• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT ADAT BALI (STUDI PADA MASYARAKAT BALI DI DESA WIRATA AGUNG KECAMATAN SEPUTIH MATARAM KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT ADAT BALI (STUDI PADA MASYARAKAT BALI DI DESA WIRATA AGUNG KECAMATAN SEPUTIH MATARAM KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT ADAT BALI (STUDI PADA MASYARAKAT BALI DI DESA WIRATA AGUNG KECAMATAN

SEPUTIH MATARAM KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)

Oleh

Ni Putu Yudiastuti

Kedudukan anak angkat dalam hukum adat umumnya ditentukan oleh sistem hukum dalam proses pengangkatan anak, sistem kekeluargaan dan sistem pewarisan yang dilakukan. Pengangkatan anak adalah pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkatnya timbul hubungan antara anak sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai orang tua sendiri.

Dalam praktiknya pengangkatan anak di Desa Wirata Agung disebut dengan “nyentanayang”. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak, kedudukan anak angkat, serta akibat hukum pengangkatan anak menurut adat Bali di Desa Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris, dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif empiris . Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder yang diperoleh dengan cara wawancara dan studi pustaka. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengangkatan anak menurut adat Bali di Desa Wirata Agung disebut “Nyentanayang” dengan upacara peperasan / widhi widhana. Pelaksanaan pengangkatan anak lazimnya diambil dari salah satu keluarga yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa (pancer laki-laki). Tetapi akhir-akhir ini dapat pula diambil dari keluarga istri (pradana). Pada umumnya anak yang diangkat itu diutamakan adalah anak laki-laki dan apabila tidak ada anak laki-laki barulah bisa terhadap anak

perempuan dengan merubah statusnya menjadi “Sentana Rajeg”. Masyarakat Adat Bali di Desa Wirata Agung dalam proses pengangkatan anak hanya dengan cara mengadakan upacara

(2)

bukti tertulis adanya pengangkatan anak bagi masyarakat setempat (masyarakat Hindu Bali). Kedudukan anak angkat adalah sama dengan anak kandung, maka hak dan kewajiban anak angkat sama dengan anak kandung. Akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak pada masyarakat Bali adalah anak yang sudah diangkat tidak mendapat hak waris dari orang tua kandungnya melainkan menjadi ahli waris orang tua angkatnya. Hubungan dengan orang tua kandung menjadi terputus tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak dengan orang tua kandungnya dan kedudukan anak angkat dengan orang tua angkat mempunyai kedudukan sebagai anak sendiri atau kandung.

(3)

PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT ADAT BALI ( STUDI PADA MASYARAKAT BALI DI DESA WIRATA AGUNG KECAMATAN SEPUTIH MATARAM KABUPATEN LAMPUNG

TENGAH )

(Skripsi)

Oleh

NI PUTU YUDIASTUTI 1012011375

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

Penulis dilahirkan di Seputih Mataram, Kabupaten Lampung Tengah pada tanggal 22 Desember 1992, sebagai anak pertama dari empat bersaudara, buah hati pasangan Bapak Drs. I Nyoman Gama dan Ni Nyoman Suniatin, S.E

Penulis memulai jenjang pendidikan pada Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Lampung Tengah yang diselesaikan pada tahun 2004, dilanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Seputih Mataram yang diselesaikan pada tahun 2007 dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Seputih Mataram yang diselesaikan pada tahun 2010.

(8)

Blakas mangan di pisage

Arti: Apa gunanya mempunyai anak laki-laki yang gagah dan penurut, Jika anak tersebut tinggal rumah ditetangga (Nyentanayang)

( Pepatah Bali )

(9)

PERSEMBAHAN

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,

yang selalu mengiringi langkahku dan selalu memberikan kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini. Dengan rendah hati kupersembahkan skripsi ini kepada :

Kedua orang tuaku Ayahanda Drs. I Nyoman Gama dan Ibunda Ni Nyoman Suniatin, S.E. serta saudara-saudara tercintaku I Ngurah Bagus Suganda, I Ngurah Wetu Dwi Phayana,

I Ngurah Tripanca Diputra.

(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis haturkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia dan nikmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebuah skripsi sederhana dengan judul Pengangkatan Anak Dan Akibat Hukumnya Menurut Adat Bali (studi Pada Masyarakat Bali Di Desa Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah) sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan dukungan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum., Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Ibu Aprilianti, S.H., M.H., Pembimbing I atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik serta petunjuk kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini;

(11)

6. Ibu Siti Nurhasanah, S.H., M.H., Pembahas II yang telah memberikan masukan, motivasi dan saran demi perbaikan penulisan skripsi ini;

7. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah memberikan bantuan, saran dan arahan yang membangun terhadap skripsi penulis dan selalu menjadi tempat penulis untuk berbagi pikiran dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universtisas Lampung;

8. Seluruh Dosen pengajar Fakultas Hukum yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama penulis mengikuti proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

9. Pak Tarno, Bude Siti, Pakde yang telah membantu dalam segala urusan;

10.Seorang sosok teman terbaik dan terdekatku I Wayan Is Indra Saputra sebagai sosok yang selalu memberikan pengertian, dukungan, semangat, motivasi, perhatian, kasih sayang serta tawa dan canda yang tiada henti kepada penulis selama ini;

11.Saudara dan sahabatku Ni Komang Windari, Ni Komang Novita Sari, I Wayan Samudra, I Gusti Ngurah Yoga, I Nyoman Wisnu, I Wayan Agus Setiawan, I Made Dopiada yang selalu mencurahkan perhatian, kasih sayang, berbagi tawa dan canda. Terimakasih atas persahabatan yang indah dan kebersamaan yang telah kalian berikan selama ini;

(12)

satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan dan pengalamannya;

14.Teman-teman KKN Kedaton Induk kec. Batang Hari Kab. Lampung Timur: Dewi, Oktia, Ara, Esti, Ngudi, fery, Ariken, Doddy, Ulya. Terima kasih telah berbagi hidup bersama, pengalaman berharga yang tak kan pernah terlupakan. 40 hari bersama, 40 hari untuk selamanya;

15.Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu;

16.Almamater tercinta dan seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dengan kebaikan yang lebih besar lagi di sisi-Nya dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Agustus 2014 Penulis

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .. ... i

HALAMAN JUDUL .. ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN .. ... iii

HALAMAN PENGESAHAN .. ... iv

RIWAYAT HIDUP . ... v

MOTO . ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN . ... vii

SANWACANA . ... viii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kegunaan Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Masyarakat Hukum Adat ... 9

1. Pengertian Hukum Adat ... 9

2. Betuk Masyarakat Hukum Adat ... 12

B. Tinjauan Umum Masyarakat Hukum Adat Bali ... 15

C. Tinjauan Umum Pengangkatan Anak ... 17

1. Pengertian Anak ... 17

2. Pengertian Pengangkatan Anak ... 20

3. Pengertian Pengangkatan Anak Menurut Adat Bali ... 21

4. Jenis-jenis Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Bali ... 23

5. Asas-asas Pengangkatan Anak ... 24

6. Kedudukan anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat ... 25

(14)

A. Jenis Penelitian dan Tipe Penelitian ... 30

B. Pendekatan Masalah ... 31

C. Data dan Sumber Data ... 32

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 34

E. Analisis Data ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Pengangkatan Anak Menurut Adat Bali ... 38

1. Syarat Dan Prosedur Pengangkatan Anak Menurut Adat Bali Di Desa Wirata Agung ... 38

2. Pelaksanaan Upacara Pengangkatan Anak Menurut Adat Bali Di Desa Wirata Agung ... 43

B. Kedudukan Anak Angkat Menurut Adat Bali ... 54

1. Kedudukan Anak Angkat Di dalam Keluarga Menurut Adat Bali Di Desa Wirata Agung ... 54

2. Kedudukan Anak Angkat Terhadap Harta Waris Menurut Hukum Adat Bali Di Desa Wirata Agung ... 55

C. Akibat Hukum Perbuatan Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat Bali Di Desa Wirata Agung ... 61

BAB V PENUTUP... 63

A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 65

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan dambaan setiap orang, yang kehadirannya sangat dinanti-natikan dan tumbuh kembangnya sangat diperhatikan. Tak heran banyak sekali orang yang menunggu-nunggu diberikan anak oleh Tuhan agar lengkap kehidupan rumah tangganya. Terkadang memiliki anak merupakan salah satu bentuk penyempurna peran suami dan istri.

Setiap pernikahan tidak selamanya berjalan lancar dengan memiliki keturunan atau anak. Kita memang tidak bisa menebak takdir dan tidak pernah tahu apa kehendak Tuhan. Banyak faktor pasangan suami istri tidak bisa mempunyai anak. Namun banyak cara juga untuk mendapatkan anak, yaitu dengan proses bayi tabung, dan mengadopsi anak (pengangkatan anak). Anak dalam masyarakat merupakan pembawa kebahagiaan, hal ini dapat dibuktikan dalam setiap upacara pernikahan, terdapat doa restu dan harapan semoga kedua insan atau kedua mempelai dikaruniai anak. Seperti halnya pada masyarakat, anak yang lahir diharapkan dapat membawa manfaat bagi orang tuanya.

(16)

kekeluargaan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya dan adapula yang tidak memutus hubungan kekeluargaan anak angkat dengan orang tua kandungnya.

Pengangkatan anak di Indonesia pada umumnya dilatarbelakangi oleh sang calon orang tua angkat yang belum adanya keturunan atau karena ingin menambah momongan, tetapi terhalang oleh karena suatu keadaan pada dirinya sehingga calon orang tua angkat tersebut menempuh lembaga pengangkatan anak. Pemahaman pengangkatan anak secara meluas adalah masuknya anak orang lain kedalam pengasuhan orang tua angkat dan kepada anak tersebut diberi hak hak yang sama sebagaimana anak kandungnya karena pengangkatan anak ini pada dasarnya diikuti pula sikap batin sang orang tua angkat yang mengganggap anak tersebut adalah keturunannya. Salah satu wujud sikap batin tersebut contohnya adalah ketidakrelaan bilamana orang tua kandung meminta kembali anaknya.

Dari sikap batin itulah kemudian anak angkat diberi hak-hak yang sama sebagaimana anak kandungnya. Di sini bukan saja meliputi terhadap pemenuhan kebutuhan kesejahteraannya sehari-hari, melainkan juga terhadap hak-hak hukum kekeluargaan, misalnya, anak tersebut akan memperoleh hak warisan yang sama seperti anak kandungnya, hak menggunakan nama keturunan, dan lain-lain.

(17)

yang melakukan pengabenan mayatnya dan penghormatan pada rohnya dalam Sanggah atau Pura yang mengangkat.

Pada masyarakat hukum ada Bali ikatan kekeluargaannya patrilineal, yaitu berdasarkan pada garis keturunan bapak. Hal ini membawa konsekwensi adanya peranan yang sangat penting bagi anak laki-laki sebagai penerus keturunan bagi keluarganya, sedangkan tidak demikian halnya dengan anak perempuan. Anak laki-laki sebagai penerus keturunan, mempunyai kewajiban bertanggungjawab terhadap pemujaan leluhurnya, oleh karena itu ia berhak terhadap harta warisan orang tuanya. Selanjutnya bagi mereka yang tidak mempunyai anak laki-laki seringkali akan melakukan perbuatan mengangkat anak sebagai penerus keturunan keluarganya. Seorang anak laki-laki menjadi tumpuan harapan orang tuanya, yang berkewajiban memelihara orang tuanya di kemudian hari setelah tidak mampu bekerja lagi, terlebih untuk kesempurnaan peribadatan orang tuanya saat meninggal dunia.

pengangkatan anak menurut hukum adat Bali harus adanya upacara Dewa Saksi, Manusia Saksi dan adanya Siar. Dewa Saksi di dalam masyarakat hukum adat Bali disebutkan dengan Peras, sedangkan Manusia Saksi merupakan persetujuan serta kesaksian dari pihak yang berkepentingan. Siar merupakan pengumuman terhadap pengangkat anak tersebut yang biasanya dilakukan di dalam pertemuan masyarakat adat atau banjar dimana yang bersangkutan tunduk pada hukum adatnya.

(18)

menunaikan pitra puja yaitu pemujaan dan tanggung jawab kepada leluhur, yang diiringi dengan hak mendapat warisan, mempergunakan dan menjaga barang-barang pusaka. Berdasarkan susunan masyarakat Bali yang mempertahankan garis keturunan bapak (patrilinial) yang berhak menjadi ahli waris adalah anak laki-laki karena anak laki-laki menurut kepercayaan masyarakat adat Bali adalah juru selamat orang tua di dunia dan akhirat.

Anak perempuan tidak berhak mendapat harta warisan karena setelah menikah ia akan meninggalkan keluarganya dan masuk ke dalam ikatan keluarga suaminya sehingga tidak akan bisa melaksanakan tanggung jawab seperti yang dibebankan pada anak laki-laki. Namun jika pasangan suami istri hanya mempunyai anak perempuan lebih-lebih bila hanya putri tunggal, dapat mengusahakan membuat sentana rajeg yaitu pengantin wanita yang menarik suaminya keluar dari ikatan purusa bapak ibu dan saudara-saudaranya dan kemudian masuk ke dalam keluarga istrinya. Dan selanjutnya keturunan yang diperoleh adalah merupakan pelanjutan dari keluarga istrinya. Dengan kata lain dalam hal kekeluargaan dan pewarisan, laki-laki yang kawin dengan seorang perempuan yang berstatus sentana rajeg, berkedudukan atau berstatus sebagai wanita. Tujuan utamanya adalah anak wanita memperoleh kedudukan sebagai sentana purusa atau sebagai anak pelanjut keturunan dalam lingkungan keluarganya.

(19)

keluarga orang yang mengangkat ia menjadi anak angkat. Alasan pengangkatan anak pada umumnya tidak ada keturunan. Kedudukan hukum dari anak yang diangkat demikian adalah sama dengan anak kandung suami istri yang mengangkat anak, sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tuanya sendiri secara adat menjadi putus. Ada juga mengangkat anak dari kalangan keluarga. Anak angkat lazimnya diambil dari salah satu keluarga laki-laki yang disebut “purusa” atau pengangkatan anak dari dalam keluarga.

(20)

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya Menurut Adat Bali ( Studi Pada Masyarakat Bali Di Desa Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah )”

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, yang menjadi masalah dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana pelaksanaan pengangakatan anak menurut hukum adat Bali di wilayah Kelurahan Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah?

2. Bagaimana kedudukan anak angkat menurut hukum adat Bali di wilayah Kelurahan Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah?

3. Apa akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat Bali di Kelurahan Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah?

(21)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini adalah mengetahui, memahami dan Menganalisis:

1. Pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat Bali di wilayah Kelurahan Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah.

2. Kedudukan anak angkat menurut hukum adat Bali di wilayah Kelurahan Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah. 3. Akibat hukum pengangkatan anak menurut hukum adat Bali di wilayah

Kelurahan Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah.

D. KegunaanPenelitian

Kegunaan penelitian ini dibagi dua yaitu :

a. Manfaat Teoritis

(22)

b. Manfaat Praktis

1) Secara praktis penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak pihak yang ingin melakukan pengangkatan anak menurut hukum adat Bali.

2) Diharapkan dapat membantu masyarakat atau pembaca untuk bisa mengatahui proses pengangkatan anak menurut hukum adat Bali.

3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak pihak yang terkait dengan pengangkatan anak menurut hukum adat Bali.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Masyarakat Hukum Adat

1. Pengertian Hukum Adat

Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya berkeluarga, kemudian bermasyarakat dan kemudian bernegara. Terjadinya hukum dimulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Perilaku yang terus menerus dilakukan perorangan menimbulkan “kebiasaan pribadi”. Apabila kebiasaan pribadi itu ditiru orang lain maka ia juga akan menjadi kebiasaan orang itu. Lambat laun di antara orang yang satu dan orang yang lain di dalam kesatuan masyarakat ikut pula melakukan kebiasaan itu, maka lambat laun kebiasaan itu menjadi “adat” dari masyarakat itu.

(24)

merupakan karya bersama secara bersama (milik sosial) dari suatu masyarakat hukum adat.1

Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat sehingga menjadi “hukum adat”. Jadi hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat bersangkutan.2

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.3

1

Dr. Djamanat samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia, Bandung: penerbit Nuansa Aulia, hlm2 2

Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Penerbit Mandar Maju, hlm.1

3

(25)

Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh:

a. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.

b. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit. c. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.

Ciri-ciri dari hukum adat yaitu:

a. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi. b. Tidak tersusun secara sistematis.

c. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan. d. Tidak tertatur.

e. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).

f. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.4

Adat Menurut Masyarakat Bali adalah pokok pangkat kehidupan kelompok masyarakat adat di Bali berdasarkan pada penuangan dari falsafah agama Hindu disebut Tri Hita Karana atau yaitu upaya umum masyarakat untuk berusaha menegakan keseimbangan hubungan antara warga masyarakat itu sendiri, upaya penegakan keseimbangan hubungan warga masyarakat dalam kelompok masyarakat dan keseimbangan masyarakat keseluruhan dengan alam Ke-Tuhanan.5

4

Muhammad Bushar, 2004, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta: PT Penebar Swadaya, hlm. 5 5

(26)

2. Bentuk Masyarakat Hukum Adat a. Masyarakat Hukum Teritorial

Masyarakat hukum teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.

Para anggota masyarakatnya merupakan anggota-anggota yang terikat dalam kesatuan yang teratur baik ke luar maupun ke dalam. Di antara anggota yang pergi merantau untuk waktu sementara masih tetap merupakan anggota kesatuan territorial itu. Begitu pula orang yang datang dari luar dapat masuk menjadi anggota kesatuan dengan memenuhi persyaratan adat setempat.

b. Masyarakat Hukum Genealogis

(27)

c. Masyarakat Teritorial-Genealogis

Masyarakat hukum teritorial-genealogis adalah kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur di mana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman pada suatu daerah tertentu, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau kekerabatan.

d. Masyarakat Adat-Keagamaan

Di antara berbagai kesatuan masyarakat adat akan terdapat kesatuan masyarakat adat yang khusus bersifat keagamaan di beberapa daerah tertentu. Jadi ada kesatuan masyarakat adat-keagamaan menurut kepercayaan lama, ada kesatuan masyarakat yang khusus beragama Hindu, Islam, Kristen/Katolik, dan ada yang sifatnya campuran.

Di lingkungan masyarakat yang didominasi kepercayaan dan agama tertentu, maka para anggotanya selain merupakan warga kesatuan desa menurut perundangan, tetapi juga juga merupakan warga adat yang tradisional dan warga keagamaan yang dianutnya masing-masing.

Tetapi ada kalanya kita melihat adanya suatu desa atau suatu daerah kecamatan yang tidak terdiri dari suatu kesatuan masyarakat adat atau masyarakat agama tertentu, melainkan berbeda-beda, sehingga karena adanya perbedaan itu maka diantara masy

(28)

keagamaaan mereka. Jadi ada masyarakat yang merupakan kesatuan masyarakat “desa umum” berdasarkan ketentuan perundangan dan ada “desa adat” yang khusus.

e. Masyarakat Adat Perantauan

Masyarakat desa adat keagamaan Sadwirama tersebut merupakan suatu bentuk baru bagi orang-orang Bali untuk tetap mempertahankan eksistensi adat dan agama Hindunya di daerah perantauan. Lain halnya dengan masyarakat adat Melayu, seperti orang Aceh, Batak, Minangkabau, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lainnya, yang berada di daerah perantauan cenderung membentuk kelompok-kelompok kumpulan kekeluargaan seperti “rukun kematian”, atau membentuk sebagai “kesatuan masyarakat adat” yang berfungsi sebagai pengganti kerapatan adat di kampung asalnya.

Di dalam organisasi perkumpulan tersebut duduk para tua-tua adat dari masyarakat adat bersangkutan, dengan susunan pengurus: Ketua, Sekretaris, Bendahara dan para anggota. Susunan kepengurusan itu disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang ada di perantauan. Jadi tidak lagi tersusun sebagaimana susunan asli di daerah asalnya; begitu pula hukum adat yang diterapkan tidak lagi sempurna sebagaimana di daerah asalnya.

f. Masyarakat Adat Lainnya

(29)

yang tidak berdasarkan pada hukum adat yang sama atau daerah asal yang sama, melainkan pada rasa kekeluargaan yang sama dan terdiri dari berbagai suku bangsa dan berbeda agama.

Bentuk masyarakat adat ini kita temukan di berbagai instansi pemerintah atau swasta, atau di berbagai lapangan kehidupan sosial ekonomi yang lain. Kesatuan masyarakat adatnya tidak lagi terikat pada hukum adat yang lama melainkan dalam bentuk hukum kebiasaan yang baru.

B. Tinjauan Umum Masyarakat Hukum Adat Bali

Pokok pangkal kehidupan kelompok masyarakat adat di Bali berdasar pada penuangan dari falsafah agama Hindu yang disebut Tri Hita Karana yaitu upaya umum masyarakat untuk berusaha menegakkan keseimbangan hubungan antara warga masyarakat itu sendiri, upaya menegakkan keseimbangan hubungan warga masyarakat dengan kelompok masyarakat dan keseimbangan masyarakat keseluruhan dengan alam ke-Tuhanan. Falsafah ini sudah begitu mendalam mewarnai kehidupan/pola hidup masyarakat Bali, sehingga kini upaya pengembalian masyarakat selalu disandarkan kepada ketiga hal diatas6. Berikut adalah uraian singkat mengenai ketiga hal pokok tersebut:

a. Hubungan Antarwarga

Di dalam susunan murni lingkungan masyarakat adat Bali, dikenal adanya wadah “desa adat” yang mengorgansir masyarakat secara bulat. Eksistensi desa adat

(30)

sangat dominan bahkan hampir menjangkau seluruh aspek kehidupan. Desa adat berpegangan kepada suatu sarana yang menyebabkan ia semakin bulat yang disebut Pura Kahyangan Tiga sebagai tempat pemujaan Trisakti. Pura Kahyangan Tiga ini meliputi Pura Bale Agung sebagai tempat pemujaan Brahma, Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Wisnu dan Pura Dalem sebagai tempat pemujaan Durga. Dari ketiga sarana inilah bersumber begitu banyak kewajiban dan hak-hak.

Hubungan antarwarga desa ini, meliputi aturan-aturan nyata yang dibuat oleh masyarakat yang dituangkan dalam bentuk awig-awig yang mengatur misalnya batas-batas pekarangan, pitra yadnya yaitu warga masyarakat harus mengindahkan juga hubungan keagamaan dengan upacara-upacara di tempat persembahyangan desa. Dalam aspek lain hubungan antarwarga ini menonjol juga di dalam hal pentaatan terhadap kebiasaan pergaulan hidup yang dihormati yang dapat berupa tata susila, sopan santun dalam pergaulan hidup di suatu desa dan lain-lain.

b. Hubungan Warga dengan Kelompok Masyarakat

Bentuk hubungan ini umumnya lebih jelas dapat dilihat dalam bentuk pengaturan hubungan hidup kerukunan dalam wadah aturan tertulis (awig-awig), termasuk pula yang tidak tertulis tetapi ditaati secara turun-temurun.

(31)

kesopanan adat dan tata susila yang dianggap patut itu menjadi terdorong ke depan pada setiap tindakan dan dilaksanakan dengan sedemikian penuh kesadaran oleh setiap anggota masyarakat, karena takut akan sanksi sosial yang umumnya ditimpakan oleh kelompok masyarakat.

c. Hubungan dengan Alam ke-Tuhanan

Manifestasi hubungan ini sangat nyata di masyarakat Bali. Secara bulat masyarakat adat terikat kepada kewajiban-kewajiban ke tempat persembahyangan yang ada di desa yang disebut Pura Kahyangan Tiga. Ke pura ini masyarakat memikul cukup banyak kewajiban-kewajiban keagamaan. Tidak jarang kewajiban-kewajiban ini ada sangkut pautnya dengan sumber kekayaan dan kehidupans sehari-hari bahkan sejumlah kehidupan material dengan sarana-sarana kekayaan seperti tanah-tanah, pekarangan dicantolkan dengan kewajiban ke pura atau ke desa.

Setiap langkah kehidupan, terkait dengan begitu menyatu pada sarana-sarana desa yang ada dan hampir setiap kegoncangan yang terjadi di masyarakat selalu dihubungkan dengan alam ke-Tuhanan.

C. Tinjauan Umum Pengangkatan Anak 1. Pengertian Anak

(32)

faktor lingkungan juga memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi kepribadian si anak ketika menyongsong fase kedewasaannya kelak. Yang dimaksud dengan anak adalah seseorang sejak mulai berada dalam kandungan sampai usia 18 tahun dan belum pernah kawin. Anak adalah sosok yang akan memikul tanggung jawab di masa yang akan datang, sehingga tidak berlebihan jika Negara memberikan suatu perlindungan bagi anak-anak dari perlakuan-perlakuan yang dapat menghancurkan masa depannya. Undang-Undang memberikan beberapa terminologi anak berdasarkan fungsi dan kedudukannya antara lain sebagai berikut:7

a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

7

(33)

Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya.

c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak

Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.

(34)

2. Pengertian Pengangkatan Anak

Dari segi perkembangan hukum nasional. rumusan pengertian pengangkatan anak secara formal dan berlaku bagi seluruh pengangkatan anak di Indonesia tanpa membeda-bedakan golongan atau suku, juga tanpa membedakan domestic adoption atau inter-country adoption dituangkan dalam Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanan Pengangkatan Anak8.

“Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan, seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat”

Pengangkatan anak adalah pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkatnya timbul hubungan antara anak sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai orang tua sendiri. Hubungan yang timbul ini berupa akibat hukum yang timbul dari perbuatan hukum pengangkatan anak.

Pengangkatan anak sering juga diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari Adoptie (Belanda) atau adoption (Inggris). Adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi, dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut adoption of a child.

8

(35)

3. Pengertian pengangkatan anak menurut Adat Bali

Pada hukum adat Bali pengangkatan anak dikenal dengan beberapa istilah seperti meras pianak atau meras sentana. Kata sentana berarti anak atau keturunan dan kata meras berasal dari kata peras yaitu semacam sesajen atau banten untuk pengakuan / pemasukan si anak ke dalam keluarga orang tua angkatnya. Disamping istilah tersebut di atas ada pula yang memakai istilah atau menyebut dengan ngidih sentana / ngidih pianak. Penyebutan tersebut mengandung pula pengertian sama dengan pengertian meras senatana taupun meras pianak.

Pengertian pengangkatan anak di Bali kiranya tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan di atas. Adapun yang dimaksud dengan anak angkat dalam hukum adat Bali adalah anak orang lain diangkat oleh orang tua angkatnya menurut adat setempat, sehingga dia mempunyai kedudukan sama seperti anak kandung yang dilahirkan oleh orang tua angkatnya tersebut. Hal ini selanjutnya akan membawa akibat hukum dalam hubungan kekeluargaan, waris dan kemasyarakatan. Konsekuensinya disini segala hak dan kewajiban yang ada ada orang tua angkatnya akan dilanjutkan oleh anak angkat itu sendiri, sebagaimana layaknya seperti anak kandung. Dari pengertian pengangkatan menurut Hukum Adat Bali seperti tersebut di atas dapat dijabarkan :

a. Adanya perbuatan melepas si anak dari kekuasaan orang tua kandung. b. Adanya perbuatan memasukkan si anak ke dalam kekerabatan orang tua

(36)

Pengertian melepaskan si anak adalah perbuatan berupa permintaan calon orang tua angkat terhadap orang tua kandung si anak atau kerabat si anak. Permintaan itu untuk melepas si anak dari kekuasaan orang tua kandungnya/kerabatnya yang selanjutnya dimasukkan ke dalam keluarga orang tua angkat untuk didudukkan sebagai pelanjut keturunan. Perbuatan hukum ini termasuk pula pengumuman atau siaran yaitu pengumuman yang ditujukan kepada masyarakat adat maupun kepada kerabat-kerabat si anak itu. Adapun maksud dari pengumuman itu agar ada kata sepakat untuk melepas si anak tersebut dan perbuatan tersebutpun menjadi terang. Pengertian memasukkan si anak ke dalam kerabat orang tua angkatnya : tercermin dalam perbuatan yang berupa pelaksanaan upacara pemerasan atau mewidiwidana. Secara keagamaan hal ini mengandung arti bahwa si anak akan dilepas dari kekuasaan baik dari orang tua kandungnya/kerabat maupun leluhurnya untuk selanjutnya dimasukkan dalam lingkungan kerabat orang tua angkatnya. Disamping itu upacara tersebut juga mengandung arti bahwa si orang tua angkat selanjutnya akan mengakui si anak tadi sebagai anak kandung sendiri. Mulai saat itulah timbul hubungan hukum antara si anak angkat terhadap orang tua angkatnya. Dengan demikian secara yuridis anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak lagi ada hubungan waris mewaris tapi ia mewaris pada orang tua angkatnya.

(37)

masyarakat adat di Jawa kedudukan anak angkat hanya sebagai anggota keluarga orang tua angkatnya, ia tidak berstatus sebagai anak kandung.9

4. Jenis-jenis Pengangkatan anak pada masyarakat Bali

Pengangkatan dilakukan melalui upacara Paperasan yaitu upacara yang dihadiri oleh kepala adat dan keluarga dalam satu “pakraman” atau kekeluargaan. Upacara dilakukan dengan membakar benang melambangkan hubungan dengan ibunya putus, dan pembayaran adat berupa 1.000 (seribu) kepeng serta seperangkat pakaian. Yang kemudian diumumkan (siar) kepada warga desa, dan kemudian raja memberikan izinnya dengan membuatkan akta (“surat Peras”).10

Memperhatikan ketentuan di atas, tampak ada beberapa poin penting yang patut diperhatikan apabila pasangan suami-istri ingin mengangkat anak, yaitu: (1). Anak yang diangkat berasal dari anggota keluarga sedarah terdekat (“kasta” yang sama), dalam garis keturunan laki-laki. (2). Perlu mendapat persetujuan keluarga dan desa. Dalam pengangkatan anak (adopsi) kemenakan ini selain dilatarbelakangi karena alasan tidak atau belum dikaruniai anak, juga terdorong oleh rasa kasihan atau iba. Perbedaan antara adopsi kemenakan dan adopsi dengan satu clan/ kekerabatan dalam perbedaan status dan tidak adanya pembayaran.

Menurut Tolib Setiady , pada umumnya pada masyarakat Bali terdapat sebab-sebab mengangkat anak dari keponakan adalah:

9

R.Soepomo, 2000, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, hlm 104 10

(38)

a. Tidak mempunyai anak sendiri sehingga dengan mengangkat keponakan tersebut merupakan jalan untuk mendapatkan keturunan.

b. Belum dikaruniai anak sehingga dengan mengangkat anak tersebut.

c. diharapkan akan mempercepat kemungkinannya akan medapatkan anak (kandung).

d. Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan karena misalnya hidupnya kurang terurus, dan lain sebagainya.11

5. Asas Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Adat

Dalam pengangkatan anak pada masyarakat adat akan memunculkan asas-asas antara lain:

a. Asas mengangkat anak untuk meneruskan garis keturunan.

b. Asas mengangkat anak laki-laki untuk meneruskan garis keturunannya Biasanya terjadi pada msyarakat Bali.

c. Asas mengutamakan kesejahteraan anak angkat Kedudukan anak angkat dalam keluarga.12

d. Asas kekeluargaan e. Asas kemanusiaan f. Asas persamaan hak

11

Tolib setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta, Bandung, hlm. 30 12

(39)

g. Anak angkat dalam masyarakat adat diterima secara biologis dan sosial, sehingga kedudukannya sama dengan anak kandung begitupula dengan hak-haknya sebagai anak.

h. Asas musyawarah dan mufakat i. Asas tunai dan terang

6. Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat

Pada umumnya menurut hukum adat kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung apabila ia diangkat secara terang dan tunai yaitu disaksikan oleh Ketua adat (Kepala Desa) dan ada uang sebagai penganti untuk orang tua kandung si anak angkat.

Kedudukan anak angkat di Bali yaitu anak angkat diperlakukan sama sebagai anak kandung sendiri juga terhadap harta warisan dari orang tua angkatnya ia berhak mewarisinya dan sebaliknya si anak angkat itu akan kehilangan hak waris di rumah keluarga kandungnya sendiri dan ia berkewajiban untuk menyelenggarakan upacara pembakaran jenasah (pengabenan) orang tua angkatnya.13

Apabila seorang anak perempuan disahkan menjadi anak angkat, maka ia dianggap sebagai seorang lelaki dan ia tetap mempunyai hak waris setelah ia menikah (kawin nyeburin), sehingga kemudian dalam mewaris harta peninggalan orang tua asalnya ia mewaris bersama-sama dengan saudara-saudara perempuannya yang belum menikah.

13

(40)

7. Hak mewaris bagi anak angkat

Anak-anak yang berhak menjadi ahli waris dapat dibedakan atas :14

1) Anak kandung, yakni anak yang lahir dalam suatu perkawinan sehingga timbul hubungan hukum antara orang tua dan anak baik dalam pemeliharaan juga terhadap harta kekayaan.Anak kandung akan menjadi ahli waris dari orang tuanya yang meninggal dunia, akan tetapi jika dihubungkan dengan sistem kekerabatan maka tidak semua anak yang masih hidup berhak menjadi ahli waris, yaitu :

a. Pada masyarakat matrilineal, semua anak berhak menjadi ahli waris hanya dari ibunya saja (misalnya di Minangkabau).

b. Pada masyarakat patrilineal, hanya anak laki-laki saja yang berhak menjadi ahli waris dari orang tuanya (misalnya di Batak).

c. Pada masyarakat bilateral, semua anak baik laki-laki maupun perempuan berhak menjadi ahli waris dari orang tuanya (misalnya di Jawa).

2) Bukan anak kandung, yakni anak yang tidak dilahirkan dari perkawinan pewaris, yang terdiri atas :

a. Anak angkat, yakni anak orang lain yang diangkat menjadi anak sendiri. Akan tetapi tidak semua anak angkat berhak menjadi ahli waris. Misal di Bali anak angkat berhak menjadi ahli waris orang tua angkat karena pengangkatan anak tersebut mengakibatkan terputusnya pertalian keluarga

14

(41)

dengan orang tua sendiri.Sedangkan di Jawa pengangkatan anak tidak mengakibatkan putusnya pertalian keluarga orang tuanya sendiri.

b. Anak piara, yakni anak orang lain yang dipelihara baik dengan sukarela atau perjanjian. Anak piara tidak berhak menjadi ahli waris yang memeliharanya.

c. Anak gampang, yakni anak yang dilahirkan tanpa ayah sehingga anak tersebut berhak menjadi ahli waris dari ibunya saja.

d. Anak tiri, yakni anak yang dibawa oleh suami atau istri kedalam suatu perkawinan yang baru. Anak tiri hanya menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya saja.

D. Akibat Hukum Yang Timbul Dari Pengangkatan Anak

Menurut Ter Haar mengangkat anak mempunyai sifat sebagai suatau perbuatan hukum yang rangkap, dan juga bersifat magis religius, terang dan tunai. Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa pengangkatan anak itu mempunyai sifat:15

1. Perbuatan hukum yang rangkap berarti ada dua perbuatan hukum yang harus dilalui dalam proses pengangkatan anak yaitu disatu pihak melepaskan anak tersebut dari ikatan kekeluargaan dengan orang tua kandungnya dan dipihak lain memasukkan anak tersebut kedalam ikatan kekeluargaan orang tua angkatnya.

15

(42)

2. Magius religius berarti pada saat pengambilan anak tersebut harus disertai suatu upacara penyerahan suatu benda sebagai pengganti anak tersebut.

3. Terang artinya pengangkatan anak tersebut dikatakan sah, maka dalam proses pengesahannya haruslah disaksikan oleh dan dihadapan kepala desa dan selanjutnya diumumkan secara luas keseluruh desa.

4. Tunai artinya bahwa pengambilan anak harus disertai dengan penyerahan benda yang kelihatran sebagai pengganti anak tersebut pada saat upacara yang dilaksanakan pada saat yang bersamaan.

Menurut Surojo Wignyodipuro mengangkat anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengambil anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang mengangkat anak dengan orang yang diangkat itu timbul suatu hubungan kekluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri.16

Dari berbagai definisi yang diberikan oleh para ahli, ada dua corak pengertian anak angkat. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung kepadanya. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan dia diberi status sebagai anak kandung sehingga hak dan kewajibannya sama seperti anak kandung dan dinasabkan kepada orang tua angkatnya.

Persamaan dari dua jenis defenisi tersebut adalah dari aspek perlindungan dan kepentingan anak seperti pemeliharaan, pengasuhan, kasih sayang, pendidikan, masa

16

(43)
(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian normatif empiris. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, stuktur dan komposisi, lingkup dan materi, penjelasan umum dari pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang tetapi tidak mengikat aspek terapan atau implementasinya.1 Penelitian empiris adalah penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku anggota masyarakat dalam hubungan hidup bermasyarakat.2 Penelitian hukum normatif dengan cara mengkaji hukum tertulis yang bersifat mengikat dari segala aspek yang kaitannya dengan pokok bahasan yang diteliti.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian adalah tipe penelitian deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan secara jelas, rinci dan sistematis mengenai obyek yang akan diteliti. Penelitian deskriptif ini dilakukan untuk melihat secara jelas, rinci, sistematis mengenai pelaksanaan pengangkatan anak, kedudukan anak angkat, dan akbat hukum

1

Abdulkadir Muhamad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 101

2

(45)

pengangkatan anak di wilayahWirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah.

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini melalui 2 (dua) cara, yaitu : 1. Pendekatan Normatif

Pendekatan secara normatif yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah , menelusuri, mempelajari dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini termasuk pendekatan hukum normatif-terapan yang menggunakan data sekunder yang berasal dari buku-buku hukum yang dalam ruang lingkup hukum adat dan buku-buku yang membahas tentang hukum pengangkatan anak.

2. Pendekatan Empiris

(46)

D. Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Data Primer

Data primer adalah data dikumpulkan secara langsung dari objek yang di teliti dan untuk kepentingan studi yang bersangkutan dengan teknik wawancara berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Bentuk pedoman wawancara dibuat secara bervariasi antara pedoman berstruktur dan pedoman yang tidak berstruktur yang disebut juga semi struktur. Wawancara dilakukan pada informan yaitu Kepala Desa, Kepala Adat dan Pendeta di wilayah Kelurahan Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah, dan juga kepada responden yaitu pasangan suami istri yang melakukan pengangkatan anak di wilayah Kelurahan Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah. sebanyak 8 pasangan suami istri. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari:

a). Informan

(47)

b). Responden

Yang menjadi responden dalam skripsi ini adalah pasangan suami istri yang melakukan perbuatan pengangkatan anak, yakni : 1).I Ketut Rasdi dan Ni Wayan Santi. 2). I Ketut Pasek dan Ni Nyoman Rani. 3). I Wayan Watre dan Ni Nyoman Sasmita. 4). I Ketut Juna dan Ni Wayan Yanti. 5). I Wayan Gunarte dan Ni Ketut Sukarni. 6). Nyoman reki dan Ni Nyoman Sari 7). I Wayan Japa dan Ni Ketut Nari. 8). I Wayan Sudanta dan Ni Nyoman Siniasih. Di wilayah Kelurahan Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah.

2) Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dan sumber hukum adat. Data sekunder pada penelitian ini adalah tentang pengangkatan anak pada masyarakat hukum adat, buku-buku yang berhubungan dengan pengangkatan anak menurut adat Bali.

1. Bahan hukum primer, meliputi; a. Hukum Adat;

b. Undang-undangNomor 23 Tahun2002 tentang Perlindungan Anak; c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak;

(48)

2. Bahan hukum sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku atau literatur dan bahan hukum sekunder lainnya yang ada hubungannya dengan Pengangkatan anak.

3. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yang digunakan adalah bahan hukum yang sifatnya memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum dan internet.

E. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan diperoleh dengan menggunakan metode pengumpulan data: a. Studi Pustaka, dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara

membaca, menelaah dan mengutip peraturan perundang-undangan, buku-buku dan literatur yang berkaitan Hukum Pengangkatan Anak

(49)

Anak yang diangkat dari kerabat pihak suami (Purusa) yaitu:

1. I Wayan Putra, Putra dari pasangan suami istri I Wayan Suar dan Ni Ketut Suci yang diangkat oleh pasangan suami istri I Ketut Rasdi dan Ni Nyoman Santi.

2. I Wayan Wardana, Putra dari pasangan suami istri I Made Rake dan Ni Wayan Cindi yang diangkat oleh pasangan suami istri I Ketut Pasek dan Ni Nyoman Rani.

3. I Putu Wasta, Putra dari pasangan suami istri I Ketut Sudya dan Ni Nyoman Rati yang diangkat oleh pasangan suami istri I Wayan Watre dan Ni Nyoman Sasmita.

4. I Wayan Artawan, putra dari pasangan suami istri I Wayan Sukantra dan Ni Made Rena yang diangkat oleh psangan suami istri I Ketut Juna dan Ni Wayan Yanti.

Serta anak yang diangkat dari kerabat pihak istri (Pradana) yaitu:

1. I Wayan Juni, Putra dari pasangan suami istri I Nyoman Darpe dan Ni Ketut Nadi yang diangakat oleh pasangan suami istri I Wayan Gunarta dan Ni Ketut Sukartini.

2. I Gede Murdiana, Putra dari pasangan suami istri I Nengah Sarye dan Ni Wayan Murni yang diangkat oleh pasangan suami istri I Nyoman Reki dan Ni Nyoman Sari.

(50)

4. Ni Nyoman Arni, purti dari pasangan suami istri I Made Rento dan Ni Ketut Kasni yang diangkat oleh pasangan suami istri I Wayan Sudanta dan Ni Nyoman Siniasih.

F. Metode Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul, diolah melalui cara pengolahan data dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a) Identifikasi data adalah mencari dan menetapkan data yang berhubungan dengan tata cara pengangkatan anak menurut hukum adat Bali di wilayah Wirata Agung Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah. b) Editing merupakan proses meneliti kembali data yang diperoleh dari berbagai

kepustakaan yang ada, menelaah tata cara pengangkatan anak menurut hukum adat Bali. Hal tersebut sangat perlu untuk mengetahui apakah data yang telah kita miliki sudah cukup dan dapat dilakukan untuk proses selanjutnya. Dari data yang diperoleh kemudian disesuaikan dengan permasalahan yang ada dalam penulisan ini.

(51)

G. Analisis Data

(52)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di dalam bab-bab terdahulu maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengangkatan anak menurut hukum adat Bali dilakukan terhadap anak laki-laki dengan upacara adat yaitu upacara pemerasan dan siar serta diikuti dengan pembuatan Surat Peras. Syarat pengangkatan anak menurut adat Bali yaitu adanya kesepakatan antara pihak pengangkat maupun yang diangkat, adanya upacara Widhi Widana, adanya siar di Banjar / Desa, dan yang terakhir adalah dibuatkannya bukti tertulis ( surat peras). Prosedur pengangakatan anak adalah kesepakatan antara pihak pengangkat dan diangkat dengan sepakatnya pengangkatan anak secara adat hubungan anak dengan keluarga kandungnya harus diputuskan, anak yang diangkat kemudian dimasukkan dalam hubungan kerluarga dari keluarga yang mengangkatnya. Pelaksanaan Pengangkatan anak menurut hukum adat Bali di Desa Wirata Agung terdapat didalam Awig-awig Desa Wirata Agung pada Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 tentang pewarangan ( besanan) dan perkawinan.

(53)

angkat sama dengan hak mewaris anak kandung, harta yang boleh diwaris adalah semua harta orang tua misalnya rumah, tanah, sawah, ladang, perhiasan dan harta kekayaan lainnya dan harta yang tidak boleh diwariskan adalah Sanggah atau Pura karena bersifat terus-menerus dan turun-temurun. Anak angkat perempuan juga mempunyai hak untuk mendapatkan warisan dengan cara mengangkatan kedudukan anak perempuan sebagai anak laki-laki yang disebut dengan sentana rajeg. dengan demikian anak yang sudah diangkat tidak lagi berhak atas hak warisan orang tua kandungnya oleh karena hubungan kekeluargaannya telah terputus.

(54)

B. Saran

1. Kepada seluruh masyarakat adat Bali Meskipun pengangkatan anak telah dilakukan berdasarkan hukum adat Bali dengan upacara adat (upacara pemerasan), tetapi perlu dilanjutkan dengan membuat surat peras sebagai alat bukti tertulis dan diikuti dengan penetapan dari Pengadilan agar ada mendapat kepastian hukum.

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Artadi, Ketut. 2012. Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya. Bali: Pustaka Bali Post.

Bushar, Muhammad. 1988. Pokok-Pokok Hukum Adat. Pradyna Paramita. Jakarta.

Haar , Ten. 1986. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. diterjemahkan oleh Soebekti Poesponoto. Jakarta. Pradnya Paramita.

Hadikusuma, Hilman. 1987. Hukum Kekerabatan Adat. Fajar Agung. Jakarta

---. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung. Penerbit Mandar Maju.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti.

Rusli, Pandika. 2012. Hukum Pengangkatan Anak. Sinar Grafika Jakarta.

Soepomo, R. 2000. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta. Pradnya Paramita. Jakarta.

Samosir, Djamanat. 2013. Hukum Adat Indonesia. Bandung. penerbit Nuansa Aulia.

Saragih, Djaren. 1996. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung. Tarsito.

Setiady, Tolib. 2009. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta. Bandung

Wayan P, I Gede. 1990. Hukum Adat Waris di Bali. Putra Persada. Denpasar.

(56)

Witanto, D.Y. 2012. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin. Prestasi Pustaka. Jakarta.

Undang – undang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang No 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak.

Sumber lain

Kitab Awig-awig Desa Wirata Agung.

(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)

Tabel

Daftar Pengangkatan Anak

No Nama anak Orang tua kandung Oang tua angkat

1 I Wayan Putra 1. I Wayan Suar

2. Ni Ketut Suci

1. I Ketut Rasdi

2. Ni Nyoman Santi

2 I Wayan Wardana 1. I Made Rake

2. Ni Wayan Cindi

1. I Ketut Pasek

2. Ni Nyoman Rani

3 I Putu Wasta 1. I Ketut Sudye

2. Ni Nyoman Rati

1. I Wayan Watre

2. Ni Nyoman Sasmita

4 I Wayan Artawan 1. I Wayan Sukantra

2. Ni Made Rena

3. I Ketut Juna

4. Ni Wayan Yanti

5 I Wayan Juni 1. I Nyoman Darpe

2. Ni Ketut Nadi

3. I Wayan Gunarte

4. Ni Ketut Sukartini

6 I Gede Murdiana 1. I Nengah Sarye

2. Ni Wayan Murni

1. I Nyoman Reki

2. Ni Nyoman Sari

7 Ni Ketut Ariasih Dewi 1. I Wayan Rastana

2. Ni Putu Asri

1. I Wayan Jape

2. Ni Ketut Nari

8 Ni Nyoman Arni 1. I Made Rento

2. Ni Ketut Kasni

3. I Wayan Sudana

[image:62.612.87.527.211.679.2]
(63)
(64)

Gambar

Tabel

Referensi

Dokumen terkait

 Sebagian modal pada badan usaha campuran berasal dari pihak4. swasta dan sebagian lagi berasal

Jika sistem kapitalisme menggunakan piranti bunga sebagai suatu yang built in dalam bank konvensional, maka bank Shari > ‘ah menggesernya dengan sistem bagi

Tim Evaluator hanya akan melihat bukti – bukti pada folder yang relevan dan tidak akan mencari bukti pada folder lainnya. Pastikan bukti-bukti yang. disampaikan tersusun

Hal ini ditunjukkan dengan adanya penilaian positif dari responden mengenai Brand Image terhadap produk giant hypermarket dengan dimensi yang dimulai dari produk Produk

Pada dasarnya, ujar Eriyanto dalam bukunya analisis framing, framing adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. Cara

4 Kendala yang dialami oleh UMKM Al-Anwar Minimarket dalam penyusunan laporan keuangannya, yaitu : kurangnya sumberdaya manusia dan pengetahuan mengenai SAK EMKM , sehingga belum

Ditinjau dari kerangka baha sannya kajian dalam buku tersebut bisa dikategorikan dalam kajian tematik, atau dalam Ilmu Alquran dan Tafsir biasa disebut dengan tafsir tematik,

Rempah- rempah menjadi komoditas utama dalam dunia perdagangan pada saat itu, sehingga setiap pedagang maupun bangsa-bangsa yang datang dan bertujuan ke sana, melewati rute