ANALISIS STRUKTUR RUANG DALAM PENGEMBANGAN
INFRASTRUKTUR HIJAU DI KOTA MEDAN
TESIS
Oleh
EFENDI PANE
097003021/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2011
SE K
O L
A
H
P A
S C
A S A R JA
ANALISIS STRUKTUR RUANG DALAM PENGEMBANGAN
INFRASTRUKTUR HIJAU DI KOTA MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
EFENDI PANE
097003021/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS STRUKTUR RUANG DALAM PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR HIJAU DI KOTA MEDAN
Nama Mahasiswa : Efendi Pane
Nomor Pokok : 097003021
Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) K e t u a
(Ir.Jeluddin Daud, M.Eng) (Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec) Anggota Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof.Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE)(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal : 18 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE
Anggota : 1. Jeluddin Daud, M.Eng
2. Wahyu Ario Pratomo, SE. M.Ec
3. Ir. Supriadi, MS
ANALISIS STRUKTUR RUANG DALAM PENGEMBANGAN
INFRASTRUKTUR HIJAU DI KOTA MEDAN
ABSTRAK
Pemanfatan ruang terbuka hijau lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya. Dalam konteks pembangunan wilayah Kota Medan, pengembangan infrastruktur juga harus mengedepankan aspek kelestarian lingkungan dan secara bersamaan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan budaya yang ada. Sehingga pembangunan infrastruktur yang ada tidak memberikan dampak negatif kepada lingkungan maupun masyarakat yang ada di sekitarnya. Secara ekologis dan planologis, RTH dapat berfungsi sebagai infrastruktur hijau yang turut membentuk ruang-ruang kota yang harmonis untuk memenuhi kebutuhan ekologis dan keindahan kota maupun sebagai pembatas ruang secara planologis. Untuk itu perlu diteliti kecenderungan perkembangan kawasan terbangun dan pertumbuhan penduduk di Kota serta prioritas program yang harus dilakukan untuk penerapan infrastruktur hijau di Kota Medan.
Metode penelitian yang digunakan adalah analisis trend dan metode AHP. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi terkait.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan pertambahan luasan kawasan terbangun berdasarkan UUPR 26 2007 yaitu 70% dari luas wilayah Kota Medan atau sekitar 18.557 Ha akan tercapai pada tahun 2040 atau 29 tahun lagi. Sedangkan kapasitas atau daya dukung ideal wilayah Kota Medan untuk menampung
jumlah penduduk maksimal yaitu sekitar 2.248.707 jiwa atau 8.482 jiwa/km2.
Berdasarkan hasil tersebut diperkirakan akan terjadi kepadatan penduduk maksimal pada tahun 2104 atau 93 tahun lagi dari sekarang, sesuai ambang batas daya tamping ideal wilayah. Komponen-komponnen infrastruktur hijau yang dimiliki Pemerintah Kota berdasarkan hasil citra landsat seluas 1.203,72 Ha atau 4,54% dari luas wilayah Kota Medan
ANALYSIS OF SPACE STRUCTURE IN MEDAN CITY’S DEVELOPING GREEN INFRASTRUCTURE
ABSTRACT
The use of green open space tends to grow plants and flowers naturally or cultivating the area as farm, plantation, yard, etc. Medan development context, infrastructure development must make the environment sustainability as a priority and economic, social, cultures aspects, in order to make the infrastructure development will not bring negative impact on environment and the surrounding community.
Green open space can be functioned as green infrastructure that build harmonize city spaces ecologically and city view or space barrier in Plano logy. In order to implement the green open space, a research is needed to analyze the tendency developed area, population growth, and priority in Medan city green infrastructure development.
The method in this heresiarch was trend analysis and AHP. Data was secondary data that obtained from related agencies.
The result showed that the tendency of growing developed area based on UUPR 26 2007 was 70% or 18,557 Ha will achieved in 2040 or 29 years from now. Meanwhile, the ideal carrying capacity of Medan area to accommodate the
population growth was 2.248.707 people or 8.482 people / km2. Based on the result
above, it was predicted that over crowded population in 2104 or 93 years from now as in ideal area capacity. Green infrastructure components owned by the city that based on Landsat image was 1.203,72 Ha or 4,54% from Medan city area.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan
berkatNya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang
berjudul “Analisis Struktur Ruang dalam Pengembangan Infrastruktur Hijau di Kota
Medan” ini disusun untuk melengkapi kewajiban dalam memperoleh gelar Magister
Sains pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Pedesaan (PWD) pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Keberhasilan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak,
baik langsung maupun tidak langsung. Untuk itu sangat manusiawi sekali bila dalam
lembaran pengantar ini saya menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada
Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku Ketua Program Studi
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) sekaligus Ketua Komisi
Pembimbing dan Bapak Ir. Jeluddin Daud, M.Eng., dan Bapak Wahyu Ario
Pratomo, SE., M.Ec., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah berjerih payah
dan tanpa mengenal waktu bersedia memberikan bimbingan kepada penulis dalam
penyelesaian tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Bapak/Ibu Dosen Pembanding yang telah memberikan banyak masukan dan
saran bagi kesempurnaan tesis ini.
3. Seluruh Dosen Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah dan
Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas segala
keikhlasannya dalam memberikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya.
4. Seluruh mahasiswa PWK Angkatan 2009 dan staf administrasi atas
keakrabannya, bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama ini.
5. Istri tercinta dan anak-anak tersayang atas pengertian yang mendalam serta
6. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu namanya yang turut
serta membatu dalam penyelesaian tesis ini hingga dapat diselesaikan dengan
tepat waktu
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritikan sehat, saran dan masukan dari semu pihak. Akhir
kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan.
Medan, Agustus 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Medan pada tanggal 20 Mei 1971, anak keenam dari delapan
bersaudara dari Ayahanda B. Pane dan Ibunda Alm. K. Br. Simanjuntak. Penulis
memiliki tiga orang anak, satu putri bernama Febrianti Pane dan dua orang putra
bernama Gilber Pane dan Ralp Jeremy Pane buah pernikahan dari istri tercinta
Nuriantina Sianturi Sarjana Pertanian.
Pendidikan Penulis dimulai dari Pendidikan di Sekolah Dasar di SD Negeri
060838 Medan dan tamat pada tahun 1984, kemudian melanjutkan ke Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP/SMP) di Sekolah Katholik St. Thomas 1 Medan
Jalan S. Parman dan tamat pada tahun 1987, kemudian melanjutkan lagi pada Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA/SMA) di Sekolah Katholik St. Thomas 2 Medan jalan
S. Parman Medan dan tamat pada tahun 1990 dan pada tahun 1990 penulis
melanjutkan pendidikan di Universitas HKBP Nommensen Medan Fakultas Pertanian
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dan tamat tahun 1996 dengan menyandang gelar
Sarjana Pertanian (SP).
Pada tahun 1998 penulis diterima bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil
Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dan bertugas di Dinas Perikanan dan
Kelautan Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah di Pandan. Kemudian pada
tahun 2000 penulis mendapat mutasi kerja ke Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
dan bertugas di Dinas Kehutan Provinsi Sumatera Utara, sampai pada tahun 1996
penulis dipercaya untuk memegang jabatan sebagai Kepala Seksi Kawasan dan
Perpetaan Hutan pada Bidang Penatagunaan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi
Sumatera Utara, kemudian mutasi di Kantor Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
penulis juga di percaya untuk menduduki jabatan sebagai Kepala Seksi Pengukuran
dan Perpetaan Hutan pada Bidang Inventarisasi dan Penatagunaan Hutan dan Lahan
pada Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara sampai dengan saat ini.
Kemudian pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan di Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara dan pada tanggal 18 Agustus 2011 penulis
mempertahankan Tesis dengan Judul “Analisis Struktur Ruang dalam Pengembangan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iv
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1. Pengembangan Kawasan Perkotaan ... ... 8
2.2. Struktur Ruang ... 11
2.3. Infrastruktur Hijau ... 14
2.4. Fungsi Ruang Terbuka Hijau ... 18
2.7. Penelitian Terdahulu ... 25
2.8. Kerangka Pemikiran ... 27
BAB III METODE PENELITIAN ... 29
3.1. Lokasi Penelitian ... 29
3.2. Alat dan Bahan Penelitian ... 29
3.3. Metode Penelitian ... 29
3.3.1. Analisis Trend ... 30
3.3.2. Identifikasi Kondisi Eksisting ... 32
3.3.3. Penyusunan Rencana Infrastruktur Hijau ... 32
3.3.4. Prioritas Program untuk Penerapan Rencana Infrastruktur Hijau ... 38
BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN ... 41
4.1. Kondisi Geografis Kota Medan ... 41
4.2. Gambaran Umum Demografis Kota Medan ... 45
4.3. Pola Penggunaan Lahan ... 49
4.4. Kawasan Ruang Terbuka Hijau.. ... 51
4.5. Keadaan Perekonomian Kota Medan . ... 53
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58
5.1. Analisis Trend Perkembangan Kawasan Terbangun Kota Medan ... 58
5.2. Analisis Trend Pertumbuhan Penduduk Kota Medan... 60
5.2.1. Penyusunan Rencana Infrastruktur Hijau ... 68
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 92
6.1. Kesimpulan ... 92
6.2. Saran ... 92
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1. Skala Perbandingan Secara Berpasangan ... 40
4.1. Luas Wilayah Kota Medan Menurut Kecamatan ... 43
4.2. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Medan Tahun 2007 – 2009 ... 46
4.3. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kota Medan Tahun 2007 – 2009 ... 47
4.4. Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Kota Medan Tahun 2007 – 2009 ... 55
4.5. Struktur Perekonomian Kota Medan Tahun 2007 – 2009 ... 56
5.1. Hasil Analisis Citra Landsat Multitemporal ... 58
5.2. Trend Perkembangan Kawasan Terbangun Kota Medan ... 60
5.3. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota Medan Tahun 2003 – 2009 ... 61
5.4. Trend Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Medan ... 64
5.5. Hasil Analisis LQ menurut fasilitas di Kota Medan ... 71
5.6. Komponen-komponen Infrastruktur Hijau Kota Medan ... 84
5.7. Prioritas Strategis Penerapan Infrastruktur Hijau Menurut Kriteria ... 86
5.8. Hasil Analisis Prioritas Alternatif Program yang Dipilih... 87
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ……….. 28
3.1. Struktur Analisis Hirarki Proses ... 39
4.1. Peta Wilayah Administrasi Kota Medan ……... 44
4.2. Peta Kepadatan Penduduk Tahun 2010 ……….. 48
4.3. Peta Penggunaan Lahan Eksisting 2010……….. 50
4.4. Peta Rencana Pola Ruang Kota Medan ………... 52
4.5. Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan Tahun 2007 – 2009 (%)…. 53 5.1 Peta Hasil Interpretasi Peta Citra Landsat Tahun 2005 Kawasan Terbuka Kota Medan………... 66
5.2. Pembangunan Perumahan oleh Pengembang ... 67
5.3. Peta Kondisi Fasilitas Pendidikan Masing-masing Kecamatan di Kota Medan ... 69
5.4. Peta Kondisi Fasilitas Kesehatan Masing-masing Kecamatan di Kota Medan... 70
5.5. Stadion Teladan Medan ... 73
5.6. Taman di Depan Lapangan Stadion Teladan Medan ... 73
5.7. Sempadan Jalan Tol Belmera ... 74
5.8. Sempadan Rel Kereta Api ... 75
5.10. Taman Hutan Kota Sudirman ... 77
5.11. Sempadan Sungai Babura... 80
5.12. Sempadan Sungai Deli... 80
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Perkembangan Luas Terbangun Kota Medan. ... 96
2. Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Medan ... 98
3. Kondisi Umum Kota Medan ... 100
4. Kuesioner ... 104
5. Gambar Infrastruktur Hijau Kota Medan ... 109
ANALISIS STRUKTUR RUANG DALAM PENGEMBANGAN
INFRASTRUKTUR HIJAU DI KOTA MEDAN
ABSTRAK
Pemanfatan ruang terbuka hijau lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya. Dalam konteks pembangunan wilayah Kota Medan, pengembangan infrastruktur juga harus mengedepankan aspek kelestarian lingkungan dan secara bersamaan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan budaya yang ada. Sehingga pembangunan infrastruktur yang ada tidak memberikan dampak negatif kepada lingkungan maupun masyarakat yang ada di sekitarnya. Secara ekologis dan planologis, RTH dapat berfungsi sebagai infrastruktur hijau yang turut membentuk ruang-ruang kota yang harmonis untuk memenuhi kebutuhan ekologis dan keindahan kota maupun sebagai pembatas ruang secara planologis. Untuk itu perlu diteliti kecenderungan perkembangan kawasan terbangun dan pertumbuhan penduduk di Kota serta prioritas program yang harus dilakukan untuk penerapan infrastruktur hijau di Kota Medan.
Metode penelitian yang digunakan adalah analisis trend dan metode AHP. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi terkait.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan pertambahan luasan kawasan terbangun berdasarkan UUPR 26 2007 yaitu 70% dari luas wilayah Kota Medan atau sekitar 18.557 Ha akan tercapai pada tahun 2040 atau 29 tahun lagi. Sedangkan kapasitas atau daya dukung ideal wilayah Kota Medan untuk menampung
jumlah penduduk maksimal yaitu sekitar 2.248.707 jiwa atau 8.482 jiwa/km2.
Berdasarkan hasil tersebut diperkirakan akan terjadi kepadatan penduduk maksimal pada tahun 2104 atau 93 tahun lagi dari sekarang, sesuai ambang batas daya tamping ideal wilayah. Komponen-komponnen infrastruktur hijau yang dimiliki Pemerintah Kota berdasarkan hasil citra landsat seluas 1.203,72 Ha atau 4,54% dari luas wilayah Kota Medan
ANALYSIS OF SPACE STRUCTURE IN MEDAN CITY’S DEVELOPING GREEN INFRASTRUCTURE
ABSTRACT
The use of green open space tends to grow plants and flowers naturally or cultivating the area as farm, plantation, yard, etc. Medan development context, infrastructure development must make the environment sustainability as a priority and economic, social, cultures aspects, in order to make the infrastructure development will not bring negative impact on environment and the surrounding community.
Green open space can be functioned as green infrastructure that build harmonize city spaces ecologically and city view or space barrier in Plano logy. In order to implement the green open space, a research is needed to analyze the tendency developed area, population growth, and priority in Medan city green infrastructure development.
The method in this heresiarch was trend analysis and AHP. Data was secondary data that obtained from related agencies.
The result showed that the tendency of growing developed area based on UUPR 26 2007 was 70% or 18,557 Ha will achieved in 2040 or 29 years from now. Meanwhile, the ideal carrying capacity of Medan area to accommodate the
population growth was 2.248.707 people or 8.482 people / km2. Based on the result
above, it was predicted that over crowded population in 2104 or 93 years from now as in ideal area capacity. Green infrastructure components owned by the city that based on Landsat image was 1.203,72 Ha or 4,54% from Medan city area.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa)
terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah
pengaruhnya (hinterland) akan mempunyai struktur (tata) ruang tertentu dalam
rangka penyesuaian terhadap fungsinya untuk mencapai tingkat efisiensi pelayanan.
Bagi Pemerintah Kota Medan, penataan ruang merupakan bagian integral dari
kebijakan pembangunan kota yang bersifat strategis. Upaya penataan ruang dilakukan
dalam bentuk penyusunan rencana garis besar kota dan rencana induk kota, wilayah
pusat pertumbuhan industri, kawasan industri, perdagangan, permukiman, konservasi
dan lain sebagainya (Bappeda Kota Medan, 2001).
Penyusunan rencana tata ruang Kota Medan sendiri pada hakekatnya
merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional dan Provinsi
ke dalam strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang kota. Oleh karenanya RTRW Kota
Medan adalah kebijakan yang menetapkan lokasi dan kawasan yang harus dilindungi
dan dibudidayakan serta wilayah yang diprioritaskan pengembangannya pada waktu
perencanaan. Rencana detail tata ruang Kota Medan dipergunakan sebagai acuan
dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang termasuk acuan untuk
Rencana tata ruang yang disusun tidak hanya sebagai aspek prosedural dalam
penyelenggaraan pembangunan kota, tetapi juga sebagai kegiatan yang dapat
menunjang tercapainya berbagai sasaran pembangunan kota, dengan mewujudkan
mekanisme prosedur yang tepat dan efektif, terutama dalam penggunaan lahan, baik
untuk kepentingan pemerintah, masyarakat, maupun swasta.
Selain hal tersebut di atas pendekatan operasional penataan ruang Kota Medan
juga dimaksudkan untuk menghasilkan rencana tata ruang yang mempunyai daya
antisipasi tinggi terhadap perkembangan sehingga tidak kalah cepat dengan
kebutuhan pembangunan kota serta realistis, operasional dan mampu berfungsi
sebagai instrument koordinasi bagi program-program pembangunan dari berbagai
sumber pendanaan. Oleh karena Kota Medan juga diinginkan menjadi pusat kegiatan
ekonomi regional dan internasional, penataan ruang Kota Medan juga diarahkan
kepada pola pembangunan perkotaan yang mempunyai kesesuaian tinggi dengan
sistem sosial budaya, sosial ekonomi, sosial ekologisnya.
Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan mutlak diperlukan, sebagai arahan
umum pembangunan yang akan dilaksanakan guna mendukung kegiatan ekonomi,
sosial dan lingkungan masyarakat kota. Pembangunan yang dilakukan seharusnya
tidak mengurangi areal produktif untuk pertanian dan kawasan konservasi alam.
Berkembangnya konsep-konsep pembangunan yang lebih mempertimbangkan
aspek lingkungan telah mewarnai perencanaan-perencanaan wilayah saat ini. Salah
satu konsep dasar yang berkembang sejak tahun 1980an adalah Eco-city yang
ekonomi melalui keadilan sosial dengan mengedepankan demokrasi lokal dalam
konteks keberlanjutan.
Dimensi pembangunan yang berkelanjutan merupakan salah satu sasaran dari
konsep dasar Eco-city yang dikembangkan oleh para perencana, akademisi,
pemerintah daerah dan kelompok komunitas untuk perencanaan pengembangan
wilayah. Dalam konteks ini, maka harus terjadi keseimbangan pembangunan
ekonomi, sosial dan lingkungan dan tidak melebihi daya dukung (carrying capacity)
suatu wilayah, dengan tujuan bahwa pembangunan yang dilakukan saat ini tidak
mengurangi pilihan bagi generasi yang akan datang. Dengan demikian perencanaan
kawasan perkotaan harus diawali dengan perencanaan penataan ruang yang
mendukung perkembangan kota yang berkelanjutan. Penentuan struktur ruang dan
pola ruang yang tepat menjadi syarat mutlak bagi perkembangan kawasan perkotaan.
Berdasarkan perencanaan penataan ruang yang berkelanjutan tersebut, maka
dapat dibuat suatu perencanaan infrastruktur yang mantap guna mendukung
kehidupan perekonomian, sosial dan lingkungan di wilayah kota. Infrastruktur
seringkali diidentikkan dengan sarana dan prasarana dalam bentuk fisik atau yang
biasa digunakan untuk mendukung aktivitas ekonomi dan sosial berupa bangunan,
jalan, saluran air, rumah sakit, pasar, terminal, sekolah atau yang mengarah pada
bangunan infrastruktur (Grey Infrastructure). Saat ini telah berkembang konsep
mengenai infrastruktur yang lebih luas lagi, yang sangat mempengaruhi keberlanjutan
dan perkembangan suatu komunitas yaitu infrastruktur hijau (Green Infrastructure)
sebagainya yang berhubungan dengan alam atau lingkungan. Kedua infrastruktur
tersebut harus dikembangkan dan direncanakan secara seimbang dengan
memperhatikan aspek keberlanjutan untuk mencapai kemajuan suatu wilayah untuk
pertumbuhan yang gemilang (Smart Growth).
Pertambahan penduduk yang meningkat pesat memunculkan berbagai
permasalahan dalam pembangunan, diantaranya adalah meningkatnya kebutuhan
akan ruang untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup lahan budidaya, perumahan,
perindustrian dan kegiatan lainnya. Upaya pemenuhan kebutuhan yang meningkat
menyebabkan tekanan terhadap ruang dan sumberdaya alam, terutama dikarenakan
perekonomian Indonesia masih sangat tergantung kepada pemanfaatan sumberdaya
alamnya (Purwoko, 2009).
Meningkatnya penduduk yang bermukim di perkotaan itu menimbulkan
dampak terhadap desakan kebutuhan lahan untuk permukiman dan infrastruktur
perkotaan. Salah satu tantangan yang ada adalah masih terbatasnya luasan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan.
Kota akan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan
kehidupan sosial-budaya, ekonomi dan politik yang melatar belakanginya.
Perkembangan tersebut ditunjukkan dengan adanya perubahan yang terjadi secara
terus menerus sebagai fenomena tersendiri yang tidak bisa dihentikan (Sijmon dalam
Sari 2008). Perubahan yang terjadi dikarenakan adanya kegiatan pembangunan yang
selalu berjalan di setiap bagian kota, terutama di pusat kota. Perkembangan kota dari
Aktivitas masyarakat juga sangat mempengaruhi perkembangan dan
pertumbuhan suatu kota. Menurut Rapoport (Sari, 2008), aktivitas rutin masyarakat
memiliki nilai sosial budaya yang mendasari, dan nilai sosial budaya tersebut
melandasi bagaimana masing-masing individu berperilaku, sehingga aktivitas yang
terbentuk mempunyai ciri khas. Selanjutnya aktivitas yang terjadi memunculkan
bentuk kawasan yang terlihat dari penggunaan ruangnya, karena apapun aktivitas
yang dilakukan terkait dengan ruang dan waktu. Hal ini memperlihatkan bahwa pola
struktur ruang dapat diidentifikasi melalui pendekatan yang bersifat non fisik dalam
hal ini aktivitas masyarakatnya, yang secara langsung terkait juga dengan penggunaan
ruang (space use).
Kota Medan memiliki luas wilayah 26.510 Ha dengan luas terbangun sekitar
16.435 Ha atau 62% dari luas wilayah Kota Medan, sedangkan ruang terbuka hijau
yang dimiliki Kota Medan termasuk sempit, hal ini dikarenakan jumlah penduduk
yang terus bertambah baik dari dalam kota itu sendiri maupun urbanisasi penduduk.
Perkembangan Kota Medan yang sangat pesat dengan jumlah penduduk 2.121.053
jiwa pada akhir tahun 2009 (BPS Kota Medan, 2010). Pertumbuhan penduduk yang
sangat pesat tersebut telah diikuti dengan pertambahan fasilitas perumahan tetapi
tidak diikuti dengan penambahan RTH.
Saat ini, kota Medan hanya memiliki RTH sebesar 3 persen dari 30 persen (20
persen publik dan 10 persen privat) yang diamanatkan dalam Undang-Undang
Penataan Ruang (UUPR) No. 26 Tahun 2007. Simanjuntak dan Hutabarat, (2011)
26.510 hektar luas Kota Medan atau sekitar 3 persen saja, dimana kondisi yang ada
RTH Publik yang dimiliki sebagai asset Pemerintah Kota Medan untuk RTH Taman
adalah 0,08% (Dinas Pertamanan Kota Medan, 2010). Sehingga perlu inovasi dalam
pembangunan perkotaan untuk menciptakan RTH melalui pengembangan taman dan
penataan saluran serta bantaran sungai.
Pemerintah Kota Medan masih belum memaksimalkan Ruang Terbuka Hijau
(RTH) karena masih banyak bangunan perumahan maupun hotel yang dibangun
dekat sungai dan kurangnya taman kota, selain itu penyebab minimnya RTH di
daerah perkotaan disebabkan oleh tidak tegasnya regulasi atau peraturan yang
mengatur ketentuan penyediaan RTH, adanya permintaan yang tinggi dari masyarakat
untuk membangun, pola pembangunan yang cenderung horizontal, dan hilangnya
budaya menanam pohon dari masyarakat perkotaan. Apabila penyebab-penyebab
tersebut dapat diperbaiki, diharapkan RTH akan semakin tersedia dalam jumlah yang
maksimal dan nantinya masa depan perkotaan akan semakin terjamin.
Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan dapat terungkap struktur ruang
terhadap infrastruktur hijau di Kota Medan yang dilihat dari penataan ruang di Kota
Medan. Pengetahuan mengenai pola ruang kota ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai pemandu awal dalam langkah penataan kembali infrastruktur hijau Kota
Medan sebagai antisipasi perencanaan dan pembangunan di Kota Medan pada masa
yang akan datang agar dapat berkembang dengan optimal.
1.2.Perumusan Masalah
1. Bagaimana kecenderungan perkembangan kawasan terbangun di Kota Medan ?
2. Bagaimana pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang dan daya dukung
(carryng capacity) wilayah di Kota Medan ?
3. Bagaimana prioritas program yang harus dilakukan untuk penerapan infrastruktur
hijau di Kota Medan ?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis kecenderungan perkembangan kawasan terbangun di Kota Medan.
2. Menganalisis pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang dan menghitung
daya dukung (carryng capacity)wilayah di Kota Medan.
3. Menganalisis prioritas program yang harus dilakukan untuk penerapan
infrastruktur hijau di Kota Medan.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi pemerintah Kota Medan dalam merumuskan kebijakan
pengembangan infrastruktur hijau dalam perencanaan pembangunan kota.
2. Sebagai sarana pengembangan ilmu dan pengetahuan yang secara teori telah
dipelajari di Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
3. Sebagai bahan pengembangan penelitian lebih lanjut yang sejenis dengan metode
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengembangan Kawasan Perkotaan
Menurut UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007, yang dimaksud kawasan
perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan
distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Permasalahan utama pada kawasan perkotaan umumnya adalah konversi lahan,
penyediaan infrastruktur, laju pertambahan penduduk yang pesat dan arus urbanisasi.
Pembangunan yang menyebar secara tidak teratur adalah perluasan
pembangunan dengan intensitas kepadatan yang rendah dengan memanfaatkan
lahan-lahan yang sebelumnya tidak terbangun. Sebagai contoh di Amerika Serikat
diperkirakan kehilangan 50 acre setiap jam untuk pembangunan suburban dan
perluasan kota (Longman, 1998). Pembangunan yang menyebar tidak teratur ini
menuntut pemerintah lokal untuk menyediakan pelayanan publik bagi komunitas di
pemukiman yang baru dan seringkali pajak yang dibayarkan oleh masyarakat tidak
mencukupi untuk pembangunan fasilitas tersebut. Sebagai perbandingan di Kota
Prince William, Virginia, diperkirakan biaya untuk penyediaan pelayanan untuk
pemukiman perumahan baru yang diambil dari pajak-pajak dan pungutan lainnya
Dalam pengembangan kawasan yang berorientasi ekonomi, pusat-pusat
kegiatan yang membentuk kota metropolitan membutuhkan jaringan infrastruktur
yang dapat memberikan pelayanan terhadap aktivitas ekonomi yang ada dan menjadi
kekuatan pembentuk struktur ruang pada kawasan tersebut. Konsep kota metropolitan
merupakan suatu bentuk pemukiman berskala besar yang terdiri dari satu atau lebih
kota besar dan kawasan yang secara keseluruhan terintegrasi, membentuk suatu
system struktur ruang tertentu dengan satu atau lebih kota besar sebagai pusat dalam
keterkaitan ekonomi, sosial dan lingkungan serta mempunyai kegiatan ekonomi jasa
dan industri yang beragam (Dardak, 2007). Konsep pengembangan kawasan
perkotaan harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan.
Daya dukung (Carrying capacity)
Pembatasan faktor ekologi diimplementasikan berdasarkan prinsip
keseimbangan ekologis, dengan tujuan untuk menghitung berapa banyak kebutuhan
ruang terbuka hijau agar tercipta keseimbangan ekologis (Zhang et al. 2007). Metode
ini diimplementasikan untuk perencanaan sistem ruang terbuka hijau di Hanoi,
berdasarkan analisis elemen-elemen kunci ekologis termasuk carrying capacity
populasi, keseimbangan karbon-oksigen dan keseimbangan supply-demand sumber
daya air. Carrying capacity populasi adalah jumlah penduduk terbesar yang dapat
yang tetap, produktivitas lahan, standar hidup dan kelayakan (Pham D.U.,Nobukazu
N. 2007).
Konservasi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan adalah konsep yang
bertujuan untuk mencapai harmonisasi antara ekonomi dan lingkungan, dan
mengelola kualitas lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi yang baik. Konsep ini
didasari asumsi bahwa lingkungan alami mempunyai batas untuk mendukung
aktivitas manusia seperti variasi penggunaan lahan. Lebih dari itu, dikatakan bahwa
pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan akan memberikan pengaruh negate
pada produktivitas ekonomi dan mengakibatkan polusi lingkungan yang
meningkatkan biaya aktivitas ekonomi dan sebagai konsekuensinya membatasi
pertumbuhan ekonomi. Maka, pengembangan kota harus dikontrol secara hati-hati
dengan kapasitas lingkungan agar tetap sustain (Kyushik, O. et al. 2004).
Ekologis umumnya mempertimbangkan carrying capacity sebagai angka
maksimum jumlah individu yang dapat didukung oleh lingkungan dan penurunan
kemampuan wilayah dalam mendukung generasi yang akan datang (Chung, 1988).
Perencanaan biasanya mendefinisikan carrying capacity sebagai kemampuan alami
atau system yang dibuat oleh manusia untuk menampung pertumbuhan populasi atau
pembangunan fisik dengan mempertimbangkan degradasi atau kerusakan (Schneider
et al., 1978). Carrying capacity juga dikatakan sebagai kemampuan alam dan system
buatan manusia untuk mendukung permintaan dari berbagai penggunaan dan
mengikuti batasan alam dalam system yang akan datang dengan ketidak stabilan,
terpusat pada manusia, carrying capacity dapat juga didefinisikan sebagai skala
ekonomi yang system alami dan wilayah dapat sustain (Seoul Development Institute,
1999).
Secara umum konsep carrying capacity wilayah perkotaan didefinisikan
sebagai aktivitas manusia, pertumbuhan populasi, penggunaan lahan, pembangunan
fisik, yang dapat berkelanjutan dengan lingkungan perkotaan tanpa menimbulkan
degradasi dan kerusakan yang parah (Oh et al., 2002). Konsep ini didasari asumsi
bahwa ada batasan lingkungan yang pasti bilamana terlampaui dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan alam yang parah (Kozlowski, 1990). Pendekatan konsep
carrying capacity dapat berguna ketika batasan diidentifikasi untuk masa yang akan
datang. Perbedaan kapasitas system sebagai acuan ke depan untuk pengelolaan
fasilitas perkotaan seperti penyediaan air, pengolahan limbah dan transportasi (Oh,
1998).
2.2. Strktur Ruang
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman, sistem jaringan serta
sistem prasarana maupun sarana. Semua hal itu berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial-ekonomi yang secara hirarki berhubungan fungsional. Tata ruang
merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan
ataupun tidak. Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur
secara hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata
ruang.
Adapun elemen-elemen yang membentuk struktur ruang kota (Sinulingga, 2005)
yaitu:
a. Kumpulan dari pelayanan jasa termasuk di dalamnya perdagangan, pemerintahan,
keuangan yang cenderung terdistribusi secara berkelompok dalam pusat
pelayanan.
b. Kumpulan dari industri sekunder (manufaktur) pergudangan dan perdagangan
grosir yang cenderung untuk berkumpul pada suatu tempat.
c. Lingkungan permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang terbuka
hijau.
d. Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga tempat di atas.
Bentuk struktur ruang kota apabila ditinjau dari pusat pelayanan (retail
1. Monocentric city
) terbagi
menjadi tiga, yaitu (Sinulingga, 2005):
Monocentric city adalah kota yang belum berkembang pesat, jumlah penduduknya
belum banyak, dan hanya mempunyai satu pusat pelayanan yang sekaligus
berfungsi sebagai CBD (Central Bussines District).
Perkembangan kota mengakibatkan pelayanan oleh satu pusat pelayanan tidak
efisien lagi. Kota-kota yang bertambah besar membutuhkan lebih dari satu pusat
pelayanan yang jumlahnya tergantung pada jumlah penduduk kota. Fungsi
pelayanan CBD diambil alih oleh pusat pelayanan baru yang dinamakan sub pusat
kota (regional centre) atau pusat bagian wilayah kota. Sementara itu, CBD secara
berangsur-angsur berubah dari pusat pelayanan retail (eceran) menjadi kompleks
kegiatan perkantoran komersial yang daya jangkauan pelayanannya dapat
mencakup bukan wilayah kota saja, tetapi wilayah sekeliling kota yang disebut
juga wilayah pengaruh kota.
CBD dan beberapa sub pusat kota atau pusat bagian wilayah kota (regional
centre) akan membentuk kota menjadi polycentric city atau cenderung seperti
multiple nuclei city yang terdiri dari:
a. CBD, yaitu pusat kota lama yang telah menjadi kompleks perkantoran
b. Inner suburb (kawasan sekeliling CBD), yaitu bagian kota yang tadinya dilayani
oleh CBD waktu kota belum berkembang dan setelah berkembang sebagian masih
dilayani oleh CBD tetapi sebagian lagi dilayani oleh sub pusat kota
c. Sub pusat kota, yaitu pusat pelayanan yang kemudian tumbuh sesuai
perkembangan kota
d. Outer suburb (pinggiran kota), yaitu bagian yang merupakan perluasan wilayah
e. Urban fringe (kawasan perbatasan kota), yaitu pinggiran kota yang secara
berangsur-angsur tidak menunjukkan bentuk kota lagi, melainkan mengarah ke
bentuk pedesaan (rural area)
3. Kota metropolitan
Kota metropolitan adalah kota besar yang dikelilingi oleh kota-kota satelit yang
terpisah cukup jauh dengan urban fringe
Adapun model struktur ruang apabila dilihat berdasarkan pusat – pusat pelayanannya
diantaranya:
dari kota tersebut, tetapi semuanya
membentuk satu kesatuan sistem dalam pelayanan penduduk wilayah
metropolitan.
1. Mono centered
Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat yang tidak saling terhubung antara
sub pusat yang satu dengan sub pusat yang lain.
2. Multi nodal
Terdiri dari satu pusat dan beberapa sub pusat dan sub sub pusat yang saling
terhubung satu sama lain. Sub sub pusat selain terhubung langsung dengan sub
pusat juga terhubung langsung dengan pusat.
3. Multi centered
Terdiri dari beberapa pusat dan sub pusat yang saling terhubung satu sama
lainnya.
Pada model ini tidak terdapat node sebagai pusat maupun sub pusat. Semua node
memiliki hirarki yang sama dan saling terhubung antara yang satu dengan yang
lainnya.
2.3. Infrastruktur Hijau
Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan yang
tipikal, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus
urbanisasi sehingga menyebabkan pengelolaan ruang kota makin berat. Jumlah
penduduk perkotaan yang tinggi dan terus meningkat dari waktu ke waktu tersebut
akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota,
sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus,
terutama yang terkait dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial
serta ruang-ruang terbuka hijau publik (open spaces) di perkotaan. Lingkungan
perkotaan hanya berkembang secara ekonomi, namun menurun secara ekologi.
Padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama pentingnya dengan
perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan.
Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik tersebut, baik berupa
ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non-hijau, telah mengakibatkan
menurunnya kualitas lingkungan perkotaan seperti seringnya terjadi banjir di
perkotaan, tingginya polusi udara dan meningkatnya kerawanan sosial (kriminalitas,
tawuran antar warga), serta menurunnya produktivitas masyarakat akibat stress dan
Ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan merupakan bagian dari penataan
ruang kota yang berfungsi sebagai kawasan hijau pertamanan kota, kawasan hijau
hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga kawasan
hijau dan kawasan hijau pekarangan.Ruang terbuka hijau adalah ruang-ruang dalam
kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam
bentuk area memanjang/jalur. Pemanfatan ruang terbuka hijau lebih bersifat
pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya
tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya.
Dalam konteks pembangunan wilayah perkotaan, pengembangan infrastruktur
juga harus mengedepankan aspek kelestarian lingkungan dan secara bersamaan
memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan budaya yang ada. Sehingga pembangunan
infrastruktur yang ada tidak memberikan dampak negatif kepada lingkungan maupun
masyarakat yang ada di sekitarnya. Secara ekologis dan planologis, RTH dapat
berfungsi sebagai infrastruktur hijau yang turut membentuk ruang-ruang kota yang
harmonis untuk memenuhi kebutuhan ekologis dan keindahan kota maupun sebagai
pembatas ruang secara planologis.
Ruang Terbuka Hijau dapat meningkatkan stabilitas ekonomi masyarakat
dengan cara menarik minat wisatawan dan peluang-peluang bisnis lainnya,
orang-orang akan menikmati kehidupan dan berbelanja dengan waktu yang lebih lama di
sepanjang jalur hijau, kantor-kantor dan apartemen di areal yang berpohon akan
disewakan serta banyak orang yang akan menginap dengan harga yang lebih tinggi
banyak pepohonan akan memberikan produktifitas yang tinggi kepada para pekerja
(Forest Service Publikations, 2003).
Ruang terbuka hijau, mempunyai mamfaat keseimbangan alam terhadap
struktur kota. Ruang terbuka hijau janganlah dianggap sebagai lahan yang tidak
efisien, atau tanah cadangan untuk pembangunan kota, atau sekedar program
keindahan. Ruang terbuka hijau mempunyai tujuan dan manfaat yang besar bagi
keseimbangan, kelangsungan, kesehatan, kenyamanan, kelestarian, dan peningkatan
kualitas lingkungan itu sendiri (Hakim dan Utomo, 2004).
Pohon adalah simbol kehidupan. Penanaman pohon-pohon besar peneduh
jalan dan taman secara teratur memberikan keteduhan kota dan jiwa warga kota ( PP
RI No 30, 2005 ). Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang
terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman,
dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak
langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan,
kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan
bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi:
a. bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan
b. bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota,
lapangan olah raga, pemakaman).
Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasifikasi menjadi:
a. bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan
Berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi
menjadi:
a. RTH kawasan perdagangan,
b. RTH kawasan perindustrian,
c. RTH kawasan permukiman,
d. RTH kawasan pertanian,
e. RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah.
Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi:
a. RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang
dimiliki oleh pemerintah (pusat, daerah), dan
b. RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik
privat.
2.4. Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan
perkotaan yang rusak adalah dengan pembangunan ruang terbuka hijau kota yang
mampu memperbaiki keseimbangan ekosistem kota. Upaya ini bisa dilakukan dengan
cara membangun ruang terbuka hijau yang memiliki beranekaragam manfaat.
Manfaat ruang terbuka hijau diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Identitas Kota
Jenis tanaman dapat dijadikan simbol atau lambang suatu kota yang dapat
dikembangkan untuk tujuan tersebut di atas adalah Enau (Arenga pinnata)
dengan alasan pohon tersebut serba guna dan istilah pagar-ruyung menyiratkan
makna pagar enau. Jenis pilihan lainnya adalah kayu manis (Cinnamomum
burmanii), karena potensinya besar dan banyak diekspor dari daerah ini (Fandeli,
2004).
2. Nilai Estetika
Komposisi vegetasi dengan strata yang bervariasi di lingkungan kota akan
menambah nilai keindahan kota tersebut. Bentuk tajuk yang bervariasi dengan
penempatan (pengaturan tata ruang) yang sesuai akan memberi kesan keindahan
tersendiri. Tajuk pohon juga berfungsi untuk memberi kesan lembut pada
bangunan di perkotaan yang cenderung bersifat kaku. Suatu studi yang dilakukan
atas keberadaan RTH terhadap nilai estetika adalah bahwa masyarakat bersedia
untuk membayar keberadaan RTH karena memberikan rasa keindahan dan
kenyamanan (Tyrväinen, 1998).
3. Penyerap Karbondioksida (CO2)
RTH merupakan penyerap gas karbon dioksida yang cukup penting, selain dari
fito-plankton, ganggang dan rumput laut di samudera. Dengan berkurangnya
kemampuan hutan dalam menyerap gas ini sebagai akibat menyusutnya luasan
hutan akibat perladangan, pembalakan dan kebakaran, maka perlu dibangun RTH
untuk membantu mengatasi penurunan fungsi RTH tersebut. Jenis tanaman yang
baik sebagai penyerap gas Karbondioksida (CO2) dan penghasil oksigen adalah
(Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auriculiformis), dan beringin (Ficus
benjamina). Penyerapan karbon dioksida oleh RTH dengan jumlah 10.000 pohon
berumur 16-20 tahun mampu mengurangi karbon dioksida sebanyak 800 ton per
tahun (Simpson and McPherson, 1999).
4. Pelestarian Air Tanah
Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan
mengurangi tingkat erosi, menurunkan aliran permukaan dan mempertahankan
kondisi air tanah. Pada musim hujan laju aliran permukaan dapat dikendalikan
oleh penutupan vegetasi yang rapat, sedangkan pada musim kemarau potensi air
tanah yang tersedia bisa memberikan manfaat bagi kehidupan di perkotaan. RTH
dengan luas minimal setengah hektar mampu menahan aliran permukaan akibat
hujan dan meresapkan air ke dalam tanah sejumlah 10.219 m3 setiap tahun
(Urban Forest Research, 2002).
5. Penahan Angin
RTH berfungsi sebagai penahan angin yang mampu mengurangi kecepatan angin
75 - 80% (Hakim dan utomo, 2004). Beberapa faktor yang harus diperhatikan
dalam mendesain RTH untuk menahan angin adalah sebagai berikut:
a. Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman yang memiliki dahan yang kuat.
1) Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin dengan kecepatan sedang
2) Memiliki jenis perakaran dalam.
4) Tinggi dan lebar jalur hutan kota cukup besar, sehingga dapat melindungi
wilayah yang diinginkan.
b. Penanaman pohon yang selalu hijau sepanjang tahun berguna sebagai penahan
angin pada musim dingin, sehingga pada akhirnya dapat menghemat energi
sampai dengan 50 persen energi yang digunakan untuk penghangat ruangan
pada pemakaian sebuah rumah. Pada musim panas pohon-pohon akan
menahan sinar matahari dan memberikan kesejukan di dalam ruangan (Forest
Service Publikations, Trees save energy, 2003).
6. Ameliorasi Iklim
RTH dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan untuk menurunkan
suhu pada waktu siang hari dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat
karena tajuk pohon dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi. Jumlah
pantulan radiasi matahari suatu RTH sangat dipengaruhi oleh panjang
gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar matahari,
keadaan uaca dan posisi lintang. Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman
dari pada daerah yang tidak ditumbuhi oleh tanaman. Selain suhu, unsur iklim
mikro lain yang diatur oleh RTH adalah kelembaban.
Pohon dapat memberikan kesejukan pada daerah-daerah kota yang panas (heat
island) akibat pantulan panas matahari yang berasal dari gedung-gedung, aspal
dan baja. Daerah ini akan menghasilkan suhu udara 3-10 derajat lebih tinggi
mengurangi temperatur atmosfer pada wilayah yang panas tersebut (Forest
Service Publikations, 2003. Trees Modify Local Climate, 2003).
7. Habitat Hidupan Liar
RTH bisa berfungsi sebagai habitat berbagai jenis hidupan liar dengan
keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Hutan kota dapat menciptakan
lingkungan alami dan keanekaragaman tumbuhan dapat menciptakan ekosistem
lokal yang akan menyediakan tempat dan makanan untuk burung dan binatang
lainnya (Forest Service Publikations, 2003. Trees Reduce Noise Pollution and
Create Wildlife and Plant Diversity, 2003).
2.5. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Acuan Perencanaan Tata Ruang
Pada dasarnya, penataan ruang bertujuan agar pemanfaatan ruang yang
berwawasan lingkungan, pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan
budi daya dapat terlaksana, dan pemanfaatan ruang yang berkualitas dapat tercapai.
Upaya penataan ruang juga dilakukan untuk menciptakan pembangunan yang
berkelanjutan dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataannya.
Pengembangan tata ruang ditujukan untuk memberikan hasil yang sebesar
besarnya dan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, pendekatan yang akan
dikembangkan mencakup dua hal:
a. Pengaturan pemanfaatan ruang yang adil untuk masyarakat
Di dalam Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 pasal 29
ayat (2) dijelaskan bahwa proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal
untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi
dan sistem mikrolimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan
meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus
dapat meningkatkan nilai estitika kota. Untuk lebih meningkatkan fungsi dan proporsi
ruang terbuka hijau di kota, pemerintah, masyarakat, dan swasta didorong untuk
menanam tumbuhan di atas bangunan gedung miliknya.
Tujuan perencanaan tata ruang wilayah kota adalah mewujudkan rencana tata
ruang kota yang berkualitas, serasi dan optimal, sesuai dengan kebijaksanaan
pembangunan daerah serta sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan kemampuan
daya dukung lingkungan. Fungsi rencana tata ruang wilayah kota adalah:
1. Sebagai penjabaran dari rencana tata ruang provinsi dan kebijakan regional tata
ruang lainnya.
2. Sebagai matra ruang dari pembangunan daerah.
3. Sebagai dasar kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah kota.
4. Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkembangan antar wilayah kota
dan antar kawasan serta keserasian antar sektor.
5. Sebagai alat untuk mengalokasikan investasi yang dilakukan pemerintah,
masyarakat dan swasta.
6. Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan.
8. Sebagai dasar pemberian izin lokasi pembangunan skala besar.
Lebih jauh, rencana tata ruang kota dipergunakan sebagai acuan dalam
penyusunan maupun pelaksanaan program pembangunan di wilayah kota yang
bersangkutan:
a. Bagi departemen/instansi pusat dan pemerintah provinsi, digunakan dalam
penyusunan program-program dan proyek-proyek pembangunan lima tahunan
dan tahunan secara terkoordinasi dan terintegrasi.
b. Bagi pemerintah kota, digunakan dalam penyusunan program-program dan
proyek-proyek pembangunan lima tahunan dan tahunan di wilayah kota yang
bersangkutan.
c. Bagi pemerintah kota dalam penetapan investasi yang dilaksanakan pemerintah,
masyarakat dan swasta, digunakan sebagai acuan dalam perijinan pemanfaatan
ruang serta pelaksanaan kegiatan pembangunan di wilayah kota.
Materi dalam rencana tata ruang kota memuat 3 (tiga) bagian utama yaitu:
1) Tujuan pemanfaatan ruang wilayah kota, untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan pertahanan kemanan, yang meliputi: a) Tujuan pemanfaatan ruang;
b) Konsep pembangunan tata ruang kota dan c) Strategi pembangunan tata ruang
kota. 2) Rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kota, yang meliputi:
a) Rencana struktur tata ruang, yang berfungsi memberi arahan kerangka
pengembangan wilayah, yaitu: Rencana sistem kegiatan pembangunan, Rencana
sistem permukiman perdesaan dan perkotaan dan Rencana sistem prasarana wilayah;
budidaya dan perlindungan. 3) Rencana umum tata ruang wilayah, meliputi:
a) Rencana pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya, b). Rencana
pengelolaan kawasan perkotaan, perdesaan dan kawasan tertentu, c) Rencana
pembangunan kawasan yang diprioritaskan dan d) Rencana pengaturan penguasaan
dan pemanfaatan serta penggunaan ruang wilayah.
2.6. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota
Pengendalian merupakan upaya-upaya pengawasan, pelaporan, evaluasi dan
penertiban terhadap pengelolaan, penanganan dan intervensi sebagai implementasi
dari strategi pengembangan tata ruang dan penatagunaan sumber daya alam, agar
kegiatan pembangunan yang memanfaatkan ruang sesuai dengan perwujudan rencana
tata ruang kota yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka rencana tata ruang merupakan suatu
rencana yang mengikat semua pihak, yang berbentuk alokasi peruntukan ruang di
suatu wilayah perencanaan. Rencana tata ruang dengan demikian merupakan
keputusan publik yang mengatur alokasi ruang, dimana masyarakat, swasta dan
pemerintah perlu mengacunya. Oleh karena itu, suatu rencana tata ruang akan
dimanfaatkan untuk diwujudkan apabila dalam perencanaannya sesuai dan tidak
bertentangan dengan kehendak seluruh pemanfaatnya serta karakteristik dan kondisi
wilayah perencanaannya, sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam
pemanfaatan ruang bagi para pemanfaatnya.
Rahayu (2005) dalam penelitiannya Studi Persepsi terhadap Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Tingkat Kenyaman Kawasan Simpang Lima Sebagai Ruang
Terbuka Publik” menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif yang akan
disajikan dengan tabel distribusi frekuensi. Hasil temuan studi yang diperoleh
memperlihatkan tingkat kenyamanan di ruang terbuka publik Kawasan Simpang
Lima Semarang masih kurang dan tingkat kenyamanan ini sangat dipengaruhi olah
faktor pendukung yang ada. Pengunjung yang berkunjung ke tempat ini mempunyai
tujuan yang berbeda dan hal ini menunjukkan fungsi ruang terbuka yang semakin
komplek dan sangat dibutuhkan keberadaannya bagi masyarakat kota. Untuk itu maka
sangat penting kiranya bagi pemerintah kota untuk meningkatkan fasilitas dan kondisi
yang lebih baik untuk menunjang kenyamanan ruang terbuka publik. Di samping itu
juga perlu adanya kesadaran masyarakat untuk memelihara dan menjaga keberadaan
ruang terbuka baik dari segi fisik (fasilitas) maupun non fisik.
Tinambunan (2006) dalam penelitiannya ‘Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka
Hijau di Kota Pekanbaru” menggunakan metode deskriptif dan overlay GIS
menyimpulkan bahwa Kawasan terbuka hijau di Kota Pekanbaru berjumlah
12.790,73 hektar. Kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah berjumlah
25.290,4 hektar. Terdapat kekurangan ruang terbuka hijau sekitar 12.499,67 hektar.
Sesuai dengan luas kawasan hijau yang ditetapkan 40 persen dari luas wilayah belum
mencukupi. Ruang terbuka hijau yang ditetapkan hanya berjumlah 16,83 persen.
Seluruh Kecamatan di Kota Pekanbaru masih kekurangan ruang terbuka hijau
Pekanbaru Kota dengan luas 90 hektar, Senapelan 266 hektar, Limapuluh 162 hektar,
Sukajadi 204 hektar, Sail 130 hektar, Rumbai 5.305, 47 hektar, Bukit Raya 2.206,56
hektar, dan Tampan 4.135,24 hektar. Kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan
jumlah penduduk terdapat 6 kecamatan yang belum memenuhi syarat. Kekurangan
ruang terbuka hijau pada kecamatan tersebut adalah Pekanbaru Kota 122,27 hektar,
Senapelan 145,94 hektar, Limapuluh 164,62 hektar, Sukajadi 246,34 hektar, Sail
86,26 hektar, dan Tampan 390,95 hektar. Kecamatan Rumbai dan Bukit Raya masih
mencukupi.
Utami (2010) dalam penelitiannya Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman
Umum sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan, menggunakan
metode pedoman pemerintah yang ada, metode angka kematian kasar, dan metode
angka harapan hidup menunjukkan bahwa pengadaan TPU oleh Pemerintah Kota
Medan sangat mendesak. Jumlah luasan yang dihasilkan berbeda secara signifikan
berdasarkan ketiga metode tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan
metode perhitungan Taman Pemakaman Umum dengan melalui Angka Kematian
Kasar dianggap sesuai dilaksanakan di Kota Medan karena mewakili angka kematian
yang sesungguhnya.
2.8. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini didasari oleh permasalahan utama semakin berkurangnya
lahan-lahan alami di Kota Medan yang berubah menjadi kawasan terbangun. Peningkatan
pertumbuhan kota dan populasi penduduk akan mengakibatkan kebutuhan ruang
terbangun meningkat. Kondisi ini akan diprediksi dengan melihat tren jumlah
penduduk dan kawasan terbangun untuk masa yang akan datang. Hal tersebut
menentukan kebutuhan luasan infrastruktur hijau minimal yang harus ada. Di sisi
lain, ruang terbuka yang ada saat ini merupakan wilayah yang berpotensi untuk
ditingkatkan sebagai infrastruktur hijau. Melalui identifikasi karakteristik wilayah
akan diperoleh gambaran kondisi ruang terbuka saat ini. Penelitian ini disusun dalam
suatu kerangka pikir sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Kota Medan
Prioritas Program Infrastruktur Hijau Kota Medan Pertambahan Penduduk Pesat
Ruang Terbangun Terus Bertambah
Ruang Terbuka Berkurang
Pembangunan aspek lingkungan tidak seimbang
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di wilayah administrasi Kota Medan.
3.2. Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang dipergunakan antara lain adalah: software pengolahan
data citra dan GIS (Arc View), peta citra tahun 2005, tahun 2009, peta-peta tematik,
GPS, kuisioner dan kamera digital.
3.3. Metode Penelitian
Identifikasi kondisi ruang terbuka dilakukan dengan analisis foto udara,
peta-peta tematik dan data-data statistik. Hasil analisis ini berupa: sebaran, proporsi dan
penggunaan ruang terbuka hijau.
Analisis trend perkembangan penduduk dan ruang terbangun dilakukan
dengan analisis saturation model menggunakan model lung logistik dan analisis citra
multitemporal. Selain itu juga dilakukan perhitungan terhadap keseimbangan
pembiayaan pembangunan infrastruktur. Analisis tersebut untuk memperoleh
gambaran kebutuhan infrastruktur hijau minimal yang harus ada pada masa yang akan
datang.
Kedua analisis tersebut di atas, selanjutnya dipadukan untuk mengantisipasi
potensi ruang terbuka yang ada pada saat ini. Penyusunan rencana infrastruktur hijau
dilakukan dengan analisis: foto citra landsat dan LQ.
Kemudian dilakukan pengumpulan pendapat para stakeholder untuk mencari
alternatif prioritas program yang dikehendaki sebagai strategi penerapan infrastruktur
hijau yang terbaik. Hal ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis hirarki
proses.
3.3.1. Analisis Trend
Pertama, dilakukan analisis trend ruang terbangun. Analisis tersebut
menggunakan hasil interpretasi citra satelit untuk beberapa tahun (multitemporal)
berdasarkan hasil penelitian Radnawati (2005), dengan maksud untuk menghitung
jumlah luasan lahan terbuka yang terkonversi menjadi ruang terbangun sebagai
konsekuensi dilakukan pembangunan.
Penghitungan dilakukan dengan menggunakan model pertumbuhan logistik
(saturation model) dengan rumus:
Asumsi yang digunakan bahwa luas kawasan terbangun maksimal adalah
sebesar 70% dari luas total wilayah (sesuai dalam peraturan UUPR No.26 Tahun
2007). Luas tersebut bisa dikatakan sebagai carrying capacity wilayah, sehingga
diharapkan pembangunan fisik tidak melebihi batas luasan itu. Selanjutnya dihitung
nilai α dengan menggunakan rumus di atas dengan nilai k (carrying capacity)
diketahui yaitu luas total wilayah dikali 70%. Demikian juga dengan nilai β dihitung
dengan menurunkan dari rumus setelah diketahui nilai α. Sehingga dapat diperoleh
persamaan model pertumbuhan logistik sesuai rumus di atas. Perhitungan diatas
dilakukan dengan bantuan software pengolahan data.
Kedua yang dilakukan adalah analisis trend jumlah penduduk. Analisis trend
dilakukan dengan menggunakan data-data statistik Kota Medan beberapa tahun
terakhir dengan menggunakan model saturation, yaitu model dugaan untuk jangka
panjang atau biasa dikenal dengan model Lung Logistik (Warpani,1980). Model ini
merupakan modifikasi dari model eksponensial dan dianggap paling sesuai untuk
menggambarkan trend perkembangan penduduk di negara berkembang. Nilai k dari
model tersebut juga menggambarkan daya dukung wilayah (carrying capacity).
Rumus yang digunakan menurut Wibisono (2007) adalah:
Pt + q = ____k______
1 + 10 (α+βt)
dimana: t = X3 – X2 = X2-X1
β = 1/t (Log(Y1(Y3-Y2)/Y3(Y2-Y1))
α = Log (Y1-Y2)/(10βtY2-Y1))
k = Y1(1 + 10 α)
X1,X2,X3 = tahun ke n
t = selisih tahun pengambilan data
q = selisih antara tahun ke n dengan tahun awal Pt+q = prediksi jumlah penduduk tahun ke n (jiwa) Data tahun 2003-2009, X1=2003, X2=2006, X3=2009
Ketiga, dilakukan perhitungan keseimbangan pembiayaan pembangunan
infrastruktur. Infrastruktur dipisahkan menjadi infrastruktur yang bersifat fisik (grey
infrastructure) dan infrastruktur lingkungan (green infrastructure). Analisis tersebut
akan memberikan perbandingan pembiayaan yang dikeluarkan pemerintah daerah
Kota Medan untuk kedua infrastruktur tersebut berdasarkan APBD Kota Medan.
3.3.2. Identifikasi Kondisi Eksisting
Identifikasi dilakukan dengan menggunakan foto udara, dan data statistik.
Obyek-obyek yang terdapat pada peta-peta tematik dan data statistik diidentifikasi
dan dideliniasi pada foto udara dengan menggunakan software-software pengolahan
data Sistem Informasi Geografis (SIG), seperti: Arc View, Hasil identifikasi berupa
peta sebaran, distribusi, proporsi, luas dan penggunaan ruang terbuka.
3.3.3. Penyusunan Rencana Infrastruktur Hijau
Analisis Location Quotient (LQ) dimaksudkan untuk mengetahui pusat-pusat
pelayanan lingkungan, dalam hal ini mengidentifikasi infrastruktur hijau yang ada di
Kota Medan berdasarkan data statistik. Selanjutnya ditentukan hirarki pelayanan
lingkungan dengan melihat ada dan tidaknya infrastruktur lingkungan di wilayah
tertentu dengan menggunakan data statistik pada buku Medan Dalam Angka.
Menurut Warpani (1980), perhitungannya dengan menggunakan rumus
LQ = Si/Ni = Si/S S/N Ni/N
Di mana: Si = jumlah fasilitas lingkungan di daerah i S = jumlah seluruh fasilitas di daerah i
Ni = jumlah fasilitas lingkungan di seluruh Kota Medan N = jumlah seluruh fasilitas di wilayah Kota Medan
Hal ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam sektor
tertentu. Kesimpulan yang diperoleh baru merupakan kesimpulan sementara yang
masih harus dikaji dan ditilik kembali menggunakan teknik analisis yang lain.
Analisis skalogram digunakan untuk mengetahui hirarki wilayah dan
menentukan daerah yang menjadi daerah layanan dari infrastruktur yang ada serta
dapat diketahui jumlah dan jenis infrastruktur yang ada.
Skalogram yang digunakan adalah yang sederhana tanpa pembobotan. Hirarki
wilayah ditentukan oleh jumlah dan jenis fasilitas lingkungan yang ada di wilayah
tertentu. Analisis ini dimaksudkan untuk membantu identifikasi karakteristik wilayah,
sehingga diketahui wilayah mana yang memiliki potensi berkembangnya suatu jenis
fasilitas lingkungan atau wilayah mana yang menjadi pusat fasilitas lingkungan.
Kawasan konservasi air diperoleh dari hasil penelitian Radnawati (2005)
dengan mempertimbangkan faktor-faktor: curah hujan, penggunaan lahan, lereng,
jenis tanah dan geologi. Hasil analisis ini diperoleh kawasan konservasi air dengan
kriteria sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Wilayah terpilih
untuk pengembangan infrastruktur hijau adalah wilayah dengan criteria sangat tinggi
Hasil tersebut selanjutnya ditelaah kembali dengan menggunakan foto udara
untuk memperoleh wilayah-wilayah yang layak untuk dijadikan kawasan konservasi
air dan terintegrasi dengan sistem infrastruktur hijau yang akan dibuat.
Selanjutnya, dilakukan analisis melalui foto udara untuk menentukan
obyek-obyek yang berpotensi sebagai Hubs dan Links. Selain menggunakan peta citra tahun
2005 dan 2009, analisis ini juga didukung oleh peta-peta tematik lainnya seperti: Peta
Penggunaan Lahan, dan Peta RTRW Kota.
Analisis tersebut menggunakan software-software pengolahan data
penginderaan jauh SIG, seperti: Arc View, dan lain-lain. Untuk mengidentifikasi
penutupan lahan, sebaran, luasan dan sebagainya yang berkaitan dengan perhitungan
dan pembuatan peta-peta.
Penentuan elemen-elemen infrastruktur hijau berdasarkan standar luasan dan
letak menurut English Nature Greenspaces (Davies et al.2006) adalah:
1. Paling sedikit terdapat ruang terbuka seluas 2 Ha untuk jarak 300 meter dari
lokasi pemukiman.
2. Paling sedikit terdapat ruang terbuka hijau seluas 2 Ha per 1000 jiwa penduduk.
3. Paling sedikit terdapat satu buah ruang terbuka seluas 20 Ha dengan jarak 2 Km
dari pemukiman.
4. Paling sedikit terdapat satu buah ruang terbuka seluas 100 Ha dengan jarak 5 Km
dari pemukiman.
5. Paling sedikit terdapat satu buah ruang terbuka seluas 500 Ha dengan jarak 10
6. Ruang terbuka yang berdekatan saling terhubung, sedangkan prioritas dan
pengembangan ditentukan oleh perencanaan dan stakeholder di tingkat lokal.
Kriteria yang digunakan dalam penentuan elemen-elemen infrastruktur hijau adalah:
1. Konteks: kebutuhan, keinginan, aspirasi dan masalah dari kelompok atau
individu sebagai pertimbangan untuk melakukan konservasi, merubah atau
membangun.
2. Kualitas: berdasarkan standar kecukupan dan kenyamanan pelayanan lingkungan
yang diberikan.
3. Interaksi: mempunyai multi fungsi sebagai network yang bersinergis antara
supply dan demand.
Selain itu syarat suatu area ditetapkan sebagai hub adalah area yang terikat
dalam network infrastruktur hijau dan memberikan tempat atau persinggahan untuk
kehidupan liar dan tempat berlangsungnya proses-proses ekologi. Hubs dapat dalam
bentuk apa saja dengan berbagai ukuran, dengan klasifikasi sebagai berikut
(Williamson, K. 2003):
a. Cadangan alami (Reserves), yaitu areal konservasi yang luas seperti Taman
Nasional, taman yang dikelola oleh pemerintah, dan daerah perlindungan satwa
liar.
b. Lanscape alami yang ditata (Manage native lanscapes), yaitu lahan milik yang
dimanfaatkan oleh orang banyak, seperti hutan negara atau hutan kota, dikelola