PROSES PENCARIAN MAKNA HIDUP
PADA PENDERITA KELUMPUHAN PASCASTROKE
SKRIPSI
Guna Memenuhi Persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
IMME LIDYA SIDABUTAR
041301109
FAKULTAS PSIKOLOGI
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul “Proses Pencarian Makna Hidup pada Penderita
Kelumpuhan Pascastroke” adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan
untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip
dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,
saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan
sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, Mei 2008
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya ucapkan kepada Mu, ya Allah Bapa di dalam
nama Tuhan Yesus Kristus, karena atas anugerah, kasih dan berkat Bapa sehingga
saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Proses Pencarian Makna Hidup
pada Penderita Kelumpuhan Pascastroke”. Sungguh karena Bapa yang memampukan
saya, sehingga saya tetap kuat menghadapi banyak hal hingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Saya menyadari bahwa selama pengerjaan skripsi ini, saya mendapatkan
banyak dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Chaerul Yoel, Sp.A (K) selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Raras Sutatminingsih, M.Si, Psi selaku dosen pembimbing skripsi.
Terima kasih banyak atas waktu, kesabaran, pemikiran dalam memberikan
saran, petunjuk dan bimbingan dalam penelitian ini, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini, dan ketika Ibu juga sebagai dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan motivasi selama empat tahun saya kuliah
3. Kepada dosen penguji saya, Ibu Hasnida, M.Si dan Bapak Ferry Novliadi, M.
Si yang telah bersedia menjadi penguji skripsi saya, terima kasih atas
kesempatan dan waktu yang diberikan kepada peneliti.
4. Ayahanda tercinta, M. Sidabutar (Alm), Ayah yang telah sabar
membimbingku dari kecil. Nasehat ayah “ Doa dapat Mengubah Segala
Sesuatu” telah terpatri dalam hatiku dan mengingatkanku dalam setiap
perjuanganku. Ayah yang menjadi inspirasiku dalam melakukan penelitian
ini, kiranya penelitian ini bermanfaat bagi penderita stroke yang lainnya. Saya
sangat mengasihimu dan tetap bangga menjadi puteri ayah.
5. Ibundaku tersayang, Ibu R. Tampubolon, yang telah melahirkan saya ke
dunia, dan telah mencintai dan membesarkan ku dengan kasih sayang mama.
Betapa besar perjuangan dan pengorbanan mama saat memperjuangkan kami
anak-anak mama. Saya banyak belajar dari teladan sebagai guru yang
mengajar tanpa pamrih, bahkan ibunda yang setia mendoakan kami anak-anak
mama. Terimakasih buat segalanya.
6. DR. T.B. Silalahi, yang telah memberikan ku kesempatan untuk mengecap
pendidikan di Yayasan Soposurung Balige selama SMU, saya sangat
bersyukur menjadi anak didik Bapak. Terima kasih telah menjadi inspirasi
bagiku, dan mengingatkanku supaya menjadi berkat dimanapun saya berada.
7. Saudaraku yang telah mendoakan dan mendukungku selama ini (K’Lisbeth,
B’ Freddy, B’ Pahala, K’ Tetty, K’ Devika, B’ Arron, dan adikku Ricky),
kebersamaan kita selama ini, saya sangat bersyukur memiliki saudara seperti
kakak dan abang, semoga kasih persaudaraan kita tetap abadi, walaupun saat
ini kita sedang terpisah oleh jarak yang sangat jauh.
8. Kepada seluruh dosenku di Fakultas Psikologi yang telah mengajari aku Ilmu
Psikologi, dan seluruh guru-guruku di SMU 2 Soposurung Balige, SLTP
Negeri 1 Simanindo, dan SDN Ambarita yang telah mendidikku tanpa pamrih
dan mengajariku akan ilmu pengetahuan.
9. Buat ketiga partisipan penelitian ini, terima kasih banyak buat kesempatan dan
waktu yang diberikan. Selain itu, ketiga partisipan juga sangat terbuka kepada
saya sehingga sangat membantu saya dalam penelitian ini. Sebenarnya banyak
hal pelajaran yang ku petik dari hasil wawancara kita, dan terima kasih buat
pesan dari pengalaman hidup yang diberikan kepada peneliti.
10. Sahabat doaku B’Lesbon, yang telah setia mendoakanku dan mendukungku
selama ini, dan menjadi pendengar yang baik terkhusus saat ku menghadapi
banyak kendala dalam mengerjakan skripsi ini. Terimakasih telah menjadi
saudara sekaligus sahabat buatku.
11. Kak Ridhoi yang memberikan semangat kepada peneliti dan yang telah
memberikan banyak masukan kepada peneliti saat seminggu sebelum sidang.
12. Sahabatku “The XII Generation Yasop” buat kebersamaan kita selama tiga
tahun di SMU, teman-teman KTBku Sweet Mathias, dimana aku merasakan
pertumbuhan karakter dengan belajar firman Tuhan dalam KTB ini
Ita’07) yang senantiasa berdoa buatku dan teman-teman sepelayananku di
koordinasi UKM KMK USU UP Psikologi (Wiwik, Saut, Fenny, Yoland, dan
Rini ), mari perjuangkan Visi itu! Trimakasih buat kebersamaannya.
13. Sahabatku di Psikologi ( Nurmayani, Saut, Pasca, Julia, Yustisi, Juniar, Ichin,
Grace, Hartika dan seluruh stambuk’04) tetap semangat ya..! Teman-teman
seperjuangan yang skripsi dan seminar, mudah-mudahan kita semua berhasil
ya... Amin. Trimakasih buat warna yang kalian berikan.
14. Teman-teman satu kostku (Maya, Yanti, dan Risna). Terima kasih buat
dukungan kalian selama ini, terkhusus saat mengerjakan skripsi ini. Motivasi,
doa, kasih sayang dari kalian boleh kurasakan di saat-saat aku seharian
mengetik di kamar, bahkan kalian bersedia menjadi pendengar yang setia saat
aku menghadapi kendala dalam penelitian ini.
15. Semua pihak yang telah mendukung penelitian ini, yang tidak mungkin saya
sebutkan satu per satu. Semoga Tuhan memberkati saudara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam
skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya,
kepada Allah Bapa, penulis berserah diri. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak, Amin.
Medan, Mei 2008
Penulis
ABSTRAK
Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara, Mei 2008
Imme Lidia Sidabutar : 041301109
Proses Pencarian Makna Hidup pada Penderita Kelumpuhan Pascastroke Ix+ 190+ lampiran
Bibliogarafi 58 (1973-2007)
Stroke dapat mengakibatkan kematian dan juga kelumpuhan bagi seseorang, sehingga hal ini dapat berdampak kepada fisik dan psikologis penderita stroke tersebut (Junaidi, 2004). Penderita kelumpuhan pascastroke memerlukan makna hidup, karena menurut Bastaman (2007) jika individu memiliki makna hidup maka kehidupan individu tersebut akan lebih terarah, berkualitas dan bahagia. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang proses pencarian makna hidup pada penderita kelumpuhan pascastroke.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif supaya dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan partisipan. Karakteristik partisipan adalah pria ataupun wanita penderita kelumpuhan pascastroke yang berumur di atas 45 tahun dan masih bisa melakukan komunikasi dengan baik. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data dilakukan dalam penelitian adalah wawancara mendalam (in depth interviewing). Di samping itu juga dilakukan observasi saat wawancara berlangsung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang terserang stroke maka individu tersebut akan mengalami penghayatan hidup yang tidak bermakna. Partisipan I dan partisipan II dalam penelitian ini berhasil mengubah kondisi yang tidak bermakna menjadi bermakna sementara partisipan III tidak mampu melewati semua proses pencarian makna hidup sehingga mengalami kondisi penghayatan hidup yang tidak bermakna. Proses pencarian makna hidup pada ketiga partisipan berbeda dalam hal tahapan, sumber, komponen maupun metode yang digunakan.
Saran penelitian bagi penderita kelumpuhan pascastroke supaya dapat menerima kondisinya dan dapat menemukan makna hidup dengan cara menggunakan metode penemuan makna hidup, bagi keluarga, yayasan ataupun praktisi kesehatan yang menangani penderita kelumpuhan pascastroke serta masyarakat luas perlu memberikan dukungan yang tepat pada penderita kelumpuhan pascastroke agar mereka dapat menemukan dan memenuhi makna hidupnya.
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ... ... i
DARTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR BAGAN ... xi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
I.A. Latar Belakang Masalah ... ... ...1
I.B. Perumusan Masalah ... 14
I.C. Tujuan Penelitian ... 14
I.D. Manfaat Penelitian ... 15
I.E. Sistematika Penulisan...16
BAB II LANDASAN TEORI ... 18
II.A. Stroke ... ... 18
II.A.1. Defenisi Stroke ... 18
II.A.2 Klasifikasi Stroke ... 20
II.A.3. Faktor Resiko Stroke ... 22
II. B. Penderita Kelumpuhan Pascastroke ... 25
II.B.1. Defenisi Penderita Kelumpuhan Pascastroke ... 25
II.B.3. Masalah Psikologis Pascastroke ... 29
II.C. Makna Hidup... ...32
II.C.1. Defenisi dan Karakteristik Makna Hidup ... 32
II.C.2. Sumber-Sumber Makna Hidup ... 34
II.C.3. Hikmah dalam Penderitaan (Meaning in Suffering) ...36
II.C.4. Komponen-Komponen yang Menetukan Keberhasilan dalam Pencarian Makna Hidup ...38
II.C.5. Proses Pencarian Makna Hidup ... 39
II.C.6. Metode Penemuan Makna Hidup ... 41
II.C.7. Penghayatan Hidup ... 44
II.C.7.a. Penghayatan Hidup Tanpa Makna ...44
II.C.7.b. Penghayatan Hidup Bermakna ... 45
II.D. Paradigma Penelitian ... 47
BAB III METODE PENELITIAN ...48
III.A. Pendekatan Kualitatif ... 48
III.B. Metode Pengumpulan Data ... 49
III.B.1. Wawancara ... 50
III.B.2. Observasi ... 51
III.C. Alat Pengumpulan Data ... 52
III.C.1. Alat Perekam ... 53
III.C.2. Pedoman Wawancara ... 53
III.D. Partisipan dan Lokasi Penelitian ... 54
III.D.1. Karakteristik Partisipan Penelitian ... 54
III.D.2. Jumlah Partisipan Penelitian ... 55
III.D.3. Teknik Pengambilan Subjek ... 55
III.D.4. Lokasi Penelitian ... 56
III.E. Prosedur Penelitian ... 56
III.E.1. Tahap Pralapangan ... 57
III.E.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 59
III.E.3. Tahap Pencacatan Data ... 61
III.F. Metode Analisis Data 61 BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI ... 64
IV.A. Partisipan I ... 64
IV.A.1. Analisa Data ... 64
IV.A.1.a. Identitas Diri Partisipan I ... 64
IV.A.1.b. Deskripsi Data Partisipan I ... 65
IV.A.2. Observasi Umum Partisipan I ... 66
IV.A.3. Data Wawancara Partisipan I ... 71
IV.A.3.a. Gambaran Penyebab Stroke yang Diderita ... 71
IV.A.3.b. Gambaran Gejala Fisik dan Masalah Psikologis pada Partisipan I ... 73
IV.A.3.c.Gambaran Proses Pencarian Makna Hidup Partisipan I ... 75
IV.B. Partisipan II ... 100
IV.B.1. Analisa Data ... 100
IV.B.1.a. Identitas Diri Partisipan II ... 100
IV.B.1.b. Deskripsi Data Partisipan II ... 100
IV.B.2. Observasi Umum Partisipan II ... 102
IV.B.3. Data Wawancara Partisipan II ... 106
IV.B.3.a. Gambaran Penyebab Stroke yang Diderita ... 106
IV.B.3.b. Gambaran Gejala Fisik dan Masalah Psikologis pada Partisipan II ... 107
IV.B.3.c. Gambaran Proses Pencarian Makna Hidup pada Partisipan II ... 109
IV.B.4. Interpretasi Data Partisipan II ...116
IV.C. Partisipan III ... 130
IV.C.1. Analisa Data ... 130
IV.C.1.a. Identitas Diri Partisipan III ... 130
IV.C.1.b. Deskripsi Data Partisipan III ... 130
IV.C.2. Observasi Umum Partisipan III ... 132
IV.C.3. Data Wawancara Partisipan III ... 135
IV.C.3.a. Gambaran Penyebab Stroke yang Diderita ... 135
IV.C.3.c. Gambaran Proses Pencarian Makna Hidup pada
Partisipan III ... 139
IV.C.4. Interpretasi Data Partisipan III ... 147
IV.D. Analisa Data Antar Responden ... 163
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN...172
V.A. Kesimpulan ... 172
V.B. Diskusi ... 176
V.C. Saran ... 184
DAFTAR PUSTAKA ... 187
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Gambaran Umum Partisipan I ...64
Tabel 2 Waktu Wawancara Partisipan I ... 66
Tabel 3 Gambaran Gejala Fisik dan Masalah Psikologis pada Partisipan I ... 93
Tabel 4 Gambaran Proses Pencarian Makna Hidup pada Partisipan I ... 94
Tabel 5 Gambaran Penghayatan Hidup pada Partisipan I ... 98
Tabel 6 Gambaran Umum Partisipan II ... 100
Tabel 7 Waktu Wawancara Partisipan II ... 102
Tabel 8 Gambaran Gejala Fisik dan Psikologis pada pada Partisipan II ... 124
Tabel 9 Gambaran Proses Pencarian Makna Hidup pada Partisipan II ... 125
Tabel 10 Penghayatan Hidup pada Partisipan II ... 128
Tabel 11 Gambaran Umum Responden III ... 130
Tabel 12 Waktu wawancara Partisipan III ... 132
Tabel 13 Gambaran Gejala Fisik dan Psikologis pada pada Partisipan III ... 156
Tabel 14 Gambaran Proses Pencarian Makna Hidup pada Partisipan III ... 157
Tabel 15 Gambaran Proses Pencarian Makna Hidup pada Partisipan III ... 161
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Proses Pencarian Makna Hidup ... 40
Bagan 2 Pencarian Makna Hidup pada Partisipan I ... 99
Bagan 3 Proses Pencarian Makna Hidup pada Partisipan II ... 129
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A
Verbatim Subjek 1
Verbatim Subjek 2
Verbatim Subjek 3
LAMPIRAN B
Pedoman Wawancara
LAMPIRAN C
ABSTRAK
Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara, Mei 2008
Imme Lidia Sidabutar : 041301109
Proses Pencarian Makna Hidup pada Penderita Kelumpuhan Pascastroke Ix+ 190+ lampiran
Bibliogarafi 58 (1973-2007)
Stroke dapat mengakibatkan kematian dan juga kelumpuhan bagi seseorang, sehingga hal ini dapat berdampak kepada fisik dan psikologis penderita stroke tersebut (Junaidi, 2004). Penderita kelumpuhan pascastroke memerlukan makna hidup, karena menurut Bastaman (2007) jika individu memiliki makna hidup maka kehidupan individu tersebut akan lebih terarah, berkualitas dan bahagia. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang proses pencarian makna hidup pada penderita kelumpuhan pascastroke.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif supaya dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan partisipan. Karakteristik partisipan adalah pria ataupun wanita penderita kelumpuhan pascastroke yang berumur di atas 45 tahun dan masih bisa melakukan komunikasi dengan baik. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data dilakukan dalam penelitian adalah wawancara mendalam (in depth interviewing). Di samping itu juga dilakukan observasi saat wawancara berlangsung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang terserang stroke maka individu tersebut akan mengalami penghayatan hidup yang tidak bermakna. Partisipan I dan partisipan II dalam penelitian ini berhasil mengubah kondisi yang tidak bermakna menjadi bermakna sementara partisipan III tidak mampu melewati semua proses pencarian makna hidup sehingga mengalami kondisi penghayatan hidup yang tidak bermakna. Proses pencarian makna hidup pada ketiga partisipan berbeda dalam hal tahapan, sumber, komponen maupun metode yang digunakan.
Saran penelitian bagi penderita kelumpuhan pascastroke supaya dapat menerima kondisinya dan dapat menemukan makna hidup dengan cara menggunakan metode penemuan makna hidup, bagi keluarga, yayasan ataupun praktisi kesehatan yang menangani penderita kelumpuhan pascastroke serta masyarakat luas perlu memberikan dukungan yang tepat pada penderita kelumpuhan pascastroke agar mereka dapat menemukan dan memenuhi makna hidupnya.
BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Dalam era pembangunan di segala bidang yang kini sedang digalakkan
pemerintah, dituntut sosok manusia yang sehat jasmani maupun rohani, namun yang
terjadi adalah terdapat banyak masalah kesehatan baik di negara maju maupun di
negara berkembang. Masalah kesehatan tersebut mengakibatkan angka kematian yang
masih tinggi, cacat jasmani maupun rohani yang tentunya merupakan suatu keadaan
yang dapat menjadi faktor penghambat derap pembangunan yang telah digalakkan
oleh pemerintah saat ini (Misbach, 1997).
Salah satu masalah kesehatan di negara maju dan negara berkembang yang
semakin mendapat perhatian dewasa ini adalah penyakit stroke, karena menduduki
urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker (Adam, 1993).
Kejadian stroke yang terjadi di negara maju seperti negara Amerika Serikat
mengakibatkan hampir sekitar 750.000 penderita stroke setiap tahunnya dan
menyebabkan sekitar 160.000 orang yang mengalami kematian (Bond, 2006). Ahmad
(2000) sebagai salah satu konsultan saraf di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) mengungkapkan bahwa di negara Indonesia, stroke merupakan penyakit
yang paling banyak menyebabkan kematian hampir di seluruh rumah sakit di
Shimberg (1998) menyatakan bahwa stroke merupakan penyakit
serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak
(infark serebral), hal tersebut terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen
ke otak atau keadaan di mana sel-sel otak mengalami kerusakan, karena tidak
mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup. Sarafino (2006) menambahkan bahwa
stroke merupakan salah satu penyakit kronis utama yang menyebabkan kelumpuhan.
Stroke dapat berupa iskemik dan juga dapat berupa haemoragik. Pada stroke
iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena terjadinya bekuan darah yang telah
menyumbat suatu pembuluh darah (aterosklerosis), sedangkan pada stroke
haemoragik terjadi karena pecahnya pembuluh darah, sehingga peredaran darah
menjadi tidak normal, karena darah merembes masuk ke otak dan merusaknya
(Junaidi, 2004). Stroke haemoragik memiliki dampak yang sangat berbahaya karena
biasanya menyebabkan kondisi yang fatal yaitu kematian (Sarafino, 2006).
Menurut Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, stroke
menyebabkan kematian dan kecacatan utama di Indonesia. Diperkirakan insiden
stroke cenderung meningkat seiring meningkatnya penyakit yang merupakan faktor
resiko stroke, seperti penyakit kencing manis, hipertensi dan jantung. Faktor resiko
lainnya yang mengakibatkan stroke adalah stress, penyalahgunaan narkoba, alkohol,
faktor keturunan, dan gaya hidup yang tidak sehat.
Peningkatan kejadian stroke terlihat jelas dari data Rumah Sakit Haji Adam
Malik Medan bagian neurologi. Pada tahun 1994 dirawat 170 penderita, tahun 1998
308 orang menjadi pasien rawat inap dan rawat jalan. Pada tahun yang sama di
Rumah Sakit Herna Medan, jumlah penderita stroke non haemoragik sebesar 90
orang, sedangkan stroke haemoragik sebesar 12 orang (Siregar, 2002).
Tugasworo (2007) sebagai staf bagian neurologi Rumah Sakit Umum
(RSU) Dr. Kariadi dalam seminar “Stroke dan Rehabilitasi” di Wisma Katarina R.S.
Elizabeth Semarang mengungkapkan bahwa penderita pascastroke umumnya mereka
yang dianggap golongan eksekutif, selebritis dan mereka yang tergolong ekonomi
kuat. Ekonomi yang kuat dapat meningkatkan kecenderungan seseorang untuk
melakukan pola hidup yang tidak sehat, seperti sering memakan makanan yang
berlemak dan berkolesterol tinggi, merokok dan meminum alkohol yang berlebihan
dan pola hidup yang tidak sehat lainnya.
Jenis kelamin memiliki peranan terhadap resiko stroke, dan laki-laki
memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terserang stroke (Shaffer, 2002).
Perbandingan jenis kelamin akan resiko stroke antara laki-laki daripada wanita adalah
1,3:1 kecuali pada lanjut usia, perbandingan tersebut hampir tidak ada (Junaidi,
2004). Stroke dapat menyerang semua usia termasuk anak-anak, namun sebahagian
besar kasus dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun, karena semakin
tua umur seseorang, maka resiko terjangkit stroke semakin besar (Sutrisno, 2007).
Hampir 75 % dari penderita stroke adalah individu dengan usia 65 tahun lebih
(Shaffer, 2002).
Idris (2007) sebagai salah satu tokoh pemerhati sosial mengungkapkan bahwa
akan menjalani proses pemulihan dan pengobatan yang biasanya dilakukan dengan
penanganan rehabilitasi. Hal tersebut sejalan dengan penyataan Peurala, Airaksinen &
Jakala (2007) yang melakukan penelitian longitudinal terhadap penderita stroke,
mengungkapkan bahwa individu yang terserang stroke harus dengan segera di
tangani, khususnya penderita yang mengalami stroke akut. Jika tidak memungkinkan
dilakukannya penanganan yang intensif di rumah penderita, maka rehabilitasi adalah
salah satu cara yang efektif, karena penanganan yang tepat dan cepat sangatlah
berpengaruh pada kondisi fisik dan psikologis penderita yang lebih baik.
Penderita pascastroke mengalami gangguan fisik yang bervariasi,
tergantung bagian otak yang terkena. Penderita pascastroke memiliki kemungkinan
yang sangat besar mengalami kelumpuhan, seperti mengalami mati rasa sebelah
badan, sulit untuk berbicara dengan orang lain, mulut mencong (facial drop), lengan
yang lemah, kaki lemah (arm drift), gangguan koordinasi tubuh dan penderita
pascastroke yang parah biasanya hanya bisa di tempat tidur maupun di kursi roda
(Junaidi, 2004).
Sarafino (2006) mengungkapkan bahwa selain mengalami kelumpuhan,
individu penderita stroke juga mengalami penurunan fungsi yang mencakup
penurunan fungsi kognitif, memori dan persepsi. Keadaan ini mengakibatkan
penderita tidak dapat bekerja, seperti sebelum terserang stroke. Banyak penderita
kelumpuhan pascastroke diberhentikan dari pekerjaan, karena stroke yang parah dan
proses pemulihan yang cukup lama. Peneliti juga melakukan wawancara pra
N. (inisial) tentang gangguan fisik yang dialaminya, berikut kutipan wawancara
tersebut:
“….udah 1,5 tahun saya menderita seperti ini, beberapa bulan yang lalu saya hanya bisa berbaring di tempat tidur tapi sekarang sudah bisa didudukkan di kursi, tapi nggak bisa berdiri lagi harus dipapah, tapi dengan kaki yang sebelah kiri tidak bisa digerakkan lagi, jadi seperti bukan tangan dan kakiku saja, bahuku nggak bebas bergerak.. aku nggak dapat melakukan apa-apa lagi dan rasanya seperti sudah mati saja…”
(Komunikasi Personal, 14 Oktober 2007)
Angka kelumpuhan stroke umumnya lebih tinggi dari angka kematian,
perbandingan antara kelumpuhan dan kematian yang diakibatkan stroke adalah 4 : 1
(Junaidi, 2004). Stroke dapat mengakibatkan gangguan fisik, seperti kelumpuhan
yang permanen dan hanya menunjukkan sedikit peningkatan dalam waktu yang lama
(Sarafino, 2006).
Pengalaman peneliti sebagai salah satu anggota keluarga penderita
kelumpuhan pascastroke menyaksikan bahwa sering sekali penderita kelumpuhan
pascastroke mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Penderita
juga sering menangis tanpa sebab dan menganggap dirinya tidak berguna karena
tidak dapat bekerja kembali setelah serangan stroke berlalu.
Penyakit stroke tidak hanya berdampak buruk pada kondisi fisik penderita
pascastroke, tetapi juga berdampak bagi perkembangan psikologisnya. Penderitaan
yang dialami oleh individu pascastroke disebabkan karena stroke merupakan penyakit
kronis yang dapat mengakibatkan kelumpuhan total, bahkan kematian (terminal
Kondisi awal yang menyertai keadaan individu yang memiliki penyakit
kronis adalah mengalami shock, putus asa, dan sering sekali menggunakan
penghindaran dari kontak lingkungan (avoidance), dan menyangkal keberadaan
masalah kesehatan yang di deritanya (Sarafino, 1998). Kondisi ini terlihat juga pada
hasil wawancara pra penelitian berikut ini:
“… Pertama kali di bilang stroke, bou (sebutan tante dalam keluarga Batak Toba) bingung harus gimana..., sering marah kalau melihat orang lain berjalan, mereka bisa melihat keramaian sementara bou enggak! bou ingin seperti mereka, tapi udahlah, aku juga sakit hati kalau mereka berbisik-bisik, dan tertawa di depanku. Makanya bou lebih suka di rumah daripada bertemu dengan orang-orang. Kalau aku nyanyi air mataku jatuh. entah lah kenapa… beban pikiranku sangat banyak, dan gelisah datang truss…..” (Komunikasi Personal, 16 Oktober, 2007)
Dari hasil wawancara tersebut dapat dilihat bahwa, penderita kelumpuhan
pascastroke mengalami shock, kemarahan dan melakukan penghindaran dari
lingkungan. Shimberg (1990) juga mengungkapkan bahwa penderita kelumpuhan
pascastroke sering merasa rendah diri, perasaan ini merupakan suatu reaksi
emosional terhadap kemunduran kualitas keberadaan mereka. Selain penderita
kelumpuhan pascastroke sering marah-marah, dan memperlihatkan sikap yang
mengingkar, penderita juga mengalami kelabilan emosi yang merupakan gejala yang
aneh, terkadang penderita stroke tertawa atau menangis tanpa ada alasan yang jelas.
Pada studi kasus pada penderita stroke berat yang diteliti oleh Setiadarma &
Supeli (2004) menemukan bahwa reaksi emosional negatif yang dialami oleh
penderita kelumpuhan pascastroke, seperti rasa sedih dan rasa murung yang
Ouimet et al. (2001) yang mengungkapkan bahwa depresi yang dialami oleh
penderita kelumpuhan pascastroke dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima
diri sendiri. Penderita yang tidak dapat menerima diri sendiri akan merasa dirinya
tidak berarti, tidak berguna, sehingga akan semakin merasa terasing, dan terkucil dari
lingkungannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Wade, Smith & Hewer (dalam Shimberg,
1998) melaporkan bahwa dari 976 penderita kelumpuhan pascastroke lebih dari 60%
mengalami depresi, karena mereka menyadari bahwa proses pemulihan kelumpuhan
yang diakibatkan stroke sangat lama, dan hal ini membuat penderita merasa putus
asa, dan merasa tidak tertolong.
Penderita kelumpuhan pascastroke sering menarik diri dari hubungan
interpersonal dan lingkungannya. Perasaan mereka sering terluka, karena sering tidak
diperdulikan oleh orang lain (Shimberg, 1998). Teman-teman penderita kelumpuhan
pascastroke sering meninggalkan mereka, karena tidak tahu bagaimana bereaksi
kepada penderita kelumpuhan pada pascastroke. Hal ini juga dapat dilihat dari hasil
kutipan wawancara pra penelitian dengan seorang penderita kelumpuhan pascastroke
yaitu bapak H (inisial), kutipan wawancara tersebut adalah:
“…..Skarang saya merasa sendiri, sangat jarang orang mau ngobrol dengan ku… karena mereka sibuk dengan diri dan kesibukan mereka masing-masing, yaaa.. mereka nggak punya waktu lagi denganku…ditambah keluarga juga tidak mau mengerti akan kondisi saya,…saya sangat bosan..nggak bisa melakukan apa-apa dan sakit seperti dan saya hanya bisa menyusahkan mereka…”
Kondisi psikologis yang semakin memburuk dialami oleh penderita
kelumpuhan pascastroke tersebut, dapat diakibatkan karena keluarga penderita tidak
mau mengerti dan merasa terganggu dengan penyakit kronis yang dialami oleh
penderita. Keluarga sering menunjukkan sikap tidak mau menerima keadaan
penderita. Pihak keluarga sering memberi vonis bahwa penderita stroke akan
meninggal sehingga mereka tidak semangat untuk merawat dan mengatasinya
(Tugasworo, 2007).
Banyak orang yang merasa malu apabila di antara anggota keluarganya
terserang stroke, bahkan tidak semua keluarga penderita kelumpuhan pascastroke
yang siap untuk menerima penderita di rumah. Kerumitan tidak hanya terkait dengan
bagaimana mengurangi keterbatasan fisik, tetapi juga karena efek psikologis yang
timbul akibat kelumpuhan (Sutrisno, 2007). Padahal menurut Mayo (2000) yang
merupakan peneliti pada McGill University, menyatakan bahwa perawatan di rumah
merupakan suasana ideal bagi penderita, karena keluarga dapat memberikan
dukungan yang efektif bagi penderita kelumpuhan pascastroke.
Penderita pascastroke menghadapi banyak masalah fisik yang disertai dengan
tekanan psikologis. Hal ini mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke
mengalami penderitaan (suffering). Bastaman (1996) menyatakan bahwa penderitaan
(suffering) merupakan perasaan yang tidak menyenangkan, dan reaksi-reaksi yang
ditimbulkannya berkaitan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh individu.
Oreopoulos (2005) juga menambahkan bahwa penderitaan tidak hanya berdampak
fisik, emosional, mental, dan aspek sosial. Penderitaan merupakan pengalaman
personal yang unik yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang mengalami
penderitaan.
Penderitaan yang dialami oleh individu dapat mengakibatkan stres,
menimbulkan perasaan-perasaan kecewa, tertekan, susah, sedih, cemas, marah, malu,
terhina, rendah diri, putus asa, hampa, tidak bermakna, serta
penghayatan-penghayatan tidak menyenangkan lainnya (Bastaman,1996). Seseorang yang hidup
dalam kondisi yang tanpa makna (meaningless) ditandai dengan perasaan hampa,
gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, bosan dan penuh dengan keputusasaan
(Bastaman, 2007). Kondisi fisik dan tekanan psikologis yang dirasakan oleh penderita
kelumpuhan pada pascastroke dapat membuat penderita mengalami perasaan tidak
bermakna (meaningless), hal ini juga terlihat pada diri Bapak S. (inisial) sebagai
berikut:
“...Karna sanking sakitnya dan memang saya itu dah nggak bisa melakukan apa-apa lagi.. duduk saja saya nggak bisa... baru setelah satu bulan saya baru bisa duduk di kursi roda jadi memang saya nggak ada gunanya lagi hidup waktu itu... dari pada menyusahkan keluarga dan menghabiskan biaya untuk pengobatan yang sangat mahal... jadi saya pikir mati adalah solusi yang baik..”
(Komunikasi personal , 11 Februari 2008 )
Kondisi tidak bermakna (meaningless) tersebut jika terus menerus berlanjut
akan berdampak negatif bagi penderita kelumpuhan pascastroke baik secara fisik
maupun psikologis. Liebeskind (2003) mengungkapkan bahwa perasaan yang tidak
bermakna (meaningless) dapat mengakibatkan kematian bagi penderita kelumpuhan
kehidupan seseorang lebih terarah, yang bila berhasil di temukan dan dipenuhi akan
menyebabkan kehidupan menjadi lebih berarti dan terhindar dari keputusasaan
(Bastaman, 1996).
Thompson (1991) mengungkapkan bahwa jika penderita stroke terus mencari
makna hidupnya, seperti bertanya “why me” dan menemukan jawaban dari
pertanyaan tersebut dan menemukan makna dari penyakit stroke yang dideritanya,
maka hal itu akan berpengaruh positif kepada penyesuaian diri penderita kelumpuhan
pascastroke. Makna hidup yang dimiliki oleh penderita kelumpuhan pascastroke,
akan menjadikan kondisinya lebih baik. Makna hidup adalah hal-hal yang dipandang
penting, dirasakan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga
layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Orang lain hanya dapat
menunjukkan hal-hal yang berarti tetapi akhirnya akan berpulang kepada orang
tersebut untuk menentukan apa yang dianggap penting dan bermakna (Bastaman,
2007).
Makna hidup dapat ditemukan dalam situasi apapun, bahkan dapat ditemukan
dalam kondisi yang menderita (Frankl, 2004). Terkadang kehidupan baru dapat
mengandung suatu arti ketika berhadapan dengan situasi yang dipenuhi dengan
penderitaan (Schultz, 1991). Hal tersebut senada dengan penyataan Oreopoulos
(2005) yang mengungkapkan bahwa penderitaan bukanlah musuh, tetapi guru yang
memberikan kesempatan yang unik bagi setiap individu untuk pengembangan
dirinya. Penderitaan adalah bagian integral dari sebuah kehidupan, hidup tidak akan
Frankl (1973) mengemukakan bahwa harapan untuk bermakna dapat
dikembangkan dalam berbagai kondisi, baik dalam keadaan normal maupun dalam
keadaan penderitaan (suffering), seperti dalam kondisi sakit (pain), merasa bersalah
(guilt), bahkan menjelang kematian sekalipun. Frankl (dalam Koeswara 1992)
mengemukakan bahwa kekuatan ataupun kekebalan individu amat bergantung pada
kondisi psikologis seseorang. Adanya harapan, keberanian ataupun semangat hidup
berpengaruh positif terhadap kekebalan individu.
Harapan untuk bermakna juga dapat dimiliki oleh penderita kelumpuhan
pascastroke, walaupun penderita mengalami penderitaan (suffering). Tidak sedikit
individu yang telah berhasil menemukan dan memenuhi makna hidupnya menjadi
berhasil mencapai prestasi tinggi, bahkan mampu menemukan hikmah dari
penderitaannya (meaning in suffering) (Bastaman, 1996).
Frankl (dalam Bastaman, 2007) mengatakan bahwa individu dapat
memperoleh makna hidupnya melalui tiga sumber, yaitu nilai-nilai kreatif (creative
values), nilai-nilai pengalaman (experiental values), dan nilai-nilai bersikap
(attitudinal values).Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, melainkan
harus dicari, dijajaki, dan ditemukan sendiri (Bastaman, 2007).
Individu yang mampu mengubah kondisi penghayatan dirinya dari
penghayatan yang tidak bermakna (meaningless) menjadi bermakna (meaningful)
membutuhkan suatu proses pencarian (Bastaman, 1996). Proses pencarian agar hidup
lebih bermakna juga dilakukan oleh seorang penderita kelumpuhan pascastroke,
“..Sa.. Saya terus menanyakan dalam hati... apakah sampai mati saya akan terus begini terus menyerah dengan kondisi ini?... jadi saya renungkan lagi dan trus saya cari.. bagaimana supaya saya bisa merasa bahagia....Ya akhirnya saya menemukan harapan untuk tetap hidup dalam sisa-sisa hidupku ini, aku jadinya semangat untuk tetap sehat.. biar sempat ketemu anakku...”
(Wawancara, 5 Maret 2008)
Penderita kelumpuhan pascastroke perlu melakukan proses pencarian sampai
akhirnya menemukan makna hidupnya. Mereka yang berhasil telah menemukan
makna hidup, perlu menghayati hidup bermakna untuk menjalani kehidupan
sehari-hari dengan penuh semangat, bergairah serta jauh dari perasaan hampa, walaupun
individu dalam situasi yang tidak menyenangkan atau dalam penderitaan
(Budiraharjo, 1997). Ketidakberhasilan untuk menemukan dan menghayati makna
hidup, biasanya menimbulkan frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang
di tandai dengan hilangnya minat, berkurangnya inisiatif, munculnya perasaan
hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa tidak berarti, serta bosan
dan apatis (Koeswara, 1992).
Ada beberapa komponen yang dapat menentukan berhasilnya perubahan dari
penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna (Bastaman, 1996), yaitu
kelompok komponen personal (terdiri dari pemahaman diri dan pengubahan sikap),
kelompok komponen sosial (berupa dukungan sosial) dan kelompok komponen nilai
(terdiri dari makna hidup, komitmen diri dan kegiatan-kegiatan terarah).
Bastaman (1996) menyatakan bahwa perubahan hidup dari tidak bermakna
menjadi bermakna harus melalui proses. Proses tersebut meliputi tahap derita
pengubahan sikap), tahap penemuan makna hidup (penemuan makna dan penentuan
tujuan hidup), tahap realisasi makna (komitmen diri, kegiatan terarah dan pemenuhan
makna hidup) serta tahap kehidupan bermakna (penghayatan bermakna,
kebahagiaan).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi fisik dan
psikologis yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke dapat mempengaruhi
penghayatan hidup individu tersebut. Terkait dengan fenomena di atas bahwa jika
individu mengalami suatu penderitaan, bahkan dengan kondisi penghayatan yang
tidak bermakna, dan diperlukan suatu proses agar individu dapat menemukan dan
menghayati makna hidupnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat
bagaimana proses pencarian makna hidup (the meaning of life) pada penderita
I.B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pencarian makna hidup
pada penderita kelumpuhan pascastroke. Proses tersebut dilihat dari:
1. Bagaimana penghayatan penderita kelumpuhan pascastroke terhadap kondisi
fisik dan psikologis yang dialaminya saat awal terserang stroke?
2. Apa saja komponen-komponen yang menentukan keberhasilan dalam proses
pencarian makna hidup pada penderita kelumpuhan pascastroke?
3. Apa saja sumber-sumber makna hidup pada penderita kelumpuhan
pascastroke?
4. Metode apa saja yang dilakukan penderita kelumpuhan pascastroke untuk
menemukan makna hidup?
5. Bagaimana tahapan-tahapan proses pencarian makna hidup pada penderita
kelumpuhan pascastroke?
I.C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran proses
pencarian makna hidup pada penderita kelumpuhan pascastroke. Hal ini penting
untuk diketahui, mengingat pentingnya makna hidup bagi penderita kelumpuhan
I.D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan memperkaya
khasanah kajian Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Klinis mengenai
proses pencarian makna hidup pada penderita kelumpuhan pascastroke.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan penelitian ini memberikan masukan ataupun sumbangan
informasi kepada penderita kelumpuhan pascastroke untuk mengatasi
berbagai masalah yang dihadapinya secara tepat, dan membantu
penderita kelumpuhan pascastroke untuk menemukan makna dari
penderitaannya, bahkan menemukan dan menghayati makna hidupnya.
b. Penelitian ini dapat memberi sumbangan informasi bagi keluarga,
lingkungan di sekitar, praktisi kesehatan, lembaga-lembaga,
yayasan-yayasan yang menangani penderita kelumpuhan pascastroke agar
dapat memberikan dukungan dan membantu penderita kelumpuhan
pascastroke dalam proses pencarian makna hidupnya.
c. Sebagai wacana/pengetahuan ataupun data empiris mengenai proses
pencarian makna hidup pada penderita kelumpuhan pascastroke,
selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau
I.E. Sistematika Penulisan
Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Dalam Bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan
dalam pembahasan penelitian, terdiri dari teori-teori mengenai
stroke, termasuk defenisi stroke, klasifikasi stroke, faktor
resiko stroke. Teori penderita kelumpuhan pascastroke,
termasuk defenisi, gejala dan tanda yang diakibatkan oleh
stroke, dan masalah psikologis pascastroke. Teori makna
hidup, termasuk defenisi dan karakteristik makna hidup,
sumber-sumber makna hidup, hikmah dalam penderitaan,
komponen-komponen yang menetukan keberhasilan dalam
pencarian makna hidup, proses pencarian makna hidup,
metode penemuan makna hidup, dan penghayatan hidup.
Bab III : Metode Penelitian
Dalam Bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang
kualitatif, metode pengumpulan data, partisipan, lokasi
penelitian, alat bantu pengumpulan data, karakteristik dan
teknik pengambilan subjek, serta prosedur penelitian dan
analisis data.
Bab IV: Analisa Data dan Interpretasi
Mengenai analisa data dan interpretasi data yang menguraikan
tentang data pribadi partisipan, analisa data dan interpretasi per
partisipan yang meliputi gambaran penyebab stroke yang di
derita, gambaran penderitaan penderita kelumpuhan
pascastroke, dan proses pencarian makna hidup penderita
kelumpuhan pascastroke.
Bab V: Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Kesimpulan berisikan hasil penelitian yang dilaksanakan, dan
terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan
dengan teori atau penelitian sebelumnya, karena merupakan hal
baru, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan
masalah-masalah penelitian, serta saran-saran metodologis untuk
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. Stroke
II.A.1. Defenisi Stroke
Stroke didefenisikan sebagai penyakit atau gangguan yang diakibatkan cacat
fungsional otak fokal maupun global akut dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak
yang terkena, yang sebelumnya tanpa peringatan; dan hal ini dapat mengakibatkan
cacat dan kematian; akibat gangguan aliran darah ke otak karena pendarahan ataupun
non pendarahan (Junaidi, 2004).
Shimberg (1998) menyatakan bahwa stroke merupakan penyakit
serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak
(infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak
atau keadaan di mana sel-sel otak mengalami kerusakan karena tidak mendapatkan
oksigen dan nutrisi yang cukup.
Defenisi stroke menurut WHO adalah:
”Stroke is rapidly developing clinical sign of fokal or global disturbance of cerebral function with symptoms lasting 24 hours or longer, or leading to death with no apperent cause other than vascular signs”
Dari defenisi di atas dapat dikatakan bahwa stroke adalah terjadinya gangguan
fungsional otak fokal maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung
Penyakit serebrovaskuler atau stroke yang menyerang kelompok usia di atas
40 tahun adalah akibat patologi pada sistem pembuluh darah otak, proses ini dapat
berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombus (pecahan bekuan
darah/plak) atau emboli (udara, lemak), dan pecahnya pembuluh darah otak.
Perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat
primer karena kelainan kongenital maupun degeneratif, ataupun bersifat sekunder
akibat proses lain seperti peradangan, arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes
melitus, oleh karena itu penyebab stroke sangat kompleks ( Misbach, 1997).
Sarafino (2006) menyatakan bahwa stroke adalah kondisi dimana terjadinya
kerusakan pada sebahagian otak disebabkan karena pembuluh darah yang tersumbat
sehingga oksigen tidak terpenuhi dengan baik. Penyakit stroke merupakan penyebab
kematian utama di dunia dan dapat menyebabkan kematian, kelumpuhan, gangguan
bicara, menurunkan kesadaran dan banyak akibat yang lainnya. Penyakit stroke ini
dapat terjadi karena gangguan penyakit lain seperti jantung, diabetes mellitus dan
hipertensi.
Stroke timbul akibat tersumbatnya peredaran darah pada otak dengan gejala
yang spontan dan mengakibatkan nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan oleh otak tidak
dapat diedarkan dengan baik, hal ini dapat mengakibatkan radang fungsi otak, dan
jika terjadi dalam waktu yang lebih lama dapat mengakibatkan pusing, pingsan,
lumpuh bahkan kematian (Idris, 2007).
Berdasarkan defenisi-defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa stroke adalah
sekitar 24 jam atau lebih yang mengakibatkan aliran darah ke otak mengalami
gangguan sehingga nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan otak tidak terpenuhi dengan
baik. Peneliti memasukkan teori defenisi stroke, sebagai tambahan informasi kepada
pembaca, agar mengetahui lebih jelas tentang penyakit stroke.
II .A.2. Klasifikasi Stroke
Raymond (dalam Junaidi, 2004) menyatakan bahwa secara umum stroke
dapat dibagi atas dua bagian besar yaitu stroke iskemik dan stroke haemoragik. Stroke
dapat diklasifikasikan dengan beberapa jenis dari kedua bagian besar stroke tersebut
yaitu:
a. Stroke Iskemik
Apabila terjadi kekurangan darah atau kurangnya perfusi suatu jaringan
disebabkan kurangnya atau tidak adanya suplai darah, maka keadaan ini
disebut iskemia. Stroke iskemik merupakan penyakit yang diawali dengan
terjadinya serangkaian perubahan dalam otak yang terserang yang apabila
tidak ditangani maka akan berakhir dengan kematian bagian otak tersebut, hal
ini terjadi karena suplai darah ke otak terhambat atau terhenti disebabkan
penyumbatan pembuluh darah oleh thrombus ataupun embolus. Berdasarkan
perjalanan klinisnya stroke iskemik (non hemoragik) dikelompokkan menjadi:
1) Transient Ischemic Attack (TIA): serangan stroke sementara yang
sumbatan karena trombus atau emboli, gejala dan tanda-tandanya
sesuai dengan bagian yang terserang.
2) Reversible Ischemic Neurologic Defisit (RIND): Gejala Neurologis
akan menghilang setelah 24 jam sampai dengan 21 hari.
3) Progressing Stroke atau Stroke in Evolution: Kelumpuhan/defisit
neurologis berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai
menjadi berat.
4) Stroke Komplit atau Completed Stroke: kelainan neurologis sudah
menetap, dan tidak berkembang lagi.
b. Stroke Hemoragik
Stroke pendarahan disebabkan oleh pendarahan suatu arteri serebralis yang
disebut dengan hemoragik. Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat
masuk ke jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan individu yang terserang
stroke mengalami sakit kepala, gangguan kesadaran, lumpuh sebelah badan,
koma bahkan kematian.
1) Pendarahan Intraserebral (PIS) diakibatkan oleh pecahnya pembuluh
darah intraserebral sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan
kemudian masuk ke dalam jaringan otak. Penyebab PIS biasanya
dikarenakan hipertensi yang berlangsung lama lalu terjadi kerusakan
dinding pembuluh darah. Faktor pencetus lainnya adalah stress fisik,
emosi dan peningkatan tekanan darah yang mendadak sehingga
2) Pendarahan Subarakhnoid (PSA) yaitu masuknya darah ke ruang
subarakhnoid baik dari tempat lain (pendarahan subarakhnoid
sekunder maupun primer).
Peneliti memasukkan teori tentang klasifikasi stroke, dikarenakan hal ini
memberikan informasi kepada peneliti tentang penyebab dari jenis-jenis stroke yang
dialami oleh penderita stroke.
II.A.3. Faktor Resiko Stroke
Faktor resiko stroke adalah kelainan atau kondisi yang membuat seseorang
rentan terhadap serangan stroke. Faktor resiko stroke umumnya dibagi 2 golongan
besar (Junaidi, 2004):
a. Faktor resiko yang tidak dapat di kontrol:
1) Umur
Jika seseorang semakin tua maka kejadian stroke semakin tinggi.
Setelah individu berumur 45 tahun maka resiko stroke iskemik
meningkat dua kali lipat pada tiap dekade.
2) Ras/bangsa
Ras dari suku bangsa Afrika/Negro, Jepang dan Cina lebih sering
terserang stroke. Di negara Indonesia, suku Batak dan Padang lebih
3) Jenis Kelamin
Laki-laki lebih beresiko dibandingkan dengan wanita dengan
perbandingan 3:2. Pada laki-laki cenderung mengalami stroke iskemik,
sedangkan wanita lebih sering menderita haemoragik dan kematiannya
dua kali lipat di bandingkan dengan laki-laki.
4) Riwayat Keluarga (Orang tua, saudara)
Keluarga yang pernah mengalami stroke pada usia muda, maka anggota
keluarga lainnya memiliki resiko tinggi untuk mendapatkan serangan
stroke.
b. Faktor resiko yang dapat dikontrol:
1). Hipertensi
Hipertensi dapat menyebabkan stroke iskemik maupun pendarahan,
tetapi kejadian stroke pendarahan akibat hipertensi lebih banyak akibat
hipertensi sikitar 80%. Hipertensi merupakan penyebab utama terjadinya
komplikasi kardiovaskuler dan merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat yang mangalami transisi dalam sosial ekonomis.
2). Kencing manis (Diabetes mellitus)
Kencing manis dapat menyebabkan stroke iskemik karena terbentuknya
plak aterosklerotik pada dinding pembuluh darah yang disebabkan
gangguan metebolisme glukosa sistemik. Peningkatan resiko stroke
3). Alkohol
Konsumsi alkohol mempunyai efek ganda atas resiko stroke, yang
menguntungkan dan merugikan. Apabila minum sedikit alkohol secara
merata setiap hari akan mengurangi kejadian stroke iskemik dengan jalan
meningkatkan HDL dalam darah. Tetapi apabila meminum banyak
alkohol sehari, maka akan menambah resiko stroke.
4). Merokok
Kebiasaan merokok memiliki kemungkinan untuk menderita stroke
lebih besar, karena dengan merokok dapat menyebabkan vasokonstriksi
(menyempitnya pembuluh darah). Resiko meningkatnya stroke sesuai
dengan beratnya kebiasaan merokok.
5) Stres
Stres dapat mempengaruhi dan menurunkan fungsi imunitas tubuh serta
juga menyebabkan gangguan fungsi hormonal. Ada beberapa bentuk
stress yang dapat menyebabkan seseorang terkena serangan stroke yaitu:
a) Stres psikis seperti mental atau emosional
b) Stres fisik dapat berupa aktivitas fisik yang berlebihan
misalnya bekerja secara berlebihan. Jika stres psikis tidak
dikontrol dengan baik, maka akan menimbulkan keadaan
bahaya pada tubuh, respon tubuh secara berlebihan akan
seperti kortisol, katekolamin, epinefrin, dan adrenalin yang
berdampak buruk bagi tubuh.
6). Obesitas/Kegemukan
Obesitas dapat memicu proses aterosklerosis yang dihubungkan
dengan hipertensi, hiperlipidemia, dan kencing manis.
7). Transient Ischemic Attack (TIA)
TIA merupakan serangan stroke yang dapat mengakibatkan
kelumpuhan yang sementara namun serangan ini dapat memacu
stroke yang lebih parah pada waktu yang berikutnya.
Peneliti memasukkan teori faktor-faktor yang menyebabkan stroke,
mengingat bahwa stroke dapat terjadi karena lebih dari satu faktor yang
mengakibatkan kejadian stroke dan faktor-faktor diatas merupakan penyebab
kelumpuhan bagi individu pascastroke.
II.B. Penderita Kelumpuhan Pascastroke
II.B.1. Defenisi Penderita Kelumpuhan Pascastroke
Pascastroke didefenisikan sebagai suatu keadaan individu setelah mengalami
terjadinya serangan stroke (brain attack). Jika seseorang terkena serangan stroke
maka yang terserang adalah bagian otak yang merupakan pusat kendali bagi seluruh
tubuh. Keadaan yang dialami oleh individu pascastroke akan berdampak pada fisik
Pascastroke juga merupakan kondisi dimana individu kehilangan kendali atas
bagian atas bagian-bagian tertentu dalam tubuh serta pikirannya, hampir semua
individu pascastroke tidak lagi dapat melakukan gerakan yang sempurna pada bagian
tubuh tertentu dan individu mengalami kemunduran fungsi fisik dan perubahan pada
perilakunya. Sering sekali pada pascastroke diberikan program rehabilitasi berlanjut
ataupun rawat jalan. Pascastroke mengalami berbagai masalah seperti masalah fisik,
mental, seksual, emosional, lingkungan, dan pekerjaan (Idris, 2007).
Setelah individu terserang stroke maka dapat mengakibatkan penderita
sembuh sempurna karena yang dideritanya adalah stroke ringan, ada juga yang
mengakibatkan kelumpuhan berat seperti mati sebelah badan, tangan terasa kaku,
lumpuhnya otot-otot tubuh yang lain, terganggunya sistem memori dan emosi (Idris,
2007).
Sutrisno (2007) menyatakan bahwa kondisi penderita kelumpuhan
pascastroke mengalami keterbatasan fisik, dan adanya efek psikologis terhadap
kondisi cacat yang dialami penderita. Penderita kelumpuhan pascastroke biasanya
menjadi pribadi yang pemurung, putus asa, sedih, mudah tersinggung dan kecewa.
Dari defenisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penderita kelumpuhan
pascastroke adalah kondisi individu setelah terserang stroke (brain attack) sehingga
mengakibatkan kelumpuhan pada individu dan pada umumnya akan berdampak pada
II.B.2. Gejala dan Tanda yang Diakibatkan oleh Stroke
Gejala dan tanda yang sering dijumpai pada individu individu yang sedang
mengalami dan setelah terserang oleh stroke. Junaidi (2004) menyatakan bahwa
stroke mengakibatkan berbagai gangguan fisik sehingga mengakibatkan individu
mengalami keterbatasan dalam hidupnya, gangguan fisik tersebut adalah:
a. Adanya serangan defisit neurologis/ kelumpuhan fokal, seperti: hemipares
yaitu kelumpuhan pada sebelah badan yang kanan atau kiri saja.
b. Baal atau mati rasa sebelah badan, sering terasa kesemutan dan terkadang
seperti terasa terbakar.
c. Mulut mencong, hal ini disebabkan karena lidah mencong apabila diluruskan,
sehingga individu mengalami kesulitan untuk berbicara, kata-kata yang
diucapkan tidak sesuai dengan keinginan dan juga bisa mengalami gangguan
berbicara berupa pelo, rero, sengau dan kata-katanya kurang dapat di pahami.
d. Sulit untuk makan dan meneguk minuman. Fungsi menelan pada penderita
stroke mengalami penurunan, karena funsi menelan dikendalikan oleh saraf
yang berasal dari kedua hemisfer otak.
e. Mengalami kekakuan ataupun kesulitan ketika berjalan, hal ini diakibatkan
kelumpuhan pada penderita stroke (spastisitas)
f. Pendengaran yang kurang baik.
g. Gerakan tidak terkoordinasi, kehilangan keseimbangan, sempoyongan, atau
kehilangan koordinasi sebelah badan.
Masalah fisik yang dihadapi oleh penderita kelumpuhan pascastroke sangat
berdampak pada aktivitas sehari-hari individu. Keterbatasan yang dialami oleh
penderita kelumpuhan pascastroke akan sangat mempengaruhi kehidupan penderita.
Untuk melihat tingkat keparahan kelumpuhan atau kecacatan stroke, berikut ada skala
yang digunakan yaitu Skala Kecacatan Stroke (The Modified Rankin Scale):
a. Kecacatan derajat 0
Tidak ada gangguan fungsi
b. Kecacatan derajat 1
Hampir tidak ada gangguan fungsi pada aktivitas sehari-hari atau gangguan
minimal. Pasien mampu melakukan tugas dan kewajiban sehari-hari.
c. Kecacatan derajat 2 (Ringan)
Pasien tidak mampu melakukan beberapa aktivitas seperti sebelumnya, tetapi
tetap dapat melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.
d. Kecacatan derajat 3 (Sedang)
Pasien memerlukan bantuan orang lain, tetapi masih mampu berjalan sendiri
tanpa bantuan orang lain, walaupun mungkin membutuhkan tongkat.
e. Kecacatan derajat 4 (Sedang)
Pasien tidak dapat berjalan tanpa bantuan orang lain, perlu bantuan orang lain
untuk menyelesaikan sebagian aktivitas diri seperti mandi, pergi ke toilet,
f. Kecacatan derajat 5 (Berat)
Pasien tepaksa terbaring di tempat tidur dan kegiatan buang air besar dan kecil
tidak terasa (inkontinensia), memerlukan perawatan dan perhatian.
Peneliti memasukkan skala kecacatan stroke tersebut mengingat bahwa
asumsi peneliti yang mengganggap bahwa tingkat keparahan dari kelumpuhan yang
dialami oleh penderita pascastroke akan berdampak pada penyesuaian individu
tersebut.
II.B.3. Masalah Psikologis Pascastroke
Pada saat individu mengalami penyakit kronis seperti stroke, maka individu
dan keluarganya akan mengalami goncangan dan ketakutan, hal ini disebabkan
sesuatu yang dialami tidak pernah diduga sebelumnya. Shimberg (1998) menyatakan
bahwa penyakit stroke dapat mempengaruhi psikologis penderita pascastroke, ada
beberapa masalah psikologis yang dirasakan oleh penderita pascastroke yaitu:
a. Kemarahan
Kebanyakan penderita stroke, mengekspresikan amarahnya adalah hal yang
sulit bahkan seringkali merasa tidak mau patuh, melawan para perawat,
dokter dan ahli terapinya. Mereka juga bisa memaki-maki dengan kata-kata
yang menyakitkan dan memukul secara fisik. Penderita juga sering memiliki
b. Isolasi
Penderita kelumpuhan akibat stroke dapat mengakibatkan individu melakukan
penarikan diri terhadap lingkungan, karena perasaan mereka sering terluka
karena sering tidak diperdulikan oleh orang lain. Seringkali teman-teman
mereka meninggalkan mereka sendirian karena mereka tidak tahu bagaimana
harus bereaksi dengan penderita kelumpuhan tersebut.
c. Kelabilan emosi
Penderita stroke memiliki reaksi-reaksi emosional yang membingungkan.
Kelabilan emosi merupakan gejala yang aneh, terkadang penderita stroke
tertawa atau menangis tanpa alasan yang jelas. Tangisan yang tidak dapat
dikontrol padahal dulunya penderita bukanlah orang yang emosional. Emosi
yang sebaliknya juga dapat terjadi, yaitu tertawa yang tidak dapat dikontrol.
d. Kecemasan yang berlebihan
Sebahagian penderita mungkin memperlihatkan rasa ketakutannya ketika
keluar rumah, keadaan ini dinamakan agorafobia. Hal ini terjadi karena
mereka merasa malu ketika bertemu dengan orang lain, sekalipun dengan
teman lamanya. Perasaan malu ini mungkin timbul akibat adanya gangguan
pada kemampuan bicara dan kelumpuhannya.
e. Depresi
Depresi adalah perasaan marah yang belangsung di dalam batin, beberapa
depresi tidak hanya bersifat reaktif, tetapi penderita kelumpuhan pascastroke
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)-IV
merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menegakkan
diagnosis depresi. Jika manifestasi depresi muncul dalam bentuk keluhan
yang berkaitan dengan mud (mood) (seperti murung, sedih, rasa putus asa).
Gejala depresi terdiri dari penurunan mud (mood), gangguan kognitif,
vegetatif, retardasi psikomotor. Gangguan emosi berupa gangguan mood
depresi, sedih atau murung, ikatan emosi berkurang, menarik diri dari
hubungan interpersonal, preokupasi dengan kematian ide-ide bunuh diri atau
bunuh diri.
Gambaran kognitif dapat berupa mengeritik diri sendiri, perasaan tak
berharga, rasa bersalah, pesimis, tak ada harapan, putus asa bingung,
konsentrasi buruk. Gambaran vegetatif dapat berupa lesu dan seperti tidak ada
tenaga, tidak bisa tidur atau terlalu banyak tidur, tidak mau makan atau terlalu
banyak makan, penurunan berat badan atau penambahan berat badan.
Gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering dikaitkan
dengan stroke.
Berbagai reaksi yang dapat terjadi pada penderita kelumpuhan pascastroke
dapat mengakibatkan masalah psikologis bagi penderita. Peneliti memasukkan teori
ini mengingat bahwa gejala psikologis dapat mempengaruhi penghayatan hidup
II.C. Makna Hidup
Istilah makna hidup dikemukakan oleh Victor Frankl, dan yang merupakan
salah satu landasan teorinya yang di sebut logoterapi. Penekanan pada logoterapi ada
pada kata “logos” yang artinya makna (meaning) atau rohani (spirituality) sehingga
logoterapi merujuk pada pendekatan yang memusatkan pada upaya pencarian makna
hidup. Selain makna hidup ada landasan logoterapi lain yaitu kebebasan berkehendak
(freedom of will), kehendak akan makna (the will to meaning) (Frankl, 1984).
II.C.1. Defenisi dan Karakteristik Makna Hidup
Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar dan
didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Jika makna hidup
berhasil ditemukan dan dipenuhi maka akan menyebabkan kehidupan ini dirasakan
begitu berarti dan berharga yang pada akhirnya menimbulkan penghayatan bahagia
(happiness). Pengertian mengenai makna hidup menunjukkan bahwa di dalamnya
terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal perlu dicapai dan dipenuhi (Yalom dalam
Bastaman, 1996)
Makna hidup adalah hal-hal yang dipandang penting, dirasakan berharga serta
memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam
kehidupan (the purpose in life). Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi
akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya mereka yang menemukan dan
mengembangkannya akan terhindar dari keputusasaan. Makna hidup dan hidup
meyakini, dan menghayati keindahan, kearifan dan cinta kasih, serta mengambil sikap
yang tepat atas penderitaan yang tidak dapat terhindarkan lagi (Bastaman, 2007).
Frankl (1970) menyatakan bahwa kehidupan bukanlah sesuatu yang hampa,
makna hidup bermula dari sebuah visi kehidupan, harapan, dan merupakan alasan
kenapa individu harus tetap hidup. Makna hidup sebagaimana dikonsepkan oleh
Frankl (dalam Bastaman,1996) memiliki karakteristik, yaitu:
a. Makna hidup bersifat unik, pribadi, dan temporer, artinya apa yang dianggap
berarti oleh seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain. Dalam hal ini,
makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya biasanya bersifat
khusus, berbeda dan tidak sama dengan makna hidup orang lain, serta makna
hidup ini dapat pula berubah dari waktu ke waktu.
b. Makna hidup itu spesifik dan konkrit, dalam artian makna hidup benar-benar
dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari, serta
tidak harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan idealistis, atauupun dengan hal-hal
yang serba abstrak-filosofis.
c. Makna hidup memberikan pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang
dilakukan, sehingga dengan adanya makna hidup ini maka individu tersebut
seakan-akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya, sehingga
kegiatan-kegiatan yang dilakukan lebih terarah kepada pemenuhan kepada
pemenuhan makna hidup tersebut.
Kesimpulan dari defenisi-defenisi di atas adalah bahwa makna hidup adalah
bagi individu untuk dicapai dan dipenuhi dan makna hidup bermula dari visi
kehidupan, harapan dan merupakan alasan bagi individu untuk tetap hidup. Makna
hidup memiliki karakteristik yang unik, pribadi dan temporer, dan dapat ditemukan
dari pengalaman dan kehidupan nyata yang spesifik dan konkrit sehingga makna
hidup tersebut menjadi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh individu.
II.C.2. Sumber-Sumber Makna Hidup
Frankl (dalam Bastaman 2007) menyatakan bahwa dalam kehidupan ini
terdapat tiga bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang
memungkinkan seseorang menemukan makna hidup di dalamnya dan nilai-nilai
tersebut di terapkan dan dipenuhinya. Ketiga nilai (values) ini adalah:
a. Nilai-nilai Kreatif (Creative Values): apa yang dapat diberikan bagi kehidupan
ini (what we give to live). Maksudnya, melalui tindakan-tindakan kreatif atau
menciptakan suatu karya seni atau bahkan melayani orang lain dapat
dikatakan sebagai ungkapan rasa seseorang. Kegiatan berkarya, bekerja,
mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan
penuh tanggung jawab. Menekuni suatu pekerjaan dan meningkatkan
keterlibatan pribadi terhadap tugas serta berusaha untuk mengerjakannya
dengan sebaik-baiknya merupakan salah satu contoh dari kegiatan berkarya.
Melalui karya dan kerja, kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati
b. Nilai-nilai Penghayatan (Experiental Values): yaitu keyakinan dan
penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan dan
keagamaan, serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat
menjadikan seseorang berarti dalam hidupnya. Tidak sedikit orang-orang yang
merasa menemukan arti hidup dari agama yang diyakininya. Cinta kasih dapat
menjadikan seseorang menghayati perasaan yang berarti dalam hidupnya,
dengan mencintai dan merasa dicintai, dan seseorang akan merasa hidupnya
penuh dengan pengalaman hidup yang membahagiakan.
c. Nilai-nilai Bersikap (Attitudinal Values): sikap yang diambil untuk tetap
bertahan terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari (the attitude we take
toward unavoidance suffering) seperti penyakit yang tidak dapat dihindari lagi
dan menjelang kematian. Hal yang diubah bukanlah keadaannya, melainkan
sikap (attitude) yang diambil dalam menghadapi keadaan tersebut.
Penderitaan memang dapat memberikan makna dan guna apabila kita dapat
mengubah sikap terhadap penderitaan tersebut menjadi lebih baik lagi. Hal ini
berarti bahwa dalam keadaan bagaimanapun (rasa sakit, nista, dosa bahkan
maut), makna hidup masih dapat ditemukan, asalkan saja mengambil sikap
yang tepat dalam menghadapinya.
Menurut Bastaman, (2007) mengungkapkan bahwa selain tiga ragam nilai
yang dikemukakan oleh Frankl, ada nilai lain yang menjadikan hidup ini bermakna,
yaitu harapan (hope). Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik
sesuatu yang belum menjadi kenyataan akan memberikan sebuah peluang dan solusi
serta tujuan baru yang menjanjikan yang dapat menimbulkan semangat dan
optimisme. Pengharapan mengandung makna hidup karena adanya keyakinan akan
terjadinya perubahan yang lebih baik, ketabahan menghadapi keadaan buruk saat ini
dan sikap optimis menyongsong masa depan. Nilai kehidupan ini disebut dengan
nilai-nilai pengharapan (hopeful values)
Peneliti memasukkan teori sumber-sumber makna hidup mengingat bahwa
penderita kelumpuhan pascastroke dapat menemukan makna hidupnya dari sumber
makna hidup yaitu dapat berupa nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, nilai-nilai
bersikap dan nilai-nilai pengharapan.
II.C.3. Hikmah dalam Penderitaan (Meaning in Suffering)
Penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, karena
eksistensi manusia senantiasa berkisar antara senang dan susah, tawa, air mata, derita
dan bahagia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) menggambarkan penderitaan sebagai
“proses, pembuatan, cara menderita, dan penanggungan” yang terkait dengan sesuatu
yang tidak menyenangkan seperti cacat, kesengsaraan dan kesusahan. Atas dasar
tersebut, penderitaan (suffering) merupakan perasaan tidak menyenangkan dan
reaksi-reaksi yang ditimbulkan sehubungan dengan kesulitan-kesulitan yang dialami