• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keamanan Ekstrak Etanol 96% Daun Wungu (Graptophyllum Pictum (L.) Griff) Melalui Kajian Histopat Organ Mencit.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keamanan Ekstrak Etanol 96% Daun Wungu (Graptophyllum Pictum (L.) Griff) Melalui Kajian Histopat Organ Mencit."

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

HISTOPAT ORGAN MENCIT

RAMA ANDHITA SETIAWAN

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

(Graptophyllum Pictum

(L.) Griff) Melalui Kajian Histopat Organ Mencit.

Dibimbing oleh EDY DJAUHARI dan DIMAS ANDRIANTO.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji keamanan dan pengaruh ekstrak etanol

96% daun wungu (Graptophyllum pictum

(L.) Griff) terhadap organ mencit (hati

dan ginjal). Keamanan daun wungu diuji selama 3 bulan dengan metode toksisitas

subkronis. Pengelompokan hewan coba dibagi menjadi 4 kelompok yaitu,

kelompok 100 mg/kgbb, 500 mg/kgbb, 1000 mg/kgbb dan normal. Kelompok

tersebut diamati dan dilihat tingkat kematiannya serta bobot badannya dalam

perlakuannya. UJi keamanan yang dilakukan selama 3 bulan tersebut

menampakkan bahwa daun wungu aman dan memberikan manfaat dalam

menambah daya hidup hewan coba. Hewan coba yang digunakan dalam

percobaan ini ialah mencit dengan jumlah 10 ekor tiap kelompok. Umur mencit

yang digunakan ialah 2 bulan. Hasil analisis kematian menghasilkan data yang

tidak dapat dihitung secara

LD 50 karena pertambahan kematian pada dosis

tertinggi makin sedikit sementara pertambahan kematian pada dosis terendah

semakin banyak. Setelah itu dilakukan histopatologi untuk melihat kerusakan

yang terjadi dalam jaringan. Uji keamanan yang telah dilakukan menunjukkan

bahwa ekstrak etanol 96% daun wungu aman karena kematian mencit yang

dipakai dari semua kelompok kurang dari 50%. Apabila ditelisik lebih lanjut

berdasarkan data histopatologi didapatkan kesimpulan mengenai harapan hidup

dari mencit yang makin menjadi besar seiring dengan penambahan dosis yang

digunakan mengindikasikan senyawa tersebut kemungkinan memiliki kemampuan

yang menambah daya hidup mencit dikarenakan ekstrak etanol 96% daun wungu.

(3)

(Graptophyllum Pictum (L.) Griff) Leaves Through the Study of Organ

Histopathology. Under the direction of EDY DJAUHARI and DIMAS

ANDRIANTO.

This study aims to test the safety and effect of 96% ethanol extract of leaves

Wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) against murine organs (liver and

kidney). Security Wungu leaves tested for 3 months with subkronis toxicity

methods. Grouping of experimental animals were divided into 4 groups, namely,

the 100 mg / kg bb, 500 mg / kg bb, 1000 mg / kg bb and normal. The group was

observed and seen the death and his body weight in treatment. Safety testing is

conducted for 3 months showed that the leaf Wungu safe and beneficial in adding

to the animal life. Experimental animals used in these experiments is that mice

with a number of 10 fish per group. Age of mice used is 2 months. The results of

death analysis produces data that can not be calculated in the LD 50 because the

accretion death at the highest dose while the accretion death a little more at the

lowest dose increased. Once that was done histopathologically to see the damage

that occurs in the whole body. Safety testing has been conducted shows that 96%

ethanol extract of leaves Wungu safe because of the death of mice used for all

groups of less than 50%. When examined further conclusions based on data

obtained on the histopathology of the life expectancy of mice is more in line with

the addition of a large dose of a compound that is used to indicate the possibility

of having the ability to increase survival of mice caused 96% ethanol extract of

leaves Wungu.

(4)

HISTOPAT ORGAN MENCIT

RAMA ANDHITA SETIAWAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

NIM

: G84070041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Drs. Edy Djauhari P.K, MS

Ketua

Dimas Andrianto, S.Si, M.Si

Anggota

Diketahui

Dr.Ir. I Made Artika, M.App.Sc.

Ketua Departemen Biokimia

(6)

Assalamu’alaikum

Puja puji serta syukur penulis ucapkan pada Allah SWT yang telah

menjadi motivasi terbesar penulis untuk menyelesaikan usulan penelitian ini

dengan menciptakan dunia dan semesta alam yang melimpah akan ilmu

pengetahuan ini. Tak lupa pula shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad

SAW yang telah menjadi panutan serta pemimpin di dunia ini sehingga penulis

dapat termotivasi dan lancar dalam penyelesaian usulan penelitian ini.

Terima kasih juga penulis ucapkan pada Drs. Edy Djauhari P.K, MS dan

Dimas Andrianto, S.Si, M.Si atas bantuan dan bimbingannya sehingga penulis

dapat menyelesaikan usulan penelitian ini sebaik mungkin. Penulis juga

mengucapkan terima kasih yang sangat besar pada kedua orang tua penulis yaitu

Bapak Budy Setiawan dan Ibu Endang Surastuti atas doa dan motivasinya untuk

kelancaran serta kesuksesan penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih

sebesar-besarnya kepada Gian Nubekti, Rezana Falachi, Rori Theresia, Bahrul

Mufid, Suherman, Muhammad Gufron, M Ikbal Ardi, Muhammad Taufan,

Ibrahim F, Tantry N dan Ismi W serta karyawan Departemen Biokimia yang setia

membantu penulis.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bogor, Mei 2012

(7)

Penulis dilahirkan di Wonosobo (Jawa Tengah) pada tanggal 31 Desember

1988 dari seorang bapak bernama Budy Setiawan dan dari ibunda Endang

Surastuti sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2007 penulis lulus dari

SMA Negeri 1 Banjarnegara (Jawa Tengah) dan pada tahun yang sama penulis

diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB

(USMI). Penulis mengambil Mayor Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam (FMIPA) dan setelah menyelesaikan tahun pertamanya di

TPB (Tingkat Persiapan Bersama) penulis memilih Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA) sebagai minor.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 2

Daun Wungu ... 2

Metode Ekstraksi dan Pelarut ... 3

Uji Toksisitas Subkronis ... 3

Hati ... 4

Ginjal ... 5

Histopatologi ... 5

BAHAN DAN METODE ... 6

Bahan dan Alat ... 6

Metode Penelitian ... 6

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7

Rendemen Ekstrak Daun Wungu dan Preparasi Pencekokan Hewan Coba ... 7

Kondisi Hewan Coba ... 8

Uji Toksisitas Subkronis ... 9

Histopatologi Hati Hewan Coba ... 10

Histopatologi Ginjal Hewan Coba ... 11

Pengamatan Histopatologi Organ Lain ... 13

SIMPULAN DAN SARAN ... 18

Simpulan ... 18

Saran ... 18

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Klasifikasi toksisitas ... 4

2 Rendemen ekstrak daun wungu ... 6

3 Bobot badan, konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan berat feses tikus ... 9

4 Hasil histopatologi hati hewan coba. ... 11

5 Hasil histopatologi ginjal hewan coba ... 13

6 Pengamatan mikroskopis otak ... 14

7 Pengamatan mikroskopik jantung ... 15

8 Pengamatan mikroskopik paru-paru ... 16

9 Pengamatan mikroskopis usus ... 17

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Daun wungu (Graptophyllum pictum ( L.) Griff.)... 2

2 Bobot badan hewan coba selama perlakuan... 8

3 Kematian hewan coba ... 9

4 Histopatologi kerusakan hati bulan pertama ... 11

5 Histopatologi kerusakan ginjal bulan pertama ... 12

6 Histopatologi kerusakan otak bulan pertama ... 13

7 Histopatologi kerusakan jantung bulan pertama ... 14

8 Histopatologi kerusakan paru-paru bulan pertama ... 15

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Gambaran umum penelitian ... 22

2 Ekstraksi secara umum ... 23

3 Uji toksisitas subkronis secara umum ... 24

4 Teknik histopatologi ... 25

5 Perhitungan rendemen ekstrak daun wungu dengan pelarut etanol 96% ... 26

6 Kematian hewan coba ... 26

7 Bobot badan kelompok normal ... 27

8 Bobot badan kelompok 100 mg/kgbb ... 30

9 Bobot badan kelompok 500 mg/kgbb ... 33

(11)

PENDAHULUAN

Penyakit dan infeksi merupakan salah satu ancaman terhadap kesehatan masyarakat. Meskipun pengobatan secara intensif telah dilakukan namun hingga saat ini belum ditemukan obat yang dapat mengatasi secara memuaskan. Hal ini disebabkan karena rendahnya selektifitas obat-obat yang digunakan atau karena patogenesitas penyakit itu sendiri belum jelas. Di lain pihak masyarakat Indonesia telah mengenal berbagai ramuan tradisional yang dinyatakan sebagai obat. Obat-obatan tradisional ini selalu diturunkan pada tiap generasi (Kumalasari 2006).

Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara di dunia karena obat herbal memiliki sedikit efek samping yang berbahaya dibandingkan obat modern yang biasanya digunakan. Selain itu biaya untuk penggunaan obat herbal lebih terjangkau disbanding obat modern. Menurut WHO, Negara Negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer (WHO 2003).

WHO merekomendasi penggunaan obat

tradisional termasuk herbal dalam

pemeliharaan kesehatan masyarakat,

pencegahan dan pengobatan penyakit,

terutama untuk penyakit kronis. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat tradisional (WHO 2003). Indonesia sendiri memiliki banyak jenis tanaman obat yang dapat memberikan manfaat. Sebagai contoh menurut Morina Adfa (2005) di propinsi Bengkulu terdapat 47 spesies tanaman obat yang telah diidentifikasi. Gray & Flatt (1999) juga telah meneliti tanaman obat yang dapat menjadi terapi untuk penyembuhan dari beberapa penyakit.

Penyakit dapat dicegah dengan beberapa cara pengobatan, namun pengobatan yang dilakukan pada beberapa tahun terakhir masih memiliki beberapa efek samping yang merugikan manusia dan dapat menimbulkan akibat yang justru membahayakan manusia. Penelitian terhadap beberapa obat dari tumbuh-tumbuhan juga terus dilakukan. Diantaranya senyawa aktif daun wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff). Daun wungu sudah dimanfaatkan oleh masyarakat dalam penyembuhan berbagai penyakit,

seperti wasir, bisul, koreng telinga dan perut, serta pelancar siklus haid bagi wanita (Dalimartha 1999).

Hasil studi literatur mendapatkan bahwa di dalam rebusan daun tumbuhan wungu tersebut dapat menghilangkan gejala hemoroid eksternum derajat II (Sardjono et al. 1995). Kusumawat et al. (2002) juga telah meneliti peran senyawa alkaloida yang terdapat dalam ekstrak etanol daun tumbuhan wungu yang memiliki efek analgesik/antiinflamasi dan penghambat pembentukan prostaglandin. Hal yang sama jg dikemukakan oleh Ozaki et al.

(1989) dan Lavergne & Vera (1989). Olagbende-Dada et al (2009) juga mengatakan bahwa dalam tanaman wungu mengandung utoretonik agen. Namun demikian penelitian mengenai daun tumbuhan wungu sampai saat ini hanya uji efek farmakologisnya saja (Umi Kalsum et al.

1996). Daun tumbuhan ini mengandung alkaloida yang tidak beracun, glikosida, steroida, saponin, klorofil dan lendir. Salah satu bahan tanaman yang diteliti adalah daun handeuleum mengandung beberapa senyawa steroid, di samping itu daun handeleum mengandung bahan-bahan lain seperti alkaloid dan tannin (Hakim dan Soedigdo 1983).

Uji toksisitas merupakan suatu rangkaian pengujian untuk dapat membedakan senyawa yang aman dan beracun (berbahaya). Uji toksisitas terbagi menjadi toksisitas akut, toksisitas subkronis dan kronis. Pengujian ini juga memberikan informasi mengenai dosis yang dapat mematikan 50% populasi hewan coba (Lethal Dose 50). Dari penentuan tersebut dapat diketahui dosis yang aman untuk digunakan. Uji toksisitas akut pada daun wungu telah dilakukan oleh Dada pada tahun 2011. Menurut Olagbende-Dada et al. (2011) dosis yang aman pada toksisitas akut ditemukan dibawah 4000 mg/kg BB. Sementara toksisitas subkronis belum ada yang melakukan. Hasil uji toksisitas kemudian biasanya dilakukan histopatologi terhadap hati dan ginjalnya.

Rumusan masalah pada penelitian ini ialah meski sudah diteliti tentang banyaknya khasiat daun wungu namun peneliti keamanan penggunaan tanaman wungu masih belum banyak. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian terhadap toksisitas dan histopatologi berdasarkan konsentrasi pemberian ekstrak etanol 96% daun wungu sebagai pembuktian dosis yang aman terhadap konsumsinya.

(12)

(L.)Griff) tidak toksik dan tidak merusak jaringan organ dalam mencit sehingga dapat digunakan sebagai obat herbal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji toksisitas dan pengaruh terhadap histopatologi organ mencit menggunakan ekstrak etanol 96% daun wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) untuk mendapatkan dosis terbaik yang aman dikonsumsi. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi terhadap toksisitas sehingga keamanan penggunaan dapat tercapai.

TINJAUAN PUSTAKA

Daun Wungu

Tanaman Wungu asalnya dari Irian dan Polinesia, dapat ditemukan di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian kira-kira mencapai 1.250 m dpl. Perdu atau pohon kecil, dengan tinggi 1,5-3 m, batang berkayu. Kulit dan daun berlendir dan baunya kurang enak. Cabang bersudut tumpul, berbentuk galah dan beruas rapat. Tanaman wungu sering ditemukan tumbuh liar di pedesaan atau ditanam sebagai tanaman hias dan tanaman pagar. Tumbuh baik pada tempat-tempat terbuka yang terkena sinar matahari, dengan iklim kering atau lembab. Tanaman wungu merupakan tanaman perdu atau pohon kecil, dengan tinggi 1.5-3 m, batang berkayu. Kulit dan daun berlendir dan baunya kurang enak. Wungu memiliki daun yang letaknya berhadap-hadapan. Perbungaan majemuk dan tersusun dalam rangkaian berupa tandan yang berwarna merah tua. Tanaman ini memliki 3 varietas, yaitu yang berdaun ungu, hijau, dan belang-belang putih. Namun yang digunakan sebagai obat adalah varietas yang berdaun ungu (Wijayakusuma et al 1995).

Tumbuhan wungu sering ditemukan tumbuh liar di pedesaan atau ditanam sebagai tanaman hias dan tanaman pagar. Tumbuh baik pada tempat-tempat terbuka yang terkena sinar matahari pada iklim tropis, dengan iklim kering atau lembap. Negara-negara yang memiliki iklim tropis tersebut juga memiliki beberapa variasi dari jenis-jenis tumbuhan wungu dan menelitinya untuk dijadikan obat. Sistematika (Taksonomi) tumbuhan wungu terdiri atas kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledonae, ordo Tubiflorae, famili acanthaceae, genus

Graptophyllum, spesies Graptophyllum pictum. Tanaman ini memiliki nama lain yang bisa disebut juga dengan Graptophyllum hortense. Nees (Dalimartha 1999).

Gambar 1 Daun wungu (Graptophyllum pictum ( L.) Griff.)

Tumbuhan wungu (daun) berkhasiat sebagai peluruh kencing (diuretik), mempercepat pemasakan bisul, pencahar ringan (laksatif), dan pelembut kulit (emoliens). Sedangkan bunganya berkhasiat sebagai pelancar haid dan obat wasir (Dalimartha 1999). Dari studi literatur yang dilakukan, telah diteliti bahwa di dalam rebusan daun tumbuhan wungu tersebut dapat menghilangkan gejala hemoroid (Perry 1980; Kasahara & Mangunkawatjia 1986). Umi Kalsum et al (1996) juga telah meneliti peran senyawa alkaloida yang terdapat dalam ekstrak etanol daun tumbuhan wungu yang memiliki efek analgesik/antiinflamasi dan penghambat pembentukan prostaglandin. Namun demikian penelitian mengenai daun tumbuhan wungu sampai saat ini hanya uji efek farmakologisnya saja dan penelitian lain yang berkaitan tentang daun wungu masih sangat terbatas. Terutama penelitian mengenai keamanan terhadap senyawa yang terkandung di dalam tumbuhan wungu tersebut masih belum banyak dilakukan (Umi Kalsum et al.

1996).

Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa penggunaan ekstrak daun wungu pada mencit diovariektomi tidak menimbulkan pertumbuhan yang sangat meningkat pada uterusnya (Suhargo et al. 2003; Bodhankar et al. 1974; Farnsworth et al. 1975), sehingga penggunaan daun wungu ini tidak menimbulkan karsinoma pada uterus. Daun wungu diketahui mengandung alkaloid, glikosida, steroid dan tannin (Wijayakusuma

et al. 2004). Ekstrak etanol daun wungu juga dapat menurunkan kadar kolesterol dan LDL

serum. Menurut hasil penelitian Hakim dan Soedigdo (1983) diketahui bahwa sebagian besar senyawa steroid yang terkandung dan terdapat di dalam daun wungu adalah

(13)

Metode Ekstraksi dan Pelarut Keanekaragaman flora berarti keanekaragaman senyawa kimia yang terkandung didalamnya. Hal tersebut memicu dilakukannya suatu analisis terhadap metabolit sekunder yang terkandung didalam tumbuh-tumbuhan melalui teknik pemisahan, metode analisis dan uji farmakologi (Simpen 2008).

Ekstraksi merupakan proses penarikan komponen atau zat aktif dari suatu campuran padatan atau cairan dengan menggunakan pelarut tertentu. Pelarut yang digunakan tidak bercampur atau hanya bercampur sebagian dengan campuran padat atau cairan. Dengan kontak yang intensif, komponen aktif pada campuran akan berpindah ke dalam pelarut (Gamse 2002). Pemilihan pelarut merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan kesempurnaan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi harus dapat menarik komponen aktif dari campuran dalam sampel (Gamse 2002).

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam memilih pelarut diantaranya, selektivitas, sifat pelarut dan kemampuan pelarut untuk mengekstraksi, tidak bersifat racun, mudah diuapkan, serta relatif murah (Gamse 2002). Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi dapat menembus pori-pori bahan padat sehingga bahan yang ingin diekstrak dapat dengan mudah tertarik. Pelarut yang umum digunakan diantaranya, etil asetat, heksana, eter, benzena, toluene, etanol, isopropanol, aseton dan air (Simpen 2008).

Metode ekstraksi ini dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri atas maserasi, perkolasi, reperkolasi, evakolasi, dan dialokasi. Ekstraksi khusus terbagi atas sokletasi, arus balik dan ultrasonik (Harborne 1987).

Maserasi biasanya digunakan untuk mengekstraksi contoh yang relatif mudah rusak oleh panas. Metode ini dilakukan dengan merendam contoh dalam suatu pelarut baik tunggal maupun campuran dengan lama waktu tertentu, yang umumnya sekitar 1 hingga 2 hari perendaman tanpa diberikan pemanasan. Kelebihan metode ini diantaranya adalah relatif sederhana, yaitu tidak memerlukan alat-alat yang rumit, relatif mudah, murah, dan dapat menghindari rusaknya komponen senyawa akibat panas (Meloan 1999).

Istilah maserasi berasal dari bahasa latin

macerare yang artinya ”merendam”

merupakan proses paling tepat karena obat

yang sudah halus memungkinkan direndam dalam pelarut sampai meresapkan dan melunakkan susunan sel sehingga zat-zat yang sudah larut akan meluruh (Ansel 1989). Salah satu pelarut yang umum digunakan ialah etanol. Etanol tidak menyebabkan pembengkakan pada membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Keuntungan lainnya adalah sifatnya yang mampu mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim. Umumnya yang digunakan sebagai cairan pengekstraksi adalah campuran bahan pelarut yang berlainan khususnya campuran etanol-air, etanol (96% volume) sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal, menjadikannya bahan pengotor hanya dalam skala kecil larut dalam cairan pengekstraksi (Voigt1995).

Uji Toksisitas Subkronis

Uji toksisitas digunakan sebagai uji keamanan suatu senyawa yang akan digunakan oleh manusia. Uji toksisitas suatu senyawa dibagi menjadi dua golongan yaitu toksisitas umum dan toksisitas khusus. Uji toksisitas umum meliputi berbagai pengujian yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada hewan uji. Pengujian toksisitas umum meliputi pengujian toksisitas akut, subakut atau subkronis dan kronik. Sedangkan pengujian toksisitas khusus meliputi uji potensiasi, uji kekarsinogenikan, uji reproduksi, kulit, mata, dan perilaku (Loomis1978).

Toksisitas subkronis didefinisikan sebagai efek yang ditimbulkan oleh senyawa kimia atau obat terhadap organisme target. Efek toksik dari sediaan yang sama dapat memberikan efek yang berbeda pada organ didalam tubuh (Clarke & Clarke 1975). Pengujian toksisitas subkronis dilakukan dengan memberikan obat atau zat kimia yang sedang diuji sebanyak beberapa kali dalam jangka 3 bulan. Secara umum toksisitas subkronis diarahkan pada penentuan LD50 dan efeknya yang terjadi pada hewan coba yang diberi perlakuan dengan suatu senyawa. Uji toksisitas subkronis dirancang untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam waktu yang lama setelah pemajanan atau pemberian bahan kimia dengan takaran tertentu (Donatus 1998).

(14)

dengan memberikan obat atau zat kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 3 bulan. Kebanyakan pemeriksaan toksisitas subkronis diarahkan pada penentuan LD50 dari suatu bahan kimia tertentu. Akan tetapi toksisitas subkronis tidak selalu mendapatkan nilai LD50 (Chan et al

1982). Pengamatan ini dilakukan untuk menentukan jumlah respon dari suatu respon diskret (all or none response) pada suatu kelompok hewan uji. Jumlah respon tersebut dapat 100%, 99%, 50%, 20%, 10%, atau 1%. Respon yang bersifat diskret itu dapat berupa kematian, aksi potensial, dan sebagainya (Ngatidjan 1997). Pengujian toksisitas bertujuan untuk mencegah kerugian terhadap kesehatan manusia dan lingkungan (Koeman 1987).

Uji toksisitas subkronis biasanya menggunakan hewan uji mencit dari satu jenis kelamin. Hewan uji harus sehat dan berasal dari satu galur yang jelas. Menurut Weil penelitian uji toksisitas subkronis ini paling tidak menggunakan 4 peringkat dosis yang masing-masing peringkat dosis menggunakan paling sedikit 4 hewan uji. Dosis dibuat sebagai suatu peringkat dengan kelipatan logaritmik yang tetap. Dosis terendah merupakan dosis yang tidak menyebabkan timbulnya efek atau gejala keracunan, dan dosis tertinggi merupakan dosis yang menyebabkan kematian semua (100%) hewan uji. Cara pemberian obat atau bahan yang diteliti harus disesuaikan pada pemberiannya pada manusia, sehingga dapat mempermudah dalam melakukan ekstrapolasi dari hewan ke manusia (Ngatidjan 1997).

Indeks besar kecilnya percobaan LD50

berdasarkan tingkat kematian dari hewan coba. Apabila hewan coba yang mati dari suatu kelompok lebih dari 50% dalam jangka waktu 3 bulan untuk toksisitas subkronik, maka bisa dikatakan bahwa senyawa uji tersebut memiliki tingkat toksisitas yang besar. Apabila indeks kematian yang didapatkan masih kurang dari 50% berarti nilai toksisitas dari senyawa uji masih bisa dikatakan aman dan dicari dosis yang tepat (Clarke & Clarke 1975). ). Sekurang-kurangnya digunakan tiga kelompok dosis dan satu kelompok kontrol. Batas uji dosis toksisitas subkronis sebesar 1000 mg/kg bobot badan (Harmita & Radji 2008). Menurut

Environmental Protection Agency (EPA 1998), Tingkat keracunan senyawa kimia pada suatu ekstrak berdasarkan nilai LD50 dapat diklasifikasikan menurut Lu (1995) seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi toksisitas

LD50 peroral (mg/kgbb)

Tingkat Keracunan <5 Supertoksik 5-50 Amat sangat toksik 50-500 Sangat toksik 500-5000 Toksik 5000-15000 Tidak toksik >15000 Praktis non toksis Sumber (Lu 1995)

Hati

Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh yaitu sekitar 2-3% dari bobot badan. Hati berada dalam rongga perut di sebelah kanan, tepat di bawah diafragma berwarna cokelat kemerahan (Kaplan 2002). Sel hati berbentuk polihedral, berdiameter 20-25 mikron pada hewan dewasa, sedangkan pada hewan muda sekitar 2-7 mikron. Inti bulat di tengah dan kadang-kadang tampak lebih dari satu inti (Hartono 1992).

Hati terbagi dalam beberapa lobus. Secara fungsional unit terkecil hati adalah lobulus. Setiap lobulus hati yang berbentuk heksagonal mempunyai sebuah vena sentral. Sudut-sudut pertemuan antara lobulus disebut segitiga Kiernan yang mengandung tiga unsur yaitu vena sentralis, cabang-cabang arteri hepatika, dan kanalikuli biliaris (Handoko 2003). Sel-sel kuffer yang berada di lumen sinusoid bertindak sebagai makrofag yang mempunyai fungsi fagositik (Ganong 2003).

Beberapa fungsi hati adalah sebagai tempat pembentukan empedu, penyimpanan dan pelepasan karbohidrat, pembentukan urea, metabolisme lemak, detoksifikasi obat dan toksin. Selain itu juga sebagai tempat pembentukan protein dan metabolisme beberapa hormon polipeptida serta metabolisme kolesterol (Ganong 2003). Hati dapat menyintesis lebih dari 1000 protein plasma, seperti albumin dan globulin secara

de novo dari asam amino esensial dan non esensial. Hati juga dapat menyintesis asam lemak, trigliserida, kolesterol, apolipoprotein, lipoprotein, dan kolesterol ester dalam fosfolipid. Beberapa bahan hasil metabolisme ini dapat tersimpan dalam hati, seperti glikogen, trigliserida, Fe, dan Cu (Stockham & Scott 2008).

(15)

vena porta ke hati. Aliran darah yang membawa obat atau senyawa organik asing melewati sel-sel hati secara perlahan-lahan (Siswandono 1995). Sirosis hati adalah suatu keadaan yang menggambarkan pengerasan hati. Sirosis dapat disebabkan oleh berbagai hal tetapi penyebabnya belum diketahui secara pasti. Umumnya bahan-bahan toksik dan parasit dapat menyebabkan sirosis hati (Ressang 1984; Price 1995).

Gangguan fungsi hati terjadi karena terjadinya peningkatan bilirubin total hati. Kegagalan dan gangguan dalam proses detoksikasi dapat diketahui dengan meningkatnya kadar enzim-enzim transminase, yaitu Serum Glutamate Oxaloacetat Transminase (SGOT) dan Serum Glutamate Pyruvate Transminase (SGPT).

Ginjal

Ginjal adalah alat tubuh yang mempunyai kemampuan menyaring dan menyerap kembali beberapa bahan dari sirkulasi darah dalam tubuh (Ressang 1984). Secara anatomis, ginjal merupakan alat tubuh yang berpasangan, berwarna cokelat, terletak dorsal di dalam rongga perut di sebelah kanan dan kiri tulang punggung yang umumnya berbentuk kacang dengan hilis renalis (tempat masuknya pembuluh darah dan keluarnya ureter) (Hartono 1992). Ginjal terletak di retroperitoneum vertebralis lumbalis, dibungkus oleh kapsula yang normalnya dapat bergerak bebas pada permukaannya (Maxie 1993).

Ginjal berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan susunan darah dengan cara mengeluarkan air yang berlebihan dalam darah, mengeluarkan sisa metabolisme sebagai urea, asam kemih, alantoin dan amonia. Selain itu juga dapat mengeluarkan bahan-bahan asing yang terlarut dalam darah serta mengeluarkan garam-garam anorganik yang kebanyakan berasal dari makanan (Ressang 1984). Sisa tersebut sering disebut dengan nama urin dan harus dikeluarkan oleh tubuh.

Urin merupakan jalur utama ekskresi sebagian besar bahan toksik, akibatnya ginjal mempunyai aliran darah yang tinggi mengkonsentrasi bahan toksik pada filtrat, membawa bahan toksik melalui sel tubulus dan mengaktifkan bahan toksik tertentu. Oleh karena itu, ginjal adalah organ sasaran utama dari efek toksik. Semua bagian nefron secara potensial dapat dirusak oleh bahan toksik (Lu 1995). Perubahan-perubahan pada ginjal dapat berlangsung di dalam glomerulus, tubuli,

interstitium dan pembuluh darah (Ressang 1984).

Ginjal mencit bertekstur lembut, berwarna coklat kemerahan, berada di dorsal dinding tubuh, dikelilingi jaringan lemak dan termasuk unilobular dengan papilla tunggal. Ginjal kanan normalnya berada lebih anterior daripada ginjal kiri dan pada kelamin jantan lebih berat dibandingkan pada kelamin betina (Seely 1999).

Kerusakan yang terjadi pada ginjal dapat bersifat subkronis atau kronis karena kerusakan permanen (Huminto et al. 1995). Gangguan pada ginjal seperti infeksi ginjal atau masuknya bahan-bahan racun, polutan, dan obat-obatan yang merusak ginjal dapat menyebabkan terhambatnya proses pembentukan urin. Gangguan yang paling jelas pada kasus gagal fungsi ginjal adalah kemampuan filtrasi glomerulus menurun. Akibatnya, jumlah urin berkurang, tekanan darah meningkat dan timbul racun metabolisme dalam darah, terutama limbah metabolisme nitrogen seperti urea dan kreatinin.

Histopatologi Hati, Ginjal dan Organ Lain Teknik histopatologi merupakan teknik yang dipakai pada suatu hewan percobaan biasanya ialah tikus atau mencit. Organ hewan percobaan yang telah mati diwarnai pada teknik ini. Teknik histopatologi ini didahului dengan pengambilan organ secara nekropsi. Nekropsi merupakan suatu cara yang cepat dalam menentukan diagnosa bermacam-macam penyakit pada hewan yang mati. Setelah dilakukan pembedahan nekropsi, organ yang diambil kemudian disiapkan dan diwarnai secara teknik histopatologi (Legowo 1996).

Organ pada hewan secara cepat diambil setelah hewan percobaan tersebut mati. Hal ini dilakukan karena pada hewan percobaan yang mati tersebut dikhawatirkan terjadi perubahan

post mortal. Perubahan post mortal tersebut dapat mengganggu gambaran patologis yang didapatkan. Faktor-faktor yang mengubah

post mortal ialah pengaruh suhu yang tinggi, tekanan udara yang rendah, keseterilan dan kelembaban. Biasanya untuk menghindari terjadinya perubahan post mortal maka sampel dimasukkan ke pendingin (Legowo 1996).

(16)

dalam melakukan teknik histopatologi ini. Bahan-bahan yang merupakan kelengkapan dalam pewarnaan histopatologi ialah seperti

buffer, bahan-bahan ekstraksi, alkohol dan pewarna histopatologi (Legowo 1996).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun wungu, akuades, etanol 30%, etanol 70%, etanol 96, Buffer Neutral Formaline (BNF) 10% alkohol 70%, alkohol 80%, 96%, alkohol 95%, alkohol absolut II, alkohol absolut I, xilol I, xilol II,albumin, gliserin, Hematoxylin Mayers,

Litium Karbonat, pewarna Eosin, dan

permount.

Alat-alat yang dipakai adalah corong kaca, kertas saring, penangas air, neraca analitik, maserator, corong pisah, pipet mikro, pipet volumetrik, pipet tetes, labu Erlenmeyer, tabung reaksi, oven, gelas Mesin

Autotehnicon, parafin, pemanas, alat pencetak, mikrotom dan mikroskop cahaya.

Metode Penelitian Metode ekstraksi daun wungu

Daun wungu yang telah didapat dari daerah sekitar Jawa Barat, diproses dengan dua tahapan, preparasi dan ekstraksi. Daun wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) dikeringkan dalam oven dengan suhu 40-50°C selama 4 hingga 5 hari. Simplisia daun wungu yang sudah kering kemudian digiling hingga berukuran 100 mesh dan berbentuk serbuk

(dengan kadar air ≤ 10 %). Sampel yang

diproses dengan metode ekstraksi.

Ekstraksi Daun wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) memiliki dua tahapan yaitu persiapan dan pengekstrakkan. Tahap persiapan dilakukan dengan cara pengeringan dalam oven dengan suhu 40-50°C selama 4 hingga 5 hari. Sampel daun wungu yang sudah kering kemudian digiling hingga berukuran 100 mesh yang berbentuk serpihan serbuk (kadar air ≤ 10 %). Tiap-tiap bahan mentah disebut ekstrak, tidak mengandung hanya satu unsur saja tetapi berbagai macam unsur, tergantung pada obat yang digunakan dan kondisi ekstraksi (Ansel 1989).

Sampel tersebut setelah diproses akan diketahui efektivitasnya di dalam menghasilkan hasil ekstrak. Efektivitas tersebut biasa disebut rendemen ekstrak. Rendemen ini yang dapat menjadi tolak ukur dalam efektifitas proses ekstreaksi. Rendemen ekstrak dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Rendemen ekstrak daun wungu Ulangan Berat

simplisia (g) Berat ekstrak (g) Rendemen (%) 1 140 6.74 4.81 2 175 8.19 4.68 3 160 7.45 4.66 Rata-rata : 4.72 0.09%

Maserasi sampel dilakukan dengan merendam sampel dalam pelarut dengan perbandingan 1:10, proses ini dilakukan dalam maserator selama 6 jam dan sesekali diaduk. Kemudian ekstrak sampel tersebut didiamkan selama 24 jam, maserat yang didapat dipisahkan, dilakukan penggantian pelarut dan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Pelarut yang digunakan yaitu etanol etanol 96%. Pelarut ini dipilih karena pelarut ini menunjukkan efektifitas yang tinggi. Metode toksisitas subkronis

Toksisitas subkronis dilakukan selama 3 bulan, kelompok percobaan dibagi menjadi 4 kelompok. Hewan coba yang digunakan ialah mencit. Mencit yang digunakan berumur 2 bulan dan bergalur ddy. Mencit dikelompokkan secara acak dengan mempertimbangkan keseragaman bobot badan. Jumlah ulangan uji toksisitas subkronis setiap kelompok terdiri atas 10 mencit jantan (Gad 2007). Kelompok I merupakan kontrol negatif yaitu tanpa menerima formula. Kelompok II, III, dan IV, memperoleh cekokan ekstrak pelarut air dengan konsentrasi yang berbeda-beda didasarkan pada uji toksisitas dengan BSLT yaitu 100 ppm 500 ppm dan 1000 ppm. Sehingga dosis yang didapatkan pada

percobaan

toksisitas subkronik ialah 100, 500 dan 1000 mg/kgbb. Perlakuan tersebut dilakukan setiap hari. Kerusakan hati dan ginjal akan diuji setiap bulan terhadap kerusakan secara histopatologis. Air minum diberikan secara ad libitum dan dilakukan pengukuran bobot badan dan komsumsi pakan selama perlakuan diberikan.

Pembuatan preparat histopatologi organ hati, ginjal dan organ penting pada mencit

(17)

ke dalam buffer neutral formalin (BNF) 10% selama 3x24 jam, kemudian dipotong lagi dengan ukuran lebih tipis. Potongan-potongan organ tersebut dilanjutkan ke tahap dehidrasi, yaitu dengan perendaman menggunakan etanol bertingkat (etanol 70%, 80%, 96%, absolut 1, absolut 2). Kemudian etanol dihilangkan dengan xilol I, II, dan III masing-masing selama 40 menit. Infiltrasi menggunakan parafin cair dilakukan pada suhu 60oC selama 4 kali masing-masing selama 30 menit. Sebelum pencetakan cetakan dicuci dengan campuran etanol 96%, xilol, dan air.

Pencentakan dilakukan dengan penuangan parafin panas dalam blok cetakan sebanyak setengah cetakan dengan alat Tissue Tec. Potongan hati dan ginjal dimasukan ke dalamnya perlahan agar tidak menyentuh dasar cetakan lalu ditutup lagi dengan parafin cair. Setelah beku organ dalam parafin tersebut dipotong dengan alat mikrotom setebal 4-5 um. Potongan yang diperoleh dimasukkan ke dalam air hangat (40 oC) untuk melelehkan parafin, kemudian diletakkan dalam kaca objek. Potongan tadi dikeringkan dalam oven inkubator bersuhu 56 oC selama satu malam.

Tahap pewarnaan Haematoxylin Eosin

(HE) dilakukan setelah diparafinasasi, yaitu dengan merendamnya setelah xilol 2 kali masing-masing selama 2 menit, rehidrasi dengan etanol absolut selama 2 menit, kemudian dengan etanol 95% dan 80% masing-masing selama 1 menit, dan dicuci dengan air mengalir. Kemudian preparat direndam dalam pewarnaan Mayer’s

Haemotoxylin selama 8 menit, dicuci dengan air mengalir, dimasukkan ke dalam LiCl selama 30 detik, dan dicuci kembali dengan air mengalir. Kemudian irisan preparat diberi pewarna eosin selama 2-3 menit, lalu dicuci.Setelah itu, irisan hati dicelupkan dalam etanol 95% dan absolut I masing-masing sebanyak 10 kali dan diteruskan dengan etanol absolut II selama 2 menit, xilol I selama 1 menit dan xilol II selama 2 menit. Setelah diangin-anginkan beberapa saat, preparat yang telah diwarnai tersebut kemudian diberi permounting medium dan ditutup dengan kaca penutup. Setelah terbentuk sediaan histologi, kemudian dilakukan analisis dan pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada sel-sel hati dengan menggunakan mikroskop cahaya dan kemudian di foto. Foto tersebut memperlihatkan kerusakan yang terjadi di dalam jaringan setiap organ.

Pengamatan histopatologi organ hati, ginjal dan organ penting pada mencit

Kerusakan sel hepatosit yang meliputi nekrosis, degenerasi butir, degenerasi lemak, oedema sirosis, dan pendarahan merupakan parameter pengamatan yang akan digunakan. Pengamatan dilakukan dengan cara pengamatan daerah yang terjadi kelainan. Histopatologi yang diamati berupa irisan dari ginjal dan hati. Pengamatan dilakukan secara mikroskopik menggunakan mikroskop dan difoto. Pemberian tanda juga dilakukan terhadap organel penting yang normal dan tidak terjadi kerusakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen Ekstrak Daun Wungu dan Preparasi Pencekokan Hewan Coba Rendemen ekstrak etanol 96% daun wungu ini setelah dilakukan ekstraksi berdasarkan metode maserasi ialah rata-rata 4.8% (Tabel 1). Rendemen dari ekstrak etanol ini didapat setelah melakukan beberapa kali ulangan dan pembuatan ekstrak. Rendemen yang diperoleh tidak begitu besar dikarenakan hasil ekstrak yang memiliki bentuk gel yang pekat dan lengket sehingga sulit untuk didapatkannya. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses ekstraksi kurang lebih antara 1 jam sampai 2 jam.

Ekstraksi bertujuan untuk mengambil zat-zat yang terkandung dalam suatu campuran dengan bantuan pelarut tertentu. Sampel daun wungu yang akan diekstrak diduga memiliki kemampuan untuk menyembuhkan diabetes. Bentuk dari daun wungu yang diekstrak ialah sudah berupa serbuk namun masih sedikit kasar. Hal ini memiliki pengaruh yang mempengaruhi hasil ekstraksi karena semakin kecil dan semakin halus akan memperbesar efisiensi dari ekstraksi yang dilakukan (Tuyet & Chuyen 2007).

Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan pelarut etanol 96%. Metode ini dipilih dikarenakan kesederhanaannya dalam prosesnya yaitu dengan cara merendam atau dengan merendam dan menggoyangkan (shaking) yang akan menambahkan efektifitas dari ekstraksi tersebut. Pelarut yang berupa etanol juga memiliki keunggulan dibandingkan pelarut air. Penelitian sebelumnya juga telah memberikan kadar rendemen yang bagus pada konsentrasi ekstrak 96%.

(18)

bentuk gel atau padatan. Pemekatan dilakukan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 40 oC untuk mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan komponen bahan aktif yang terkandung di dalam ekstrak. Setelah didapatkan hasil ekstrak kemudian ekstrak dipersiapkan untuk pembagian dosis. Hasil ekstrak ini kemudian dipersiapkan untuk pemberian ke mencit dengan membaginya ke dalam dosis 100 mg/kgbb, 500 mg/kgbb dan 1000 mg/kgbb.

Banyaknya rendemen yang diperoleh tersebut menunjukkan jumlah senyawa yang terekstrak dan diduga sebagai senyawa bioaktif. Berdasarkan nilai rendemen, dapat dikatakan bahwa hasil ekstrak yang dihasilkan menggunakan etanol 96% stabil dengan hasil rendemennya hampir sama.

Kondisi Hewan Coba

Kondisi hewan coba selama penelitian mengalami beberapa perubahan diantaranya ialah ada penurunan bobot badan pada hewan coba. Penurunan bobot badan ini terjadi karena beberapa faktor. Diantaranya ialah kebersihan kandang, kelainan yang terjadi pada mencit dan penurunan nafsu makan dari mencit.

Kandang yang baik untuk mencit memiliki suhu rata-rata 22 derajat celcius. Kandang juga baiknya berada ditempat yang tenang tanpa gangguan berupa suara ataupun gangguan lain. Sirkulasi udara juga harus memiliki aliran yang baik. Kandang juga harus bersih dan sedikit debu. Serbuk kayu

yang digunakan dalam memelihara mencit biasanya memakai serbuk kayu yang dapat menjadi salah satu faktor mempengaruhi kesehatan mencit. Karena alas yang berupa serpihan kayu merupakan tempat mencit membuang kotorannya sehingga rentan akan penyakit (Malole & Pramono 1989).

Bobot badan hewan coba setelah dibandingkan antara 100 mg/kgbb, 500 mg/kgbb, 1000 mg/kgbb dan normal menunjukkan bahwa hewan coba yang diberikan ekstrak daun wungu yang dilarutkan dengan etanol 96% memiliki peningkatan bobot badan yang lebih besar dibandingkan dengan bobot badan hewan coba normal. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh aktivitas dari ekstrak yang diberikan terhadap hewan coba.

Selain bobot badan juga dapat dilihat dari nafsu makan hewan coba yang tetap. Bobot badan tertinggi dialami pada hewan coba kelompok 1000 mg/kgbb. Namun pada akhirnya bobot badan turun sedikit dan menjadi sama dengan kelompok 100 mg/kgbb dan 500 mg/kgbb. Perlakuan dilakukan mulai pada 10 Agustus 2011 hingga 10 November 2011. Setiap akhir bulan hewan coba dilakukan uji histopatologi dengan cara mengambil tiap ekor dari tiap kelompok coba dengan waktu setiap bulan sehingga dapat dilihat kelainan dan kerusakan yang terjadi pada organ mencit tersebut. Pertambahan bobot badan hewan coba yang terjadi selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 2 dan tabel 3.

Gambar 2 Bobot badan hewan coba selama perlakuan. (---) normal, (---)100 mg/kgbb, (---) 1000 mg/kgbb dan (---) 500 mg/kgbb.

0 5 10 15 20 25 30 35 40

-2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

(19)

Tabel 3 Bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan. Kelompok Pertambah an bobot badan (g/hari) Konsum si pakan (g/hari) Efisien si pakan (%) Kontrol 0.17 3.79 4.46% K1 0.15 3.89 3.82% K2 0.24 3.95 6.10% K3 0.19 4.01 4.72% Keterangan: Data disampaikan dalam rata-rata. Persentase efisiensi pakan = pertambahan bobot badan/konsumsi pakan x 100%.

Selama percobaan juga didapati beberapa kelainan seperti pembengkakan pada hewan coba. Pembengkakan ini terjadi pada organ gerak dari hewan coba seperti kaki dan sebagian ekor. Namun pembengkakan ini hanya berlangsung sementara dan hilang dengan sendirinya. Menurut Sudono (1981), rata-rata keefisienan pakan mencit umur 3-8 minggu adalah 0,16 dengan keefisienan tertinggi terjadi pada umur 21-29 hari yaitu sebesar 0,25.

Uji Toksisitas Subkronis

Selama penelitian ada beberapa hewan coba yang mengalami kematian setelah penelitian berjalan 3 bulan. Kelompok hewan coba 100 mg/kgbb yang mengalami kematian sebanyak 3 ekor dari total 10 ekor hewan coba. Kelompok 500 mg/kgbb jumlah kematian hewan coba pada penelitian

berjumlah 2 ekor dari 10 ekor hewan coba. Kelompok 1000 mg/kgbb memiliki jumlah kematian yang paling sedikit yaitu 1 ekor hewan coba yang mati dari keseluruhan 10 ekor hewan coba. Sementara pada kelompok normal kematian yang terjadi ialah 4 ekor dari total 10 ekor hewan coba setelah penelitian berjalan selama 3 bulan. Kematian hewan coba yang telah dijelaskan tersebut terpisah dari kematian karena histopatologi per bulan.

Data histopatologi ini akan digunakan untuk melihat beberapa kerusakan yang terjadi pada organ hewan coba. Histopat ini juga dapat memperlihatkan bahwa dengan pemberian ekstrak dapat memacu beberapa kelainan maupun pengobatan yang terjadi. Histopay dilakukan pada semua kelompok hewan coba sehingga pada tiap kelompok.

Data kematian hewan coba yang diperoleh selanjutnya akan diolah untuk mencari perhitungan LD50. Namun dari data kematian yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung LD50 ternyata tidak dapat dilakukan karena terjadi kematian yang makin sedikit pada dosis ekstrak yang paling besar. Hal ini juga dapat ditinjau dari cara perhitungan LD50 menurut metode Gad (2007) tidak dapat dihitung dikarenakan makin sedikitnya kematian pada dosis yang semakin tinggi. Tingkat kematian yang semakin rendah berbanding terbalik dengan banyaknya pemasukan ekstrak melalui oral. Selain itu juga daya hidup mencit juga semakin meningkat seiring dengan makin tingginya dosis ekstrak yang diberikan. Tingkat kematian hewan coba dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Tingkat kematian hewan coba. Bulan pertama, bulan kedua dan bulan ketiga. 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45%

kontrol 100 mg/kgbb 500 mg/kgbb 1000 mg/kgbb

(20)

Berdasarkan penelitian Saragih et al 2006, mengenai pengaruh ekstrak etanol propolis terhadap hepatotoksitas dan stress oksidasi akibat pemberian 2,3,7,8 – Tetrachlorodibenzo – P - Dioksin (TTCD) secara kronis pada tikus albino ditemukan kesamaan pada kasus harapan hidup dari mencit yang makin menjadi besar seiring dengan penambahan / semakin besarnya dosis yang digunakan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa di dalam ekstrak yang dimasukkan secara oral memiliki kemampuan atau potensi hepatoprotektor sehingga melindungi hati dan menambahkan daya hidup yang makin besar pada hewan uji mencit.

Apabila ditinjau dari presentase kematian maka akan didapatkan bahwa harapan hidup mencit makin besar dengan makin bertambahnya pencekokan ekstrak etanol 96% daun wungu. Bulan pertama mencit yang mati berjumlah 4 ekor, bulan kedua kematian yang terjadi berjumlah 3 ekor dan bulan ketiga kematian yang terjadi ialah 1 ekor. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Guyton dan Hall (1997) bahwa dosis yang digunakan yaitu dosis terendah yang hampir tidak mematikan seluruh hewan percobaan dan dosis tertinggi yang dapat menyebabkan kematian seluruh atau hampir seluruh hewan percobaan. Namun pada percobaan ini ditemukan bahwa dosis terendah justru mematikan paling banyak mencit. Sehingga nilai LD50 tidak dapat ditentukan. Dari skema

kematian per bulan dapat ditelisik lebih lanjut bahwa kemungkinan memiliki aktivitas yang dapat menambah harapan hidup mencit. Hal ini juga diperkuat dengan hasil histopatologi organ hati yang semakin bagus dan baik dari bulan pertama sampai bulan ketiga.

Histopatologi Hati Hewan Coba Hasil histopatologi hati yang ditunjukkan oleh gambar 4 menyebutkan bahwa hati sampel hewan coba yang diberi ekstrak daun wungu dengan pelarut etanol 96% tidak mengalami kelainan terutama pada pengujian bulan kedua. Bulan pertama hati dari kelompok 100 mg/kgbb mengalami polimorphonuklear. Sel darah putih ini biasanya tidak terdapat di hati, kemungkinan adanya sel darah putih ini bisa dikarenakan terjadinya infeksi pada hati. Hal yang sama juga terdapat pada kelompok normal. Infeksi yang terjadi bisa dikarenakan oleh pakan ataupun dari faktor lingkungan.

Kelompok 500 mg/kgbb mengalami kongesti pada uji histopatologi bulan pertama.

Kongesti ialah proses pendarahan yang disebabkan oleh gangguan aliran keluar darah dalam jaringan. Jaringannya biasanya berwarna merah kebiruan (sianosis). Tapi pada hati memiliki ciri berwarna coklat pucat. Kongesti yang terjadi pada hati ini bisa dikarenakan aliran darah yang kurang stabil dari jantung sehingga menimbulkan gangguan pada hati. (Richard N et al. 2006). Kelompok uji 1000 mg/kgbb tidak terjadi kelainan apapun.

Menurut Himawan (1979). Kongesti dapat terjadi aktif atau pasif. Kongesti aktif terjadi karena jumlah darah arterial tubuh bertambah dan biasanya terjadi karena arteriol atau kapiler berdilatasi akibat rangsang saraf vasodilatator atau karena kelumpuhan vasokonstriktornya. Kejadian kongesti pada hati ini terjadi karena adanya hambatan aliran darah. Hal ini terjadi karena zat toksik mengganggu fungsi kerja hati. Kongesti pasif terjadi karena aliran darah vena dari satu daerah berkurang dan disertai dilatasi pembuluh vena dan kapiler. Kongesti yang terjadi tidak disebabkan penggunaan eter untuk euthanasia, karena pada proses pematian tikus tidak menggunakan eter, eter merupakan anestetik sangat kuat yang dapat menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah hewan coba (Handoko dalam Ganiswara 1995).

Ketidakseimbangan aliran darah tersebut dapat mengganggu proses metabolisme tubuh yaitu diantaranya pengangkutan dan respirasi yang dilakukan oleh darah. Mengingat fungsi hati yang paling utama ialah proses pengeluaran racun, proses kongesti ini dapat menyebabkan intoksifikasi ini tidak berjalan sewajarnya. Sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal dan setelah diserap, toksikan dibawa oleh vena porta ke hati. Kadar enzim yang memetabolisme xenobiotik dalam hati juga tinggi (terutama sitokrom P-450). Hal ini membuat sebagian besar toksikan menjadi mudah diekskresikan (Lu 1995).

(21)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4 Foto histopatologi kerusakan hati bulan pertama. (a) kelompok normal, (b) kelompok 100 mg/kgbb, (c) kelompok 500 mg/kgbb, (d) kelompok 1000 mg/kgbb. (1) kongesti pada vena centralis; (2) polymorphonuklear

Lemak dalam sel hati menunjukkan adanya ketidakseimbangan proses normal yang mempengaruhi kadar lemak di dalam dan luar jaringan hati akibat metabolisme. Degenerasi lemak ini secara tak langsung akan mempengaruhi metabolisme lemak yang ada di dalam tubuh. Proses metabolisme lemak yang dapat terganggu antara lain adalah proses katabolisme lemak dan anabolisme lemak. Kedua proses ini dapat mempengaruhi siklus metabolisme yang lain di dalam tubuh. Pengamatan terhadap histopatologi hati hewan coba yang berupa mencit dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4Hasil histopatologi hati hewan coba. Kelompok Bulan

Pertama Kedua Ketiga Normal Poly

morpho nuklear

Kongesti TAKS

100 mg/kgbb

Poly morpho nuklear

TAKS TAKS

500 mg/kgbb

Konges ti

TAKS Kongesti 1000

mg/kgbb

TAKS TAKS TAKS TAKS : Tidak Ada Kelainan Spesifik

Tidak ada kelainan yang terjadi pada pemeriksaan uji histopatologi bulan kedua di semua kelompok dari 100 mg/kgbb, 500 mg/kgbb dan 1000 mg/kgbb. Kelompok normal pada pemeriksaan bulan kedua mengalami kongesti pada jaringannya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun wungu dengan pelarut etanol 96% memiliki pengaruh yang baik sesuai dengan acuan literatur penelitian Saragih et al. (2006).

Uji histopatologi bulan ketiga menunjukkan tidak ada kelainan yang spesifik pada kelompok 100 mg/kgbb, 1000 mg/kgbb dan kelompok normal. Hal ini dapat dilihat terjadinya perbaikan jaringan pada hampir semua kelompok. Kelompok 500 mg/kgbb menunjukkan terdapat sedikit kelainan berupa kongesti. Namun secara keseluruhan kongesti tersebut terjadi sedikit hanya pada hati kelompok percobaan 500 mg/kgbb.

Histopatologi Ginjal Hewan Coba Hasil histopatologi ginjal yang dilihat pada Gambar 5 dan Tabel 5, bulan pertama pada kelompok 100 mg/kgbb dan 1000 mg/kgbb tidak terjadi kelainan yang dapat menimbulkan beberapa hal yang tidak diinginkan, sementara pada kelompok 500

2

(22)

mg/kgbb mengalami kelainan berupa nekrosis tubulus proksimat. Nekrosis sebenarnya hampir sama dengan apoptosis. Nekrosis merupakan kematian sel yang terjadi karena gangguan patologis sementara apoptosis merupakan kematian sel yang telah diprogram oleh tubuh organisme itu sendiri (Amin et al.

1997).

Nekrosis yang terjadi pada kelompok 500 mg/kgbb ini kemungkinan terjadi karena gangguan masuknya senyawa baru yaitu ekstrak daun wungu ke dalam ginjal hewan coba dan mempengaruhi kerja ginjal. Kerusakan berupa nekrosis tersebut terjadi terutama pada bagian tubulus proksimal. Nekrosis yang terjadi ini akan mengganggu kerja dari tubulus proksimal yang memiliki tugas untuk melakukan reabsorbsi dari cairan. Sementara pada pengujian histopatologi ginjal pada kelompok normal mengalami polymorphonuklear atau terdapat sel darah putih yang terdapat di ginjal. Hal ini biasanya terjadi karena kurang bersihnya tempat, pakan ataupun minum selain itu bias juga dikarenakan ada organ yang terinfeksi oleh agenvirus atau bakteri. Nekrosis sendiri

merupakan kematian sel lokal yang dapat menyebabkan lisis sel atau pecahnya sel. (Price & Wilson, 1988).

Nekrosis yang terjadi pada ginjal membuat ginjal terganggu dalam menjalankan perannya dalam metabolisme tubuh. Metabolisme yang dilakukan oleh ginjal antara lain mengeluarkan kelebihan air dalam darah dan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme sebagai ureum, asam urin, alantoin, ammonia, asam hipurat, metabolit-metabolit triptofan. Selain itu juga ginjal mengeluarkan kelebihan garam sehingga keseimbangan garam natrium dan basa dalam tubuh menjadi seimbang.

Pengujian pada bulan kedua menunjukkan bahwa pada semua kelompok hewan uji mengalami kelainan berupa nekrosis tubulus proksimal. Pengujian pada bulan ketiga menunjukkan pada kelompok 100 mg/kgbb dan 1000 mg/kgbb tidak terjadi kelainan spesifik. Kelompok 500 mg/kgbb menunjukkan terjadinya masuknya limfoasit ke dalam jaringan. Limfoasit ialah sel antibodi yang masuk ke dalam jaringan ginjal yang biasanya dikarenakan adanya peradangan di dalam ginjal.

(a)

(b)

(c) (d)

Gambar 5 Foto histopatologi kerusakan ginjal bulan pertama (a) kelompok normal, (b) kelompok 100 mg/kgbb, (c) Kelompok 500 mg/kgbb, (d) Kelompok 1000 mg/kgbb. 1 Kongesti pada tubulus, 2 Akumulasi protein di dalam tubulus (protein cast), 3 Infiltrasi sel mononuk-lear (limfosit dan makrofag).

1

(23)

Tabel 5 Hasil histopatologi ginjal hewan coba Kelompok Bulan

Pertama Kedua Ketiga Normal Poly

Morpho nuklear Kongesti TP Konge sti 100 mg/kgbb

TAKS Nekrosis TP TAKS 500 mg/kgbb Nekrosis TP Nekrosis TP Limfo asit 1000 mg/kgbb

TAKS Nekrosis TP

TAKS TAKS : Tidak Ada Kelainan Spesifik

TP : Tubulus Proksimat

Masuknya sel darah putih juga menjadi tolak ukur kurang berjalannya sistem metabolism ginjal pada umumnya dan sistem ultrafiltrasi pada khususnya. Sementara kelompok normal mengalami kongesti pada ginjalnya. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak pemberian oral ekstrak akan meningkatkan resiko terjadinya nekrosis pada jaringan tubulus proksimal.

Metabolisme yang terganggu pada ginjal ini akan berdampak pada masuknya zat asing seperti protein ke dalam saluran ginjal (Himawan 1979). Protein yang masuk ke dalam saluran ginjal antara lain sel darah putih yang menyebabkan terjadinya polimorponuklear dan limfoasit dalam ginjal.

Masuknya sel darah putih menunjukkan bahwa telah terjadi permaslahan proses ultrafiltrasi pada ginjal. Ginjal juga berperan dalam penyerapan glukosa yang biasa digunakan dalam pembentukan ATP. Terganggunya sistem penyerapan glukosa ini membuat pembentukan ATP dalam siklus glikolisis dan siklus Crebs kurang optimal.

Pengamatan Histopatologi Organ Lain Pengamatan mikroskopis organ otak pada Gambar 6 dan Tabel 6 ini dilakukan ketika melakukan uji histopatologi. Pengamatan ini dilakukan terhadap beberapa organ tubuh dari hewan coba untuk mengetahui keadaan atau penampakan dari organ setelah dilakukan perlakuan pemberian ekstrak daun wungu dengan pelarut etanol 96%. Pengamatan yang dilakukan yaitu pengamatan terhadap beberapa organ berupa otak, jantung, paru-paru dan usus.

Hasil uji pada bulan pertama tidak ditemukan kelainan pada organ otak pada kelompok manapun. Pengujian pada bulan kedua ditemukan gejala kongesti pada kedua kelompok yaitu 100 mg/kgbb dan 500 mg/kgbb, sedangkan pada kelompok 1000 mg/kgbb dan normal tidak ditemukan kelainan spesifik dan pada kelompok tersebut otak terlihat normal tanpa adanya kerusakan pada jaringannya.

(a) (b)

(c)

(24)

Tabel 6 Pengamatan mikroskopis otak Kelompok Bulan

Pertama Kedua Ketiga Normal TAKS TAKS TAKS 100

mg/kgbb

TAKS FH dan Kongesti

TAKS 500

mg/kgbb

TAKS Kongesti TAKS 1000

mg/kgbb

TAKS TAKS TAKS TAKS : Tidak Ada Kelainan Spesifik FH : Focal Hemorargi

Kongesti merupakan keadaan jaringan mengalami hambatan dalam aliran darah sehingga terkadang dapat menimbulkan pendarahan. Secara sederhana kongesti adalah suatu keadaan adanya darah yang berlebihan di dalam pembuluh pada daerah tertentu. kongesti dapat memicu terjadinya penyumbatan pembuluh darah pada otak hewan coba. Keadaan tersebut memungkinkan terjadinya hipoksia jaringan yang dapat mengakibatkan penyusutan.

Focal hemorrargi juga ditemukan pada kelompok 100 mg/kgbb pada bulan kedua. Hemorargi biasanya merupakan pecahnya pembuluh darah dikarenakan tekanan aliran darah (Price & Wilson 1988). Pengamatan pada bulan ketiga tidak ditemukan kelainan spesifik pada semua kelompok percobaan. Hal ini menunjukkan pemberian ekstrak tidak memberikan pengaruh besar.

Pengamatan mikroskopik jantung dapat diamati pada Gambar 7 dan Tabel 7 ditemukan degenerasi otot. Bulan pertama degenerasi otot jantung hanya terjadi pada kelompok normal. Kemungkinan pemberian ekstrak yang tepat dosisnya dapat mengurangi faktor resiko degenerasi otot jantung.

Degenerasi otot yang terjadi memiliki beberapa macam jenis dan kebanyakan ada hubungannya dengan peyakit-penyakit infeksius misalnya agen virus dan agen bakteri yang dapa menimbulkan gangguan pada jaringan di dalam organ jantung (Robbins & Kumar 1995).

Degenerasi otot pada jantung dapat menimbulkan beberapa kerusakan pada system metabolisme hewan coba. Degenerasi pada otot jantung akan membuat kerja jantung dalam memompa darah menurun sehingga akan mengurangi suplai oksigen serta zat gizi makanan dalam darah yang berfungsi sebagai bahan utama metabolisme. Selain itu pada pembuluh darah pada otot yang mengalami degenerasi juga memungkinkan terjadinya timbunan lemak yang berpotensi menjadi atherosklerosis. Penimbunan lemak pada jaringan dikarenakan degenerasi otot jantung juga menyebabkan gangguan hidrolisis lemak dan penyerapannya secara otomatis mempengaruhi penyerapan semua vitamin yang larut dalam lemak.

Pengamatan pada bulan ketiga ditemukan degenerasi otot pada kelompok normal. Degenerasi otot tidak terjadi pada kelompok perlakuan dari kelompok 100 mg/kgbb, 500 mg/kgbb dan 1000 mg/kgbb. Hal ini menunjukkan dengan adanya pemberian ekstrak daun wungu dengan pelarut etanol 96% dapat mengurangi resiko degenerasi otot jantung pada mencit. Meskipun hal ini masih diperlukan penelitian lanjutan yang berhubungan dengan fokus organ yang berupa jantung dan kelainan yang dapat terjadi pada organ jantung. Tetapi ini merupakan langkah awal yang dapat memberikan hasil baik terhadap organ yang diberikan ekstrak tersebut.

(a) (b)

Gambar 7 Foto histopatologi kerusakan jantung bulan pertama. (a) Kelompok Normal. HE. 10 x 10. (b) Kelompok 500 mg/kgbb. 1 Degenerasi serabut otot jantung, 2 Degenerasi inti sel serabut otot jantung.

(25)

Tabel 7 Pengamatan mikroskopik jantung Kelompok Bulan

Pertama Kedua Ketiga Normal Degene

rasi otot

Kongesti Degene rasi otot 100

mg/kgbb

TAKS TAKS TAKS 500

mg/kgbb

TAKS Degene rasi otot

TAKS 1000

mg/kgbb

TAKS Degene rasi otot

TAKS TAKS : Tak Ada Kelainan Spesifik

Pengurangan resiko terkena degenerasi otot jantung ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun wungu dengan pelarut etanol 96% dapat memberikan perlindungan terhadap organ jantung mencit, hal ini ditunjukkan dengan makin berkurangnya degenerasi otot pada jantung setelah diberikan senyawa ekstrak selama 3 bulan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soenanto (2005) bahwa penyembuhan penyakit menggunakan ramuan tradisional membutuhkan waktu yang lama, tetapi efek yang diberikan bersifat perlindungan, membangun dan berimplikasi positif terhadap organ lain yang lemah atau yang kuat.

Ekstrak daun wungu memiliki implikasi di dalam penyembuhan beberapa organ khususnya jantung. Hal ini juga dapat dilihat dari kelompok mencit normal yang mengalami degenerasi otot pada jantung namun tidak terjadi penyembuhan.

Pengamatan mikroskopik paru-paru yang dilihat pada Gambar 8 dan Tabel 8 ditemukan beberapa kelainan pada bulan pertama. Diantaranya ialah oedema ringan dan hiperemia. Oedema ringan merupakan gejala terdapatnya cairan di dalam sela-sela alveolar. Cairan ini dapat berasal dari luar ataupun inkubasi bakteri di dalam paru-paru tersebut. Hal ini menimbulkan gangguan terhadap pernapasan (Collins SP et al. 2006). Oedema ini masih ringan jika dilihat dari sampel..

Selain oedema ringan juga terjadi hiperemia pada kelompok percobaan 500 mg/kgbb dan 1000 mg/kgbb. Hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut yang biasanya terjadi pada jaringan-jaringan yang terkena penyumbatan aliran darah. Timbulnya hiperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh baik secara neurogenik maupun secara kimia melalui pengeluaran zat seperti histamin.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 8 Foto histopatologi kerusakan paru-paru bulan pertama. (a) Kelompok normal (b) Kelompok 100 mg/kgbb (c) Kelompok 500 mg/kgbb (d) Kelompok 1000 mg/kgbb : 1 Oedema pulmonum 2 Broncheolus berisi sel darah merah, 3 Pneumonia

1

2

(26)

Tabel 8 Pengamatan mikroskopik paru-paru Kelompok Bulan

Pertama Kedua Ketiga Normal TAKS Broncho

Pneumo nia TAKS 100 mg/kgbb Oedema Ringan Oedema Pulmo num Oedema Ringan 500 mg/kgbb Hipere mia Pneumo nia Limfo asit 1000 mg/kgbb Hipere mia Oedema Pulmo num Oedema Ringan TAKS : Tak Ada Kelainan Spesifik

Pengamatan bulan kedua ditemukan beberapa kelainan diantaranya oedema pulmonum dan pneumonia. Oedema pulmonum yang terjadi kemungkinan dikarenakan masuknya cairan ke dalam saluran pernafasan. Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem pernapasan menjadi radang dan dengan penimbunan cairan. Penimbunan cairan ini akan menghambat system pertukaran gas O2 dan

CO2 yang terjadi pada alveolus paru-paru.

Hal ini terjadi karena paru-paru diselubungi oleh air sehingga pertukaran gas akan terhambat oleh adanya air.

Terjadinya hambatan pada pertukaran oksigen dan karbon dioksida ini menjadikan beberapa gangguan pada sistem metabolism dari hewan coba. Sistem metabolisme yang paling terganggu ialah sistem pembentukan ATP dalam siklus Crebs. Siklus pembentukan ATP ini terganggu karena oksigen dibutuhkan dalam proses pembentukan ATP. Apabila suplai oksigen berkurang maka pembentukan ATP akan dialihkan ke dalam siklus glikolisis. Apabila hal ini berlangsung secara terus menerus maka akan membuat hewan coba mengalami lemas karena ATP yang hanya diproduksi dari glikolisis masih belum cukup untuk menutupi kebutuhan energi dan dapat menimbulkan kematian.

Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam sebab meliputi infeksi karena bakteri, virus, jamur atau parasit. Pneumonia juga dapat terjadi karena bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru-paru, atau secara tak langsung dari penyakit lain seperti kanker paru atau penggunaan alkohol (Collins SP et al. 2006).

Pengamatan pada bulan ketiga ditemukan kelainan oedema ringan pada kelompok 100 mg/kgbb dan 1000 mg/kgbb. Sementara pada kelompok 500 mg/kgbb ditemukan kelainan

berupa limfoasit, yaitu masuknya agen antibodi pada saluran pernafasan atau paru-paru karena adanya peradangan atau infeksi. Kelompok normal tidak mengalami kelainan spesifik apapun pada paru-parunya. Faktor yang dapat menyebabkan pneumonia, oedema dan limfoasit ini dikarenakan kurang bersihnya kandang karena kotoran atau air seni dari mencit sendiri yang bisa menjadi media bakteri dan virus yang dapat masuk ke dalam tubuh hewan coba yang digunakan.

Pengamatan terhadap usus ditemukan beberapa kelainan diantaranya ada kongesti pada kelompok mencit percobaan 100 mg/kgbb. Kongesti adalah suatu keadaan adanya darah yang berlebihan di dalam pembuluh pada daerah tertentu. Darah yang berlebihan tersebut merupakan indicator terjadinya kerusakan pada jaringan suatu organ. Keadaan tersebut memungkinkan terjadinya hipoksia jaringan yang dapat mengakibatkan penyusutan atau hilangnya sel-sel dari jaringan yang dapat mengganggu proses penyerapan zat gizi (Price & Wilson 1988). Lingkungan sel yang bersifat asam, sampah atau sisa metabolisme sel tertumpuk dan meracuni sel sehingga kerusakan dapat terjadi pada beberapa sel yang memiliki lingkungan asam di dalam sel tersebut. (Pringgoutomo 2002).

Hilangya sel pada usus akan mengakibatkan penyerapan zat makanan dan lemak terganggu. Hal ini dapat mengakibatkan jalur metabolisme seperti katabolisme lemak, anabolisme lemak dan metabolisme protein terganggu. Penyerapan makanan di dalam usus yang kurang stabil akan membuat ketidakseimbangan juga dalam pemenuhan gizi di dalam tubuh hewan coba itu sendiri. Pemenuhan gizi yang kurang juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi kinerja dari sel-sel dalam tubuh hewan coba sehingga dapt bekerja dengan baik.

(27)

(a) (b)

(c)

Gambar 9 Foto histopatologi kerusakan usus bulan pertama. (a) Kelompok Normal (b) Kelompok 100 mg/kgbb (c) Kelompok 1000 mg/kgbb. 1 Kongesti

Autolisis terjadi pada kelompok 500 mg/kgbb. Autolisis berarti self digestion, yaitu suatu keadaan saat enzim proteolisis (pengurai protein) dan enzim lipolisis (pengurai lemak) yang terdapat dalam tubuh hewan coba segera melancarkan aksinya, menguraikan protein dan lemak menjadi senyawa yang lebih sederhana (Pringgoutomo 2002). Autolisis ini juga terjadi biasanya karena proses post mortal yang telah terjadi dalam beberapa waktu setelah matinya hewan coba yang akan dihistopatologi. Hasil dari pengamatan mikroskopis pada usus dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Pengamatan mikroskopis usus Kelompok Bulan

Pertama Kedua Ketig a Normal TAKS TAKS TAKS 100

mg/kgbb

Kongesti Cacing TAKS 500

mg/kgbb

Autolisis Kongesti TAKS 1000

mg/kgbb

Hipere mia

TAKS Hemo rargi TAKS : Tidak Ada Kelainan Spesifik

Bulan kedua ditemukan beberapa permasalahan diantaranya ialah terdapat parasit berupa cacing pada kelompok 100 mg/kgbb. Hal ini menjadikan adanya beberapa dugaan cacing tersebut berasal. Kemungkinan cacing tersebut bisa ada di dalam tubuh hewan coba melalui sekam yang kotor atau bisa karena terbawa pada saat hewan coba dimasukkan ke dalam percobaan, bisa dijelaskan bahwa sejak awal hewan coba sudah membawa benih cacing dalam tubuhnya. Hal ini bisa terjadi mengingat cacing merupakan parasit yang bisa masuk ke dalam tubuh inangnya melalui bentuk telur dan menjadi dewasa di dalam tubuh inangnya. Kelompok 500 mg/kgbb ditemukan hiperemia yang kemungkinan dikarenakan kotornya sekam. Sementara kelompok 1000 mg/kgbb dan normal tidak ditemukan kelainan sama sekali.

Pengamatan bulan ketiga secara keseluruhan tidak terjadi kelainan spesifik pada setiap kelompok, hanya terjadi hemorargi pada kelompok 1000 mg/kgbb. Hemorargi ialah peradangan yang ditunjukkan dengan warna merah pada organ dikarenakan pecahnya pembuluh darah dan tekanan aliran darah (Price & Wilson 1988).

(28)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Analisis uji toksisitas subkronis daun wungu dengan menggunakan ekstrak etanol 96% telah berhasil dilakukan. Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% daun wungu dapat digunakan dan aman. Hal ini dilihat dari persentase kematian tiap kelompok yang kurang dari 50% dan efek yang ditimbulkan pada histopatologi organ dalam mencit ternyata memberikan pemulihan yang baik terhadap organ hati dan jantung.

Saran

Pengembangan penelitian potensi ekstrak daun wungu menggunakan pelarut etanol 96% perlu diadakan penelitian lanjutan dalam potensinya sebagai senyawa aktif yang dapat menambah kemampuan hidup mencit dan memastikan keamanan ekstrak ini secara pasti. Tempat uji yang lebih baik dan sesuai dengan standar juga diperlukan dalam pengembangan penelitian ini karena tempat sangat mempengaruhi hasil yang diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA

Adfa M. 2005. Survey etnobotani, studi senyawa flavonoid dan uji brine shrimp

beberapa tumbuhan obat tradisional suku Serawai di Propinsi Bengkulu. Jurnal Gradien Vol.1 No.1: 43-50

Amin AN, Susanne H. 1997. Apoptosis and necrosis. Alcohol Health & Research WorLD 21: 325-330.

Bodhankar SL, Garg SK, Mathur VS. 1974. Anti-fertility screening of plants, Part IX; Effect of five indigenous plants on early pregnancy in albino rats. Indian J. Med. Res. 62(6): 831-7

Carlton WW, Mc Glavin. 1995. Special Veterinary Pathology. 2nd Edition. Santo Louis: Mosby Year Book.

Chan DK, Hayes WA. 1982. Prinsiples and Method for acute and Subchronis Toxicity. New York: Ranen.

Clarke EGC, Clarke ML. 1975. Veterinary Toxicology. London: Bailliere Tindall. Collins SP et al. 2006. Use of NIV in

emergency department in patients with cardiogenic pulmonary oedema. A Systemat

Gambar

Gambar 1 Daun wungu (Graptophyllum
Tabel 1 Klasifikasi toksisitas
Tabel 2 Rendemen ekstrak daun wungu
harus bersih dan sedikit debu. Serbuk kayu tabel 3.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pendapat-pandapat diatas dapat disimpulkan PTK adalah tindakan yang dilakukan guru dalam perancangan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi diri pada kemampuanya

kayu secara langsung, maupun untuk dibuka menjadi lokasi parak dan ladang. Larangan ini ditujukan sebagai bentuk perlindungan terhadap daerah sekitarnya. Di nagari Kambang hutan

Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalah, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat dan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat

Rasional dari rencana tindakan yang dilakukan adalah mengkaji tingkat pengetahuan pasien tentang manfaat asi dan menyusui rasionalnya untuk menghindari penyampaian informasi yang

Hal itu diterangkan dengan kalimat berikutnya, estri purusa karsane ‘wanita itu nafsu kehendaknya’ yang artinya wanita dilihat hanya menuruti kemauannya sendiri,

Basis data adalah suatu kumpulan data terhubung ( interralated data ) yang disimpan secara bersama-sama pada suatu media, tanpa mengatap satu sama lain atau tidak perlu

Revolve stage memiliki fungsi yang hampir sama dengan lift hidrolik panggung, dimana revolve stage memiliki keunggulan pada estetika gerak yaitu dapat berputar

Penelitian yang dilakukan oleh Devi (2014) tentang pengaruh ukuran perusahaan, likuiditas, laverage dan status perusahaan pada kelengkapan pengungkapan laporan