• Tidak ada hasil yang ditemukan

JUDUL INDONESIA: ANALISIS PRAKTIK PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PADA TINGKAT BANDING (STUDI DI PENGADILAN TINGGI TANJUNG KARANG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "JUDUL INDONESIA: ANALISIS PRAKTIK PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PADA TINGKAT BANDING (STUDI DI PENGADILAN TINGGI TANJUNG KARANG)"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PRAKTIK PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PADA TINGKAT BANDING

(STUDI DI PENGADILAN TINGGI TANJUNG KARANG)

Oleh

Arief Rachman Hakim

Gerakan reformasi, yang salah satunya digerakkan oleh semangat memberantas korupsi, ternyata masih menuai banyak rintangan. Akibatnya, banyak pengamat yang melirik kepara para Hakim Tipikor dan secara spekulatif lansung menyatakan, bahwa para Hakim tipikorlah penyebab semua ini. Namun, bila dilihat secara menyeluruh kendala yang dihadapi dalam memberantas korupsi bukan hanya terpusat pada para hakim semata. Terdapat proses-proses yang berjalan dalam upaya pemberantasan korupsi, yaitu Administrasi Peradilan. Permasalahan, yaitu: 1) Bagaimanakah praktik penyelenggaraan administrasi pengadilan tindak pidana korupsi pada tingkat banding. 2) Apakah pengaruh praktik penyelenggaraan administarasi pengadilan terhadap putusan hakim dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi pada tingkat banding.

Untuk itu, studi ini dilakukan dengan pendekatan normatif dan empiris. Studi ini menghasilkan temuan sebagai berikut; pertama, pengawasan dan pembinaan dalam lingkungan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang tidak berjalan, sehingga praktik penyelenggaraan administerasi pengadilan serta praktik persidangan masih berjalan mengikuti kebiasaan-kebiasaan lama, yang nyata-nyata tidak sejalan dengan tuntutan reformasi, kedua, proses administrasi pengadilan tidak berjalan sesuai dengan rancang bangunya sehingga berdampak pada putusan hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang yang tidak mencerminkan implementasi dari tujuan pemidanaan Berdasarkan hasil setudi ini, maka penulis mengajukan rekomendasi (saran), bahwa hendaknya pengawasan Mahkamah Agung terhadap para pejabat di lingkungan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang lebih ditingkatkan dan harus bisa menyentuh hal-hal yang subtansial. Hendaknya keberadaan para Hakim Ad Hoc lebih diperkuat di antaranya dengan memenuhi hak-haknya sebagaimana telah dituangkan dalam perundang-undangan.

(2)
(3)
(4)
(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada Tanggal 03 Agustus 1990, anak pertama dari tiga bersaudara oleh pasangan Bapak Hi. Yusanuli, S.H., M.H. yang sangat penulis kagumi dengan Ibu Emi Lusiana yang sangat penulis sayangi.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Al-Kautsar, Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2002. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP AL-Kautsar, Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2005. Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA YP Unila, Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008.

(6)

dalam bangku perkuliahan.

(7)

MOTO

Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan; jangan

pula lihat masa depan dengan ketakutan; tapi lihatlah

sekitar anda dengan penuh kesadaran.

-James Thurber-

Takutlah pada rasa takut itu sendiri, karena rasa takut

membunuh kreatifitas dan intelegensi

-Cak Munir-

Hidup adalah perjuangan, maka berusaha, berfikir , dan

berdoa adalah kuncinya.

(8)

PERSEMBAHAN

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas petunjuk hidup dan pemberi kekuatan hati dalam kehidupanku, maka dengan tulus penulis persembahkan kepada mereka yang selalu ada dan hadir menemai dan mewarnai kehidupan penulis. Dengan kerendahan hati serta tiap langkah perjuangan dan jerih payah, penulis persembahkan sebuah karya sederhana ini kepada :

Ayahanda Hi. Yusanuli, S.H., M.H. dan Ibunda Emi Lusiana yang penulis hormati, sayangi dan cintai, terima kasih untuk setiap pengorbanan, kesabaran, kasih sayang, nasihat

dan do’a disetiap shalat dan sujudnya untuk keberhasilanku. Tidak akan pernah terbalas dan tertebus jasa kalian yang telah merawat dan membesarkan diriku. Hanya pengabdian dan keberhasilan lah janjiku untuk mentuk mencoba menebus dan membalas jasa yang sesungguhnya tak dapat ku tertebus oleh apapun.

Adik-adikku, Ichsan Jaya Kelana dan Anizar Ayu Pratiwi, trimakasih banyak atas doa dan dukungannya, serta kasih saying yang selalu penulis rasakan.

Saya persembahkan hasil jerih payahku ini kepada kalian semua yang ku cinta dan ku sayang.

(9)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Analisis Praktik Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Pada Tingkat Banding (Studi Di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Ayahanda Yusanuli, S.H., M.H. dan Ibunda Emi Lusiana yang sangat penulis sayangi dan hormati, terimakasih atas do’a dan curahan kasih sayang yang mereka berikan. Semoga Allah SWT membalas setiap tetesan peluh keringat, segala perhatian dan kasih sayang yang mereka berikan kepada penulis. Semoga keberhasilan ini berbuah pahala bagi mereka berdua.

(10)

Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah

memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Pembahas I atas waktu, saran,

masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini.

7. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini.

8. Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum., Selaku Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Para Dosen Bagian Hukum Pidana Khususnya dan Fakultas Hukum Universitas Lampung umumnya yang telah memberikan bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(11)

ngopinya.

11.Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi ini.

12.Kepada Bapak Sudirman Sitepu, S.H., M.H., Slamet Hariadi, S.H., M.H., selaku Hakim Ad Hoc Tipikor pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang. Terimakasih atas partisipasi dan waktunya yang telah menjadi narasumber serta memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.

13.Buat keluarga besarku: Orang tua, adik-adikku Ichsan Jaya Kelana, dan anizar Ayu Pratiwi, nenekku tersayang Alm Asni. Karena dengan segala doa dan dukungan tiada hentinya terus memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini, tidak akan bisa saya hitung seberapa besar pengorbanan yang telah kalian berikan untuk penulis.

14.Sahabat-sahabatku, senior dan dinda-dinda di FH Unila: Yoni Patriadi, Febri Kurniawan, Rio, Yan Kurniawan, Robby Juliantama, M. Martha Dinata, Aristo, Bagus, Insan, Haves, Jana, Dani, Inggit, dll. Terimakasih atas kebersamaan dan persahabatannya.

15.Sahabat akrab ku: Agus Tomi dan Ahmad Fatoni trimakasih atas kebersamaan dan dukungan dalam persahabatan disaat senang dan

(12)

Sisnur, Novi Irawan, M. Maliki, Tono dan yang lain-lain yang telah membantu dan bekerjasama dalam persahabatan.

17.Keluarga Besar HmI Komisariat Hukum Unila, semuanya tanpa terkecuali. Trimakasih atas kebersamaan kalian.

18.Buat Mak Ita dan Yuk Ita yang sangat membantu selama kuliah, banyak membantu meringankan beban keuangan, semoga tetap diberi kesehatan dan rizki.

19.Seragam Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Penulis menyadari bahwa dalam karya tulis ini masih jauh dari kata sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Akan tetapi sedikit banyak penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat dan berguna bagi siapapun yang membacanya. Amin.

Bandar Lampung, 23 mei 2014 Penulis

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………..………. 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ………..………... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………..………. 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………...…………... 10

E. Sistematika Penulisan ……… 21

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perkembangan Kejahatan Korupsi di Indonesia ……… 23

B. Penanggulangan Kejahatan Korupsi Dengan Sarana Penal ……...… 31

C. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ……… 37

D. Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan ………….…... 41

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ………...… 44

B. Jenis dan Sumber Data ………...….…...… 45

C. Penentuan Narasumber ………..…… 47

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ………...… 48

(14)

A. Praktik Penyelenggaraan Administrasi Pengadilan Tipikor Pada

Tingkat Banding ……….………... 50

B. Pengaruh Praktik Penyelenggaraan Administrasi Pengadilan Terhadap Putusan Hakim Dalam Penanganan Perkara Tindakpidana Korupsi Pada Tingkat Banding ………...………. 61

V. PENUTUP

A. Simpulan ……… 75

B. Saran ……... 77

DAFTAR PUSTAKA

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ruang berita berbagai media masa hampir setiap hari dipadati oleh berita-berita tentang sekandal-sekandal korupsi yang tengah merajarela di Indonesia. Pelakunya, mulai dari para pejabat setingkat kepala desa atau lurah sampai pada pejabat setingkat mentri atau setingkat pimpinan lembaga tinggi negara1. Demikian juga kerugian negara yang ditimbulkan oleh korupsi itu, mulai dari kasus-kasus korupsi yang menjarah keuangan negara yang bernilai puluhan juta rupiah hingga kasus-kasus korupsi yang menjarah keuangan negara bernilai triliunan rupiah. Sementara itu, juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi dalam wawancara di Metro TV tanggal 18 Juli 2013 menerangkan bahwa sejak berdirinya hingga sekarang ini KPK baru berhasil mengembalikan kerugian Negara dari para koruptor kurang lebih Rp 1 triliun.

Berita-berita tentang sekandal-sekandal korupsi ini telah memancing reaksi yang beragam di masyarakat, mulai dari bentuknya yang lunak hingga reaksi-reaksi yang keras (tirani), diantaranya demonstrasi-demonstrasi menuntut pertanggungjawaban para koruptor yang diikuti dengan tindakan-tindakan

1

(16)

perusakan, sehingga kerap kali menimbulkan kerugian yang cukup besar.2 Kenyataan juga menunjukkan bahwa reaksi-reaksi yang bersifat spontanitas dan tidak memiliki target yang jelas, dibarengi dengan tindakan tirani, bahkan tidak jarang ditumpangi dengan kepentingan-kepentingan politik tertentu, sehingga reaksi-reaksi demikian kecil manfaatnya bagi usaha pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia oleh karena itu reaksi-reaksi yang bersifat emosional dan tidak rasional ini harus dihentikan, yaitu dengan cara mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa cara penyelesaian yang terbaik dan lebih beradap adalah dengan menggunakan jalur hukum.3

Seperti yang telah dikemukakan di atas, usaha untuk menempuh cara yang beradab tersebut tidaklah mudah namun hanya itulah cara yang tersedia, artinya jika segenap elemen bangsa gagal dalam menggunakan hukum sebagai alat penyelesai masalah maka yang berkembang adalah cara-cara penyelesaian yang bersifat tirani.4 Demikian pula sebaliknya, semakin mampu bangsa ini menggunakan hukum sebagai cara penyelesaian masalah maka semakin kecil pula penggunaan cara-cara tirani dalam penyelesaian masalah bangsa. Kiranya jelas bahwa orientasi studi ini adalah dalam rangka mencari cara penyelesaian yang

2

Metro TV, 9 Desember 2012, Peringatan Hari Anti Korupsi. 3

Moh Jamin, 2000, dalam kumpulan karya ilmiah yang berjudul Wajah Hukum di era Reformasi, Dalam rangka menyambut 70 tahun Prof. Dr. Satjipto Raharjo, S,H., PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm 111. Dimana mengutip Mardjono Reksodiputro yang pada intinya menjelaskan bahwa pelayanan peradilan sangat mempengaruhi rasa hormat terhadap system peradilan, yang mencakup sistem administrasi peradilan serta moral dan mutu intelektual hakim dalam memutus perkara.

4

(17)

beradab dalam upaya memberantas kejahatan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) di Indonesia yang semakin merajalela.

Jika diperhatikan secara seksama reaksi-reaksi yang muncul di masyarakat itu membawa pesan khusus agar seluruh elemen bangsa memiliki sikap yang sama yaitu sikap keras kepada para koruptor. Pesan khusus ini juga ditanggapi oleh para pembentuk undang-undang (Pemerintah dan DPR) yaitu dengan cara menerbitkan beberapa perundang-undangan baru yang sifatnya “keras” terhadap para koruptor untuk menggantikan perundang-undangan yang lama yang dinilai lunak dalam menghadapi para koruptor. Sikap keras yang dimaksud diantaranya tercermin dalam penggunaan sanksi pidana yang lebih berat dibandingkan dengan perundang-undangan yang lama.

Kenyataannya sikap keras sebagaimana yang diinginkan oleh berbagai elemen masyarakat dan para pembentuk Undang-Undang, tidak begitu saja diikuti oleh para hakim di semua tingkat pengadilan. Hal ini tampak dari berlanjutnya reaksi-reaksi masyarakat dan munculnya tanggapan-tanggapan dari para pakar yang pada intinya menilai bahwa sebagian besar hakim di Indonesia tidak reformis (status quo). Salah satu tolak ukur yang dipakai oleh para pemerhati adalah putusan pemidanaan hakim yang dinilai tidak mengandung aspek-aspek pembaharuan (reformasi), sehingga tidak ada bedanya jika dibandingkan dengan putusan-putusan hakim pada masa sebelum reformasi. Oleh sebab itu, banyak kalangan yang menilai bahwa gerakan pemberantasan korupsi Indonesia berjalan di tempat, serta menuding para hakimlah sebagai penyebab utamanya.5

5

(18)

Pernyataan yang menyatakan para hakim sebagai satu-satunya sebab kegagalan dalam upaya penanganan korupsi melalui penggunaan sarana penal (hukum pidana) juga patut diragukan. Oleh sebab itu, untuk tidak terjebak dengan pendapat yang bersifat spekulatif maka penulis mengambil langkah dengan melakukan studi yang berangkat dari pandangan (pendekatan) yang holistis, serta berangkat dari asumsi bahwa para hakim bukanlah satu-satunya aktor yang paling menentukan gerak langkah pemberantasan korupsi.6 Dengan kata lain, para hakim hanyalah salah satu saja dari kelompok sosial yang ada dalam masyarakat pengadilan, artinya selain para hakim masih ada kelompok-kelompok sosial lain yang saling mempengaruhi dalam komunitas pengadilan.7 Oleh karena itu hasil kerja pengadilan tidak dapat dinilai sebagai prestasi kerja para hakim semata, melainkan hasil kerja sama antara hakim dan komunitas pengadilan lainnya, dalam artian yang positive dan negative.

Sesungguhnya pengambilan putusan di Pengadilan yang dilakukan oleh hakim yang independen melalui suatu proses, baik proses administrasi perkara maupun proses persidangan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) proses-proses tersebut tercantum dalam Bab XVII (Upaya Hukum Biasa).

6

Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia, Universitas Dipoenogoro, Hlm 8. Dimana mengutip Muladi, yang pada intinya mengemukakan

bahwa telah terjadi kerusakan sistemik (“systemic Danage”) atas kekuasaan kehakiman di indonesia baik yang berkaitan dengan aspek struktural institusional, aspek subtantif-instrumental maupun aspek kultural.

7

(19)

Pada Pasal 233 diatur bahwa permintaan banding sebagaiman dimaksud dalam pasal 67 dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi baik oleh Terdakwa atau Jaksa Penuntut Umum (JPU), dapat diterima oleh panitera Pengadilan Negeri dalam jangka waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan. Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permintaan tersebut baik yang diajukan oleh Terdakwa maupun JPU atau kedua-duanya sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak satu pada pihak yang lainnya.

Pada Pasal 234 diatur bahwa apabila tenggang waktu yang telah ditentukan telah lewat tanpa adanya permintaan banding baik dari Terdakwa maupun JPU maka yang bersangkutan dinyatakan menerima putusan. Maka panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal tersebut, dan melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.

Pada Pasal 236 diatur bahwa selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari semenjak permintaan banding diajukan, panitera mengirimkan salinan putusan Pengadilan Negeri, berkas perkara, serta surat bukti kepada Pengadilan Tinggi. Selama tujuh hari sebelum berkas perkara dikirim ke Pengadilan Tinggi pemohon banding wajib diberikan kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di Pengadilan Negeri. Dalam hal pemohon banding dengan jelas menyatakan akan mempelajari berkas perkara Pada Pengadilan Tinggi, maka pemohon wajib diberikan kesempatan untuk mempelajarinya.

(20)

jaksa penuntut umum dapat menyerahkan memori banding atau Kontra memori banding kepada Pengadilan Tinggi.

Pada Pasal 238 diatur bahwa pemeriksaan pada Tingkat Banding sekurang kurangnya dilakukan oleh tiga orang hakim. Wewenang melakukan penahanan beralih pada Pengadilan tinggi, selama tiga hari semenjak berkas perkara diterima Pengadilan Tinggi wajib mempelajarinya dan memutuskan terdakwa perlu ditahan atau tidak. Jika dipandang perlu Pengadilan Tinggi mendengar sendiri keterangan dari Terdakwa atau saksi atau Jaksa Penuntut Umum dengan menjelaskan secara singkat melalui surat panggilan kepada mereka mengenai apa yang ingin diketahui.

Berdasarkan UU RI No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terdapat pembatasan waktu dalam hal memutus perkara korupsi baik pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tingkat Pertama, Tingkat Banding, dan Tingkat Kasasi. Hal ini menunjukkan bahwa, penekanan dalam kecepatan dalam memutus perkara korupsi dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi.

(21)

dengan sendirinya akan berkaitan pula dengan administrasi teknis perkara dan persidangan.

Sejalan dengan cara pandang yang penulis gunakan dalam studi ini, yaitu tidak memandang hakim sebagai faktor tunggal (singgel factor) melainkan melihat hakim sebagai salah satu faktor dari sekian faktor yang menentukan keberhasilan upaya pemberantasan korupsi, maka untuk memperoleh jawaban yang benar maka fokus studi ini adalah mengamati dengan seksama Praktik Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Tingkat Banding. Dari penggambaran itu akan dapat diketahui sumbangan serta keterkaitan dari bagian perbagian dalam komunitas terhadap kinerja Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dengan kata lain tidak melihat baik buruknya hasil kerja pengadilan TIPIKOR sebagai prestasi kerja para hakim semata.

(22)

Praktik Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Pada Tingkat Banding (Studi di Pengadilan Tinggi Tajung Karang)”.

B. Permasalahan dan Ruang lingkup

1. Permasalahan

Karya tulis ini dalam rangka menjawab permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah praktik penyelenggaraan administrasi pengadilan tindak pidana korupsi pada tingkat banding.

b. Apakah pengaruh praktik penyelenggaraan administarasi pengadilan terhadap putusan hakim dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi pada tingkat banding.

2. Ruang Lingkup

(23)

C. Tujuan dan Kegunaan penelitian

1. Tujuan penelitian

a. Mengetahui praktik pelaksanaan administrasi pengadilan dalam kaitannya dengan semangat reformasi pemberantasan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

b. Mengetahui peran para hakim tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dalam mengakomodir tuntutan reformasi dalam penanggulangan kejahatan korupsi.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini meliputi kegunaan teoritis dan praktis, yaitu:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, peneliti berharap agar hasil dari penelitian ini dapat mengetahui sekaligus menganalisis keterkaitan fungsi administrasi pengadilan terhadap kinerja para hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara TIPIKOR pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

b. Kegunaan Peraktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperbaiki penyelenggaraan administrasi pengadilan sehingga dapat membantu mengefektifkan penanggulangan kejahatan korupsi di Indonesia. 2. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para hakim dalam

(24)

D. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kejahatan korupsi di Indonesia sebetulnya bukanlah fenomena yang aktual (terbaru) artinya potensi untuk melakukan kejahatan korupsi selalu ada di tengah masyarakat Indonesia baik itu dimasa penjajahan, dimasa orde lama, dimasa orde baru, maupun di masa reformasi. Perbedaannya dari masa kemasa adalah menyangkut masalah modus operandi, akibat yang ditimbulkannya bagi masyarakat banyak, dan reaksi masyarakat atas akibat yang ditimbulkannya. Artinya, sebelum orde reformasi masalah korupsi tidak banyak dibicarakan di tengah masyarakat, bahkan pembicaraan masalah korupsi yang akan bersinggungan dengan para penguasa kerap kali akan berhadapan dengan sistem hukum yang represif (menindas)8. Lebih dari itu, demi melindungi kepentingan rezim orba, maka POLRI dan TNI pada masa itu diperbolehkan menggunakan kekerasan secara mebabi buta terhadap kelompok-kelompok sosial yang berani menentang kebijakan penguasa Orba9.

Berbeda halnya dengan kondisi sosial di era reformasi sekarang ini, yang beberapa cirinya adalah adanya keterbukaan informasi, menguatnya tuntutan

8

Samuel Gultom, 2003, Mengadili Korban – Peraktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Jakarta, Hlm 18. Mengupas secara mendalam mengenai peran peradilan Indonesia selama di bawah tekanan rezim orba, dimana keberadaan peradilan pidana tidak lebih dari sekedar institusi yang berfungsi untuk memberi pembenaran terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh Negara.

9

Bandingkan dengan penjelasan J.E Sahetapy, 1995, “Pengamatan Keritis Terhadap Penyalahgunaan Kekuasaan” (Bunga Rampai Viktimisasi), PT Eresco, Bandung, Hlm 81. Dijelaskan, bahwa pada waktu itu barang siapa yang ingin mempersoalkan apakah HAM – atau penyalahgunaan kekuasaan – ada atau tidak, pasti akan berhadapan dengan suatu kekuatan telanjang yang secara mental memiliki disiplin bangkai (cadaver discipline). Itu berarti bahwa penyalahgunaan pada waktu itu tidak ragu-ragu untuk memperlihatkan giginya, entah dengan

dalih apa. Lazimnya dalih yang digunakan adalah demi ketertiban dan kedamaian, demi

(25)

untuk menciptakan pemerintahan yang bersih (good government), serta tegaknya supremasi hukum. Oleh karena itu, segala bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini akan memancing reaksi keras dari masyarakat. Salah satu bentuk prilaku yang menyerang prinsip-prinsip dan cita-cita reformasi maka akan berhadapan dengan reaksi masyarakat. Dengan kata lain, karena di era reformasi ini seluruh masyarakat Indonesia memandang bahwa kejahatan korupsi telah mengakibatkan rusaknya sendi-sendi kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.10 Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa korupsi bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra – ordinary crimes) maka memerlukan upaya pemberantasan dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary measure).

Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa. Hal ini disebabkan karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga bukan saja merugikan kondisi keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Untuk itu pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut harus dilakukan dengan cara luar biasa dengan menggunakan cara-cara khusus. Ketika korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra – ordinary crimes), maka upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa tetapi harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula. Namun, kenyataannya kinerja aparat penegak

10

(26)

hukum dalam menangani korupsi cenderung memposisikan seolah-olah korupsi sebagai suatu kejahatan biasa yang akhirnya juga ditangani dengan cara-cara biasa pula. Oleh sebab itu, diperlukan reformasi dalam segala aspek yang menyangkut upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, beberapa aspek yang dimaksut adalah aspek sikap (cara pandang), aspek kebijakan, dan aspek pelaksanaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Uraian di atas secara keseluruhan ingin menegaskan bahwa upaya reformasi pemberantasan korupsi di Indonesia harus didukung oleh tiga aspek yaitu:

1. Aspek moral masyarakat.

2. Aspek kebijakan (sebagaimana yang dirumuskan dalam sistem hukum di Indonesia).

3. Aspek pelaksanaan kebijakan.

Aspek moral masyarakat kerap kali dinyatakan masyarakat dalam bentuk aksi-aksi, yang di balik aksi itu terkandung makna bahwa masyarakat sangat mencela perbuatan para koruptor, di balik aksi itu pula masyarakat ingin memberikan sanksi yang lebih berat kepada para koruptor11. Oleh sebab itu reformasi dalam tataran perubahan, sikap moral ini terjadi apabila seluruh elemen bangsa memiliki sikap yang sama terhadap para koruptor. Suatu gerakan reformasi yang tidak bergerak di atas sikap moral yang sama hanya akan menghasilkan gerakan yang lemah, tidak sistematis, dan pada ahirnya tidak mencapai sasaran yang diinginkan.

11

(27)

Bertolak dari sikap moral masyarakat secara umum tersebut, maka para penentu kebijakan di negeri ini telah menindak lanjutinya ke tahap yang lebih konkrit yaitu tahap formulasi kebijakan penanggulangan korupsi di Indonesia, yang hasil dari gerakan tesebut adalah dalam bentuk pembaharuan perundang-undangan dalam bidang korupsi yakni UU No. 20 Tahun 2001. Gerakan pembaharuan perundang-uandangan ini berdasarkan atas pendapat bahwa perundang-undangan yang lama tidak dapat lagi digunakan sebagai alat untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, oleh sebab itu harus digantikan dengan perundang-undangan yang baru yang mengandung strategi penanggulangan kehatan korupsi yang lebih baru.

Tahap ketiga, tahap pelaksanaan kebijakan. Membicarakan pelaksanaan kebijakan berarti membicarakan bagaimana lembaga atau organisasi hukum itu berkerja. Dalam hal ini, Shrode dan Voich mengemukakan bahwa:12

Proses tersebut tidak lain merupakan kegiatan manajemen, di mana merupakan seperangkat kegiatan atau proses untuk mengkoordinasi dan mengitegrasikan penggunaan sumber-sumber daya dengan tujuan untuk mencapai tujuan organisasi.

Pengadilan sebagai suatu lembaga atau organisasi membuka pintu pengkajian tentang bagaimana pengadilan yang diserahi tugas untuk mewujudkan dan menegakkan hukum itu berkerja. Dilihat dari aspek keorganisasian, pengadilan tidak statis tetapi dinamis. Di mana struktur keorganisasian dari lembaga pengadilan tersebut, yang notabanenya adalah lembaga tidak

12

(28)

bergerak, akan tetapi bila lembaga mulai bergerak, maka terjadilah interaksi antara lembaga tersebut dengan lingkungannya. Hal ini terjadi karena lembaga tersebut berkerja di dalam suatu konteks sosial tertentu.

Pada tahap ini, di mana telah di uraikan di atas tingkat keberhasilan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sangat bergantung pada banyak faktor, artinya berhasil tidaknya upaya pemberantasan korupsi oleh pengadilan tidak semata-mata bergantung pada tangan para hakim semata, melainkan bergantung pula pada faktor lain di luar hakim.

Dalam hal ini, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa13:

Di Indonesia, perhatian terhadap faktor manusia, dalam hal ini hakim, belum berkembang, bahkan dapat dikatakan belum berkembang sama sekali. Perhatian terhadap faktor manusia yang dimaksud adalah latar belakang perorangannya, pendidikannya, serta keadaan-keadaan konkret yang dihadapinya pada waktu akan membuat suatu keputusan.

Apa yang di kemukakan oleh satjipto Raharjo tersebut, ingin menyatakan bahwa, apa yang dilakukan oleh hakim khususnya dalam hubungan dengan proses penyelesaian perkara selalu berkaitan dengan proses interaksi sosial yang lebih besar (masyarakat pengadilan).

Untuk menjaga eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi dalam menentukan berhasil atau tidaknya dalam hal mengatasi atau menghukum pelaku tindak pidana korupsi tidak terlepas dari dotrin Montesquieu tentang

13

(29)

ajaran pembagian kekuasaan (distribution of power) yang salah satu ajarannya menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus diselenggarakan secara independen, yang meliputi: kemandirian personal (personal judicial indepence), kemandirian substansial (substantif judicial independence) dan kemandirian internal serta kemandirian kelembagaan (institusional judicial independence) yang berarti:14

a. Kemandirian substantif adalah kemandirian di dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi seluruh rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.

b. Kemandirian institusional adalah kemandirian lembaga kehakiman dari intervensi berbagai lembaga kenegaraan dan pemerintahan lainnya di dalam memutus suatu perkara yang sedang diperiksa.

c. Kemandirian internal adalah kemandirian yang dimiliki oleh peradilan untuk mengatur sendiri kepentingan kepersonalian kehakiman meliputi antara lain rekruetmen, mutasi, promosi, penggajian , masa kerja, masa pensiun.

d. Kemandirian personal adalah kemandirian dari pengurus rekan sejawat, pimpinan dan institusi kehakiman itu sendiri.

Dalam struktur pengadilan, ada berbagai cara penyimpangan yang digunakan untuk menghindari sistem peradilan. Diantaranya adalah: mempengaruhi penyelidikan dan membujuk pegawai pengadilan menghilangkan berkas

14

(30)

perkara, memperhambat perkara. Proses pengadilan yang lambat dapat digunakan sebagai indikator terjadinya tindakan korupsi. Mesin administrasi pengadilan sebagai bagian dari struktur atau subsistem dari pengadilan turut menentukan berhasil atau tidaknya upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Masyarakat, perguruan tinggi, organisasi profesi, media masa, maupun lembaga swadaya masyarakat, sebagai stake holder perlu terus menerus didorong kesadarannya untuk turut berpartisipasi serta memantau jalannya reformasi peradilan menuju arah yang lebih baik. Salah satu faktor yang menjadi penyebab lemahnya upaya reformasi pengadilan adalah kurang efektifnya court management peradilan atau administrasi pengadilan.15 Oleh karna itu diperlukan langkah-langkah strategis untuk membenahi administrasi pengadilan. Tanpa dilakukannya upaya-upaya pembenahan maka administrasi pengadilan, khususnya di Pengadilan TIPIKOR, akan menjadi semakin rumit, kompleks, lamban, tidak efektif, tidak efesien serta tidak aksesibel.

Pembenahan administrasi pengadilan dapat digunakan sebagai sarana atau metode untuk menata ulang administrasi pengadilan agar lebih efektif, efisien, trasparan, aksesibel, serta bertanggungjawab. Selain itu pembenahan administrasi pengadilan juga dapat dijadikan sebagai upaya untuk memberi pijakan bagi munculnya hakim-hakim yang memiliki dedikasi, integritas,

15

(31)

serta prestasi yang baik sehingga mampu melahirkan putusan-putusan yang jujur, adil, tidak memihak dan berkualitas.16

Berbicara mengenai administrasi pengadilan, Jeremy Pope mengemukakan bahwa17:

Di berbagai negara, ada peluang besar dalam administrasi pengadilan terhadap merajarelanya korupsi. Korupsi bisa berkisar dari manipulasi berkas perkara hingga penyelewengan pembagian tugas untuk memeriksa perkara.

Sejalan dengan pemikiran penulis, Muladi mengemukakan bahwa:

administrasi pengadilan, sebagai bagian dari subsistem pengadilan baik dalam arti court administration maupun sebagai refleksi administration of justice, hanya akan berperan maksimal dan bermakna terhadap sistem peradilan pidana apabila mengelola jati dirinya sebagai pendukung prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka.18

Dalam lembaga pengadilan terdiri dari subsistem yang saling berkaitan, dimana apabila muncul suatu penyimpangan dalam sistem administrasi pengadilan maka dengan sendirinya akan berdampak terhadap kinerja hakim dalam menangani perkara korupsi. Dengan kata lain berhasil tidaknya upaya pemberantasan korupsi pada tahap ini adalah bergantung pada kerja sama antar kelompok-kelompok dalam komunitas pengadilan itu sendiri, dimana dalam studi ini fokus perhatian hanya akan ditujukan pada kerja sama antara kelompok komunitas yang menggerakkan mesin administrasi pengadilan

16

Ahmad Muhajidin, 2007, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm 209.

17

Jeremy Pope, 2007, op cit, Hlm 131. 18

(32)

dengan kelompok komunitas para hakim itu sendiri. Intinya tahap ketiga yang disebut sebagai tahap pelaksanaan kebijakan adalah tahap mengelola segenap sumberdaya yang dimiliki oleh pengadilan tindak pidana korupsi agar bergerak secara efektif dan efesien dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi dalam wilayah hukum masing-masing pengadilan, yang dalam kontek studi ini adalah wilayah hukum dalam Pengadilan TIPIKOR pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

2. Konseptual

Dalam karya tulis ini, penulis ingin ingin menggunakan beberapa istilah yang maknanya disesuaikan dengan fokus kajian yang merupakan fokus perhatian utamannya. Makna dari berbagai istilah yang di maksud adalah sebagai berikut.

a. Analisis

Analisis di dalam karya tulis ini diartikan sebagai kegiatan menguraikan dan mengupas soal-soal yang berkaitan di mana menjadi objek kajian karya tulis ini, sehingga menghasilkan penjelasan mengenai hubungan dan akibat dari hubungan suatu kegiatan.19

19

(33)

b. Praktik

Praktik dimaknai sebagai suatu kegiatan, baik yang bersifat mapan atau terpola untuk mencapai tujuan tertentu sebagai mana yang menjadi tujuan lembaha tertentu.20

c. Tindak Pidana Korupsi

Adalah serangkayan kegiatan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseoarang atau lebih yang mana perbuatan yang dimaksud memenuhi segala unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.21

d. Pengadilan Tinggi

Adalah pengadilan banding atau pengadilan tingkat kedua. Pengadilan Tinggi dibentuk dengan Undang-Undang dan daerah hukumnya meliputi satu daerah tingkat I.22

e. Hakim

Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam

20

Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Hlm 3.

21

Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, op cit, Hlm 13. 22

(34)

lingkungan peradilan tersebut di mana di sebutkan dalam UU No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 ayat (5).

f. Studi

Adalah serangkayan kegiatan yang bertujuan untuk memahami serta menjelaskan fenomena dan perkembangan tindak pidana korupsi di suatu tempat.23

23

(35)

E. Sistematika Penulisan

Upaya memudahkan maksud dari penulisan ini serta dapat dipahami, maka penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab secara berurutan dan saling berkaitan hubungannya yaitu sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, ruang lungkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat dijadikan sebagai dasar atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari perkembangan kejahatan korupsi di Indonesia, penanggulangan kejahatan korupsi dengan sarana penal.

III.METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penelitian meliputi Pendekatan Masalah, Sumber dan Jenis Data, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data serta Analisa Data.

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(36)

tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang telah sesuai dengan semangat reformasi pemberantasan tindak pidana korupsi.

V. PENUTUP

(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkembangan Kejahatan Korupsi di Indonesia.

Perkembangan kejahatan korupsi sangatlah terkait kepada tahap perkembangan suatu Negara, demikian juga mengenai strategi penanggulangannya. Namun yang tidak dapat dipungkiri bahwa kejahatan korupsi hanyalah dapat dikakukan oleh orang-orang yang memiliki akses terhadap kekuasaan Negara dan akses terhadap penguasaan dan pengelolaan kekayaan Negara, termasuk dalam pengertian ini adalah para pengusaha yang berkolusi dengan penguasa dalam penguasaan (monopoli) sumberdaya ekonomi (kekayaan Negara), sehingga mereka memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah (Negara). Berkaitan dengan hal ini, Mardjono Reksodiputro24 mengemukakan sebagai berikut.

Pengertian korupsi ini jangan hanya diasosiasikan dengan penggelapan keuangan Negara; tidak kalah jahatnya adalah penyuapan (bribery) dan penerimanan komisi secara tidak sah (kickbacks). Kegiatan semacam ini juga dapat dilakukan oleh pihak swasta dan karena itu kita dapat

membedakan antara “bureaucratic corruption” dan “private corruption”.

Apa yang menyamakan kedua jenis korupsi ini dan juga kejahatan ekonomi, adalah para pelakunya adalah para pemegang kuasa dalam masyarakat, baik kuasa pemerintahan (public power) maupun kuasa ekonomi (economic power).

24

(38)

Pada suatu Negara yang masih tergolong muda (baru merdeka)25, sudah tentu Negara masih disibukkan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan menjaga kelansungan hidup Negara yang bersangkutan, sehingga wajar saja jika sifat hukumnya masih sangat represif (tangan besi), karena fungsi hukum hanya untuk menciptakan ketertiban sosial. Penjelasan ini sangat tampak dalam gambaran perkembangan Negara Indonesia di awal kemerdekaan sampai dengan awal pemerintahan rezim orde baru, itulah sebabnya peran hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan korupsi pada masa itu tidak begitu menonjol. Meskipun sudah ada beberapa bentuk peraturan yang tujuannya untuk mengendalikan prilaku para penguasa dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan Negara26, tetapi penerapan perundang-undangan korupsi tersebut juga terpulang pada sikap penguasa pada masa itu, artinya apa yang merupakan hukum dan apa yang bukan hukum adalah tergantung pada tapsir penguasa pada saat itu.

Setelah bangsa Indonesia berhasil melalui masa transisi yaitu sebagai Negara yang baru lahir27 dan masuk kedalam tahap negara yang memulai pembangunan maka persoalan pengamanan keuangan negara mulai muncul yaitu di awal pemerintahan rezim orde baru, artinya keberadaan penguasa sebagai suatu ancaman terhadap keselamatan kekayaan negara mulai tampak, dan fenomena pengawasan terhadap para penguasa negara mulai terasa penting, fenomena ini sejalan dengan penjelasa Presiden Amerika Serikat ke-4 James Madison

25

Francis Fukuyama, 2005, Memperkuat Negara Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hlm 130.

26 Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang “perbuatan

-perbuatan yang

merugikan keuangan dan prekonomian Negara”.

27

(39)

1836), yang mengatakan (dalam terjemahan bebas), bahwa “sebuah pemerintah tidak lain dari cermin yang terbesar dari semua cermin sifat manusia. Jika manusia adalah malaikat, maka tidak perlu pemerintahan. Jika malaikat yang memerintah manusia, maka tidak perlu pengawasan atas pemerintah, dari luar

maupun dari dalam”.28

Pendapat James Madison di atas ingin menunjukkan bahwa sifat dasar manusia (penguasa) adalah cendrung korup, dalam hal ini Madison ingin menegaskan bahwa arti pentingnya pengawasan terhadap penguasa. Tidak aneh didalam negara yang masih lemah atau Negara yang baru merdeka biasannya menghadapi masalah masih lemahnya pengawasan, meskipun demikian didalam negara yang masih lemah isu mengenai korupsi tidak terlau mengemuka di masyarakat, namun potensi korupsi tetap ada dalam sekala yang kecil. Gambaran ini sejalan dengan perkembangan korupsi di Indonesia di masa orde lama.

Ketika rezim orde baru mulai berhasil menata sistem pemerintahan negara yang relative lebih tertib dan menciptakan situasi keamanan yang lebih baik maka semua ini memberikan landasan bagi rezim orde baru untuk mumulai gerakan pembangunan. Sudah tentu fenomena baru yang muncul adalah menyangkut masalah pengelolaan sumberdaya pembangunan dan masalah pengamanan sumber daya pembangunan, baik yang dari dalam negeri maupun yang bersumber dari bantuan dan pinjaman luar negeri. Sejak itulah potensi perkembangan tindak kejahatan korupsi mulai muncul di permukaan sehingga dibutuhkan

28

(40)

langkah penanggulangan dengan menggunakan sarana penal yaitu melalui diterbitkannya Undang-Undang nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pada masa orde baru kejahatan korupsi demikian meningkat, tetapi sangat jarang yang diperoses melalui sistem pengadilan negara, kenyataan ini terkait lansung dengan sifat rezim yang berkuasa pada waktu itu, artinya pada rezim yang otoriter korupsi berjalan secara sistemik (berjenjang) dari level pemerintahan yang tinggi sampai pata tingkat pemerintahan terendah, sehingga selama kerja sama itu baik dan saling menguntungkan maka korupsi pada tingkat terbawah akan dilindungi oleh pemerintahan yang lebih tinggi. Dalam hal ini penulis ingin menegaskan bahwa isu korupsi pada jaman orde baru yang tidak sesemarak pada era reformasi saat ini bukan berarti menandakan bahwa kejahatan korupsi padaera orde baru itu tidak seserius pada era reformasi. Dalam penjelasan yang sederhana penulis ingin mengungkapkan bahwa pada jaman orde baru kontrol masyarakat pada penguasa yang korup begitu lemah, karena untuk membicarakan dan menuding para penguasa telah melakukan korupsi harus siap-siap akan berhadapan dengan tudingan fitnah dari pemerintah yang berkuasa.29

Tidak mengherankan pada zaman orde baru para penguasa dengan bebas memamerkan kekakyaannya serta gaya hidup yang mewah tanpa takut

29

(41)

dipertanyakan oleh masyarakat tentang asal usul harta yang dimilikinya, karena memang di dalam rezim yang otoriter mulut rakyat bisa dibungkam dengan sistem hukum yang represif. Sudah tentu pelaku kejahatan korupsi pada masa orde baru tersebut tidak semata-mata dilakukan oleh para pejabat yang duduk pada badan pemerintahan negara, tetapi kerja samannya justru meluas pada kerabat dan keroni-kroni pejabat. Tidak mengherankan sektor-sektor pembangunan yang tumbuh subur pada waktu itu adalah sektor-sektor pembangunan yang menguntungkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kolusi tersebut. Andai kata hasil pembangunan itu dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak, tentunya dampak tersebut hanyalah merupakan dampak sampingan saja, artinya bukan merupakan tujuan utama dari kegiatan pembangunan itu sendiri.

(42)

Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak era reformasi ini bergulir perhatian segenap elemen bangsa terhadap kejahatan korupsi di Indonesia demikian meningkat. Wajar saja jika pemerintah reformasi tidak mengabaikan begitu saja apa yang menjadi kehendak masyarakat, intinya masarakat menghendaki agar para koruptor diperlakukan lebih keras dibandingkan dengan perlakuan pada era-era sebelumnya. Perlakuan yang dimaksud baik perakuan selama dalam peroses hukum, maupun sanksi pidana yang dijatuhkan kepada para koruptor. Namun sikap demikian baru tercermin dalam perundang-undangan. Sebaliknya belum tampak dalam sikap penegak hukum. Tidak terlalu sulit untuk membuktikan pernyataan ini, karena sebagian besar reaksi yang diberikan oleh berbagai elemen di masyarakat justru dilatarbelakangi oleh sikap para penegak hukum yang masih lunak terhadap para koruptor. Sikap keras terhadap para koruptor baru tersirat dalam rumusan perundang-undangan di bidang pemberantasan korupsi yang terbit dalam era reformasi, yaitu dalam perumusan sistem pemidanaan serta berat ringannya pidana yang diancamkan pada terpidana.

(43)

Pada masa orde lama para penguasa Negara tengah disibukkan dengan masalah mempertahankan kelansungan kehidupan Negara Kesatuan Repuplik Indonesia (NKRI). Wajar saja jika rezim yang tengah berkuasa belum sepat memikirkan tentang langkah-langkah untuk memulai pembangunan. Intinya, rezim penguasa dibawah pemerintahan Presiden Sukarno tengah disibukkan dengan upaya untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan dalam negri30. Memang harus dimaklumi, karena tidak mungkin dapat menjalankan pembangunan di tengah situasi kehidupan Negara yang kacau. Setelah rezim orde baru berkuasa di bawah komando presiden Suharto yang kemudian berhasil menciptakan stabilitas politik adan keamanan dalam negeri, barulah kemudian rezim orde baru memulai langkah-langkah pembangunan. Dari sinilah dimulai munculnya masalah baru yaitu, masalah bagaimana mengelola sumberdaya pembangunan secara efektif dan efesien yaitu disatu sisi adalah bagaimana mengelola sumberdaya pembangunan secara efektif dan efesien. Namun disisi lain juga ada masalah bagaimana mengamankan sumberdana pembangunan oleh para pejabat serbagai pelaksana pembangunan.

Dalam kaitannya dengan perkembangan kejahatan korupsi di Indonesia adalah, karena lemahnya pengawasan terhadap penguasa yang tengah menjalankan pembangunan. Sudah tentu, fungsi pengawasan terhadap penguasa tidak mungkin dapat dijalankan karena rezim penguasa orde baru di bawah komando Presiden Suharto ternyata tetap berkeinginan mempertahankan sistem politik otoriter. Pada masa itu korupsi berjalan secara sistemik, yang berjalan di tengah sistem

30

(44)

pemerintahan yang sentralistik, dan otoriter, sehingga reaksi penentangan terhadap tindak para penguasa yang korup dapat diredam dengan kekuatan bersenjata, bahkan dengan alat penegak hukum itu sendiri.

(45)

B. Penanggulangan Kejahatan Korupsi Dengan Sarana Penal.

Gerakan reformasi yang muncul sejak tahun 1997 hingga sekarang ini bukanlah gerakan yang sistematik, melainkan tidak lebih dari suatu gerakan yang muncul secara tiba-tiba (sponstan) karena didorong oleh suatu perasaan yang sama yaitu ingin bebas dari penderitaan yang diakibatkan oleh kerisis ekonomi yang demikian mencekam. Memang di dalam gerakan ini juga terlibat di dalamnya adalah sekelompok mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, dan juga kelompok-kelompok intelektual tertentu, tetapi yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa keterlibatan kelompok-kelompok tersebut bersifat mendadak dan tidak berangkat dari program bersama dan bertolak dari tujuan yang dirumuskan secara sistematis31. Dengan kata lain, gerakan ini hanyalah gerakan untuk menjatuhkan Peresiden Suharto dari kursi keperesidenannya. Dengan asumsi, bahwa Peresiden Suharto dianggap sebagai pemimpin rezim yang korup sehingga harus bertanggung jawab atas terjadinya kerisis ekonomi yang sangat menyengsarakan seluruh rakyat Indonesia.

Setelah Peresiden Suharto turun dari kursi keperesidenannya ternyata gelombang besar reformasi menyurut dan mengecil kembali, karena kelompok-kelompok reformis ini tercerai-berai kembali untuk mengejar kepentingannya masing-masing. Tidaklah mengherankan, jika dalam perkembangan selanjutnya para penggerak reformasi ini sebagian telah duduk dalam lembaga pemerintahan Negara dan yang sebagian lagi berada di luar pemerintahan Negara, namun yang

31

(46)

jelas hanya sedikit yang masih konsisten dengan perjuangan untuk melakukan reformasi. Arti pentingnya penjelasan ini adalah agar para penstudi hukum yang bermaksud melakukan studi di bidang pemberantasan korupsi memiliki perkiraan awal tentang seberapa besar rintangan yang harus dihadapi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Jika gerakan reformasi, ingin dimaknai sebagai gerakan yang ingin membersihkan rezim orde baru dari dalam badan-badan pemerintahan Negara maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa gerakan reformasi yang dimaksut, sampai hari ini baru berhasil menjatuhkan Suharto dan keroni-keroni terdekatnya saja. Dengan kata lain, yang menduduki jabatan dari yang tertinggi sampai pada jabatan yang terendah, sampai pada hari ini sebagian besar masih duduk dalam badan pemerintahan negara adalah rezim orde baru. Sementara itu mereka sudah lama terdidik dengan jiwa dan semangat rezim orde baru yang korup32. Tidak mengherankan jika dalam orde reformasi ini mereka kerap kali menjadi penghalang bagi penerapan ide-ide yang reformis sebagai bentuk pembaharuan strategi pemberantasan korupsi. Contoh konkrit mengenai hal ini, yaitu penolakan oleh sebagian besar anggota DPR terhadap kewenangan KPK dalam penggunaan alat sadap untuk menjaring para koruptor. Sudah tentu, penolakan terhadap KPK ini adalah karena para anggota DPR takut terjaring oleh KPK. Di balik penolakan

32

(47)

ini terkandung niat jahat bahwa para anggota DPR memang berniat melakukan korupsi.33

Penjelasan di atas penulis sajikan dengan maksud, agar para penstudi hukum tidak dengan begitu saja mengatakan bahwa badan-badan pemerintah negara baik yang ada di pusat maupun yang ada di daerah, maupun para pemain politik lama maupun yang muncul di era reformasi adalah orang-orang yang berjiwa reformis. Melainkan apakah mereka pemain politik yang saat ini tengah berjuang atau tengah menduduki jabatan dalam badan kekuasaan Negara, kesemuanya perlu terus dikontrol agar tidak terjerumus atau tergiur untuk mencari keuntungan materi dengan cara menyalah gunakan kekuasaan yang berada di tangan mereka. Dengan kata lain penulis ingin menegaskan bahwa kejahatan korupsi akan meningkat dalam suatu Negara karena lemahnya pengawasan terhadap para penguasa dalam Negara yang bersangkutan.

Di zaman yang modern sekarang ini, hampir tidak ada lagi Negara-negara di dunia, tidak terkecuali di Indonesia, yang ingin mengfungsikan hukum pidana (sarana penal) sebagai alat untuk mengontrol perilaku para penguasa agar tidak melakukan korupsi. Demi tujuan tersebut maka langkah awal yang dilakukan adalah dengan cara mengubah atau memperbaharui perundang-undangan sebagai landasan bertindak dalam pemberantasan korupsi. Namun dalam kenyataannya, segenap hasil pembaharuan tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan dalam pemberantasan korupsi di Negara yang bersangkutan. Hal ini menunjukan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dilakuakan dengan

33

(48)

memperbahrui perundang-undangan34. Reformasi terhadap strategi pemberantasan tindak pidana korupsi selain harus di mulai dari pembaharuan Undang-Undang, juga harus dilakukan seiring dengan reformasi badan-badan peradilan.35 Oleh sebab itu, dapat dimengerti jika pembentuk Undang-Undang dalam merespon desakan reformasi strategi pemberantasan korupsi di Indonesia memulai langkah awalnya adalah dengan mereformasi Undang-Undang pemberantasan korupsi. Di sisi lain, upaya ini tidak akan membuahkan hasil tanpa juga diikuti dengan langkah-langkah pembaharuan di dalam badan-badan peradilan di Indonesia.

Dibandingakn dengan masa sebelumnya (orde baru), di era reformasi ini terdapat perubahan yang mendasar dalam strategi penanggulangan kejahatan korupsi di Indonesia, yaitu sanksi pidana yang hendak diterapkan kepada para koruptor tidak semata untuk pemberian nestapa, karena selain dari pada itu pembentuk Undang-Undang juga menginginkan penerapan sanksi yang bertujuan untuk pengembalian kerugian Negara. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pembentuk Undang-Undang Memberi jalan kepada para hakim untuk menjatuhklan putusan sebagai berikut:

a. Menjatuhkan pidana penjara saja, atau

b. Menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda, atau

c. menjatuhkan pidana penjara dan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti, atau

34

Yusril Ihza Mahendra, 2002, Catatan dan Gagasan – Mewujutkan Supremasi Hukum Di Indonesia, Jakarta, Hlm 3.

35

(49)

d. menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda dan pidana tambahan kewajiban membayar uang pengganti.

Untuk penjatuhan pidana penjara dan pidana denda tidak terlalu menjadi persoalan untuk para hakim, artinya penerapan kedua jenis pidana ini sudah biasa dilakukan oleh para hakim dalam praktik pengadilan selama ini. Hanya saja yang perlu perubahan dari para hakim adalah menyangkut penyesuaian dengan tuntutan reformasi yang menuntut penerapan pidana yang lebih keras pada para koruptor, sehingga tujuan pemidanaan yang bermaksut memberikan efek prefensi umum dan prefensi husus dapat tercapai. Jika para hakim tidak mampu memberikan efek prefensi umum dan prefensi khusus melalui putusan pemidanaan yang dijatuhkannya maka patut dikatakan bahwa para hakim tidak reformis.

Berbeda halnya dengan penerapan pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti. Untuk penerapan jenis pidana tambahan ini memang dibutuhkan kemampuan reformasi oleh banyak pihak, karena berkaitan dengan kemampuan para penegak hukum dalam menghitung kerugian Negara. Secara jujur harus diakui bahwa kemampuan jaksa penuntut umum dan para hakim untuk menghitung kerugian Negara yang timbul dalam perkara korupsi tertentu sangatlah diragukan, dengan demikian untuk penghitungan kerugian Negara tersebut maka para hakim dan jaksa terpaksa bergantung kepada penghitungan dari para ahli maupun meminta bantuan dari badan pemeriksa keuangan36. Oleh sebab itu, jika penghitungan kerugian Negara yang dilakukan oleh BPK atau Para

36

(50)

ahli tersebut bersifat kabur maka akan sulit bagi para hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan dalam bentuk uang pengganti. Itulah sebabnya sebagian besar perkara korupsi yang diadili sangat jarang disertai dengan penjatuhan pidana tambahan uang pengganti.

Dapatlah dimengerti mengapa dalam perjalanan reformasi yang suadah memakan waktu lebih kurang 12 tahun ini ternyata reaksi berbagai elemen masyarakat masih juga berkutat pada isu lemahnya sikap penegak hukum pada para koruptor atau sikap memanjakan para koruptor. Hal ini menandakan bahwa, reformasi strategi pemberantasan korupsi tidak dapat dipandang cukup hanya dengan memperbahrui perundang-undangan, melainkan harus juga meliputi upaya peningkatan propesionalitas para penegak hukum.

(51)

kekurangan sehingga terasa harus di perbaharui kembali dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Fakta ini menunjukkan kebenaran pendapat sacipto raharjo yang menyatakan bahwa hukum (Undang-Undang) selalu dalam peroses menjadi, artinya tidak akan pernah tercipta Undang-Undang yang sempurna sejak lahirnya. Kenyataan itu pula yang melatar belakangi keinginan penulis untuk melakukan studi ini.

C. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Badan pengadilan dalam sistem hukum dimasukkan ke dalam kategori kekuasaan

kehakiman. Pasal 1 UU. No. 19/1997 mengatakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman

adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya

Negara Hukum Republik Indonesia”.37

Pengadilan sebagai “Benteng Terahir” untuk melawan ketidak adilan, sesungguhnya pengambilan putusan di Pengadilan yang dilakukan oleh hakim yang independen melalui suatu proses, baik proses administrasi perkara maupun proses persidangan. Karena itu, kata Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni “adil” yang memiliki pengertian: a. Proses mengadili. b. Upaya untuk mencari keadilan. c. Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan. d. Berdasar hukum yang berlaku.38

37

Satjipto Raharjo, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta, Genta Publishing, Hlm 77.

38

(52)

Dalam konteks Negara Hukum Indonesia, Pasal 24 ayat (1) amandemen UUD 1945 menentukan :

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Kemudian berdasarkan Pasal 24A ayat (1) Amandemen UUD 1945, Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang. Kemudian ketentuan konstitusi ini, dijabarkan ke dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah pertama dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan kedua dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.

(53)

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat pula dimaknakan bahwa peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia hakikatnya merupakan kekuasaan peradilan yang kewenangannya bersumber dari kekuasaan negara hukum Indonesia untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Berbicara mengenai azas mengandung makna dasar, fundamen, pangkal tolak, landasan, dan/atau sendi-sendi.39 Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata azas diartikan sebagai suatu tumpuan berpikir atau berpendapat.40 Karena itu menurut Yahya Harahap,41 dalam konteks asas hukum peradilan, suatu asas hukum menjadi fundamen atau acuan umum bagi pengadilan dalam menyelesaikan perkara, sehingga putusan majelis hakim memiliki sendi dan norma yang kuat untuk mewujudkan tujuan hukum yang diharapkan oleh para pihak yang berperkara.

Sehubungan dengan itu, maka terdapat sejumlah asas hukum yang terkait dengan penyelenggaraan sidang peradilan, antara lain sebagai berikut:

39

Eddy Yusuf Priyanto dkk, 2003, Pendidikan Pancasila Perguruan Tinggi,Cet. III; Makassar: Tiem Dosen Pancasila Universitas Hasanuddin, Hlm. 8.

40

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, Hlm. 52.

41

(54)

a. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).

b. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang / persamaan di hadapan hukum (Pasal 5 ayat (1)).

c. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 16 ayat (1)).

d. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 19 ayat (1)).

Terkait dengan pengertian di atas, menurut Bambang Poernomo, yang dimaksud dengan:

a. Proses peradilan pidana yang dilaksanakan dengan cepat, diartikan menghindarkan segala rintangan yang bersifat prosedural agar tercapai efisiensi kerja mulai dari kegiatan penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan akhir dapat selesai dalam waktu yang relatif singkat. b. Proses peradilan pidana yang sederhana, diartikan bahwa penyelenggaraan

(55)

c. Proses peradilan pidana dengan biaya murah (ringan), diartikan menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding, karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dan hasil yang diharapkan lebih kecil.42

D. Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Selain asas “independence of judiciary”, dan “impartiality”, tak kalah pentingnya

beberapa asas yang lain, diantaranya adalah asas “peradilan diselenggarakan

secara sederhana, cepat dan biaya ringan” (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Melalui asas yang disebut terakhir tersebut, diharapkan jalannya proses peradilan akan menjadi lebih simpel, aksesibel, dan terjangkau dan sehingga oleh karenanya dapat diikuti, bagi para pencari keadilan (justiabelen) tanpa terkecuali. “Sederhana” mengandung

makna bahwa jalannya proses peradilan simpel, tidak terlalu rumit, mudah dipahami, sehingga dapat diikuti oleh para justiabelen, yang sebagian besar diantaranya sangat awam terhadap hukum dan proses hukum. Mereka yang buta hukum sekalipun tidak kehilangan aksesibelnya terhadap proses hukum dan

pengajuan tuntutan hak dan kewajiban. “Cepat” mengandung makna bahwa

bahwa jalannya proses peradilan efektif, efisien, tidak bertele-tele, tidak berlarut-larut, sesuai dengan tahapan waktu yang ditentukan sehingga dapat dipredisikan atau dipastikan kapan berakhirnya, sehingga para justibelen dapat segera mengetahui bagaimana status hukum mereka terhadap setiap putusan yang

42

(56)

dijatuhkan oleh pengadilan. “Biaya Ringan” mengandung makna bahwa jalannya proses peradilan dibebani dengan kewajiban untuk menanggung biaya yang dapat terjangkau dan sesuai dengan kemampuan para justiabelen, walaupun para pelaku tindak pidana korupsi tidak dapat dikatakan sebagai kelas yang memiliki prekonomian yang rendah.43

Namun dalam kenyataan di lapangan, peroses peradilan yang berlansung secara terbalik dima peroses yang berjalan sangatlah rumit dan kompleks. Begitu rumit peroses birokrasi dan prosedural beracara di muka pengadilan sehingga perosesnya menjadi tidak sederhana. Hal tersebut akan dapat mengaburkan persoalan yang sebenarnya, yakni persoalan hukum, penegakan hukum dan keadilan.44 Oleh karna itu pembenahan atau pembaharuan harus di mulai bagi tercapainya badan peradilan yang bersih, trasparan, akuntabel, adil dan berwibawa. Upaya untuk melakukan berbagai perubahan untuk mewujudkan terciptanya lembaga peradilan yang ideal tersebut, terutama yang berbasis pada partisipasi dan kontrol publik mutlak harus dilakukan.45

43 Ibid. 44

Susanti Adi Nugroho dkk, 2003, Eksaminasi Publik: Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan, Indonesia Carruption Watch (ICW), Jakarta, Hlm 90.

45

(57)

Ketentuan-ketentuan KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, antara lain :

1) Asas peradilan cepat :

a. Tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan dari penyidik.

b. Tersangka atau terdakwa berhak segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik.

c. Tersangka atau terdakwa berhak perkaranya segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.

d. Tersangka atau terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.

e. Pelimpahan berkas perkara banding oleh pengadilan negeri ke pengadilan tinggi sudah dikirim 14 hari dari tanggal permohonan banding. (Pasal 326).

f. 7 hari setelah perkaranya diputus pada tingkat banding, pengadilan tinggi harus mengembalikan berkas ke pengadilan negeri. (Pasal 234 ayat (1). g. 14 hari dari tanggal permohonan kasasi pengadilan negeri harus sudah

mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung untuk diperiksa dalam tingkat kasasi. (Pasal 248).

h. 7 hari setelah putusan kasasi, Mahkamah Agung harus sudah mengembalikan hasil putusannya ke pengadilan negeri. (Pasal 257).

2) Asas sederhana dan biaya ringan :

a. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi secara perdata oleh korban atas kerugiannya kepada terdakwa.

b. Pembatasan masa penahanan dengan hak tuntutan ganti rugi. c. Banding tidak dapat diminta dalam perkara dengan acara cepat.

(58)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Berdasarkan klasifikasi penelitian hukum baik yang bersifat normatif maupun yang bersifat empiris serta ciri-cirinya, maka pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pendekatan Yuridis Normatif (library Research)

Pendekatan yuridis normatif dilakukan melalui studi kepustakaan, dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan dengan penelaahan hukum terhadap kaedah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

(59)

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan hukum empiris adalah menelaah hukum terhadap objek penelitian sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan penyelesaian hukum yang dapat dilakukan pengadilan dalam penanganan tindak pidana korupsi pada tingkat banding beserta identifikasi permasalahannya.

Pendekatan normatif dan pendekatan empiris karna penelitian ini berdasarkan sifat, bentuk dan tujuannya adalah penelitian deskriftif dan problem identification, yaitu dengan mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian.

B. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

Sumber data yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah bersumber pada46:

a. Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dengan jalan menelaah bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang sesuai dengan masalah yang dibahas.

46

(60)

b. Data Primer, adalah data yang diperoleh secara lansung oleh peneliti. Dalam hal ini mengenai praktik penanganan tindak pidana korupsi pada tingkat banding, di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

2. Sumber Data

Sumber data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan (Library Research) dengan cara membaca, mengutip, menyalin, dan menganalisis berbagai literatur. Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yaitu47:

a. Bahan hukum primer yaitu antara lain meliputi:

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 3. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi.

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan h

Referensi

Dokumen terkait

pendidikan masyarakat Indonesia yang semakin lama semakin tinggi dan sedikitnya ilmu yang dapat diserap oleh para pelajar di sekolah menyebabkan menjamurnya

However, in the event of requisition for 103 title or use without the prior execution of a written agreement by the Assured, such automatic termination 104

Oleh karena itu, penulis mencoba membuat website mengenai suatu kebudayaan masyarakat Betawi, dimana tanpa kita sadari kebudayaan masyarakat asli DKI Jakarta ini sudah jarang

[r]

Pendidikan mengenai pengenalan huruf dan angka kepada anak-anak sangatlah penting tetapi cara penyampaian oleh para orang tua dan guru yang terkadang tidak menarik atau kaku

Berdasarkan hasil evaluasi Administrasi, Teknis dan Harga serta kualifikasi dengan ini Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Barang / Jasa mengumumkan pemenang

Munculnya product placement pada awal scene, seperti pada scene 5 dan 6 mendukung informasi bahwa latar tempat atau lokasi dari cerita film adalah negara-negara

Pengaruh Senam Aerobik Dan Yoga Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Pada Pasien. Diabetes Mellitus Tipe II Di Poliklinik Khusus Penyakit Dalam RSUP