• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Penerima Waralaba Atas Wanprestasi Yang Dilakukan Oleh Pemberi Waralaba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Penerima Waralaba Atas Wanprestasi Yang Dilakukan Oleh Pemberi Waralaba"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.

Amirizal, Hukum Bisnis, Risalah Teori dan Praktik, Djambatan, Jakarta, 1999. Al-Rasyid Chairul, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

Badrulzaman Mariam D, Aneka Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.

Cst Kansil, dkk., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2000.

Djumhana Muhammad, Aspek-Aspek Hukum Desain Industri di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Bandung, P.T Refika Aditama, 2001

Fuady Munir, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.

Hadisoeprapto Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, 1984

Handowo Dipo, Sukses Usaha Memperoleh Dana, Dengan Konsentrasi Modal Ventura, Grafiti Press, Jakarta, 1993

Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.

Hukumonline, Beban Berat Bagi Pelaku Usaha, Sabtu 10 Mei 2008. Ichsan Achmad, Hukum Perdata IA, Pembimbing Masa, Jakarta, Cet. 1996 Jogiyanto, Analisis dan Disain Sistem Informasi, Andi Offset, Yogyakarta, 1990. Kurniawan Fanny, Tinjauan Yuridis Kontrak Bisnis Waralaba Domestik Dengan

(2)

Mendelsohn Martin, Franchising, Petunjuk Praktis Bagi Franchisor Dan Franchisee, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1997.

Pascadaddy, Franchise, http://pascaldaddy512.wordpress.com/franchise/, Diakses tanggal 15 Nopember 2009

Philipus M. Hadjon, Pengantar Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1997, Yogyakarta

Poerwadarminta, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999. Retnowati Endang, Pelaksanaan Prinsip Keterbukaan ,Perspektif Vol.VII,

Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma, 2002

Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Azaz-Azaz Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1999.

Satrio, Hukum Perikatan; Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999 Sembel Roy – Tedy Ferdiansyah, Tujuh Jurus Pendanaan Di Tahun Kuda Air,

USAHAWAN No. 03 Th. XXXI, Jakarta, 2002.

Trust, Salon ditebar gugatan tiba, www.majalahtrust.com, 26 Oktober 2008

Utomo Njoto, Waralaba Tahun 2008 Ramai-ramai Menjadi Lisensi, http://indocashregister.com/2008/10/14/waralaba-2008-ramai-ramai-jadi-lisensi/, 14 Oktober 2008

Widjaya Gunawan, Lisensi Atau Waralaba, Suatu Panduan Praktis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

(3)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA

A. Pengertian Waralaba

Franchise berasal dari bahasa Latin, yaitu francorum rex yang artinya “bebas dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak usaha. Sedangkan pengertian franchise berasal dari bahasa Perancis abad pertengahan diambil dari kata “fran” (bebas) atau “francher” (membebaskan), yang secara umum diartikan sebagai pemberian hak istimewa.22

Sebagai dampak era globalisasi yang melanda di berbagai bidang, terutama dalam bidang perdagangan dan jasa, franchise masuk ke dalam tatanan hukum masyarakat Indonesia, istilah franchise selanjutnya menjadi istilah yang akrab dengan masyarakat bisnis Indonesia dan menarik perhatian banyak pihak untuk mendalaminya. Kemudian istilah franchise diistilahkan sebagai waralaba yang diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM). Waralaba berasal dari kata "wara" (lebih atau istimewa) dan "laba" (untung) sehingga waralaba berarti usaha yang memberikan laba lebih atau istimewa.23

Pengertian waralaba (franchise) menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menyebutkan bahwa :

Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Henry Campbell Black, dalam Black's Law Dictionary sebagaimana yang

22

Adrian Sutendi, Op.Cit, hal. 6 23

(4)

dikutip oleh Juajir Sumardi, memberikan beberapa pengertian mengenai

franchise, sebagai berikut :24

1. Franchise is a special privilege to do certain things conferred by government on individual v corporation, and which does not belong citizens generally of common right; e.g, right granted to offer cable television service.

2. Franchise is a privilige or sold, such as to use a name or to sell product or service. The right given by a manufacturer or supplier to a retailer to use his products and name on terms and conditions mutually agreed upon.

3. Franchise is a lincense from owner of a trade mark or trade name permitting another to sell a product or service under that name or mark.

Dalam terjemahan bebasnya dapat diartikan sebagai :

1. Waralaba adalah hak khusus yang istimewa untuk melakukan sesuatu yang diberikan oleh Pemerintah terhadap individu atau perusahaan, yang bukan merupakan hak warga negara pada umumnya; misalnya hak untuk menawarkan layanan televisi kabel.

2. Waralaba adalah hak istimewa atau menjual, seperti untuk menggunakan nama atau menjual barang atau jasa. Hak tersebut diberikan oleh pabrikan atau pemasok barang kepada pengecer untuk menggunakan barang dan nama berdasarkan ketentuan yang telah disepakati bersama.

3. Waralaba adalah pemberian lisensi dari pemilik merck dagang atau nama dagang yang mengizinkan pihak lain untuk menjual barang atau jasa dibawah nama dan merek tersebut.

Dari beberapa pengertian di atas, Black melihat waralaba sebagai :

Suatu preferen atau suatu keistimewaan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap individu atau perusahaan untuk melakukan sesuatu yang belum merupakan hak dari setiap warga negara. Di samping itu, waralaba juga merupakan keistimewaan dengan pemberian hak untuk menjual barang atau jasa dengan menggunakan nama pabrikan atau supplier kepada pengecer untuk menggunakan namanya sesuai lisensi dari pemilik merek dagang atau nama dagang yang diperbolehkan kepada pihak lain untuk menjual suatu produk atau pelayanaan berdasarkan merek atau nama dagang tersebut.25

Suharnoko mengemukakan bahwa waralaba pada dasarnya adalah “sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen”. Pemberi waralaba dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada

24

Juajir Sumardi, Op.cit. hal. 13. 25

(5)

Penerima Waralaba untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa di bawah nama dan identitas Pemberi Waralaba dalam wilayah tertentu.26

Salim HS memberikan definisi waralaba yaitu:

Suatu kontrak yang dibuat antara franchisor dan franchisee, dengan ketentuan pihak franchisor memberikan lisensi kepada franchisee untuk menggunakan merek barang atau jasa dalam jangka waktu tertentu dan pembayaran sejumlah royalti tertentu kepada franchisor.27

Menurut Gunawan Widjaja,

Waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk mempergunakan sistem, metode, tata cara. prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang telah ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif.28

Jadi, dalam hal ini Penerima Waralaba tidak dapat menggabungkan usaha miliknya dengan usaha milik Pemberi Waralaba.

Menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek,

Perjanjian lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek tersebut, baik untuk seluruh atau sebagaian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu.

Lisensi tidak hanya menyangkut mengenai Merek tetapi juga mencakup hak-hak intelektual lainnya seperti paten, hak cipta, desain industri dan sebagainya.

Menurut Adrian Sutendi,

26

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Jakarta: Kencana, 2004. hal 83. 27

Salim HS. Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Jakarta: PT. Sinar Grafika.2008. hal. 163. ( Selanjutnya disebut Salim HS II)

28

(6)

Perjanjian lisensi biasa tidak sama dengan perjanjian waralaba. Pada perjanjian lisensi biasa hanya meliputi satu bidang kegiatan saja, misalnya pemberian izin lisensi bagi penggunaan merek tertentu ataupun lisensi pembuatan satu/beberapa jenis barang tertentu sedangkan pada perjanjian waralaba, pemberian lisensi melibatkan berbagai macam hak milik intelektual, seperti nama perniagaan, merek, model, desain.”29

Waralaba dapat berkembang dengan pesat karena metode pemasaran dan juga merupakan sarana pengembangan usaha ini, digunakan oleh berbagai jenis bidang usaha, mulai restoran, bisnis retail, salon, hotel, dealer mobil, dan sebagainya. Waralaba juga mulai berkembang di berbagai negara termasuk di Indonesia, baik waralaba asing yang dijalankan oleh pengusaha Indonesia sebagai Penerima Waralaba, maupun waralaba yang dikembangkan oleh pengusaha Indonesia, yang sering disebut sebagai waralaba lokal, di antaranya Es Teller 77, Salon Rudy Hadisuwarno.

B. Perjanjian Franchise sebagai Perjanjian Innominat

Waralaba (Frasnchise) didasarkan pada suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian waralaba dimana perjanjian ini melibatkan dua pihak atau lebih yaitu pihak Pemberi Waralaba sebagai pemberi hak dan pihak Penerima Waralaba sebagai penerima hak waralaba.

Perjanjian Waralaba adalah pemberian hak oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba untuk menggunakan kekhasan usaha atau ciri pengenal bisnis di bidang perdangangan/jasa berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan termasuk identitas perusahaan (logo, merek dan desain perusahaan, penggunaan rencana pemasaran serta pemberian bantuan yang luas, waktu/saat/jam operasional. pakaian dan penampilan karyawan) sehingga kekhasan usaha atau ciri pengenal bisnis dagang/jasa milik Penerima Waralaba sama dengan kekhasan usaha atau bisnis

29

(7)

dagang/jasa milik Pemberi Waralaba.30

Perjanjian waralaba merupakan landasan legal yang berlaku sebagai undang-undang dalam mengoperasionalkan hubungan yang telah disepakati oleh Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba, serta merupakan landasan untuk menjaga kepentingan Pemberi Waralaba maupun Penerima Waralaba.31 Dengan demikian, sangat penting mengatur isi perjanjian yang mengatur kepentingan kedua belah pihak agar tercipta keseimbangan hak dan kewajiban.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang menyatakan “semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab lalu”. Dari isi pasal tersebut, disebutkan adanya perjanjian yang mempunyai nama khusus (nominaat) dan perjanjian yang tidak dikenal dengan nama khusuc (innominaat). Perjanjian nominaat adalah suatu perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam pakai, tukar menukar. Sedangkan, Perjanjian

innominaat ialah perjanjian yang tidak terdapat di dalam KUH Perdata namun berkembang di tengah masyarakat, seperti leasing, kontrak karya, joint venture, beli sewa, waralaba dan lain-lain. Perjanjian innominaat ini berlaku terhadap peraturan yang bersifat khusus, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan apabila dalam undang-undang khusus tidak diatur maka kita mengacu kepada KUH Perdata sebagai peraturan yang bersifat umum. Waralaba sebagai suatu perjanjian innominaat diatur dalam PP No. 42 Tahun

30

Rooseno Hardjowidigdo. Op.Cit, hal 5. 31

(8)

2007 tentang Waralaba. Walaupun perjanjian waralaba tidak diatur secara khusus di dalam KUH Perdata, tetapi harus tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam KUH Perdata.

Perjanjian waralaba dapat diterima di dalam hukum karena di dalam KUH Perdata terdapat suatu asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tersebut juga harus memperhatikan Pasal 1320 KUH Perdata yang berisi mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Singkatnya, hukum perjanjian yang memakai sistem terbuka yang mengandung asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

C. Bentuk-bentuk Waralaba

Menurut Juajir Sumardi, bentuk-bentuk waralaba terbagi dua, yaitu :32 1. Franchise sebagai Format Bisnis

Waralaba sebagai format bisnis maksudnya adalah seorang Penerima Waralaba memperoleh hak untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau lokasi yang spesifik dengan menggunakan standar operasional dan pemasaran yang dari Pemberi Waralaba.

Martin Marldelsohn memberi pengertian mengenai franchise format bisnis yaitu :

32

(9)

Pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (franchisor) kepada pihak lain (franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada franchisee untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang franhisor, dan untuk menggunakan merek dagang/nama dagang franchisor, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis dan untuk menjalankanya dengan bantuan yang terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.

Dalam bentuk ini terdapat tiga jenis format bisnis franchise, yaitu : a. Franchise pekerjaan

Dalam bentuk ini Penerima Waralaba yang menjalankan usaha waralaba pekerjaan sebenarnya membeli dukungan untuk usahanya sendiri. Misalnya, bisnis penjualan jasa penyetelan mobil dengan merek waralaba tertentu. Bentuk waralaba ini cenderung paling murah, umumnya membutuhkan modal yang kecil karena tidak menggunakan tempat dan perlengkapan yang berlebihan.

b. Franchise Usaha

Waralaba usaha merupakan bidang waralaba yang berkembang pesat, bentuknya berupa toko eceran yang menyediakan barang atau jasa. Biaya yang dibutuhkan lebih besar dari waralaba pekerjaan karena dibutuhkan tempat usaha dan peralatan khusus.

c. Franchise Investasi

(10)

2. Franchise Distibusi Produk

Dalam bentuk ini seorang Penerima Waralaba memperoleh lisensi ekslusif untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan tunggal dalam lokasi yang spesifik. Dalam bentuk ini, Pemberi Waralaba dapat juga memberikan waralaba wilayah, dimana Penerima Waralaba wilayah atau sub-pemilik waralaba membeli hak untuk mengoperasikan atau menjual waralaba di wilayah geografis tertentu. Sub-pemilik waralaba itu bertanggungjawab atas beberapa atau seluruh pemasaran waralaba, melatih dan membantu Pemberi Waralaba baru, dan melakukan pengendalian mutu, dukungan operasi, serta program penagihan royalti.

Franchise wilayah memberi kesempatan kepada pemegang franchise

induk untuk mengembangkan rantai lebih cepat daripada biasa. Keahlian manajemen dan risiko finansialnya dibagi bersama oleh pemegang

franchise induk dan sub-pemegangnya. Pemegang indukpun menarik manfaat dari penambahan dalam royalti dan penjualan produk.

Hampir setiap pengaturan sub-franchise adalah untuk dalam komitmen yang dibuat oleh setiap pihak. Namun, ciri bersama dari persetujuan yang dibuat adalah petnbagian bersama dari penghasilan franchise. Biaya

franchise, royalti, sumbangan pengiklanan, dan biaya transfer franchise dibayar oleli pemegang franchise (franchisee) tunggal kepada sub-pemegang franchise, dan sebagian dari itu dibayarkan kepada sub-pemegang franchise induk (franchisee induk).33

D. Subyek dan Obyek Perjanjian Waralaba

Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban, atau sebagai pendukung hak dan kewajiban, menurut Achmad Ichsan :

Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika, yaitu makhluk hidup yang mempunyai panca indera dan mempunyai budaya. Sedangkan “orang” adalah pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang

33

(11)

atau persoon34

Hukum yang berlaku di Indonesia sekarang ini, manusia di anggap atau diakui sebagai manusia pribadi, artinya diakui sebagai orang atau person. Karena itu setiap manusia diakui sebagai subyek hukum (recht persoon lijkheid) yaitu pendukung hak dan kewajiban.

Pada dasarnya seseorang dinyatakan sebagai subyek hukum ketika dilahirkan, dan berakhir ketika meninggal dunia. Namun hal ini tidak mutlak, sebab ada perkecualian seperti yang diatur dan ditetapkan dalam pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

Anak-anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.

Sebagai pendukung hak dan kewajiban, seseorang memiliki kewenangan untuk bertindak, dan tentu kewenangan bertindak tersebut harus menurut hukum, dengan kata lain manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan hukum. Namun demikian kewenangan itu dibatasi oleh beberapa faktor dan keadaan tertentu, sehingga seseorang dapat dinyatakan wenang untuk melakukan tindakan hukum apabila dia itu dewasa dan sehat jiwanya serta tidak berada dalam pengampuan (curandus).

Sedangkan pengertian dari obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh para subyek hukum. Dalam bahasa hukum, obyek hukum dapat juga di sebut hak atau benda yang dapat dikuasai dan/ atau dimiliki subyek

34

(12)

hukum. Misalnya, A meminjamkan buku kepada B. di sini yang menjadi obyek hukum dalam hubungan hukum antara A dan B adalah buku. Buku menjadi obyek hukum dari hak yang dimiliki A.35

Dalam hal perjanjian waralaba, maka subyek hukumnya adalah pemberi waralaba dan penerima waralaba. Pengertian dari Pemberi waralaba dan penerima waralaba diatur dalam Pasal PP No. 42 Tahun 2007 Pasal 3 dan 4, yang berbunyi : Pasal 3 : “Pemberi Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada Penerima Waralaba.”

Pasal 4 : Penerima Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba.

Sedangkan penerima waralaba menurut Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 Pasal 4 dan 5 dibagi menjadi dua yakni :

Pasal 4 : ”Penerima Waralaba Utama (Master Franchisee) adalah Penerima Waralaba yang melaksanakan hak membuat Perjanjian Waralaba Lanjutan yang diperoleh dari Pemberi Waralaba dan berbentuk Perusahaan Nasional.” Pasal 5 : ”Penerima Waralaba Lanjutan adalah badan usaha atau perorangan yang menerima hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi Waralaba melalui Penerima Waralaba Utama.

Obyek perjanjian waralaba atau klausula-klausula perjanjian waralaba sendiri menurut PP No. 42 tahun 2007 Pasal 5 yakni :

Perjanjian Waralaba memuat klausula paling sedikit : a. nama dan alamat para pihak;

b. jenis Hak Kekayaan Intelektual; c. kegiatan usaha;

d. hak dan kewajiban para pihak;

e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;

35

(13)

f. wilayah usaha;

g. jangka waktu perjanjian; h. tata cara pembayaran imbalan;

i. kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris; j. penyelesaian sengketa; dan

k. tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.

E. Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW)

PP Nomor 42 Tahun 2007 tidak mengatur lebih detail mengenai bagaimana proses pendaftaran waralaba, sehingga dalam Pasal 13 PP Nomor 42 Tahun 2007 memberikan penjelasan bahwa ”Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Waralaba diatur dengan Peraturan Menteri.”

Sampai saat ini peraturan menteri terbaru sebagai peraturan pelaksana dari PP Nomor 42 Tahun 2007 belum dibuat sehingga merujuk pada Ketentuan Penutup dalam Pasal 21 PP Nomor 42 Tahun 2007, maka saat ini peraturan pelaksanan yang berlaku dari PP ini adalah Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006. Adapun Pasal 21 PP Nomor 42 Tahun 2007 sebagai dasar hukum pemberlakuan Kepmendag Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006 tersebut berbunyi :

Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3690) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

(14)

memperoleh Surat Tanda Perolehan Usaha Waralaba ke instansi yang berwenang dengan lampiran yang sesuai dengan Pasal 12 Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 yakni :

1) Daftar Isian Permohonan STPUW yang telah diisi dan ditandatangani oleh Penerima Waralaba atau kuasanya di atas kertas bermeterai cukup, diserahkan kepada pejabat penerbit STPUW dengan dilampirkan:

a. Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik/pengurus perusahaan; b. Copy Izin Usaha Departemen/Instansi teknis;

c. Copy Tanda Daftar Perusahaan (TDP); d. Copy Perjanjian Waralaba;

e. Copy Keterangan tertulis (Prospektus usaha) Pemberi Waralaba; f. Copy Surat Keterangan Legalitas Usaha Pemberi Waralaba.

2) Copy dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilampirkan dokumen asli dan akan dikembalikan kepada pemohon STPUW setelah selesai pemeriksaan mengenai keabsahannya.

Adapun instansi yang berwenang dalam proses pengurusan permohonan dan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPUW) berdasarkan Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 Pasal 10 yakni :

1) Menteri memiliki kewenangan pengaturan kegiatan usaha Waralaba.

2) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar Negeri.

3) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Gubernur DKI/Bupati/Walikota bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri.

4) Bupati/Walikota melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Kepala Dinas yang bertanggung jawab di bidang perdagangan bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri.

5) Khusus Propinsi DKI Jakarta, Gubernur melimpahkan kewenangan penerbitan STPUW kepada Kepala Dinas yang bertanggungjawab dibidang perdagangan bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri.

(15)

Kepmendag No. 12/M-DAG/Per/3/2006 Pasal 10 diatas, akan digambarkan sebagai berikut :

1. Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar Negeri :

Menteri Perdagangan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri

2. Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri khusus untuk pengajuan permohonan di DKI Jakarta:

Menteri Perdagangan Gubernur DKI Kadin Perdagangan

3. Bagi Penerima Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam Negeri, Penerima Waralaba Lanjutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Dalam dan Luar Negeri khusus untuk pengajuan di luar DKI Jakarta :

Menteri Perdagangan Bupati / Walikota Kadin Perdagangan

(16)

tahun, seperti diatur dalam Pasal 12 ayat (5), (6), dan (7) PP Nomor 42 Tahun 2007 yakni :

5) Surat Tanda Pendaftaran Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

6) Dalam hal perjanjian Waralaba belum berakhir, Surat Tanda Pendaftaran Waralaba dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

7) Proses permohonan dan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba tidak dikenakan biaya.

(17)

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM FRANCHISE ATAS WANPRESTASI

FRANCHISOR (RUDI HADI SUWARNO)

A. Prosedur Perjanjian Waralaba antara Franchise dan Franchisor

Pada dasarnya waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk menggunakan system, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif. Seorang atau suatu pihak yang menerima waralaba tidaklah dimungkinkan untuk melakukan kegiatan lain yang sejenis atau yang berada dalam suatu lingkungan yang mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha waralaba yang diperoleh olehnya dari pemberi waralaba.

Pada dasarnya suatu waralaba adalah suatu bentuk perjanjian, yang isinya memberikan hak dan kewenangan khusus kepada pihak Penerima Waralaba, yang terwujud dalam bentuk :36

1. Hak untuk melakukan penjualan atas produk berupa barang dan atau jasa dengan mempergunakan nama dagang atau merek dagang tertentu;

2. Hak untuk melaksanakan kegiatan usaha dengan atau berdasarkan pada suatu format bisnis yang telah ditentukan oleh Pemberi Waralaba.

36

(18)

Dengan ini berarti sebagai suatu perjanjian, waralaba juga tunduk pada ketentuan umum yang berlaku bagi sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.37 Dalam PP Nomor 42 pengaturan perjanjian khususnya mengenai waralaba hanya sebatas tentang cara pembuatan perjanjian, pendaftaran perjanjian, dan sanksi administratif dari instansi yang berwenang saja. Untuk pengaturan tentang bagaimana jika terjadi wanprestasi diantara para pihak yang membuat perjanjian, dalam PP tersebut tidak mengaturnya.

Sebagai suatu perjanjian, Pasal 1320 KUH Perdata tetap mengikat sebagai syarat dasar dari sahnya perjanjian untuk waralaba yakni adanya38 :

1) Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan diri ( Toestaming )

2) Kecakapan untuk mengadakan perikatan ( Bekwaamheid ) 3) Mengenai suatu obyek tertentu ( Een Bepaal Onderwerp ) 4) Mengenai kausa yang diperbolehkan ( Geoorloofde Oorzaak )

Secara khusus mengenai syarat lainnya mengenai sahnya perjanjian waralaba diatur dalam Pasal 4 PP No. 42 Tahun 2007, yakni:

1) Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.

2) Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Atas dasar pasal tersebut, maka syarat suatu perjanjian waralaba jika tidak ditulis dalam bahasa Indonesia maka perjanjian tersebut harus diterjemahkan

37 Ibid. 38

(19)

dalam bahasa Indonesia.

Dalam hal timbulnya perjanjian antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba baru terjadi jika telah ada kesepakatan berdasarkan prospektus yang ditawarkan untuk kemudian dilakukan pembuatan perjanjian. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dinyatakan Munir Fuady bahwa sebuah kesepakatan bisa terjadi pada saat pihak pemberi tawaran tersebut mengirimkan akseptasinya (penawarannya) dan pihak penerima segera melakukan offer (tawaran) sampai pada saat kedua belah pihak saling menyetujui akan penawaran tersebut yang kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis.39

Setelah tahapan negosiasi dan pembuatan suatu dokumen perjanjian, maka tahapan berikutnya adalah pelaksanaan dan sekaligus pengawasan dari perjanjian. Pelaksanaan dan pengawasan merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. Tata cara pelaksanaan perjanjian (performance) serta akibat-akibat hukum dari pelaksanaan perjanjian harus secara cermat dipikirkan pada saat akan dibuatnya sebuah perjanjian, agar pada saat pelaksanaannya tidak mengalami suatu permasalahan yang mengganggu. Pelaksanaan perjanjian selain membutuhkaan adanya itikad baik juga perlu dikelola secara tepat agar tidak menimbulkan masalah. Dalam pelaksanaan perjanjian mungkin saja akan menghadapi hal-hal yang menghambat bahkan menyebabkan tidak terpenuhinya perjanjian tersebut.40

Demikian pula dalam perjanjian waralaba, sangat dimungkinkan dalam pelaksanaannya juga akan terjadi kegagalan atau hal-hal yang dapat menghambat

39

Munir Fuady 2, Op.Cit, hal. 12. 40

(20)

serta mengakibatkan tidak terpenuhinya perjanjian. Seperti halnya contoh kasus yang telah diuraikan dalam Bab sebelumnya mengenai pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh Rudi Hadisuwarno terhadap My Salon dimana pihak Rudy menaikkan fee franchise sampai dua kali lipat secara sepihak dimana hal tersebut tidak disebutkan sebelumnya dalam perjanjian.

Hal seperti contoh tersebut bisa saja terjadi karena pihak pemberi waralaba yang dalam hal ini secara ekonomi memang berada pada posisi yang lebih kuat jika dibandingkan dengan pihak penerima waralaba, karenanya tidak menutup kemungkinan dengan situasi dan kondisi yang seperti tersebut akan berdampak dan berpengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian waralaba dimana pihak pemberi waralaba akan mendominasi pihak penerima waralaba untuk memaksakan kehendaknya.

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Waralaba

Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak lainnya tidak dapat timbul dengan sendirinya. Hubungan ini tercipta karena adanya tindakan hukum yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga adanya satu pihak yang diberi hak oleh pihak lain untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak lain itu dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.41

Pada perjanjian yang bersifat perdata, melekat prinsip pemaksaan yang apabila debitur tidak memenuhi prestasi maka kreditur berhak memaksakan pemenuhan prestasi tersebut. Kreditur diberi hak gugat atau hak aksi untuk

41

(21)

memperoleh hak materil atas prestasi dengan menggunakan upaya hukum menurut hukum acara. Dan pada waktu yang bersamaan pula, masing-masing pihak dibebani kewajiban untuk memenuhi prestasi dan tanggung jawab untuk melaksanakan prestasi kepada masing-masing pihak secara sempurna.42

Hak dan Kewajiban masing-masing pihak serta bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada Penerima Waralaba, adalah sebagai berikut:43

Kewajiban Pemberi Waralaba

Pemberi Waralaba berkewajiban untuk:

1. Memberikan segala macam informasi yang berhubungan dengan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi obyek Waralaba, dalam rangka pelaksanaan waralaba yang diberikan tersebut;

2. Memberikan bantuan pada Penerima Waralaba pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada Penerima Waralaba.

Hak Pemberi Waralaba

Pemberi Waralaba memiliki hak untuk:

1. Melakukan pengawasan jalannya pelaksanaan waralaba;

2. Memperoleh laporan-laporan secara berkala atas jalannya kegiatan usaha Penerima Waralaba;

42

Ibid, hal. 17. 43

(22)

3. Melakasankan inspeksi pada daerah kerja Penerima Waralaba guna memastikan bahwa waralaba yang diberikan telah dilaksanakan sebagaimana mestinya;

4. Sampai batas tertentu mewajibkan Penerima Waralaba dalam hal-hal tertentu, untuk membeli barang modal dan/atau barang-barang tertentu lainnya dari Pemberi Waralaba;

5. Mewajibkan Penerima Waralaba untuk menjaga kerahasiaan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba;

6. Mewajibkan agar Penerima Waralaba tidak melakukan kegiatan yang sejenis, serupa ataupun yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha yang mempergunakan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjuatan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi obyek waralaba;

7. Menerima pembayaran royalty dalam bentuk, jenis dan jumlah yang dianggap hak olehnya;

8. Meminta dilakukannya pendaftaran atas waralaba yang diberikan kepada Penerima Waralaba;

(23)

10.Atas pengakhiran waralaba, melarang Penerima Waralaba untuk memanfaatkan lebih lanjut seluruh data, informasi maupun keterangan yang diperoleh Penerima Waralaba selama masa pelaksanan waralaba;

11.Atas pengakhiran waralaba, melarang Penerima Waralaba untuk tetap melakukan kegiatan yang sejenis, serupa ataupun yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan mempergunakan HaKI, penemuan, atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi obyek waralaba;

12.Pemberian waralaba, kecuali yang bersifat eksklusif tidak menghapuskan hak Pemberi Waralaba untuk tetap memanfaatkan, menggunakan atau melaksanakan Hak atas kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi obyek waralaba.

Kewajiban Penerima Waralaba Kewajiban Penerima Waralaba adalah:

1. Melaksanakan seluruh instruksi yang diberikan oleh Pemberi Waralaba kepadanya guna melaksanakan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik yang menjadi obyek waralaba;

(24)

memastikan bahwa Penerima Waralaba telah melaksanakan waralaba yang diberikan dengan baik;

3. Memberikan laporan-laporan baik secara berkala maupun atas permintaan khusus dari Pemberi Waralaba;

4. Sampai batas tertentu membeli barang modal tertentu ataupun barang-barang tertentu lainnya dalam rangka pelaksanaan waralaba dari Pemberi Waralaba; 5. Menjaga kerahasiaan atas HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya

sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik yang menjadi obyek waralaba, baik selama maupun setelah berakhirnya masa pemberian waralaba;

6. Melaporkan segala HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik yang menjadi obyek waralaba yang ditemukan dalam praktek; 7. Tidak memanfaatkan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem

manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik yang menjadi obyek waralaba selain dengan tujuan untuk melaksanakan waralaba yang diberikan;

8. Melakukan pendaftaran Waralaba;

(25)

10.Melakukan pembayaran royalty dalam bentuk, jenis dan jumlah yang telah disepakati secara bersama;

11.Atas pengakhiran waralaba, tidak memanfatkan lebih lanjut data, informasi maupun keterangan yang diperoleh oleh Penerima Waralaba selama masa pelaksanaan waralaba;

12.Atas pengakhiran waralaba, tidak memanfaatkan lebih lanjut seluruh data, informasi maupun keterangan yang diperoleh oleh Penerima Waralaba selama masa pelakanaan waralaba;

13.Atas pegakhiran waralaba, tidak lagi melakukan kegiatan yang sejenis, serupa ataupun secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha yang mempergunakan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik yang menjadi obyek waralaba.

Hak Penerima Waralaba

Penerima Waralaba berhak untuk:

(26)

2. Memberikan bantuan dari Pemberi Waralaba atas segala macam pemanfaatan dan atau penggunaan HaKI, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi obyek waralaba.

Dalam perjanjian waralaba antara dengan Rudy Hadisuwarno dengan Rudy Hadi Suwarno Salon Medan dimuat berdasarkan Pasal 4 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yaitu:

1. Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.

2. Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (I) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Di dalam suatu penjanjian waralaba, terdapat hak dan kewajiban para pihak yang terlibat. Hak dan kewajiban antara Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba ini merupakan suatu hubungan yang timbal balik. Artinya, hak bagi Pemberi Waralaba merupakan kewajiban bagi Penerima Waralaba dan begitu pula sebaliknya, apa yang menjadi hak Penerima Waralaba merupakan kewajiban bagi Pemberi Waralaba.44 Hak dan Kewajiban itu antara lain :

Kewajiban Pemilik Waralaba Rudy Hadi Suwarno: 1. Menyediakan nama perusahaan/merek;

2. Menyediakan logo, desain dan fasilitas yang dapat segera dikenal konsumen;

44

(27)

3. Memberikan pelatihan manajemen yang profesional untuk setiap staf unit independen;

4. Memberikan bantuan secara berkelanjutan sesuai dengan petunjuk yang tertera dalam kontrak kerjasama;

5. Membangun komunitas usaha bersama agar saling mendukung; 6. Menyediakan kebutuhan produk/jasa dan kebutuhan operational.

Kewajiban pemegang hak waralaba (Penerima Waralaba):

1. Mengontrak paket usaha dengan jalan melakukan investasi keuangan dalam membantu pengoperasian usaha;

2. Membayar franchisee fee dalam persentase dan penghasilan kotor kepada Rudy Hadi Suwarno (Pemberi Waralaba);

3. Memelihara hubungan usaha yang berkelanjutan dengan Rudy Hadi Suwarno 4. Memelihara kinerja mutu tertentu;

5. Memelihara/menjaga paket peralatan yang dibeli dari Pemberi Waralaba Rudy Hadi Suwarno

Kewajiban Pemberi Waralaba diatur pula di dalam PP No. 42 Tahun 2007 yang dalam Pasal 7 berisi mengenai ketentuan bahwa “Pemberi Waralaba harus memberikan prospektus penawaran waralaba kepada calon penerima waralaba pada saat melakukan penawaran”. Di dalam Pasal 4 Permendag No. 31 Tahun 2008, diberikan tenggang waktu paling singkat selama 2 (dua) minggu sebelum penandatangan perjanjian waralaba.

(28)

sedikit memuat:45

1. Data identitas Pemberi Waralaba; 2. Legalitas usaha waralaba;

3. Sejarah kegiatan usaha, yaitu uraian yang mencakup mengenai pendirian usaha, kegiatan usaha dan pengembangan usaha;

4. Struktur Organisasi Pemberi Waralaba, yaitu dimulai dari Komisaris, Pemegang Saham dan Direksi sampai ke tingkat Operasional termasuk dengan Pewaralaba/Penerima Waralabanya;

5. Laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir, yaitu laporan keuangan atau neraca keuangan Perusahaan Pemberi Waralaba 2 (dua) berturut-turut dihitung sejak permohonan Prospektus Penawaran Waralaba;

6. Jumlah tempat usaha, yaitu outlet/gerai usaha waralaba sesuai dengan Kabupaten/Kota domisili untuk Pemberi Waralaba Dalam Negeri dan sesuai dengan negara domisili ouilet/gerai untuk Pemberi Waralaba Luar Negeri; 7. Daftar Penerima Waralaba, yaitu daftar nama dan alamat perusahaan dan/atau

perseorangan sebagai Penerima Waralaba dan perusahaan yang membuat prospektus penawaran baik yang berdomisili di Indonesia maupun di Luar Negeri;

8. Hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba, yaitu hak yang dimiliki baik oleh Pemberi waralaba maupun Penerima Waralaba.

45

(29)

a. Pemberi Waralaba berhak menerima fee atau royalty dari Penerima Waralaba, dan selanjutnya Pemberi Waralaba berkewajiban memberikan pembinaan secara berkesinambungan kepada Penerima Waralaba.

b. Penerima Waralaba berhak menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba, dan selanjutnya Penerima Waralaba berkewajiban menjaga Kode Etik/kerahasiaan Hak Kekayaan Intelektual atau ciri khas yang diberikan Pemberi Waralaba.

Pasal 8 PP No. 42 Tahun 2007 juga menyatakan bahwa “Pemberi Waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional, manajemen pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada Penerima Waralaba secara berkesinambungan”.

Pelatihan ini dimaksudkan untuk mendidik dan melatih Penerima Waralaba tentang tata cara bagaimana mengelola bisnis waralaba. Pelatihan ini seragam dengan Penerima Waralaba lainnya tersebut sehingga dapat mempertahankan citra yang berkualitas dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.

Menurut Pasal 11 PP No. 42 Tahun 2007 menyatakan adanya kewajiban dari pihak Penenima Waralaba untuk melakukan perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba ini memuat paling sedikit:

1. Nama dan alamat para pihak, yaitu nama dan alamat yang jelas perusahaan atau penanggungjawab perusahaan yang mengadakan perjanjian;

(30)

3. Kegiatan Usaha, misalnya kegiatan usaha restoran, apotek, atau bengkel; 4. Hak dan Kewajiban Para Pihak, berkaitan dengan hak dan kewajiban yang

dimiliki para pihak misalnya Pemberi Waralaba berhak menerima fee atau

royalty dari Penerima Waralaba dan Penerima Waralaba berhak menggunakan HaKI atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba;

5. Bantuan, Fasilitas, Bimbingan Operasional, Pelatihan dan Pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba, seperti bantuan fasilitas berupa penyediaan dan pemeliharaan komputer;

6. Wilayah Usaha, berkaitan dengan batas usaha yang diberikan kepada Penerima Waralaba,

7. Jangka Waktu Perjanjian, yaitu batasan waktu mulai dari berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian berlaku waku 10 (sepuluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani;

8. Tata Cara Pembayaran Imbalan, yaitu tata cara/ketentuan, waktu dan cara perhitungan besarnya imbalan fee atau royalty apabila disepakati dalam perjanjian yang menjadi tanggung jawab Penerima Waralaba;

9. Kepemilikan, Perubahan Kepemilikan dan Hak AhIi Waris, yaitu nama dan alamat jelas pemilik usaha apabila perseorangan, serta nama dan alamat Pemegang Saham, Komisaris dan Direksi apabila berupa badan usaha;

(31)

11.Tata Cara Perpanjangan, Pengakhiran dan Pemutusan Perjanjian, seperti perjanjian dapat diperpanjang kembali apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan ketentuan yang disepakati bersama ataupun pemutusan perjanjian tidak dapat dilakukan secara sepihak, perjanjian berakhir dengan sendirinya apabila jangka waktu yang telah ditetapkan di dalam kontrak telah berakhir.

Pemberi Waralaba sebagai pemberi hak waralaba mengkehendaki berbagai persyaratan, ketentuan ataupun aturan yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian. Dalam kenyataannya, terlihat bahwa Penerima Waralaba terikat dengan kontrak yang telah dibuat oleh Pemberi Waralaba sehingga, tampak bahwa posisi Pemberi Waralaba adalah posisi yang lebih dominan dibanding dengan posisi Penerima Waralaba yang hanya mengikuti aturan dari pihak Pemberi Waralaba.

C. Berakhirnya Perjanjian Waralaba Antara Franchise dan Franchisor

(32)

Perpanjangan perjanjian waralaba dirasa lebih aman bagi Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba karena menyangkut modal yang telah di investasikan oleh pihak Penerima Waralaba serta kemungkinan keuntungan yang lebih besar bagi Pemberi Waralaba atas hubungan bisnis waralaba ini.46

Untuk memperpanjang perjanjian waralaba pada Salon Rudy Hadi Suwarno Medan. Rudy Hadi Suwarno memberikan perpanjangan perjanjian waralaba berlaku untuk setiap unit salon dan dapat diperpanjang untuk 10 tahun berikutnya untuk salon-salon yang baru, tapi tidak ada lagi perpanjangan untuk salon yang telah diperpanjang untuk masa 10 (sepuluh) tahun. Dan, perjanjian waralaba ini langsung ditandatangani oleh (Pemberi Waralaba).

Dalam hal perpanjangan perjanjian waralaba, Penerima Warataba perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu:47

1. Ketaatan pada kontrak. Pemberi Waralaba enggan memperbaharui perjanjian apabila Penerima Waralaba pernah melakukan pelanggaran terhadap perjanjian sebelumnya ataupun yang melakukan wanprestasi pada saat pembaharuan;

2. Perpanjangan jangka waktu sewa tempat usaha untuk disesuaikan dengan jangka waktu pembaharuan;

3. Kewajiban memperbaiki tempat usaha sesuai dengan standar yang beraku; 4. Pembayaran uang perpanjangan yang berupa jumlah uang yang dihitung agar

cukup untuk menutup biaya administrasi dan jasa hukum yang timbul akibat adanya perpanjangan;

46

Juajir Sumardi, Op.Cit. hal. 57. 47

(33)

5. Pelepasan klaim sebelumnya. Hal yang bersifat kontroversial bagi perpanjangan adalah adanya persyaratan bahwa Penerima Waralaba melepaskan tuntutan atas klaim lain sebagai koridisi untuk perpanjangan.

Selain adanya jangka waktu yang telah ditentukan. Adakalanya, suatu perjanjian waralaba dapat dilakukan pemutusan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh Pemberi Waralaba.

Pemberi Waralaba berhak mengakhiri perjanjian dengan suatu alasan, yaitu telah adanya pelanggaran berat yang dilakukan oleh Pemberi Waralaba. Pemberi Waralaba melaksanakan haknya untuk mcngakhiri perjanjian melalui pemberitahuan kepada Penerima Waralaba dalam keadaan dan dengan cara:48 a. Kecuali untuk kegagalan Penerima Waralaba untuk membayar uang yang

berhutang kepada Pemberi Waralaba, Pemberi Waralaba dapat mengakhiri perjanjian setelah ada pemberitahuan sebelumnya kepada Penerima Waralaba yang memuat keterangan mengenai pelanggaran yang dilakukan. Jika ditetapkan, hak Pemberi Waralaba untuk mengakhiri itu akan berakhir, dengan ketentuan apabila sifat dari pelanggaran itu Penerima Waralaba tidak dapat memperbaikinya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan itu. Penerima Waralaba diberi tambahan waktu yang dianggap perlu atau cukup untuk memperbaiki pelanggaran itu, dengan ketentuan bahwa Penerima Waralaba setelah menerima pemberitahuan dari Pemberi Waralaba akan segera mengambil langkah memperbaiki pelanggaran dan melakukan usaha sebaik-baiknya untuk melakukan hal itu;

48

(34)

b. Terhadap setiap pelanggaran oleh Penerima Waralaba atas kewajibannya untuk membayar sejumlah uang kepada Pemberi Waralaba, Pemberi Waralaba dapat mengakhiri perjanjian sesudah ada pemberitahuan tertulis mengenai pelanggaran itu. Jika Penerima Waralaba memperbaiki pelanggaran itu di dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, hak Pemberi Waralaba untuk mengakhiri perjanjian tidak berlaku lagi;

c. Penerima Waralaba gagal untuk membuka dan mengoperasikan tempat usaha selama jangka waktu tertentu berturut-turut, kecuali dalam hal yang diatur dalam Buku Petunjuk Operasional;

d. Penerima Waralaba gagal membuka dan mengoperasikan tempat usaha selama jangka waktu tertentu, yang sesudah jangka waktu itu dapat disimpulkan bahwa, berdasarkan fakta dan keadaan yang ada, Penerirna Waralaba tidak berniat untuk melanjutkan waralabanya, kecuali jika kegagalan itu disebabkan oleh kebakaran, banjir, gempa bumi atau sebab lain yang berada di luar kemampuan Penerima Waralaba;

e. Jika Penerima Waralaba gagal untuk melaksanakan perjanjian nengenai kerahasiaan dan non-kompetisi;

f. Jika Penerima Waralaba mengalami pailit atau irisovelsi (menurut hukum yang berlaku), mengakui ketidakmampuannya untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat kewajiban harus dipenuhi;

(35)

jangka waktu yang telah ditetapkan, misalnya 30 hari, kecuali jika diajukan banding atau kasasi;

h. Jika Penerima Waralaba melakukan tindakan gadai yang mengikat bangunan tempat usaha dilakukan atau peralatan di dalamnya;

i. Jika yakin Penerima Waralaba melakukan penipuan, atau tindakan yang berkaitan dengan pengoperasian tempat usaha;

j. Jika Penerima Waralaba menjual, mengalihkan, mentransfer, atau menjaminkan seluruh atau sebagaian bisnis waralaba tanpa persetujuan tertulis Pemberi Waralaba;

k. Jika audit atau pemeriksaan yang dilakukan Pemberi Waralaba memperlihatkan bahwa Penerima Waralaha secara sadar mengurangi pendapatan kotornya atau menunda atau tidak melaporkan hal itu;

l. Jika Penerima Waralaba melanggar kewajiban yang sebelumnya telah diperingatkan oleh Pemberi Waralaba melalui surat pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, misalnya 12 (dua belas) bulan. Pengulangan tindakan itu menjadi alasan untuk mengakhiri perjanjian tanpa pemberitahuan atau kesempatan untuk memperbaiki;

m. Jika Penerima Waralaba melakukan misrepresentasi yang berkaitan dengan perolehan tempat usaha, atau jika Penerima Waralaba terlibat dalam tindakan yang menimbulkan citra tidak baik atas operasi dan reputasi waralaba;

(36)

waktu yang telah ditetapkan tidak mematuhi peraturan hukum yang berlaku itu;

o. Jika Penerima Waralaba berulang kali tidak mematuhi satu atau lebih ketentuan dalam perjanjian, baik itu diperbaiki atau tidak sesudah ada pemberitahuan.

Menurut Rudy Hadi Suwarno (Pemberi Waralaba), suatu perjanjian waralaba dapat dibatalkan jika Penerima Waralaba tidak mengikuti aturan main dan standar yang ditentukan, atau melakukan pelanggaran berat terhadap kondisi dan persyaratan dalam perjanjian waralaba, yang tentu saja hal ini secara langsung dapat mempengaruhi kelangsungan operasional perusahaan tersebut.

Menurut ketentuan Pasal 6 Permendag No. 31 Tahun 2008, dijelaskan bahwa apabila waralaba diputus secara sepihak oleh Pemberi Waralaba sebelum perjanjian berakhir, maka Pemberi Waralaba tidak dapat menempatkan Penerima Waralaba yang baru di dalam wilayah yang sama apabila belum tercapai kesepakatan dalam menyelesaikan perselisihan antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba yang lalu atau setidaknya paling lambat 6 (enam) bulan setelah pemutusan perjanjian waralaba.

D. Upaya Hukum Akibat Pelanggaran Perjanjian Waralaba oleh Pemberi Waralaba

(37)

1. Badan Peradilan (Pengadilan);

2. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Penjelasan :

1. Badan Peradilan a) Pengadilan Negeri

Penanganan sengketa waralaba di lingkup keperdataan, maka penyelesaiannya melalui pengadilan negeri jika yang disengketakan adalah mengenai masalah-masalah selain masalah HaKI. Jika yang disengketakan dalam lingkup masalah HaKI (Hak cipta, paten, merek, dll) maka penyelesaiannya di lingkup wilayah Pengadilan Niaga.49 Di lingkup peradilan ini upaya hukum yang ditempuh jika salah satu pihak menolak putusan dari pengadilan tingkat pertama (judex facti) maka bisa melakukan banding kemudian kasasi.

b) Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang keberadaannya diatur dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada pasal 15 ayat (1) dan penjelasannya yang berbunyi :

Pasal 15 : “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.”

Penjelasan :

Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara

49

(38)

lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.

Sengketa waralaba yang berhubungan dengan masalah HAKI misalnya masalah penyalahgunaan merek yang tidak semestinya maka penyelesaiannya melalui pengadilan Niaga. Upaya Hukum jika salah satu pihak tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama (judex facti) maka langkah selanjutnya adalah melakukan kasasi karena Pengadilan Niaga tidak mengenal Tingkat Banding.50 2. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa harus secara tegas dicantumkan dalam kontrak konstruksi dan sengketa yang dimaksud adalah sengketa perdata (bukan pidana). Misalnya, pilihan penyelesaian sengketa tercantum dalam kontrak adalah Arbitrase. Dalam hal ini pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa tersebut sesuai Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Penyelesaian sengketa Pada umumnya penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui forum pengadilan, namun demikian, dengan mengingat akan sifat dari pemberian waralaba, penyelesaian perselisihan yang dilakukan melalui forum peradilan dikhawatirkan oleh pihak pemberi waralaba akan menjadi suatu forum ”buka-bukaan” bagi Penerima Waralaba yang tidak beriktikad baik. Untuk menghindari hal tersebut maka sebaiknya setiap sengketa yang berhubungan

50

(39)

dengan perjanjian pemberian waralaba diselesaikan dalam kerangka pranata alternatif penyelesaian sengketa, termasuk di dalamnya pranata arbitrase.51

Pranata penyelesaian sengketa alternatif, termasuk di dalamnya pranata arbitrase di Indonesia saat ini telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri, yaitu Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut, objek perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase (dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) dapat dilakukan hanya untuk sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak ada suatu penjelasan resmi mengenai maksud ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut, namun jika dilihat pada Pasal 66 huruf (b) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, di mana pada Penjelasan Pasal 66 huruf (b) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang: perniagaan; perbankan; keuangan; penanaman modal; industri; Hak Kekayaan Intelektual. Ini berarti bahwa makna perdagangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1), seharusnya juga memiliki makna yang luas. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2), yang

51

(40)

memberikan perumusan negatif, di mana dikatakan bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Dengan adanya ketentuan sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 66 huruf (b) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut, maka sengketa yang berhubungan dengan pemberian waralaba, baik yang berhubungan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual pada waralaba dapat diselesaikan melalui pranata Alternatif Penyelesaian Sengketa termasuk Arbitrase.

Jadi berdasarkan keseluruhan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Pemberi Waralaba kerap melakukan pelanggaran atas isi perjanjian waralaba dikarekanakan kedudukan yang superior dari si Pemberi Waralaba. Semakin terkenal sebuah brand dari waralaba, maka semakin kecil bargaining power

(41)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Waralaba merupakan sistem bisnis yang berbeda dengan sistem bisnis lainnya. Karena, usaha waralaba meliputi seluruh bisnis, merek dagang, Hak Milik Intelektual, Goodwill, maupun rahasia dagang dari suatu waralaba. Selain itu, waralaba mempunyai beberapa karakteristik tersendiri antara lain berupa: unsur dasar, produk bisnis unik yang belum beredar di pasaran, adanya fee dan

(42)

monopoli. Namun, dalam UU Antimonopoli tersebut mengecualikan perjanjian lisensi dan perjanjian waralaba.

2. Perjanjian yang dibuat para pihak yakni Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban. Hak dan Kewajiban merupakan suatu hubungan timbal balik antara Penerima Waralaba dan Pemberi Waralaba yang artinya hak bagi Pemberi Waralaba merupakan kewajiban bagi pihak Penerima Waralaba dan begitu pula sebaliknya hak bagi Penerima Waralaba merupakan kewajiban bagi Pemberi Waralaba. Kewajiban Pemberi Waralaba salah satunya adalah menyediakan nama perusahaan/merek, logo, desain dan fasilitas yang dapat segera dikenal konsumen sekaligus memberikan pelatihan manajemen dan memberikan bantuan secara berkelanjutan sesuai dengan petunjuk yang tertera dalam kontrak kerjasama. Sementara itu, kewajiban dari Penerima Waralaba antara lain, yaitu: menjaga kerahasiaan atas Hak atas Kekayaan Intelektual yaitu penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi, melakukan pendaftaran waralaba, membayar franchisee fee dalam persentase dan penghasilan kotor kepada Pemberi Waralaba, memberi laporan secara berkala atau permintaan khusus dari Pemberi Waralaba, dan termasuk pula memelihara kinerja mutu tertentu memelihara atau menjaga paket peralatan yang dibeli dari Pemberi Waralaba.

(43)

mungkin terjadi suatu perselisihan yang pada akhirnya mengakibatkan perjanjian itu tidak terlaksana dengan baik. Karena pada dasarnya, tidak seorang atau satu pihak pun yang menginginkan adanya suatu sengketa atau perselisihan tersebut. Dalam hal terjadinya suatu sengketa, pihak Pemberi Waralaba telah menetapkan suatu penyelesaian perselisihan yang tertuang di dalam suatu kontrak, yang biasanya dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat terlebih dahulu kemudian apabila penyelesaian tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah maka diserahkan kepada lembaga Peradilan dalam hal ini Pengadilan Negeri.

4. Berakhirnya suatu perjanjian waralaba adalah berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh Penerima Waralaba yang tidak sesuai dengan perjanjian yang dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran kontrak. Selain itu, berakhirnya peranjian waralaba dikarenakan telah habis masa perjanjian yang telah diperjanjikan dan setelah itu dapat diperpanjang selama 10 tahun dan setelah itu tidak ada lagi perpanjangan.

B. Saran

Sehubungan dengan kesimpulan yang penulis uraikan, selanjutnya penulis mencoba mengemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna dalam perkembangan waralaba di Indonesia:

(44)

2. Apabila seseorang pihak (calon Penerima Waralaba) telah memutuskan untuk melakukan usaha waralaba, sebaiknya sebelum pihak tersebut mengerti terlebih dahulu mengenal isi perjanjian, misalnya mengenai hak dan kewajiban para pihak. Maka dari itu, diperlukan seorang ahli hukum untuk menterjemahkan isi dari perjanjian yang akan disepakati. Adapun mengenai hak dan kewajiban ini, sebaiknya diadakan dengan memperhatikan asas keseimbangan antara para pihak agar kepentingan kedua belah pihak dapat terlindungi dengan baik.

3. Waralaba di Indonesia telah ada sejak tahun 1970-an dan telah berkembang pesat dan telah banyak menggeluti berbagai bidang bisnis di tengah masyarakat. Tetapi, peraturan mengenai Waralaba atau Franchise sampai saat ini masih hanya sebatas Peraturan Pemerintah dan juga Peraturan Menteri Perdagangan. Maka dari itu, Pemerintah diharapkan segera menyusun Undang-Undang tentang Waralaba.

(45)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.”5

Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”6.

Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, tetapi, bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan

5

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka. 2005. hal. 458.

6

(46)

hukum ini tidak ada unsur persetujuan.7

R. Subekti mengemukakan perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”8 Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.”9

Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat beberapa unsur-unsur yang tercantum dalam kontrak, yaitu :

1. Adanya hubungan hukum

Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.

2. Adanya subjek hukum

Subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subyek dalam hukum perjanjian termasuk subyek hukum yang diatur dalam KUH Perdata, Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Perdata mengkualifikasikan subjek hukum terdiri dari dua bagian yaitu manusia dan badan hukum. Sehingga yang membentuk perjanjian menurut Hukum Perdata bukan hanya manusia secara individual ataupun kolektif, tetapi juga badan hukum atau rechtperson, misalnya Yayasan, Koperasi dan Perseroan Terbatas.

7

Mariam Darus, KUH Perdata Buku III Hukum Perikiitan dengan Penjelasan, PT. Alumi Bandung. 2005, hal. 89. (Selanjutnya dise-but Mariam I).

8

R. Subekti, Op.cit, hal 1. 9

(47)

3. Adanya prestasi

Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri atas untuk memberi sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu.

4. Di bidang harta kekayaan

Pada umumnya kesepakatan yang telah dicapai antara dua atau lebih pelaku bisnis dituangkan dalam suatu bentuk tertulis dan kemudian ditanda tangani oleh para pihak. Dokumen tersebut disebut sebagai “Kontrak Bisnis” atau “Kontrak Dagang”.10

Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam suatu perikatan. Menurut Subekti, Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.11

Perikatan dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada perikatan yang lahir dari “undang”. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena undang-undang-undang-undang saja (Pasal 1352 KUH Perdata) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Sementara itu, perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang dapat lagi dibagi kedalam suatu perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari suatu perbuatan yang berlawanan dengan Hukum (Pasal 1353 KUH Perdata).

10

Bahan Kuliah Perancangan Kontrak, M. Husni, Tinjauan Umum Mengenai Hontrak. 2009. 11

(48)

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengemukakan empat syarat,yaitu :

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum 3. Adanya suatu hal tertentu

4. Adanya sebab yang halal.

Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian.

Keempat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak

Syarat pertama dari sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan adalah “persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.”12 Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Pernyataan secara diam-diam sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari kita. Misalnya, seorang penumpang yang naik angkutan umum, dengan membayar ongkos angkutan kepada kondektur kemudian pihak kondektur menerima uang tersebut dan berkewajiban mengantar penumpang sampai ke tempat tujuannya dengan aman. Dalam hal ini, telah terjadi perjanjian walaupun tidak dinyatakan secara tegas.

12

(49)

Persetujuan tersebut harus bebas, tidak ada paksaan. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk terjadinya perjanjian yang sah. Dianggap perjanjian tersebut tidak sah apabila terjadi karena paksaan, kekhilafan atau penipuan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang menyatakan jika di dalam perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat kehendak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Cacat kehendak artinya “bahwa salah satu pihak sebenarnya tidak menghendaki isi perjanjian yang demikian. Seseorang dikatakan telah membuat kontrak secara khilaf manakala dia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang ternyata tidak benar.13

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum

Menurut 1329 KUH Perdata kedua belah pihak harus cakap menurut hukum. Kecakapan bertindak adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Dimana perbuatan hukum ialah perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.

Ada beberapa golongan oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap yaitu: 1. Orang yang belum dewasa

Menurut Pasal 330 KUH Perdata, belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap 21 tahun maka tidak berarti mereka kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.

13

(50)

2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan

Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Seseorang yang berada di bawah pengawasan pengampuan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Jika seorang anak yang belum dewasa harus diwakili orang tua atau walinya maka seorang dewasa yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dalam pasal 433 KUH Perdata, disebutkan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap, harus di bawah pengampuan jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seseorang yang telah dewasa dapat juga berada di bawah pengampuan karena keborosannya.

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sesuai dengan pasal 31 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo.SEMA No.3 Tahun 1963.

3. Adanya suatu hal tertentu

(51)

sedikit dapat ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu asal barang kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

4. Adanya sebab yang halal

Di dalam Undang-undang tidak disebutkan pengertian mengenai sebab (orzaak,causa). Yang dimaksud dengan sebab bukanlah sesuatu yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian, karena alasan yang menyebabkan para pihak untuk membuat perjanjian itu tidak menjadi perhatian umum. Adapun sebab yang tidak diperbolehkan ialah jika isi perjanjian bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Dari uraian di atas, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka salah satu pihak dapat meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, namun, apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Sementara itu, apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

Keempat syarat tersebut haruslah dipenuhi oleh para pihak dan apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut telah terpenuhi, maka menunit Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum sama dengan kekuatan suatu Undang-undang.

C. Jenis-jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :14

14

(52)

a. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajibanpokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.

b. Perjanjian Cuma-cuma

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.

c. Perjanjian Atas Beban

Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian dimana prestasi dari pihak yang satu merupakan kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

d. Perjanjian Bernama (Benoemd)

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian ini diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata. e. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd Overeenkomst)

Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd) adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalani KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Perjanjian ini seperti perjanjian pemasaran, perjanjian kerja sama. Di dalam praktekmya, perjanjian ini lahir adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak mengadakan perjanjian.

f. Perjanjian Obligatoir

Referensi

Dokumen terkait

Seperti perjanjian pada umumnya ada kemungkinan terjadi wanprestasi di dalam pelaksanaan perjanjian waralaba. Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak tidak memenuhi

memberikan perlindungan hukum yang optimal kepada pihak penerima waralaba Indonesia. 18 Tesis, Nurin, Pelaksanaan Perjanjian Bisnis Waralaba Serta Perlindungan Hukumnya Bagi

Menurut Penulis, buyback dalam Perjanjian Waralaba lebih mirip dengan jual beli dengan hak membeli kembali karena konsep dari Waralaba adalah membeli hak lisensi dari

Perlindungan Hukum terhadap HAKI yang dimiliki oleh Pihak Pemberi Waralaba (franchisor) akan dapat lebih terlindungi apabila dalam Perjanjian Waralaba mengatur tentang

Karena bisnis waralaba ini didasarkan atas suatu perjanjian, yaitu perjanjian kerjasama antara Penerima Waralaba (Franchisee) dengan Pemberi Waralaba (Franchise), sehingga sering

Waralaba format bisnis adalah pemberian sebuah lisensi oleh seseorang kepada pihak lain, lisensi tersebut memberikan hak kepada penerima waralaba untuk berusaha dengan

Perlindungan Hukum terhadap HaKI yang dimiliki oleh Pihak Pemberi Waralaba (franchisor) akan dapat lebih terlindungi apabila dalam Perjanjian Waralaba telah

Perlindungan Hukum terhadap HAKI yang dimiliki oleh Pihak Pemberi Waralaba (franchisor) akan dapat lebih terlindungi apabila dalam Perjanjian Waralaba telah mengatur