• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOORDINASI OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) DAN BANK INDONESIA (BI) DALAM UPAYA PENANGANAN BANK BERMASALAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KOORDINASI OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) DAN BANK INDONESIA (BI) DALAM UPAYA PENANGANAN BANK BERMASALAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG RI NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

Wana Sentosa

ABSTRAK

KOORDINASI OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) DAN BANK INDONESIA (BI)

DALAM UPAYA PENANGANAN BANK BERMASALAH BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG RI NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

Oleh:

WANA SENTOSA

Krisis perbankan pada tahun 1997 yang menyebabkan dilikuidasinya 16 bank bermasalah mendorong perlunya fokus pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Fokus pengawasan tersebut ditandai dengan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Demi terjalinnya fungsi yang terintegrasi dalam penanganan bank bermasalah diperlukan koordinasi dengan lembaga jasa keuangan lainnya seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Bank Indonesia (BI). Pokok bahasan dalam penelitian ini mengenai fungsi, tugas, dan wewenang yang dimiliki OJK, LPS, dan BI serta koordinasi kerjasama yang dilakukan OJK dengan LPS dan BI dalam penanganan bank bermasalah.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif terapan dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data yaitu melalui studi pustaka. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, klasifikasi data, dan sistematisasi data. Selanjutnya, dianalisis secara kualitatif.

(2)

Wana Sentosa

koordinasi, OJK melakukan pemeriksaan terhadap tingkat kesehatan bank berdasarkan standar kesehatan bank untuk menentukan bank dalam keadaan bermasalah atau tidak. Kemudian jika ada indikasi bank bermasalah, OJK bersama Menteri Keuangan, LPS, dan BI melakukan koordinasi salah satunya mengenai penanganan bank bermasalah melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

(3)
(4)

KOORDINASI OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DENGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS) DAN BANK INDONESIA (BI) DALAM UPAYA PENANGANAN BANK BERMASALAH BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG RI NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

( Skripsi )

Oleh

WANA SENTOSA

1012011291

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

MOTO ...v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

SANWACANA ... vii

DAFTAR ISI ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kegunaan Penelitian ... 8

II. Tinjauan Pustaka ... 9

A. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ... 9

1. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan ... 9

2. Asas-Asas Otoritas Jasa Keuangan ... 10

3. Fungsi, Tugas, dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan ... 11

B. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ... 13

1. Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan ... 13

2. Fungsi dan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan ... 14

C. Tinjauan Umum Bank Indonesia (BI) ... 16

1. Status dan Kedudukan Bank Indonesia ... 16

(6)

D. Tinjauan Tentang Bank Bermasalah ... 19

1. Pengertian Bank ... 19

2. Pengertian Bank Bermasalah ... 20

E. Koordinasi para Pihak dalam Penanganan Bank Bermasalah ... 23

F. Kerangka Pikir ... 26

E. Metode Pengumpulan Data ... 31

F. Metode Pengolahan Data ... 31

G. Analisis Data ... 32

IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 33

A. Fungsi, Tugas, dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Bank Indonesia (BI) dalam Sistem Perbankan di Indonesia ... 33

1. Fungsi, Tugas, dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Sistem Perbankan di Indonesia... `33

2. Fungsi, Tugas, dan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Sistem Perbankan di Indonesia ... 38

3. Fungsi, Tugas, dan Wewenang Bank Indonesia (BI) dalam Sistem Perbankan di Indonesia ... `42

B. KoordinasiOtoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Bank Indonesia (BI) dalam Upaya Penanganan Bank Bermasalah ... 45

1. Tahap Penetapan Status Bank Bermasalah ... 46

(7)

V. Penutup ... 66 A. Kesimpulan ... 66 B. Saran ... 67

(8)
(9)
(10)

MOTO

“Ketidakmungkinan sesungguhnya adalah hal yang belum kita pelajari”

(Charles W. Chesnut)

“All is Well”

(Ajahn Bram)

“Kepuasan itu terletak pada usaha, bukan pada pencapaian hasil. Berusaha keras adalah kemenangan besar”

(11)

PERSEMBAHAN

Skrispsi ini aku persembahkan untuk:

Kedua orang tuaku terkasih, yang selalu mencintai, menyayangi,

mendoakan dan mendidikku:

Hindarwan Sulaiman

dan

Bong Nyam Mi

Terima kasih atas kasih, cinta, dan pengorbanan bagiku, sehingga aku

dapat menyelesaikan kuliah ini, untuk menjadi apa yang kalian

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Wana Sentosa, penulis dilahirkan pada tanggal 13 Juli 1992 di Kota Bandar Lampung. Penulis adalah anak ke-tiga dari empat bersaudara, dari pasangan Hindarwan Sulaiman dan Bong Nyam Mi.

Pendidikan yang telah diselesaikan oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Taman Kanak-Kanak di TK Xaverius I Bandar Lampng, lulus pada tahun 1998. 2. Sekolah Dasar di SD Xaverius I Bandar Lampung, lulus pada tahun 2004.

3. Sekolah Menengah Pertama di SMP Xaverius I Bandar Lampung, lulus pada tahun 2007.

4. Sekolah Menengah Atas di PKMI SMA Immanuel Bandar Lampung pada tahun 2010.

(13)

SANWACANA

Nammo Buddhaya, Salam sejahtera dan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Koordinasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Bank Indonesia (BI) dalam

Upaya Penanganan Bank Bermasalah Berdasarkan Undang-Undang RI

Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan tepat waktu.

Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, partisipasi secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(14)

3. Ibu Aprilianti, S.H., M.H., Sekretaris Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis di dalam menempuh pendidikan sarjana.

4. Ibu Ratna Syamsiar, S.H., M.H., Dosen Pembimbing I yang telah memberikan banyak waktu, ilmu, pemikiran, dan tenaga kepada penulis, serta memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

5. Ibu Dianne Eka Rusmawati, S.H., M.Hum., Dosen Pembimbing II yang telah bersedia untuk meluangkan waktunya, memberikan perhatian serta mencurahkan segenap pemikirannya untuk membimbing penulis dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Yennie Agustin MR S.H., M.H., Dosen Pembahas I yang telah memberikan kritik, saran, motivasi, dan masukan yang sangat membangun terhadap skripsi ini.

7. Bapak Dita Febrianto, S.H., M.H., Dosen Pembahas II yang telah memberikan kritik, saran, motivasi, dan masukan yang sangat membangun terhadap penulisan dalam skripsi ini.

8. Ibu Siti Nurhasanah, S.H., M.H., Pembimbing Akademik, yang telah memberikan bimbingan, motivasi, serta arahan bagi penulis selama menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(15)

10. Kakak dan Adik tercinta Tatang Yuniardi, S.E., Yunandar, S.E., dan Liana Dewi.

11. Keluarga besar penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan pendidikan sarjana ini baik secara moril maupun materiil.

12. Sahabat terbaik dan keluarga: Kelvin Antonius Tania, I Ketut Wisnu P, Tri Arta Gemilang, Ardiansyah Adi P, Richard C, Handoko G yang sudah banyak membantu penulis selama kuliah dan penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas dukungan moril, tenaga, maupun materiil selama ini.

13. Teman-teman seperjuangan Hima Perdata ’10: Saut, Bismar, Abram, Rica, Rama, Ricko, Yuri, Jonathan Adi, Bella, Harsa, Itqoh, Dimas, Zulkifli, Topan, Dendri, JT, Rio, Obau serta teman-teman perdata lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kenangan yang tak terlupakan selama kuliah.

14. Teman-teman seangkatan selama kuliah di Fakultas Hukum: Aldi Jamet, Fadil, Denni, Bryan, Andika, Rizal, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan penulis satu persatu. Sukses selalu untuk kita.

15. Teman-teman KKN: Alpiyan, Adatua, Flesi, Gerry, Mia, Hani, Aplita, Rizny, Bella dan keluarga di Desa Labuhan Ratu, Lampung timur yang telah membantu dalam penyelesaian studi penulis.

(16)

17. Ayuni Phang Marsoelim beserta keluarga yang telah banyak memberikan saran dan motivasi berharga kepada penulis selama ini.

18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan dan dukungannya.

Semoga Tuhan selalu menyertai kita di dalam hidup kita. Akhir kata, penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis,

(17)

1

I.PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Salah satu penunjang perekonomian di Indonesia adalah lembaga perbankan (bank) yang memiliki peran besar dalam menjalankan kebijaksanaan perekonomian. Untuk mencapai tujuan penunjangan perekonomian tersebut diperlukan aturan hukum yang menunjang kegiatan lembaga perbankan (bank). Bank merupakan salah satu lembaga kepercayaan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi, membantu kelancaran sistem pembayaran, dan sebagai lembaga yang menjadi sarana dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah yaitu kebijakan moneter. Karena fungsi-fungsinya tersebut, maka keberadaan bank yang sehat, baik secara individu maupun secara keseluruhan sebagai suatu sistem, merupakan prasyarat bagi perekonomian yang sehat. Untuk menciptakan perbankan yang sehat antara lain diperlukan pengaturan dan pengawasan bank yang efektif. Selain itu, adanya kepastian hukum dalam sistem perbankan akan menimbulkan suatu rasa kepercayaan masyarakat terhadap bank.

(18)

2

dilakukan pembubaran badan hukum bank tersebut melalui proses likuidasi bank. Likuidasi bank terhadap 16 bank bermasalah tersebut, pada saat itu ternyata menimbulkan domino effect antara lain didahului dengan adanya rush disektor perbankan sehingga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional menjadi semakin terpuruk.

Suatu bank dapat dikatakan bermasalah apabila bank mengalami kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, misalnya saja kondisi usaha bank yang semakin memburuk ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan lainnya. Bank dapat dikatakan bermasalah ketika kurangnya penerapan prinsip kehati-hatian bank dan pelaksanaan bank yang sehat dalam industri perbankan.

Ketika industri perbankan dalam kondisi yang stabil dan baik, tentunya akan memberikan pengaruh positif terhadap perekonomian suatu negara, namun jika yang terjadi adalah sebaliknya tentunya akan memberikan pengaruh negatif terhadap perekonomian suatu negara bahkan meluas kepada sektor lainnya. Kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan merupakan salah satu kunci untuk memelihara stabilitas industri perbankan.

(19)

3

Usaha pemerintah dalam meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional dengan memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat. Pemberian jaminan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Untuk mengembalikan kepercayaan publik dan memulihkan kestabilan sistem perbankan, pemerintah mengeluarkan kebijakan memberikan jaminan penuh atas semua kewajiban pembayaran bank (blanket guarantee).1 Namun kebijakan itu ternyata dapat memicu moral hazard dan rendahnya disiplin pasar.

Pada tanggal 22 September 2004, Presiden mengesahkan pelaksanaan Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (yang selanjutnya disebut UU LPS) sebagai upaya untuk lebih menguatkan kondisi moneter pada saat itu.2 Lembaga Penjamin Simpanan (yang selanjutnya disebut LPS) merupakan suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah di Indonesia. Salah satu isi dari Undang-Undang tersebut yaitu ketentuan tentang penjaminan simpanan nasabah seperti pada Pasal 10 yang menjelaskan simpanan nasabah yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dijamin oleh LPS.3

1

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan Edisi Revisi, Bandung, Mandar Maju, 2012, Hal. 239.

2

http://www1.lps.go.id/in/web/guest/sejarahdiakses pada tanggal 28 Juli 2014

3

(20)

4

Lahirnya UU LPS menandai babak baru sistem perbankan nasional. Keberadaan LPS ini tidak bisa dilepaskan dari upaya peningkatan stabilitas sektor keuangan dengan bekerjasama dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan yang lain dalam rangka menciptakan jaring pengamanan sistem keuangan yang terpadu. Eksistensi dari LPS yang utama adalah menciptakan kepercayaan masyarakat kepada institusi perbankan dan turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.

Tidak hanya LPS yang berperan aktif dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Dalam Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (yang selanjutnya disebut UU BI) menyebutkan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Pasal tersebut menekankan lembaga pengawasan untuk bertindak sebagai dewan pengawas (supervisory board) dan dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dan berkoordinasi dengan Bank Indonesia (yang selanjutnya disebut BI).

(21)

5

melakukan pengawasan di sektor jasa keuangan menggantikan fungsi pengawasan Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bepepam) dan Lembaga Keuangan (LK) agar menjadi terintegrasi dan komprehensif.4

OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU OJK. Latar belakang pembentukan OJK dikarenakan perlunya suatu lembaga pengawasan yang mampu berfungsi sebagai pengawas yang mempunyai otoritas terhadap seluruh lembaga keuangan, di mana lembaga pengawas tersebut bertanggung jawab terhadap kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank maupun lembaga keuangan non bank, sehingga tidak ada lagi lempar tanggungjawab terhadap pengawasannya. Selain itu, kegiatan usaha yang dilakukan berakibat semakin besarnya pengaturan pengawasannya. Perlu adanya suatu alternatif untuk menjadikan pengaturan dan pengawasan maupun lembaga keuangan lainnya dalam satu atap.

Hal ini mengingat tujuan dari pengaturan dan pengawasan perbankan adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi tiga aspek, yaitu perbankan yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar, dalam arti di satu pihak memerhatikan faktor risiko seperti kemampuan, baik dari sistem, finansial, maupun sumber daya manusia.5

4

Wiwin Sri Haryani, Independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol.9 No.3 Oktober 2012. hal. 45-46.

5

(22)

6

Dengan diundangkannya UU OJK, maka situasi perbankan di Indonesia memasuki babak baru. Babak baru perbankan di Indonesia yaitu pengaturan dan pengawasan di dalam sektor perbankan tidak lagi berada pada BI namun dialihkan kepada OJK sebagai lembaga yang independen dengan fungsi, tugas, dan wewenang untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap sektor jasa keuangan di Indonesia.6

Untuk melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan BI dalam membuat

peraturan pengawasan di bidang perbankan. Dengan diundangkannya UU OJK bukan berarti hilangnya fungsi, tugas, dan kewenangan dari BI, namun yang ada adalah adanya pembagian tugas pengawasan perbankan di Indonesia. OJK yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya perlu berkoordinasi dengan lembaga-lembaga independen lainnya merupakan sesuatu hal yang cukup menarik untuk dilakukan penelitian lebih jauh, karena OJK merupakan organisasi yang masih baru. Kondisi dan permasalahan yang ada pada saat ini adalah belum maksimalnya konsep-konsep pemikiran secara yuridis maupun institusional dari masing-masing institusi yang bertanggung jawab dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan lembaga perbankan, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif dan komprehensif.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Koordinasi Otoritas Jasa Keuangan

(OJK) dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Bank Indonesia (BI)

6

(23)

7

dalam Upaya Penanganan Bank Bermasalah berdasarkan Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan”

B.Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang di atas, maka selanjutnya dikemukakanlah beberapa permasalahan yang muncul, yaitu:

a. Bagaimanakah fungsi, tugas dan wewenang OJK, LPS dan BI dalam sistem perbankan di Indonesia?

b. Bagaimanakah koordinasi kerjasama OJK dengan LPS, dan BI dalam upaya penanganan bank bermasalah?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah mengenai tugas, fungsi, dan wewenang OJK, LPS, dan BI dalam sistem perbankan di Indonesia. Lalu mengenai koordinasi kerjasama yang dilakukan oleh OJK, LPS dan BI dalam upaya penanganan bank bermasalah di Indonesia. Adapun lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah hukum keperdataan (ekonomi), khususnya hukum perbankan.

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yaitu:

(24)

8

b. Memperoleh deskripsi lengkap, rinci dan sistematis mengenai koordinasi kerjasama yang dilakukan oleh OJK, LPS dan BI dalam upaya penanganan bank bermasalah di Indonesia.

D.Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan praktis, sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai dasar pemikiran dalam upaya pengembangan keilmuan dengan disiplin ilmu khususnya ilmu dibidang hukum ekonomi yang berkenaan dengan hukum perbankan, juga sekaligus memperluas pengetahuan bagi pihak yang membutuhkan.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis kegunaan penelitian ini adalah:

a. Sebagai upaya pengembangan kemampuan dan pengetahuan hukum bagi peneliti khususnya mengenai tugas, fungsi dan wewenang OJK, LPS dan juga mengenai koordinasi kerjasama yang dilakukan oleh OJK, LPS dan BI dalam upaya penanganan bank bermasalah di Indonesia;

b. Sebagai bahan informasi maupun literatur bagi pihak yang memerlukan, khususnya mahasiswa Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

(25)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

1. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang didirikan berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Lembaga ini didirikan untuk melakukan pengawasan atas industri jasa keuangan secara terpadu. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK, dirumuskan bahwa OJK adalah lembaga yang mempunyai independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

(26)

10

OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya, antara lain melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, termasuk kewenangan perizinan kepada Lembaga Jasa Keuangan.1

2. Asas-Asas Otoritas Jasa Keuangan

OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus berlandaskan pada asas-asas sebagai berikut:

a. Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan OJK;

c. Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;

d. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur,dan tidak diskriminatif tentang

1

(27)

11

penyelenggaraan OJK, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

e. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang OJK, dengan tetap berlandaskan pasa kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

f. Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan OJK; g. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan

hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.2

3. Fungsi, Tugas, dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan

Fungsi OJK ditentukan dalam Pasal 5 UU OJK, yang berbunyi bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

a. Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; b. Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan

c. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

2

(28)

12

Kewenangan OJK ditentukan dalam Pasal 7 UU OJK, yang berbunyi bahwa dalam melaksanakan tugasnya, OJK memiliki wewenang sebagai berikut:

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi : (1) Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,

rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan

(2) Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas dibidang jasa;

b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi :

(1) Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;

(2) Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; (3) Sistem informasi debitur;

(4) Pengujian kredit (credit testing); dan (5) Standar akuntansi bank;

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi : (1) Manajemen risiko;

(2) Tata kelola bank;

(3) Prinsip mengenai nasabah dan anti pencucian uang;

(29)

13

B. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

1. Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah Lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sebagai lembaga yang menjamin simpanan nasabah, LPS sangat berkepentingan terhadap tingkat kesehatan bank baik secara individual maupun secara agregat. Untuk menjaga tingkat kesehatan bank secara individual (micro prudential) maupun secara agregat (macro prudential) diperlukan pengawasan perbankan yang efektif.

Keberadaan LPS dalam sistem perbankan di Indonesia ditegaskan di dalam Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS). LPS bertanggungjawab kepada presiden dan dalam kegiatannya merupakan lembaga independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Independensi LPS mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, LPS tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun termasuk pemerintah kecuali atas hal-hal yang dinyatakan secara jelas dalam di dalam undang-undang LPS.3

Mengingat bahwa kebijakan penjaminan dapat berdampak pada sektor perbankan dan fiskal, maka di dalam LPS terdapat wakil dari masing-masing otoritas yang berwenang. Keberadaan para wakil otoritas tersebut dimaksud untuk bersama-sama merumuskan kebijakan penjaminan yang dapat mendukung kebijakan pada sektor-sektor tersebut. Namun pada pelaksanaan kebijakan tersebut merupakan

3

(30)

14

sepenuhnya tanggung jawab dan kewenangan LPS tanpa dapat dicampurtangani oleh pihak manapun. Sebagai contoh dalam melaksanakan tugas penyelesaian bank yang dicabut izin usahanya, khususnya dalam rangka penjualan/pengalihan aset bank tersebut, LPS tidak dapat dipengaruhi oleh kepentingan pihak luar termasuk pemerintah.4

2. Fungsi dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan

Fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Dalam hal menjalankan fungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan, LPS mempunyai tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan dan melaksanakan penjaminan simpanan tersebut. LPS dalam menjalankan fungsinya untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan memiliki tugas yaitu:

a. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan dalam hal stabilitas perbankan;

b. Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik; dan

c. Melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik.5

4

O.P.Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersil, Jakarta, Perbanas, 1998.Hal 10.

5

(31)

15

Berdasarkan Pasal 6 UU LPS, dalam menjalankan tugasnya, LPS mempunyai wewenang sebagai berikut:

a. Menetapkan dan memungut premi penjaminan;

b. Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta;

c. Melakukan pengolahan kekayaan dan kewajiban LPS;

d. Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank;

e. Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data sebagaimana dimaksud pada huruf d;

f. Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim;

g. Menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu;

h. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan; dan

i. Menjatuhkan sanksi administratif.

Kemudian dalam rangka penanganan dan penyelesaian bank gagal, LPS mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU LPS, yaitu:

a. Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;

(32)

16

c. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat bank gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank;

d. Menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.

C. Tinjauan Umum Bank Indonesia

1. Status dan Kedudukan Bank Indonesia

BI berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU BI) berstatus bank sentral Republik Indonesia. BI adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah, dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU BI. Sebagai suatu lembaga negara yang independen, BI mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam UU BI.

(33)

17

kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar BI dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.6

Sebagai badan hukum status BI baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik BI berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, BI dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.7 BI berfungsi menjaga kestabilan nilai mata uang rupiah dan juga sebagai sumber pemberi pinjaman terakhir atau Lender of the Last Resort (LoLR) dalam rangka menyelamatkan sistem keuangan.

2. Tujuan dan Tugas Pokok Bank Indonesia

Tujuan BI ditetapkan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta terhadap mata uang negara lain. Untuk tetap menjaga kestabilan nilai mata uang rupiah, BI harus mempertimbangkan dan melakukan koordinasi dengan pemerintah agar kebijakan yang ditempuh sejalan dan saling mendukung dengan kebijakan fiskal dan ekonomi lainnya.8

6

Didik J. Rachbini dan Suwidi Tono, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, PT. Mardi Mulyo, Jakarta, 2000, hal. 179-180.

7

Ibid, hal. 181.

8

(34)

18

Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan UU BI, BI mempunyai tiga tugas yaitu:

a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;

b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan c. Mengatur dan mengawasi bank.

Dalam rangka melaksanakan dan menetapkan kebijakan moneter, BI berwenang untuk:

a. Menetapkan sasaran moneter dengan memerhatikan sasaran laju inflasi;

b. Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada:

(1) Operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing; (2) Penetapan tingkat diskonto;

(3) Penetapan cadangan wajib minimum; (4) Pengaturan kredit atau pembiayaan.

Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, BI berwenang untuk:

a. Melaksanakan dan memberi persetujuan dan izin atas penyelengaraan jasa sistem perbankan;

(35)

19

Dalam rangka mengatur dan mengawasi bank, tugas BI ini telah dialihkan kepada OJK sesuai dengan diundangkannya UU OJK. Pelaksanaan tugas di atas mempunyai keterkaitan dan karenanya harus dilakukan secara saling mendukung guna tercapainya tujuan BI secara efektif dan efisien. Tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dilakukan BI antara lain melalui pengendalian jumlah uang yang beredar dan suku bunga. Efektivitas pelaksanaan tugas memerlukan dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal yang merupakan sasaran dari pelaksanaan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal memerlukan sistem pembayaran yang sehat yang merupakan sasaran tugas mengatur dan mengawasi bank. Keterkaitan antara pelaksanaan ketiga tugas secara saling mendukung tersebut, maka pencapaian tujuan BI akan berhasil dengan baik.9

D. Tinjauan Tentang Bank Bermasalah

1. Pengertian Bank

Pengertian Bank menurut ketentuan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan) adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Bank adalah lembaga perantara dana (financial intermediary) dengan tugas pokok menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali dalam bentuk kredit.10 Menurut

9

Ibid, hal. 71.

10

(36)

20

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pengertian Bank adalah usaha dibidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalulintas pembayaran dan peredaran uang.11

Menurut O.P Simorangkir bank merupakan salah satu badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa. Ada pun pemberian kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral.12

Menurut Dictionary of Banking and Financial Services bank adalah suatu lembaga yang mempunyai fungsi pokok antara lain:

a. Menerima simpanan giro, deposito dan membayar atas dasar dokumen yang ditarik pada orang atau lembaga tertentu;

b. Mendiskonto surat berharga, memberi pinjaman, dan menanamkan dana dalam bentuk surat berharga.13

2. Pengertian Bank Bermasalah

Suatu bank dikatakan bermasalah apabila bank tersebut tidak lagi mampu memenuhi kewajibannya sebagai pihak ketiga, karena mengalami kerugian dan akibatnya kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut menurun. Pada dasarnya, suatu bank dianggap bermasalah ketika bank tersebut menghadapi permasalahan dalam kegiatan operasionalnya secara terus menerus dan memerlukan upaya khusus untuk mengatasinya. Sekali bank gagal dalam

11

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga , 2008, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional: Balai Pustaka

12

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan Edisi Revisi, Bandung: Mandar Maju, 2012, hal. 1.

13

(37)

21

memenuhi kewajibannya terhadap nasabah, maka reputasi bank akan menjadi goyah bahkan dapat mengalami rush (penarikan dana besar-besaran) oleh nasabah, dan pada akhirnya bank sebesar dan sesehat apapun dapat menjadi tutup. Suatu bank juga dapat dikatakan bermasalah apabila bank mengalami kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, misalnya saja kondisi usaha bank yang semakin memburuk dengan ditandainya menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan lainnya. Terjadinya hal-hal tersebut dikarenakan kurangnya pelaksanaan yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan pelaksanaan perbankan yang sehat.14

Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 4/PLPS/2006 tentang penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik, menyatakan bahwa bank bermasalah adalah bank yang berdasarkan penilaian Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya dan ditempatkan dalam pengawasan khusus oleh LPP. Kriteria bank bermasalah bank bermasalah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. Kriteria Bank Bermasalah yang bersifat non struktural, yaitu jika hanya terdapat satu atau beberapa aspek CAMEL’S15

yang tergolong tidak sehat. Keadaan bank dalam kondisi seperti ini dikatakan belum parah, karena aspek permodalan dan likuiditasnya masih belum membahayakan kelangsungan kegiatan usaha bank yang bersangkutan. Bermasalahnya suatu bank pada

14

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, Hal. 143.

15CAMEL’S merupakan komponen yang digunakan untuk menilai suatu tingkat

kesehatan bank yang pada dasarnya dinilai dengan pendekatan kualitatif atas berbagai aspek yang

berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan suatu bank. 5 komponen CAMEL’S yaitu

(38)

22

kelompok ini umumnya karena permasalahan yang bersifat temporer, di mana pemilik bersama pengurus bank diperkirakan mampu dan mau melakukan perbaikan kondisi bank.

b. Kriteria Bank Bermasalah yang bersifat struktural adalah apabila semua aspek CAMEL’S sudah tergolong tidak sehat, dan kondisi bank pada umumnya

sudah tergolong parah, seperti misalnya modalnya menurun dan rendah, likuiditasnya sudah membahayakan kelangsungan usaha bank. Kondisi bank yang demikian terjadi karena beban kredit bermasalah yang cukup besar dan tidak dapat diselesaikan dengan baik, sehingga kesulitan tersebut pada akhirnya mempengaruhi kondisi rentabilitas, solvabilitas, dan likuiditas. Hal ini terkadang diperburuk dengan adanya itikad kurang baik dari para pemilik dan manajemen bank untuk melakukan penyelesaian. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya penyelamatan yang bersifat menyeluruh dan memerlukan waktu yang relatif lama, terutama karena pemilik/ pengurus bank sudah tidak mampu lagi untuk menyelesaikan permasalahan bank.16

Berdasarkan hal di atas bahwa bank dikatakan bermasalah karena pemenuhan kewajiban bank terhadap nasabah tidak atau belum berjalan lancar. Tidak atau belum lancarnya pemenuhan kewajiban bank dikarenakan fungsi bank yang jika dalam pelaksanaannya tidak memperhatikan atau tidak memenuhi prinsip CAMEL’S. Fungsi bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk

tabungan, deposito, dan giro yang pada umumnya berjangka pendek (kurang dari setahun) dan kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat berupa kredit, baik itu kredit korporasi atau investasi-investasi yang pada

16

(39)

23

umumnya jangka waktunya panjang (lebih dari setahun) yang secara tidak langsung mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar dana nasabah dan hasil penempatan jatuh tempo yang tidak tepat waktu.

E. Koordinasi para Pihak dalam Penanganan Bank Bermasalah

Koordinasi merupakan suatu aturan yang mengatur mengenai kerjasama dari tiap-tiap lembaga agar dapat bekerja dengan baik sesuai dengan kewenangannya. Dalam rangka meningkatkan kinerja lembaga keuangan yang ada di Indonesia, dan untuk tetap menjaga stabilitas sistem perbankan, maka di dalam UU OJK mengatur harus adanya hubungan kerjasama ataupun koordinasi dengan lembaga lain. Koordinasi yang diatur dalam UU OJK yaitu koordinasi antara OJK dengan LPS dan Bank Indonesia dalam hubungan kelembagaan yang terintegrasi.

Dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan, OJK wajib berkoordinasi dengan BI, Kementrian Keuangan, dan LPS melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (yang selanjutnya disebut FKSSK). Koordinasi yang dilakukan OJK melalui FKSSK dalam rangka menunjang tugas dan wewenang masing-masing lembaga.

(40)

24

terlebih dahulu kepada OJK. Dalam pemeriksaan tersebut BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan suatu bank.17

OJK juga berkoordinasi dengan LPS terhadap suatu bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK. Bentuk koordinasi yang dilakukan antara OJK dengan LPS adalah berupa informasi-informasi berdasarkan penilaian yang dilakukan OJK. LPS juga dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan tugas, fungsi, dan wewenangnya yang didahulukan dengan dikoordinasikan bersama OJK.18

Selain itu, OJK juga berkoordinasi dengan :

a. BI dan LPS untuk melakukan pengawasan bersama dalam rangka mendukung tugas dan wewenang masing-masing lembaga, serta membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi untuk mendukung kegiatan tersebut serta melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap stabilitas sistem keuangan;

b. Penegak hukum dan instansi, lembaga dan/atau pihak lain yang memiliki kewenangan di bidang penegakan hukum;

17

Pasal 39, 40 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK

18

(41)

25

c. Menteri Keuangan, BI dan LPS untuk mencegah dan menangani kondisi krisis berdasarkan peraturan perundangan mengenai jaring pengaman sistem keuangan;

d. Otoritas Pengawas Perbankan, Pasar Modal negara lain serta organisasi atau lembaga internasional lainnya.19

19

(42)

26

F. Kerangka Pikir

--- ---

Keterangan :

Berdasarkan skema tersebut dijelaskan bahwa:

(43)

27

UU LPS menjadi dasar pembentukan LPS. Tujuan dari pembentukan LPS adalah untuk melindungi nasabah penyimpan, sehingga nasabah penyimpan masih mempercayakan dananya untuk disimpan di bank.

(44)

28

III. METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Sistematis artinya menggunakan sistem tertentu, metodologis artinya menggunakan metode atau cara tertentu, dan konsisten berarti tidak ada hal yang bertentangan dalam kerangka tertentu.1

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif terapan. Pokok kajian dalam normatif terapan adalah pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.2 Dalam normatif terapan terdapat gabungan 2(dua) tahap kajian, yaitu:

1. Tahap pertama adalah kajian mengenai hukum normatif yang berlaku;

2. Tahap kedua adalah penerapan pada peristiwa in concreto guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Penerapan tersebut dapat diwujudkan melalui perbuatan nyata dan dokumen hukum. Hasil penerapan akan menciptakan

1

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 2.

2

(45)

29

pemahaman realisasi pelaksanaan ketentuan hukum normatif yang telah dijalankan secara patut atau tidak.3

Untuk itu penelitian ini akan mengkaji tentang fungsi, tugas, dan wewenang dari OJK, LPS, dan Bank Indonesia serta bagaimana pelaksanaan koordinasi ketiga lembaga tersebut dalam upaya penanganan bank bermasalah.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif. Menurut Abdulkadir Muhammad, penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu.4 Untuk itu, penelitian ini akan mendeskripsikan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis mengenai fungsi, tugas, dan wewenang dari OJK, LPS, dan Bank Indonesia serta pelaksanaan koordinasi ketiga lembaga tersebut dalam penanganan bank bermasalah.

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Suatu penelitian normatif tentu harus harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.5 Adapun yang menjadi subtansi hukum pada penelitian ini yaitu, fungsi, tugas, dan wewenang dari OJK, LPS, dan

(46)

30

Bank Indonesia serta pelaksanaan koordinasi ketiga lembaga tersebut dalam penanganan bank bermasalah.

D. Sumber Data dan Jenis Data

Jenis data ditinjau dari sumbernya terdapat dua jenis yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.6 Lalu untuk menjawab pokok bahasan yang ada di dalam skripsi ini, maka jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan bahan-bahan hukum yang terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu data normatif yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, meliputi:

a. Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

b. Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;

c. Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS; d. Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.

e. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 4/PLPS/2006 tentang penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang mempelajari tentang pokok bahasan yang berdasarkan pada bahan hukum primer seperti buku tentang OJK, LPS, BI.

6

(47)

31

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, seperti internet, jurnal, makalah.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan cara studi kepustakaan (liberary research). Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulisan dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, buku-buku, media masa, dan bahan tulisan lainnya yang berhubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

F. Metode Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data sehingga data yang diperoleh dapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti. Pada penelitian ini, metode pengolahan data diperoleh melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Pemeriksaan data, yaitu mengoreksi data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar dan sudah sesuai dengan masalah;

(48)

32

3. Sistematika data, yaitu penyusunan data berdasarkan urutan data yang telah ditentukan dan sesuai dengan ruang lingkup pokok bahasan secara sitematis dengan maksud untuk memudahkan dalam menganalisis data.7

G. Analisis Data

Setelah dilakukan pengolahan data, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan melakukan penafsiran terhadap data yang diperoleh, baik yang berasal dari peraturan perundang-undangan atau literatur sehingga dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

7

(49)

66

V. PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Fungsi, tugas, dan wewenang OJK diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yaitu menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Fungsi, tugas, dan wewenang LPS berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan nasional. Fungsi, tugas, dan wewenang BI sebagai bank sentral berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dengan menggunakan berbagai instrumen kebijakan yang ditetapkan BI.

(50)

67

mengacu pada standar tingkat kesehatan CAMEL’S. Setelah adanya

penetapan bank bermasalah oleh OJK, baru dilakukan koordinasi dengan LPS dan BI melalui protokol koordinasi. Koordinasi kerjasama yang dilakukan OJK dengan LPS dan BI dalam upaya penanganan bank bermasalah melalui protokol koordinasi yang terintegrasi, yaitu OJK berkoordinasi dengan BI membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan untuk mencegah bank bermasalah. OJK menginformasikan kepada LPS mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan OJK dan kemudian LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank terkait sesuai tugas, fungsi, dan wewenangnya dengan tetap berkoordinasi dengan OJK.

B. SARAN

(51)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku/ Literatur

Aminah, Zaidatul, 2012, Kajian Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Di Indonesia: Melihat Dari Pengalaman Di Negara Lain, Universitas Negeri Surabaya.

Emaniyati, Neni Sri, 2010, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, 2011, Edisi Revisi,Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Media Prenada Group, Jakarta.

Muhammad, Abudlkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rachbini, Didik J. dan Suwidi Tono, 2000 Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, PT. Mardi Mulyo, Jakarta.

Sembiring, Sentosa, 2012, Hukum Perbankan Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung

Simorangkir, O.P, 1998, Seluk Beluk Bank Komersil, Perbanas, Jakarta. Syamsiar, Ratna, 2006, Hukum Perbankan, Universitas Lampung, Lampung. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaaan dan Pengembangan Bahasa, 2008,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Balai Pustaka, Jakarta. Usman, Rachmad, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta

(52)

B. Perundang-Undangan

Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum

Undang-undang No. 3 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI)

Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

C. Sumber Lain

Haryani, Wiwin Sri, Independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol.9 No.3 Oktober 2012. hlm. 45-46.

Referensi

Dokumen terkait

memberikan informasi bahwa dengan 80 kali replikasi bootstrap yang dilakukan pada data training kombinasi 1, diperoleh rata-rata ketepatan klasifikasi terbesar, maka

Berperilaku ilmiah: teliti, tekun, jujur terhadap data dan fakta, disiplin, tanggung jawab, dan peduli dalam observasi dan eksperimen, berani dan santun dalam mengajukan

seseorang akan nampak pada situasi dan kondisi kerja sehari-hari Kinerja seseorang akan ampak pada situasi dan kondisi kerja sehari-hari. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan

Oleh karena itu subjek 1 mau tidak mau mengizinkan suaminya menikah lagi dengan syarat madunya harus tinggal dengannya dalam satu rumah dan bersama-sama mengasuh

Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan tambahan informasi bagi para pendidik di universitas tentang stres kerja pada mahasiswa yang kuliah sambil bekerja,

Permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini tentang studi arkeologi di wilayah kepulauan khususnya di Laut Cina Selatan yang dipandang patut diteliti untuk

Haryasudirja Kampus ITNY, di dapat nilai tertinggi pada bagian sistem utilitas dengan nilai mean 2,900 pada item sistem listrik darurat yang diperoleh dari

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian dengan strategi penyelesaian konflik dalam organisasi Pagar Nusa di Universitas