• Tidak ada hasil yang ditemukan

Utilization of Cashew Nut Shell as Organic Fertilizer and Fungicide

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Utilization of Cashew Nut Shell as Organic Fertilizer and Fungicide"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN LIMBAH KULIT BIJI METE SEBAGAI

PUPUK DAN FUNGISIDA ORGANIK

NUR SAKINAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Mete sebagai Pupuk dan Fungisida Organik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

NUR SAKINAH. Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Mete sebagai Pupuk dan Fungisida Organik. Dibimbing oleh MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE, HARIYADI dan DYAH MANOHARA.

Kulit biji mete (KBM) sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal, sebagian besar masih merupakan limbah. Data produksi mete pada tahun 2010 memperlihatkan jumlah limbah KBM yang dapat diperoleh sekitar 66 036.54 ton. Jumlah limbah KBM tersebut sangat potensial bila dikomposkan menjadi pupuk dan fungisida organik. Limbah KBM merupakan bahan organik

yang mengandung unsur hara makro bermanfaat bagi tanaman yaitu N 0.84%, P 0.21%, K 0.70%, Ca 0.13% dan Mg 0.24%. Kulit biji mete mengandung

lignoselulose tinggi, sehingga untuk menjadi pupuk organik melalui pengomposan secara alami membutuhkan waktu yang sangat lama karena sulit terhidrolisis. Hal tersebut dapat menyebabkan penumpukan limbah dan berdampak negatif bagi lingkungan. Oleh sebab itu, diperlukan tekhnik pengomposan KBM yang tepat dengan perlakuan bioaktivator atau inokulan berupa Trichoderma spp. dan bakteri selulotik serta pencacahan kulit biji mete. Kedua perlakuan tersebut diharapkan dapat mempercepat pengomposan dan menghasilkan kompos kulit biji mete berkualitas untuk diaplikasikan pada tanaman baik sebagai pupuk maupun fungi-sida organik. Kulit biji mete mengandung asam anakardat dapat dimanfaatkan sebagai fungisida organik karena struktur asam anakardat mirip dengan asam salisilat yang mampu menghambat pertumbuhan hifa cendawan atau fungi. Selain itu, kompos KBM yang telah diperkaya oleh Trichoderma spp. yang bertindak sebagai fungi antagonis terhadap patogen Rigidoporus lignosus dapat meningkat-kan ketahanan bibit jambu mete terhadap penyakit jamur akar putih (JAP).

Kegiatan penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan Institut Pertanian Bogor dari bulan September 2012 - Agustus 2013. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan pupuk dan fungisida organik berkualitas dengan memanfaatkan limbah kulit biji mete dengan metode inokulasi mikroba yaitu Trichoderma spp. dan bakteri selulotik serta pencacahan kulit biji mete. Penelitian ini terdiri atas empat percobaan yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya, sehingga tujuan khusus yang ingin dicapai adalah: (1) menganalisis laju pe-ngomposan limbah KBM akibat pencacahan KBM serta pemberian bioaktivator Trichoderma spp. dan bakteri selulotik); (2) menganalisis pengaruh kompos KBM terhadap pertumbuhan serta serapan hara bibit jambu mete dan kakao; dan (3) menganalisis efektivitas formula kompos KBM yang diperkaya Trichoderma spp. terhadap ketahanan bibit jambu mete dari serangan patogen Rigidoporus lignosus penyebab penyakit JAP.

(5)

pertumbuhan serta serapan hara bibit jambu mete dan bibit kakao dibandingkan kontrol (top soil).

Formula kompos KBM 50 g polibag-1 dapat menggantikan pemberian pukan kambing 100 g polibag-1 untuk meningkatkan pertumbuhan bibit jambu mete hingga siap dipindahtanamkan ke lapangan. Peningkatan dosis formula kompos KBM menjadi 100 g polibag-1 dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kakao hingga siap dipindahtanamkan ke lapangan. Hasil percobaan uji efektivitas formula kompos sebagai pupuk dan fungisida organik menunjukkan bahwa pemberian formula kompos KBM 50 g polibag-1 yang telah diperkaya dengan Trichoderma spp. sama baik nya dengan formula kompos KBM 100 g polibag-1 yang telah diperkaya Trichoderma spp. untuk meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen R. lignosus penyebab penyakit JAP sekaligus mampu meningkatkan pertumbuhan bibit jambu mete dibandingkan kontrol sehingga mampu meningkatkan vigor bibit jambu mete selama pembibitan sebelum dipindahtanamkan ke lapangan. Pemanfaatan limbah KBM sebagai pupuk dan fungisida organik dapat mengurangi potensi limbah tersebut sebagai pencemar lingkungan

(6)

SUMMARY

NUR SAKINAH. Utilization of Cashew Nut Shell as Organic Fertilizer and Fungicide. Supervised by MOCHAMAD HASJIM BINTORO DJOEFRIE, HARIYADI and DYAH MANOHARA.

Cashew nut shells have not been fully utilized untill now and most of them are still in a form of wastes. The data of cashew nut production in 2010 showed that there were 66.036.54 tons of cashew nut shell wastes. That amount of cashew nut shell wastes would be very potential if they were composted into organic fertilizers and fungisides. Cashew nut shell wastes are organic matter containing macro elements such as N (0.84%), P (0.21%), K (0.70%), Ca (0.13%) and Mg (0.24%), that are useful for plants. Cashew nut shell contains high lignoselulose that is difficult to hydrolyze so that it will take a very long time to become organic fertilizer through natural composting. This can cause comulation of wastes that have negative effect to the environment. Therefore, treatments using proper composting techniques such as utilizing bioactivator (Trichoderma spp. and selulotic bacteria) and chopping cashew nut shell, are needed to solve the problem. Both of treatments are expected to accelerate decomposition and produce good quality compost that can be applied to the plant as organic fertilizer and fungicide.

The research was conducted at IPB Teaching Farm, Darmaga Bogor from September 2012 to August 2013. The aim of this research was to produce good quality of organic fertilizer and fungicide from utilizing cashew nut shell wastes with microbial inoculation method (Trichoderma spp. and selulotic bacteria) as well as chopping cashew nut shell. This research consisted of four interrelated experiments with the following specific purposes: firstly, to analyse the composting rate of cashew nut shell wastes resulted by chopping cashew nut shell and using bioactivator (Trichoderma spp. and selulotic bacteria); secondly, to analyse the effect of cashew nut shell compost on nutrient uptake and growth of cashew and cocoa seedlings; and finally, to analyse the effectiveness of cashew nut shell compost formulas which were enriched with Trichoderma spp. to cashew seedling resistance against the pathogen attack, Rigidoporus lignosus, the cause of white root fungus (JAP) disease.

(7)

The experiment results on the effectiveness of cashew nut shell compost formulas as organic fertilizers and pesticides showed that both the cashew nut shell compost formulas in 50 g polybag-1 and 100 g polybag-1 which were enriched with Trichoderma spp. gave significant influence to increase resistance against pathogen attack, Ridigoporus lignosus, the cause of white root fungus (JAP) disease and they were able to increase cashew seedling growth better than the control (top soil) because they can improve cashew seedling vigor during the nursery before being transplanted to the field. Application of cashew nut shell compost formulas are expected to reduce the land resource degradation as well as pollutant emissions, then to improve the recycled elements utilization of the farming system (zero waste), and finally to protect the environment and the welfare of local community life.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

PEMANFAATAN LIMBAH KULIT BIJI METE SEBAGAI

PUPUK DAN FUNGISIDA ORGANIK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)
(11)
(12)

Judul Tesis : Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Mete sebagai Pupuk dan Fungisida Organik

Nama : Nur Sakinah NIM : A252110011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir H M H Bintoro Djoefrie, M Agr Ketua

Dr Ir Hariyadi, MS Anggota

Dr Ir Dyah Manohara, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura

Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, Msc Agr

(13)
(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad

sallawlahu wa a’laihi wa salam. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini adalah “Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Mete sebagai Pupuk dan Fungisida Organik”. Penelitian ini didasari untuk pemanfaatan limbah kulit biji mete dari pertanaman jambu mete yang berlimpah pada saat panen raya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembalikan hara yang terdapat dari limbah kulit biji mete agar dapat dimanfaatkan kembali ke tanaman. Penyusunan Tesis ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir H M H Bintoro Djoefrie, MAgr, selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Ir Hariyadi, MS serta Ibu Dr Ir Dyah Manohara, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah menyediakan waktu, pikiran dan tenaga untuk mengarahkan dan membimbing penulis sejak proses penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan Tesis ini. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Dayanu Ihsanuddin, Dekan Fakultas Pertanian, dan Kepala Program Studi Agroteknologi atas kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program magister sains di sekolah pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Ir. Jati Purwani MS juga kepada rekan - rekan mahasiswa pascasarjana AGH 2011atas segala bentuk solidaritas dan social capital yang telah dibangun selama ini.

Akhirnya dengan segala rasa syukur dan hormat penulis persembahkan kepada orang tua, Bapak Dr Ir H Mudjur Muif, M.Si dan Ibu Hj. Sri Mulyani, bapak dan ibu mertua L. Dairi dan Ibu Nurima serta suami dan putri tercinta Rachmat Hidayat Dairi, ST, MT dan Yuni Himayatur Rahmania yang telah memberikan doa dan motivasi untuk dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi orang banyak sehingga dapat memperkaya dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2013

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Hipotesis Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) 5

Kompos dan Pengomposan 7

Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan 9

Patogen Penyebab Penyakit JAP pada Tanaman Jambu Mete:

Rigidoporus lignosus 11

3 METODE 12

Tempat dan Waktu 12

Metode Percobaan 12

Pengomposan Kulit Biji Mete (KBM) 14

Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Pertumbuhan dan Serapan Hara bibit pada Bibit jambu mete serta Bibit Kakao 15 Pengujian Formula Kompos KBM yang telah diperkaya oleh Trichoderma spp. terhadap Ketahanan Bibit jambu mete dari Serangan Rigidoporus lignosus penyebab penyakit jamur akar putih

(JAP) 15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Pengomposan Limbah Kulit Biji Mete 17

Suhu 18

Nisbah C/N 21

Derajat Kemasaman (pH) 23

Penyusutan Volume Bahan Kompos KBM 25

Kondisi Fisik 27

Kandungan Hara Formula Kompos KBM 28

Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Pertumbuhan dan Serapan

Hara pada Bibit jambu mete dan Bibit Kakao 32

Analisis Hara Tanah dan Kompos KBM 32

Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Pertumbuhan Bibit

(16)

DAFTAR ISI (lanjutan)

Pengaruh Formula Kompos terhadap Serapan Hara Bibit jambu

mete dan Bibit Kakao 37

Efektivitas formula kompos KBM yang telah diperkaya Trichoderma spp. terhadap ketahanan bibit jambu mete dari serangan R. lignosus

penyebab penyakit jamur akar putih (JAP) 39

5 SIMPULAN DAN SARAN 45

Simpulan 45

Saran 46

DAFTAR PUSTAKA Error! Bookmark not defined.47

(17)

DAFTAR TABEL

1 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik) dan cacahan KBM terhadap rata - rata suhu formula kompos KBM 19 2 Pengaruh interaksi bioaktivator (Trichoderma spp.+ bakteri selulotik)

dan pencacahan KBM terhadap rata – rata Suhu formula kompos KBM

pada 1 MSP 20

3 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik) dan pencacahan KBM terhadap rata - rata nisbah C/N formula kompos

KBM 22

4 Pengaruh interaksi bioaktivator (Trichoderma spp.+ bakteri selulotik) dan pencacahan KBM terhadap rata – rata nisbah C/N formula kompos

KBM pada 8 MSP 22

5 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik) dan cacahan KBM terhadap rata – rata pH formula kompos KBM 24 6 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik)

dan cacahan kulit biji mete terhadap rata – rata penyusutan volume

formula kompos KBM 25

7 Pengaruh interaksi bioaktivator (Trichoderma spp.+ bakteri selulotik) dan pencacahan KBM terhadap rata – rata penyusutan volume formula

kompos KBM pada 2 MSP dan 8 MSP 26

8 Analisis kandungan hara C, N, P, K, nisbah C/N dan pH formula

kompos KBM pada 8 MSP 28

9 Hasil analisis tanah yang digunakan pada pembibitan mete dan kakao 33 10 Analisis C, N, P, K dan pH pada formula kompos kulit biji mete yang

digunakan sebagai media tanam pada pembibitan mete dan kakao 33 11 Pengaruh pemberian formula kompos KBM terhadap rata – rata tinggi

bibit, jumlah daun, diameter batang dan panjang akar bibit jambu mete

dan bibit kakao pada umur 3 BSP 35

12 Pengaruh pemberian formula kompos KBM terhadap rata – rata bobot segar, dan bobot kering bibit jambu mete serta bibit kakao pada umur 3

BSP 36

13 Pengaruh pemberian formula kompos KBM terhadap rata – rata serapan hara N, P, dan K pada bibit jambu mete serta bibit kakao pada umur 3

BSP 38

14 Pengaruh pemberian formula kompos KBM yang telah diperkaya Trichoderma spp. serta biofungisida terhadap rata – rata tinggi bibit, jumlah daun, Bobot kering total dan kejadian penyakit JAP bibit jambu

(18)

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan alur tahap penelitian 4

2 Jambu mete 6

3 Irisan Melintang kulit biji mete 6

4 Skema proses pengomposan aerob 8

5 Penanaman benih mete model smile side down 15

6 Proses pengomposan limbah kulit biji mete 17

7 Perubahan rata – rata suhu harian formula kompos KBM 18 8 Rata - rata persentase penyusutan volume kompos KBM per minggu 27 9 Rata – rata C/N, pH serta kandungan unsur hara C, N, P dan K formula

kompos kulit biji mete pada akhir pengomposan (8 MSP) 31 10Keragaan bibit jambu mete dan kakao pada umur 3 BSP 34 11Keragaan bibit jambu mete pada 1 BSI R.lignosus 40 12Gejala serangan jamur akar putih pada bibit jambu mete umur 1 BSI 41 13Miselium R. lignosus yang telah menginfeksi permukaan akar bibit

jambu mete umur pada perlakuan yang diinokulasikan patogen R.

(19)
(20)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman jambu mete banyak dikembangkan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, karena tanaman jambu mete dapat ditanam di lahan kritis sehingga persaingan lahan dengan komoditas lain di KTI menjadi kecil. Tanaman jambu mete merupakan tanaman industri potensial dengan produk utamanya adalah biji atau kacang mete, yang merupakan komoditas ekspor. Perubahan paradigma pengembangan tanaman jambu mete dimulai pada tahun 1979, yaitu tidak hanya ditujukan untuk konservasi tanah, tetapi juga sebagai sumber pendapatan petani terutama di KTI (Saefudin 2009). Harga kacang mete terus meningkat setiap tahun, dari rata - rata Rp 11 385 kg-1 pada tahun 1995, Rp 34 178 kg-1 pada tahun 2001, Rp 44 852 kg-1 pada tahun 2006 dan menjadi 84 541 kg-1 pada tahun 2012 (Ditjenbun 2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa tanaman tersebut mempunyai nilai ekonomi yang baik sehingga mendorong petani untuk membudidayakan tanaman jambu mete.

Perkembangan luas areal yang cukup pesat mendorong peningkatan produksi gelondong mete di Indonesia. Data lima tahunan subsektor perkebunan jambu mete dari tahun 2008 – 2012 menunjukkan rata – rata hasil produksi gelondong mete adalah 130 295.6 ton (Ditjenbun 2013). Sekitar 49% produksi mete Indonesia diekspor baik dalam bentuk gelondong (36%), maupun dalam bentuk kacang mete (13%), sedangkan sisanya 51% dalam bentuk kacang mete diserap oleh pasar domestik (Indrawanto et al. 2003). Biji jambu mete terdiri atas 70% kulit biji dan 30% daging biji. Kulit biji (shell) mete diduga mengandung minyak sekitar 50% yang terdiri atas 90% asam anakardat dan sisanya 10% kardol (Ketaren 1996; Santos dan Magalaes 1999).

Hingga saat ini kulit biji mete (KBM) belum dimanfaatkan secara maksimal. Sebagian besar masih merupakan limbah yang menjadi sumber emisi pencemar atau polutan lingkungan. Data rata - rata produksi gelondong mete 2008-2012 memperlihatkan rata - rata jumlah limbah KBM yang dapat diperoleh pertahunnya sekitar 58 372.43 ton. Jumlah limbah KBM tersebut sangat potensial bila dikomposkan menjadi pupuk dan fungisida organik. Limbah KBM memiliki kandungan unsur hara N 0.84%, P 0.21%, K 0.70%, Ca 0.13% dan Mg 0.24%. Selain itu, kulit biji mete yang mengandung asam anakardat dapat dimanfaatkan sebagai fungisida organik karena struktur asam anakardat mirip dengan asam salisilat yang mampu menghambat pertumbuhan hifa cendawan atau fungi (Cahyaningrum et al. 2006; Simpen 2008).

(21)

2

meningkatkan nilai tambah bagi pendapatan usahatani mete serta memperbaiki sifat fisik, biologi, dan kimia di lahan pertanian.

Kulit biji mete merupakan material bahan organik yang mengandung lignin (bahan yang berkayu) dan selulose (bahan yang berserat) tinggi (Landau 2002), sehingga membutuhkan waktu pengomposan sangat lama untuk menjadi pupuk organik karena sulit terhidrolisis. Bahan organik yang memiliki kandungan senyawa lignin dan selulosa tinggi secara alami merombak bahan baku organik yang dikomposkan lebih lambat dibandingkan pada bahan yang memiliki senyawa polisakarida yang lebih sederhana seperti amilum, disakarida dan monosakarida (Saraswati et al. 2006). Pengomposan KBM dengan kandungan lignoselulosa tinggi dapat dipercepat oleh perlakuan manusia yaitu dengan melakukan pen-cacahan bahan yang akan dikomposkan dan memberikan mikroba pengurai (aktivator atau inokulan) sebagai katalisator.

Penambahan bioaktivator berupa Trichoderma spp. dan bakteri selulotik pada campuran bahan organik pupuk kandang kambing, ampas sagu, Ageratum conyzoides serta Setaria sp. merupakan bagian dari usaha untuk mempercepat ter-bentuknya pupuk organik (kompos) (Purwani 2011; Asyerem 2011). Penambahan bioaktivator sangat berpengaruh dalam pengomposan karena mikroba yang diino-kulasikan dalam material kompos selain dapat mempercepat dekomposisi bahan organik juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara terutama kadar N se-bagai hara tambahan bagi kelangsungan hidup mikroba tersebut. Hal tersebut mengakibatkan aktivitas dan biomassa mikroba meningkat, sekaligus dapat mem-perkaya kandungan unsur hara pada kompos tersebut (Nurisamunandar 1999; Sisworo 2000; Santoso et al. 2004; Tombe et al. 2008; Goenadi dan Santi 2006; Soetopo dan Endang 2008; Widiastuti et al. 2009; Yunindanova 2009; Asyerem 2011; Purwani 2011; Suwarno 2011).

Pupuk organik yang melibatkan mikroba dalam proses pengomposannya mampu menekan penyakit tanaman yang disebabkan oleh patogen tular tanah sebesar 45% (Bonanomi et al. 2007). Beberapa mikroba dekomposer dapat ber-tahan dalam kompos sehingga dapat berperan sebagai agensia hayati pengendali penyakit tanaman terutama patogen tular tanah disekitar daerah perakaran karena metabolit mikroba seperti antibiotik yang bersifat antagonis (Nasahi 2010; Baharudin 2011). Hasil penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa pe-manfaatan agensia hayati Bacillus sp. dan Trichoderma spp. berfungsi sebagai biodekomposer limbah pertanian serta bahan organik sehingga dapat meningkat-kan produksi tanaman jambu mete yang terserang jamur akar putih (JAP) (Tombe et al. 2005). Jamur akar putih adalah organisme pengganggu tanaman (OPT) jambu mete yang merugikan petani. Apabila tidak segera dikendalikan dapat menjadi masalah serius dalam proses pengembangan jambu mete di Indonesia (Tombe et al. 2005). Patogen penyakit jamur akar putih adalah Rigidoporus lignosus. Jamur tersebut dapat menyerang tanaman jambu mete pada segala stadium pertumbuhan, baik pada pembibitan sampai pada tanaman yang sudah menghasilkan. Bagian tanaman yang diserang yaitu akar tunggal, akar cabang, akar rambut ataupun leher akar.

(22)

3 mengandung bahan organik sangat menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman jambu mete dan kakao. Pemberian kompos KBM yang mengandung hara N, P dan K serta mikroba dapat digunakan sebagai pupuk dan fungisida organik. Pengkayaan kompos KBM tersebut dengan mikroba perlu diupayakan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman serta ketahanannya terhadap serangan OPT, sehingga dapat menciptakan kondisi optimal bagi pertumbuhan bibit di lapangan. Melihat potensi limbah KBM yang sangat besar tersebut, maka sudah saatnya limbah tersebut dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik alternatif sekaligus berfungsi juga sebagai fungisida organik.

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis laju pengomposan limbah KBM akibat pencacahan KBM serta pemberian bioaktivator (Trichoderma spp. dan bakteri selulotik)

2. Menganalisis pengaruh kompos KBM terhadap pertumbuhan serta serapan hara bibit jambu mete dan kakao.

3. Menganalisis efektivitas kompos KBM yang diperkaya dengan Trichoderma spp. terhadap ketahanan bibit jambu mete dari serangan patogen R. lignosus penyebab penyakit JAP.

Hipotesis

1. Pemberian bioktivator dan pencacahan pada limbah KBM dapat mempercepat proses dekomposisi limbah KBM.

2. Pemberian kompos KBM akan meningkatkan pertumbuhan bibit jambu mete dan kakao.

3. Pemberian kompos KBM yang diperkaya dengan Trichoderma spp. dapat meningkatkan ketahanan bibit jambu mete dari serangan patogen R. lignosus penyebab penyakit JAP

Manfaat Penelitian

(23)

4

berguna merupakan suatu langkah yang menguntungkan. Pendekatan melalui upaya mengubah limbah padat KBM menjadi pupuk organik melalui pengompos-an diharapkpengompos-an dapat memberikpengompos-an kontribusi dalam meningkatkpengompos-an nilai tambah, khususnya pendapatan usahatani mete. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat baik bagi masyarakat petani setempat, pengelola sumberdaya alam dan ling-kungan hidup, pemerintah daerah, maupun bagi para pengguna lain yang ber-kaitan dengan masalah diatas.

Ruang Lingkup Penelitian

Kegiatan penelitian dilakukan di lapangan dan di rumah kaca kebun per-cobaan Cikabayan, University Farm, Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor. Penelitian ini terdiri atas tiga tahap kegiatan. Pada awal penelitian dilakukan formulasi limbah kulit biji mete dengan limbah organik pertanian lainnya (ampas sagu), gulma dan pupuk kandang kambing melalui proses pengomposan, untuk memperoleh formula pupuk dan fungisida organik yang ideal. Selanjutnya kompos KBM yang dihasilkan pada percobaan pertama diaplikasikan pada bibit jambu mete dan kakao kemudian diamati pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan serapan hara bibit jambu mete dan kakao. Tahap akhir dalam penelitian ini adalah pengujian formula kompos KBM yang telah diperkaya oleh Trichoderma spp. pada bibit jambu mete untuk mengetahui efektivitas formula kompos KBM sebagai fungisida organik terhadap ketahanan bibit jambu mete dari serangan patogen R. lignosus. penyebab penyakit JAP. Secara ringkas ruang lingkup penelitian digambarkan pada Gambar 1 (Bagan alur tahapan penelitian).

Gambar 1 Bagan alur tahapan penelitian Pengomposan limbah KBM menjadi pupuk

dan fungisida organik

Efektivitas formula kompos KBM yang diperkaya oleh Trichoderma spp.

sebagai fungisida organik untuk mengendalikan serangan penyakit JAP

pada bibit jambu mete Efektivitas formula

kompos KBM terhadap serapan hara dan pertumbuhan bibit tanaman jambu mete serta

kakao

(24)

5

2

TINJAUAN PUSTAKA

Jambu Mete (Anacardium occidentale L)

Tanaman jambu mete berdasarkan klasifikasi botaninya termasuk dalam kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, subkelas Diko-tiledon, ordo Sapindales, famili Anacardiaceae, genus Anacardium dan spesies Anacardium occidentale L. (Muljohardjo 1990). Jambu mete merupakan tanaman tahunan dengan batang pokok yang tegak dan dapat mencapai tinggi 10 - 12 m, dengan tajuk melebar, sangat bercabang-cabang. Tajuk bisa menjadi tinggi dan menyempit atau rendah dan melebar tergantung pada kondisi lingkungannya. Perakaran jambu mete sangat ekstensif. Pada umur 9 BST (bulan setelah tanam) pertumbuhan akar tunggang dominan, selanjutnya pertumbuhan akar lateral yang menonjol. Akar tunggang dapat mencapai kedalaman 9 m. Akar lateral 4.5 m memencar sampai dibatas proyeksi tajuknya dengan akar - akar penyerap hara menancap sedalam 6 m. Perakaran jambu mete peka terhadap genangan air atau kondisi anaerob sehingga harus dibuat drainase. Tanaman muda, kurang dari dua tahun peka terhadap cekaman lingkungan, terutama kondisi kering. Tanaman dewasa tidak menyukai naungan karena jambu mete berbunga terminal sehingga bunga - bunga yang terbentuk bila tidak mendapat intensitas cahaya yang cukup akan gugur. Jambu mete mempunyai dua jenis bunga yaitu bunga jantan dan bunga sempurna (hermaprodit). Penyerbukan pada bunga hermaprodit terjadi secara silang.

Data Direktorat Jenderal Perkebunan (2006) menunjukkan, hasil rata-rata nasional jambu mete hanya 430 kg ha-1, jauh di bawah Vietnam yang mencapai 800 kg ha-1 tahun-1 dan India 1 000 kg ha-1 tahun-1 (Chau 1998; Rao 1998). Rendahnya produktivitas jambu mete disebabkan pada awal pengembangan ta-naman jambu mete di tahun 1970-an hanya ditujukan untuk konservasi lahan atau penghijauan karena dianggap adaptif di daerah kering KTI. Bahan tanaman yang digunakan berasal dari biji, tanpa seleksi dan budidaya yang memadai, dengan daerah pengembangan yang bervariasi. Kondisi - kondisi tersebut menyebabkan produktivitas tanaman menjadi rendah (Rusmin et al. 2006; Daras 2007).

Rendahnya produktivitas jambu mete diduga berawal dari persepsi umum bahwa jambu mete tidak menuntut persyaratan tumbuh yang ketat dan mampu beradaptasi baik pada berbagai kondisi tanah tanpa berkurang produktivitasnya (Ohler 1988). Tanaman jambu mete banyak dikembangkan pada tanah - tanah marginal, ketika tanaman lain tidak mampu memberikan keuntungan. Pola pikir sederhana yang telah tersosialisasi dikalangan petani mete di Indonesia meng-akibatkan petani mengharapkan tanaman jambu mete dapat memberikan hasil sebanyak mungkin dengan biaya produksi rendah, tanpa memperhatikan per-syaratan tumbuh dan pemeliharaan tanaman.

(25)

6

bagian dari tanaman jambu mete yang belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat adalah potensi kulit bijinya. Menurut Ketaren (1996) biji jambu mete terdiri atas 70% kulit biji dan 30% daging biji. Komposisi kulit keras gelondong mete terdiri atas, air 13.17%, abu 6.74%, selulosa 17.35%, protein 4.06%, gula 20.85% dan 37.83% minyak kulit jambu mete (Ohler 1988). Kulit biji mete (nut shell) diduga mengandung minyak sekitar 32-38% yang terdiri atas 90% asam anakardat dan sisanya 10% kardol (Ketaren 1996; Santos dan Magalaes 1999).

A. Jambu mete muda B. Jambu mete matang siap panen

Gambar 2 Jambu mete (Gilleo et al. 2011)

Minyak kulit biji jambu mete dalam istilah perdagangan, dikenal sebagai Cashew Nut Shell Liquid (CNSL). CNSL merupakan minyak yang tersusun dari senyawa fenolat kompleks dengan rantai karbon panjang bercabang dan tidak jenuh. Fenol dari CNSL mengandung fenolat yang bernilai ekonomis. CNSL tidak dapat digunakan sebagai bahan pangan tetapi digunakan untuk berbagai macam keperluan industri, antara lain sebagai bahan baku oli rem mobil dan pesawat terbang, perekat kayu pada industri kayu lapis nasional dan bahan fungisida nabati (Cahyaningrum et al. 2006). Fenol dari CNSL memiliki beberapa keunggulan karena memiliki rantai samping yang panjang dan berupa mono-, di-, dan tri-olefin sehingga memiliki fleksibilitas yang tinggi. Kandungan lipida fenolik (kardol) dalam CNSL merupakan senyawa amfifilik yang dapat berinteraksi kuat dengan membran biologis sehingga menyebabkan perubahan struktur dan fungsinya. Interaksi tersebut dapat memberikan efek antifungi dan aktivitas sitotoksik (Kresnamurti dan Budiarti 2008).

Gambar 3 Irisan melintang kulit biji mete (Tyman 1980)

buah sejati cashew nut

(26)

7

Kulit biji mete terdiri atas tiga lapisan kulit (Setyono 2002) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 yaitu, epikarp yang merupakan kulit luar yang keras dan liat, mesokarp berstruktur seperti sarang lebah dan mengandung cairan CNSL, serta endokarp yang keras dan kaku. Kulit gelondongan mete memiliki kandungan lemak dan protein yang tinggi, didalamnya terdapat unsur esensial berupa karbon (C) sehingga kulit biji mete dapat digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan pupuk organik yang berkualitas baik.

Kompos dan Pengomposan

Kompos adalah hasil penguraian parsial atau tidak lengkap dari campuran bahan - bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi ber-bagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerob atau anaerob (Crawford 2003). Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses tersebut meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan (Isroi 2004). Kompos ibarat multivitamin untuk tanah pertanian. Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah (Goenadi dan Santi 2006; Setyorini et al. 2006).

Kompos yang diproduksi dengan bantuan mikroba lignoselulotik unggul, yang tetap bertahan di dalam kompos dan berperan sebagai pengendali hayati penyakit tanaman dikenal dengan kompos bioaktif. Mikroba yang digunakan sebagai dekomposer tersebut akan tetap hidup dan aktif di dalam kompos, sehingga ketika diberikan ke tanah mikroba dalam kompos tersebut akan mengendalikan organisme penyebab penyakit tanaman. Selanjutnya, seiring dengan penambahan kompos ke tanah akan meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman serta mem-bantu menghadapi serangan penyakit yang disebabkan patogen (Isroi 2004; Bonanomi 2007; Purwani 2011; Asyerem 2011; Baharudin 2011).

(27)

8

dekomposisi sehingga dapat menyebabkan penumpukan limbah dan berdampak negatif bagi lingkungan.

Pengomposan dengan menggunakan mikroba perombak lignin dan selulosa dapat membantu dekomposisi bahan organik menjadi lebih cepat tanpa merusak kualitas kompos yang dihasilkan (Sastraatmadja et al. 2001; Leifeld et al. 2002; Widawati 2005), sehingga bahan organik tersebut dapat meningkatkan kontribusi terhadap kandungan humus tanah. Terdapat dua jenis bahan aktivator yaitu: aktivator yang berbentuk kimiawi (aktivator buatan) seperti amonium sulfat, asam amino, sodium nitrat, urea dan amonia. Penggunaan aktivator yang mengandung nitrogen dan fosfor adalah salah satu cara untuk mendapatkan kompos berkualitas tinggi (Widawati 2005). Bentuk aktivator lainnya adalah bioaktivator berupa mikroba yang mampu memecah selulosa secara cepat seperti mikroba yang dikoleksi dari kompos matang, pupuk kandang, darah kering, tanah yang kaya humus dan sampah.

Pengomposan adalah proses kerja mikroba, sehingga memahami dengan baik proses pengomposan sangat penting untuk dapat membuat kompos dengan kualitas baik. Pemahaman kondisi lingkungan yang tepat diperlukan agar mikroba sukses mengdekomposisi bahan organik mentah seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Mikroba - mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur - angsur mengalami penurunan. Pada saat suhu berangsur – angsur turun, terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus (Rynk et al. 1992; BC 1998; Hirrel dan Riley 2002). Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan tersebut dapat mencapai 30% – 40% dari volume atau bobot awal bahan (Rynk et al. 1992).

Gambar 4 Skema proses pengomposan aerob (Rynk et al. 1992)

(28)

9 50–70 oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi tersebut yaitu mikroba termofilik yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat tersebut terjadi dekomposisi atau penguraian bahan organik yang sangat aktif.

Proses pengomposan dapat terjadi secara aerob atau anaerob. Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerob, yaitu mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerob. Proses tersebut tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap (Hirrel dan Riley 2002). Proses anaerob akan menghasilkan senyawa - senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam - asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S (BC 1998).

Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan

Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi bahan dan lingkungan yang berbeda - beda. Dekomposer akan bekerja giat untuk men-dekomposisi limbah padat organik bila kondisinya sesuai. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri. Nisbah C/N

Nisbah C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30 : 1 hingga 40:1 di awal pengomposan (BC 1998; Guntoro et al. 2003). Mikroba memecah senyawa C (karbon) sebagai sumber energi dan menggunakan N (nitrogen) untuk sinTesis protein. Pada nisbah C/N di antara 30 sampai dengan 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sinTesis protein. Apabila nisbah C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sinTesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.

Ukuran Partikel

Ukuran Partikel menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Aktivitas mikroba ada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Luas permukaan dapat ditingkatkan dapat dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.

Aerasi

(29)

10

Porositas

Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga - rongga tersebut akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplai Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu. Kelembaban (Moisture content)

Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Mikroba dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 - 60% adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerob yang menimbulkan bau tidak sedap.

Suhu

Semakin tinggi suhu akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi serta panas yang dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Suhu yang berkisar antara 30 – 60 oC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60 oC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba - mikroba patogen tanaman dan benih - benih gulma.

Derajat Kemasaman (pH)

Derajat kemasaman (pH) optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa - senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase - fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral (BC 1998).

Kandungan hara

(30)

11

Patogen Penyebab Penyakit Jamur Akar Putih pada Tanaman Jambu Mete: R. lignosus

Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) pada tanaman jambu mete yang disebabkan R. lignosus dijumpai pertama kali pada tahun 1995 dengan luas serangan 550 ha, yang tersebar di empat kabupaten se-Nusa Tenggara Barat yaitu Kabupaten Lombok Barat 71.35 ha, Lombok Timur 28 ha, Sumbawa 395 ha dan Dompu 55 ha. Areal yang sudah dikendalikan pada tahun 1996 - 1998 adalah seluas 350 ha. Luas serangan JAP berdasarkan rekapitulasi laporan perkembangan OPT oleh petugas Perlindungan Perkebunan pada tahun 2002 sudah mencapai 1 425 ha dengan tingkat serangan ringan dan tingkat serangan berat 575 ha dari luas areal 56 000 ha (Tombe et al. 2005). Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya perawatan tanaman dan penjarangan tanaman yang terlambat dilakukan oleh petani.

Patogen Penyakit JAP adalah R. lignosus. Serangan JAP banyak terjadi terutama pada areal tanaman jambu mete yang sebelumnya merupakan hutan primer yang pembersihan lahannya dilakukan tidak sempurna, sehingga tunggul dan akar tanaman hutan yang terserang JAP masih tersisa dan tertinggal dalam tanah yang selanjutnya ini merupakan sumber makanan dan sumber infeksi penyakit (Sudirja 2011). Penyakit JAP dapat menyerang di pembibitan sampai tanaman dewasa. Serangan menyebabkan akar menjadi busuk dan biasanya pada permukaan akar ditumbuhi miselium jamur menyerupai akar rambut tanaman berwarna putih kemudian menjadi kuning gading. Gejala tersebut baru terlihat apabila daerah perakaran dibuka. Gejala luar yang nampak pada pohon terserang, daun berwarna hijau kusam, permukaan daun menelungkup, kuning, layu dan gugur sehingga tajuk pohon menipis akhirnya pohon menjadi gundul dan mati (Ditjenbun 2001)

Penyebaran JAP melalui kontak akar tanaman sakit dengan tanaman sehat. Penyebaran jarak jauh yaitu dengan spora yang diterbangkan angin, alat pertanian, serangga dan manusia. Spora tidak dapat langsung menimbulkan infeksi pada tanaman, melainkan spora tumbuh terlebih dahulu pada tunggul kayu dan tumbuh membentuk koloni kemudian miseliumnya merambat ke akar dan cabang se-hingga bertemu dengan akar tanaman muda. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap distribusi pohon - pohon jambu mete sakit menunjukkan pola sebaran mengelompok (Sudirja 2011).

Faktor pendorong perkembangan penyakit JAP pada tanaman jambu mete antara lain adalah: akar tanaman sakit menjadi sumber penularan bagi tanaman sekitarnya; persiapan lahan tanaman kurang baik dan bersih yang menyisakan tebangan berupa tunggul kayu yang menjadi media penyebaran JAP; penjarangan tanaman yang terlambat dilakukan; tidak dilakukan pemangkasan bentuk dan produksi; adanya pohon-pohon sakit dalam hutan; sekitar kebun jambu mete dapat menjadi sumber penularan dan penyebaran JAP; kebun - kebun yang kotor dan lembab/tidak dilakukan sanitasi kebun; serta drainase kebun yang kurang baik membuat kebun lembab terutama pada musim penghujan.

(31)

12

tanaman-1 dan tanaman menghasilkan 200 - 250 g tanaman-1). Pencampuran Trichoderma spp. dengan kompos atau dedak dimaksudkan agar penyebaran agensia hayati lebih merata dan sebagai media yang baik bagi pertumbuhannya. Dosis fungisida hayati cair per pohon 25 ml per 5 l air sedangkan bila diaplikasikan pada bibit dipolibag dengan bobot tanah 5 kg dosis fungisida hayati cair perbibitnya adalah 200 ml dengan konsentrasi 5 ml per 1 l air diaplikasikan disekeliling leher akar tanaman yang terserang ringan dan sedang secara merata. Pemberian fungisida hayati dalam bentuk cair dapat juga dicampur dengan kompos atau dedak (Ditjenbun 2001, Sudirja 2011).

3

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan (KP) Cikabayan, University Farm, IPB, Darmaga, Bogor mulai bulan September 2012 – Agustus 2013. Lokasi percobaan terletak pada elevasi 250 m diatas permukaan laut. Analisis hara pada kompos, tanaman jambu mete, tanaman kakao dan tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.

Metode Percobaan

Penelitian ini terdiri atas tiga tahap kegiatan. Tahap pertama, pengomposan KBM. Tahap kedua, aplikasi formula kompos KBM pada bibit jambu mete dan kakao. Tahap ketiga, aplikasi formula kompos KBM sebagai pupuk dan fungisida organik untuk meningkatkan ketahanan bibit jambu mete terhadap patogen R. lignosus.

Pengomposan Kulit Biji Mete

(32)

13 Pencacahan bahan dilakukan pada limbah KBM, A. conyzoides dan Setaria sp. dengan menggunakan mesin pencacahan sehingga diperoleh cacahan kasar KBM berukuran 1.0 – 3.0 cm dan gulma (A. conyzoides dan Setaria sp.) berukuran 3 – 5.0 cm kemudian dilakukan penjemuran. Bahan organik sebagai starter berupa pukan kambing, ampas sagu, A. conyzoides dan Setaria sp. dicampur hingga merata dengan perbandingan volume (1:1:1:1).

Proses pengomposan dilakukan secara aerobik menggunakan bak pengomposan yang berukuran 0.5 m x 0.5 m x 1 m (panjang x lebar x tinggi) terbuat dari kayu. Bak tersebut dilapisi dengan karung plastik sebagai dinding bak dan dibuat lubang - lubang kecil sehingga memungkinkan terjadinya sirkulasi udara (Gambar 6). Kondisi tersebut dimaksudkan agar suhu tumpukan bahan dalam bak pengomposan tidak melampaui suhu termofilik yaitu 65 oC. Bak - bak kompos ditutup mulsa plastik agar terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung sehingga terjaga kelembabannya. Parit dibuat disekeliling bak kompos agar air hujan tidak tergenang pada dasar tumpukan kompos (Widawati 2005; Purwani 2011; Asyerem 2011).

Pemberian mikroba dekomposer dilakukan dengan cara disiram merata pada setiap lapisan permukaan bahan kompos yaitu KBM dan starter. Selanjutnya, bahan kompos tersebut diletakkan pada bak pengomposan lapis demi lapis secara selang seling dengan ketebalan lapisan masing masing adalah 25 cm dan 16 - 17 cm hingga bak pengomposan terisi penuh. Kadar air tumpukan selama pengomposan dipertahankan 60% dengan cara menambahkan air. Pembalikan kompos dilakukan setiap minggu pada setiap perlakuan sambil dilakukan peng-adukan untuk perbaikan aerasi tumpukan agar diperoleh kompos yang homogen. Formula kompos KBM yang telah matang kemudian dikeringanginkan dan diayak, kemudian diinkubasi selama lebih kurang dua minggu sebelum digunakan pada percobaan selanjutnya.

Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) yang disusun secara faktorial. Terdapat dua faktor yang dicobakan yaitu, bioaktivator (B0 = tanpa bioaktivator; B1 = bioaktivator) dan pencacahan kulit biji mete (C0 = tanpa dicacah; C1 = dicacah). Dari kedua faktor tersebut terdapat empat kom-binasi perlakuan yaitu: B0C0 (tanpa aktivator, KBM tidak dicacah; B0C1(tanpa aktivator KBM dicacah); B1C0 (Aktivator, KBM tidak dicacah; B1C1 (aktivator, KBM dicacah). Masing-masing perlakuan diulang tiga kali, sehingga terdapat 12 unit percobaan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan SAS (Statistical Analysis Sistem). Apabila dalam sidik ragam pada taraf α 0.05 terdapat pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT.

(33)

14

Pengaruh Formula Kompos KBM terhadap Pertumbuhan dan Serapan Hara pada Bibit jambu mete serta Bibit Kakao

Kegiatan pada tahap ke-2 terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama menguji pengaruh kompos KBM pada bibit jambu mete varietas Cikampek B02. Percobaan kedua menguji kompos KBM pada bibit kakao varietas Upper Amazone Hybrid (UAH). Kedua percobaan tersebut menggunakan formula kompos KBM kualitas terbaik yang dihasilkan dari percobaan pertama. Percobaan pada tahap kedua ini dilakukan di rumah kaca yang diberi atap penaung berupa paranet 55%. Percobaan tersebut menggunakan polibag yang berukuran 30 x 20 cm dan tebal 0.08 mm yang diisi tanah sebanyak 5 kg per polibag. Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAKL dengan tiga ulangan yang terdiri atas lima perlakuan yaitu: P0 = kontrol (top soil); P1 = pukan kambing 50 g polibag-1; P2 = pukan kambing 100 g polibag-1; P3 = kompos KBM 50 g polibag-1; P4 = kompos KBM 100 g polibag-1. Terdapat lima kombinasi perlakuan dengan tiga kali ulangan sehingga masing-masing percobaan diperoleh 15 satuan unit per-cobaan. Data dari peubah yang diamati selanjutnya dianalisis dengan sidik ragam, apabila pada taraf α 0.05 terdapat pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT.

Kegiatan yang dilaksanakan pada percobaan ini yaitu: (i) persiapan media tanam; (ii) persiapan benih dan perkecambahan; (iii) penanaman; (iv) pemeliharaan; dan (v) pengamatan. Tahap persiapan media tanam antara lain menyediakan tanah yang akan digunakan untuk media tanam yaitu tanah Latosol di Kebun Percobaan Cikabayan Dramaga yang diambil secara komposit dari lapisan atas dengan kedalaman 0 – 20 cm, lalu dikering anginkan selama 2 – 4 hari. Tanah kemudian ditumbuk dan disaring dengan saringan berukuran 2 mm lalu tanah ditimbang sebanyak 5 kg kemudian dicampurkan secara merata dengan perlakuan pupuk organik sesuai dosis kemudian dimasukkan ke dalam polibag dan dibiarkan selama satu minggu. Penanaman bibit jambu mete dan kakao dilakukan setelah sebelumnya masing-masing biji dikecambahkan terlebih dahulu. Benih kakao direndam terlebih dahulu di dalam air selama 10 menit (Rosniawaty 2005). Benih mete varietas BO2 yang diperoleh dari kebun percobaan Balitro di Cikampek selanjutnya direndam air selama 24 jam. Benih mete dan kakao yang tenggelam diambil sebagai benih terpilih untuk dibibitkan (Daras 2007). Benih kakao dikecambahkan pada media pasir yang sudah diberikan fungisida berbahan aktif mancozeb 80%.

(34)

15

mengalami kerusakan. Setiap polibag yang sudah berisi media tanam sesuai dengan perlakuan ditanami satu kecambah. Lubang tanam pada polibag dibuat dengan kayu atau jari, sedalam 2/3 tinggi benih. Bagian ujung benih yang membesar (mata benih) disebelah bawah dibenamkan pelan - pelan kedalam media tanam agar tidak merusak perakaran sampai kira - kira 1 cm yang muncul diatas permukaan media tanam.

Benih mete dikecambahkan pada media polibag kecil yang berukuran 14 x 10 cm lebih kurang selama dua minggu. Benih ditanam dengan posisi berdiri

dengan pangkal benih atau bekas melekatnya biji pada buah semu di bagian bawah, atau telungkup dengan bagian lekukan benih menghadap ke bawah (smile side down) Gambar 5. Semaian disiram setiap hari dipagi hari. Cara menanam benih jambu mete juga berpengaruh terhadap daya berkecambah. Marjono (1981) menyatakan bahwa, cara menanam benih mete yang terbaik yaitu posisi benih berdiri dengan pangkal biji (bekas melekatnya benih pada buah semu) pada bagian bawah. Penanaman dengan cara tersebut menghasilkan benih berkecambah 66.20%. Kecambah mete kemudian dipindahtanamkan pada polibag sesuai dengan perlakuan yang sudah ditentukan.

Penelitian diakhiri setelah bibit jambu mete dan kakao berumur 3 bulan. Peubah yang diamati meliputi: tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, panjang akar, bobot segar tanaman, bobot kering tanaman. Serapan hara N, P, K bibit tanaman jambu mete dan kakao dilakukan setelah 12 MST. Analisis tanah dilakukan sebelum dan sesudah percobaan. Analisis tanah pada akhir percobaan diambil dari perlakuan yang terbaik.

Gambar 5 Penanaman benih mete model smile side down (Gilleo et al. 2011)

Pengujian Efektivitas Formula Kompos KBM yang telah ditambahkan

Trichoderma spp. terhadap Ketahanan Bibit jambu mete Akibat Serangan Patogen Rigidoporus lignosus Penyebab Penyakit JAP

(35)

16

Kejadian penyakit = tanaman yang terserang

tanaman yang diamati ∗100%

polibag-1 + mikroba (Trichoderma spp.); P3 = kompos KBM 100 g polibag-1 + mikroba (Trichoderma spp.) dan P4 = Biofungisida komersial 200 ml polibag-1. Perlakuan P1 – P4 diinokulasi oleh patogen R. lignosus pada 4 BST, sedangkan kontrol 1 (P0) tidak diinokulasi oleh patogen R. lignosus. Terdapat 15 satuan percobaan dan setiap satuan percobaan terdiri atas 10 bibit jambu mete. Jumlah seluruhnya 150 bibit jambu mete. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan SAS (Statistical Analysis Sistem). Apabila dalam sidik ragam pada taraf α 0.05 terdapat pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT.

Setiap perlakuan diaplikasikan pada stadia bibit jambu mete. Penyemaian benih dilakukan seperti pada tahap penelitian kedua yang sudah dijabarkan sebelumnya. Pengkayaan mikroba Trichoderma spp. dengan cara diinfestasikan pada kompos KBM kemudian diinkubasi selama lebih kurang dua minggu baru dicampurkan dengan tanah secara merata sesuai perlakuan dan dimasukan kedalam polibag. Kecambah mete kemudian dipindahkan kedalam polibag yang telah diisi tanah dan kompos KBM atau dengan pukan kambing sesuai perlakuan. Inokulasi R. lignosus pada bibit jambu mete dilakukan pada 12 MST. Selanjutnya, pemberian biofungisida sebanyak 200 ml polibag-1 dengan konsentrasi 5 ml l-1 air (Sudirja 2011)

Bagian tanaman diatas permukaan tanah yang terserang JAP pertumbuhan-nya akan terhambat. Kejadian pepertumbuhan-nyakit JAP ini ditandai dengan daun secara jelas nampak hijau kusam dibanding dengan tanaman sehat dan jika diamati secara dekat daun nampak kaku. Selanjutnya secara bertahap daun akan berwarna kuning dan dimulai pada daun sebelah bawah dan berangsur - angsur gugur ke tanah, sehingga tajuk tanaman menipis akhirnya tanaman menjadi gudul dan mati Bagian bawah tanah, jika leher akar dibuka akan nampak permukaan akar diselimuti benang - benang berwarna putih kekuningan dan pipih menyerupai akar rambut yang menempel kuat dan sulit dilepas. Miselium jamur berwarna putih sehingga untuk memastikan tanaman jambu mete terserang JAP akan dapat dideteksi dengan menutup pangkal batang tanaman dengan seresah daun mete atau jerami dan dalam jangka waktu lebih kurang 2-3 minggu akan muncul miselium warna putih pada pangkal batang. Pada serangan berat akar lateral dan tunggang membusuk sehingga tanaman mati (Sudirja 2011)

Tanaman yang telah diinokulasi disiram setiap hari untuk menjaga kelembaban media. Pengamatan persentase bibit jambu mete yang sakit akibat serangan penyakit jamur akar putih (JAP) dilakukan 30 hari setelah inokulasi R.lignosus. Parameter morfologi bibit jambu mete yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot kering total tanaman. Perhitungan persentase bibit yang sakit (kejadian penyakit) dilakukan pada setiap tanaman untuk masing - masing perlakuan dengan rumus (Purwani 2011; Asyerem 2011):

(36)

17

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengomposan Limbah Kulit biji Mete

Proses pengomposan adalah proses penguraian bahan organik secara biologis, khususnya oleh mikroba - mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi (Gambar 6). Selama proses tersebut unsur hara akan bebas menjadi bentuk yang larut dan dapat diserap oleh tanaman. Tanpa proses pengomposan bahan organik baik sisa hewan maupun tumbuhan tidak berguna bagi tanaman, karena unsur hara masih terikat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman (Setyorini et al. 2006). Proses pengomposan limbah KBM terdiri atas 4 formula yaitu formula 1 (B0C0) (limbah KBM yang tidak dicacah + starter (Setaria sp., A. conyzoides, pukan kambing dan ampas sagu)), formula 2 (B0C1) (limbah KBM yang dicacah + starter (Setaria sp., A. conyzoides, pukan kambing dan ampas sagu)), formula 3 (B1C0) (limbah KBM yang tidak dicacah + bioaktivator Trichoderma spp. dan bakteri selulotik + starter (Setaria sp., A. conyzoides, pukan kambing dan ampas sagu)), formula 4 (B1C1) (limbah KBM yang dicacah + bioaktivator Trichoderma spp. dan bakteri selulotik + starter (Setaria sp., A. conyzoides, pukan kambing dan ampas sagu).

Gambar 6 Proses pengomposan kulit biji mete (KBM)

A = animasi bak kompos, B = urutan lapisan bahan organik dalam bak kompos, C = pengadukan tumpukan kompos seminggu sekali, D = pengukuran suhu harian, E = kompos dikering anginkan dalam rumah kaca, F = pengayakan

A

D

E F

B

(37)

18 Suhu

Suhu yang dihasilkan secara biologis selama proses pengomposan sangat penting untuk : (1) memaksimalkan laju dekomposisi dan (2) menghasilkan bahan yang secara mikrobiologi aman untuk digunakan, karena suhu tinggi dapat menghancurkan organisme patogen, parasit, dan benih gulma (BC 1998; Setyorini et al. 2006). Dekomposisi bahan organik oleh mikroba pada metode pengomposan aerob menghasilkan energi yang dilepaskan dalam bentuk panas. Panas yang dihasilkan menyebabkan perubahan suhu dalam timbunan kompos. Panas dihasil-kan dari aktivitas mikroba (Summers et al. 2003).

Fluktuasi suhu yang terjadi selama proses pengomposan merupakan salah satu bukti terjadinya aktivitas mikroba di dalam tumpukan kompos. Terdapat hubung-an langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi suhu akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Suhu yang berkisar antara 30–60 oC menunjukkan aktivitas pengompos-an ypengompos-ang cepat dpengompos-an merupakpengompos-an suhu optimum dalam pengompospengompos-an, sedpengompos-angkpengompos-an suhu maksimum dalam pengomposan 75 oC (Hirrel dan Riley 2002). Profil perubahan rata – rata suhu harian ditunjukkan dalam Gambar 7. Pengamatan suhu selama proses pengomposan bervariasi diantara perlakuan yang diuji. Proses penurunan suhu kompos tampak pada Gambar 7 terjadi secara perlahan setelah mencapai suhu maksimal. Suhu tumpukan kompos kemudian perlahan akan berubah menjadi dingin mendekati suhu udara lingkungan sama dengan suhu pada awal pengomposan sekitar 32–34 oC

(38)

19 dan bertugas mengkonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat. Pada tahap tersebut terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif, mikroba – mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas (Gambar 4) (Rynk et al. 1992).

Memasuki tahap ketiga pada proses pengomposan keberadaan senyawa – senyawa yang mudah dirombak mulai berkurang, sehingga hanya mikroba yang mampu memanfaatkan senyawa yang lebih resisten seperti selulosa dan lignin yang masih mampu mempertahankan aktivitasnya. Semakin lama aktivitas mikroba mendekomposisi bahan kompos semakin lambat, sehingga energi panas yang dihasilkan tidak cukup lagi untuk meningkatkan suhu dan akan mencapai suhu stabil setelah melalui suhu puncak. Tahap ketiga yaitu tahap pendinginan dan pematangan, karena kandungan energi dalam pengomposan pada tahap ini terus menerus digunakan oleh aktivitas mikroba, maka jumlah O2 dalam tumpukan bahan kompos menjadi terbatas, akibatnya aktivitas mikroba semakin berkurang dan suhu menurun. Selama tahap pendinginan, proses penguapan air dari material yang telah dikomposkan akan masih terus berlangsung, demikian pula stabilisasi pH dan penyempurnaan pembentukan asam humat. Bahan akhir kompos yang terbentuk bersifat stabil dan merupakan sumber pupuk organik (Dallzel 1987; BC 1998; Nurisamunandar 1999; Sisworo 2000; Saraswati et al. 2006; Setiawan 2009).

Tabel 1 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik) dan cacahan KBM terhadap rata – rata suhu formula kompos KBM

Formula menurut uji DMRT α 5%, B0: tanpa bioaktivator, B1 = bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik), C0 = kulit biji mete tidak dicacah, C1= kulit bij mete yang dicacah, Pr = probability, MSP = minggu setelah perlakuan, KBM = kulit biji mete, tn = tidak nyata, * = nyata pada α 5%, * = nyata pada α 1%.

(39)

bio-20

aktivator (B1) dan pencacahan pada KBM (C1) menghasilkan suhu tertinggi di tumpukan bahan kompos pada 1 MSP. Hal ini berarti terdapat saling pengaruh mempengaruhi antara kedua perlakuan tersebut atau pemberian bioaktivator dan pencacahan KBM saling bekerjasama meningkatkan suhu tumpukan bahan kompos pada tahap awal pengomposan (1 MSP). Pencacahan KBM akan mem-perluas wilayah kontak mikroba dalam mendekomposisi kulit biji mete. Penambahan bioaktivator pada KBM yang dicacah akan meningkatkan aktivitas mikroba yang ditandai dengan peningkatan suhu yang berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya (Tabel 2).

Tabel 2 Pengaruh interaksi bioaktivator (Trichoderma spp.+ bakteri selulotik) dan pencacahan KBM terhadap rata – rata Suhu formula kompos KBM pada 1 MSP mete yang dicacah, MSP = minggu setelah perlakuan, KBM = kulit biji mete.

Suhu mulai meningkat diawal minggu pengomposan. Pengaruh tunggal bioaktivator terhadap suhu pengomposan berbeda nyata hanya pada 1 MSP. Pada minggu kedua perlakuan B0 dan B1 memperlihatkan suhu kompos tertinggi (Tabel 1), kemudian suhu berangsur – angsur mengalami penurunan sejak minggu ke-3. Suhu kompos tertinggi untuk perlakuan cacah juga terdapat pada minggu kedua, yaitu berkisar antara 42.96-53.38 oC. Suhu tertinggi yang dicapai pada minggu kedua tersebut disebabkan pada tahap tersebut proses dekomposisi berjalan secara intensif. Pada tahap awal dekomposisi, mikroba memperbanyak diri secara cepat dan meningkatkan suhu bahan kompos. Pada tahap tersebut senyawa - senyawa yang mudah dirombak, seperti gula sederhana (fruktosa dan glukosa), pati, protein dan senyawa sederhana lainnya masih relatif banyak. Senyawa - senyawa inilah yang pertama kali dirombak oleh mikroba sebagai sumber karbon dan energi untuk aktivitas metabolismenya. Akibat metabolisme tersebut mikroba akan melepas sejumlah energi dalam bentuk panas sehingga menyebabkan suhu bahan kompos meningkat (Nurisamunandar 1999; Setiawan 2009).

Pada awal pengomposan populasi mikroba pada bahan formula kompos KBM cukup banyak dan beragam. Hal tersebut terlihat dari kompos yang tidak diberi bioaktivator (B0) sekalipun suhunya tetap meningkat pada minggu kedua. Peningkatan suhu pada perlakuan B0 diduga karena mikroba yang sudah ada dalam bahan organik (mikroba alamiah) terutama yang berasal dari kotoran kambing, memiliki cukup banyak mikroba yang aktif melakukan dekomposisi atau kemampuan untuk merombak senyawa – senyawa sederhana yang terdapat pada bahan formula kompos KBM tersebut sehingga suhu meningkat.

(40)

21 Hal tersebut memperlihatkan bahwa penambahan pupuk kandang pada tumpukan bahan kompos dapat meningkatkan jumlah biomassa mikroba yang dapat membantu proses dekomposisi. Kotoran ternak merupakan media yang paling co-cok untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Pupuk kandang yang di-komposkan dapat menyediakan jasad pelapukan yang aktif, sehingga pemanfaatan pupuk kandang sebagai aktivator dalam proses pengomposan berhubungan erat dengan penambahan jumlah organisme perombak (Nurisamunandar 1999).

Pemberian bioktivator (B1) berupa Trichoderma spp. yang merupakan fungi selulotik dan bakteri selulotik juga menyebabkan peningkatan suhu pada tumpukan bahan kompos limbah kulit biji mete. Peningkatan suhu dicapai lebih tinggi oleh perlakuan B1 dibandingkan tanpa pemberian bioaktivator B0 (Tabel 1). Penambahan bioaktivator berupa mikroba Trichoderma spp. dan bakteri selulotik mengakibatkan semakin banyak senyawa karbon dan bahan kompos yang dirombak oleh mikroba untuk digunakan sebagai sumber karbon dan energi. Hal tersebut akan meningkatkan suhu pada tumpukan bahan kompos lebih tinggi pada B1 dibandingkan B0.

Pencacahan kulit biji mete (C1) berpengaruh nyata terhadap perubahan suhu tumpukan bahan kompos. Suhu maksimum tercapai pada minggu kedua sebesar 53.38 oC. Pencacahan KBM (C1) secara nyata meningkatkan suhu tumpukan bahan kompos pada minggu – minggu awal pengomposan dibandingkan pada tumpukan bahan kompos kulit biji mete yang tidak dicacah (C0), hal ini di sebabkan karena perlakuan pencacahan kulit biji mete mengakibatkan ukuran partikel bahan yang dikomposkan menjadi lebih kecil memungkinkan aerasi ber-langsung dengan lebih baik dan memudahkan mikroba kontak dengan bahan or-ganik yang dikomposkan. Semakin kecil ukuran partikel bahan oror-ganik, maka se-makin besar luas permukaan yang dapat didekomposisikan oleh mikroorganisme, sehingga aktivitas metabolisme mikroba lebih intensif pada tumpukan bahan kompos kulit biji mete yang dicacah. Hal tersebut akan meningkatkan suhu jauh lebih tinggi pada tumpukan bahan kompos kulit biji mete yang dicacah (C1). Jika ukuran partikel besar atau tidak dicacah, maka permukaan yang dapat diserang oleh mikroba berkurang, reaksi akan berjalan lambat atau bahkan berhenti sama sekali (Setyorini et al. 2006), sehingga peningkatan suhu tumpukan bahan kompos kulit biji mete yang tidak dicacah (C0) berjalan relatif lebih lambat.

Nisbah C/N

(41)

kandung-22

an C-organik yang tersisa relatif resisten terhadap dekomposisi, sehingga energi yang ada dalam bahan organik yang digunakan oleh mikroba untuk men-dekomposisi semakin berkurang seiring suhu yang semakin stabil (Setiawan 2009), hal tersebut menandakan aktivitas mikroba mendekomposisi yang semakin rendah (Gambar 5).

Tabel 3 Pengaruh tunggal bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik) dan pencacahan KBM terhadap rata – rata nisbah C/N formula kompos KBM Formula Keterangan: angka - angka pada kolom dan faktor yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda

nyata menurut uji DMRT α 5%, B0: tanpa bioaktivator, B1 = bioaktivator (Trichoderma spp. + bakteri selulotik), C0 = kulit biji mete tidak dicacah, C1= kulit bij mete yang dicacah, MSP = minggu setelah perlakuan, KBM = kulit biji mete, tn = tidak nyata, * = nyata pada α 5%.** = nyata pada α 1%.

Tabel 4 Pengaruh interaksi bioaktivator (Trichoderma spp.+ bakteri selulotik) dan pencacahan KBM terhadap rata – rata nisbah C/N formula kompos dicacah, C1= kulit bij mete yang dicacah, MSP = minggu setelah perlakuan, KBM = kulit biji mete.

(42)

Tricho-23 derma spp. dan bakteri selulotik serta pencacahan kulit biji mete mampu mem-percepat proses dekomposisi. Hal tersebut sesuai dengan salah satu tujuan penggunaan bioaktivator dan pencacahan kulit biji mete dalam pengomposan yaitu untuk meningkatkan laju dekomposisi sehingga dapat memperpendek waktu pengomposan.

Pengaruh interaksi kombinasi perlakuan bioaktivator dan cacah pada akhir pengomposan (8 MSP) terhadap nisbah C/N (Tabel 4), selain B1C1 mencapai kisaran 32.21–40.46. Kisaran nisbah C/N tersebut baru mencapai kisaran ideal bahan organik untuk dikomposkan, karena menurut Guntoro et al. (2003) rasio C/N bahan organik yang optimal untuk dikomposkan adalah 30-40. Penurunan nisbah C/N kombinasi perlakuan B0C0, B1C0, dan B0C1 lebih rendah dibandingkan kombinasi perlakuan B1C1 yang mencapai 24.42 (Tabel 4). Hal tersebut diduga karena yang tersisa adalah senyawa - senyawa yang sulit dirombak seperti selulosa dan lignin dan mikroba yang ada dalam bahan kompos mempunyai aktivitas merombak selulosa yang rendah dan jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan kombinasi perlakuan B1C1. Terjadinya penurunan nisbah C/N yang cukup tinggi di B1C1 tersebut diduga disebabkan karena adanya peranan mikroba dekomposer yang diinokulasikan pada awal pengomposan yang berinteraksi dengan KBM yang dicacah. Nilai nisbah C/N kombinasi perlakuan B1C1 sebesar 24.42 telah memenuhi standar minimal persyaratan teknis pupuk organik yaitu 10-25 (Suriadikarta dan Setyorini 2006). Hal tersebut menunjukkan bahwa formula kompos KBM telah termineralisasi dan nitrogen yang tersedia siap dimanfaatkan tanaman.

Derajat kemasaman (pH)

Nilai pH yang diinginkan melalui proses pengomposan berdasarkan SNI kompos 19-7030-2004 yaitu antara 6.80–7.49, kisaran tersebut pada umumnya cukup ideal untuk menunjang pertumbuhan tanaman apabila kompos tersebut diaplikasikan pada tanaman sebagai pupuk organik. Perubahan nilai pH selama proses pengomposan menunjukkan adanya aktivitas pengomposan. Perubahan pH selama proses pengomposan disajikan pada Tabel 5. Tidak terdapat pengaruh interaksi akibat perlakuan bioaktiator dan cacah terhadap perubahan nilai pH selama pengompos-an berlangsung. Nilai pH pada awal pengomposan (2–4 MSP) di kedua perlakuan (bioaktivator dan cacah) menunjukkan telah terjadi penurunan pH berkisar antara 5.27–5.51. Hal tersebut diduga karena pada awal pengomposan dihasilkan asam - asam organik sederhana dari hasil penguraian bahan organik yang cukup intensif dilakukan oleh mikroba seiring dengan peningkatan suhu diawal minggu proses pengomposan. Pada proses dekomposisi secara aerobik akan terbentuk asam – asam organik sederhana melalui proses nitrifikasi dari hasil penguraian bahan organik yang cukup intensif dilakukan oleh mikroba (Nurisamunandar 1999; Asyerem 2011; dan Ningsih et al. 2013).

Gambar

Gambar 1  Bagan alur tahapan penelitian
Gambar 2  Jambu mete (Gilleo et al. 2011)
Gambar 4  Skema proses pengomposan aerob (Rynk et al. 1992)
Gambar 5 Penanaman benih mete model smile side down  (Gilleo et al. 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada dasarnya semua kegiatan atau program yang dibuat memiliki tujuan. Begitu pula dengan apa yang dilakukan oleh Divisi Humas Polsek Cikarang Selatan. Tujuan

Whall mengakui bahwa dalam banyak hal, project memang merupakan program yang sukses dan menjanjikan, namun dalam pandangannya, project promise tidak menggambarkan

Data hasil penelitian pengaruh penambahan betain dalam pakan rendah metionin terhadap kualitas karkas pada itik Mojosari jantan yang meliputi persentase karkas,

Salah satu faktor yang mendukung dalam suatu Pekerjaan/Proyek agar dapat berjalan dengan Tepat Mutu, Tepat Waktu, dan Tepat Biaya adalah pencrapan Metode Pelaksanaan

Dengan kriteria tersebut maka hipotesis diterima.Diperoleh nilai R 2 sebesar 0,519 yang berarti bahwa variabel budaya organisasi dan deskripsi pekerjaan memberikan

Anda tidak dapat menarik kembali persetujuan untuk mengganti rugi dan tetap membebaskan MKES dan/atau Maybank Group dari semua kewajiban, klaim, kerugian dan

Besarnya pengaruh secara simultan antara variabel suhu, kelembaban, jenis kontainer, keberadaan kontainer, perilaku alamiah tata kelola tempat penampungan air dan

Preservasi, kegiatan yang perlu dilakukan pada fasade bangunan kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja adalah kegiatan pemeliharaan bentukkan fisik dalam kondisi