah nenas terdapat enzim bromelin
yang dapat langsung digunakan (Wirakusumah, 2000).
Pada gambut, dekomposisi bahan organik dalam suasana anaerob
menghasilkan senyawa-senyawa organik seperti protein, asam-asam organik, dan
senyawa pembentuk humus. Asam-asam organik tersebut berwarna hitam dan
membuat suasana tanah menjadi masam dan beracun bagi tanaman. Kisaran pH
tanah gambut antara 3 hingga 5. Rendahnya pH ini menyebabkan sejumlah unsur
hara seperti N, Ca, Mg, K, Bo, Cu, dan Mo tidak tersedia bagi tanaman. Unsur
hara makro fosfat juga berada dalam jumlah yang rendah karena gambut sulit
mengikat unsur ini sehingga mudah tercuci. Kemasaman yang tinggi (pH rendah)
juga menyebabkan tidak aktifnya mikroorganisme, terutama bakteri tanah
sehingga pertumbuhan cendawan merajalela dan reaksi tanah yang didukung oleh
bakteri seperti fiksasi nitrogen dan mineralisasi gambut menjadi terhambat
(Najiyati, dkk, 2005).
Sifat Kimia Ultisol
Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temperate sampai tropis. Di Indonesia, ultisol merupakan daerah terluas dari lahan kering yang
tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, serta sebagian kecil di
Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat
masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk ini adalah batuan
sedimen masam. Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah
permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran
permukaan dan erosi tanah. Umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al
dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara
terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, dan peka
terhadap erosi (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Ultisol memiliki KTK sebesar kurang dari 24 cmol(+)/kg liat (dengan
NH4OAc 1 N pH 7), pada 50 persen atau lebih dari (berdasarkan volume) horison
argilik apabila ketebalannya kurang dari 100 cm atau pada 100 cm bagian atas
horison tersebut. Kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) sebesar kurang dari
35% pada kedalaman 125 cm di bawah atas horison argilik (tetapi tidak lebih dari
200 cm di bawah permukaan tanah mineral), atau 180 cm di bawah permukaan
tanah mineral (Soil Survey Staff, 1998).
Kejenuhan basa menurun sesuai kedalaman, mencerminkan terjadinya
daur basa-basa oleh tanaman atau adanya penambahan dari pupuk. Pada tanah
yang tidak diolah, kejenuhan basa tertinggi normalnya pada beberapa cm
langsung di bawah permukaan. Tanah ini dapat diubah menjadi produktif tinggi
jika diberikan pemupukan (Rachim dan Arifin, 2011).
Reaksi tanah pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5-3,10),
kecuali yang berasal dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga
agak masam (pH 6,80-6,50). Kandungan hara umumnya rendah karena
rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi
(Prasetyo, dkk, 2000).
Reaksi Tanah (pH)
Nilai pH tanah tidak sekedar menunjukkan suatu tanah asam atau alkali,
tetapi juga memberikan informasi tentang sifat-sifat tanah yang lain seperti
ketersediaan fosfor, status kation-kation basa dan unsur racun (Mukhlis, 2007).
Literatur Hakim, dkk (1986) menyatakan bahwa dalam keadaan yang sangat
masam, Al menjadi sangat larut yang dijumpai dalam bentuk kation Al3+ dan hidroksida Al. Kedua ion Al itu lebih mudah terjerap pada koloid liat daripada ion
H. Oleh karena Al berada dalam larutan tanah mudah terhidrolisis, maka Al
merupakan penyebab kemasaman atau penyumbang ion H. Ion H yang
dibebaskan secara demikian akan memberikan nilai pH rendah bagi larutan tanah
dan mungkin merupakan sumber utama ion H dalam sebagian besar tanah masam.
Nilai pH tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi
tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. pH
optimum untuk ketersediaan unsur hara tanah sekitar 7,0 karena pada pH ini
semua unsur makro tersedia secara maksimum sedangkan unsur hara mikro tidak
maksimum kecuali Mo, sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas unsur mikro
tertekan. Pada pH di bawah 6,5 dapat terjadi defisiensi P, Ca, dan Mg serta
toksisitas B, Mn, Cu, dan Fe, sedangkan pada pH di atas 7,5 dapat terjadi
defisiensi P, B, Fe, Mn, Cu, Zn, Ca, dan Mg, juga keracunan B dan Mo
(Hanafiah, 2005).
Masalah kemasaman tanah pada umumnya ditangani dengan cara
mengandung senyawa Ca dan Mg dapat digunakan sebagai bahan pengapuran
untuk menetralisir kemasaman tanah, yaitu meningkatkan pH tanah yang
pada dasarnya meningkatkan kandungan Ca dan menurunkan kadar Al
(Kusdarto, 2005).
C-organik
Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya pertanian. Hal ini
dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika maupun
biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik tanah dilakukan berdasarkan
jumlah C-organik (Andre, 2009).
Bahan organik di dalam tanah dapat mempengaruhi ketersediaan P melalui
dekomposisinya yang menghasilkan asam organik dan CO2. Asam-asam organik
akan menghasilkan anion organik yang bersifat mengikat ion-ion seperti Al, Fe,
dan Ca dalam larutan tanah. Dengan demikian konsentrasi ion Al, Fe, dan Ca
yang bebas dalam larutan tanah akan berkurang sehingga diharapkan P tersedia
akan lebih meningkat. Dengan kata lain, kecepatan pelepasan P dari bentuk tidak
tersedia menjadi bentuk tersedia adalah sangat bergantung pada pH tanah dan
bahan organik (Santoso, 1998).
Berdasarkan literatur Hanafiah (2005) menyatakan bahwa dari pelapukan
bahan organik akan dihasilkan asam humat, asam fulvat, dan asam-asam organik
lainnya. Asam-asam tersebut dapat mengikat logam seperti Al dan Fe, sehingga
mampu mengurangi kemasaman tanah dan P akan lebih tersedia. Anion-anion
organik seperti sitrat, asetat, tartarat, dan oksalat yang dibentuk selama pelapukan
hidroksida-hidroksida Al, Fe, dan Ca dengan bereaksi membentuk senyawa
kompleks.
P-tersedia
Ketersediaan fosfor tanah untuk tanaman sangat dipengaruhi oleh sifat dan
ciri tanah itu sendiri. Pada ultisol, tidak tersedia dan tidak terlarutnya P
disebabkan fiksasi oleh mineral-mineral liat dan ion-ion Al dan Fe yang
membentuk senyawa kompleks yang tidak larut. Ada beberapa faktor yang turut
mempengaruhi ketersediaan P tanah, yaitu tipe liat, pH tanah, waktu reaksi,
temperatur, dan bahan organik tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Fosfor diserap tanaman dalam bentuk H2PO4-, HPO42-, dan PO43-, atau
tergantung dari nilai pH tanah. Fosfor sebagian besar berasal dari pelapukan
batuan mineral alami, sisanya berasal dari pelapukan bahan organik. Walaupun
sumber fosfor di dalam tanah mineral cukup banyak, tanaman masih bisa
mengalami kekurangan fosfor (Novizan, 2002).
Fosfor lebih mudah larut pada tanah yang memiliki pH rendah (masam),
sebaliknya pada tanah dengan pH tinggi, kelarutannya menurun. Oleh karena itu,
fosfor tidak sesuai diaplikasikan pada tanah yang bereaksi netral hingga alkalis.
Kadar Ca yang tinggi dalam tanah akan menghambat kelarutan fosfor
(Hartatik, 2011).
Umumnya, P sukar tercuci oleh air hujan maupun air irigasi disebabkan
karena P bereaksi dengan ion dan membentuk senyawa yang tingkat kelarutannya
berkurang. Bahkan sebagian menjadi ion yang tidak tersedia untuk tanaman atau
Basa-basa Tukar
Secara teknis, basa adalah proton akseptor seperti ion OH sedangkan asam
adalah proton donor seperti ion H. Walaupun demikian, kation-kation seperti K,
Na, Ca, dan Mg yang dapat dipertukarkan semuanya berkaitan dengan
senyawa-senyawa dalam tanah seperti K2CO3, Na2CO3, CaCO3, dan, MgCO3 yang
reaksinya lebih basa dari asam. Untuk alasan ini, maka K, Na, Ca, dan Mg
umumnya diacu sebagai basa-basa yang dapat dipertukarkan, sedangkan H pada
umumnya disebut asam yang dapat dipertukarkan (Foth, 1994).
Kalium
Kalium diserap tanaman dalam bentuk ion K+. Di dalam tanah, ion tersebut bersifat sangat dinamis. Tak mengherankan jika mudah tercuci pada tanah
berpasir dan tanah dengan pH rendah. Bagi tanaman, ketersediaan kalium pada
posisi ini agak lambat. Kandungan kalium sangat tergantung dari jenis mineral
pembentuk tanah dan kondisi cuaca setempat (Novizan, 2002).
Kalium adalah unsur hara makro ketiga yang dibutuhkan tanaman dalam
jumlah yang relatif banyak setelah nitrogen dan fosfor, bahkan terkadang melebihi
jumlah nitrogen sepeti halnya pada tanaman yang menghasilkan umbi. Kadar
kalium total di dalam tanah umumnya cukup tinggi dan diperkirakan mencapai
2,6% dari total bobot tanah, tetapi kalium yang tersedia di dalam tanah cukup
rendah (Damanik, dkk, 2011).
Kalium merupakan unsur yang paling mudah mengadakan persenyawaan
dengan unsur atau zat lainnya, misalnya khlor dan magnesium. Pada tanaman
kalium berfungsi untuk mempercepat pembentukan karbohidrat, memperkokoh
serta kekeringan, dan meningkatkan kualitas biji. Kalium memiliki sifat yang
mudah larut, mudah terbawa (tercuci), dan mudah terfiksasi pada tanah.
Sumber kalium antara lain beberapa jenis mineral, sisa-sisa tanaman dan
jasad renik, air irigasi, abu pembakaran tanaman, maupun pupuk anorganik
(Sutedjo dan Kartasapoetra, 1988).
Pada dasarnya, kalium dalam tanah berada dalam mineral yang melapuk
dan melepaskan ion-ion kalium. Ion-ion tersebut diserap pada pertukaran kation
dan siap tersedia untuk diambil oleh tanaman. Kalium yang tersedia menumpuk
pada tanah dengan kelembaban lebih kering tanpa adanya pencucian. Pada
umumnya tanah-tanah seperti ini bereaksi netral maupun basa sehingga tidak
membutuhkan pengapuran dan pemupukan, bahkan memiliki produktivitas yang
tinggi. Tanah organik biasanya miskin kalium dikarenakan tanah tersebut
mengandung sedikit mineral kalium (Foth, 1994).
Natrium
Natrium merupakan penyusun lithosfer keenam setelah kalsium, yaitu
2,75% yang berperan penting dalam menentukan karakteristik tanah dan
pertumbuhan tanaman terutama di daerah kering dan agak kering yang berdekatan
dengan pantai. Karena tingginya kadar natrium di laut, suatu tanah disebut alkali
jika KTK atau muatan negatif koloid-koloidnya dijenuhi oleh ≥15% Na, yang
mencerminkan unsur ini merupakan komponen dominan dari garam-garam laut
yang ada. Pada tanah-tanah ini, mineral sumber utamanya adalah halit (NaCl).
Sebagaimana unsur mikro, natrium juga bersifat toksik bagi tanaman jika terdapat
Natrium dilepaskan dari hasil pengikisan mineral. Di daerah basah,
pencucian dengan mudah melenyapkan natrium karena daya ikatannya pada
kompleks pertukaran tidak kuat, tetapi di daerah-daerah kering dapat terjadi
penimbunan natrium dalam bentuk natrium karbonat dan cenderung menempati
kompleks pertukaran. Hidrolisis natrium karbonat dan natrium yang dapat
dipertukarkan menghasilkan suatu basa yang sangat kuat, yaitu NaOH. Apabila
tanah 15% jenuh natrium atau natrium karbonat, maka nilai pH mungkin berada
pada kisaran antara 8,5 dan 10 (Foth, 1994).
Kalsium
Kalsium diserap oleh akar tanaman dari kompleks jerapan tanah atau dari
larutan tanah dalam bentuk ion Ca2+. Kemampuan pertukaran kalsium dalam tanah sangat tergantung kepada kandungan liat pada tanah. Semakin tinggi
kapasitas pertukaran kation, semakin tinggi kandungan liat, dan semakin tinggi
kadar kalsiumnya (Warmada dan Titisari, 2004).
Kalsium merupakan kation yang sering dihubungkan dengan kemasaman
tanah dikarenakan kation tersebut dapat mengurangi efek kemasaman. Selain itu
juga dapat memberikan efek yang menguntungkan terhadap sifat dari tanah seperti
ketersediaan hara dan aktivitas biologi pada tanah. Pada tanah yang berada di
daerah basah, kalsium bersama dengan ion hidrogen merupakan kation yang
dominan pada kompleks jerapan sedangkan di daerah humid, kehilangan kalsium
sangat nyata sehingga pengapuran sangat disarankan (Hanafiah, 2005).
Banyak persamaan antara aktivitas kalsium, magnesium, dan kalium di
dalam tanah. Unsur-unsur ini semua tersedia sebagai kation yang dapat
dan tingkat pencucian. Kation-kation yang dapat dibebaskan saat pengikisan
diserap di tempat-tempat pertukaran kation. Terjadi keseimbangan antara
bentuk-bentuk yang dapat dipertukarkan dan yang terlarut. Difusi ke permukaan akar
merupakan proses yang paling penting dalam penyerapan dari tanah (Foth, 1994).
Magnesium
Magnesium diambil tanaman dalam bentuk ion Mg2+ berperan sebagai penyusun klorofil. Bentuk magnesium di dalam tanah yang dapat diadsorpsi
tanaman adalah bentuk yang dapat dipertukarkan atau bentuk yang larut dalam air.
Keadaaan ion Mg ini dalam tanah hampir sama dengan kalium. Penyerapannya
oleh tanaman sangat tergantung kepada jumlah yang tersedia dan jumlah yang
dapat dipertukarkan (Hanafiah, 2005).
Sumber utama Mg untuk tanaman dari larutan tanah dan dari kompleks
jerapan. Magnesium dapat ditukar umumnya berjumlah sekitar 4-20% dari total
kation di dalam tanah, akan tetapi untuk tanah-tanah yang berasal dari batuan
serpentin, magnesium dapat ditukar dapat melebihi kalsium. Persen kejenuhan
aktual Mg tergantung pada sifat-sifat tanah, tanaman, dan faktor lain. Pada tanah
ber-pH rendah, ketersediaan magnesium juga rendah (Winarso, 2005).
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Salah satu sifat tanah yang berkaitan erat dengan ketersediaan hara bagi
tanaman dan menjadi indikator kesuburan tanah adalah kapasitas tukar kation
(KTK) atau Cation Exchangeable Capacity (CEC). KTK dapat didefenisikan sebagai suatu kemampuan koloid tanah dalam menjerap dan mempertukarkan
humus (organik) dan dinyatakan dalam miliekuivalen per 100 gram tanah
(me 100 g-1) (Hanafiah, 2005).
KTK sangat beragam pada setiap jenis tanah bahkan pada tanah sejenis
sekalipun. Besarnya KTK tanah dipengaruhi oleh sifat dan ciri tanah itu sendiri
antara lain (pH), tekstur tanah atau jumlah liat, jenis mineral liat, bahan organik
tanah, pengapuran, dan pemupukan (Foth, 1994).
Antara pH dan KTK sangat erat hubungannya, terutama pada tanah yang
memiliki pH rendah. Hal ini disebabkan hanya muatan permanen liat dan sebagian
muatan koloid organik memegang ion yang dapat digantikan melalui pertukaran
kation, sehingga KTK relatif rendah (Hanafiah, 2005).
Suatu tanah yang memiliki KTK tinggi memerlukan amelioran berupa
kation tertentu dalam jumlah yang relatif lebih banyak agar tersedia bagi tanaman.
Apabila diberikan dalam jumlah sedikit, maka menjadi kurang tersedia bagi
tanaman karena terjerap pada koloid tanah. Sebaliknya pada tanah-tanah yang
memiliki KTK rendah, pemberian amelioran tidak boleh banyak dikarenakan
kation-kation yang dikandung amelioran tersebut akan mudah tercuci sehingga
menjadi tidak efisien (Hardjowigeno, 2003).
Kejenuhan Basa
Menurut literatur Damanik, dkk (2011), kejenuhan basa merupakan salah
satu ciri tanah yang cukup penting. Kejenuhan basa adalah perbandingan antara
kation basa (Ca, Mg, K, dan Na) dengan nilai tukar total (KTK) dan dinyatakan
dalam persen, dan dituliskan dengan rumus sebagai berikut:
Terdapat korelasi positif antara persen kejenuhan basa dengan pH tanah.
Umumnya, terlihat bahwa kejenuhan basa tinggi jika pH tanah tinggi. Oleh karena
itu, tanah-tanah di daerah iklim kering (arid) biasanya mempunyai kejenuhan basa
yang lebih tinggi daripada tanah-tanah di daerah iklim basah (tropis). Kejenuhan
basa yang rendah berarti terdapat banyak ion H+. Kejenuhan basa sering dianggap sebagai penunjuk tingkat kesuburan tanah. Kemudahan pelepasan kation terjerap
untuk tanaman tergantung pada tingkat kejenuhan basa. Suatu tanah dianggap
sangat subur jika kejenuhan basa ≥80%, sedang antara 80 dan 50%, dan tidak
subur ≤50%. Suatu tanah dengan kejenuhan basa sebesar 80% akan melepaskan
basa-basa yang dapat dipertukarkan lebih mudah daripada tanah yang sama
dengan kejenuhan basa 50%. Pengapuran atau pemberian amelioran merupakan
TINJAUAN PUSTAKA
Batuan sebagai Penyedia Hara
Batuan adalah material alam yang tersusun atas kumpulan (agregat)
mineral baik yang terkonsolidasi maupun yang tidak terkonsolidasi yang
merupakan penyusun utama kerak bumi serta terbentuk sebagai hasil proses alam.
Batuan bisa mengandung satu atau beberapa mineral. Atas dasar cara
terbentuknya, batuan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu batuan beku,
sebagai hasil proses pembekuan atau kristalisasi magma; batuan sedimen, sebagai
hasil proses sedimentasi; dan batuan metamorf, sebagai hasil proses
metamorfisme (Warmada dan Titisari, 2004).
Sekitar 98 persen kerak bumi tersusun dari delapan unsur kimia, dan unsur
oksigen dan silikon menyusun 75 persen dari jumlah tersebut. Banyak unsur yang
penting bagi pertumbuhan tanaman dan hewan terdapat dalam jumlah kecil.
Sebagian besar unsur kerak bumi telah berkombinasi dengan satu atau lebih unsur
lainnya untuk membentuk senyawa-senyawa yang disebut mineral. Mineral-mineral tersebut pada umumnya terdapat dalam campuran untuk membentuk
batuan bumi. Sebagai contoh, batu kapur merupakan batuan sedimen yang
penting dan terdiri atas sebagian besar kalsium dan magnesium karbonat serta
jumlah mineral-mineral lain yang jumlahnya bervariasi sebagai selingan.
Mineral-mineral yang dominan dalam batuan-batuan ini adalah feldspar, amfibol, piroksen,
kuarsa, mika mineral tanah liat, limonit (oksida besi), dan mineral-mineral
karbonat (Foth,1994). Komposisi unsur kimia yang menyusun kerak bumi dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Kandungan unsur kimia dalam kerak bumi yang bobotnya >1 persen
Agromineral adalah mineral-mineral yang bermanfaat bagi
perkembangbiakan tumbuhan, seperti mineral-mineral yang mengandung nitrogen,
karbon, fosfor, potassium, belerang, kalsium, magnesium, boron, zeolit, dan perlit
(van Straaten, 1999). Tanaman memerlukan nutrien untuk tumbuh, di antaranya
nitrogen, fosfat, potassium, kalsium, magnesium, sulfur, dan mikroelemen lain,
yang tidak dipunyai oleh tanah yang kurang subur. Sumber fosfat umumnya
diperoleh dari batuan fosfat. Batuan fosfat ini tidak dapat digunakan langsung
sebagai pupuk disebabkan oleh sifat daya larutnya yang terlalu kecil dalam air
sehingga diusahakan untuk merubahnya menjadi senyawa fosfat yang mudah larut
dalam air, sehingga mudah diserap oleh akar tumbuh-tumbuhan (Basyuni, 2009).
Salah satu bahan induk yang banyak mengandung unsur-unsur hara yang
penting bagi tanaman adalah bahan induk yang berasal dari batuan beku. Proses
pelepasan hara dari batuan beku berbeda-beda, ada yang mudah melepaskan
elemen/hara ke dalam larutan tanah dan ada juga yang sangat lambat. Hal ini
disebabkan karena setiap jenis batuan beku mengandung mineral yang
berbeda-beda dan memiliki ketahanan yang berberbeda-beda pula (Ibrahim dan Ahmad, 2012).
Proses pelapukan menyebabkan terubahnya batuan asal menjadi material
lain yang sifat fisiknya menjadi lebih lemah. Proses ini dapat mempermudah atau
mempercepat terurainya ikatan kimia mineral pada batuan. Proses pelapukan
dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a) Pelapukan fisik, yang mengakibatkan
pengurangan ukuran partikel; dan b) Pelapukan kimia, yang menyebabkan mineral
pada batuan mengalami dekomposisi (Warmada dan Titisari, 2004).
Di alam, pelapukan fisik dan kimia dapat terjadi serempak. Keduanya
biasanya mengawali proses pembentukan tanah dari batuan keras. Telah
dilaporkan bukti bahwa bahan organik mempunyai pengaruh nyata terhadap
pelapukan. Dalam beberapa kasus, tingkat pelapukan yang dirangsang oleh bahan
organik tanah dapat lebih penting daripada yang dihasilkan oleh reaksi kimia saja.
Melalui dekomposisi bahan organik, sejumlah senyawa organik dilepaskan atau
dibentuk. Kebanyakan dari senyawa-senyawa organik tersebut, seperti asam-asam
fluvat dan humat, mempunyai kapasitas untuk mengkhelat atau mengkompleks
ion-ion logam (Tan, 1998).
Pemberian dua macam bahan yang berlainan dalam jumlah setara pada
tanah tidak berarti bahwa hasil yang dicapai harus sama. Hal ini benar adanya
apabila kedua bahan tersebut memiliki butir-butir berlainan, baik dalam besar
maupun dalam kekerasan. Hal yang sudah jelas diketahui bahwa semakin halus
suatu bahan, maka semakin cepat pula larut dan bereaksi dalam tanah
(Buckman dan Brady, 1982).
Tingkat kelarutan akan menentukan kualitas batuan yang digunakan secara
langsung sebagai pupuk. Demikian pula kehalusan atau ukuran butir pupuk,
makin halus ukuran butir maka kelarutannya makin tinggi. Namun beberapa
batuan kelarutannya ditentukan oleh sifat reaktivitas kimianya (Hartatik, 2011).
Literatur Priyono (2005) menyatakan hasil kajian menunjukkan bahwa batuan
yang digiling halus sangat potensial untuk dapat digunakan sebagai pupuk yang
secara agronomis lebih efektif atau sama efektifnya dengan pupuk kimia (dalam
bentuk senyawa garam mudah larut dalam air).
Aplikasi Pengekstrak
Beberapa cara praktis untuk mempercepat pelarutan hara dari batuan ke
dalam larutan tanah telah dikaji, misalnya melalui pengasaman (acidulation) dengan asam kuat dan penggilingan intensif. Teknik tersebut telah digunakan
untuk memproduksi pupuk dan ternyata dapat meningkatkan efektivitas dari
berbagai jenis mineral silikat, fosfat alam, basalt, dan K-feldspar (Priyono, 2005).
Asam-asam organik, merupakan bagian dari bahan organik, adalah hasil
kegiatan jasad hidup baik yang terdapat di dalam maupun di permukaan batuan.
Senyawa ini umumnya merupakan hasil buangan (sekresi, eksudat) atau pun
rombakan. Asam-asam ini, seperti asam anorganik umumnya karena pada gugus
fungsionalnya dapat mengalami disosiasi yang melepaskan proton (H+) dan proton ini dapat menyerang mineral batuan. Selain itu sisa asamnya (anion organik) dapat
membentuk senyawa kompleks dengan kation-kation pada tepi mineral atau
kation yang terlepas dari mineral. Dengan demikian asam-asam ini nyata berperan
dalam pelapukan kimia (Ismagil dan Hanudin, 2005).
Pelapukan kimia di alam ini hanya dapat berlangsung apabila ada air,
namun adanya asam-asam pelapukan tersebut dipercepat. Peran asam anorganik
ataukah asam organik yang mempercepat pelapukan mineral merupakan
pertanyaan yang sulit dijawab. Namun, dari kenyataan tanah atau batuan yang
paling atas merupakan lingkungan biologi (biosfer) yang sangat padat, maka
diperkirakan bahwa asam organik lebih besar peranannya dalam pelapukan
daripada asam-asam anorganik(Sposito, 1994).
Pengaruh asam-asam organik dalam degradasi mineral batuan berupa
reaksi pelarutan. Proses pelarutan ini sebenarnya adalah reaksi terbaginya zat
padat, mineral, ke dalam air atau larutan asam organik. Reaksi kimia yang utama
pada pelarutan adalah hidrolisis, kemudian hidrolisis yang dipacu dengan adanya
asam (Ismagil dan Hanudin, 2005).
Beberapa bahan yang diaplikasikan sebagai pengekstrak merupakan
bahan-bahan yang mengandung asam-asam organik bertujuan dalam
meningkatkan kelarutan agromineral antara lain urine sapi, air nenas, dan air
gambut. Berdasarkan literatur Deptan (2012), pupuk organik merupakan pupuk
dengan bahan dasar yang diambil dari alam dengan jumlah dan jenis unsur hara
yang terkandung secara alami. Pupuk organik juga merupakan salah satu bahan
yang berperan dalam upaya memperbaiki kesuburan tanah secara aman.
Urine sapi merupakan cairan dari proses pembuangan sisa metabolisme
oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh sapi melalui proses
urinasi. Berbeda dengan pupuk buatan yang hanya mengandung satu nutrisi saja,
pupuk organik yang dibuat dari urine sapi mengandung nutrisi yang beragam dan
seimbang. Untuk mengolahnya menjadi pupuk organik cair, urine sapi harus
difermentasi dalam kondisi anaerob (Affandi, 2011).
Buah nenas merupakan salah satu buah yang dapat digunakan sebagai
pupuk organik cair karena mampu menghasilkan mikroorganisme dari hasil
fermentasinya. Kandungan kimia buah nenas dari bagian buah sangat bervariasi
tergantung daerah pertumbuhannya, kondisi sebelum maupun sesuah panen. Buah
nenas mengandung protein 0,4%, gula 12-15%, asam 0,6% (terbanyak 85%
asam sitrat), air 80-85%, dan vitamin. Asam organik utama yang terdapat dalam
buah nenas adalah asam sitrat, yang merupakan asam tidak menguap yang
terbanyak dalam buah nenas. Selain asam sitrat, dalam buah nenas juga terdapat
asam malat dan asam oksalat. Dalam ekstrak buah nenas terdapat enzim bromelin
yang dapat langsung digunakan (Wirakusumah, 2000).
Pada gambut, dekomposisi bahan organik dalam suasana anaerob
menghasilkan senyawa-senyawa organik seperti protein, asam-asam organik, dan
senyawa pembentuk humus. Asam-asam organik tersebut berwarna hitam dan
membuat suasana tanah menjadi masam dan beracun bagi tanaman. Kisaran pH
tanah gambut antara 3 hingga 5. Rendahnya pH ini menyebabkan sejumlah unsur
hara seperti N, Ca, Mg, K, Bo, Cu, dan Mo tidak tersedia bagi tanaman. Unsur
hara makro fosfat juga berada dalam jumlah yang rendah karena gambut sulit
mengikat unsur ini sehingga mudah tercuci. Kemasaman yang tinggi (pH rendah)
juga menyebabkan tidak aktifnya mikroorganisme, terutama bakteri tanah
sehingga pertumbuhan cendawan merajalela dan reaksi tanah yang didukung oleh
bakteri seperti fiksasi nitrogen dan mineralisasi gambut menjadi terhambat
(Najiyati, dkk, 2005).
Sifat Kimia Ultisol
Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temperate sampai tropis. Di Indonesia, ultisol merupakan daerah terluas dari lahan kering yang
tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, serta sebagian kecil di
Jawa terutama di wilayah Jawa Barat (Munir, 1996).
Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat
masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk ini adalah batuan
sedimen masam. Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah
permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran
permukaan dan erosi tanah. Umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al
dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara
terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, dan peka
terhadap erosi (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Ultisol memiliki KTK sebesar kurang dari 24 cmol(+)/kg liat (dengan
NH4OAc 1 N pH 7), pada 50 persen atau lebih dari (berdasarkan volume) horison
argilik apabila ketebalannya kurang dari 100 cm atau pada 100 cm bagian atas
horison tersebut. Kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) sebesar kurang dari
35% pada kedalaman 125 cm di bawah atas horison argilik (tetapi tidak lebih dari
200 cm di bawah permukaan tanah mineral), atau 180 cm di bawah permukaan
tanah mineral (Soil Survey Staff, 1998).
Kejenuhan basa menurun sesuai kedalaman, mencerminkan terjadinya
daur basa-basa oleh tanaman atau adanya penambahan dari pupuk. Pada tanah
yang tidak diolah, kejenuhan basa tertinggi normalnya pada beberapa cm
langsung di bawah permukaan. Tanah ini dapat diubah menjadi produktif tinggi
jika diberikan pemupukan (Rachim dan Arifin, 2011).
Reaksi tanah pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5-3,10),
kecuali yang berasal dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga
agak masam (pH 6,80-6,50). Kandungan hara umumnya rendah karena
pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik
rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi
(Prasetyo, dkk, 2000).
Reaksi Tanah (pH)
Nilai pH tanah tidak sekedar menunjukkan suatu tanah asam atau alkali,
tetapi juga memberikan informasi tentang sifat-sifat tanah yang lain seperti
ketersediaan fosfor, status kation-kation basa dan unsur racun (Mukhlis, 2007).
Literatur Hakim, dkk (1986) menyatakan bahwa dalam keadaan yang sangat
masam, Al menjadi sangat larut yang dijumpai dalam bentuk kation Al3+ dan hidroksida Al. Kedua ion Al itu lebih mudah terjerap pada koloid liat daripada ion
H. Oleh karena Al berada dalam larutan tanah mudah terhidrolisis, maka Al
merupakan penyebab kemasaman atau penyumbang ion H. Ion H yang
dibebaskan secara demikian akan memberikan nilai pH rendah bagi larutan tanah
dan mungkin merupakan sumber utama ion H dalam sebagian besar tanah masam.
Nilai pH tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi
tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. pH
optimum untuk ketersediaan unsur hara tanah sekitar 7,0 karena pada pH ini
semua unsur makro tersedia secara maksimum sedangkan unsur hara mikro tidak
maksimum kecuali Mo, sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas unsur mikro
tertekan. Pada pH di bawah 6,5 dapat terjadi defisiensi P, Ca, dan Mg serta
toksisitas B, Mn, Cu, dan Fe, sedangkan pada pH di atas 7,5 dapat terjadi
defisiensi P, B, Fe, Mn, Cu, Zn, Ca, dan Mg, juga keracunan B dan Mo
(Hanafiah, 2005).
Masalah kemasaman tanah pada umumnya ditangani dengan cara
pengapuran atau pemberian bahan pembenah tanah. Semua material yang
mengandung senyawa Ca dan Mg dapat digunakan sebagai bahan pengapuran
untuk menetralisir kemasaman tanah, yaitu meningkatkan pH tanah yang
pada dasarnya meningkatkan kandungan Ca dan menurunkan kadar Al
(Kusdarto, 2005).
C-organik
Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya pertanian. Hal ini
dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika maupun
biologi tanah. Penetapan kandungan bahan organik tanah dilakukan berdasarkan
jumlah C-organik (Andre, 2009).
Bahan organik di dalam tanah dapat mempengaruhi ketersediaan P melalui
dekomposisinya yang menghasilkan asam organik dan CO2. Asam-asam organik
akan menghasilkan anion organik yang bersifat mengikat ion-ion seperti Al, Fe,
dan Ca dalam larutan tanah. Dengan demikian konsentrasi ion Al, Fe, dan Ca
yang bebas dalam larutan tanah akan berkurang sehingga diharapkan P tersedia
akan lebih meningkat. Dengan kata lain, kecepatan pelepasan P dari bentuk tidak
tersedia menjadi bentuk tersedia adalah sangat bergantung pada pH tanah dan
bahan organik (Santoso, 1998).
Berdasarkan literatur Hanafiah (2005) menyatakan bahwa dari pelapukan
bahan organik akan dihasilkan asam humat, asam fulvat, dan asam-asam organik
lainnya. Asam-asam tersebut dapat mengikat logam seperti Al dan Fe, sehingga
mampu mengurangi kemasaman tanah dan P akan lebih tersedia. Anion-anion
organik seperti sitrat, asetat, tartarat, dan oksalat yang dibentuk selama pelapukan
bahan organik dapat membantu pula pada pelepasan P yang diikat oleh
hidroksida-hidroksida Al, Fe, dan Ca dengan bereaksi membentuk senyawa
kompleks.
P-tersedia
Ketersediaan fosfor tanah untuk tanaman sangat dipengaruhi oleh sifat dan
ciri tanah itu sendiri. Pada ultisol, tidak tersedia dan tidak terlarutnya P
disebabkan fiksasi oleh mineral-mineral liat dan ion-ion Al dan Fe yang
membentuk senyawa kompleks yang tidak larut. Ada beberapa faktor yang turut
mempengaruhi ketersediaan P tanah, yaitu tipe liat, pH tanah, waktu reaksi,
temperatur, dan bahan organik tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Fosfor diserap tanaman dalam bentuk H2PO4-, HPO42-, dan PO43-, atau
tergantung dari nilai pH tanah. Fosfor sebagian besar berasal dari pelapukan
batuan mineral alami, sisanya berasal dari pelapukan bahan organik. Walaupun
sumber fosfor di dalam tanah mineral cukup banyak, tanaman masih bisa
mengalami kekurangan fosfor (Novizan, 2002).
Fosfor lebih mudah larut pada tanah yang memiliki pH rendah (masam),
sebaliknya pada tanah dengan pH tinggi, kelarutannya menurun. Oleh karena itu,
fosfor tidak sesuai diaplikasikan pada tanah yang bereaksi netral hingga alkalis.
Kadar Ca yang tinggi dalam tanah akan menghambat kelarutan fosfor
(Hartatik, 2011).
Umumnya, P sukar tercuci oleh air hujan maupun air irigasi disebabkan
karena P bereaksi dengan ion dan membentuk senyawa yang tingkat kelarutannya
berkurang. Bahkan sebagian menjadi ion yang tidak tersedia untuk tanaman atau
terfiksasi oleh senyawa lain (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Basa-basa Tukar
Secara teknis, basa adalah proton akseptor seperti ion OH sedangkan asam
adalah proton donor seperti ion H. Walaupun demikian, kation-kation seperti K,
Na, Ca, dan Mg yang dapat dipertukarkan semuanya berkaitan dengan
senyawa-senyawa dalam tanah seperti K2CO3, Na2CO3, CaCO3, dan, MgCO3 yang
reaksinya lebih basa dari asam. Untuk alasan ini, maka K, Na, Ca, dan Mg
umumnya diacu sebagai basa-basa yang dapat dipertukarkan, sedangkan H pada
umumnya disebut asam yang dapat dipertukarkan (Foth, 1994).
Kalium
Kalium diserap tanaman dalam bentuk ion K+. Di dalam tanah, ion tersebut bersifat sangat dinamis. Tak mengherankan jika mudah tercuci pada tanah
berpasir dan tanah dengan pH rendah. Bagi tanaman, ketersediaan kalium pada
posisi ini agak lambat. Kandungan kalium sangat tergantung dari jenis mineral
pembentuk tanah dan kondisi cuaca setempat (Novizan, 2002).
Kalium adalah unsur hara makro ketiga yang dibutuhkan tanaman dalam
jumlah yang relatif banyak setelah nitrogen dan fosfor, bahkan terkadang melebihi
jumlah nitrogen sepeti halnya pada tanaman yang menghasilkan umbi. Kadar
kalium total di dalam tanah umumnya cukup tinggi dan diperkirakan mencapai
2,6% dari total bobot tanah, tetapi kalium yang tersedia di dalam tanah cukup
rendah (Damanik, dkk, 2011).
Kalium merupakan unsur yang paling mudah mengadakan persenyawaan
dengan unsur atau zat lainnya, misalnya khlor dan magnesium. Pada tanaman
kalium berfungsi untuk mempercepat pembentukan karbohidrat, memperkokoh
tubuh tanaman, meningkatkan resistensi terhadap serangan hama dan penyakit
serta kekeringan, dan meningkatkan kualitas biji. Kalium memiliki sifat yang
mudah larut, mudah terbawa (tercuci), dan mudah terfiksasi pada tanah.
Sumber kalium antara lain beberapa jenis mineral, sisa-sisa tanaman dan
jasad renik, air irigasi, abu pembakaran tanaman, maupun pupuk anorganik
(Sutedjo dan Kartasapoetra, 1988).
Pada dasarnya, kalium dalam tanah berada dalam mineral yang melapuk
dan melepaskan ion-ion kalium. Ion-ion tersebut diserap pada pertukaran kation
dan siap tersedia untuk diambil oleh tanaman. Kalium yang tersedia menumpuk
pada tanah dengan kelembaban lebih kering tanpa adanya pencucian. Pada
umumnya tanah-tanah seperti ini bereaksi netral maupun basa sehingga tidak
membutuhkan pengapuran dan pemupukan, bahkan memiliki produktivitas yang
tinggi. Tanah organik biasanya miskin kalium dikarenakan tanah tersebut
mengandung sedikit mineral kalium (Foth, 1994).
Natrium
Natrium merupakan penyusun lithosfer keenam setelah kalsium, yaitu
2,75% yang berperan penting dalam menentukan karakteristik tanah dan
pertumbuhan tanaman terutama di daerah kering dan agak kering yang berdekatan
dengan pantai. Karena tingginya kadar natrium di laut, suatu tanah disebut alkali
jika KTK atau muatan negatif koloid-koloidnya dijenuhi oleh ≥15% Na, yang
mencerminkan unsur ini merupakan komponen dominan dari garam-garam laut
yang ada. Pada tanah-tanah ini, mineral sumber utamanya adalah halit (NaCl).
Sebagaimana unsur mikro, natrium juga bersifat toksik bagi tanaman jika terdapat
dalam tanah dalam jumlah yang sedikit berlebihan (Hanafiah, 2005).
Natrium dilepaskan dari hasil pengikisan mineral. Di daerah basah,
pencucian dengan mudah melenyapkan natrium karena daya ikatannya pada
kompleks pertukaran tidak kuat, tetapi di daerah-daerah kering dapat terjadi
penimbunan natrium dalam bentuk natrium karbonat dan cenderung menempati
kompleks pertukaran. Hidrolisis natrium karbonat dan natrium yang dapat
dipertukarkan menghasilkan suatu basa yang sangat kuat, yaitu NaOH. Apabila
tanah 15% jenuh natrium atau natrium karbonat, maka nilai pH mungkin berada
pada kisaran antara 8,5 dan 10 (Foth, 1994).
Kalsium
Kalsium diserap oleh akar tanaman dari kompleks jerapan tanah atau dari
larutan tanah dalam bentuk ion Ca2+. Kemampuan pertukaran kalsium dalam tanah sangat tergantung kepada kandungan liat pada tanah. Semakin tinggi
kapasitas pertukaran kation, semakin tinggi kandungan liat, dan semakin tinggi
kadar kalsiumnya (Warmada dan Titisari, 2004).
Kalsium merupakan kation yang sering dihubungkan dengan kemasaman
tanah dikarenakan kation tersebut dapat mengurangi efek kemasaman. Selain itu
juga dapat memberikan efek yang menguntungkan terhadap sifat dari tanah seperti
ketersediaan hara dan aktivitas biologi pada tanah. Pada tanah yang berada di
daerah basah, kalsium bersama dengan ion hidrogen merupakan kation yang
dominan pada kompleks jerapan sedangkan di daerah humid, kehilangan kalsium
sangat nyata sehingga pengapuran sangat disarankan (Hanafiah, 2005).
Banyak persamaan antara aktivitas kalsium, magnesium, dan kalium di
dalam tanah. Unsur-unsur ini semua tersedia sebagai kation yang dapat
dipertukarkan dan jumlah yang tersedia penting hubungannya dengan pengikisan