• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Bawang Merah (Studi Kasus : Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Bawang Merah (Studi Kasus : Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat)"

Copied!
246
0
0

Teks penuh

(1)

xiv 20. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja di Desa Sukasari Kaler

per Musim Tanam pada Tahun 2011 ... 67 21. Pendugaan Parameter dengan Metode MLE untuk Fungsi

Produksi Cobb-Douglas Stochastic Frontier

di Desa Sukasari Kaler Tahun 2010 ... 76 22. Ringkasan Statistik Bebas Variabel Model Inefisiensi Teknis

Petani Bawang Merah di Desa Sukasari Kaler Tahun 2010 ... 85 23. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Efisiensi Teknis

Usahatani Bawang Merah di Desa Sukasari Kaler Tahun 2010 ... 86 24. Pendugaan Parameter Maximum Likelihood Model Inefisiensi

Teknis Produksi Bawang Merah di Desa Sukasari Kaler

Tahun 2010 ... 87 25. Penerimaan Usahatani Bawang Merah per Hektar per Musim

Tanam di Desa Sukasari Kaler Tahun 2010 ... 96 26. Biaya Usahatani Bawang Merah per Hektar per Musim Tanam

di Desa Sukasari Kaler Tahun 2011 ... 97 27. Perhitungan Pendapatan dan Rasio Penerimaan terhadap Biaya

(R/C) Usahatani Bawang Merah per Hektar per Musim Tanam

(2)

xv DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Konsumsi Bawang Merah Nasional per Kapita

Tahun 2002-2009 ... 4

2. Penggunaan Komoditi Bawang Merah untuk Konsumsi Menurut Neraca Bahan Makanan Tahun 2004-2008 (Ton) ... 4

3. Kurva Fungsi Produksi ... 30

4. Fungsi Produksi Stochastic Frontier ... 32

5. Efisiensi Teknis dan Alokatif (Orientasi Input) ... 35

6. Efisiensi Teknis dan Alokatif (Orientasi Output) ... 36

7. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Efisiensi Teknis Dan Pendapatan Usahatani Bawang Merah di Desa Sukasari Kaler ... 40

8. Pengolahan Lahan dan Lahan yang Sudah Diolah di Desa Sukasari Kaler (2011) ... 69

9. Tanaman Bawang Merah Umur ± 40 HST dan Kegiatan Penyiangan di Desa Sukasari Kaler (2011) ... 69

(3)

xvi DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Desa Sukasari Kaler pada Tahun 2011 ... 95

2. Karakteristik Petani Responden pada Tahun 2011 ... 96

3. Input Model Produksi Bawang Merah Tahun 2010 ... 98

4. Penyusutan Peralatan Usahatani Bawang Merah Tahun 2010 ... 100

5. Output Minitab Model Produksi Bawang Merah Tahun 2010 ... 101

6. Output Frontier Model Produksi Bawang Merah Tahun 2010 ... 102

7. Perincian Biaya Usahatani Varietas Sumenep Tahun 2010 ... 107

8. Perincian Biaya Usahatani Varietas Balikaret Tahun 2010 ... 108

9. Pendapatan Usahatani Bawang Merah Varietas Sumenep per Hektar per Musim Tanam Tahun 2010 ... 109

(4)

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia terutama dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dari hasil pertanian (pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan) atas dasar harga konstan 2000 adalah sebesar Rp 284,6 triliun pada tahun 2008 dan Rp 296,4 triliun pada tahun 2009 atau mengalami pertumbuhan sebesar 4,1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peran dan kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional senantiasa mengalami pertumbuhan, sehingga sektor pertanian semakin berperan penting dalam perekonomian nasional. Peranan sektor pertanian terhadap PDB Indonesia tahun 2009 juga mengalami pertumbuhan dari 14,5 persen menjadi 15,3 persen dan menempatkan sektor pertanian pada peringkat kedua yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB setelah sektor industri pengolahan yaitu sebesar 26,4 persen (Handyoko 2010).

Sektor pertanian Indonesia terdiri dari tiga subsektor yaitu subsektor tanaman perkebunan, tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Hortikultura sebagai salah satu subsektor petanian terdiri dari berbagai jenis tanaman, yaitu tanaman buah-buahan, tanaman sayuran, tanaman biofarmaka, dan tanaman hias. Menurut studi penawaran dan permintaan komoditas hortikultura, komoditas hortikultura paling sedikit mempunyai tiga peran penting terhadap perekonomian Indonesia, yaitu : (1) sumber pendapatan masyarakat; (2) bahan pangan masyarakat khususnya sumber vitamin (buah-buahan), mineral (sayuran) dan bumbu masak dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat; dan (3) sumber devisa Negara non-migas (PPSEP Deptan 2001).

(5)

2 4,55 persen dalam satu tahun1). Peningkatan tersebut tercapai karena terjadi peningkatan produksi diberbagai sentra produksi hortikultura, disamping meningkatnya luas areal produksi dan areal panen serta nilai ekonomi dan nilai tambah produk hortikultura yang cukup tinggi dibandingkan komoditas lainnya. Dengan demikian, hal ini berpengaruh positif terhadap peningkatan PDB. Semua jenis tanaman hortikultura baik tanaman buah-buahan, tanaman sayur, tanaman biofarmaka dan tanaman hias mengalami perkembangan yang cenderung meningkat terhadap nilai PDB hortikultura. Tabel 1 memperlihatkan perkembangan nilai PDB hortikultura berdasarkan harga yang berlaku tahun 2007 dan 2008.

Tabel 1. Perkembangan Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga yang Berlaku Tahun 2007 dan 2008

No Jenis Tanaman Hortikultura

Nilai PDB (miliar) Peningkatan/ Penurunan (%) Tahun 2007 Tahun 2008

1 Tanaman Buah-buahan 42.632 42.660 4,02

2 Tanaman Sayuran 25.587 27.423 7,18

3 Tanaman Biofarmaka 4.105 4.118 0,32

4 Tanaman Hias 4.741 6.091 28,48

Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura Departemen Pertanian (2009), diolah

Berdasarkan informasi pada Tabel 1, menunjukkan bahwa dalam PDB subsektor hortikultura tanaman sayuran menempati urutan kedua setelah tanaman buah-buahan dan mengalami peningkatan sebesar 7,18 persen dalam kurun waktu satu tahun yaitu dari tahun 2007 hingga tahun 2008. Hal ini menunjukkan peran penting subsektor hortikultura dalam mendukung perekonomian nasional, khususnya dalam peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan PDB subsektor hortikultura tersebut salah satunya disebabkan karena jumlah produksi sayuran di Indonesia yang cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tabel 2 merupakan data produksi sayuran di Indonesia pada tahun 2006-2010.

1)

(6)

3 Tabel 2. Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2006-2010 (Ton)

No Komoditas Tahun

2006 2007 2008 2009 2010*

1 Kubis 1.267.745 1.288.738 1.323.702 1.358.113 1.384.656

2 Cabai 1.185.057 1.128.792 1.153.060 1.378.727 1.332.356

3 Kentang 1.011.911 1.003.732 1.071.543 1.176.304 1.060.579

4 Bawang Merah 794.931 802.810 853.615 965.164 1.048.228

5 Tomat 629.744 635.475 725.973 853.061 890.169

6 Ketimun 598.890 581.205 540.122 583.139 546.927

7 Mustard Green 590.401 564.912 565.636 562.838 583.004

8 Daun Bawang 571.268 479.924 547.743 549.365 541.359

9 Kacang Panjang 461.239 488.500 455.524 483.793 488.174

10 Terong 358.095 390.846 427.166 451.564 509.093

Keterangan : *) Angka sementara

Sumber : Badan Pusat Statistik (2011), diolah

Tabel 2 menunjukkan produksi nasional berbagai sayuran unggulan di Indonesia yang berada pada peringkat 10 besar. Produksi sayuran tersebut setiap tahunnya mempunyai kecenderungan meningkat. Salah satu komoditas sayuran tersebut yaitu bawang merah. Bawang merah menduduki posisi keempat dalam produksi nasional tanaman sayuran. Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan Indonesia yang telah lama diusahakan oleh petani secara intensif.

(7)

4 Gambar 1. Konsumsi Bawang Merah Nasional per Kapita Tahun 2005-2009

Sumber : Pusdatin Departemen Pertanian (2011), diolah

Berdasarkan Gambar 1 konsumsi per kapita bawang merah tahun 2005 hingga tahun 2007 cenderung mengalami penurunan, dari 2,36 kg per kapita per tahun menjadi 0,30 kg per kapita tahun. Akan tetapi, pada tahun berikutnya yaitu tahun 2008, konsumsi bawang merah per kapita per tahun mengalami peningkatan yang signifikan mencapai 2,74 kg per kapita per tahun. Oleh karena itu, permintaan bawang merah diperkirakan akan terus meningkat (dengan perkiraan peningkatan lima persen per tahun), sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri olahan (acar/pickles, bumbu, bawang goreng, dan bahan baku campuran obat-obatan) serta pengembangan pasar ekspor2). Gambar 2 memperlihatkan penggunaan bawang merah untuk bahan makanan yang cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Gambar 2. Penggunaan Komoditi Bawang Merah untuk Konsumsi Menurut Neraca Bahan Makanan Tahun 2004-2008 (Ton)

Sumber : Pusdatin Departemen Pertanian (2011), diolah

2)

Direktorat Jendral Hortikultura. 2008. Bahan RAPIM 15 April 2008.

http://www.hortikultura.go.id/ [30 Januari 2011]

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

2005 2006 2007 2008 2009*

K

g/

Th

n

Tahun

0 200 400 600 800

2004 2005 2006 2007 2008*

To

n

(8)

5 Meningkatnya konsumsi bawang merah per kapita per tahun yang disebabkan pertumbuhan penduduk dan berkembangnya produk olahan ini diikuti dengan peningkatan produksi bawang merah nasional. Peningkatan produksi nasional ini salah satunya terjadi akibat pertambahan luas areal panen. Tabel 3 memperlihatkan perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia tahun 2001-2010 yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Tabel 3. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Merah Nasional Tahun

2001-2010 (Ton)

Tahun

Indikator

Luas Panen (Ha)

Produksi (Ton)

Produktivitas (Ton/Ha)

2001 82.147 861.150 10,48

2002 79.867 766.572 9,60

2003 88.029 762.795 8,67

2004 88.707 757.399 8,54

2005 83.614 732.610 8,76

2006 89.188 794.931 8,91

2007 93.694 802.810 8,57

2008 91.339 853.615 9,35

2009 104.009 965.164 9,28

2010 109.634 1.048.228 9,57

Sumber : Departemen Pertanian (2011), diolah

(9)

6 Tabel 4. Produksi Nasional Bawang Merah per Provinsi Tahun 2006-2010 (Ton)

No Provinsi Tahun

2006 2007 2008 2009 2010

1 Jawa Tengah 253.411 268.914 379.903 406.725 506.357

2 Jawa Timur 232.953 228.083 181.517 181.490 203.739

3 Jawa Barat 112.964 116.142 116.929 123.587 116.349

4 Nusa Tenggara Barat 85.682 90.180 68.748 133.945 104.324

5 D.I. Yogyakarta 24.511 15.564 16.996 19.763 19.950

6 Sumatera Barat 20.037 18.170 20.737 21.985 25.058

7 Sumatera Utara 8.666 11.005 12.071 12.655 9.413

8 Sulawesi Selatan 12.088 10.701 10.517 13.246 23.271

9 Bali 9.915 9.668 7.759 11.554 10.981

10 Nusa Tenggara Timur 7.142 7.144 15.137 16.602 3.879

Total 767.369 775.571 830.314 941.552 1.023.321

Sumber : Departemen Pertanian (2011), diolah

(10)

7 Salah satu sentra bawang merah di Jawa Barat adalah Kabupaten Majalengka. Daerah penghasil bawang merah di Kabupaten Majalengka tersebar di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Dawuan, Jatitujuh, Kertajati dan Kecamatan Argapura. Kabupaten Majalengka memiliki kondisi alam yang subur dan topografi yang sesuai dengan kondisi untuk budidaya bawang merah. Akan tetapi, dari tingkat produktivitas Kabupaten Majalengka juga mengalami penurunan.

1.2. Perumusan Masalah

Kecamatan Argapura merupakan sentra produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka. Kontribusi Kecamatan Argapura terhadap jumlah produksi bawang merah di Kabupaten Majalengka setiap tahunnya merupakan jumlah terbesar diantara kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Majalengka. Tahun 2008, Kecamatan Argapura menyumbang sebesar 39,01 persen dari produksi total bawang merah di Kabupaten Majalengka. Meskipun dari jumlah produksi merupakan penghasil terbesar di Kabupaten Majalengka, akan tetapi dari tingkat produktivitasnya sangat rendah dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya. Perkembangan luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Kecamatan Argapura dari tahun 2006 sampai 2010 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Merah di Kecamatan Argapura Tahun 2006-2010

No Kecamatan Tanam (ha) Panen (ha) Produktivitas(kw/ha) Produksi (ton) 2009 2010 2009 2010 2009 2010 2009 2010 1 Kadipaten 140 135 142 135 113,53 160,76 1.612 2.170 2 Dawuan 344 180 344 186 119,94 122,13 4.126 2.271 3 Jatitujuh 322 148 322 148 160,66 137,51 5.173 2.032

4 Argapura 1.111 1.116 822 1.045 94,88 66,73 7.799 6.973

5 Kertajati 351 278 351 273 161,94 100,26 5.684 2.737 Total Kabupaten 3.046 2.541 2.722 2.504 116,38 91,37 31.678 22.878

Tahun 2008 3.028 3.379 97,71 33.015

Tahun 2007 2.904 2.995 90,34 27.058

Tahun 2006 3.882 3.512 99,98 35.112

(11)

8 Salah satu sentra bawang merah di Kecamatan Argapura yaitu Desa Sukasari Kaler. Desa Sukasari Kaler memiliki potensi sumberdaya alam yang besar. Luas wilayah pertanian mencapai 204,746 hektar yang terdiri dari 53,77 hektar lahan sawah, 119,576 hektar tegalan (tadah hujan) dan 31,4 hektar berupa perkebunan rakyat (Profil Desa Sukasari Kaler 2010). Tahun 2008 luas tanam yang digunakan untuk usahatani bawang merah seluas 305 hektar dengan tiga kali musim tanam selama satu tahun. Luas tanam tersebut berasal dari lahan sawah maupun tegalan (tadah hujan) (Profil Desa Sukasari Kaler 2010).

Mengkaji persoalan tentang produktivitas sebenarnya adalah mengkaji masalah efisiensi teknis. Hal ini dikarenakan ukuran produktivitas pada hakekatnya mempengaruhi tingkat efisiensi teknis budidaya yang dilakukan oleh petani yang menunjukkan pada seberapa besar keluaran (output) maksimum yang dapat dihasilkan per unit masukan (input) yang tersedia. Tingkat efisiensi teknis budidaya akan terlihat dari kapabilitas manajerial dalam aspek budidaya yang tercermin dalam aplikasi teknologi usaha budidaya dan pasca panen, serta kemampuan petani bawang merah mengakumulasikan dan mengolah informasi yang relevan dengan usaha budidayanya sehingga pengambilan keputusan yang dilakukan tepat (Sumaryanto et al. 2003).

Rendahnya produktivitas yang terjadi di lokasi penelitian diduga terjadi karena penggunaan faktor-faktor produksi yang belum efisien, sehingga berdampak pada rendahnya produktivitas bawang merah yang dibudidayakan. Selain itu, teknik budidaya dan penggunaan faktor-faktor produksi antara satu petani dengan petani lainnya pun berbeda. Adanya perbedaan tersebut diduga akan berpengaruh terhadap produksi bawang merah yang dihasilkan. Petani yang dalam teknik budidayanya mampu mengelola penggunaan faktor-faktor produksi (input) untuk mencapai hasil produksi (output) yang maksimum, maka dapat dikatakan efisien.

(12)

9 yang tinggi. Kebijakan kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 32/Permentan/SR.130/4/2010 ini berlaku mulai 8 April 2010. Pupuk urea misalnya, dari harga Rp 1.200 per kg dinaikkan menjadi Rp 1.600 per kg, pupuk ZA dari harga Rp 1.050 dinaikkan menjadi Rp 1.400 per kg, pupuk SP dari harga Rp 1.550 dinaikkan menjadi Rp 2.000 per kg dan pupuk NPK dari harga Rp 1.800 per kg dinaikkan menjadi Rp 2.300 per kg.

Pupuk Urea, ZA, SP dan NPK merupakan pupuk yang digunakan para petani di Desa Sukasari Kaler dalam usahatani bawang merah. Kondisi tersebut semakin menyulitkan bagi petani karena harga pupuk yang diterima petani di lapangan lebih tinggi dari harga dasar (HET) yang ditetapkan pemerintah. Biaya produksi untuk usahatani semakin besar yang berakibat pada berkurangnya pendapatan yang diterima petani dari usahataninya, apalagi kenaikan biaya tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan harga produk.

Selain itu, penggunaan varietas bibit di daerah penelitian juga diduga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani bawang merah. Terdapat dua jenis varietas bibit yang digunakan di Desa Sukasari Kaler yaitu varietas Sumenep dan varietas Balikaret. Kedua varietas ini memiliki karakteristik yang cukup berbeda dari sisi harga. Harga bawang merah varietas Sumenep biasanya lebih tinggi dibandingkan harga bawang merah varietas Balikaret. Selain itu, produktivitas kedua varietas ini pun berbeda.

Produktivitas yang rendah yang terjadi akibat penggunaan faktor-faktor produksi yang belum efisien diduga dapat berpengaruh terhadap tingkat efisiensi teknis petani, sedangkan biaya pupuk yang tinggi akibat adanya kenaikan harga dan penggunaan varietas yang berbeda diduga akan berpengaruh terhadap pendapatan yang akan diperoleh petani. Hal tersebut mengakibatkan petani harus berusaha untuk mengefisienkan kegiatan usahatani bawang merah yang dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :

(13)

10 2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka ?

3) Bagaimana tingkat pendapatan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan di atas. Oleh karena itu, penelitian efisiensi teknis usahatani bawang merah ini bertujuan untuk :

1) Menganalisis keragaan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka.

2) Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka.

3) Menganalisis tingkat pendapatan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dijadikan masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengembangan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler. Secara rinci penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

1) Memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi petani dan pihak berkepentingan untuk pengembangan usahatani bawang merah dalam upaya peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani pada pengelolaan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka.

2) Akademisi dan peneliti, sebagai bahan rujukan untuk penelitian serupa atau pengembangan penelitian yang sudah dilakukan.

(14)

11 1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(15)

12

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Varietas Bawang Merah

Salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam usahatani bawang merah adalah bibit. Penggunaan bibit atau varietas unggul akan mampu memberikan hasil/tingkat produksi yang lebih baik dibandingkan dengan varietas tidak unggul. Penggunaan bibit unggul untuk tanaman bawang merah tidak hanya diarahkan untuk peningkatan hasil produksi saja, melainkan juga diarahkan untuk peningkatan kualitas/mutu dari produksi yang dihasilkan.

Varietas bawang merah untuk meningkatkan produksi dan kualitas telah banyak dikembangkan di Indonesia. Varietas yang telah dilepas oleh pemerintah maupun yang berkembang di lapangan memiliki keunggulan tertentu. Tipe bawang merah yang ideal adalah bawang merah yang memiliki sifat-sifat unggul, antara lain tahan terhadap penyakit, memiliki tipe pertumbuhan dan jumlah anakan sedang, umur tanaman genjah, ukuran umbi besar, warna umbi merah tua, dan bentuk umbi bulat sesuai dengan preferensi konsumen (Setijo 2003). Berikut deskripsi beberapa varietas bawang merah :

1) Varietas Bima

Varietas Bima Brebes berasal dari Brebes dan cocok ditanam di daerah dataran rendah. Umbi berbentuk lonjong, bercincin kecil pada leher cakram, berwarna merah muda. Produksi mencapai 9,9 ton per hektar, dengan susut bobot dari umbi basah menjadi umbi kering 21,5 persen.

2) Varietas Medan

Bawang varietas Medan berasal dari daerah Samosir, cocok ditanam di daerah rendah maupun dataran tinggi. Umbi berbentuk bulat dengan ujung runcing dan berwarna merah. Produksi umbi kering dapat mencapai 7,4 ton per hektar, dengan susut umbi basah menjadi umbi kering sekitar 24,7 persen.

3) Varietas Keling

(16)

13 4) Varietas Maja Panas

Varietas Maja Panas berasal dari lokal Cipanas, cocok untuk ditanam di daerah dataran rendah dan dataran tinggi. Umbi berbentuk bulat dan berwarna merah tua. Produksi umbi kering mencapai 10,9 ton per hektar, dan susut bobot dari umbi basah menjadi umbi kering sekitar 24,9 persen.

5) Varietas Sumenep

Varietas Sumenep merupakan kultivar lokal yang diperkirakan berasal dari daerah Sumenep, Madura. Varietas ini cocok ditanam di dataran rendah sampai dataran medium ataupun dataran tinggi. Umbi tanaman berbentuk lonjong memanjang dan berwarna merah pucat. Produksi umbi basah mencapai 19,3 ton per hektar dan dapat menghasilkan umbi kering sekitar 10,1 ton per hektar. 6) Varietas Kuning

Bawang merah varietas Kuning telah lama dibudidayakan oleh petani di daerah Brebes, Jawa Tengah, sebagai varietas lokal setempat. Kultivar ini baik untuk diusahakan di daerah dataran rendah sampai dataran medium pada musim kemarau. Varietas ini memiliki umbi berwarna gelap. Produksi umbi antara 14,4-20,1 ton per hektar, dengan susut bobot umbi dari umbi basah menjadi umbi kering sekitar 21,5-22,0 persen.

7) Varietas Kuning Gombong

Bawang merah varietas Kuning Gombong berasal dari daerah Sidapurna, Brebes, Jawa Tengah, dan cocok ditanam pada musim kemarau di dataran rendah. Umbi berbentuk bulat lonjong dengan bagian leher agak besar dan berwarna merah muda. Produksi umbi kering mencapai 11,2-17,3 ton per hektar, dengan susut bobot umbi basah menjadi umbi kering sekitar 22,5 persen.

8) Varietas Bangkok

(17)

14 Setiap varietas tanaman bawang memiliki ketahanan dan kepekaan yang berbeda-beda terhadap penyakit, misalnya umbi varietas Bima Brebes, varietas Medan, varietas Keling dan umbi varietas Maja Panas yang merupakan umbi bawang merah yang cukup tahan terhadap penyakit busuk umbi (Botrytis alli), namun peka terhadap penyakit busuk ujung daun (Phytophtora porri). Sedangkan varietas Kuning dan varietas Kuning Gombong merupakan varietas umbi yang cukup tahan terhadap busuk umbi (Botrytis alli), namun peka terhadap penyakit bercak ungu (Alternaria porri) maupun antraknosa (Colletotrichum sp.). Berbeda halnya dengan varietas Sumenep yang tahan terhadap penyakit fusarium, bercak ungu (Alternaria porri), dan antraknosa (Colletotrichum sp.), varietas Bangkok justru sangat peka terhadap penyakit bercak ungu (Alternaria porri), dan antraknosa (Colletotrichum sp.).

Selain menggunakan umbi sebagai bahan tanam, sekarang telah dikembangkan dengan menggunakan biji botaninya atau dikenal True Shallots Seed. True Shallots Seed atau yang biasa disebut TSS merupakan bahan perbanyakan generatif bawang merah yang berbentuk biji. Dibandingkan dengan umbi, penggunaan TSS sebagai bahan tanam memiliki beberapa keunggulan yaitu (1) kebutuhan benih hanya sedikit, yaitu sekitar 7,5 kg/ha dibanding umbi sekitar 1,5 ton/ha; (2) bebas virus dan penyakit tular benih; (3) menghasilkan tanaman yang lebih sehat; (4) daya hasil lebih tinggi dibanding umbi, dan (5) hemat biaya (Sopha 2010). Selain itu, hasil bawang merah asal biji memiliki ukuran umbi yang lebih besar dan lebih bulat dibandingkan bawang asal dari umbi.

(18)

15 2.2. Perkembangan Penelitian Bawang Merah Terkait Produksi

Bawang merah merupakan komoditas sayuran yang telah banyak diteliti dari berbagai disiplin ilmu. Penelitian-penelitian terdahulu mengenai bawang merah terkait produksi telah dikaji oleh beberapa peneliti yaitu Rosantiningrum dan Hamid (2004), Kurniawan (2007) serta Damanah (2008).

Rosantiningrum (2004) meneliti tentang produksi dan pemasaran usahatani di Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa fungsi produksi bawang merah di tempat penelitian berada pada kondisi constant return to scale artinya pada kondisi tersebut apabila semua input dinaikkan sebesar 10 persen maka tingkat produksi naik sebesar proporsi yang sama yaitu 10 persen. Nilai koefisien regresi faktor produksi luas lahan (X1), jumlah bibit (X2), jumlah tenaga kerja (X3), pupuk N (X4), pupuk P (X5), pupuk (K6), dan nilai pestisida (X7) bernilai lebih dari nol dan kurang dari satu, karena koefisien regresi menunjukkan elastisitas produksi, maka dapat disimpulkan bahwa produksi berada si daerah rasional (daerah II) artinya secara teknis faktor produksi tersebut masih dapat ditambah penggunaannya karena setiap penambahan input akan meningkatkan output.

(19)

16 Penelitian Damanah (2008) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan pendapatan usahatani menunjukkan bahwa dari tujuh varibel yang diduga berpengaruh terhadap produksi yaitu luas lahan (X1), tenaga kerja pria (X2), tenaga kerja wanita (X3), bibit (X4), pupuk buatan (X5), pupuk kandang (X6) dan obat-obatan (X7) ternyata hanya lima variabel yang dapat dijelaskan oleh fungsi produksi yang diperoleh yakni luas lahan, tenaga kerja pria, bibit, pupuk buatan dan obat-obatan. Hasil pendugaan model fungsi produksi Cobb-Douglas, maka diperoleh faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi adalah luas lahan, bibit dan pupuk buatan, sedangkan tenaga kerja wanita dan obat-obatan tidak berpengaruh. Hasil analisis pendapatan usahatani berdasarkan strata luas lahan, baik usahatani pada lahan luas, sedang maupun lahan sempit, ketiganya memberikan keuntungan karena nilai R/C rasio lebih dari satu. R/C rasio atas biaya total pada lahan luas sebesar 1,88, lahan sedang sebesar 1,97 dan pada lahan sempit sebesar 1,65. Berdasarkan nilai R/C rasio atas biaya total tersebut, maka usahatani bawang merah pada lahan sedang relatif lebih efisien jika dibandingkan dengan usahatani bawang merah pada lahan sempit dan lahan luas.

(20)

17 2.3. Fungsi Produksi Menggunakan Pendekatan Cobb-Douglas Stochastic

Frontier

Fungsi produksi merupakan hubungan antara penggunaan input yang digunakan dengan output yang dihasilkan dalam suatu usahatani. Fungsi produksi Stochastic Frontier sendiri merupakan suatu bentuk fungsi produksi yang menunjukkan produksi maksimum yang dapat dicapai suatu usahatani dengan penggunaan sumber daya input yang ada. Untuk mencapai produksi maksimum perlu dilakukan analisis faktor-faktor yang berpengaruh dalam kegiatan usahatani. Khotimah (2010) melakukan penelitian mengenai efisiensi teknis usahatani ubi jalar di Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat menggunakan fungsi Maximum Likelihood Estimation (MLE) dalam mengestimasi fungsi produksi Cobb-Douglas Stochastic Frontier. Penelitian ini pada awalnya menduga bahwa variabel terikat yang mempengaruhi fungsi produksi adalah luas lahan, bibit, tenaga kerja, pupuk N, pupuk P, pupuk K, pupuk daun, pestisida, dan pupuk kandang. Akan tetapi karena variabel pupuk daun, pestisida, dan pupuk kandang hanya digunakan oleh sebagian kecil responden sehingga dianggap tidak mewakili keragaan fungsi produksi ubi jalar di lokasi penelitian, maka variabel tersebut di keluarkan dari model fungsi produksi.

(21)

18 Hasil penelitian Khotimah (2010) menyimpulkan bahwa semua variabel faktor produksi yang diestimasi yaitu lahan, benih per lahan, tenaga kerja per lahan, pupuk P per lahan, dan pupuk K per lahan berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi ubi jalar, kecuali penggunaan pupuk N per lahan yang berpengaruh positif namun tidak nyata terhadap produksi ubi jalar. Faktor produksi yang berpengaruh positif dan nyata menunjukkan bahwa peningkatan pada faktor-faktor produksi tersebut akan meningkatkan produksi ubi jalar. Sedangkan faktor produksi yang berpengaruh tetapi tidak nyata menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan tidak akan meningkatkan produksi usahatani ubi jalar di lokasi penelitian.

Penelitian Podesta (2009) mengenai pengaruh penggunaan benih sertifikat terhadap efisiensi dan pendapatan usahatani pandan wangi di Kabupaten Cianjur dengan menggunakan pendekatan Cobb-Douglas Stochastic Frontier menduga terdapat tujuh variabel independen yang berpangaruh yaitu luas lahan (X1), benih (X2), pupuk N (X3), pupuk P (X4), pupuk K (X5), obat cair (X6), dan tenaga kerja (X7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap produksi padi bagi petani benih sertifikat hanya pupuk P. Benih dan pupuk N tidak berpengaruh karena penggunaannya sudah berlebih dari anjuran, sedangkan tenaga kerja tidak berpengaruh karena petani lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga untuk mengerjakan areal persawahannya. Sementara itu, bagi petani benih non sertifikat, variabel yang berpengaruh nyata hanya tenaga kerja. Variabel pupuk P tidak berpengaruh nyata karena penggunaannya belum optimal.

(22)

19 Penelitian Tanjung (2003) mengenai efisiensi teknis dan ekonomis petani kentang di Kabupaten Solok Propinsi Sumatera Barat menggunakan dua model fungsi produksi stochastic frontier. Dua model tersebut yaitu model A yang memiliki sebelas variabel penjelas dan model B yang memiliki empat variabel penjelas.

Variabel yang diduga berpengaruh pada model fungsi produksi stochastic frontier model A yaitu benih, luas lahan, tenaga kerja, pupuk urea, pupuk SP-36, pupuk KCl, pupuk NPK, pupuk SS, pestisida padat, pestisida cair dan jenis benih (dummy). Variabel yang nyata berpengaruh terhadap produksi yaitu benih, luas lahan, pupuk SP-36, pupuk NPK, pupuk SS, pestisida padat dan jenis benih (dummy). Pada model fungsi produksi stochastic frontier model B, variabel yang diduga berpengaruh yaitu luas lahan, tenaga kerja, modal yang dinormalkan dengan harga output dan jenis benih (dummy). Dari keempat variabel tersebut, variabel yang berpengaruh nyata terhadap produksi hanya dua variabel yaitu variabel luas lahan dan variabel modal yang dinormalkan dengan harga output.

Adhiana (2005) melakukan penelitian mengenai efisiensi ekonomi usahatani lidah buaya (Aloe vera) di Kabupaten Bogor. Variabel yang diduga berpengaruh terhadap produksi yaitu luas lahan, jumlah tanaman, pupuk kandang, pupuk anorganik, tenaga kerja, dan umur tanaman. Dari keenam variabel dugaan, empat diantaranya berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi yaitu variabel luas lahan, jumlah tanaman, tenaga kerja dan umur tanaman. Variabel pupuk kandang dan pupuk anorganik berpengaruh positif tetapi tidak nyata.

2.4. Efisiensi Teknis

Penelitian tentang efisiensi teknis usahatani bawang merah belum pernah dilakukan sebelumnya. Tinjauan empiris berikut merupakan hasil penelitian efisiensi teknis serta tingkat pendapatan usahatani dengan komoditas berbeda.

(23)

20 Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis dianalisis dengan model efek inefisiensi teknis dengan variabel umur, pengalaman, pendidikan, lama kerja petani di luar usahatani, pendapatam di luar usahatani, status kepemilikan lahan dan penyuluhan. Hanya tiga variabel yang berpengaruh nyata dan positif terhadap inefisiensi teknis produksi, yaitu pengalaman, lama kerja petani di luar usahatani, dan status kepemilikan lahan. Variabel lainnya seperti umur, pendidikan, pendapatan di luar usahatani, dan penyuluhan berpengaruh negatif terhadap inefisiesi teknis akan tetapi tidak berpengaruh nyata.

Podesta (2009) menyimpulkan bahwa usahatani padi Pandan Wangi benih bersertifikat maupun non sertifikat telah efisien secara teknis. Hal tersebut terlihat dari rata-rata nilai efisiensi teknis usahatani padi Pandan Wangi benih sertifikat maupun non sertifikat masing-masing adalah 0,967 dan 0,713. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis usahatani padi Pandan Wangi meliputi usia, pendidikan formal, pengalaman, umur bibit dan dummy status usahatani serta dummy pendidikan non formal. Faktor dummy pendidikan non formal saja yang berpengaruh bagi usahatani padi Pandan Wangi benih non sertifikat. Sementara itu, tidak ada faktor yang nyata berpengaruh bagi usahatani padi Pandan Wangi benih sertifikat. Hal ini dikarenakan tingkat efisiensi teknis usahatani padi Pandan Wangi benih sertifikat sudah sangat tinggi yakni 0,967 sehingga nilai inefisiensi teknis usahatani padi Pandan Wangi benih sertifikat hanya sebesar 0,033. Berbeda halnya dengan usahatani Pandan Wangi benih non sertifikat dimana nilai inefisiensi teknis sebesar 0,287.

(24)

21 efisiensi teknis adalah dummy bahan organik dan dummy legowo. Sementara itu, pada masa tanam II faktor-faktor yang nyata berpengaruh dalam menjelaskan inefisiensi teknis di dalam proses produksi petani responden adalah pengalaman, pendidikan dan rasio urea-TSP.

Penelitian Tanjung (2003) menggunakan model efek inefisiensi teknis dari fungsi produksi stochastic frontier model A menunjukkan angka rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden sebesar 0,742 dengan nilai terendah 0,392 dan nilai tertinggi 1,014. Faktor-faktor yang nyata berpengaruh dalam menjelaskan

inefisiensi teknis di dalam proses produksi petani responden pada α = 5% dan α =

10% adalah umur, pengalaman, keanggotaan kelompok tani, dan jenis benih. Pendidikan, rasio tenaga kerja sewaan terhadap tenaga kerja total, rasio luas lahan untuk tanaman kentang terhadap total luas lahan yang diusahakan petani dan keikutsertaan petani dalam kelompok tani dan status kepemilikan lahan, tidak nyata berpengaruh terhadap tingkat inefisiensi teknis petani responden pada α = 10%. Namun, variabel rasio luas lahan terhadap total luas lahan yang diusahakan

dan status kepemilikan lahan pada taraf α = 15% berpengaruh nyata.

Hasil penelitian Adhiana (2005) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat efisiensi teknis petani lidah buaya di lokasi penelitian adalah sebesar 0,813 dengan nilai terendah 0,324 dan nilai tertinggi 0,982. Variabel-variabel yang menjadi sumber inefisiensi teknis petani responden yang berpengaruh nyata yaitu

umur (α = 1%), pendidikan (α = 5%) dan pengalaman (α = 15%). Sementara

(25)

22 Berdasarkan penelitian-penelitian mengenai efisiensi teknis maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya petani masih memiliki potensi maksimum yang seharusnya dicapai. Hal tersebut terlihat dari nilai efisiensi teknis petani yang belum optimal dan masih memungkinkan ditingkatkan agar memperoleh hasil yang optimal. Belum optimalnya potensi maksimum yang dapat dicapai oleh petani, salah satunya karena adanya inefisiensi. Inefisiensi ini dipengaruhi oleh peranan stokastik. Variabel-variabel yang umumnya mempengaruhi tingkat efisiensi teknis petani diantaranya yaitu umur, pendidikan formal, pengalaman, dummy status lahan dan dummy penyuluhan.

2.5. Pendapatan Usahatani

Penelitian mengenai pendapatan usahatani telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa dilihat dari nilai R/C rasio yang lebih besar dari satu, usahatani yang dilakukan memberikan keuntungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada insentif yang diterima petani atas faktor-faktor produksi yang telah digunakan untuk usahatani bawang merah.

(26)

23

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Konsep Usahatani

Ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya. Sedangkan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input) (Soekartawi et al. 1985). Menurut Mosher (1968) diacu dalam Mubyarto (1994), usahatani adalah suatu tempat atau bagian dari permukaan bumi, dimana pertanian diselenggarakan oleh seorang petani tertentu apakah ia seorang pemilik, penyakap atau manajer yang digaji. Usahatani dapat dipandang sebagai suatu cara hidup (a way of life) atau sebagai bagian dari perusahaan (farm business).

Tujuan setiap petani dalam menjalankan usahataninya berbeda-beda. Apabila dorongannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga baik melalui atau tanpa melalui peredaran uang disebut subsistence farm sedangkan apabila dorongannya untuk mencari keuntungan disebut commercial farm (Hernanto 1996). Sedangkan menurut Soekartawi dkk (1985), tujuan usahatani terbagi dua, memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan biaya.

(27)

24 Hernanto (1996), menyatakan terdapat empat unsur pokok yang selalu ada dalam usahatani dan disebut sebagai faktor-faktor produksi yaitu :

1) Tanah

Tanah merupakan faktor produksi yang relatif langka dibandingkan faktor produksi usahatani lainnya dan distribusi penguasaan di masyarakat tidak merata. Oleh karena itu, tanah memiliki sifat-sifat khusus yaitu : (1) luasnya relatif tetap atau dianggap tetap; (2) tidak dapat dipindah-pindahkan; (3) dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan; (4) tidak ada penyusutan (tahan lama); dan (5) bunga atas lahan dipengaruhi oleh produktivitas lahan. Tanah yang dimiliki petani atau yang dikelola dapat diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), pemberian negara, warisan atau wakaf. Terdapat hubungan antara tanah dengan pengolahnya yang dinamakan dengan status tanah. Status tanah ini akan memberikan kontribusi bagi pengolahnya. Beberapa status tanah yang dikenal yaitu, tanah milik atau tanah hak milik, tanah sewa, tanah sakap, tanah gadai, dan tanah pinjaman.

2) Tenaga Kerja

(28)

25 3) Modal

Modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta manajemen menghasilkan barang-barang baru yaitu produksi pertanian. Menurut sifatnya, modal dibedakan menjadi dua yakni modal tetap yang meliputi tanah bangunan dan modal tidak tetap yang meliputi alat-alat, bahan, uang tunai, piutang di bank, tanaman, ternak, ikan di kolam. Modal dalam usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pelepas uang/keluarga/tetangga), hadiah, warisan, usaha lain ataupun kontrak sewa. Modal usahatani dapat berupa biaya investasi, biaya operasional, biaya pemeliharaan, dan biaya pengelolaan. Ada beberapa ukuran yang dapat digunakan untuk menilai keuangan dan jalannya usahatani, ukuran-ukuran itu antara lain dalam bentuk ratio atau perbandingan seperti current ratio (kemampuan bayar dari modal), intermidiet ratio, net capital ratio,debt equity ratio, dan lain-lain.

4) Manajemen

(29)

26 Soeharjo (1978), diacu dalam Hernanto (1996) mengklasifikasikan usahatani tanaman pangan menurut pola, tipe, corak dan bentuk. Berikut penjelasan mengenai pengklasifikasian tersebut :

1) Pola usahatani

Klasifikasi usahatani menurut pola digolongkan berdasarkan jenis lahannya yaitu pola usahatani lahan basah dan pola usahatani lahan kering.

2) Tipe usahatani

Tipe usahatani menunjukkan klasifikasi tanaman yang didasarkan kepada macam dan atau cara penyusunan tanaman yang diusahakan seperti misalnya usahatani padi, usahatani palawija, usahatani campuran, usahatani khusus, usahatani tidak khusus, usahatani tanaman ganda dan lain-lain.

3) Corak usahatani

Corak usahatani dimaksudkan sebagai tingkatan dari hasil pengelolaan usahatani yang ditentukan oleh berbagai ukuran.

4) Bentuk usahatani

Bentuk atau struktur usahatani menunjukkan bagaimana suatu komoditi diusahakan. Cara pengusahaan itu dapat secara khusus, tidak khusus dan campuran. Menurut Hernanto (1996), terdapat beberapa istilah dalam usahatani campuran, antara lain :

a) Pergiliran tanaman (croprotation)

Usaha ini menunjukkan adanya dua atau lebih tanaman yang diusahakan pada lahan yang sama tetapi dalam masa yang berbeda. Misalnya tanaman A pada musim pertama kemudian tanaman B pada musim berikutnya.

b) Tumpangsari (intercropping)

(30)

27 3.1.2. Konsep Fungsi Produksi

Menurut Soekartawi (1994), fungsi produksi adalah hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa input seperti tanah, pupuk, tenaga kerja, modal, iklim dan sebagainya yang mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Misalnya Y adalah produksi dan Xi adalah masukan i, maka besar-kecilnya Y juga tergantung dari besar-kecilnya X1, X2, X3, …, Xm yang digunakan. Hubungan Y dan X secara aljabar dapat ditulis sebagai berikut :

Y = f (X1, X2, X3, …, Xm) Dimana :

Y = Produksi atau output

X1, X2, X3, …, Xm = Input

Produksi yang dihasilkan dapat diduga dengan mengetahui jumlah masukan/input yang digunakan. Selanjutnya fungsi produksi dapat dimanfaatkan untuk menentukan kombinasi input yang terbaik terhadap suatu proses produksi. Namun demikian, hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan mengingat informasi yang diperoleh dari analisis fungsi produksi tidak sempurna. Soekartawi (1994) menjelaskan penyebab terdapatnya kesulitan dalam menentukan kombinasi input yang terbaik tersebut antara lain karena :

1) Adanya faktor ketidaktentuan mengenai cuaca, hama dan penyakit tanaman. 2) Data yang dipakai untuk melakukan pendugaan fungsi produksi mungkin

tidak benar.

3) Pendugaan fungsi produksi hanya dapat diartikan sebagai gambaran rata-rata suatu pengamatan.

4) Data harga dan biaya yang diluangkan (opportunity cost) mungkin tidak dapat diketahui secara pasti.

5) Setiap petani dan usahataninya mempunyai sifat yang khusus.

(31)

28 Fungsi produksi melukiskan hubungan antara konsep Produk Rata-rata (PR) dengan Produk Marjinal (PM) yang disebut dengan kurva Produk Total (PT) (Soekartawi 1994). PR didefinisikan sebagai perbandingan antara PT per jumlah input atau menunjukkan kuantitas output produk yang dihasilkan.

PR = Dimana :

PR = Produk Rata-rata Y = Output

X = Input

PM adalah tambahan satu satuan input (X) yang dapat menyebabkan penambahan atau pengurangan satu satuan output (Y).

PM =

Dimana :

PM = Produk Marjinal dy = Perubahan output dx = Perubahan input

Persentase perubahan output sebagai akibat dari persentase perubahan input dapat dinyatakan dengan elastisitas produksi (Ep). Besarnya elastisitas bergantung pada besar kecilnya PM suatu input.

Ep =

=

.

Hubungan antara PT, PR, PM dan Ep dapat digambarkan dalam kurva pada Gambar 3. Kurva tersebut menunjukkan tiga daerah produksi dalam suatu fungsi produksi yaitu peningkatan PR, penurunan PR ketika PM positif, dan penurunan PR ketika PM negatif. Daerah-daerah tersebut mewakili daerah I, II, dan III, yaitu suatu daerah yang menunjukkan elastisitas produksi yang besarnya berbeda-beda (Soekartawi 1994).

(32)

29 Daerah II terletak antara X2 dan X3 dengan nilai elastisitas produksi yang berkisar antara nol dan satu (0 < Ep < 1), terjadi ketika PM lebih kecil dari PR yang berarti bahwa setiap penambahan input sebesar satu satuan akan meningkatkan produksi paling besar satu satuan dan paling kecil nol satuan. Pada tingkat tertentu dari penggunaan faktor-faktor produksi di daerah ini akan memberikan keuntungan maksimum. Hal ini menunjukkan penggunaan faktor produksi lebih optimal sehingga daerah ini disebut daerah rasional atau efisien.

Daerah III merupakan daerah dengan nilai elastisitas yang lebih kecil dari satu (Ep < 1), terjadi ketika PM bernilai negatif yang berarti bahwa setiap penambahan satu satuan input akan menyebabkan penurunan produksi. Pada daerah ini PT dan PR dalam keadaan menurun. Dalam situasi ini upaya penambahan faktor produksi tetap akan merugikan petani, sehingga di daerah ini sudah tidak efisien atau disebut daerah irrasional.

Gambar 3. Kurva Fungsi Produksi Sumber : Soekartawi (1994)

Input Output

Input

X1 X2 X3

Output

Total Produk (TP)

Produk Rata-rata (PR)

Produk Marjinal (PM)

(33)

30 3.1.3. Konsep Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Fungsi produksi stochastic frontier adalah fungsi produksi yang dipakai untuk mengukur bagaimana fungsi produksi sebenarnya terhadap posisi frontiernya (Soekartawi 1994). Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara faktor produksi dan produksi, maka fungsi produksi frontier adalah hubungan fisik faktor-produksi dan produksi pada frontier yang posisinya terletak pada garis isokuan yang merupakan garis tempat titik-titk yang menunjukkan titik kombinasi penggunaan masukan produksi yang optimal (Soekartawi 1994).

Aigner et al. (1997) dan Broeck dan Meeusen (1997), diacu dalam Coelli et al. (1998), menyatakan bahwa dalam model fungsi produksi stochastic frontier terdapat penambahan random error, vi, serta non negatif variabel acak, ui, yang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

yi = xi + vi - ui i = 1, β, γ, …., N Dimana :

yi = Produksi yang dihasilkan petani pada waktu ke-t

xi = Vektor masukan yang digunakan petani pada waktu ke-t = Vektor parameter yang akan diestimasi

vi = Variabel acak yang berkaitan dengan faktor eksternal (iklim, hama) sebarannya simetris dan menyebar normal (vi~ N (0, σv2))

ui = Variabel acak non negatif yang diasumsikan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis dan berkaitan dengan faktor internal dengan sebaran bersifat setengah normal (ui~ │N (0, σv2) │)

Random error, vi, dihitung untuk mengukur error dan faktor random lain seperti efek cuaca, kesalahan, keberuntungan, dan lain-lain, di dalam nilai variabel output, yang secara bersamaan dengan efek kombinasi dari variabel input yang tidak terdefinisi dalam suatu fungsi produksi. Aigner et al. (1997), diacu dalam Coelli et al. (1998), vis merupakan variabel normal acak yang terdistribusi secara bebas dan identik (independent and identically distributed, i.i.d) dengan rataan nol dan ragamnya konstan, σv2, variabel bebas, uis, diasumsikan sebagai i.i.d eksponensial atau variabel acak setengah normal. Variabel ui berfungsi untuk menangkap inefisiensi teknis.

(34)

31 bernilai positif dan negatif dan begitu juga output stochastic frontier bervariasi sekitar bagian tertentu dari model frontier, exp (xi ).

[image:34.595.108.515.158.728.2]

Struktur dasar model stochastic frontier digambarkan seperti Gambar 4. Sumbu x mewakili input sedangkan sumbu y mewakili output. Komponen deterministik dari model frontier, Y = exp (xi ), digambarkan dengan asumsi bahwa berlaku hukum diminishing return to scale. Penjelasan Gambar 4 adalah terdapat dua petani yaitu petani i dan petani j. Petani i menggunakan input sebesar xi dan menghasilkan output yi. Nilai dari output stochastic frontier adalah yi, melampaui nilai fungsi produksi yaitu f(xi; ). Hal ini dapat terjadi karena aktivitas produksi petani i dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan dimana variabel vi bernilai positif.

Gambar 4. Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Sumber : Coelli, Rao, Battase (1998)

Sementara itu, petani ke-j menggunakan input sebesar xj dan memproduksi yj berada di bawah fungsi produksi karena aktivitas produksi petani j dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan dimana vj bernilai negatif. Output

stochastic frontier tidak dapat diamati karena nilai random error tidak teramati. Bagian deterministik dari model stochastic frontier terlihat diantara output stochastic frontier. Output yang diamati dapat menjadi lebih besar dari bagian

y

yi

yi

xi xi x

X X

X

X

Fungsi produksi,

y = exp (x )

Frontier output (yj*), exp (xj + vj), jika vj < 0

Frontier output (yi*), exp (xj + vj), jika vi > 0

(35)

32 deterministik dari frontier apabila random error yang sesuai lebih besar dari efek inefisiensinya (misalnya yi > exp (xj ) jika vj > uj) (Coelli et al. 1998).

Model stochastic frontier juga memiliki kelemahan. Kritikan utama terhadap model ini adalah secara umum tidak ada sebuah pengakuan terhadap bentuk penyebaran yang pasti dari variabel-variabel ui. Bentuk distribusi setengah normal dan eksponensial adalah bentuk distribusi yang selama ini dipilih. Akan tetapi, menurut Coelli et al. (1998) kedua bentuk distribusi ini cenderung bernilai nol sehingga kemungkinan besar efek efisiensi yang dicari juga mendekati nol.

Sejumlah peneliti menanggapi kritikan ini dengan membuat bentuk penyebarannya yang lebih umum seperti terpotong normal (truncated-normal) dan dua parameter gamma untuk menangkap efek inefisiensi teknis. Kedua distribusi tersebut memiliki bentuk distribusi yang lebih luas.

Model pemotongan terhadap penyebaran normal lebih mudah dibandingkan model gamma. Penyebaran pemotongan normal adalah generalisasi dari penyebaran setengah normal. Penyebaran ini diperoleh dari pemotongan pada

nilai nol dari penyebaran normal dengan nilai harapan variasinya µ dan σ2 . Jika nilai µ adalah nol maka distribusinya adalah setengah normal.

3.1.4. Konsep Efisiensi dan Inefisiensi

Soekartawi (1994), tujuan dari produksi tidak hanya melihat seberapa besar output yang dihasilkan melainkan juga efisien dari sisi penggunaan input untuk memaksimumkan keuntungan. Seorang pengusaha atau petani akan selalu berfikir bagaimana mengalokasikan sarana produksi (input) yang dimiliki seefisien mungkin untuk memperoleh produksi yang maksimal. Dalam ilmu ekonomi cara berfikir demikian sering disebut dengan pendekatan memaksimumkan keuntungan atau profit maximization.

(36)

33 Soekartawi (1994), mengartikan efisiensi sebagai upaya penggunaan input sekecil-kecilnya untuk mendapatkan produksi yang sebesar-besarnya. Efisiensi merupakan perbandingan antara output dan input yang digunakan dalam proses produksi. Daniel (2004), menjelaskan bahwa terdapat berbagai konsep efisiensi yaitu efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi harga (price/allocative efficiency) dan efisiensi ekonomis (economic efficiency). Efisiensi teknis akan tercapai apabila petani mampu mengalokasikan faktor produksi sedemikian rupa sehingga hasil yang tinggi dapat dicapai. Efisiensi harga dapat tercapai jika petani dapat memperoleh keuntungan yang besar dari usahataninya. Misalnya karena pengaruh harga, maka petani tersebut dapat dikatakan mengalokasikan faktor produksinya secara efisiensi harga. Cara seperti ini dapat ditempuh misalnya dengan membeli faktor produksi pada harga yang murah, menjual hasil pada harga yang relatif tinggi. Selanjutnya, apabila petani meningkatkan hasilnya dengan menekan harga faktor produksi, dan menjual hasilnya dengan harga yang tinggi, maka petani tersebut telah melakukan efisiensi teknis dan efisiensi harga secara bersamaan. Situasi yang demikian disebut dengan istilah efisiensi ekonomi. Farrel (1957), diacu dalam Coelli et al. (1998) mengemukakan bahwa efisiensi sebuah usahatani terdiri dari dua konsep yaitu : (1) efisiensi teknis (technical efficiency/TE), yang menggambarkan kemampuan suatu usahatani untuk memaksimalkan output dari sejumlah penggunaan input tertentu, dan (2) efisiensi alokatif (allocative efficiency/AE), menggambarkan kemampuan suatu usahatani dalam menggunakan input dengan proporsi yang optimal untuk mencapai keuntungan maksimum yang dicapai pada saat nilai produk marjinal setiap faktor produksi yang diberikan sama dengan biaya marjinalnya. Kedua pengukuran efisiensi ini bila digabungkan menghasilkan ukuran efisiensi ekonomi (economic efficiency).

(37)

34 untuk melihat sejauh mana jumlah output secara proporsional dapat ditingkatkan tanpa merubah jumlah input yang digunakan.

Gambar 5 merupakan gambar kondisi pendekatan berorientasi input, isoquant yang menunjukkan kondisi yang efisien penuh (fully efficient) yang

digambarkan oleh kurva SS’. Jika suatu usahatani menggunakan input sejumlah P

untuk memproduksi 1 unit output, maka nilai inefisiensi teknis dicerminkan oleh jarak QP. Pada ruas garis QP jumlah input yang digunakan dapat dikurangi tanpa harus mengurangi jumlah output yang dihasilkan.

Keterangan :

P = Input

Q = Efisiensi teknis dan inefisiensi alokatif

Q’ = Efisiensi teknis dan efisiensi alokatif

AA’ = Kurva rasio harga input

SS’ = Isoquant fully efficient

Gambar 5. Efisiensi Teknis dan Alokatif (Orientasi Input) Sumber : Collie et al. (1998)

Metode pendekatan yang didasarkan pada orientasi output (Gambar 5) dengan menggunakan kurva kemungkinan produki ZZ’, sementara titik A menunjukkan petani berada dalam kondisi inefisien. Pada gambar yang sama, ruas garis AB menggambarkan kondisi yang inefisien secara teknis dengan ditunjukkan adanya tambahan output tanpa membutuhkan input tambahan. Secara matematis, pendekatan output rasio efisiensi teknis ditulis sebagai berikut :

TE0 = 0A/0B S

P

Q

Q’

S’

A’

R A

0 x1/q

[image:37.595.101.483.138.800.2]
(38)

35 Notasi 0 digunakan untuk menunjukkan nilai efisiensi teknis dengan pendekatan orientasi input. Dengan adanya informasi harga output yang digambarkan oleh garis isorevenueDD’, maka efisiensi alokatif ditulis sebagai berikut :

AE0 = 0B/0C

Sedangkan kondisi efisien secara ekonomis yaitu :

EE0 = TE0 x AE0 = (0A/0B) x (0B/0C) = 0A/0C Rasio dari ketiga nilai efisiensi tersebut berkisar antara 0 dan 1.

Keterangan :

ZZ’ = Kurva Kemungkinan Produksi

[image:38.595.107.459.99.732.2]

DD’ = Isorevenue

Gambar 6. Efisiensi Teknis dan Alokatif (Orientasi Output) Sumber : Collie et al. (1998)

Model inefisiensi teknis yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada model Coelli et al. (1998). Untuk mengukur inefisiensi teknis digunakan variabel ui yang diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan N

(µ, σ2

). Penentuan nilai parameter distribusi (µ) efek inefisiensi teknis digunakan rumus sebagai berikut :

µ = δ0 + Zitδ + wit

dimana Zit adalah variabel penjelas yang merupakan vektor dengan ukuran (1 x

M) yang nilainnya konstan, δ adalah parameter skalar yang dicari nilainya dengan

ukuran (1 x M).

Z’

0 q2/x1

q1/x1

C

B

D’ B’

(39)

36 3.1.5. Konsep Pendapatan Usahatani

Ukuran penampilan usahatani yaitu ukuran pendapatan dan keuntungan usahatani dinyatakan dalam beberapa istilah, antara lain (Soekartawi 1985) : 1) Pendapatan kotor usahatani (gross farm income) adalah nilai produk total

usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Jangka waktu pembukuan umumnya setahun, dan mencakup semua produk yang : (1) djual; (2) dikonsumsi rumah tangga petani; (3) digunakan dalam usahatani untuk bibit atau makanan ternak; (4) digunakan untuk pembayaran; dan (5) disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun. Pendapatan kotor usahatani mencakup pendapatan kotor tunai dan pendapatan kotor tidak tunai.

2) Penerimaan tunai usahatani adalah nilai uang yang diterima dari penjualan pokok usahatani dan tidak mencakup yang berbentuk benda.

3) Penerimaan tidak tunai adalah penerimaan usahatani yang bukan dalam bentuk uang seperti hasil panen yang dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan dalam usahatani untuk bibit atau makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun dan menerima pembayaran dalam bentuk benda.

4) Pendapatan tunai usahatani (farm net cash flow) adalah selisih antara penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai usahatani dan merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk menghasilkan uang tunai.

5) Pengeluaran total usahatani (total farm expenses) adalah nilai semua masukan (input) yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi. Pengeluaran total usahatani mencakup pengeluaran tunai dan pengeluaran tidak tunai.

6) Pengeluaran tunai usahatani (farm payment) adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Nilai kerja yang dibayar dengan benda tidak termasuk pengeluaran tunai.

(40)

37 8) Pendapatan bersih usahatani (net farm income) adalah selisih pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi.

3.1.6. Analisis Penerimaan Atas Biaya (R/C rasio)

Menurut Soekartawi (2002), penampilan usahatani juga dapat dinyatakan oleh analisis R/C rasio. Analisis R/C rasio atau return cost ratio adalah perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Rasio penerimaan atas biaya juga menunjukkan berapa besarnya penerimaan yang akan diperoleh dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam produksi usahatani. Rasio penerimaan atas biaya produksi dapat digunakan untuk mengukur tingkat keuntungan relatif kegiatan usahatani, artinya dari angka rasio penerimaan atas biaya tersebut dapat diketahui apakah suatu usahatani menguntungkan atau tidak.

Analisis R/C rasio dibagi menjadi dua yaitu analisis R/C rasio menggunakan data pengeluaran/biaya produksi yang secara rill dikeluarkan oleh petani (R/C rasio atas biaya tunai) dan analisis R/C rasio yang memperhitungkan nilai tenaga kerja keluarga, serta bibit yang disiapkan sendiri dan sebagiannya sebagai biaya diperhitungkan (R/C rasio atas biaya total).

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Penelitian ini didasari dengan melihat fakta bahwa seiring meningkatnya jumlah penduduk kebutuhan bawang merah juga semakin meningkat. Hal tersebut dikarenakan bawang merah dibutuhkan oleh hampir semua kalangan masyarakat sebagai bumbu masakan atau obat tradisional. Selain itu, sifat bawang merah yang merupakan tanaman rempah-rempah yang tidak bersubstitusi mengakibatkan tidak bisa digantikan oleh komoditas lain. Berkembangnya industri olahan bawang merah serta pengembangan pasar ekspor mengakibatkan permintaan bawang merah meningkat.

(41)

38 kecamatan-kecamatan lainnya. Salah satu sentra produksi bawang merah di Kecamatan Argapura terdapat di Desa Sukasari Kaler.

Rendahnya produktivitas yang terjadi di lokasi penelitian diduga terjadi karena penggunaan faktor-faktor produksi yang belum efisien. Selain itu, teknik budidaya dan penggunaan faktor-faktor produksi antara satu petani dengan petani lainnya pun berbeda. Adanya perbedaan tersebut diduga akan berpengaruh terhadap produksi bawang merah yang dihasilkan. Petani yang dalam teknik budidayanya mampu mengelola penggunaan faktor-faktor produksi (input) untuk mencapai hasil produksi (output) yang maksimum, maka dapat dikatakan efisien.

Permasalahan lain yang dihadapi petani yaitu harga pupuk yang tinggi karena adanya kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi pupuk. Harga pupuk yang tinggi mengakibatkan biaya produksi usahatani semakin tinggi, sehingga dapat berakibat terhadap pendapatan petani apalagi tanpa diimbangi dengan harga produk yang dihasilkan.

Selain itu, penggunaan varietas bibit di daerah penelitian juga diduga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan usahatani bawang merah. Terdapat dua jenis varietas bibit yang digunakan di Desa Sukasari Kaler yaitu varietas Sumenep dan varietas Balikaret. Kedua varietas ini memiliki karakteristik yang cukup berbeda dari sisi harga. Harga bawang merah varietas Sumenep biasanya lebih tinggi dibandingkan harga bawang merah varietas Balikaret. Selain itu, produktivitas kedua varietas ini pun berbeda.

Produktivitas yang rendah yang terjadi akibat penggunaan faktor-faktor produksi yang belum efisien diduga dapat berpengaruh terhadap tingkat efisiensi teknis petani, sedangkan biaya pupuk yang tinggi akibat adanya kenaikan harga dan penggunaan varietas yang berbeda diduga akan berpengaruh terhadap pendapatan yang akan diperoleh petani. Hal tersebut mengakibatkan petani harus berusaha untuk mengefisienkan kegiatan usahatani bawang merah yang dilakukan.

(42)

39 Gambar 7. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Efisiensi Teknis dan

Pendapatan Usahatani Bawang Merah di Desa Sukasari Kaler  Rendahnya produktivitas.

 Penggunaan faktor produksi diduga belum efisien.

Analisis Efisiensi Teknis

Efisiensi usahatani Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Produksi

Frontier : Lahan, Tenaga Kerja, Bibit, Pupuk N, Pupuk P, Pupuk K, Pestisida Cair, Pestisida Padat, dan Pupuk Kandang Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Inefisiensi Usahatani : Umur, Pengalaman, Pendidikan Formal,

Penyuluhan, Status

Kepemilikan Lahan dan Jenis Bibit

Analisis Pendapatan Usahatani  Keragaan usahatani

 Pendapatan usahatani

Rekomendasi Usahatani Bawang Merah yang Efisien secara Teknis

Output Produksi Input Produksi

Efisiensi Teknis Pendapatan Usahatani

 Kebijakan pemerintah mengenai Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk.

 Jenis varietas yang digunakan.

[image:42.595.102.522.78.666.2]
(43)

40

IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Sukasari Kaler yang berada di wilayah Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu sentra produksi bawang merah di Kecamatan Argapura. Waktu pengambilan data dilakukan pada bulan April hingga Mei 2011.

4.2. Metode Penentuan Responden

Penentuan responden penelitian dilakukan melalui dua metode yaitu metode purposive sampling dan snowball sampling. Metode purposive sampling digunakan untuk memilih Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Gunung Sari sebagai sampling frame untuk memudahkan penentuan petani sampel, dimana petani yang tergabung dalam Gapoktan Gunung Sari merupakan petani yang mengusahakan komoditas bawang merah. Penentuan petani sampel menggunakan metode snowball sampling dengan ketua kelompok tani sebagai sampel awalnya. Petani sampel merupakan petani yang melakukan budidaya bawang merah dalam kurun waktu satu tahun terakhir ketika penelitian dilakukan yaitu pada musim tanam tahun 2010.

Pengambilan sampel berdasarkan petani yang tergabung dalam Gapoktan Gunung Sari yang terdiri dari delapan kelompok tani. Hal tersebut bertujuan agar sampel dapat mewakili keseluruhan petani yang berada di Desa Sukasari Kaler, karena pembagian kelompok tani berdasarkan wilayah hamparan lahan yang dimiliki petani. Akan tetapi, petani responden hanya diambil dari kelompok tani yang mengusahakan bawang merah pada lahan sawah yaitu kelompok tani Pakuwon, Sukasari Utara, Cilayur, Mengger dan Liang Julang dengan jumlah populasi sebanyak 330 orang. Sedangkan tiga kelompok tani lainnya, yaitu kelompok tani Teja Permana, Gunung Sari dan Tani Mukti tidak diambil karena usahatani bawang merah dilakukan pada lahan tegalan (tadah hujan).

(44)

41 mengusahakan bawang merah. Selain itu, petani responden juga diambil dari kelompok tani yang mayoritas masih mengusahakan bawang merah, sehingga terdapat perbedaan antara jumlah rencana dan realisasi. Tabel 6 menunjukkan rencana dan realisasi jumlah petani sampel yang diambil dalam penelitian ini. Tabel 6. Responden Petani Bawang Merah di Desa Sukasari Kaler

No Nama Kelompok Tani Rencana (orang) Realisasi (orang)

1 Pakuwon 9 7

2 Sukasari Utara 7 8

3 Cilayur 9 5

4 Mengger 4 7

5 Liang Julang 4 3

Jumlah 33 30

4.3. Data dan Instrumentasi

Jenis data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui pengamatan, pembagian daftar pertanyaan yang telah disiapkan dengan teknik wawancara langsung kepada petani responden. Wawancara dilakukan dengan metode wawancara terstruktur. Data primer pada penelitian mencakup penguasaan asset pertanian, pemasukan dan pengeluaran usahatani bawang merah serta informasi lainnya yang berguna untuk menunjang penelitian ini.

(45)

42 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini baik data primer maupun data sekunder adalah metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif bertujuan untuk menganalisis keragaan usahatani bawang merah di Desa Sukasari Kaler. Analisis kuantitatif bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi dan efisiensi teknis serta pendapatan usahatani bawang merah yang dilakukan para petani di Desa Sukasari Kaler.

Data yang dikumpulkan melalui proses verifikasi dan validasi data terlebih dahulu. Selanjutnya data diolah menggunakan program Microsoft Excel, Minitab 14, dan Frontier 4.1. Microsoft Excel digunakan untuk proses input data dan pendapatan usahatani. Minitab digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi usahatani dan program Frontier 4.1. digunakan untuk mendapatkan estimasi nilai parameter dari maximum-likelihood untuk model fungsi produksi stochastic frontier. Program Frontier 4.1. terdiri dari tiga tahap : 1) Mengkalkulasikan nilai estimasi dari dan σs2 menggunakan OLS

(Ordinary Least Square) semua nilai estimasi kecuali 0 unbias.

2) Dua frase grid search dari fungsi likelihood digunakan untuk mengevaluasi

nilai dari yang nilainya berkisar antara 0 dan 1.

3) Nilai diseleksi melalui tahap kedua digunakan sebagai nilai awal dalam prosedur iteratif untuk mengestimasi nilai akhir maximum-likelihood.

4.4.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier (SF)

Bentuk fungsi produksi yang digunakan adalah Stochastic Frontier Cobb-Douglas. Bentuk ini dipilih karena sederhana dan dapat digunakan dalam bentuk fungsi linear. Dugaan yang akan digunakan dalam penelitian ini, dirumuskan dalam persamaan berikut :

Y = 0 L 1 B β TKγ N 4 P 5 K 6 Pc 7 Pd 8 Pk 9 evi – ui

Untuk memudahkan pendugaan ditransformasikan dalam bentuk logaritma natural dengan basis e (log natural) sebagai berikut :

Y = ln 0+ 1 ln L + 2 ln B+ 3 ln TK + 4 ln N + 5 ln P + 6 ln K + 7

(46)

43 Dimana :

Y = Produksi total bawang merah (kg) L = Luas lahan (ha)

B = Penggunaan bibit (kg)

TK = Tenaga kerja (HOK)

N = Jumlah pupuk N (kg) P = Jumlah pupuk P (kg)

K = Jumlah pupuk K (kg)

Pc = Pestisida cair (lt)

Pd = Pestisida padat (kg) Pk = Pupuk kandang (kg)

0 = Intersep

i = Koefisien parameter penduga, dimana i = 1,β,γ,…1β

0 < i < 1 (Diminishing return)

vi - ui = Error term (ui = efek inefisiensi teknis dalam model)

Variabel sisa (random shock) vi merupakan variabel acak yang bebas dan secara identik terdistribusi normal (independent-identically distributed/ i.i.d) dengan rataan (mathematical expectation/ ui) bernilai nol dan ragamnya konstan,

σy2 (N(0, σv2)), serta bebas dari ui. Variabel kesalahan (residual solow) ui adalah variabel yang menggambarkan efek inefisiensi di dalam produksi, diasumsikan terdistribusi secara bebas diantara setiap observasi dan nilai vi. Variabel acak ui tidak boleh bernilai negatif dan distribusinya normal dengan nilai distibusi N(µi,

σu2) (Coelli dan Battese 1998).

4.4.2. Analisis Efisiensi dan Inefisiensi Teknis

Metode efek inefisiensi teknis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model efek inefisiensi teknis yang dikembangkan oleh Battese dan Coelli (1998). Variabel ui yang digunakan untuk mengukur efek inefisiensi teknis, diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan N(µi, σ2).

Faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis petani bawang merah dalam penelitian ini adalah umur (Z1), pengalaman (Z2), pendidikan (Z3), dummy status kepemilikan lahan (Z4), dummy penyuluhan (Z5), dan dummy varietas bibit (Z6). Dengan demikian, parameter distribusi (µi) efek inefisiensi teknis dalam penelitian ini adalah :

Gambar

Tabel 2.  Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2006-2010 (Ton)
Gambar 2. Penggunaan Komoditi Bawang Merah untuk Konsumsi Menurut
Tabel 3.  Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Merah Nasional Tahun
Tabel 4.  Produksi Nasional Bawang Merah per Provinsi Tahun 2006-2010 (Ton)
+7

Referensi

Dokumen terkait

verifik*si dan kiaritikasi terhadap Fenewera&amp; s$t$k pkerjaa* dimaks*4 decrga* ini Faniria rt?irrg$Eirlrrrrkarr Fvrneiang l,*Iaiig cnt*k

Penelitian dan pengembangan ini menghasilkan media pembelajaran berbantuan komputer pada materi garis dan sudut. Model media pembelajaran ini adalah model tutorial,

Hasil analisis Apraisal terhadap penokohan Santiago yang difokuskan pada penggambaran perasaan, perilaku, dan kondisi fisik menunjukkan bahwa aspek Afek ( Affect )

Perlakuan terhadap sinyal suara jantung abnormal sama dengan jantung normal, suara jantung berkemungkinan memiliki 16 hingga 24 cuplikan, penulis hanya mengambil 16 dari 24

Upaya untuk meningkatkan pertumbuhan bibit kakao yang berkualitas untuk ditanam di perkebunan kakao dapat dilakukan dengan aplikasi bakteri endofit yang berpotensi sebagai

server di dalam jaringan internet dengan cara menghabiskan sumber ( resource ) yang dimiliki oleh komputer tersebut sampai komputer tersebut tidak dapat

1) Motivasi petani yang menjadi anggota koperasi pada koperasiBaitul Maal Wat Tamil (BMT) di Desa SrikatonKecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu Tengah dalam

SUSCEPTIBILITY EVALUATION AND MAPPING OF CHINA’S LANDSLIDE DISASTER BASED ON MULTI-TEMPORAL GROUND AND REMOTE SENSINGa.