• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN DALAM PELAYANAN KESEHATAN PENGOBATAN TRADISIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN DALAM PELAYANAN KESEHATAN PENGOBATAN TRADISIONAL"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN

DALAM PELAYANAN KESEHATAN PENGOBATAN TRADISIONAL

Oleh

Vionica Maria Magdalena Manulang

Kesehatan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Dengan kesehatan yang baik dapat menopang segala aktifitas, sehingga setiap aktifitas dapat berjalan dengan lancar. Masyarakat Indonesia yang tingkat kemajemukannya tinggi dengan beragam kultur budaya, membawa pengaruh terhadap beragamnya metode pengobatan. Di samping metode pengobatan dalam dunia kedokteran, yang biasa disebut pengobatan medis, ada juga pengobatan non medis, yaitu metode pengobatan tradisional. Penelitian ini akan mengkaji dan membahas mengenai tanggungjawab pengobatan tradisional terhadap pasien bila terjadi kerugian akibat menggunakan pelayanan kesehatan pengobatan tradisional dan upaya hukum yang dapat ditempuh pasien bila terjadi kerugian akibat menggunakan pelayanan kesehatan pengobatan tradisional.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif terapan, dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif terapan. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, metode pengumpulan data yang dilakukan untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini melalui studi pustaka, studi dokumen, dan wawancara. Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tanggungjawab pengobatan tradisional terhadap pasien bila tejadi kerugian akibat mengggunakan pengobatan tradisional, yaitu pengobatan tradisional bertanggungjawab memberi ganti kerugian, pengembalian, uang atau apapun pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila terbukti bersalah. Upaya hukum yang dapat ditempuh pasien bila terjadi kerugian akibat menggunakan pengobatan tradisional, yaitu penyelesaian sengketa melalui litigasi (pengadilan) dan non litigasi (di luar pengadilan).

(2)

Oleh

Vionica Maria Magdalena Manulang

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(3)
(4)
(5)

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 17 Juni 1988, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak M. Bakara dan Ibu Astuti.

Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-Kanak Kemala Bhayangkari Serpong pada tahun 1993-1994. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDK Santa Ursula II BSD tahun 1994-2000, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN I Serpong pada tahun 2000-2003, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN I Cisauk pada tahun 2003-2006.

(6)

Dengan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan wujud cinta serta kasih sayang, kupersembahkan karya kecil ini untuk Bapak dan Mama terkasih, yang

dengan setia selalu mendoakan dan berjerih lelah demi keberhasilanku. Mbak Icha dan Abang Dimus, yang selalu memberi dukungan dan semangat. Teman-taman yang kukasihi yang mengisi hari-hariku dengan canda tawa dan

kebersamaan.

(7)

Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.

(Ibrani 11 : 1)

Keadaan tidak selalu baik, tapi TUHAN selalu baik dalam setiap keadaan, selalu ada kekuatan untuk bertahan

(Penulis)

Banyak hal yang harus dimatikan agar hidup berarti, ada hal-hal yang harus dinyalakan agar hidup berguna.

(8)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kasih dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Pengobatan

Tradisional”sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Penulis menyadari terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, hal ini dikarenakan terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Untuk itu, sangat diharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak untuk pengembangan skripsi ini.

Keberhasilan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. Hi. Heryandi, S.H., M.S, Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum, Ketua Bagian Jurusan Hukum Keperdataan Universitas Lampung sekaligus Dosen Pembahas I yang memberikan kritik, saran yang sangat berarti selama proses penulisan skripsi ini.

(9)

skripsi ini.

5. Bapak Ahmad Zazili, S.H., M.H, Dosen Pembimbing II yang memberikan bimbingan, saran dan nasihat dalam proses penulisan skripsi ini.

6. Bapak Depri Liber Sonata, S.H., M.H, Dosen Pembahas II yang memberikan saran dan kritik membangun demi kebaikan skripsi ini.

7. Ibu Marlia Eka Putri, S.H., M.H, Dosen Pembimbing Akademik yang memberikan dukungan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

8. Teman-teman terkasih di pelayanan Perkantas Lampung, Duma Sumbayak, Muara Siagian, Sally Sinaga, Clara Sidauruk, yang memotivasi serta mendoakan penulis selama ini.

9. Teman-teman di pelayanan Formahkris Unila, Ricchan Silalahi, Torang Alfontius, Dede Maria Hutagalung, yang selalu mendukung penulis.

10. Teman-teman kosan, Febrina Pasaribu, Nella Silalahi, Desi Bangun, Ninda Bangun, Merry Christine, Intan P.P Sitorus, terimakasih untuk kebersamaan dan dukungannya kepada penulis selama ini.

(10)

Astuti, serta Mbak Alberty Eliza Rotua Bakara, S.K.M dan Abang Imanuel Didimus Manulang S.S, terimakasih untuk setiap perhatian, kepedulian, motivasi, dan doa yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberkati segala usaha dan kerja keras yang dilakukan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Bandar Lampung, Penulis,

(11)

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Kesehatan 1. Hukum Kesehatan ... 9

2. Pelayanan Kesehatan ... 12

3. Pengobatan Tradisional ... 15

B. Hukum Perlindungan Konsumen 1. Hak-Hak Konsumen ... ... 20

2. Kewajiban-Kewajiban Konsumen ... 24

C. Aspek Hukum Perdata ... 25

1. Hubungan Hukum ... 26

2. Perjanjian ... 27

3. Wanprestasi ... 30

4. Perbuatan Melawan Hukum ... 31

D. Kerangka Pikir ... 36

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 38

B. Tipe Penelitian ... 39

C. Pendekatan Masalah ... 39

D. Data dan Sumber Data ... 40

E. Metode Pengumpulan Data 1. Studi Pustaka ... 41

2. Studi Dokumen ... 41

3. Wawancara ... 42

F. Pengolahan Data 1. Pemeriksaan Data (Editing) ... 42

2. Penandaan Data (Coding) ... 42

3. Rekostruksi Data (Reconstructing)... 42

4. Sistematika Data ... 42

(12)

Pengobatan Tradisional ... 44

B. Upaya Hukum yang Dapat Ditempuh Konsumen Bila Terjadi Kerugian Akibat Menggunakan Pengobatan Tradisional

1. Penyelesaian Sengketa melalui Litigasi.. ... 49 2. Penyelesaian Sengketa melalui Non Litigasi... ...51 V. PENUTUP

Kesimpulan ... 55

(13)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang kehidupan masyarakat, telah memungkinkan para pelaku usaha untuk memproduksi berbagai macam barang dan atau jasa serta memperluas arus gerak transaksi yang ditawarkan kepada konsumen untuk memenuhi kebutuhannya. Kondisi yang demikian, di satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen, karena kebutuhan konsumen akan barang dan atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Namun di sisi lain, kondisi tersebut juga dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Karena terkadang konsumen hanya menerima saja barang dan atau jasa yang ditawarkan pelaku usaha tanpa memperhatikan dampak dari mengkonsumsi barang dan atau jasa tersebut.

(14)

pelaku usaha. Kondisi yang demikian menyebabkan konsumen sering menjadi objek pelaku usaha. Dan kelemahan konsumen tersebut dimanfaatkan pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari kelemahan demikian, maka diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan jaminan terhadap hak-hak konsumen dari pelaku usaha yang tidak baik serta segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Oleh sebab itu, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Adapun tujuan perlindungan konsumen yang terdapat pada Pasal 3 UUPK, antara lain:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan atau jasa.

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

(15)

f. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa, kesehatan, kenyaman, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Konsumen saat ini tidak terbatas hanya masyarakat yang menggunakan produk barang dan atau jasa industri dan perdagangan saja, tetapi juga meliputi masyarakat pemanfaat pelayanan kesehatan, atau yang sering disebut juga pasien. Pasien dianggap sebagai konsumen yang harus dilindungi hak-haknya.

Kesehatan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena kesehatan adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umatNya dan kesehatan juga merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk di dalamnya mendapat makanan, pakaian, perumahan, dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial lain yang diperlukan. Dengan kesehatan yang baik dapat menopang segala aktifitas, sehingga setiap aktifitas dapat berjalan dengan lancar.

(16)

akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kesehatan yang baik serta dibutuhkan juga sarana kesehatan yang menunjang untuk bisa mewujudkan kesehatan yang baik tersebut.

(17)

Pengobatan tradisional menjadi pilihan masyarakat Indonesia karena mereka mengganggap pengobatan tradisional mampu memberikan penyembuhan yang sebelumnya gagal ditangani oleh pengobatan medis.1 Tak jarang mereka menggunakan pengobatan tradisional sebagai pilihan pertama atau utama, sedangkan pengobatan medis menjadi alternatif, hal ini dikarenakan faktor keterbatasan perekonomian.2

Karakteristik pengobatan tradisional, antara lain:3

a. Pengobatan tradisional pada umumnya bersifat turun temurun

Kemampuan dan keterampilan menyembuhkan penyakit pada umumnya diperoleh dari orangtua yang diturunkan kepada anaknya atau keluarga lainnya. Tidak ada pendidikan dan pelatihan khusus untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan tersebut.

b. Biaya pengobatan dapat disesuaikan

Dalam pengobatan tradisional biaya atau tarifnya dapat disesuaikan dengan tingkat perekonomian orang yang sakit. Tidak ada bayaran standar baku, berbeda dengan pengobatan medis yang memang sudah ada aturan-aturan yang mengatur tarif atau biaya pengobatan.

c. Obat yang digunakan

Pada umumnya obat-obat yang digunakan adalah yang berasal dari alam, tumbuh-tumbuhan atau hewan.

1

Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan (Jakarta: Rineka Cipta 2010), hal. 185

2

Ibid, hal. 186

3

(18)

Tujuan pengobatan tradisional, yaitu:4 a. Tujuan Umum

Meningkatnya pendayagunaan pengobatan tradisional baik secara tersendiri maupun terpadu pada sistem pelayanan kesehatan, dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

b. Tujuan Khusus

1. Meningkatnya mutu pelayanan pengobatan tradisional, sehingga masyarakat terhindar dari dampak negatif dari pengobatan tradisional.

2. Meningkatnya kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan dengan upaya pengobatan tradisional.

3. Terbinanya berbagai tenaga pengobatan tradisional dalam pelayanan masyarakat.

4. Terintegrasinya upaya pengobatan tradisional dalam program pelayanan pengobatan tradisional mulai dari tingkat rumahtangga, puskesmas hingga pada rujukannya.

Hak-hak pasien diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, tapi perlindungan yang diatur dalam undang-undang tersebut hanyalah menyangkut perlindungan terhadap pasien yang menggunakan pelayanan kesehatan pengobatan medis. Padahal pelayanan kesehatan di Indonesia tidak hanya meliputi pengobatan medis, tetapi juga pengobatan tradisional.

4

(19)

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, penelitian ini mengkaji tentang perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan pengobatan tradisional apabila terjadi kelalaian terhadap pasien. Oleh karena itu, judul penelitian ini adalah “Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Pengobatan Tradisional”

B.Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan pengobatan tradisional?

Dengan pokok bahasan, antara lain :

1. Tanggungjawab pengobatan tradisional terhadap pasien bila terjadi kerugian akibat menggunakan pelayanan kesehatan pengobatan tradisional.

2. Upaya hukum yang dapat ditempuh pasien apabila terjadi kerugian akibat menggunakan pelayanan kesehatan pengobatan tradisional.

(20)

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi lengkap, terperinci, dan sistematis mengenai hal-hal sebagai berikut:

1. Tanggungjawab pengobatan tradisional terhadap pasien bila terjadi kerugian akibat menggunakan pelayanan kesehatan pengobatan tradisional.

2. Upaya hukum yang dapat ditempuh pasien apabila terjadi kerugian akibat menggunakan pelayanan kesehatan pengobatan tradisional.

Kegunaan penelitian ini, antara lain: a. Kegunaan Teoritis

Sebagai bahan kajian dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian dalam bidang ilmu hukum khususnya hukum perdata ekonomi, dalam hal ini mengenai hukum perlindungan konsumen.

b. Kegunaan Praktis

1. Sebagai bahan bacaan dan informasi tentang perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan pengobatan tradisional.

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Hukum Kesehatan

1. Hukum Kesehatan

H.J.J.Leenen, hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berhubungan langsung pada pemberian pelayanan kesehatan dan penerapanya pada hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana. Arti peraturan disini tidak hanya mencakup pedoman internasional, hukum kebiasaan, hukum yurisprudensi, namun ilmu pengetahuan dan kepustakaan dapat juga merupakan sumber hukum.1

Van der Mijn, hukum kesehatan dapat dirumuskan sebagai kumpulan pengaturan yang berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapannya kepada hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi. Hukum medis yang mempelajari hubungan yuridis dimana dokter menjadi salah satu pihak, adalah bagian dari hukum kesehatan.2

Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan. Hal tersebut menyangkut hak dan kewajiban menerima pelayanan kesehatan (baik perorangan dan lapisan

1

http://mutiarakeadilan.blogspot.com, hukum-kesehatan diakses tanggal 21 Desember 2012.

2

(22)

masyarakat) maupun dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasinya, sarana, standar pelayanan kesehatan dan lain-lain. Pemerintah saat ini menyadari rakyat yang sehat merupakan aset dan tujuan utama dalam mencapai masyarakat adil dan makmur. Peraturan dan ketentuan hukum tidak saja di bidang kedokteran, tetapi mencakup seluruh bidang kesehatan seperti, farmasi, obat-obatan, rumah sakit, kesehatan jiwa, kesehatan masyarakat, kesehatan kerja, kesehatan lingkungan dan lain-lain. Kumpulan peraturan-peraturan dan ketentuan hukum inilah yang dimaksud dengan hukum kesehatan.3

Jika dilihat hukum kesehatan, maka ia meliputi: 1. Hukum medis (Medical law)

2. Hukum keperawatan (Nurse law) 3. Hukum rumah sakit (Hospital law)

4. Hukum pencemaran lingkungan (Environmental law) 5. Hukum limbah .(dari industri, rumah tangga, dsb)

6. Hukum polusi (bising, asap, debu, bau, gas yang mengandung racun) 7. Hukum peralatan yang memakai X-ray (Cobalt, nuclear)

8. Hukum keselamatan kerja

9. Hukum dan peraturan peraturan lainnya yang ada kaitan langsung yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia.4

Dasar hukum kesehatan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait, yaitu Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Undang-Undang ini

3

Amir Amri, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, (Jakarta: Widya Medika, 1997), hal. 29.

4

(23)

merupakan landasan setiap penyelenggara usaha kesehatan. Oleh karena itu, ada baiknya setiap orang yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan mengetahui dan memahami apa saja yang diatur di dalam undang-undang tersebut. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk meningkatkan kesehatan seluruh anggota masyarakat. Sehingga penyelenggaraan kesehatan harus mengikuti ketentuan yang sudah ditetapkan. Undang- undang kesehatan juga memiliki beberapa fungsi, yaitu:

1. Alat untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang meliputi upaya kesehatan dan sumber daya. 2. Menjangkau perkembangan yang makin kompleks yang akan terjadi pada masa

yang akan datang.

3. Memberi kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan.5

Asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Dalam ilmu kesehatan, dikenal beberapa asas yaitu :

1. Sa science et sa conscience artinya bahwa kepandaian seorang ahli kesehatan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani dan kemanusiaannya. Biasanya digunakan pada peraturan hak-hak tenaga medis, tenaga medis berhak menolak dilakukannya tindakan medis jika bertentangan dengan hati nuraninya.

2. Agroti Salus Lex Suprema yaitu keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.

5

(24)

3. Deminimis noncurat lex yaitu hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele. Hal ini berkaitan dengan kelalaian yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Selama kelalaian itu tidak berdampak merugikan pasien maka hukum tidak akan menuntut.

4. Res ispa liquitur yaitu faktanya telah berbicara. Digunakan di dalam kasus-kasus malpraktik dimana kelalaian yang terjadi tidak perlu pembuktian lebih lanjut karena faktanya terlihat jelas.6

2. Pelayanan Kesehatan

Menurut Soekidjo Notoatmojo, pelayanan kesehatan adalah subsistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat. Menurut Levey dan Loomba, pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan peroorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.7

Jadi pelayanan kesehatan adalah subsistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah promotif (memelihara dan meningkatkan kesehatan), preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan rehabilitasi (pemulihan) kesehatan perorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat, lingkungan.

6

Alexandra indriyanti, Etika dan Hukum Kesehatan, cet.1, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2008), hal. 167

7

(25)

Yang dimaksud sub sistem disini adalah sub sistem dalam pelayanan kesehatan adalah input , proses, output, dampak, umpan balik. Input adalah sub elemen – sub elemen yang diperlukan sebagai masukan untuk berfungsinya sistem.

Proses adalah suatu kegiatan yang berfungsi untuk mengubah masukan sehingga mengasilkan sesuatu (keluaran) yang direncanakan. Output adalah hal-hal yang dihasilkan oleh proses. Dampak adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran setelah beberapa waktu lamanya. Umpan balik adalah hasil dari proses yang sekaligus sebagai masukan untuk sistem tersebut. Lingkungan adalah dunia diluar sistem yang mempengaruhi sistem tersebut.8

Pelayanan kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan membagi pelayanan kesehatan menjadi lima jenis, yaitu :

a. Pelayanan kesehatan promotif

Suatu kegiatan dan atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.

b. Pelayanan kesehatan preventif

Suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan atau penyakit. c. Pelayanan kesehatan kuratif

Suatu kegiatan dan atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, penguranagn penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin.

d. Pelayanan kesehatan rehabilitasi

8

(26)

Kegiatan dan atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna bagi dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.

e. Pelayanan kesehatan tradisional

Pengobatan dan atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan kemampuan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norama yang berlaku di masyarakat.

Bentuk Pelayanan Kesehatan berdasarkan tingkatannya dibedakan menjadi: 1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primer)

Diperlukan untuk masyarakat yang sakit ringan dan masyarakat yang sehat untuk meningkatkan kesehatan mereka atau promosi kesehatan.

Contohnya: Puskesmas ,Puskesmas keliling, klinik. 2. Pelayanan kesehatan tingkat kedua (sekunder)

Diperlukan untuk kelompok masyarakat yang memerlukan perawatan inap, yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer. Contoh : Rumah Sakit tipe C dan Rumah Sakit tipe D.

3. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tersier)

Diperlukan untuk kelompok masyarakat atau pasien yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan sekunder.

Contohnya: Rumah Sakit tipe A dan Rumah sakit tipe B.9

(27)

3. Pengobatan Tradisional

Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang mengatur penyelenggaraan pengobatan tradisional, maka dibentuklah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional (selanjutnya disebut Kepmenkes Nomor 1076 Tahun 2003). Pengertian pengobatan tradisional menurut Pasal 1 ayat (1) Kepmenkes Nomor 1076 Tahun 2003 adalah pengobatan dan atau keperawatan dengan cara, obat, dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun dan atau pendidikan atau pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Pengobatan tradisional merupakan salah satu upaya pengobatan dan atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan. Pengobatan tradisional ini dilakukan sebagai upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, dan atau pemulihan kesehatan. Menurut Pasal 1 ayat (3) Kepmenkes Nomor 1076 Tahun 2003, pengobat tradisional adalah orang yang melakukan pengobatan tradisional (alternatif). Pengobat tradisional yang melakukan pengobatan tradisional harus memiliki Surat Terdaftar Pengobat Tradisional (STPT) dan Surat Izin Pengobat Tradisional (SIPT) dari Dinas Kesehatan Kota tersebut.

Dalam Kepmenkes Nomor 1076 Tahun 2003 diatur tentang:

(28)

Klasifikasi dan jenis pengobat tradisional (battra), sebagai berikut:10

A. Battra Ketrampilan adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan/atau perawatan tradisional berdasarkan ketrampilan fisik dengan menggunakan anggota gerak dan/atau alat bantu lain, antara lain:

1. Battra Pijat Urut adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan dan/atau perawatan dengan cara mengurut/memijat bagian atau seluruh tubuh. Tujuannya untuk penyegaran relaksasi otot hilangkan capai, juga untuk mengatasi gangguan kesehatan atau menyembuhkan suatu keluhan atau penyakit. Pemijatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan jari tangan, telapak tangan, siku, lutut, tumit atau dibantu alat tertentu antara lain pijat yang dilakukan oleh dukun/tukang pijat, pijat tunanetra, dsb.

2. Battra Patah Tulang adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dan/atau perawatan patah tulang dengan cara tradisional. Disebut Dukun Potong (Madura), Sangkal Putung (Jawa), Sandro Pauru (Sulawesi Selatan). 3. Battra Sunat adalah seseorang yang memberikan pelayanan sunat (sirkumsisi)

secara tradisional. Battra sunat menggunakan istilah berbeda seperti Bong Supit (Yogya), Bengkong (Jawa Barat). Asal ketrampilan umumnya diperoleh secara turun temurun.

4. Battra Dukun Bayi adalah seseorang yang memberikan pertolongan persalinan ibu sekaligus memberikan perawatan kepada bayi dan ibu sesudah melahirkan selama 40 hari. Jawa Barat disebut Paraji, dukun Rembi( Madura ), Balian Manak (Bali), Sandro Pammana (Sulawesi Selatan), Sandro Bersalin (Sulawesi Tengah), Suhu Batui di Aceh.

10

(29)

5. Battra Pijat Refleksi adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan dengan cara pijat dengan jari tangan atau alat bantu lainnya pada zona-zona refleksi terutama pada telapak kaki dan/atau tangan.

6. Akupresuris adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan dengan pemijatan pada titik-titik akupunktur dengan menggunakan ujung jari dan/atau alat bantu lainnya kecuali jarum.

7. Akupunkturis adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan dengan perangsangan pada titik-titik akupunktur dengan cara menusukkan jarum dan sarana lain seperti elektro akupunktur.

8. Chiropractor adalah seseorang yang melakukan pengobatan kiropraksi (Chiropractie) dengan cara teknik khusus untuk gangguan otot dan persendian. 9. Battra lainnya yang metodenya sejenis.

B.Battra Ramuan adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan/atau perawatan tradisional dengan menggunakan obat / ramuan tradisional yang berasal dari tanaman (flora), fauna, bahan mineral, air, dan bahan alam lain, antara lain:

1. Battra Ramuan Indonesia (Jamu) adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dan/atau perawatan dengan menggunakan ramuan obat dari tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral dll, baik diramu sendiri, maupun obat jadi tradisional Indonesia.

(30)

3. Shinshe adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dan/atau perawatan dengan menggunakan ramuan obat-obatan tradisional Cina. Falsafah yang mendasari cara pengobatan ini adalah ajaran ”Tao (Taoisme)” di mana dasar pemikirannya adalah adanya keseimbangan antara unsur Yin dan unsur Yang.

4. Tabib adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan ramuan obat tradisional yang berasal dari bahan alamiah yang biasanya dilakukan oleh orang-orang India atau Pakistan.

5. Homoeopath adalah seseorang yang memiliki cara pengobatan dengan menggunakan obat/ramuan dengan dosis minimal ( kecil ) tetapi mempunyai potensi penyembuhan tinggi, dengan menggunakan pendekatan holistik berdasarkan keseimbangan antara fisik, mental, jiwa dan emosi penderita. 6. Aromatherapist adalah seseorang yang memberikan perawatan dengan

menggunakan rangsangan aroma yang dihasilkan oleh sari minyak murni (essential oils) yang didapat dari sari tumbuh-tumbuhan (ekstraksi dari bunga, buah, daun, biji, kulit, batang/ ranting akar, getah) untuk menyeimbangkan fisik, pikiran dan perasaan.

7. Battra lainnya yang metodenya sejenis.

(31)

D.Battra Supranatural adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan/atau perawatan tradisional dengan menggunakan tenaga dalam, meditasi,olah pernapasan, indera keenam (pewaskita), kebatinan antara lain :

1. Tenaga Dalam (Prana) adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam (bio energi, inner power) antara lain Satria Nusantara, Merpati Putih, Sinlamba, Padma Bakti, Kalimasada, Anugrah Agung, Yoga, Sinar Putih, Sinar Pedrak, Bakti Nusantara, Wahyu Sejati dan sebagainya.

2. Battra Paranormal adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan menggunakan kemampuan indera keenam (pewaskita).

3. Reiky Master (Tibet, Jepang) adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan menyalurkan, memberikan energi (tenaga dalam) baik langsung maupun tidak langsung (jarak jauh) kepada penderita dengan konsep dari Jepang.

4. Qigong (Cina) adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan cara menyalurkan energi tenaga dalam yang berdasarkan konsep pengobatan tradisional Cina.

5. Battra kebatinan adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan menggunakan kebatinan untuk menyembuhkan penyakit.

(32)

B.Hukum Perlindungan Konsumen

Menurut Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Konsumen dalam pengertian tersebut merupakan konsumen akhir yang umumnya lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan dan daya tawar. Karena itu sangat dibutuhkan penyeimbangan daya tawar konsumen dan kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen antara lain dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.

Adapun hak-hak konsumen, yaitu:11

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hak ini mempunyai cakupan yang luas. Konsumen sebagai pemilik atau pengguna barang dan/ atau jasa tidak boleh diganggu dalam menikmati haknya. Arti terganggu mencakup dari tuntutan hak pihak lain atau atas bahaya dari zat-zat tertentu atau yang melampaui ambang batas tertentu yang ditoleransi sesuai dengan izinnya.

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersbut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Untuk melaksanakan hak ini, sudah sepantasnya konsumen diberi waktu yang cukup untuk menentukan pilihannya. Hak ini relevan dengan metode dan cara

11

Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen,

(33)

pemasaran produk yang dilakukan dengan peragaan (demonstration) secara terbatas.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Konsumen informasi ini dapat mendidik konsumen untuk waspada atas informasi yang diungkapkan pada kemasan atau label yang dilekatkan pada barang.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Hak ini dapat dianggap sebagai realisasi atau turunan dari hak untuk menyampaikan pendapat dalam hak asasi manusia dengan right to expression.

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak inipun dimasukkan ke dalam hak asasi manusia.

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Hak ini menjadi akses bagi pemerintah untuk terlibat dalam perlindungan konsumen.

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Hak ini juga menjadi bagian dari hak asasi manusia.

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian. Apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagimana menstinya. Hak ini merupakan risiko yang dipikul oleh pelaku usaha.

(34)

UUPK menghendaki agar masyarakat menjadi konsumen yang baik. Oleh sebab itu, dalam Pasal 5 UUPK diatur tentang kewajiban konsumen, yaitu:12

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Kelalaian atas kewajiban ini dapat beresiko bagi konsumen terhadap penuntutan hak-haknya.

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Indikator adanya itikad baik dapat diketahui dari rangkaian tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh konsumen, sehingga menjadi akibat terjadinya suatu peristiwa.

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Kewajiban konsumen untuk membayar harus dipenuhi sesuai dengan kesepakatan, termasuk jumlah dan nilai tukar barang dengan uang serta cara-cara pembayarannya.

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan sesuai dengan syarat dan prosedur dalam UUPK. Kewajiban ini konsisten dengan asas kepastian hukum dalam perlindungan konsumen.

Hak pelaku usaha dalam UUPK meliputi lima aspek yang sesungguhnya merupakan hak-hak yang bersifat umum dan sudah menjadi standar. Hak-hak pelaku usaha, yaitu:13

12

Ibid, hal 63

13

(35)

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Hak ini merupakan kebalikan dari kewajiban konsumen.

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. Hak ini bukan hanya bagi pelaku usaha, karena negara kita menganut sistem negara hukum, maka setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum, termasuk pelaku usaha.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. Hak untuk membela diri dibolehkan, asalkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Sudah sepantasnya, jika memang tidak terbukti bersalah, nama baik atau reputasinya direhabilitasi.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak pelaku usaha yang terdapat di luar UUPK juga berlaku, sabagai konsekuensi logis dari UUPK yang merupakan peraturan payung.

Kewajiban pelaku usaha meliputi pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen, ditambah dengan kewajiban lainnya yang pada dasarnya untuk melindungi kepentingan konsumen. Adapun kewajiban pelaku usaha menurut Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:14

14

(36)

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Kewajiban semacam ini juga berlaku bagi konsumen.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Kewajiban pelaku usaha ini merupakan timbal balik dari hak konsumen.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. UUPK memberikan ketentuan tegas tentang prinsip nondiskriminatif dalam perlakuan terhadap konsumen. Larangan bagi pelaku usaha untuk membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Sudah sepantasnya pelaku usaha diwajibkan untuk menjaga dan mempertahankan mutu atau kualitas produknya.

(37)

awal seharusnya sudah dirundingkan tentang kondisinya apakah mudah rusak atau tidak, sehingga ada kejelasan tentang risiko yang dapat terjadi, termasuk siapa yang bertanggungjawab.

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Kewajiban ini merupakan timbal balik dari hak konsumen. g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau

jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Ketidak sesuaian barang yang diterima oleh konsumen dengan yang diperjanjikan terjadi, jika konsumen dan pelaku usaha tidak dapat bertemu secara langsung, misal pembelian barang melalui internet. Selain itu, juga transaksi konsumen yang tidak sekaligus dengan penyerahan barang, misal pembelian barang dengan cara pesanan (by order).

C.Aspek Hukum Perdata

(38)

pelayanan kesehatan pengobatan tradisional dalam bidang hukum perdata. Maka ada dua bentuk pertanggungjawaban pokok, yaitu:

a. pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena wanprestasi.

b. pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum.

Ada tiga prinsip pertanggungjawaban perdata yang diatur dalam KUHPerdata, yaitu:

a. Setiap tindakan yang menimbulkan kerugian atas diri orang lain berarti orang yang melakukannya harus membayar kompensasi sebagai pertanggungjawaban kerugian (Pasal 1365 KUHPerdata).

b. Seseorang harus bertanggungjawab tidak hanya karena kerugian yang dilakukannya dengan sengaja, tetapi juga karena kelalaian atau kurang berhati-hati (Pasal 1366KUHPerdata).

c. Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berda di bawah pengawasannya (Pasal 1367 KUHPerdata).

1. Hubungan Hukum

(39)

yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.

Hubungan-hubungan yang diatur oleh hukum itu sendiri disebut hubungan hukum sebagai terjemahan bahasa Belanda rechtbetrekking. Istilah hubungan hukum menunjukkan adanya dua segi yang saling tarik menarik, yaitu adanya hak dan kewajiban15. Hubungan hukum adalah hubungan antar subyek hukum menurut ketentuan hukum yang dapat berupa ikatan hak dan kewajiban16. Dalam hubungan hukum, hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.

Hubungan hukum memiliki tiga unsur sebagai berikut:

a. Adanya orang-orang yang hak dan kewajibannya saling berhadapan. b. Adanya objek yang berlaku berdasarkan hak dan kewajibannya tersebut.

Adanya hubungan hukum antar pemilik hak dan kewajiban atau adanya hubungan atas objek yang bersangkutan 17.

2. Perjanjian

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa saat seorang berjanji kepada seorang lain atau saat dua orang saling berjanji untuk melakukan sesuatu. Hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan prestasi18. Dalam perjanjian terdapat dua belah pihak

15

Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 1984), hal. 33.

16

Wahyu Sasongko, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2010), hal. 50

17

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 269.

18

(40)

yang terikat dalam hubungan hukum sebagai kreditur atau orang yang berpiutang dan debitur atau orang yang berhutang.

Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata, berbunyi: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan denagn mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut Wiryono

Prodjodikoro perjanjian diartikan sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan suatu hal sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanan janji tersebut19. Perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih20.

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian harus memenuhi empat syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pembuatnya. Syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata sering disebut empat syarta sah perjanjian, yaitu:

a. Kesepakatan para pihak.

b. Kecakapan untuk membuat perikatan dianggap dewasa, tidak di bawah pengampuan, dan tidak dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian. c. Adanya objek tertentu.

d. Adanya kausa yang halal.21

Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas yang dinamakan asas konsensualisme (consensus) atau kesepakatan, bahwa dalam suatu perjanjian diisyarakatkan

19

Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 4.

20

Ibid. Hal. 64.

21

(41)

adanya kesepakatan. Arti konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas22.

Meninjau macam hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu:

a. Perjanjian untuk memberikan/ menyerahkan suatu barang.

Ukurannya adalah objek perikatannya, wujud prestasinya, yaitu berupa suatu kewajiban bagi debitur untuk memberikan sesuatu berupa benda bertubuh maupun benda tidak bertubuh yang dilatarbelakangi oleh hubungan hukum para pihak dalam perjanjian tersebut, biasanya para pihak disebut debitur dan kreditur.

b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu

Perjanjian untuk berbuat sesuatu atau melakukan sesuatu perbuatan dapat secara mudah dilaksanakan secara riil, asalkan bagi para pihak kreditur tidak penting oleh siapa perbuatan itu akan dilakukan. Prestasi ini juga berlaku dalam hubungan antara pemberi pelayanan kesehatan pengobatan tradisional dan pasien, seorang yang telah sepakat dengan pasien untuk menyembuhkan rasa sakit pasien, terikat prestasi untuk berbuat sesuatu, yaitu memberikan jasanya kepada pasien.

c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu

Pada perikatan ini, kewajiban prestasinya bukan sesuatu yang bersifat aktif melainkan pasif ynag dapat berupa tidak berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung.

22

(42)

3. Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi yang buruk (wanbeheer yang berarti pengurusan buruk dan wandaad yang berarti perbuatan buruk). Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka ia dikatakan melakukan “wanprestasi”. Menurut Subekti,

wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) salah satu pihak (debitur) dapat berupa empat macam, yaitu:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan melakukannya.

b. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan. c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh23.

Sebagai akibat terjadinya wanprestasi, maka debitur harus: a. Mengganti Kerugian

Debitur harus membayar ganti rugi sebagai akibat kerugian yang diderita kreditur. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1243 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa penggantina biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuat hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggan waktu yang telah dilampaukannya.

23

(43)

b. Pembatalan Perjanjian

Jika perikatan itu timbul dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat meminta pembatalan atau pemutusan perjanjian. Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali kepada keadaan sebelum perjanjian.

c. Risiko

Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihaknya yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.

4. Perbuatan Melawan Hukum

Di dalam hukum perdata, selai gugatan yang didasarkan pada wanprestasi juga dapat dilakukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum. Pengertian perbuatan melawan hukum adalh perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum yang oleh karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal tiga kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:

a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan (pasal 1365).

b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan/ tanpa unsur sengaja maupaun kelalaian (pasal 1366).

(44)

Berdasarkan perkembangan penegertian perbuatan melawan hukum, maka terdapat empat kriteria dari perbuatan melawan hukum:

a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.

Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan kewajiban si pelaku, tetapi tidak semua perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban si pelaku dapat dituntut ganti kerugian.

b. Melanggar hak subjektif orang lain.

c. Melanggar kaidah kesusilaan, yakni kaidah-kaidah moral sejauh yang diterima oleh masyarakat sebagai kaidah huku tertulis.

d. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta kehati-hatian.

Model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut:

1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaiman terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366KUHPerdata.

3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367 KUHPerdata.24

24

(45)

Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan tidak disengaja atau karena lalai. Hal ini diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata yang menyatakan setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.

Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum diatas merupakan tanggung jawab perbuatan melawan hukum secara langsung, dikenal juga dikenal perbuatan melawan hukum secara tidak langsung menurut Pasal 1367 KUHPerdata:

1.Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

2.Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali.

3.Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya;

(46)

5.Tanggung jawab yang disebutkan diatas berakhir, jika orangtua-orangtua, wali-wali, guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab.

Pertanggungjawaban majikan dalam Pasal 1367 Ayat 3 KUHPerdata tidak hanya mengenai tanggung jawab dalam ikatan kerja saja, termasuk kepada seorang yang di luar ikatan kerja telah diperintahkan seorang lain untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu, asal saja orang yang diperintahkan melakukan pekerjaan tersebut melakukan pekerjaannya secara berdiri sendiri baik atas pimpinannya sendiri atau telah melakukan pekerjaan tersebut atas petunjuknya.25 Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1601 a KUHPerdata yaitu persetujuan perburuhan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Tanggung jawaban majikan atas perbuatan-perbuatan melawan hukum dari karyawan-karyawannya. 26

Putusan Hoge Raad tanggal 4 November 1938 mengatur pula pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan yang sekalipun diluar tugas sebagaimana yang diberikan kepada bawahan, namun ada hubungannya sedemikian rupa dengan tugas bawahan tersebut, sehingga dapat dianggap dilakukan dalam pekerjaan untuk mana bawahan tersebut digunakan pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1367 Ayat 3 KUHPerdata dimaksudkan

25

M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, cet.2, (Jakarta : Pradnya Paramita : 1982), hlm 128.

26

(47)

untuk mencakup pula kerugian yang disebabkan oleh perbuatan yang tidak termasuk tugas yang diberikan pada bawahan, namun ada hubungannya sedemikian rupa dengan tugas bawahan tersebut, sehingga perbuatan tersebut dianggap dilakukan dalam pekerjaan untuk mana bawahan tersebut digunakan.27

27

(48)

D. Kerangka Pikir

Hubungan Hukum Pemberi Pelayanan

Kesehatan Pengobatan Tradisional

Pasien Pengobatan Tradisional

UU No. 8 Tahun 1999

Kepmenkes No. 1076 Tahun 2003

Tanggungjawab Pemberi Pelayanan Kesehatan Pengobatan Tradisional

(49)
(50)

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian dilakukan dalam usaha untuk memperoleh data yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Selain itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul.1

A.Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif terapan. Penelitian ini mengkaji pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif (perundang-undangan) dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.2

Dalam penelitian ini objek kajiannya meliputi ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Kepmenkes Nomor 1076

1

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004) hal. 57

2

(51)

Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional yang dimana berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan pengobatan tradisional.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu penelitian hukum yang bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum yang berlaku di masyarakat.3

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif terapan, yaitu pendekatan secara sistematis dengan langkah-langkah mengidentifikasikan pokok bahasan (topical subject) dan subpokok (subtopical subject) , dan ketentuan-ketentuan hukum normatif yang menjadi tolak ukur

terapan, serta penerapan ketentuan hukum normatif yang menjadi tolak ukur terapan pada peristiwa hukum yang bersangkutan, ynag menghasilkan perilaku terapan yang sesuai atau tidak sesuai.

3

(52)

Tahap-tahap pendekatan masalah adalah sebagai berikut:4

1. Penentuan pendekatan yang lebih sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

2. Identifikasi pokok bahasan (topical subject) berdasarkan rumusan masalah penelitian.

3. Pembuatan rincian subpokok bahasan (subtopical subject) berdasarkan setiap pokok bahasan hasil identifikasi.

4. Pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, dan data kesimpulan.

D. Data dan Sumber Data

Berdasarkan jenis dan pendekatan masalah yang digunakan, maka data dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yang diperlukan adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan, dengan cara mengumpulkan dari berbagai sumber bacaan yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Bahan hukum primer (primary law material), yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan perundang-undangan, yaitu:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

c. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. d. Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

e. Kepmenkes No. 1076 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional

4

(53)

2. Bahan hukum sekunder (secondary law material), yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa literatur-literatur hukum kesehatan, dokumen-dokumen hukum dan dokumen perjanjian yang berhubungan dengan rumusan masalah dan pokok bahasan.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Sumbernya dapat berupa kamus bahasa Indonesia, kamus hukum, internet dan hasil penelitian.

B.Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang sesuai dengan yang diharapkan, maka dalam penelitian ini digunakan pengumpulan data sebagai berikut:

1. Studi Pustaka

Studi kepustakaan adalah suatu kajian atas bahan-bahan tertulis atau literatur-literatur yang memuat tentang perlindungan hukum terhadap pasien pelayanan kesehatan pengobatan tradisional. Studi pustaka dilakukan melalui tahap-tahap identifikasi pustaka sumber data, identifikasi bahan hukum yang diperlukan, dan inventarisasi bahan hukum yang diperlukan tersebut.

2. Studi Dokumen

(54)

3. Wawancara

Wawancara adalah percakapan tanya jawab dengan narasumber yang mana bahan pertanyaan sudah ditentukan terlebih dahulu agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan hanya untuk mendukung data sekunder yang diperoleh.

C.Pengolahan Data

Untuk memperoleh data yang akurat dan sesuai dengan yang diharapkan, maka dalam penelitian ini digunakan pengolahan data sebagai berikut:5

1. Pemeriksaan Data (Editing)

Memeriksa atau mengoreksi kelengkapan dan kebenaran data yang sudah terkumpul dan sudah sesuai (relevan) dengan permasalahan.

2. Penandaan Data (Coding)

Memberi catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data, pemegang hak cipta atau rumusan masalah. Catatan atau tanda dapat ditempatkan dalam badan tulisan (body text) dan catatan atau tanda dapat juga ditempatkan di bagian bawah teks yang disebut catatan kaki (footnote) dengan nomor urut.

3. Rekostruksi Data (Reconstructing)

Menyusun ulang secara teratur, berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.

4. Sistematika Data (Systematizing)

Menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.

5

(55)

D.Analisis Data

Setelah dilakukan pengolahan data, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menghubungkan data yang satu dengan data yang lain secara lengkap, kemudian ditarik kesimpulan sehingga diperoleh gambaran yang jelas mengenai jawaban dari permasalahan yang dibahas. Analisis kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.6

6

(56)

V. PENUTUP

Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan tentang Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Pengobatan Tradisional dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tanggungjawab pemberi pelayanan kesehatan pengobatan tradisional terhadap pasien bila terjadi kerugian akibat menggunakan pengobatan tradisional, yaitu menurut Pasal 19 UUPK pelaku usaha bertanggungjawab memberi ganti kerugian, pengembalian uang atau apapun pemberina santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila terbukti bersalah.

(57)

A. Buku

Amri, Amir. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Jakarta: Widya Medika. 1997.

Anonim. 2010. Format Penulisan Karya Ilmiah. Bandar Lampung: Penerbit Universitas

Lampung. 2010.

Guwandi. Hukum Medical. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2004

Hadikusuma, Hilman. Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni. 1984.

Indriyanti, Alexandra. Etika Hukum Kesehatan. Yogyakarta:Pustaka Book Publisher. 2008.

Komalawati, Veronica. Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik. Bandung:

Citra Aditya Bakti. 1999.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

2004.

Notoatmodjo, Soekidjo. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2010.

Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Perjanjian. Mandar Maju. Bandung. 2000.

Soeroso, R. 2001. Pengantar Ilmu Huku. Sinar Grafika. Jakarta.

Sasongko, Wahyu. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar

(58)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Kepmenkes No. 1076 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional

C. Website

http:// mutiara keadilan.blogspot, hukum-kesehatan, diakses pada 21 Desember 2012

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis, diketahui komposisi asam oleat dan minyak atsiri bunga cempaka putih ( Michelia alba ) dengan perbandingan 0,549:0,451 menghasilkan karakter fisik matriks patch

Canna edulis Kerr yang dikenal dengan tanaman Ganyong merupakan tanaman yang berpotensi mengandung karbohidrat dalam bentuk gula kompleks seperti serat

SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ ATAU BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN YANG TELAH TERDAFTAR

“Jikalau Allah menciptakan alam semesta, berati adanya dimensi supranatural pada realita, dan ini berarti bahwa mujizat adalah mungkin.” 32 Jika oleh

Dijelaskan oleh Gilliom bahwa semakin anak (pada usia 3.5 tahun) mengalihkan hal-hal yang menyebabkan perasaan frustasi yang dialaminya dengan cara active distraction

Alih-alih melihat masyarakat hukum adat dalam identitas tunggalnya sebagai warga negara yang mutlak harus tunduk pada hukum positif sehingga jikalaupun harus

Waktu preventive yang meminimumkan biaya untuk mesin tuber yang memiliki distribusi Generalized Gamma adalah jika preventive dilakukan setiap 27 hari dengan estimasi biaya