ABSTRAK
PENGARUH CARA PEMBERIAN VAKSIN ND LIVE PADA BROILER
TERHADAP TITER ANTIBODI, JUMLAH SEL DARAH MERAH DAN JUMLAH SEL DARAH PUTIH
Oleh Bayu saputro
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui pengaruh cara pemberian vaksin ND live pada broiler terhadap titer antibodi, jumlah sel darah merah dan jumlah sel darah putih, (2) mengetahui titer antibodi, jumlah sel darah merah dan sel darah putih yang terbaik pada ayam broiler dengan cara pemberian vaksin ND live yang berbeda. Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober 2012 di unit kandang percobaan PT. Rama Jaya Lampung yang berada di Desa Fajar Baru II,
Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan. Ayam yang digunakan sebanyak 100 ekor berjenis kelamin jantan.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Langkap (RAL), terdiri atas 4 perlakuan (P1: tetes mata, P2: tetes hidung, P3: tetes mulut, P4: suntik) dengan ulangan sebanyak 5 kali,
PENGARUH CARA PEMBERIAN VAKSIN ND LIVE PADA BROILER TERHADAP TITER ANTIBODI, JUMLAH SEL DARAH MERAH DAN
JUMLAH SEL DARAH PUTIH
Oleh
BAYU SAPUTRO
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PETERNAKAN
pada
Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
PENGARUH CARA PEMBERIAN VAKSIN ND LIVE PADA BROILER TERHADAP TITER ANTIBODI, JUMLAH SEL DARAH MERAH DAN
JUMLAH SEL DARAH PUTIH (Skripsi)
Oleh
BAYU SAPUTRO
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR GAMBAR
Gambar ... Halaman 1. Diagram zona suhu nyaman (thermonetral zone)
pada broiler ... 19 2. Bursa fabrisius normal dan yang mengalami atropi ... 20 3. Mekanisme immunosupresif dan gangguan metabolisme
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... ii
DAFTAR GAMBAR ... iii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 3
1.3 Kegunaan Penelitian... 3
1.4 Kerangka Pemikiran ... 3
1.5 Hipotesis ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Broiler ... 7
2.2 Penyakit Newcastle Disease (ND) ... 8
2.3 Sistem Kekebalan Ayam ... 10
2.4 Vaksinasi ... 14
2.5 Cara Vaksinasi ... 14
2.6 Vaksin ND ... 15
2.7 Titer Antibodi ... 18
2.8 Pengaruh Stres Lingkungan terhadap Titer Antibodi ... 19
2.9 Sel Darah Merah ... 22
III. METODE PENELITIAN... 29
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 29
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 29
3.2.1 Alat ... 29
3.2.2 Ayam ... 31
3.2.3 Ransum ... 31
3.2.4 Air minum ... 31
3.2.5 Vaksin ... 31
3.3 Rancangan Penelitian ... 32
3.4 Analisis data ... 32
3.5 Pelaksanaan Penelitian ... 32
3.5.1 Persiapan kandang ... 32
3.4.2 Pelaksanaan penelitian ... 33
3.5 Peubah yang Diamati ... 33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35
4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Titer Antibodi NewcastleDesease ... 35
4.2 Pengaruh Perlakuan terhadap jumlah Sel Darah Merah 38
4.3 Pengaruh Perlakuan terhadap jumlah Sel Darah Putih .. 40
V. KESIMPULAN ... 43
5.1 Simpulan ... 43
5.2 Saran ... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 46
DAFTAR TABEL
Tabel ... Halaman
1. Vaksin yang diberikan... 31
2. Hasil uji HI titer antibodi Newcastle Deseasebroiler umur 21 hari... 35
3. Data hasil penelitian sel darah merah... 38
4. Data hasil penelitian sel darah putih ... 40
5. Hasil pemeriksaan titer antibodi ND pada ayam broiler ... 49
6. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi ayam broiler ... 51
7. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap total sel darah merah ayam broiler ... 52
8. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap total sel darah putih ayam broiler ... 54
9. Kelembaban kandang ... 55
10.Suhu kandang ... 56
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak drh. Purnama Edy Santosa, M.Si.- selaku Pembimbing Utama --atas petunjuk, bimbingan, dan arahannya;
2. Ibu Ir. Tintin Kurtini, M.S. - selaku Pembimbing Anggota- atas bimbingan, petunjuk, dan sarannya;
3. Bapak drh. Madi Hartono, M.P. - selaku Penguji Utama - atas bimbingan, saran, dan bantuannya;
4. Ibu Ir. Nining Purwaningsih. - selaku Pembimbing Akademik - atas petunjuk, bimbingan dan arahannya;
5. Ibu Sri Suharyati, S.Pt., M.P. - selaku Sekretaris Jurusan Peternakan - atas izin dan bimbingannya;
6. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S. - selaku Ketua Jurusan Peternakan - atas izin dan bimbingannya;
dan saran yang diberikan selama ini;
9. Ibu tercinta, beserta keluarga besarku - atas semua kasih sayang, nasehat, dukungan, dan keceriaan di keluarga serta do'a tulus yang selalu tercurah tiada henti bagi penulis;
10.Seluruh teman - teman angkatan ’08 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas do’a, kenangan, motivasi, bantuan, dan kebersamaannya;
11.Adi, Pram, febri, dedi, adit, oka, windu, atas kebersamaannya;
12.Seluruh staf Rama JayaFajar Baru IIyang telah memberikan izinnya, bantuan dan semangat kepada penulis selama melakukan penelitian;
13.Seluruh Mahasiswa Jurusan Peternakan, Universitas Lampung atas bantuan dan kebersamaannya selama ini.
Semoga semua yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dan rahmat dari Allah SWT dan penulis berharap karya ini dapat bermanfaat. Amin.
Bandar lampung, 26 Agustus 2014 Penulis
Allhamdulillahirobbil’alamin...
kupanjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
serta junjunganku Nabi Muhammad SAW yang menjadi lentera
kebenaran dalam hidupku
Dengan segenap kerendahan hati karya kecil nan sederhana ini
kupersembahkan sebagai wujud bakti, dan terimakasihku kepada
Ibu dan (alm) bapak atas segenap cinta dan kasih sayang yang
kuterima sepanjang hayatku serta doa tulus yang selalu mengiringi di
setiap langkahku semoga Allah SWT kelak menempatkan keduanya
dalam jannah-Nya
Para sahabat
Yang telah menjadi pelangi nan indah dalam setiap perjalanan
hidupku mewarnai setiap hari-hariku
Serta
Almamater hijau
yang turut membangun diriku, mendewasakanku dalam berpikir dan
bertindak
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Hargomulyo, Kecamatan Sekampung, Kabupaten
Lampung Timur pada 1 November 1988, anak sematawayang buah hati pasangan
Bapak Arifin (alm) dan Ibu Rubiah.
Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Hargomulyo pada
1995, sekolah dasar di SDN 2 Wonokarto pada 2001, sekolah menengah pertama
di SMPN 2 Sekampung pada 2004; sekolah menengah atas di SMAN 1
Batanghari pada 2007. Pada tahun 2008 penulis terdaftar sebagai Mahasiswa
Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur
Ujian Mandiri (UM).
Penulis melaksanakan Praktik Umum di Acuan Farm Desa Gondangrejo,
Lampung Timur pada 4 Januari – 6 Februari 2011. Selama masa studi penulis
aktif di kepengurusan Himpunan Mahasiswa Peternakan (Himapet) sebagai
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus
mengalami peningkatan sehingga permintaan makanan yang memiliki nilai gizi
baik akan meningkat. Makanan yang bergizi baik yaitu berasal dari produk
hewani dan nabati. Salah satu produk makanan dari hewani yaitu daging. Daging
dapat berasal dari ternak ruminansia maupun nonruminansia. Ternak non
ruminansia yang sangat baik untuk dikembangkan yaitu broiler (ayam pedaging).
Broiler merupakan jenis unggas yang banyak dikembangkan sebagai sumber
pemenuhan kebutuhan protein hewani, serta dapat menghasilkan daging yang
cepat dibandingkan dengan unggas lainnya. Broiler memiliki kelemahan yaitu
rentan sekali terhadap serangan penyakit, terutama penyakit yang disebabkan oleh
virus. Penyakit yang disebabkan oleh virus ini sangat merugikan bagi peternak
karena menurunkan produktivitas,dan dapat menyebabkan kematian broiler.
Salah satu pencegahan penyakit yang disebabkan oleh virus dapat dilakukan
dengan vaksinasi. Vaksinasi merupakan proses memasukkan mikroorganisme
penyebab penyakit yang telah dilemahkan ke dalam tubuh hewan. Di dalam tubuh
melainkan dapat merangsang pembentukan zat-zat kekebalan (antibodi) terhadap
agen penyakit tersebut (Tizard, 1988).
Vaksinasi ND pertama, yang biasanya dilakukan pada umur 1 - 7 hari bertujuan
untuk menggertak kekebalan lokal di saluran pernapasan bagian atas, yaitu dengan
mengaktifkan kelenjar harderian. Oleh karena itu cara atau aplikasi vaksinasinya
dilakukan melalui tetes mata, tetes hidung, suntik(Medion, 2014)
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kegagalan dalam vaksinasi
diantaranya adalah cara pemberian (aplikasi), cara pemberian yang berbeda akan
menghasilkan respon imun yang berbeda pula (Allan et al., 1978). Namun saat ini
pengaruh cara pemberian vaksin ND yang menghasilkan respon imun terbaik
belum diketahui, untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh cara
pemberian vaksin ND live terhadap titer antibodi ND, terhadap jumlah sel darah
merah dan jumlah sel darah putih sebagai indikator kondisi fisiologis ternak.
Sel darah merah dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengetahui kesehatan
ternak. Faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit dalam darah bukan hanya
konsentrasi hemoglobin tetapi juga umur, status nutrisi, peningkatan epinephrine,
volume darah, pemeliharaan, waktu, temperatur lingkungan, ketinggian, dan
faktor iklim.
Menurut Sturkie (1976), apabila perubahan fisiologis terjadi pada tubuh hewan,
maka gambaran total sel darah merah juga ikut mengalami perubahan. Adanya
peningkatan jumlah leukosit dapat bersifat fisiologis ataupun sebagai indikasi
3
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. mengetahui pengaruh cara pemberian vaksin ND live pada broiler terhadap
titer antibodi, jumlah sel darah merah dan jumlah sel darah putih;
2. mengetahui titer antibodi, jumlah sel darah merah dan sel darah putih yang
terbaik pada ayam broiler dengan cara pemberian vaksin ND live yang
berbeda.
1.3 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada praktisi
broiler tentang bagaimana cara pemberian vaksin ND live yang terbaik pada
pemeliharaan broiler, khususnya terhadap titer antibodi, jumlah sel darah merah
dan jumlah sel darah putih yang dihasilkan, serta berguna bagi peternak sebagai
bahan pertimbangan dalam menentukan cara pemberian vaksin ND live yang
terbaik dalam upaya pencegahan penyakit ND pada broiler.
1.4 Kerangka Pemikiran
Broiler merupakan ayam pedaging hasil budidaya teknologi yang memiliki
karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi
pakan yang baik, dan dapat dipotong pada usia yang relatif muda, hal ini karena
broiler merupakan hasil budidaya yang menggunakan teknologi maju, sehingga
Selain keunggulannya, broiler memiliki kelemahan yaitu rentan sekali terhadap
serangan penyakit, terutama penyakit yang disebabkan oleh virus. Pencegahan
untuk penyakit yang disebabkan oleh virus dapat dilakukan dengan vaksinasi.
Vaksinasi merupakan proses memasukkan mikroorganisme penyebab penyakit
yang telah dilemahkan ke dalam tubuh hewan. Di dalam tubuh hewan,
mikroorganisme yang dimasukkan tidak menimbulkan bahaya penyakit, tetapi
dapat merangsang pembentukan zat-zat kekebalan (antibodi) terhadap agen
penyakit tersebut (Tizard, 1988).
Virus yang berada di luar tubuh ternak mudah untuk dimusnahkan, namun bila
berada di dalam tubuh ternak sangat sulit untuk dimusnahkan. Penyakit yang
disebabkan oleh virus ini sangat merugikan bagi peternak karena tidak hanya
menurunkan produktivitas broiler, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Penyakit merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi pertumbuhan
broiler, sehingga kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam
pertumbuhan broiler.
Penyakit ND merupakan penyakit menular yang bersifat akut, menyerang hampir
semua jenis unggas terutama ayam dan menimbulkan gangguan pernafasan,
pencernaan dan syaraf. Penyakit ND merupakan penyakit pada unggas yang
disebabkan oleh Paramyxovirus dari famili Paramyxoviridae.
Sejak dikenal pertama kali di Indonesia sampai saat ini, ND belum dapat
5
Newcastle Disease dapat menyebabkan mortalitas sampai 100 % pada ayam-ayam
yang peka dan mempunyai titer antibodi ND yang rendah (Darminto dan
Ronohardjo, 1996). Penyakit ini mempunyai dampak ekonomi yang penting
dalam industri perunggasan karena menimbulkan mortalitas yang tinggi. Di
Indonesia, ND masih menjadi salah satu penyakit yang paling merugikan
peternakan ayam walaupun telah dilakukan berbagai usaha penanggulangan yang
ketat (Poultry Indonesia, 2008). Salah satu pencegahan dan pengendalian yang
cukup efisisen adalah melalui vaksinasi, disamping juga perlu sanitasi dan
kebersihan kandang yang cukup baik (Akoso, 1993).
Penyebab kegagalan dalam vaksinasi diantaranya adalah cara pemberian
(aplikasi), cara pemberian yang berbeda akan menghasilkan respon imun yang
berbeda pula (Allan et al., 1978). Vaksinasi dilakukan dengan berbagai cara yaitu
tetes mata,tetes hidung, tetes mulut, dan suntik. Namun saat ini pengaruh cara
pemberian vaksin ND yang terbaik belum diketahui, untuk itu perlu dilakukan
penelitian tentang pengaruh cara pemberian vaksin ND live terhadap titer ND,
gambaran sel darah merah dan sel darah putih pada ayam broiler.
Tujuan dasar vaksinasi adalah membuat ternak mempunyai kekebalan yang tinggi
terhadap satu penyakit tertentu. Kemudian hasil nyata yang akan diperoleh dari
program vaksinasi adalah tingkat kesehatan dan produktivitas. Vaksinasi yang
berfungsi menstimulasi pembentukan titer antibodi yang berperan mem-blok lalu
Menurut Swenson (1984), Jumlah eritrosit dalam darah bukan hanya konsentrasi
hemoglobin tetapi juga umur, status nutrisi, peningkatan epinephrine, volume
darah, pemeliharaan, waktu, temperatur lingkungan, ketinggian, dan faktor iklim.
Menurut Sturkie (1976), apabila perubahan fisiologis terjadi pada tubuh hewan,
maka gambaran total sel darah merah juga ikut mengalami perubahan.
Adanya peningkatan jumlah leukosit dapat bersifat fisiologis ataupun sebagai
indikasi terjadinya suatu infeksi dalam tubuh(Guyton dan Hall, 1997).
Berdasarkan uraian di atas, maka cara pemberian vaksin yang berbeda perlu
diketahui ada pengaruhnya terhadap titer ND, gambaran sel darah merah dan sel
darah putih. Penelitian ini diharapkan berguna bagi peternak sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan cara pemberian vaksin ND live yang terbaik
dalam upaya pencegahan penyakit ND pada broiler.
1.5 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah
1. adanya pengaruh cara pemberian vaksin ND live terhadap titer antibodi,
jumlah sel darah merah dan jumlah sel darah putih yang dihasilkan pada
broiler;
2. terdapat cara pemberian vaksin ND live yang terbaik terhadap titer antibodi,
jumlah sel darah merah dan jumlah sel darah putih yang dihasikan pada
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Broiler
Broiler merupakan istilah untuk menyebutkan strain ayam hasil budidaya
teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu
pertumbuhan yang cepat, konversi pakan yang baik, dan dapat dipotong pada usia
yang relatif muda sehingga sirkulasi pemeliharaannya lebih cepat dan efisien serta
menghasilkan daging yang berkualitas baik (Murtidjo, 1992).
Broiler adalah ayam-ayam muda jantan atau betina yang umumnya dipanen umur
5 - 6 minggu dengan tujuan sebagai penghasil daging. Broiler mempunyai
peranan yang penting sebagai sumber protein hewani asal ternak. Broiler
mempunyai kelebihan bila dibandingan dengan ayam kampung yakni keempukan
daging, kulit halus dan lunak, ujung tulang dada lunak, serta dada lebar dengan
timbunan daging yang baik (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
Fase broiler di bagi menjadi 2 yaitu fase starter umur 1 – 4 minggu, fase finisher
4 minggu sampai dengan panen (Dirjen Peternakan, 1991). Pada umumnya di
Indonasia broiler sudah dipasarkan pada umur 5 - 6 minggu dengan berat 1,3 -
1,6 kg walaupun laju pertumbuhannya belum maksimum, karena broiler yang
2.2 Penyakit Newcastle Disease (ND)
Penyakit Newcastle Disease (ND) merupakan penyakit pada unggas yang
disebabkan oleh Paramyxovirus dari famili Paramyxoviridae. Sejak dikenal
pertama kali di Indonesia sampai saat ini, ND belum dapat dihilangkan. Penyakit
ND merupakan penyakit menular yang bersifat akut, menyerang hampir semua
jenis unggas terutama ayam dan menimbulkan gangguan pernafasan, pencernaan
dan syaraf (Fenner et al., 1993). Penyakit ND dapat menyebabkan mortalitas
sampai 100 % pada ayam - ayam yang peka dan mempunyai titer antibodi ND
yang rendah (Darminto dan Ronohardjo, 1996).
Virus ND merupakan penyakit viral yang menular dan merupakan salah satu
penyakit yang paling penting di dunia. Penyakit ini ditularkan melalui sekresi,
terutama feses dari burung yang terinfeksi serta penularan juga dapat terjadi
melalui pakan dan air minum yang terkontaminasi (Center for Food Security and
Public Health, 2008).
Virus ND tersusun dalam rantai RNA tunggal tak bersegmen yang terdiri atas
lipid dua lapis yang mengandung protein matriks (M) dan dua spike glikoprotein
yang terbuka dari luar. Spike tersebut memiliki dua protein struktural yaitu
hemagglutinin yang dapat mengaglutinasi sel darah merah serta protein
neuraminidase dan biasa dikenal dengan protein hemaglutinasi - neuraminidase
(HN). Penyebab perbedaan keganasan diantara strainparamyxovirus adalah
terletak pada cepat atau lambatnya perbanyakan virus bersangkutan (Russel,
9
Virus ND berdasarkan patogenesisnya dibagi menjadi 4 galur, yaitu (1) galur
velogenik yang menimbulkan penyakit dengan gejala klinis parah dan mortalitas
tinggi; (2) galur mesogenik, tingkat keganasannya sedang dan mortalitas rendah;
(3) galur lentogenik merupakan galur yang menimbulkan penyakit ringan dan
tidak menimbulkan kematian (Allan et al., 1978), serta (4) galur enterik
asimtomatik yang sama sekali tidak menimbulkan sakit seperti galur V4 dan
Ulster 2C (Cross, 1988).
Gejala klinis penyakit ND tergantung dari tingkat virulensi dari virus, infeksi virus
galur velogenik dapat menimbulkan gejala gangguan pernapasan seperti sesak
napas, ngorok, bersin serta gangguan syaraf seperti kelumpuhan sebagian atau
total, tortikolis, serta depresi. Tanda lainnya adalah adanya pembengkakan
jaringan di daerah sekitar mata dan leher. Infeksi virus galur mesogenik
menimbulkan gejala klinis seperti gangguan pernapasan yaitu sesak napas, batuk,
dan bersin. Infeksi virus galur lentogenik menunjukkan gejala ringan seperti
penurunan produksi telur dan tidak terjadinya gangguan syaraf pada unggas
terinfeksi. Morbiditas dan mortalitas tergantung pada tingkat virulensi dari galur
virus, tingkat kekebalan vaksin, kondisi lingkungan, dan kepadatan ayam di dalam
kandang (Office International Epizootic, 2002).
Tanda - tanda klinis ayam terserang tetelo adalah lemah, nafsu makan menurun,
gangguan pernafasan, gangguan syaraf, minum lebih banyak dan sering
berkerumun atau berkumpul ditempat hangat. Secara patologis, gejalanya antara
lain kantung hawa keruh, proventriculus mengalami pendarahan berupa bintik
kehijauan bercampur darah, terdapat peradangan sinus hidung, trachea dan
laryng, serta preumonia (Sudaryani dan Santoso, 2003).
2.3 Sistem Kekebalan Ayam
Sistem kekebalan merupakan bentuk adaptasi dari sistem pertahanan pada
vertebrata sebagai pelindung terhadap serangan mikroorganisme patogen dan
kanker. Sistem ini dapat membangkitkan beberapa macam sel dan molekul yang
secara spesifik mampu mengenali dan mengeliminasi benda asing (Decker, 2000).
Sistem kekebalan unggas dibagi menjadi sistem kekebalan non-spesifik dan
sistem kekebalan spesifik (Carpenter, 2004). Mekanisme kedua sistem kekebalan
tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, keduanya saling meningkatkan
efektivitasnya dan terjadi interaksi sehingga menghasilkan suatu aktivitas biologik
yang seirama dan serasi (Fenner dan Fransk, 1995).
Sistem kekebalan non-spesifik merupakan sistem kekebalan yang secara alami
diperoleh tubuh dan proteksi yang diberikannya tidak terlalu kuat. Semua agen
penyakit yang masuk ke dalam tubuh akan dihancurkan oleh sistem kekebalan
tersebut sehingga proteksi yang diberikannya tidak spesifik terhadap penyakit
tertentu (Butcher dan Miles, 2003).
Sistem tersebut berupa pertahanan fisik, mekanik, dan kimiawi yang berespon
pada awal paparan. Kekebalan fisik-mekanik terdiri dari kulit dan selaput lendir
yang merupakan bagian permukaan tubuh paling luar untuk mencegah masuknya
benda asing. Faktor lain yang berperan dalam sistem pertahanan non-spesifik
11
menghancurkan, dan mengeliminasi antigen dari tubuh. Sel makrofag ini meliputi
sel langerhans di kulit, sel kupffer di hati, sel debu di paru-paru, sel histiosit di
jaringan, dan astrosit di sel syaraf. Sel mikrofag meliputi sel neutrofil, basofil,
dan eosinofil (Wibawan et al., 2003).
Sistem kekebalan spesifik terdiri dari sistem berperantara sel (Cell Mediated
Immunity) dan sistem kekebalan berperantara antibodi (Antibody Mediated
Immunity) atau yang lebih dikenal dengan sistem kekebalan humoral (Butcher dan
Miles, 2003). Antigen yang berhasil masuk ke dalam tubuh dengan melewati
sistem pertahanan tubuh non-spesifik akan berhadapan dengan makrofag. Selain
berfungsi melakukan fagositosis, makrofag juga berfungsi sebagai Antigen
Presenting Cells (APC) yang dikenal juga sebagai sel penyaji atau sel penadah
yang akan menghancurkan antigen sedemikian rupa sehingga seluruh
komponennya dapat berinteraksi dengan sistem imun spesifik atau antibodi.
Makrofag yang berfungsi sebagai APC ini akan memfragmentasikan dan
mempersembahkan antigen tersebut kepada sel limfosit T-helper (Th) melalui
molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) yang terletak di permukaan
makrofag (Wibawan et al., 2003).
Sel limfosit yang berperan penting dalam sistem kekebalan terbagi menjadi dua,
yaitu sel B dan sel T. Sel B di dalam tubuh mamalia secara umum matang dan
berdiferensiasi dalam sumsum tulang, sedangkan dalam tubuh unggas sel B
matang dan berdiferensiasi dalam bursa fabrisius. Sel T di dalam tubuh mamalia
dan unggas matang dan berdiferensiasi pada kelenjar timus. Sel B merupakan
memproduksi antibodi yang bersirkulasi dalam saluran darah dan limfe. Antibodi
tersebut akan menempel pada antigen asing yang memberi tanda agar dapat
dihancurkan oleh sel sistem imun (Darmono, 2006).
Sel B akan mengalami proses perkembangan melalui dua jalur setelah terjadi
rangsangan antigen, yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Sel
plasma akan membentuk immunoglobulin. Jumlah immunoglobulin dalam setiap
sel B adalah sekitar l04 sampai 105 (Tizard, 1982).
Sel plasma akan mati setelah tiga sampai enam hari, sehingga kadar
immunoglobulin akan menurun secara perlahan-lahan melalui proses katabolisme.
Sel memori hidup berbulan-bulan atau tahunan setelah pemaparan antigen yang
pertama kali. Jika terjadi pemaparan kedua kalinya dengan antigen yang sama,
maka antigen akan merangsang lebih banyak lagi sel peka antigen daripada
pemaparan pertama. Dengan adanya sel memori, maka sistem pembentukan
antibodi memiliki kemampuan untuk mengingat keterpaparan dengan suatu
antigen sebelumnya. Antibodi yang dihasilkan hanya bereaksi dengan antigen
yang ada di permukaan sel. Tanggap kebal humoral unggas dicirikan dengan
antibodi yang diproduksi oleh sel B yang berada di bawah kontrol bursa fabrisius.
Bursa fabrisius merupakan organ limfoid primer yang terletak di bagian dorsal
kloaka dan hanya ada pada unggas (Wibawan et al., 2003).
Sel T yang bersirkulasi dalam darah dan limfe dapat secara langsung
menghancurkan antigen asing. Sel T bertanggung jawab atas cell mediated
immunity atau imunitas seluler. Sel T bergantung pada molekul permukaan yaitu
13
Sel T terdiri dari beberapa subpopulasi yang dapat distimulasi oleh tipe antigen
yang berbeda. Antigen virus yang terdapat pada sel yang terinfeksi akan
dipresentasikan bersama - sama dengan MHC kelas I dan akan menstimulasi sel T
CD8+ (sitotoksik), sedangkan antigen mikroba ekstraseluler akan diendositosis
oleh APC dan dipresentasikan dengan MHC kelas II dan akan mengaktivasi sel T
CD4+ (helper). Antigen yang menempel pada MHC kelas II dan sel T CD4+ akan
memacu produksi antibodi dan mengaktifkan makrofag (Wibawan et al., 2003).
Interaksi antara sel Th dengan APC akan menginduksi pengeluaran sitokin atau
interleukin yang merupakan alat komunikasi antar sel sehingga akan menginduksi
pematangan sel B. Sitokin yang dikeluarkan oleh limfosit disebut limfokin,
sedangkan sitokin yang dikeluarkan oleh makrofag disebut monokin. Selain alat
komunikasi, sitokin juga berfungsi dalam mengendalikan respon imun dan reaksi
inflamasi dengan cara mengatur pertumbuhan serta mobilitas dan diferensiasi
leukosit maupun sel lain. Kekebalan humoral yang dihasilkan oleh sel B tidak
dapat berespon terhadap antigen yang terdapat di dalam sel, sehingga mekanisme
kekebalan seluler yang berperan. Sel yang berperan dalam mekanisme kekebalan
seluler adalah sel limfosit Tcytotoxic (Tc). Sel tersebut akan mencari sel-sel yang
mengalami kelainan fisiologis untuk kemudian menghancurkan seluruh sel
tersebut beserta antigen yang ada di dalamnya. Tujuan penghancuran ini adalah
untuk mencegah penyebaran antigen intraseluler ke sel-sel sehat lain yang ada di
2.4 Vaksinasi
Vaksinasi adalah suatu tindakan dimana hewan dengan sengaja diberi agen
penyakit (antigen) yang telah dilemahkan dengan tujuan untuk merangsang
pembentukan daya tahan atau tanggap kebal tubuh terhadap suatu penyakit
tertentu dan aman sehingga tidak menimbulkan penyakit (Akoso, 1998).
2.5 Cara Vaksinasi
Dalam pelaksanaan vaksinasi ayam, ada beberapa teknik atau cara yang umum
dilakukan antara lain vaksinasi melalui tetes mata, tetes hidung atau mulut, dan
suntikan. Pelaksanaan vaksinasi melalui tetes mata, hidung, dan mulut biasanya
untuk ayam yang berumur di bawah 1 minggu dengan maksud untuk mencegah
netralisasi vaksin oleh antibodi maternal (bawaan dari induk). Cara ini cukup
memakan waktu dan tenaga karena dilakukan per ekor ayam, tetapi kelebihannya
sangat efektif karena dosis tepat dan merata untuk setiap ayam (Office
International Epizootic, 2002).
Menurut Tizard (1988), langkah-langkah pelaksaaan vaksinasi adalah
1. pelarut dimasukkan ke dalam botol vaksin setengahnya, kemudian kocok
sampai tercampur rata, usahakan jangan sampai berbuih;
2. campuran larutan diluent dan vaksin yang sudah rata pada botol tersebut
dimasukkan lagi ke dalam botol pelarut dan kocok lagi perlahan agar
tercampur rata;
3. teteskan vaksin satu persatu pada ayam melalui mata atau hidung atau mulut,
15
Menurut Malole (1988), vaksinasi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan
vaksin, lokasi penyuntikan dapat di daerah di bawah kulit (subcutan) yaitu pada
leher bagian belakang sebelah bawah dan pada otot (intramuscular) yaitu pada
otot dada atau paha. Langkah-langkah pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
1. alat suntik yang akan dipakai harus bersih dari sisa pemakaian sebelumnya,
kemudian lepaskan bagian-bagian alat suntik dan sterilkan lebih dulu dengan
cara direbus selama 30 menit dihitung mulai saat air mendidih;
2. kocok terlebih dahulu vaksin dengan hati-hati hingga tercampur rata
(homogen) sebelum digunakan;
3. suntikkan vaksin pada ayam dengan hati-hati sesuai dengan dosis yang telah
dianjurkan.
Menurut Akoso (1988), vaksinasi dengan cara penyuntikan harus dilakukan secara
hati-hati. Bila dilakukan dengan ceroboh mengakibatkan kegagalan dan akan
berakibat fatal. Akibat fatal yang mungkin terjadi antara lain ayam menjadi stres
sehingga kematian tinggi pasca penyuntikan, leher terpuntir (tortikolis), terjadinya
abses (kebengkakan) pada leher, terjadi infeksi bakteri secara campuran dan ayam
menjadi mengantuk kurang bergairah.
2.6 Vaksin ND
Vaksin adalah suatu produk biologis yang berisi mikroorganisme agen penyakit
yang telah dilemahkan atau diinaktifkan (attenuated). Vaksin secara umum
adalah bahan yang berasal dari mikroorganisme atau parasit yang dapat
Bahan yang berisi organisme penyebab penyakit tersebut jika dimasukkan ke
dalam tubuh hewan tidak menimbulkan bahaya penyakit tetapi masih dapat
dikenal oleh sistem imun (Kayne dan Jepson, 2004) serta dapat merangsang
pembentukan zat-zat kekebalan terhadap agen penyakit tersebut (Tizard, 1988)
Vaksin terdiri atas vaksin lived dan vaksin killed. Agen penyakit dalam vaksin
live atau vaksin hidup berada dalam keadaan hidup namun telah dilemahkan.
Agen penyakit pada vaksin killed berada dalam keadaan mati dan biasanya
ditambahkan dengan adjuvant (Akoso, 1998).
Adjuvan merupakan bahan kimia yang memperlambat proses penghancuran
antigen dalam tubuh serta merangsang pembentukan kekebalan sehingga
menghasilkan antibodi sedikit demi sedikit (Malole, 1988).
Umumnya vaksin lived lebih baik daripada vaksin killed, karena vaksin lived
dapat memberikan respon kekebalan yang lebih kuat, dapat diberi tanpa
penambahan adjuvan dan dapat merangsang produksi interferon (Tizard, 1988).
Namun vaksin lived sering memperlihatkan gejala post-vaksinasi yang kurang
baik seperti gangguan pernafasan yang ringan (Wetsbury etal., 1984).
Menurut Malole (1988), vaksin yang baik harus memenuhi beberapa persyaratan,
yaitu kemurnian, keamanan, serta vaksin harus dapat menimbulkan kekebalan
terhadap penyakit pada hewan. Suatu vaksin dapat dikatakan memenuhi ketiga
persyaratan di atas jika dua minggu setelah vaksinasi telah terbentuk antibodi
dengan titer protektif. Proteksi vaksin dapat diuji dengan penantangan atau
17
Vaksin yang baik harus memberikan proteksi lebih dari 95% terhadap hewan coba
atau tidak lebih dari 5%hewan yang terinfeksi atau sakit atau mati.
Menurut Akoso (1998), selain mutu vaksin, keberhasilan vaksinasi juga
dipengaruhi oleh status kesehatan unggas, keadaan nutrisi unggas, sanitasi
lingkungan dan sistem perkandangan, serta program vaksinasi yang baik.
Vaksin ND dapat berasal dari virus tipe lentogenik, mesogenik, maupun
velogenik. Tipe lentogenik merupakan strain virus ND yang virulensi dan
mortalitasnya rendah yaitu strain B1 (Hitcher), strainLa Sota, dan strainF (FA0,
2004).
StrainF memiliki tingkat virulensi paling rendah dibandingkan dengan strain lain
pada tipe lentogenik. Vaksin dengan strain ini paling efektif dilakukan secara
individu. Strain B1 rnemiliki tingkat virulensi lebih tinggi dibandingkan dengan
strain F. Aplikasi vaksin strainB1 dilakukan melalui air minum atau
penyemprotan. Pemberian vaksinasi dilakukan pada DOC(Day Old Chick)
kemudian diikuti dengan strain La Sota pada umur 10-14 hari (Fadilah dan
Polana, 2004).
Tipe mesogenik memberikan kekebalan yang lebih lama dibandingkan dengan
kekebalan yang dihasilkan oleh tipe lentogenik. Namun, pemberian vaksin tipe
mesogenik pada ayam yang belum mempunyai kekebalan dasar dapat
menimbulkan reaksi post-vaksinasi dan penurunan produksi telur (Nugroho,,
1981). Tipe mesogenik yang dipakai sebagai vaksin diantaranya adalah strain
Rokain, strainMukteshwar, strainKommarov, dan strainBankowski (Sudrarjat,
Strain Mukteshwar bersifat patogenik dan digunakan secara terbatas pada ayam
yang sebelumnya telah divaksin dengan salah satu jenis vaksin tipe lentogenik.
Vaksin ini telah diterima secara luas pada iklim tropis di Asia Tenggara. Strain
Kommarov memiliki tingkat virulensi lebih rendah dibandingkan dengan strain
Mukteshwar. StrainRokain dan strain Bankowski(Tissue CultureVaccine) sering
disebut dengan wing-web vaccine. Vaksin dengan strain ini tidak bisa digunakan
pada ayam muda yang masih memiliki maternal immunity (Fadilah dan Polana,
2004).
Tipe velogenik dibuat sebagai bahan vaksin dalam bentuk vaksin killed
(Nugroho, 1981), karena tipe velogenik merupakan virus dengan tingkat virulensi
yang sangat tinggi (FAO, 2004). Tipe asimptomatik yang mempunyai
kemampuan menimbulkan kekebalan tubuh dikenal dengan strain V4 dan Vister
2C. Strain ini sangat potensial digunakan sebagai vaksin di daerah tropis karena
merupakan vaksin yang mengandung virus tahan panas (Darminto, 2002).
2.7 Titer Antibodi
Titer antibodi adalah tes laboratorium yang mengukur keberadaan dan jumlah
antibodi dalam darah. Analisa sampel darah dilakukan dengan menggunakan
metode uji serologis dan metode auto analizer. Uji serologis merupakan sebuah
metode yang digunakan untuk melihat gambaran titer antibodi di dalam tubuh
ayam. HI (Haemagglutination Inhibition) test menggunakan reaksi hambatan
haemaglutinasi tersebut untuk membantu menentukan diagnosa penyakit secara
laboratorium dan mengetahui status kekebalan tubuh (titer antibodi). Prinsip kerja
19
sehingga dapat diketahui sampai pengenceran berapa antibodi yang terkandung
dalam serum dapat menghambat terjadinya aglutinasi eritrosit. HI test merupakan
metode uji serologis yang mudah dilakukan dan hasilnya dapat diketahui dengan
cepat. Titer antibodi dikatakan protektif terhadap Newcastle Desease jika
memiliki titer antibodi minimal 5 log 2 (Office International Epizootic, 2008).
2.8 Pengaruh Stres terhadap Titer Antibodi
Stres adalah suatu kondisi tubuh ternak akibat adanya tekanan yang merusak.
Faktor yang dapat menyebabkan stres pada broiler antara lain lingkungan yang
ekstrim, agen infeksius, kotoran yang bercampur dengan urin yang mengandung
NH3, dan tatalaksana pemeliharaan yang tidak baik, serta perlakuan paksa yang
harus diterima oleh ayam seperti pergantian ransum (Okolwski, 2005).
Menurut Leeson dan Summers (2001), cekaman merupakan suatu kondisi yang
mengakibatkan kesehatan ternak terganggu karena pengaruh lingkungan yang
terjadi secara terus-menerus pada hewan dan mengganggu proses homeostasis.
Cekaman ini biasanya berhubungan dengan kondisi lingkungan yang ekstrim yaitu
terlalu panas atau terlalu dingin. Berikut diagram zona suhu nyaman pada ayam
broiler.
Gambar 1 Diagram zona suhu nyaman (thermonetral zone) pada broiler
Stres akan memicu terjadinya immunosupresif di dalam tubuh. Stres merubah
respon fisiologis broiler menjadi abnormal. Perubahan respon fisiologis ini
berpengaruh pada keseimbangan hormonal dalam tubuh broiler.
Stres akan menstimulir syaraf pada hipothalamus untuk aktif mengeluarkan
Corticotropic Relasing Hormone (CRH). CRH akan mengaktifkan sekresi
Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) dalam jumlah banyak. Meningkatnya
ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk aktif mengeluarkan kortikosteroid
serta menyebabkan peningkatan pada sekresi glukokortikoid (Naseem et al.,
2005).
Peningkatan kadar kortikosteroid dan glukokortikoid berpengaruh buruk terhadap
kesehatan broiler karena menimbulkan immunosupresif yang dapat menurunkan
sistem pertahanan tubuh (Naseem, et al., 2005). Peristiwa tersebut
mengakibatkan terjadinya atropi pada nodus limfatikus dan thymus. Atropi pada
organ limfoid (bursa fabrisius) akan menurunkan produksi antibodi broiler
(Prasetyo, 2010)
21
Stres juga dapat menstimulir syaraf pada hipothalamus untuk menghambat
pengeluarkan Thyrotropin Relasing Hormone (TRH). Terhambatnya pengeluaran
TRH akan mengurangi jumlah sekresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH).
Penurunan TSH akan merangsang kelenjar tiroid untuk mengurangi sekresi
hormon tiroksin. Penurunan hormon tiroksin dalam tubuh berpengaruh buruk
terhadap kondisi fisiologis broiler (Naseem et al., 2005).
Fungsi hormon tiroksin yaitu meningkatkan metabolisme dan penyerapan zat-zat
nutrisi di saluran pencernaan (Farrel, 1979).
Gambar 3. Mekanisme immunosupresif dan gangguan metabolisme akibat stress
2.9 Sel Darah Merah
Darah adalah jaringan khusus yang terdiri dari plasma darah yang kaya akan
protein (55%) dan sel-sel darah (45%). Sel-sel darah terdiri sel darah merah
(eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan trombosit (keping darah). Eritrosit
bersifat pasif dan melaksanakan fungsinya dalam pembuluh darah sebagai
pembawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan ke jaringan tubuh,
pembawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida ke paru-paru,
pembawa sisa – sisa metabolisme dari jaringan ke ginjal untuk di ekskresikan,
serta mempertahankan sistem keseimbangan dan buffer. Trombosit berfungsi
dalam proses koagulasi dan mengaktifkan mekanisme pembekuan darah.
Sedangkan leukosit berfungsi dalm proses fagositosis dan menyediakan kekebalan
terhadap antigen spesifik (Guyton dan Hall, 1997).
Menurut Frandson (1993), sel darah merah (eritrosit) memiliki diameter rata – rata
7,5 mikro dengan spesialis untuk pengangkutan oksigen. Sel – sel ini berbentuk
cakram (disk) yang bikonkaf dengan pinggiran sirkuler yang tebal 1,5 mikro dan
pusat yang tipis. Jumlah sel darah merah dapat dijadikan sebagai parameter untuk
mengetahui kesehatan probandus pada suatu saat.
Menurut Guyton (1986), sel darah merah terdiri dari air 62% - 72% dan sisanya
berupa solid terkandung hemoglobin 95% dan sisanya berupa protein pada stroma
dan membran sel, lipid, enzim, vitamin dan glukosa serta urin.
Menurut Hartono et al. (2002), sel darah merah mamalia tidak berinti, tetapi sel
darah merah muda memiliki inti. Dalam sel darah merah burung diketemukan inti
23
Kebanyakan sel darah merah mengalami disentegrasi dan ditarik dari aliran darah
oleh sistem retikuloendotelial. Pada proses ini dihasilkan pigmen empedu yang
dinamakan bilirubin dan biliverdin. Apabila di dalam aliran darah banyak
mengandung kedua bentuk pigmen itu maka membran mukosa mata dan mulut
akan berwarna kuning, keadaan ini disebut ikterus.
Menurut Nesheim et al. (1979), adanya hemoglobin di dalam eritrosit
memungkinkan timbulnya kemampuan untuk mengangkut oksigen, serta menjadi
penyebab warna merah pada darah. Berbeda dengan eritrosit mamalia, eritrosit
unggas memiliki inti sel. Jumlah sel darah merah unggas berkisar 2,5 - 3,5 juta
sel per mm3. Menurut Suprijatna et al. (2005), darah broiler mengandung sekitar
2,5 - 3,5 juta sel darah merah per mm3, sedangkan menurut Sturkie (1976),
rata-rata sel darah merah dalam kondisi normal pada ayam umur 26 hari adalah
2.770.000 per mm3.
Menurut Swenson (1984), faktor yang memengaruhi jumlah eritrosit dalam darah
bukan hanya konsentrasi hemoglobin tetapi juga umur, status nutrisi, laktasi,
kehamilan, produksi telur, peningkatan epinephrine, volume darah, pemeliharaan,
waktu, temperatur lingkungan, ketinggian, dan faktor iklim. Menurut Sturkie
(1976), apabila perubahan fisiologis terjadi pada tubuh hewan, maka gambaran
total sel darah merah juga ikut mengalami perubahan.
2.10 Sel Darah Putih
Leukosit atau sel darah putih berasal dari bahasa Yunani leuco artinya putih
dan cyte artinya sel (Dharmawan, 2002). Sel darah putih atau leukosit merupakan
memiliki ukuran 8 - 25 µm. Sel darah putih mempunyai inti sel dan kemampuan
gerak yang independen. Masa hidup leukosit sangat bervariasi, mulai dari
beberapa jam untuk granulosit, sampai bulanan untuk monosit, dan tahunan untuk
limposit. Di dalam aliran darah kebanyakan leukosit bersifat nonfungsional dan
hanya diangkut ke jaringan ketika dibutuhkan saja (Frandson, 1993).
Sel darah putih dibentuk sebagian di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan
limfe yang kemudian diangkut dalam darah menuju berbagai tubuh untuk
digunakan (Guyton dan Hall, 1997). Sel darah putih memiliki bentuk yang khas,
pada keadaan tertentu inti, sitoplasma, dan organelnya mampu bergerak.
Jika eritrosit bersifat pasif dan melaksanakan fungsinya dalam pembuluh darah,
leukosit mampu keluar dari pembuluh darah menuju jaringan dalam melakukan
fungsinya (Dharmawan, 2002).
Peningkatan jumlah leukosit dapat bersifat fisiologis ataupun sebagai indikasi
terjadinya suatu infeksi dalam tubuh (Guyton dan Hall, 1997). Fluktuasi jumlah
leukosit pada tiap individu cukup besar pada kondisi tertentu, seperti cekaman
atau stres panas, aktivitas fisiologi, gizi, umur, dan lain – lain (Dharmawan,
2002).
Menurut Swenson (1984), rata-rata volume leukosit unggas adalah 20.000 -
30.000 µL, terdiri atas 25 - 30% neutrofil, 55 - 69% limfosit, 10% monosit, 3 - 8%
eosinofil, dan 1 - 4% basofil. Jumlah leukosit ayam berkisar 16.000 dan 40.000
25
Menurut Guyton dan Hall (1997), leukosit dalam darah terdiri dari granulosit dan
agranulosit berdasarkan penampakkan histologisnya. Swenson (1984)
menambahkan bahwa granulosit memiliki granula pada sitoplasmanya. Leukosit
dapat ditemukan dalam sirkulasi darah dan pertahanan tubuh, atau kematian
perlahan pada lapisan endothelial kapiler dan menyempitnya pembuluh darah. Sel
darah putih atau leukosit sangat berbeda dengan eritrosit, karena adanya nukleus
dan memiliki kemampuan gerak yang independen.
Granulosit terdiri atas neutrofil, eosinofil, dan basofil yang dapat dilihat dengan
reaksi pewarnaan. Agranulosit terdiri atas limfosit dan monosit. Sel darah putih
yang granolosit dan monosit dibentuk dalam sumsum tulang, sedangkan limfosit
diproduksi dalam berbagai organ limfogen. Semua sel-sel ini bekerja bersama –
sama melalui dua cara untuk mencegah penyakit : (1) dengan benar – benar
merusak bahan yang menyerbu melalui proses fagositosis dan (2) dengan
membentuk antibodi dan limfosit yang peka, salah satu atau keduanya dapat
membuat penyerbu tidak aktif (Guyton dan Hall, 1997).
Granulosit seperti tercermin dari namanya, mengandung granula di dalam
sitoplasma dan memberikan warna dengan porses pewarnaan wright. Pewarnaan
ini mengandung zat warna asam yaitu eosin (merah) dan zat warna dasar (metilen
blue). Nukleus granulosit kelihatan dalam berbagai bentuk sehingga diberi nama
polimorfonuklear leukosit (Frandson, 1993).
Neutrofil mengandung granula yang memberikan warna indiferen dan tidak merah
ataupun biru. Ini merupakan jajaran pertama untuk sistem pertahanan melawan
oleh bakteria, menembus dinding pembuluh, dan menerkam bakteria untuk
dihancurkan. Neutrofil merupakan komponen terbanyak dari sel darah putih.
Letaknya di pinggiran dalam kapiler dan pembuluh kecil, dan hal ini disebut
marginasi. Jumlah neutrofil di dalam darah meningkat cepat ketika terjadi infeksi
yang akut (Haryono, 1978).
Apabila terjadi luka pada jaringan, neutrofil dimobilisasi dari posisi marginal ke
daerah yang terluka, dan menembus dinding kapiler di antara sel-sel, kemudian
dengan gerakan amuboid masuk ke jaringan untuk memfagositasikan
partikel-partikel asing. Peningkatan jumlah neutrofil yang beredar disebut neutrofilia.
Peristiwa ini terjadi apabila kerusakan jaringan cukup parah, di samping itu terjadi
juga pada keadaan infeksi bakteri yang mengalami diseminasi, kanker, keracunan
metabolik, dan pendarahan. Saat infeksi menyerang, neutrofil menghasilkan
pirogen yang menyebabkan terperatur regulasi otak tengah memerintahkan untuk
meningkatkan temperatur tubuh. Peningkatan temperatur tubuh membantu sel
darah putih memerangi infeksi dan perlahan-lahan mengurangi reproduksi bakteri,
virus, dan parasit (Anonymous, 2009).
Eosinofil dikenal dengan nama asidofil nampak sebagai granula yang berwarna
merah di dalam sitoplasma. Jumlah sel-sel ini umumnya tidak banyak, dapat
meningkat pada kasus penyakit kronis tertentu, seperti infeksi oleh parasit.
Eosinofil ameboid dan fagositik. Fungsi utamanya adalah untuk toksifikasi baik
terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru ataupun
saluran pencernaan, maupun racun yang dihasilkan bakteri dan parasit. Pada
27
Menurut Azhar (2009), sel darah putih mengandung ± 5 % eosinofil. Pematangan
sel ini menghabiskan waktu kira – kira 2 - 6 hari di sumsum tulang dan
bersirkulasi dalam darah 6 – 12 jam (Anonim, 2011).
Basofil adalah leokosit yang jumlahnya paling rendah sekitar 0,5 - 1,5% dari
seluruh leokosit dalam aliran darah. Basofil memiliki diameter 10 - 12 µm
(Dharmawan, 2002). Basofil mengandung granula berwarna biru tua sampai
ungu, jumlahnya sedikit dalam keadaan normal. Basofil mengandung heparin
(zat antikoagulan), dipostulasikan bahwa heparin dilepaskan di daerah peradangan
guna mencegah timbulnya pembekuan serta statis darah dan limfa serta basofil
juga mengandung histamin yang berfungsi untuk menarik eosinoid. Keterlibatan
basofil dalam proses peradangan menandakan adanya suatu keseimbangan yang
peka antara basofil dan eosinofil dalam mengawali dan mengontrol peradangan.
Sel-sel ini terlibat dalam reaksi peradangan jaringan dan dalam proses reaksi
alergetik (Dallman dan Brown, 1992).
Agranulosit (bahasa Yunani A = tanpa), umumnya memperlihatkan sejumlah
granula di dalam sitoplasma, contohnya monosit dan limfosit. Monosit
mempunyai diameter 15 - 20 µm dan jumlahnya 3 – 9% dari seluruh sel darah
putih. Monosit merupakan sel-sel darah putih yang menyerupai neutrofil bersifat
fagositik, yaitu kemampuan untuk memangsa material asing, seperti bakteri.
Akan tetapi, jika neutrofil kerja utamanya mengatasi infeksi yang akut, maka
monosit akan mulai bekerja pada keadaan infeksi yang tidak terlalu akut. Monosit
darah akan masuk ke dalam jaringan dan berkembang menjadi fagosit yang lebih
Limfosit memiliki ukuran dan penampilan yang bervariasi serta jumlahnya paling
banyak dalam leukosit pada ayam. Limfosit juga memiliki nukleus yang relatif
besar dikelilingi oleh sejumlah sitoplasma. Limfosit memiliki masa hidup yang
cukup lama, berkisar 100 dan 300 hari atau bahkan satu tahun. Fungsi utama
limfosit adalah merespon adanya antigen dengan membentuk antibodi yang
bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan imunitas seluler (Frandson,
V. SIMPULAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa cara pemberian vaksin
ND live pada broiler umur 7 hari berpengaruh tidak nyata (P<0.05) terhadap titer
antibodi ND, jumlah sel darah merah dan jumlah putih pada broiler;
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka peternak dapat melakukan vaksinasi melalui
berbagai cara (tetes mata, tetes hidung, tetes mulut atau suntik) dengan pemilihan
DAFTAR PUSTAKA
Akoso, B. T. 1993. Manual Kesehatan Unggas. Panduan Bagi Petugas Teknis,
Akoso, B. T. 1998. Kesehatan Unggas Panduan Bagi Petugas Teknis, Penyuluh dan Peternak. Yogyakarta. Kanisius.
Allan, W. H. Lancaster, and. B.Toth. 1978. Newcastle Disease Vaccines. Institute For Veterinary Biologics, Hurgary.
Anonim, 2011. Gambar Mikroskop Sel Leukosit – Eosinofil
http://darikakigununggitu.wordpress.com /2011/03/23/ gambar-mikroskopis-sel-eosinifil/. Diakses 2 Juli 2011.
Anonimus. 2006. Imunosupresi pada Ayam Broiler dan Cara Penanganannya. http://www.fmv.utl.pt/atlas/orglinfo/orglinfo_001.htm
Anonymous. 2009. Buah Makasar Brucea javanica L Merr / Tambara Marica, Obat Herbal untuk Malaria. http;//meemhy.wordpress.com/2009/03/21/buah-maksar/brucea-javanica-l-merica-tambara-marica-obat-herbal-untuk-malaria/. Diakses pada 2 Mei 2009.
Azhar, M. 2009. Fisiologi III dan IV. http://manusiaplanet.blogspot.com / 2009 / 12 / fisiologi-iii-dan-iv.html. Diakses 5 Mei 2011.
Banks, S. 1979. The Complete Handbook of Poultry Keeping. Van Nonstrand Reinnold Co., New York
Butcher, G. D. dan R. D. Miles. 2003. The Avian Immune System. http://edis. ifas. ufl.edu. Diakses pada 28 Desember 2012.
45
Charles, D. R. 1981. Practical ventilation and temperature control for poultry, in Environmental Aspects of Housing for Animal Production, byJ. A. Clark, University of Nottingham.
Carpenter, S. 2004. Avian Immune System. http://www.l1olisticbird.com/ hbn04/sprinn04/immunesvstem.htm. Diakses pada 11 Januari 2013.
Center for Food Security and Public Health. 2008. High Pathogenicity Avian Influenza. Iowa State University, Institute for International Cooperation in Animal Biologics, an OIE Collaborating Center. Iowa
Cooper, M. A. and K. W. Washburn. 1998. The Relationships of Body Temperature to Weight Gain, Feed Consumption, and Feed Utilization in Broilers Under Heat Stress. Poult. Sci. 77 : 237—242.
Cross, G. M. 1988. Newcastle Disease: Vaccine production. In: Newcastle Disease ed. D. J. Alexander. Kluwer Academic Publication. London
Dallman, H. D dan E. M Brown. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner I. UI Press. Jakarta.
Darminto. 2002. Vaksinasi ND, Kepada Ayam dan Titer yang Cocok. Infovet Veteriner Edisi 092. Jakarta.
Darminto dan Ronohardjo, P. 1996. Newcastle Disease Pada Unggas di Indonesia Situasi Terakhir dan Relevansinya Terhadap Pengendalian Penyakit. Balai Penelitian Veteriner. Hlm.65-84.
Darmono. 2006. Sistem Kekebalain Tubuh. Artikel. http://www.geocities.com/ kuliahfarm/imunologi/Sistem-kekebalan.doc. Diakses pada 28 Desember 2012.
Decker, J. M. 2000. Introduction to Irnmunology. Blackwell Science, Inc. USA.
Dharmawan, N. S. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner Hematologi Klinik. Cetakan II. Denpasar: Pelawa Sari.
Dirjen Peternakan, 1991. Berternak Ayam Pedaging. Cetakan ke -18 Kanasius. Jakarta
Dukes, H. 1995. The Physiology of Domestic Animal. Comstock Publishing Associated, New York.
Fadilah R dan Polana A. 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya. Depok. PT. Agromedia Pustaka.
FAO. 2004. Newcastle Disease Vaccines : an Overview.
Farrel, D. J. 1979. Pengaruh dari Suhu Tinggi terhadap Kemampuan Biologis dari Unggas. Laporan Seminar Ilmu dan Industri Perunggasan I. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Ternak. Ciawi. Bogor.
Fenner. dan Fransk. 1995. Virologi Veteriner. Edisi kedua. P. Harya, Penerjemah. IKIP Semarang Press. Semarang. Terjemahan dari: Veterinary Virology.
Fenner, F. J., E. P. J Gibbs., F. A. Murphy., R. Rott., M. J. Studdert and D. O. White. 1993. Veterinary Virology. Edisi Kedua. Penerjemah D. K. Harya Putra. IKIP Semarang Press. Semarang.
Frandson, R. D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi keempat. Alih Bahasa oleh B. Srigandono dan Koen Praseno. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Guyton. 1986. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Prees. Yogyakarta.
Guyton, A. C. dan J. E Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Buku Ajar. Alih Bahasa Setiawan, I., K. A. Tengadi, A. Santoso. Penerbitan Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Guyton, A. C. & J. E. Hall. 2010. Textbook of Medical Physiology. 12th Ed. W. B. Saunders Company, Philadelphia.
Harlova, H., J. Blaha, M. Koubkova, J. Draslarova and A. Fucikova. 2002. Influence of heat stress on the metabolic response in broiler chickens. Scientia Agriculturae Bohemica 33: 145 – 149.
Haryadi, 1995. Pengaruh Ammonia terhadap Kesehatan Hewan. Poultry Indonesia, Majalah Ekonomi Indonesia dan Teknologi Perunggasan Populer. GPPU, Jakarta
Hartono, M., S, Suharyati., P. E, Santosa. 2002. Dasar Fisiologi Ternak Penuntun Praktikum. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Haryono, B. 1978. Hematologi Klinik. Bagian Kimia Medik Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Hoffman, T. Y. C. M. and G. E. Walsberg. 1999. Inhibiting Ventilation Evaporation Produce an Adaptive Increase in Cutainous Evaporation in Mourning Doves Zenaida macroura. J. Experiment. Biol. 202 : 3021-3028.
47
Kayne, S. B dan Jepson M. H. 2004. Veterinery Pharmacy. London. Pharmaceutical Press.
Kuczynski, T. 2002. The Application of Poultry Behaviour Responses on Heat Stress to Improve Heating and Ventilation System Efficiency. J. Pol. Agric.
Univ. 5 : 1—11.
Leeson, S. and J. D. Summers. 2001. Nutrition of the Chicken. 4th Edition. University Books. Guelph, Ontario : Canada.
Malole, M. B. 1988. Virologi. Bogor. PAU-IPB.
Medion. 2014. http://info.medion.co.id. Diakses pada 12 Mei 2014.
Miller, J. K, E. B. Slebodzinska and F. C. Madsen. 1993. Oxidative stress, antioxidant, and animal function. J. Dairy. Sci. 76:2812-2823.
Mujahid, A. Y. Akiba, and M. Toyomizu. 2007. Acute Heat Stress Induces Oxodative Stress and Decrease adaptation in YoungWhite Leghorn Cockerels by Downregulationot Avian Uncoupling Protein. Poultry Scient. 86 :364—371.
Murtidjo, B.A. 1992. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Naseem, M. T., S. Naseem, M. Yunus, Z. Iqbal Ch., A. Ghafoor, A. Aslam, and S. Akhter. 2005. Effect of Pottasium Choride and Sodium Bicarbonate Supplementation on Thermotolerance of Broiler Exposed to Heat Stress. Int. Journal of Poultry Science 4 (11) : 891—895.
Nesheim, M. C., R. E. Austic and L. E. Card. 1979. Poultry Production. 12 Edition. Lea and Febiger. Philadelphia.
Nugroho, 1981. Penyakit Ayam di Indonesia. Semarang. Eka Offset.
Office International Epizootic, 2002. Manual of Diagnostic Test and Vaccines for Terrestrial Animals. http://www.oie.int. 10 Juli 2013.
Office International Epizootic, 2008. Manual of Diagnostic Test and Vaccines for Terrestrial Animals. http://www.oie.int. 10 Juli 2013.
Okolwski, A. 2005. Patho-Physiology of Heart Failure in Broiler Chikens : Structural Biochemical and Molecular Symposium : Metabolic and Cardoivasculer in Poultry Nutrisional and Physiological Aspects. J. Poult. Sci. 142
Prasetyo, H. 2010. Jumlah Total dan Hitung Jenis Leukosit pada Ayam Potong yang Terpapar Heat Stress. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya
Quaries, C. L. and D. J. Fagerberg. 1979. Evaluation of Ammonia Stress and Coccidiosis on Broiler Performance. Poultry Science. 58 : 465--468
Rasyaf, M. 1999. Menajemen Beternak Ayam Broiler. Penebar Swadaya. Jakarta
Russel, P. H. 1993. Newcastle Disease Virus: Virus Replication in Harderian Gland Stimulates Lacrima Ig A, the Yolk Sac Provides Early Lacrimal Ig G.
Veterinary Immunology an Immunopathology. 37 : 151—163.
Sturkie, P. D. 1976. Avian Phisiology. Third Edition. Spinger Verlag. New York.
Sudaryani, T dan H. Santoso. 2003. Pembibitan ayam ras. Penebar swadaya. Jakarta.
Sudrardjat, S. 1991. Epidemiologi Penyakit Hewan. Catatan ke-2. Jakarta. Direktorat Kesehatan Hewan.
Suprijatna, E., U. Atmomarsono dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.
Steel dan Torrie, 1993. Prinsip Prosedur Statstika. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Swenson, M. J. 1984. Phisiologycal properties and celluler and chemical constituents of blood. In. Sweson, M. J. Duke’s Phisiology of Domestic Animals. The Eleven Edition. Cornell University Press. London.
Tizard, I. R. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Soehardjo H dan Masduki P, Penerjemah. Surabaya. Airlangga Press. Terjemahan dari: Veterinary Immunology.
Tizard, I. R. 1982. An Introduction to Veterinary Immunology. 2nd Edition. W. B. Saunders Company. USA.
Wetsbury, H. A, Parson G, dan Allan W. H. 1984. Comparison of the
Immunogenicity of the Newcastle Disease Virus Strain V4, Hitchner BI, and La Sota in Chickens. Test in Chickens with Maternal Antibody to Virus. Journal Australian Veterinary. 61 : 10-13.
49
51
Tabel 5. Hasil pemeriksaan titer antibodi ND pada ayam broiler.
Perhitungan titer antibodi ND pada ayam broiler.
JK(T) = jumlah kuadrat total JK(g) = jumlah kuadrat galat KT(p) = kuadrat tengah perlakuan KT(g) = kuadrat tengah galat
KK = koefisen keragaman
53
Tabel 6. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi ayam broiler.
SK Db JK KT F Hit F 0.5 F 0.1
Perlakuan 3 1 0.33 0.89 ? ?
Galat 16 6 0.37
Total 19 7 KK ? %
Keterangan : karena F hitung < F0.5 dan F0.1 maka perlakuan yang diberikan berpengaruh tidak nyata.
Hasil perhitungan total sel darah merah ayam broiler
KT(p) 0,19
Fhit = = = 1,14 KT(g) 0,16
Keterangan:
C = faktor koreksi
JK(T) = jumlah kuadrat total JK(g) = jumlah kuadrat galat KT(p) = kuadrat tengah perlakuan KT(g) = kuadrat tengah galat
KK = koefisen keragaman
Fhit = F hitung
Tabel 7. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap total sel darah merah ayam
broiler.
SK Db JK KT F Hit F 0.5 F 0.1
Perlakuan 3 0,56 0,19 1,14 3,24 5,29
Galat 16 2,63 0,16
Total 19 3,19 KK 4,34%
Keterangan : karena F hitung < F0.5 dan F0.1 maka perlakuan yang diberikan berpengaruh tidak nyata.
Hasil perhitungan total sel darah putih ayam broiler.
55
JK(T) = jumlah kuadrat total JK(g) = jumlah kuadrat galat KT(p) = kuadrat tengah perlakuan KT(g) = kuadrat tengah galat
KK = koefisen keragaman
Fhit = F hitung
Tabel 8. Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap total sel darah putih ayam
broiler.
SK Db JK KT F Hit F 0.5 F 0.1
Perlakuan 3 384,95 128,32 2,95 3,24 5,29
Galat 16 694,80 43,42
Total 19 1.080 KK 3,68%
P3U3 P2U4 P4U3 P1U4 P4U5 P3U1 P1U3 P4U4 P2U3 P3U2
P2U1 P1U2 P4U1 P2U2 P3U5 P1U1 P4U2 P2U5 P3U4 P1U5
Gambar 4. Tata letak kandang penelitian
Keterangan : P1 = tetes mata P2 = tetes hidung P3 = tetes mulut P4 = suntik
U1 – U5 ulangan 1 sampai 5 kali
57
Tabel 9. Kelembaban kandang
59
Tabel 11. Hasil pemeriksaan titer antibodi ayam broiler umur 21 hari