PELAKSANAAN PENGALIHAN TANAH NON SERTIFIKAT
DENGAN MENGGUNAKAN BLANKO AKTA JUAL BELI PPAT
PADA MASYARAKAT KABUPATEN BIREUEN ACEH
TESIS
Oleh
TARMIZI 087011174/MKn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PELAKSANAAN PENGALIHAN TANAH NON SERTIFIKAT
DENGAN MENGGUNAKAN BLANKO AKTA JUAL BELI PPAT
PADA MASYARAKAT KABUPATEN BIREUEN ACEH
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
TARMIZI 087011174/MKn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : PELAKSANAAN PENGALIHAN TANAH NON SERTIFIKAT DENGAN MENGGUNAKAN BLANKO AKTA JUAL BELI PPAT PADA MASYARAKAT KABUPATEN BIREUEN ACEH
Nama Mahasiswa : Tarmizi Nomor Pokok :
087011174
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N) Ketua
(Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn) Anggota
(Hj. Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn) Anggota
Ketua Program Studi Dekan
Telah diuji pada
Tanggal: 27 Januari 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N. Anggota : 1. Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.
2. Hj. Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn.
ABSTRAK
Peralihan jual beli atas tanah non sertifikat pada masyarakat Kabupaten Bireuen Aceh dilakukan dihadapan Keuchik dengan surat keterangan jual beli saja dan kadang-kadang dihadapan Camat/PPAT-Sementara dengan menggunakan blanko PPAT, dan tidak didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bireuen. Oleh karena menjadi dilakukan pengkajian tentang pelaksanaan pengalihan tanah non sertifikat dengan menggunakan blanko akta jual beli PPAT, faktor-faktor penyebab pengalihan tanah non sertifikat dengan menggunakan akta jual beli PPAT di hadapan PPAT dan tidak didaftarkan, serta peranan PPAT dalam pengalihan tanah non sertifikat dengan menggunakan blanko akta jual beli PPAT pada masyarakat Kabupaten Bireuen Aceh.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis secara pendekatan yuridis normatif terhadap pengalihan jual beli tanah non sertifikat dengan menggunakan blanko akta jual PPAT pada masyarakat Kabupaten Bireuen, dengan melakukan wawancara kepada responden, yaitu: masyarakat pelaku pengalihan tanah non sertifikat dengan akta jual beli, Kepala Desa/Keuchik, Notaris/PPAT, Camat/PPAT, dan Pejabat Kantor Pertanahan Bireuen.
Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan jual beli tanah non sertifikat di Masyarakat Kabupaten Bireuen umumnya dilakukan dengan memakai surat keterangan jual beli di hadapan Keuchik dan disaksikan oleh Kepala Dusun saja, ataupun dilakukan di hadapan Camat/PPAT-Sementara, hanya sebagian kecil yang dilakukan dihadapan PPAT dengan menggunakan blanko PPAT, dan peralihan jual beli itu tidak dilanjutkan pendaftaran balik nama ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bireuen. Faktor penyebab tidak didaftarkan di Kantor Pertanahan Kabupaten Bireuen adalah karena: a) masyarakat masih belum jelas mengenai tanah yang non sertifikat dan sudah bersertifikat, mengenai bukti kepemilikan yang kuat bahwa sertifikat itu bukti yang kuat, b) Bank-bank di Kabupaten Bireuen untuk mengambil kredit masih diterima tanah non sertifikat sebagai agunan, dan c) Biaya yang besar dan lamanya proses pendaftaran untuk mendapat sertifikat membuat masyarakat membiarkan saja tanah itu tidak perlu disertifikatkan. PPAT tidak dapat berperan apa-apa jika tanah itu non sertifikat untuk jual beli, tetapi hal ini dapat dilakukan di hadapan Camat, dan Notaris berperan membuat akta pelepasan hak dan ganti rugi dan tidak mereka daftarkan. Jika pembeli ingin membuat sertifikat jual beli tanah itu maka Notaris dapat membantu mendaftarkan di Kantor Pertanahan Bireuen. Sedangkan PPAT baru berperan jika tanah sudah ada sertifikatnya untuk jual beli dengan menggunakan blanko akta jual beli PPAT dan berkasnya didaftarkan ke Kantor Pertanahan Bireuen untuk pendaftaran (dibaliknamakan) ke atas nama pembeli.
Disarankan kepada masyarakat Kabupaten Bireuen untuk jual beli tanah non sertifikat dilakukan di hadapan Camat dan Notaris dan tidak memakai blanko PPAT tetapi dengan pelepasan hak dan ganti rugi. Kepada Kantor Pertanahan Bireuen memberikan penyuluhan hukum tanah non sertifikat jual belinya di hadapan Notaris, sedangkan tanah bersertifikat jual belinya di hadapan PPAT dengan blanko PPAT dan sertifikatnya didaftarkan (balik nama) pada Kantor Pertanahan Bireuen, dan juga penyuluhan hukum yang berkelanjutan kekuatan pembuktian dari sertifikat itu lebih kuat dibanding tanah non sertifikat, demikian juga PPAT di Kabupaten Bireuen harus ikut membantu penyuluhan tersebut.
ABSTACT
Transfer of sale and purchase of the non certificate land in Bireuen Regency of Aceh is made in the presence of Keuchick with the statement of sale and purchase only and sometimes in the presence of Headman of Subregency /PPAT (Authority of Title Certificate) by using the form of PPAT, without registering it to the Regencial Land Affairs office of Bireuen. Therefore, a study of the implementation of the transfer of non certificate land by using the form of sale and purchase of PPAT, including the causative factors of transfer using the form of sale and purchase of PPAT in the presence of PPAT and unregistered and the role of PPAT on transfer of the non certificate land by using the form of sale and purchase of PPAT to the community of Bireuen Regency of Aceh.
The present study is a descriptive analysis using a juridical normative approach of the transfer of sale and purchase of non certificate land using the form of sale and purchase of PPAT to the community of Bireuen Regency by making an interview to the respondents namely the community of transfer of non certificate land using the decree of sale and purchase, Headman /Keuchik, Notary /PPAT, Head of Subregency /PPAT and the Authority of land Affairs Office of Bireuen.
The result of the study showed that the sale and purchase of non certificate land in Bireuen Subregency was generally conducted by using the statement of sale and purchae in the presence of Keuchik and witnessed by the Headman only, or made in the presence of Head of Subregency /temporarily PPAT and only a few made in the presence of PPAT by using the form of PPAT and the transfer of sale and purchase was not followed-up by the registration of the change in name to the Regencial Land Affairs Office of Bireuen. The causative factors of failure to certificate /register to the Regencial Land Affairs Office of Bireuen included ; a). the community still not has a clear information of the non certificate land and certificate land, including the evidence of ownership that the certificate is the powerful evidence, b). banks in Bireuen Regency still accept the non certificate for collateral of credit and c). the relatively expensive cost and prolonged duration of registration /certification. PPAT failed to play the role if the non certificate land is sold and purchased but it can be done in the presence of head of subregency and Notary plays an important role in making the decree of transfer of right and without registered. If the purchaser wishes to make the certificate of sale and purchase, the notary can help it to the Land Affairs Office of Bireuen. Whereas the PPAT plays the role if the certificate of land has been issued by using the form of sale and purchase of PPAT and the document is registered to the Land Affairs Office of Bireuen for certification and change in name on behalf of the purchaser.
It is suggested that the community of Bireuen Regency to make the sale and purchase in the presence of head of subregency and Notary and without using the form of PPAT but with waive of right and reimbursement. The Land Affairs Office of Bireuen is suggested to give a sustainable legal guidance of non certificate land and also the PPAT in Bireuen Regency has to help the guidance.
KATA PENGANTAR
Kehadirat-Mu jualah ya Allah Subhanahuwataala penulis ucapkan puji dan
syukur karena Engkau telah memberikan kesempatan kesehatan serta taufik dan hidayah-Mu dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Segala cobaan yang Engkau berikan bersamaan dengan itu kiranya merupakan Rahmat-Nya bagi penulis beserta
yang akan mempertebal iman kepada Mu pula. Salawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang merupakan suri tauladan yang sangat Agung.
Kepada yang amat terpelajar Prof. DR. Muhammad Yamin, S.H., M.S.,
C.N yang telah berkenan menjadi Ketua Pembimbing, penulis ucapkan terima kasih
yang tiada terhingga, mengingat sikap beliau yang selalu menunjukkan keteladanan seorang ilmuwan, orang yang pertama kali menghimbau penulis agar menyiapkan diri
kearah penulisan tesis ini dengan sifat beliau yang terbuka, teliti dan penuh semangat, sehingga segala amal bakti beliau terutama dalam bimbingan penulis menyelesaikan tesis ini mendapatkan balasan dari Allah SWT yang berlipat ganda. Amin.
Penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, diucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang amat terpelajar Bapak
Syahril Sofyan, S.H., M.Kn dan Ibunda Hajjah Chairani Bustami, S.H., Sp.N.,M.Kn
selaku pembimbing anggota, selanjutnya juga kepada dosen penguji Bapak
Syafruddin Sulung Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM dan Ibu DR. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum atas bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan
Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Chairrudin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. DR. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta seluruh bantuan kesempatan dan fasilitas yang
diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. DR. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program
Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staf yang memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara.
5. Para Pegawai/Karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.)
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat disebut satu persatu dalam kebersamaannya mulai masa studi sampai pada penulisan dan penyelesaian tesis ini.
6. Kepada Rekan-Rekan seangkatan mahasiswa kenotariatan (M.Kn) Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat disebut satu persatu
dalam kebersamaannya mulai masa studi sampai pada penulisan dan penyelesaian
Renungan khitmad yang sedalam-dalamnya beserta do’a penulis panjatkan
kehadirat Allah Subhanahu wataala atas keselamatan arwah-arwah Ibunda Aisyah
bin Muhammad Hanafiah dan Ayahanda Muhammad Yusuf bin Muhammad
Amin, serta seluruh keluarga penulis mengucapkan terima kasih atas segala budi
baik, dorongan-dorongan dan bantuan moril maupun material yang telah diberikan
pada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya kepada isteriku Siti Nurhawani, serta anak-anak kami Teuku
Muhammad Redha Vahlevi, Teuku Ali Akbar Valayati dan Teuku Maulana
Ichsan yang dengan pengorbanan, ketabahan hati serta kesabaran dan yang
senantiasa mendorong dengan semangat kasih sayang hingga penulis berhasil
menyelesaikan penulisan tesis ini, terima kasih buat perjuangan ini dengan penuh rasa
syukur kehadirat Allah Subhanahu wataala, segala percobaan yang telah
diberikan-Nya selama perjuangan itu kiranya dapat mempertebal kita kepada-diberikan-Nya dalam
pengabdian terlanjutnya untuk Agama, Nusa dan Bangsa.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Medan, Januari 2010 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
Nama : Tarmizi
Tempat/ Tgl. Lahir : Abeuk Jaloh, 29 Desember 1962 Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jln. Bunda Wijaya Kesuma No. 54 Medan
II. Orang Tua
Nama Ayah : Muhammad Yusuf (alm) Ibu : Aisyah (almh)
III. Pekerjaan
Notaris / PPAT Kabupaten Bireuen Aceh
III. Pendidikan
1. MIN (SD) Abeuk Jaloh Tamat Tahun 1974
2. MTs, AJN (SMP) Matang Gulumpang Dua Tamat Tahun 1977
3. SMPP (SMU) Bireun Tamat Tahun 1981
4. SMHK (Sarjana Muda Hukum) UISU Medan Tamat Tahun 1985 5. S-1 Fakultas Hukum UISU Medan Tamat Tahun 1988 6. Spesialis PPSN Fakultas Hukum USU Medan Tamat Tahun 2001 7. S-2 Pascasarjana USU Program Magister Kenotariatan Tamat Tahun 2010
Medan, Januari 2010 Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan... 12
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Keaslian Penelitian ... 14
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 15
1. Kerangka Teori ... 15
2. Konsepsi ... 27
G. Metode Penelitian ... 29
BAB II. PELAKSANAAN PENGALIHAN TANAH NON SERTIFIKAT DENGAN MENGGUNAKAN AKTA JUAL BELI PPAT PADA MASYARAKAT KABUPATEN BIREUEN ACEH ... 33
A. Jual Beli Tanah Milik Adat Menurut UUPA ... 33
B. Gambaran Umum Kabupaten Bireuen Aceh ... 39
C. Perjanjian Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat Aceh ... 42
BAB III. FAKTOR PENYEBAB JUAL BELI TANAH NON SERTIFIKAT DI HADAPAN PPAT DAN TIDAK DIDAFTARKAN DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN
BIREUEN ACEH ... 55
A. Pendaftaran Tanah ... 55
B. Tata Cara Pelaksanaan Jual Beli Tanah Non Sertifikat di Hadapan PPAT dan Pendaftaran Tanah ... 66
C. Faktor Penyebab Jual Beli Tanah Non Sertifikat Di Hadapan /PPAT dan Tidak Didaftarkan Di Kantor Pertanahan Kabupaten Bireuen Aceh... 76
BAB IV. PERANAN PPAT DALAM PENGALIHAN TANAH NON SERTIFIKAT DENGAN MENGGUNAKAN AKTA JUAL BELI PPAT PADA MASYARAKAT KABUPATEN BIREUEN ACEH ... 102
A. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)... 102
B. Fungsi Akta PPAT Sebagai Alat Pembuktian Jual Beli Tanah... 117
C. Peranan PPAT Dalam Pengalihan Tanah Non Sertifikat Dengan Menggunakan Akta Jual Beli PPAT Pada Masyarakat Kabupaten Bireuen Aceh... 117
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 128
A. Kesimpulan ... 128
B. Saran... 129
ABSTRAK
Peralihan jual beli atas tanah non sertifikat pada masyarakat Kabupaten Bireuen Aceh dilakukan dihadapan Keuchik dengan surat keterangan jual beli saja dan kadang-kadang dihadapan Camat/PPAT-Sementara dengan menggunakan blanko PPAT, dan tidak didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bireuen. Oleh karena menjadi dilakukan pengkajian tentang pelaksanaan pengalihan tanah non sertifikat dengan menggunakan blanko akta jual beli PPAT, faktor-faktor penyebab pengalihan tanah non sertifikat dengan menggunakan akta jual beli PPAT di hadapan PPAT dan tidak didaftarkan, serta peranan PPAT dalam pengalihan tanah non sertifikat dengan menggunakan blanko akta jual beli PPAT pada masyarakat Kabupaten Bireuen Aceh.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis secara pendekatan yuridis normatif terhadap pengalihan jual beli tanah non sertifikat dengan menggunakan blanko akta jual PPAT pada masyarakat Kabupaten Bireuen, dengan melakukan wawancara kepada responden, yaitu: masyarakat pelaku pengalihan tanah non sertifikat dengan akta jual beli, Kepala Desa/Keuchik, Notaris/PPAT, Camat/PPAT, dan Pejabat Kantor Pertanahan Bireuen.
Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan jual beli tanah non sertifikat di Masyarakat Kabupaten Bireuen umumnya dilakukan dengan memakai surat keterangan jual beli di hadapan Keuchik dan disaksikan oleh Kepala Dusun saja, ataupun dilakukan di hadapan Camat/PPAT-Sementara, hanya sebagian kecil yang dilakukan dihadapan PPAT dengan menggunakan blanko PPAT, dan peralihan jual beli itu tidak dilanjutkan pendaftaran balik nama ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bireuen. Faktor penyebab tidak didaftarkan di Kantor Pertanahan Kabupaten Bireuen adalah karena: a) masyarakat masih belum jelas mengenai tanah yang non sertifikat dan sudah bersertifikat, mengenai bukti kepemilikan yang kuat bahwa sertifikat itu bukti yang kuat, b) Bank-bank di Kabupaten Bireuen untuk mengambil kredit masih diterima tanah non sertifikat sebagai agunan, dan c) Biaya yang besar dan lamanya proses pendaftaran untuk mendapat sertifikat membuat masyarakat membiarkan saja tanah itu tidak perlu disertifikatkan. PPAT tidak dapat berperan apa-apa jika tanah itu non sertifikat untuk jual beli, tetapi hal ini dapat dilakukan di hadapan Camat, dan Notaris berperan membuat akta pelepasan hak dan ganti rugi dan tidak mereka daftarkan. Jika pembeli ingin membuat sertifikat jual beli tanah itu maka Notaris dapat membantu mendaftarkan di Kantor Pertanahan Bireuen. Sedangkan PPAT baru berperan jika tanah sudah ada sertifikatnya untuk jual beli dengan menggunakan blanko akta jual beli PPAT dan berkasnya didaftarkan ke Kantor Pertanahan Bireuen untuk pendaftaran (dibaliknamakan) ke atas nama pembeli.
Disarankan kepada masyarakat Kabupaten Bireuen untuk jual beli tanah non sertifikat dilakukan di hadapan Camat dan Notaris dan tidak memakai blanko PPAT tetapi dengan pelepasan hak dan ganti rugi. Kepada Kantor Pertanahan Bireuen memberikan penyuluhan hukum tanah non sertifikat jual belinya di hadapan Notaris, sedangkan tanah bersertifikat jual belinya di hadapan PPAT dengan blanko PPAT dan sertifikatnya didaftarkan (balik nama) pada Kantor Pertanahan Bireuen, dan juga penyuluhan hukum yang berkelanjutan kekuatan pembuktian dari sertifikat itu lebih kuat dibanding tanah non sertifikat, demikian juga PPAT di Kabupaten Bireuen harus ikut membantu penyuluhan tersebut.
ABSTACT
Transfer of sale and purchase of the non certificate land in Bireuen Regency of Aceh is made in the presence of Keuchick with the statement of sale and purchase only and sometimes in the presence of Headman of Subregency /PPAT (Authority of Title Certificate) by using the form of PPAT, without registering it to the Regencial Land Affairs office of Bireuen. Therefore, a study of the implementation of the transfer of non certificate land by using the form of sale and purchase of PPAT, including the causative factors of transfer using the form of sale and purchase of PPAT in the presence of PPAT and unregistered and the role of PPAT on transfer of the non certificate land by using the form of sale and purchase of PPAT to the community of Bireuen Regency of Aceh.
The present study is a descriptive analysis using a juridical normative approach of the transfer of sale and purchase of non certificate land using the form of sale and purchase of PPAT to the community of Bireuen Regency by making an interview to the respondents namely the community of transfer of non certificate land using the decree of sale and purchase, Headman /Keuchik, Notary /PPAT, Head of Subregency /PPAT and the Authority of land Affairs Office of Bireuen.
The result of the study showed that the sale and purchase of non certificate land in Bireuen Subregency was generally conducted by using the statement of sale and purchae in the presence of Keuchik and witnessed by the Headman only, or made in the presence of Head of Subregency /temporarily PPAT and only a few made in the presence of PPAT by using the form of PPAT and the transfer of sale and purchase was not followed-up by the registration of the change in name to the Regencial Land Affairs Office of Bireuen. The causative factors of failure to certificate /register to the Regencial Land Affairs Office of Bireuen included ; a). the community still not has a clear information of the non certificate land and certificate land, including the evidence of ownership that the certificate is the powerful evidence, b). banks in Bireuen Regency still accept the non certificate for collateral of credit and c). the relatively expensive cost and prolonged duration of registration /certification. PPAT failed to play the role if the non certificate land is sold and purchased but it can be done in the presence of head of subregency and Notary plays an important role in making the decree of transfer of right and without registered. If the purchaser wishes to make the certificate of sale and purchase, the notary can help it to the Land Affairs Office of Bireuen. Whereas the PPAT plays the role if the certificate of land has been issued by using the form of sale and purchase of PPAT and the document is registered to the Land Affairs Office of Bireuen for certification and change in name on behalf of the purchaser.
It is suggested that the community of Bireuen Regency to make the sale and purchase in the presence of head of subregency and Notary and without using the form of PPAT but with waive of right and reimbursement. The Land Affairs Office of Bireuen is suggested to give a sustainable legal guidance of non certificate land and also the PPAT in Bireuen Regency has to help the guidance.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peralihan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa dan/atau perbuatan
hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik
kepada pihak lain. Peralihan tersebut bisa disengaja oleh karena adanya perbuatan
hukum seperti jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya, dan juga tidak disengaja
karena adanya peristiwa hukum seperti peralihan karena warisan. Jadi, salah satu
bentuk peralihan hak atas tanah adalah karena jual beli.
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok
Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 yang menghapuskan dualisme
hukum tanah di Indonesia, dalam hal ini jual beli atas tanah. UUPA menciptakan
unifikasi di bidang hukum tanah yang didasarkan pada Hukum Adat. Oleh karena itu
meskipun UUPA tidak mengatur secara khusus mengenai jual beli,1 dapat dipahami
pengertian jual beli tanah dalam hukum tanah nasional adalah jual beli tanah
dalam pengertian Hukum Adat mengingat Hukum Agraria yang berlaku
adalah hukum adat.
1
Hukum agraria di Indonesia didasarkan pada Hukum Adat, hal itu diartikan
bahwa Hukum Agraria harus sesuai dengan kesadaran hukum dari rakyat banyak
yang hidup dan berkembang dinamis sesuai dengan tuntutan zaman. Hukum adat
yang dimaksudkan dalam hal ini sesuai dengan Penjelasan Umum angka III ayat (1)
UUPA adalah hukum asli dari rakyat Indonesia yang disempurnakan dan disesuaikan
dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya
dengan dunia internasional, atau sebagaimana diartikan oleh A.P. Parlindungan
adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan
Republik Indonesia yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah dan
diberi sifat nasional serta yang disana sini mengandung unsur agama, atau seperti
dikatakan oleh Boedi Harsono adalah Hukum Adat yang disaneer, dan oleh Sudargo
Gautama disebut sebagai Hukum Adat yang diretool.2
Dijadikannya Hukum Adat sebagai dasar dari Hukum Agraria Indonesia dapat
juga merupakan pengakuan dan penghormatan terhadap hukum asli dari rakyat
Indonesia yang di dalamnya terdapat hak-hak tradisional rakyat atas tanah yang
tunduk pada Hukum Adat.3
Keberadaan hukum agraria Indonesia ini didasarkan dari Hukum Adat ini
juga secara tegas dalam Pasal 5 UUPA yang berbunyi:
2
Lihat, Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 212-213.
3
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Peralihan tanah dengan cara jual beli pada hakikatnya merupakan salah satu
pengalihan hak atas tanah kepada pihak/orang lain yang berupa penjual kepada
pembeli tanah. Ketentuan mengenai jual beli tanah juga terdapat dalam KUHPerdata
yang menyebutkan bahwa jual beli tanah merupakan suatu perjanjian dengan mana
penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan
kepada pembeli, dan pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual
harga yang telah disetujui.
Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak
atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak
tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang
menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga
perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan
pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena
itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar
sebagian (tunai dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka
penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas
dasar hukum utang piutang.4
4
Kadang-kadang seorang pembeli tanah dalam pelaksanaan jual belinya belum
tentu mempunyai uang tunai sebesar harga tanah yang ditetapkan. Dalam hal yang
demikian ini berarti pada saat terjadinya jual beli, uang pembayaran dari harga tanah
yang ditetapkan belum semuanya terbayar lunas (hanya sebagian saja). Belum
lunasnya pembayaran harga tanah yang ditetapkan tersebut tidak menghalangi
pemindahan haknya atas tanah, artinya pelaksanaan jual beli tetap dianggap telah
selesai. Adapun sisa uang yang harus dibayar oleh pembeli kepada penjual dianggap
sebagai utang pembeli kepada penjual, jadi hubungan ini merupakan hubungan utang
piutang antara penjual dengan pembeli. Meskipun pembeli masih menanggung utang
kepada penjual berkenaan dengan jual belinya tanah penjual, namun hak atas tanah
tetap telah pindah dari penjual kepada pembeli saat terselesainya jual beli.5
Andrian Sutedi, mengemukakan:6
1. Jual beli tanah menurut Hukum Adat bukan merupakan suatu perjanjian, sehingga tidak mewajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli tersebut.
2. Jual beli tanah menurut Hukum Adat tidak menimbulkan hak dan kewajiban, yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi, apabila pembeli baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah tersebut.
Iman Soetignjo memberi pengertian ”terang” yang mejelaskan bahwa
pengalihan hak atas tanah menurut adat, harus dengan dukungan (medewerking)
5
Andrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 72.
6
Kepala Suku/Masyarakat Hukum/Desa agar perbuatan itu terang dan sahnya
(rechtsgeldigheid) ditanggung kepala adat tersebut. Selain daripada itu Kepala Adat
juga harus menjamin agar hak-hak ahli waris, para tetangga (buren recht) dan hak
antara sesama suku tidak dilanggar apabila tanah hak milik adat tersebut akan dijual
lepas atau dijual akad.7
Mengenai hal tersebut di atas J. Kartini Soedjendro mengemukakan apabila
dilaksanakan perbuatan hukum jual beli tanah adat, maka syarat-syarat yang harus
dipenuhi adalah:8
a) Harus ada persetujuan dari ahli waris apabila hubungan ahli waris masih kuat, mungkin mereka akan membeli tanah itu untuk seterusnya, untuk satu musim, atau untuk suatu waktu tertentu.
b) Hak tetangga (buren recht) dan hak sesama anggota suku/masyarakat hukum desa (naasting recht) harus diperhatikan juga. Apabila perbuatan hukum tersebut di atas akan diadakan, kecuali ahli waris, maka para tetangga yang tanahnya berbatasan harus diberi prioritas untuk membeli tanah yang akan dijual tersebut. Dan bilamana calon pembeli bukan anggota suku/masyarakat/desa, maka anggota suku/masyarakat/desa harus lebih dahulu diberi kesempatan untuk membeli tanah yang akan dijual itu. c) Apabila ahli waris, tetangga, atau sesama anggota suku tidak ada yang
mau membeli, maka ada kemungkinan bagi bukan anggota suku/ masyarakat/desa untuk membeli tanah tersebut. Untuk ini diperlukan keputusan desa dan atas dasar ini, oleh kepala suku/masyarakat/desa yang bertindak keluar mewakili suku masyarakat hukum/desa untuk memberikan ijin kepada bukan anggota. Namun mereka harus membayar sewa bumi secara tetap dan memberikan uang saksi.
Jadi secara keseluruhan transaksi-transaksi di atas tidak akan dilakukan tanpa
dukungan kepala suku/masyarakat/desa, bila dilakukan perbuatan hukum tersebut
tidak terang, tidak sah dan tidak berlaku bagi pihak ketiga.
7
Iman Soetignyo, Op. Cit., hal. 61. 8
Bahwa seperti yang telah diuraikan di atas, sistem yang dipakai dalam hal
pengalihan hak menurut hukum adat umumnya dikenal dengan sistem kongkrit,
kontan dan terang. T. Djuned berpendapat bahwa kongkrit berarti perbuatan hukum
itu terjadi secara nyata, dianggap nyata bila perbuatan itu diberi wujud suatu benda
atau tanda yang kelihatan seperti memberi uang panjar.9 Sedangkan kontan, diartikan
bahwa perbuatan hukum itu dikehendaki secara kontan, sehingga prestasi dan kontra
prestasi terlaksana serentak. Perbuatan hukum nyata bila perbuatan simbolis atau
suatu pengucapan telah selesai dilakukan dan tidak akan memberi akibat hukum
karena perbuatan hukum tersebut selesai pada saat itu juga Terang dalam arti bahwa
perbuatan pengalihan dilakukan di depan pejabat yang berwenang, pejabat yang
berwenang dalam hal ini adalah di hadapan Kepala Desa atau Kepala Adat dan
pamong desa lainnya.10
Di dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan setiap peralihan hak atas tanah
melalui jual-beli, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, hanya dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta
yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).” Dalam UUPA juga menentukan
bahwa setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus
9
T. Djuned, Asas-Asas Hukum Adat, Banda Aceh FH Unsyiah, Banda Aceh, 1992, hal. 21.
10
didaftarkan menurut ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang merupakan pembuktian
yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak
konsumen dari masyarakat.11
Dari ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa setiap dilakukan peralihan hak
atas tanah harus dibuat dengan menggunakan blanko akta (secara tertulis sebagai data
yuridis) oleh dan di hadapan PPAT. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan
perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak. Bila suatu perjanjian jual beli
tidak dilakukan di hadapan PPAT perjanjian jual-beli tersebut tetap sah bagi para
pihak, namun bila tanpa akta jual beli, tanah tersebut tidak dapat didaftarkan atau
dibalik nama ke atas nama pemilik yang baru di kantor pertanahan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, di dalam Pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah,
menetapkan PPAT sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat
akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau
hak milik atau satuan rumah susun. Subjek yang diangkat sebagai PPAT berdasarkan
pasal tersebut di atas adalah para Notaris yang telah lulus ujian yang diadakan oleh
BPN dan para Camat yang ditunjuk karena jabatannya sebagai PPAT sementara, hal
tersebut terdapat dalam Pasal 1 ayat (2), yang menyatakan PPAT sementara adalah
pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT
dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
11
Ketentuan di atas, menunjukkan bahwa Camat selain berfungsi sebagai
Kepala Wilayah suatu Kecamatan dalam sistem administrasi pemerintahan juga
berfungsi sebagai pejabat yang berwenang (sebagai fungsionalis hukum) dalam
membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Dan jika suatu
kecamatan telah diangkat seorang PPAT, maka kepala kecamatan yang bersangkutan
tetap menjadi PPAT sampai dia berhenti menjadi camat dari kecamatan itu.
Kemudian sesuai Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka Kepala Kecamatan sebagai PPAT
sementara yang berhenti sebagai PPAT sementara akan menyerahkan protokol PPAT
kepada PPAT sementara yang menggantinya.
Dalam Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah ditetapkan bahwa PPAT dilarang untuk membuatkan akta jika:
a) Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli hak yang bersangkutan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan ; atau
b) Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar kepadanya tidak disampaikan sebagai berikut:
1. Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa tanah yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan
Berdasarkan ketentuan pasal di atas dapat dijelaskan bahwa objek dan dari
perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dalam hal ini adalah jual beli tanah. Objek
tanah dapat berupa tanah yang sudah bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat,
misalnya tanah hak milik adat yang belum dimohonkan konversi pemegang haknya
menjadi hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA.
Tatacara jual beli tanah sebagai salah satu bentuk peralihan hak atas tanah,
haruslah dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT, baik Notaris sebagai PPAT,12
Camat sebagai PPAT Sementara, maupun PPAT Khusus untuk pengalihan HGU
berada di Jakarta, dengan suatu akta otentik berupa akta jual beli tanah. Untuk
mendapatkan bukti yang kuat dan lebih luas daya pembuktiannya, jual beli tanah
tersebut haruslah didaftarkan (balik nama) pada Kantor Pertanahan, sebagai asas
publisitas atas kepemilikan tanah tersebut.
Di dalam masyarakat Aceh sebelum tanah tersebut digarap, seorang warga
desa mempunyai kebebasan memilih lokasi yang disebut hak toeng tanoeh (hak
mendirikan tanah), walaupun sebelumnya mereka harus mendapat persetujuan dari
Ketua Adat dan masyarakat setempat. Hal ini bertujuan untuk melihat tanah tersebut
sudah ada yang memiliki atau belum.13 Bagi penduduk yang diberi ijin untuk
12
Notaris yang belum PPAT juga dapat berwenang membuat akta jual beli atas tanah, hanya saja tidak berwenang menggunakan atau dibuat dengan blanko akta jual beli PPAT, yang dalam praktek disebut ”Perikatan Jual Beli”. Pada dasarnya secara hukum dalam ”perikatan jual beli” belum terjadi jual beli atas tanah yang definitif, maka untuk dapat dilakukan pendaftaran (balik nama) maka terlebih dahulu harus dilakukan jual beli yang definitif di hadapan PPAT.
13
membuka hutan dan kemudian menggarapnya disebut hak chah rimba yaitu hak yang
didapat seseorang karena telah membuka hutan pertama kali di atas tanah tersebut.
Pembukaan hutan dapat ditandai dengan tanda pada pohon yang disebut lhat caweuk,
tanda tersebut juga dimaksudkan untuk mengetahui tanah tersebut sudah ada yang
garap sehingga orang lain harus menghormatinya. Hak chah rimba tersebut dapat
dipelihara secara terus-menerus sehingga dapat ditingkatkan status tanahnya menjadi
hak milik adat.
Kepemilikan atas tanah adat di Aceh pada awalnya merupakan pemberian
Kepala Adat kepada seseorang yang telah membuka hutan atau belukar, di mana
tanah tersebut kemudian digarap dan dapat menghasilkan hal yang bermanfaat baik
kepada penggarap sendiri maupun masyarakat setempat. Kemudian tanah tersebut
oleh pemilik semula ada yang sengaja dialihkan, dan ada yang beralih dengan sendiri
kepada ahli waris. Jadi dapat dimaklumi bahwa hampir sebagian masyarakat di Aceh
memiliki tanah karena jual beli dan pewarisan secara turun menurun. Dalam hal
diperoleh karena pewarisan biasanya ketentuan yang berlaku dalam peralihan seperti
ini biasanya didasarkan pada hukum waris Islam yang disebut Hukum faraidh,
sementara hukum tanah hanya memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah
karena pewarisan dan pemberian surat bukti pemilikannya oleh para ahli waris, serta
batas waktu pendaftaran peralihan tersebut sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Hal ini seperti tersirat dalam Pasal 61 ayat (3) Peraturan Pemerintah
pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu 6 (enam)
bulan sejak meninggalnya pewaris tidak dipungut biaya pendaftaran.
Masyarakat adat Aceh khususnya di Kabupaten Bireuen dalam melaksanakan
jual beli tanahnya, sebagian besar tanah tersebut belum bersertifikat, bahkan akta jual
beli tanah sebagian besar berasal dari Camat dalam kedudukannya sebagai PPAT
Sementara dengan blanko akta PPAT, karena PPAT hanya ada di Ibukota Kabupaten.
Walaupun belakangan sudah ada PPAT di Kecamatan tersebut tetapi masa jabatan
Camat tersebut belum habis. Namun sebagian lagi masyarakat sudah melakukan jual
beli atas tanahnya di hadapan PPAT.
Di masyarakat Aceh, peralihan hak atas tanah karena jual beli (bloe peubloe)
hanya dilakukan terhadap tanah hak mile’ (milik) sedangkan tanah hak useuha
peralihan haknya dengan gantoe peunuiyah (ganti rugi), di mana masing-masing dari
istilah tersebut mempunyai akibat hukum yang berbeda pula. Sebagai ganti rugi
dengan perantaraan Camat. Sedangkan Keuchik hanya sebagai saksi-saksi. Selain itu
surat-surat ini diperbuat oleh para pihak dengan pengetahuan Keuchik dan Kepala
Mukim,14 dan sudah menjadi kebiasaan pada masyarakat desa tersebut dalam
pembayaran ongkos akta bagian-bagian dari mereka ditentukan 3% untuk Camat, 1%
untuk Keuchik, 1% untuk Mesjid dan sisa 1% untuk Sekretaris Keuchik dan Kepala
Dusun masing-masing ½%, yang dihitung dari harga jual tanah.
14
Dalam masyarakat Aceh jabatan Keuchik merupakan jabatan yang sangat strategis, hal ini dikarenakan jabatan Keuchik dapat merupakan jabatan seumur hidup,
namun bila dianggap tidak cakap maka dapat dipilih dan diangkat orang diluar keturunan Keuchik. Tugas Keuchik sebagai penguasa puncak mampunyai tugas rangkap sebagai pimpinan masyarakat, selain sebagai pelaksana pemerintahan. Oleh
karena itu masyarakat menganggap segala persoalan gampong termasuk dalam hal peralihan jual beli atas tanah dapat hanya dilakukan di hadapan Keuchik.
Masyarakat Aceh beranggapan bahwa dengan kehadiran Keuchik sekaligus
adanya tanda tangan pada surat keterangan jual beli akan dapat menjamin sahnya jual beli tersebut, dan jika terjadi suatu permasalahan atas tanah di kemudian hari, maka
Keuchik akan bertanggung jawab untuk menyelesaikannya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul:
”Pengalihan Tanah Non Sertifikat Dengan Menggunakan Blanko Akta Jual Beli PPAT Pada Masyarakat Kabupaten Bireuen Aceh”.
B. Permasalahan
Bertitik tolak dari uraian di atas maka yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pelaksanaan pengalihan tanah non sertifikat dengan menggunakan
blanko akta jual beli PPAT pada masyarakat Kabupaten Bireuen Aceh?
2. Apakah faktor penyebab pengalihan tanah non sertifikat dengan menggunakan blanko akta jual beli PPAT di hadapan PPAT dan tidak didaftarkan di Kantor
3. Bagaimana peranan PPAT dalam pengalihan tanah non sertifikat dengan menggunakan blanko akta jual beli PPAT pada masyarakat Kabupaten Bireuen
Aceh?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menjelaskan pelaksanaan pengalihan tanah non sertifikat dengan
menggunakan blanko akta jual beli PPAT pada masyarakat Kabupaten Bireuen Aceh.
2. Untuk menjelaskan faktor penyebab pengalihan tanah non sertifikat dengan
menggunakan blanko akta jual beli PPAT di hadapan PPAT dan tidak didaftarkan
di Kantor Pertanahan Kabupaten Bireuen Aceh.
3. Untuk menjelaskan peranan PPAT dalam pengalihan tanah non sertifikat dengan
menggunakan blanko akta jual beli PPAT pada masyarakat Kabupaten Bireuen
Aceh.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoretis dan secara praktis,
yaitu:
1. Secara teoretis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum
terutama hukum pertanahan.
2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini adalah sebagai masukan bahan
institusi pemerintahan yang terkait, khususnya dalam hal pengalihan tanah
non sertipikat dengan menggunakan blanko akta jual beli PPAT dalam
masyarakat Kabupaten Bireuen Aceh.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi
dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara penelitian
dengan judul “Pengalihan Tanah Non Sertifikat Dengan Menggunakan Blanko Akta
Jual Beli PPAT Pada Masyarakat Kabupaten Bireuen Aceh” belum pernah dilakukan.
Memang ada penelitian yang sebelumnya yang berkaitan dengan jual beli tanah milik
adat yang dilakukan, oleh:
1. Cut Ida Khairani, Nim 027011009, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas
Sumatera Tahun 2004, dengan judul “Analisis Pelaksanaan Jual Beli Tanah Milik
Adat Pada Masyarakat Aceh (Studi di Kabupaten Aceh Barat)”.
2. Idawati Harahap, Nim: 017011027, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas
Sumatera Tahun 2003, dengan judul “Kajian Hukum Mengenai Alat Bukti
Kepemilikan Tanah Milik Adat Dalam Pendaftaran Tanah di Kota Padang
Sidempuan”.
Apabila diperhadapkan penelitian sebelumnya tersebut dengan penelitian ini maka
berbeda lokasi penelitian dan permasalahan yang dikaji. Oleh karena itu penelitian ini
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,15 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.16 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis.17
Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam tesis ini adalah teori keadilan pemikiran dari Roscou Pound yang menganut teori sociological
jurisprudence yang menitikberatkan pendekatan hukum ke masyarakat. Menurut
Sociological Jurisprudence, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup (the living law) di masyarakat.18
Teori Roscoe Pond tersebut di atas dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya yang berjudul Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan dimana hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat (a tool of
social engineering). Di samping itu, juga dikemukakan bahwa hukumpun dapat
dipakai sebagai sarana dalam proses pembangunan. Demikian pula halnya, bahwa hukum secara potensial dapat digunakan sebagai sarana pembangunan dalam
15
M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 16
Ibid., hal. 203. 17
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 18
berbagai sektor/bidang kehidupan,19 demikian halnya dalam pengalihan tanah non sertifikat dengan menggunakan blanko akta jual beli PPAT di masyarakat.
Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan atau dilepaskan.
Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar-menukar, dan hibah wasiat. Jadi, meskipun dalam pasal hanya disebutkan dialihkan,
termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli.
Apa yang dimaksud jual beli itu sendiri oleh UUPA tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi mengingat dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah
Nasional adalah Hukum Adat, berarti menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum, dan sistem Hukum Adat. Maka pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional adalah pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat. Hukum Adat
yang dimaksud Pasal 5 UUPA tersebut adalah Hukum Adat yang telah di-saneer yang dihilangkan dari cacat-cacatnya/Hukum Adat yang sudah disempurnakan/ Hukum Adat yang telah dihilangkan sifat kedaerahannya dan diberi sifat nasional.20
Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat merupakan perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa
19
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, 2002, hal 20-21 dan hal. 24.
20
penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belumlah terjadi jual
beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No. 271/KlSip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun tanah yang
bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual.21 Sifat terang dipenuhi pada umumnya pada saat dilakukannya jual beli itu disaksikan oleh Kepala Desa, karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui hukum dan kehadiran Kepala Desa
mewakili warga masyarakat desa tersebut.
Sekarang sifat terang berarti jual beli itu dilakukan menurut peraturan tertulis yang berlaku, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1868, “suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di
hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Kemudian menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), disebutkan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN.22
21
Boedi Harsono, “Perkembangan Hukum Tanah Adat Melalui Yurisprudensi”, Ceramah disampaikan pada Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dewasa ini, Banjarmasin, 7 Oktober 1977, hal. 50.
22
Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di
hadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli di
hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang
dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta jual beli yang ditandatangani para pihak
membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan
disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa
secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah
dilaksanakan. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan
hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya. Karena
perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak,
maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi
pemegang haknya yang baru. Akan tetapi, hal itu baru diketahui oleh para pihak dan
ahli warisnya, karenanya juga baru mengikat para pihak dan ahli warisnya karena
administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum.23
Syarat jual beli tanah ada dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil.
a. Syarat materiil
Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara
lain sebagai berikut:
23
1) Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan.
Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk
memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si
pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang
ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai.
Menurut UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara
Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah
(Pasal 21 UUPA). Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing di samping
kewarganegaraan Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang tidak
dikecualikan oleh pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan
tanah jatuh pada negara (Pasal 26 ayat (2) UUPA).24
2) Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan
Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dan hak
atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu
orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila pemilik
24
tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang itu
bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.25
3) Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam sengketa.
Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah ditentukan
dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 20), hak guna usaha (Pasal 28), hak guna
bangunan (Pasal 35), hak pakai (Pasal 41). Jika salah satu syarat materiil ini tidak
dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang
dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas
tanah atau tanah, yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau merupakan
tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak
sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal demi
hukum. Artinya, sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.26
b. Syarat formal
Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT (Pejabat Pembuat
Akta Tanah) akan membuat akta jual belinya. Akta jual beli menurut Pasal 37
25
Effendi Perangin, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 2. lihat ketentuan Pasal 124 KUH Perdata, Hanya suami saja yang boleh mengurus harta-bersama itu. Dia boleh menjualnya, memindahtangankannya dan membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam pasal 140. Dia tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik barang-barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau suatu bagian atau jumlah tertentu dari barang-barang bergerak, bila bukan kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka, untuk memberi suatu kedudukan. Bahkan dia tidak boleh menetapkan ketentuan dengan cara hibah mengenai suatu barang yang khusus, bila dia memperuntukkan untuk dirinya hak pakai hasil dari barang itu. (Tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan-Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa.)
26
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 harus dibuat oleh PPAT. Jual beli yang
dilakukan tanpa di hadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada Hukum
Adat (Pasal 5 UUPA), sedangkan dalam Hukum Adat sistem yang dipakai adalah
sistem yang konkret/kontan/nyata (riil). Kendatipun demikian, untuk mewujudkan
adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah, Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana dari UUPA telah
menentukan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah
harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT.27
Sedangkan untuk tanah yang belum terdaftar, maka terlebih dahulu harus didaftarkan
pada Kantor Pertanahan, baru dapat dilakukan pemindahan hak melalui PPAT.
Sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka disyaratkan bagi para pihak untuk
menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT, yaitu
a. Jika tanahnya sudah bersertifikat: sertifikat tanahnya yang sah dan tanda bukti
pembayaran biaya pendaftarannya, KTP, dan NJOP.
b. Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah tersebut belum
bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh Kepala
Desa, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan
pembelinya yang diperlukan untuk persertifikatan tanahnya setelah selesai
dilakukan jual beli.
27
Terhadap tanah yang sudah bersertifikat, setelah akta dibuat,
selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak akta tersebut ditandatangani, PPAT menyerahkan akta
tersebut kepada kantor pendaftaran tanah untuk pendaftaran pemindahan haknya.28
Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli, Mahkamah Agung dalam
Putusannya No. 1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah disempurnakan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, secara jelas
menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa
akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah.
Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian
mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat
dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran
tanah menurut PP No. 10 Tahun 1961 (yang sekarang sudah disempurnakan dengan
PP No. 24 Tahun 1997), pendaftaran jual beli itu hanya dapat (boleh) dilakukan
dengan akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan jual beli tanpa
dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat, biarpun jual
belinya sah menurut hukum.29 Tata usaha PPAT bersifat tertutup untuk umum,
pembuktian mengenai berpindahnya hak tersebut berlakunya terbatas pada para pihak
yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan para ahli warisnya).30
28
Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 29
Boedi Harsono, Hukum Agraria…, Op. Cit., hal. 52. 30
Dalam Yurisprudensi MA No. 123/KISip/1971, pendaftaran tanah hanyalah
perbuatan administrasi belaka, artinya bahwa pendaftaran bukan merupakan syarat
bagi sahnya atau menentukan saat berpindahnya hak atas tanah dalam jual beli.
Menurut ketentuan UUPA, pendaftaran merupakan pembuktian yang kuat mengenai
sahnya jual beli yang dilakukan terutama dalam hubungannya dengan pihak ketiga
yang beriktikad baik. Administrasi pendaftaran bersifat terbuka sehingga setiap orang
dianggap mengetahuinya.31
Pasal 19 UUPA mengatur mengenai pendaftaran tanah, dan sebagai
pelaksanaan dari Pasal 19 UUPA mengenai pendaftaran tanah itu dikeluarkanlah
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Menurut
Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa objek
pendaftaran tanah adalah bidang-bidang yang dipunyai dengan hak milik, hak guna
usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, tanah hak pengelolaan, tanah
wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, hak tanggungan, dan tanah Negara.
Didaftar maksudnya dibukukan dan diterbitkan tanda bukti haknya. Tanda bukti hak
itu disebut sertifikat hak tanah yang terdiri atas salinan buku tanah dan surat ukur
yang dijilid menjadi satu dalam satu sampul. Sertifikat itu merupakan alat
pembuktian yang kuat, maksudnya bahwa: keterangan-keterangan yang tercantum di
dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang
31
benar, selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian lain yang membuktikan
sebaliknya. Hal ini sesuai dengan kekuatan sertifikat sebagai alat bukti sebagaimana
penjelasan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang
menyebutkan bahwa:
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
Dalam Pasal 37 PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
disebutkan:
(1) Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan.
Dengan demikian peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT yang berwenang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk dibuatkan akta peralihan hak
tersebut, pihak yang memindahkan hak dan pihak yang menerima hak harus
dapat diwakili oleh seorang kuasa berdasarkan surat kuasa yang sah untuk melakukan
perbuatan hukum tersebut”.32
Dalam pendaftaran itu, pemindahan haknya yang didaftarkan dalam buku
tanah dan dicatat peralihan haknya kepada penerima hak dalam sertifikat. Dengan
demikian penerima hak mempunyai alat bukti yang kuat atas tanah yang
diperolehnya. Perlindungan hukum tersebut dengan jelas disebutkan dalam Pasal 32
ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 bahwa suatu bidang tanah yang sudah diterbitkan
sertifikatnya secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah
tersebut dengan iktikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang
merasa mempunyai hak atas tanah ini tidak dapat menuntut pelaksanaan hak tersebut
apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang hak dan kepada Kantor Pertanahan/
Kepada Pengadilan.
Pendaftaran di sini bukan merupakan syarat terjadinya pemindahan hak
karena pemindahan hak telah terjadi setelah dilakukan jual belinya di hadapan PPAT.
Dengan demikian jual beli tanah telah sah dan selesai dengan pembuatan akta PPAT
dan akta PPAT tersebut merupakan bukti bahwa telah terjadi jual beli, yakni bahwa
pembeli telah menjadi pemiliknya dan pendaftaran peralihan hak di Kantor Agraria
bukanlah merupakan syarat bagi sahnya transaksi jual beli tanah dan pendaftaran di
32
sini hanya berfungsi untuk memperkuat pembuktiannya terhadap pihak ketiga atau
umum. 33
Memperkuat pembuktian maksudnya memperkuat pembuktian mengenai
terjadinya jual beli dengan mencatat pada buku tanah dan sertifikat hak tanah yang
bersangkutan, sedangkan memperluas pembuktian dimaksudkan untuk memenuhi
asas publisitas karena dengan dilakukannya pendaftaran jual belinya maka diketahui
oleh pihak ketiga yang berkepentingan.
Di samping itu, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh (UU Pemerintah Aceh), Pasal 213 disebutkan bahwa: setiap warga
negara Indonesia yang berada di Aceh memiliki hak atas tanah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/
kota berwenang mengatur dan mengurus peruntukan, pemanfaatan dan hubungan
hukum berkenaan dengan hak atas tanah dengan mengakui, menghormati, dan
melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat sesuai dengan norma,
standar, dan prosedur yang berlaku secara nasional, yang ketentuan selanjutnya diatur
dengan Qanun34 yang memperhatikan peraturan perundang-undangan.
33
Bachtiar Effendie, Op. Cit., hal. 84. 34
2. Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang
disebut dengan operational definition.35 Pentingnya definisi operasional adalah untuk
menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu
istilah yang dipakai.36 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa
konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan, yaitu:
a. Bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang
berbatas.37
b. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi: pengumpulan,
pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang dan satuan-satuan
rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang
tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta
hak-hak tertentu yang membebaninya.38
35
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.
36
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal 35
37
Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
38
c. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya
bangunan atas bagian bangunan di atasnya.39
d. Data yuridis adalah keterangan mengenai status bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban-beban lain
yang membebaninya.40
e. Pengalihan hak karena jual beli merupakan balik nama dari pemegang sertipikat hak selaku penjual kepada pembeli dengan menggunakan akta PPAT yang
dimohon oleh pembeli kepada kepala kantor Pertanahan.41
f. Kantor Pertanahan adalah unit kerja badan pertanahan nasional di wilayah kabupaten atau kotamadya, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.42
g. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.43
h. PPAT Sementara adalah pejabat pemerintah (Camat) yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. 44
39
Pasal 1 angka 6 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 40
Pasal 1 angka 7 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 41
S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah Persyaratan Permohonan Di Kantor Pertanahan, PT. Gresindo, Jakarta, hal. 83.
42
Pasal 1 angka 23 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 43
Pasal 1 angka 2 PP No. 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah 44
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya suatu penelitian yang
menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk
teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan,45 dalam hal ini
pengalihan tanah non sertifikat dengan akta jual beli: studi pada masyarakat
Kabupaten Bireuen Aceh. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan
perundang-undangan, khususnya yang menyangkut Undang-Undang Pokok Agraria
dan peraturan pelaksanaannya. Jadi, sifat penelitian ini adalah juridis normatif, yaitu
penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada
peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.46
2. Sumber Data
Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung
penelitian lapangan, sebagai berikut:
a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan
melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier.47
45
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 63. 46
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.13 47
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
c) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
e) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan pengalihan tanah non sertifikat dengan akta jual beli.
3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus
ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan pengalihan tanah non sertifikat dengan akta jual beli.
b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data yang terkait dengan
pengalihan tanah non sertifikat dengan akta jual beli.
3. Alat Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu:
1.
Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan2.
Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur kepadainforman yang telah ditetapkan yang terkait dengan pengalihan tanah non
sertifikat dengan akta jual beli di Kabupaten Bireuen Aceh, yaitu:
a. Masyarakat pelaku pengalihan tanah non sertifikat dengan akta jual beli di
Kabupaten Bireuen Aceh, sebanyak 3 orang.
b. Kepala Desa/Keuchik di Kabupaten Bireuen Aceh, sebanyak 3 orang.
c. PPAT di Kabupaten Bireuen Aceh sebanyak 3 orang
d. Camat/PPAT Sementara di Kabupaten Bireuen Aceh sebanyak 3 orang.
b. Pejabat/Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh,
sebanyak 1 orang.
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data
kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi
berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan informan
hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.
Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta
dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan
analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat
satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data
yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan
44
menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban
khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi