• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN JAKSA DALAM PROSES EKSEKUSI LAHAN GANJA SEBAGAI BARANG BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN JAKSA DALAM PROSES EKSEKUSI LAHAN GANJA SEBAGAI BARANG BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN JAKSA DALAM PROSES EKSEKUSI LAHAN GANJA SEBAGAI BARANG

BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Oleh

M.Adhe Damara K.P

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

PERAN JAKSA DALAM PROSES EKSEKUSI LAHAN GANJA SEBAGAI BARANG

BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Oleh

M.Adhe Damara K.P

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(3)

PERAN JAKSA DALAM PROSES EKSEKUSI LAHAN GANJA SEBAGAI BARANG

BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Oleh

M.Adhe Damara K.P

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

ABSTRAK

PERAN JAKSA DALAM PROSES EKSEKUSI LAHAN GANJA

SEBAGAI BARANG BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Oleh

M. Adhe Damara KP

Penemuan lahan ganja oleh aparat penegak hukum terkadang hanya menyisakan

pekerjaan rumah bagi instansi penegak hukum, khususnya Kepolisian dan

Kejaksaan, karena tidak jarang para pelaku dapat meloloskan diri, sehingga aparat

penegak hukum harus bekerja lebih untuk memusnahkan atau mengeksekusi lahan

ganja yang sudah ditemukan. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu

bagaimanakah peran Jaksa dalam proses eksekusi lahan ganja sebagai barang

bukti tindak pidana narkotika? dan apa sajakah yang menjadi faktor penghambat

peran Jaksa dalam proses eksekusi lahan ganja sebagai barang bukti tindak pidana

narkotika?

Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan

yuridis empiris. Pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan studi

lapangan, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan metode editing,

sistematisasi dan klasifikasi data. Sampel dalam penelitian ini meliputi Penyidik

pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi

Lampung, Petugas pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan)

serta Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(5)

M. Adhe Damara KP

Saran yang disampaikan dalam penulisan skripsi ini yaitu untuk mempercepat

pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

harus di antisipasi keterlambatan penerimaan putusan dari pengadilan, agar segera

mungkin Jaksa selaku eksekutor dapat melaksanakan putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut, sehingga proses eksekusi dapat

dilaksanakan tepat pada waktunya.

(6)
(7)
(8)
(9)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peran ... 16

B. Tugas dan Fungsi Jaksa ... 18

C. Pengertian Eksekusi Putusan Pengadilan ... 23

D. Pengertian dan Jenis-jenis Tindak Pidana ... 24

E. Pengertian dan Jenis-jenis Narkotika ... 27

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 34

B. Jenis dan Sumber Data ... 35

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 36

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 37

E. Analisis Data ... 38

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Peran Jaksa dalam Proses Eksekusi Lahan Ganja Sebagai Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika ... 40

(10)

A. Simpulan ... 57

B. Saran ... 58

(11)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdagangan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia tampaknya semakin marak. Narkotika, saat ini tidak hanya menjadi konsumsi bagi masyarakat di kota besar, tapi bagi masyarakat pedesaan pun narkotika tidak lagi menjadi barang langka. Ironisnya, tidak hanya di kalangan dewasa saja narkotika begitu dikenal dan dikonsumsi, tetapi di kalangan remaja dan anak di bawah umur pun juga sudah mengenal barang haram tersebut. Maraknya perdagangan dan peredaran narkotika di Indonesia tidak terlepas dari akar permasalahan narkotika itu sendiri yaitu pada tingkat produksi, seperti penanaman ganja pada lahan-lahan yang terisolir dan jauh dari pemukiman masyarakat.

Penemuan lahan ganja oleh aparat penegak hukum terkadang hanya menyisakan pekerjaan rumah bagi instansi penegak hukum, khususnya Kepolisian dan Kejaksaan, karena tidak jarang para pelaku dapat meloloskan diri, sehingga aparat penegak hukum harus bekerja lebih untuk memusnahkan atau mengeksekusi lahan ganja yang sudah ditemukan.

(12)

semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.

Berkaitan dengan eksekusi atau pemusnahan lahan ganja, maka pihak Kejaksaan sebagai eksekutor memegang peranan penting sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf b, bahwa kejaksaan berwenang melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang diimplementasikan ke dalam bentuk eksekusi. Eksekusi menurut Pasal 270 KUHAP yaitu pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.

Eksekusi menurut R. Subekti, adalah upaya dari pihak yang dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan hukum, memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan bunyi putusan. Selanjutnya menurut Subekti, pengertian eksekusi atau pelaksanaan putusan, mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan padanya dengan bantuan kekuatan hukum.1

Pelaksanaan eksekusi oleh pihak kejaksaan berlaku atas semua jenis tindak pidana yang nyata-nyata telah memperoleh atau mempunyai kekuatan hukum tetap

1

(13)

berupa putusan pengadilan. Eksekusi dilakukan khususnya menyangkut barang bukti dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Eksekusi terhadap barang bukti tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Negara, dilelang ataupun dimusnahkan.

Ratna Nurul Alfiah mengutip pendapat Andi Hamzah yang memberikan pengertian barang bukti, bahwa barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik.2

Barang bukti dikenal juga dengan istilah benda sitaan karena barang bukti diperoleh melalui proses penyitaan oleh pejabat penyidik, berfungsi untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Barang bukti mempunyai manfaat atau fungsi dan nilai dalam upaya pembuktian, walaupun benda sitaan tersebut secara formal bukan berstatus sebagai alat bukti yang sah, bahkan termasuk benda mati yang tidak bisa berbicara.

Khusus barang bukti yang dimusnahkan harus mempunyai kriteria yaitu dilarang untuk diedarkan, hal ini dijelaskan dalam Pasal 46 ayat (4) KUHAP yang berbunyi : “Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan”.

2

(14)

Pemusnahan dengan cara dibakar terhadap barang bukti dilakukan untuk mencegah timbulnya resiko penyalahgunaan barang bukti/sitaan, misalnya narkoba oleh pihak yang tidak berwenang. Pemusnahan barang bukti ganja, seperti yang terjadi di Kepolisian Resor Lampung Selatan sebagai berikut :

Kepolisian Resor Lampung Selatan, Senin, 16 September 2013, memusnahkan 5,141 ton ganja kering dan sejumlah jenis narkoba lain senilai lebih dari Rp 20 miliar. “Pemusnahan dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan barang bukti oleh polisi dan masyarakat,” kata Kepala Polres Lampung Selatan Ajun Komisaris Besar Bayu Aji. Selain ganja kering, polisi juga memusnahkan 6,983 kilogram narkoba jenis sabu-sabu dan ratusan ribu butir pil eramin five, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Happy Five. Sebelum dimusnahkan dengan cara dibakar di lapangan Cipta Karya Kalianda, terlebih dahulu diuji keasliannya di hadapan jaksa dan pejabat Pengadilan Negeri Kalianda. “Tersangka juga dihadirkan, karena harus sesuai aturan yang berlaku,” ujar Bayu.3

Pemusnahan barang bukti hasil tindak pidana narkoba (narkotika dan psikotropika) di atas hanyalah sebagian kecil dari hasil tindak pidana narkotika dan psikotropika, karena tidak sedikit barang haram dalam bentuk ganja yang berhasil diselundupkan oleh para kurir melalui Provinsi Lampung (sebagai gerbang menuju pulau Jawa) tidak dapat diamankan oleh aparat penegak hukum, ketika razia dilaksanakan. Pemusnahan ganja harus dilakukan sampai ke akar-akarnya sehingga peredaran daun haram tersebut dapat dimaksimalkan sedemikian rupa. Pemusnahan tersebut harus berasal dari akar permasalahannya yaitu ladang ganja yang banyak terdapat di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, seperti diberitakan, pada tanggal 13 Februari 2013 yaitu:

"Ada sekitar 30 kilogram yang dia bawa. Modus mereka membawa ganja tersebut turun dari pegunungan malam hari," ungkap Raja. Curamnya medan dan letak ladang yang saling berjauhan dari pegunungan satu ke pegunungan lain menjadi kendala pihaknya dalam menumpas ladang ganja yang ada di wilayah Aceh."Ini

3

(15)

baru satu desa, belum lagi enam desa lainnya yang disinyalir terdapat ladang," tutur Raja.

Pengungkapan ladang ganja di Aceh ini bukan kali pertama dilakukan aparat. Sebelumnya, dalam operasi bersama antara Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polda Aceh Desember 2011, aparat menemukan 155 Ha ladang ganja di kawasan Lamteuba. Ladang tersebut merupakan ladang terbesar di dunia mengalahkan pengungkapan ladang ganja di California sebesar 122 Ha, Juli 2011 lalu.4

Proses eksekusi lahan ganja sebagai barang bukti tindak pidana narkotika oleh penyidik kejaksaan, tidak jarang menemui kendala yang mampu menghambat proses eksekusi tersebut. Misalnya, medan yang harus ditempuh karena para pelaku menanam ganja pada daerah-daerah pegunungan dan hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki, sehingga proses eksekusi tidak jarang melewati batas yang telah ditetapkan atau dengan kata lain sering terlambat.

Berdasarkan latar belakang, jelas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Peran Jaksa dalam Proses Eksekusi Lahan Ganja Sebagai Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah peran Jaksa dalam proses eksekusi lahan ganja sebagai barang bukti tindak pidana narkotika?

4

(16)

b. Apa sajakah yang menjadi faktor penghambat peran Jaksa dalam proses eksekusi lahan ganja sebagai barang bukti tindak pidana narkotika?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Pidana yang ruang lingkupnya membahas tentang peran Jaksa dalam proses eksekusi lahan ganja sebagai barang bukti tindak pidana narkotika dan faktor penghambat peran Jaksa dalam proses eksekusi lahan ganja sebagai barang bukti tindak pidana narkotika.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penulisan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas mengenai: a. Peran Jaksa dalam proses eksekusi lahan ganja sebagai barang bukti tindak

pidana narkotika.

b. Faktor penghambat peran Jaksa dalam proses eksekusi lahan ganja sebagai barang bukti tindak pidana narkotika.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis

(17)

b. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan di lingkungan instansi Kejaksaan, khususnya mengenai eksekusi lahan ganja sebagai barang bukti tindak pidana narkotika.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan, tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan.5

Soerjono Soekanto,6 lebih lanjut menyatakan bahwa suatu peranan dapat dijabarkan ke dalam dasar-dasar sebagai berikut :

a. Peranan yang ideal (ideal role).

b. Peranan yang seharusnya (expected role).

c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role). d. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role).

5 Soerjono Soekanto. Sosiologi Hukum. Jakarta. Djambatan. 1993. hlm. 268

6 Soerjono Soekanto. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 2006.

(18)

Berkaitan dengan penegakan hukum, peranan ideal dan peranan yang seharusnya adalah memegang peranan yang dikehendaki dan diharapkan oleh hukum dan telah ditetapkan oleh undang-undang, sedangkan peran yang dianggap oleh diri sendiri dan peran yang sebenarnya dilakukan adalah peran yang telah mempertimbangkan antara kehendak hukum yang tertulis dengan kenyataan-kenyataan, dalam kehendak hukum harus menentukan kemampuannya berdasarkan kenyataan yang ada.

Peran seorang jaksa dapat dilihat dari tugas dan wewenang yang dimilikinya. Tugas dan wewenang Jaksa, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, disebutkan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan, antara lain :

(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang;

(19)

(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Pasal 13 KUHAP, menentukan bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 14 KUHAP, menentukan bahwa penuntut umum mempunyai wewenang : a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau

penyidik pembantu;

(20)

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d. Membuat surat dakwaan;

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g. Melakukan penuntutan;

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

j. Melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 15 KUHAP, menentukan bahwa penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut ketentuan undang-undang.

(21)

tertuang dalam suatu produk perundang-undangan dimaksudkan dalam rangka mengatur tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara agar lebih tertib dan berkepastian hukum.

Soerjono Soekanto,7 berpendapat bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum dipengaruhi beberapa faktor :

1. Faktor hukumnya sendiri atau peraturan itu sendiri. Contohnya, tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang serta ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.

2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Contohnya, keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Contohnya, dapat dianut jalan pikiran sebagai berikut : yang tidak ada, diadakan yang baru betul; yang rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan; yang kurang, ditambah; serta yang macet, dilancarkan.

4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan. Contohnya, masyarakat tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya; tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik, dan lain sebagainya.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Contohnya, nilai ketertiban dan nilai ketentraman, nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan, nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

Lahan adalah tanah terbuka/tanah garapan. Lahan diartikan sebagai suatu tempat terbuka di permukaan bumi yang dimanfaatkan oleh manusia8. Lahan dalam

7 Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Edisi 1 Cetakan

Ketujuh. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 8-11.

8

(22)

penelitian ini merupakan lahan yang ditanamin ganja, baik itu milik pribadi, orang lain, maupun yang tumpang tindih dengan tanaman produksi.

2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto, kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris.9

Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Peranan merupakan seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat atau bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.10

b. Jaksa menurut Pasal 6 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

c. Eksekusi adalah pelaksanaan terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.11 

d. Lahan adalah tanah terbuka, tanah garapan. Lahan diartikan sebagai suatu tempat terbuka di permukaan bumi yang dimanfaatkan oleh manusia.12

9 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press. 1984. hlm. 124. 10

Surayin. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung. Yarsif Watamfone. 2007. hlm. 427

11 Marwan dan Jimmy. Kamus Hukum (Dictionary Of Law Complete Edition). Surabaya. Reality

Publisher. 2009. hlm.188.

12

(23)

e. Alat bukti adalah apa saja yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu, maksudnya segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan benar tidaknya tuduhan atau gugatan.13 

f. Barang rampasan di dalam Pasal 46 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan barang bukti yang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara. Barang bukti rampasan yaitu barang bukti yang diputus/ditetapkan pengadilan dirampas untuk negara (dimanfaatkan untuk kepentingan negara atau dilelang atau dimusnahkan. 

g. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.14 

h. Narkotika berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini. 

13 Sumarsono. Kamus Hukum. Jakarta. Rineka Cipta. 2005. hlm. 50 14

(24)

E. Sistematika Penulisan

Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat dalam penulisan skripsi, kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengaturan dalam suatu pembahasan tentang pokok permasalahan mengenai pengertian peran, tugas dan fungsi Jaksa, pengertian eksekusi, pengertian dan jenis-jenis tindak pidana, serta pengertian dan jenis-jenis narkotika.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(25)

peran Jaksa dalam proses eksekusi lahan ganja yang tumpang tindih dengan tanaman produksi sebagai barang bukti tindak pidana narkotika dan faktor penghambat peran Jaksa dalam proses eksekusi lahan ganja yang tumpang tindih dengan tanaman produksi sebagai barang bukti tindak pidana narkotika. V. PENUTUP

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Peran

Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa peranan dapat diidentikkan sebagai

kewajiban atau hak. Kewajiban merupakan peranan (role) imperatif karena tidak

boleh tidak dilaksanakan, sedangkan hak adalah peranan (role) yang fakultatif

sifatnya karena boleh tidak dilaksanakan.15

Menurut Soerjono Soekanto, peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan, tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan.16

Lebih lanjut, Soerjono Soekanto17, mengatakan bahwa peranan mencakup 3 (tiga)

hal yaitu :

a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian

peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan

kemasyarakatan.

b. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai suatu organisasi.

c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu penting bagi struktur organisasi kemasyarakatan.

15

Philipus M. Hadjon. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. 1993. hlm. 3.

16 Soerjono Soekanto. Loc cit. 17

(27)

Ditambahkan oleh Soerjono Soekanto, bahwa peranan merupakan aspek dinamis

kedudukan atau satatus, peranan adalah perilaku yang diharapkan oleh pihak lain

dalam melaksanankan hak dan kewajiban sesuai dengan status dan peranan tidak

dapat dipisahkan karena tidak ada peranan tanpa status dan tidak ada status

peranan.18

Peran sosial adalah pelaksanaan hak dan kewajiban seseorang sesuai dengan

status sosialnya. Antara peran dan status sudah tidak dapat dipisahkan lagi. Tidak

ada peran tanpa status sosial atau sebaliknya. Peran sosial bersifat dinamis

sedangkan status sosial bersifat statis. Dalam masyarakat, peran dianggap sangat

penting karena peran mengatur perilaku seseorang berdasarkan norma-norma

yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian pola peran sama dengan pola

perilaku.

Soerjono Soekanto, 19 menjabarkan pola peran dalam masyarakat dapat ke dalam 4

(empat) dasar, berikut ini.

a. Peranan yang ideal (ideal role).

b. Peranan yang seharusnya (expected role).

c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role).

d. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role).

Gross, Mason, McEachem, mendefinisikan peranan adalah seperangkat

harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu.

Sedangkan Margono Slamet, berpendapat bahwa peranan adalah mencakup

18 Soerjono Soekanto. Sosiologi suatu Pengantar. Ibid. hlm. 14 19

(28)

tindakan ataupun perilaku yang perlu dilaksanakan oleh seseorang yang

menempati suatu posisi di dalam status sosial.20

Peran menurut Surayin, merupakan seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki

oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat atau bagian dari tugas utama

yang harus dilaksanakan.21

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa peran merupakan seperangkat

norma atau aturan yang berisi kewajiban yang dimiliki oleh seseorang dalam

menjalankan dan melaksanakan tugas serta kedudukannya pada tingkat sosial

masyarakat. Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan

posisi dalam pergaulan masyarakat. Posisi seseorang dalam masyarakat

merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu dalam masyarakat.

Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu

proses. Jadi, seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta

menjalankan suatu peranan. Berkaitan dengan penelitian ini, maka peranan yang

dimaksud yaitu peran Jaksa dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewajibannya

pada sistem peradilan pidana, khususnya dalam proses eksekusi lahan ganja.

B. Tugas dan Fungsi Jaksa

Tugas dan wewenang Jaksa, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 30

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, mengenai

tugas dan wewenang Kejaksaan, antara lain :

20 M. Linggar Anggoro. Teori dan Profesi Kehumasan. Jakarta. Bumi Aksara. 2002. hlm. 79. 21

(29)

(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang- undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat

dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Berdasarkan uraian pasal di atas, terlihat bahwa Jaksa mempunyai 2 (dua)

kewenangan yaitu sebagai penyidik dan penuntut umum baik dalam kasus pidana

maupun perdata. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa Kejaksaan merupakan

salah satu lembaga yang paling banyak disoroti ketika berbicara mengenai

penegakan hukum di Indonesia. Kejaksaan sebagai ujung tombak penegakan

hukum seringkali dituding tidak mampu melakukan pengawasan secara maksimal

dan pembenahan atas aparat penegak hukum di internal kejaksaan sendiri masih

minim. Begitu banyak berita di masyarakat mengenai “permainan” para jaksa

dalam pemeriksaan suatu perkara, mulai dari penyimpangan perilaku hingga

(30)

perundang-undangan. Sayangnya, kejaksaan sebagai institusi dipandang tidak mampu oleh

masyarakat untuk membenahi permasalahan ini.

Selanjutnya di dalam Pasal 13, 14 dan 15 KUHAP, disebutkan wewenang Jaksa

antara lain :

Pasal 13 KUHAP menentukan bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang diberi

wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan penetapan hakim.

Berdasarkan uraian pasal di atas, dapat diketahui bahwa kejaksaan wajib

melaksanakan tugasnya dengan prakarsa sendiri dan membangun serta

mengembangkan kerja sama dengan badan Negara terutama di bidang penegakan

hukum dengan dilandasi semangat kebersamaan, keterpaduan, keterbukaan, dan

keakraban untuk mencapai keberhasilan.

Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa

Penuntut umum mempunyai wewenang :

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan

memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan

lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d. Membuat surat dakwaan;

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g. Melakukan penuntutan;

(31)

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

j. Melaksanakan penetapan hakim.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa Jaksa dalam Sistem Peradilan

Pidana di Indonesia mempunyai kedudukan sebagai aparat penegak hukum kedua

setelah aparat Kepolisian, yaitu untuk melakukan penyidikan terhadap kasus yang

dilimpahkan dari Kepolisian (setelah berkas P21 lengkap dan memenuhi syarat),

kemudian melakukan pelimpahan perkara sampai pada proses penuntutan di

hadapan persidangan di Pengadilan yang berwenang. Selama proses penyidikan di

tingkat Kejaksaan, maka Jaksa wajib dan menghormati hak-hak tersangka.

Pasal 15 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa

penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah

hukumnya menurut ketentuan undang-undang.

Berdasarkan uraian pasal tersebut, dapat diketahui bahwa tugas dan fungsi Jaksa

dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yaitu sebagai penyidik dan penuntut

umum dalam segala bentuk tindak pidana yang terjadi. Di mana, proses

penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa dalam perkara tindak

pidana didasarkan pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dilakukan oleh

pihak Kepolisian. Berdasarkan BAP tersebut, maka pihak Kejaksaan melakukan

penyidikan kembali dengan mencari alat bukti yang sah dan menghadirkan

saksi-saksi yang kompeten, kemudian membuat surat dakwaan, melimpahkan perkara

dan melakukan penuntutan perkara tersebut di hadapan sidang pada Pengadilan

(32)

Penuntut Umum yang menerima kembali berkas perkara yang telah dilengkapi

oleh penyidik dan harus segera menentukan apakah berkas perkara tersebut

memenuhi syarat untuk penuntutan serta untuk dilimpahkan ke Pengadilan

Negeri.

Jika Penuntut Umum berpendapat bahwa berkas perkara telah memenuhi syarat

untuk dilimpahkan ke Pengadilan (P.21) maka dibuatlah surat dakwaan untuk

dilimpahkan ke Pengadilan. Surat dakwaan yang dibuat Penuntut Umum harus

memenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 143 Ayat (2) Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana yang berbunyi :

Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan mereka.

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat pidana yang dilakukan.

Selanjutnya, Pasal 144 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan

bahwa surat dakwaan dapat diubah oleh Penuntut Umum asal saja hal tersebut

dilakukan selambat-lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai dan perubahan

dakwaan yang demikian hanya dapat dilakukan 1 kali saja.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dianalisa bahwa penuntutan dilakukan

oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan yaitu dimulai dari menerima dan

memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu,

mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan, dengan

(33)

(berupa P 21), memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau

penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya

dilimpahkan oleh penyidik, maka Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan

dan melimpahkan perkara ke Pengadilan, di mana surat dakwaan yang dibuat

Penuntut Umum harus memenuhi syarat sesuai dengan yang diatur dalam Pasal

143 KUHAP.

C. Pengertian Eksekusi Putusan Pengadilan

Menurut Kamus Hukum (Dictionary of Law Complete Edition), eksekusi adalah

pelaksanaan terhadap suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap.22 Eksekusi menurut ketentuan Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, yaitu pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan

salinan surat putusan kepadanya. Sedangkan di dalam Pasal 11 angka 11 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ditentukan bahwa putusan pengadilan

adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang

dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam

hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dapat dikatakan bahwa pengertian eksekusi putusan pengadilan adalah suatu

pelaksanaan atas apa-apa yang diucapkan/dinyatakan hakim dalam sidang

pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

22

(34)

Putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP bisa memuat 2 hal,

yaitu terkait pidana pokok dan pidana tambahan, terhadap badan terdakwa bisa

dikenai pidana pokok sedangkan terhadap barang bukti dikenakan pidana

tambahan berupa perampasan, sehingga proses eksekusinya terhadap badan

terdakwa bisa dikenai pidana kurungan, penjara atau pidana mati, sedangkan

terhadap barang bukti bisa dikenai:

a. Dikembalikan kepada yang berhak,

b. Dikenai pidana perampasan, apakah dinyatakan dirampas untuk dimusnahkan

atau dirampas untuk negara yang pelaksanaanya dilakukan pelelangan. 

D. Pengertian dan Jenis-jenis Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana menurut Bambang Poernomo, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum. Beberapa Sarjana Hukum Pidana di Indonesia menggunakan istilah yang berbeda-beda menyebutkan kata “Pidana”, ada beberapa sarjana yang menyebutkan dengan tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik.23

Menurut Jonkers dalam Bambang Poernomo, tindak pidana adalah suatu kelakuan

yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang dan

dapat dipertanggungjawabkan.24

Perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan melanggar hukum pidana dan diancam dengan hukuman. Peristiwa pidana adalah suatu kejadian yang

23 Bambang Poernomo. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta. Ghalia Indonesia. 1997. hlm. 86 24

(35)

mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai sanksi pidana (hukuman).25

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan diajukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.26

Menurut D. Simons dalam C.S.T. Kansil, Peristiwa pidana itu adalah “Een Strafbaargestelde, Onrechtmatige, Met Schuld in Verband Staande handeling Van een Toerekenungsvatbaar persoon”. Terjemahan bebasnya adalah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang

mampu bertanggungjawab.27

Menurut Simons, 28 unsur-unsur peristiwa pidana adalah:

a. Perbuatan manusia (handeling)

b. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum (wederrechtelijk)

c. Perbuatan itu diancam dengan pidana (Strafbaar gesteld) oleh Undang-undang

d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab

(Toerekeningsvatbaar)

e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (Schuld) si pembuat.

Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana harus

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.

b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang.

Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.

25

J.B. Daliyo. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta. Prenhalindo. 2001. hlm. 93 26 Moeljatno. Op cit. hlm. 54.

27 C.S.T. Kansil. Pokok-pokok Hukum Pidana. Jakarta. Pradnya Paramita. 2004. hlm. 37 28

(36)

d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu dicantumkan sanksinya.29

Berdasarkan pendapat para sarjana mengenai pengertian tindak pidana/peristiwa

pidana dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana adalah harus ada sesuatu

kelakuan (gedraging), kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-undang

(wettelijke omschrijving), kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak, kelakuan itu

dapat diberatkan kepada pelaku, dan kelakuan itu diancam dengan hukuman.

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Menurut J.B. Daliyo,30 perbuatan pidana dibedakan menjadi beberapa macam,

yaitu:

a. Perbuatan pidana (delik) formal adalah suatu perbuatan yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal undang-undang yang bersangkutan.

b. Delik material adalah suatu pebuatan pidana yang dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu.

c. Delik dolus adalah suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja. d. Delik culpa adalah perbuatan pidana yang tidak sengaja, karena kealpaannya

mengakibatkan matinya seseorang.

e. Delik aduan adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang lain. Jadi sebelum ada pengaduan belum merupakan delik.

f. Delik politik adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan kepada keamanan negara baik secara langsung maupun tidak langsung.

J.B. Daliyo, 31 lebih lanjut menyatakan bahwa tiga jenis peristiwa pidana di dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 yaitu:

1. Kejahatan (Crimes)

2. Perbuatan buruk (Delict)

3. Pelanggaran (Contravention)

29 J.B. Daliyo. Op cit. hlm. 93 30 Ibid. hlm. 94.

31

(37)

Sedangkan menurut KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dua jenis yaitu “Misdrijf” (kejahatan) dan “Overtreding” (pelanggaran).

Selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan

praktek dibedakan pula antara lain dalam:

a. Delik Commissionis dan Delikta Commissionis.

Delik Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana. Delikta Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) pernuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana. Delikta Commissionis adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat.

b. Ada pula yang dinamakan delikta Commissionis Peromissionem Commissa, yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula

Delik Dolus dan Delik Culpa

Bagi delik dolus harus diperlukan adanya kesengajaan, misalnya Pasal 338 KUHP, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal 359 KUHP. dilakukan dengan tidak berbuat.

c. Delik Biasa dan Delik yang dapat dikualifisir (Dikhususkan) d. Delik menerus dan tidak Menerus.32

Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat diketahui ada beberapa pengertian

tindak pidana maupun perbuatan pidana, tetapi pada dasarnya memmpunyai

pengertian, maksud yang sama yaitu perbuatan yang melawan hukum pidana dan

diancam dengan hukuman/sanksi pidana yang tegas.

E. Pengertian dan Jenis-jenis Narkotika

Moh. Taufik Makarao, Suhajril, dan Moh. Zakky, menyatakan bahwa secara

umum yang dimaksud dengan Narkotika adalah sejenis zat yang dapat

32

(38)

menimbulkan pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu

dengan cara memasukkan kedalam tubuh.33

Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika, mendefinisikan narkotika adalah zat atau obat yang berasal

dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang

dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam

undang-undang ini.

Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa narkotika merupakan

obat-obatan yang terbuat dari zat-zat campuran bahan-bahan pilihan tertentu dan diolah

sedemikian rupa, yang apabila disalahgunakan penggunaannya dapat

menimbulkan penurunan kesadaran diri karena terbius, penurunan kondisi tubuh

karena efeknya mempengaruhi susunan syaraf pusat, dan dapat menimbulkan

ketergantungan.

Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, maka jenis-jenis narkotika berdasarkan golongan dapat dijabarkan di

bawah ini:

Daftar Narkotika Golongan I

1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah

dan jeraminya, kecuali bijinya.

(39)

2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah

tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar

untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya. 3. Opium masak terdiri dari :

a. Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

b. Jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.

c. Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari

keluargaErythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.

5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk

serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga

Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.

6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.

7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.

8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.

9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.

10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.

11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)- 6, 14-endoeteno-oripavina

12. Acetil – alfa – metil fentanil : N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida

13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida

14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida

15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida

16. Beta-hidroksi-3-metilfentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4

piperidil]propio-nanilida.

17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina

18. Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina

19. Heroina : Diacetilmorfina

20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4- propionilpiperidina

21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida

22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida

23. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)

24. Para-fluorofentanil : 4‘-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida

25. PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester)

(40)

27. BROLAMFETAMINA, nama lain DOB : ( })-4-bromo-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina

28. DET : 3-[2-( dietilamino )etil] indol

29. DMA : ( + )-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina

30. DMHP : 3-(1 ,2-dimetilheptil)-7 ,8,9, 10-tetrahidro- 6,6,9-trimetil-6H- dibenzo[b, d]piran-1-ol

31. DMT : 3-[2-( dimetilamino )etil] indol

32. DOET : ( })-4-etil-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina

33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-etil-1-fenilsikloheksilamina

34. ETRIPTAMINA : 3-(2aminobutil) indole

35. KATINONA : (-)-(S)- 2-aminopropiofenon

36. (+)-LISERGIDA, nama lain LSD, LSD-25 : 9,10-didehidro-N, N-dietil-6-metilergolina-8 β –karboksamida

37. MDMA : ( })-N, α -dimetil-3,4- (metilendioksi)fenetilamina

38. Meskalina : 3,4,5-trimetoksifenetilamina

39. METKATINONA : 2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on

40. 4-metilaminoreks : ( })-sis- 2-amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina

41. MMDA : 5-metoksi- α -metil-3,4- (metilendioksi)fenetilamina

42. N-etil MDA : ( })-N-etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamin

43. N-hidroksi MDA : ( })-N-[ α -metil-3,4- (metilendioksi) fenetil] hidroksilamina

44. Paraheksil : 3-heksil-7,8,9, 10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H- dibenzo [b,d] piran-1 ol

45. PMA : p-metoksi- α -metilfenetilamina

46. Psilosina, psilotsin : 3-[2-( dimetilamino )etil]indol-4-ol

47. PSILOSIBINA : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat

48. ROLISIKLIDINA, nama lain PHP,PCPY : 1-( 1- fenilsikloheksil)pirolidina

49. STP, DOM : 2,5-dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina

50. TENAMFETAMINA, nama lain MDA : α

-metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina

51. TENOSIKLIDINA, nama lain TCP : 1- [1-(2-tienil) sikloheksil]piperidina

52. TMA : ( })-3,4,5-trimetoksi- α -metilfenetilamina

53. AMFETAMINA : ( })- α –metilfenetilamina

54. DEKSAMFETAMINA : ( + )- α –metilfenetilamina

55. FENETILINA : 7-[2-[( α -metilfenetil)amino]etil]teofilina

56. FENMETRAZINA : 3- metil- 2 fenilmorfolin

57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-( 1- fenilsikloheksil)piperidina

58. LEVAMFETAMINA, nama lain levamfetamina : (- )-(R)- α

-metilfenetilamina

59. Levometamfetamina : ( -)- N, α -dimetilfenetilamina

60. MEKLOKUALON : 3-( o-klorofenil)- 2-metil-4(3H)- kuinazolinon

61. METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α –dimetilfenetilamina

62. METAKUALON : 2- metil- 3-o-to lil-4(3H)- kuinazolinon

63. ZIPEPPROL : α - ( α metoksibenzil)-4-( β-metoksifenetil )-1- piperazinetano

64. Opium Obat

(41)

Daftar Narkotika Golongan II

1. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4- difenilheptana

2. Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4- propionoksipiperidina

3. Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol

4. Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina

5. Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-1il)etil]-4-(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N- fenilpropanamida

6. Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina

7. Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4- karboksilat etil ester

8. Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana

9. Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4- karboksilat etil ester

10. Benzilmorfina : 3-benzilmorfina

11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina

12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol

13. Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina

14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4- difenilheptana

15. Bezitramida : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-

propionil-1-benzimidazolinil)-piperidina

16. Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1- pirolidinil)butil]-morfolina

17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida

18. Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2’-tienil)-1-butena

19. Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)- 4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

20. Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4- fenilisonipekotik

21. Dihidromorfina

22. Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol

23. Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat

24. Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena

25. Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat

26. Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona

27. Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6s,14-diol

28. Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.

29. Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena

30. Etokseridina : asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-

4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

31. Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5- nitrobenzimedazol

32. Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4 fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester)

33. Hidrokodona : Dihidrokodeinona

34. Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4- karboksilat etil ester

(42)

36. Hidromorfona : Dihidrimorfinona

37. Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3- heksanona

38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona

39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida

40. Fenazosina : 2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7- benzomorfan

41. Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan

42. Fenoperidina : asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-

fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

43. Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina

44. Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5- nitrobenzimidazol

45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima

46. Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan

47. Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4- (1pirolidinil)butil] morfolina

48. Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan

49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan

50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona

51. Metadona intermediat : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana

52. Metazosina : 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan

53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina

54. Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina

55. Metopon : 5-metildihidromorfinona

56. Mirofina : Miristilbenzilmorfina

57. Moramida intermediat : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana karboksilat

58. Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

59. Morfina-N-oksida

60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-Noksida 61. Morfina

62. Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina

63. Norasimetadol : ( })-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-difenilheptana

64. Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan

65. Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona

66. Normorfina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina

67. Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona

68. Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona

69. Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona

70. Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina

71. Petidina intermediat B : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

72. Petidina intermediat C : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat

73. Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

(43)

75. Piritramida : asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1- piperidino)-piperdina-4-karboksilat amida

76. Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4- propionoksiazasikloheptana

77. Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester

78. Rasemetorfan : ( })-3-metoksi-N-metilmorfinan

79. Rasemoramida : ( })-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)- butil]-morfolina

80. Rasemorfan : ( })-3-hidroksi-N-metilmorfinan

81. Sufentanil : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil -4- piperidil] propionanilida

82. Tebaina

83. Tebakon : Asetildihidrokodeinona

84. Tilidina : (

})-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1-karboksilat

85. Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina

86. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas.

Daftar Narkotika Golongan III

1. Asetildihidrokodeina

2. Dekstropropoksifena : α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2- butanol propionat

3. Dihidrokodeina

4. Etilmorfina : 3-etil morfina 5. Kodeina : 3-metil morfina

6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina 7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina

8. Norkodeina : N-demetilkodeina 9. Polkodina : Morfoliniletilmorfina

10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2- piridilpropionamida

11. Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2- trimetilpropil]-6,14-endo-entano-6,7,8,14- tetrahidrooripavina

12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas

13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika 14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika34

34

(44)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara

pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif

dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal

yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan,

doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan

dengan permasalahan yaitu proses eksekusi lahan ganja yang tumpang tindih

dengan tanaman produksi sebagai barang bukti tindak pidana narkotika.

Pendekatan masalah secara yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh

pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang

sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur

yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini bukanlah

memperoleh hasil yang dapat diuji melalui statistik, tetapi penelitian ini

merupakan penafsiran subjektif yang merupakan pengembangan teori-teori dalam

kerangka penemuan-penemuan ilmiah.35

Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum

dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan,

(45)

baik berupa pendapat, sikap dan perilaku hukum yang didasarkan pada

identifikasai hukum dan efektifitas hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut diperoleh. Dalam penelitian

ini data yang diperoleh berdasarkan data lapangan dan data pustaka. Jenis data

pada penulisan ini menggunakan dua jenis data, yaitu :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama.36

Dengan demikian data primer merupakan data yang diperoleh dari studi lapangan

yang tentunya berkaitan dengan pokok penulisan. Penulis akan mengkaji dan

meneliti sumber data yang diperoleh dari hasil penelitian di Kejaksaan Tinggi

Lampung dan praktisi/akademisi.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan

dengan melakukan studi dokumen, arsip dan literatur-literatur dengan

mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep dan

pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok penulisan.

Jenis data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

36

(46)

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat terdiri dari :

1) Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 jo Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.

4) Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik

Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

bahan hukum primer, dalam hal ini yaitu terdiri dari Peraturan Pemerintah

Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor

27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, terdiri

dari buku, jurnal, hasil penelitian, kamus bahasa Indonesia, kamus hukum dan

kamus bahasa Inggris, berita di koran, serta penelusuran website.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga.

(47)

Kota Bandar Lampung, pegawai pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara

(Rupbasan), Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung dan Dosen Pidana Fakultas

Hukum Universitas Lampung. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dari

populasi, penulis melakukan metode wawancara kepada responden yang telah

dipilih sebagai sampel yang dianggap dapat mewakili seluruh responden.

Metode penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti yaitu menggunakan

Metode Proporsional Purposive Sampling, yaitu penarikan sampel yang

dilakukan berdasarkan penunjukan yang sesuai dengan wewenang atau kedudukan

sampel. Adapun sampel yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

a. Penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung = 1 orang

b. Pegawai Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) = 1 orang

c. Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung = 1 orang

d. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang

Jumlah = 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan

Yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan baik dari bahan

hukum primer berupa undang-undang dan peraturan pemerintah maupun dari

(48)

dengan cara mencatat dan mengutip buku dan literatur yang berhubungan

dengan penulisan ini.

b. Studi Lapangan

Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden untuk memperoleh

data tersebut dilakukan studi lapangan dengan cara menggunakan metode

wawancara.

2. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari data skunder maupun data primer kemudian dilakukan

metode sebagai berikut :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah

masih terdapat kekurangan ataupun apakah data tersebut sesuai dengan

penulisan yang akan dibahas.

b. Sistematisasi, yaitu data yang diperoleh dan telah diediting kemudian

dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara

sistematis.

c. Klasifikasi data, yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara

mengklasifikasikan, menggolongkan, dan mengelompokkan masing-masing

data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga mempermudah

pembahasan.

E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif,

(49)

dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Kemudian hasil analisis tersebut

dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir

yang didasarkan pada realitas yang bersifat khusus yang kemudian disimpulkan

(50)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai peran jaksa dalam proses

eksekusi lahan ganja sebagai barang bukti tindak pidana narkotika, maka dapat

ditarik beberapa simpulan sebagai berikut :

1. Peran Jaksa dalam proses eksekusi lahan ganja sebagai barang bukti tindak

pidana narkotika dimulai ketika petikan isi putusan pengadilan menyatakan

bahwa lahan ganja tersebut dimusnahkan, maka Panitera membuat dan

menandatangani surat keterangan bahwa putusan telah memperoleh kekuatan

hukum yang tetap, kemudian Jaksa membuat surat perintah menjalankan

putusan pengadilan untuk melakukan eksekusi. Pihak Kepolisian dan

Kejaksaan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri juga dapat melakukan

eksekusi atau pemusnahan lahan ganja sebelum memperoleh kekuatan hukum

tetap, yaitu setelah memperoleh ijin pemusnahan dari pengadilan.

2. Faktor penghambat peran jaksa dalam proses eksekusi lahan ganja sebagai

barang bukti tindak pidana narkotika yaitu medan atau area lahan ganja yang

sulit ditempuh dengan menggunakan kendaraan, baik kendaraan roda dua

maupun kendaraan roda empat, serta harus ditempuh dengan berjalan kaki,

terbatasnya sarana dan prasarana berupa dana operasional bagi aparat

(51)

pemusnahan, serta lambatnya proses penangan perkara di tingkat penyidik dan

memisahkan beberapa batang ganja yang sudah kering untuk dijadikan barang

bukti yang akan diberikan oleh pihak kejaksaan.

B. Saran

1. Untuk mempercepat pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap harus diantisipasi keterlambatan penerimaan putusan

dari pengadilan, agar segera mungkin Jaksa selaku eksekutor dapat

melaksanakan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut

Referensi

Dokumen terkait

Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah di bidang Pengendalian Pencemaran meyakini bahwa program-program yang telah disusun dan sudah dijalankannya sesuai

Permasalahan yang terjadi masyarakat kurang mengerti jumlah debit air yang telah digunakan dikarenakan masyarakat tidak bisa selalu memantau penggunaan air setiap

Penelitian ini dilakukan di 3 stasiun pengolahan kelapa sawit yaitu di stasiun loading ramp, stasiun rebusan dan stasiun klarifikasi, dimana ketiga stasiun ini sangat rentan

Kendala pelaksanaan praktikum biologi yang ditemukan, yaitu (1) fasilitas laboratorium tidak lengkap, banyak peralatan yang rusak, bahan yang kadaluwarsa, laboratorium digunakan

LAMPIRAN SPESIFIKASI MOTOR STEPPER

Pada diagram diatas terdiri dari 2 aktor 4 use case. Dari informasi inilah akan diolah oleh aplikasi sehingga menampilkan arah kiblat dan jadwal waktu shalat kepada

Rencana Strategis Komisi Pemilihan Umum Kota Bandung disusun dengan berpedoman pada Rencana Strategis Komisi Pemilihan Umum 2015-2019 dan Rencana Pembangunan Jangka

Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai coklat.Wikipedia Jadi rancangan wisata edukasi kakao adalah proses merancang fasilitas yang melibatkan