KAJIAN PENGGUNAAN AMELIORAN PUPUK KANDANG
TERHADAP EMISI GAS RUMAH KACA
PADA TANAH YANG DIAMBIL DARI BEBERAPA
AGROEKOSISTEM KEBUN KARET DI LAHAN GAMBUT
ADI PRADIPTA
P052100061
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajian
Penggunaan Amelioran Pupuk Kandang terhadap Emisi Gas Rumah Kaca pada
Tanah yang Diambil dari Beberapa Agroekosistem Kebun Karet di Lahan Gambut
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2012
ABSTRACT
ADI PRADIPTA. Study of Using Ameliorant of Animal Manure on Greenhouse Gases Emission at Soils Taken from Some Rubber Estates Agroecosystem in Peatland. Supervised by HARIYADI and DEDI NURSYAMSI.
Amelioration of peatlands is one of effort to increase land productivity that can be applied with consider environmental aspects. The purpose of this research was to determine Greenhouse Gases (GHG) emissions at soils taken from some rubber agroecosystem in peatlands and effect of ameliorant on GHG emissions of the soils. The experiment was conducted at laboratory of Balingtan on June to August 2012. The experiment used PVC pipe that filled with peat soils taken from Jabiren, Central Kalimantan. This experiment consisted of two factors: soil taken from some type of rubber agroecosystems and chicken manure. Type of rubber agroecosystem consisted of L1 (peat land planted with rubber and shrubs), L2 (peatland planted with rubber and pineapple) and L3 (peatland with shrubs). The chicken manure consisted of A1 (0) and A2 (4 tonnes/ha). The results showed that the highest CO2 and CH4 emission were found out at soils from rubber and shrubs
land which amounted 2,444.38 and 4.70 kg/ha/year, while the highest N2O
emission was found out at soils from rubber and pineapple (ICCTF) which amounted 66.53 kg/ha/year. The chicken manure of 4 tonnes/ha produced the highest emissions of CO2 and N2O at soils taken from rubber and shrub land
which amounted 2,634.66 and 67.13 kg/ha/year respectively, but tended to decrease CH4 emissions at all soils. The highest decrease of GHG emissions
(Global Warming Potential) was found out at ameliorant treatment at soils from rubber and pineapple (ICCTF) land use which amounted 12.82%. The use of ameliorant at soils from rubber shrubs land decreased the GHG emission of 7.50%. The economical analysis result showed that at value of 17% discount, farming pineapple intercropped with rubber at peatland of Jabiren Village, Jabiren Raya Subdistrict, Pulang Pisau District, South Kalimantan Province was suitable. The NPV value was Rp. 21,371,789,-, Nett B/C values was 3.84 and IRR value was 39.29%. According to the variables, the farming pineapple at rubber estate of peatland gave more beneficial economy to farmers.
RINGKASAN
ADI PRADIPTA. Kajian Penggunaan Amelioran Pupuk Kandang terhadap Emisi
Gas Rumah Kaca pada Tanah yang Diambil dari Beberapa Agroekosistem Kebun
Karet di Lahan Gambut. Dibimbing oleh HARIYADI dan DEDI NURSYAMSI.
Ameliorasi lahan gambut merupakan salah satu upaya yang dapat
diterapkan untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan tetap memperhatikan
aspek lingkungan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui besarnya emisi gas
rumah kaca (GRK) pada tanah yang diambil dari beberapa agroekosistem kebun
karet di lahan gambut dan pengaruh pemberian amelioran terhadap emisi GRK
tanah tersebut. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balingtan pada bulan Juni
2012 hingga Agustus 2012.
Percobaan menggunakan pipa PVC yang diisi tanah gambut yang diambil
dari Jabiren, Kalimantan Tengah. Percobaan terdiri atas dua faktor, yaitu tanah
yang diambil dari 3 tipe penggunaan lahan dan pupuk kandang ayam. Tipe
penggunaan lahan terdiri atas L1 (lahan gambut yang ditanami karet dan semak),
L2 (Lahan gambut yang ditanami karet dan nanas) dan L3 (lahan gambut yang
ditumbuhi semak). Dosis pupuk kandang ayam terdiri atas A1 (0 ton/ha) dan A2
(4 ton/ha). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok, split plot
dengan tiga ulangan. Pengambilan contoh gas dilakukan setiap minggu sekali
dengan metode close chamber technique yang diadopsi dari IAEA (1993). Analisis
CO2 dan N2O menggunakan GC yang dilengkapi dengan detektor TCD dan ECD,
sedangkan CH4 menggunakan GC yang dilengkapi detektor FID.
Hasil penelitian selama periode inkubasi 50 hari menunjukkan bahwa
tanah gambut yang berasal dari penggunaan lahan karet rakyat (karet dan semak
belukar) menghasilkan emisi GRK tertinggi untuk CO2 dan CH4 masing-masing
sebesar 2,444.38 kg/ha/tahun dan 4.70 kg/ha/tahun, sedangkan emisi N2O
tertinggi dihasilkan pada tanah gambut yang diambil dari lahan karet dan nanas
(ICCTF) sebesar 66.53 kg/ha/tahun. Pemberian amelioran berupa pupuk kandang
ayam 4 ton/ha pada tanah gambut dari lahan karet rakyat (karet dan semak
sebesar 2,634.66 kg/ha/tahun dan 67.13 kg/ha/tahun, akan tetapi cenderung
menurunkan emisi CH4 pada tanah dari ketiga tipe penggunaan lahan. Persentase
penurunan emisi tertinggi (Global Warming Potential) terdapat pada perlakuan pemberian amelioran pada tanah gambut dari lahan karet dan nanas (ICCTF) yaitu
sebesar 12.82%, sedangkan pemberian amelioran pada tanah gambut yang diambil
dari lahan yang ditumbuhi semak belukar mampu menekan emisi GRK sebesar
7.50%. Hasil analisis usahatani dan kelayakan finansial menggambarkan bahwa
pada tingkat diskonto 17 persen, pengusahaan nanas sebagai tanaman sela di
perkebunan karet Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang
Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah layak untuk dilanjutkan. Hasil perhitungan
komponen biaya-manfaat secara keseluruhan menunjukkan bahwa nilai NPV
sebesar Rp 21,371,789,- Net B/C sebesar 3.84 dan IRR sebesar 39.29%.
Berdasarkan hal tersebut maka nanas sebagai tanaman sela dapat memberikan
manfaat lebih dalam usahatani karet.
©HAK Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya
a. Pengutipan hanya untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KAJIAN PENGGUNAAN AMELIORAN PUPUK KANDANG
TERHADAP EMISI GAS RUMAH KACA
PADA TANAH YANG DIAMBIL DARI BEBERAPA
AGROEKOSISTEM KEBUN KARET DI LAHAN GAMBUT
ADI PRADIPTA
P052100061
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : Kajian Penggunaan Amelioran Pupuk Kandang terhadap Emisi
Gas Rumah Kaca pada Tanah yang Diambil dari Beberapa
Agroekosistem Kebun Karet di Lahan Gambut
Nama : Adi Pradipta
NRP : P052100061
Mayor : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hariyadi, MS Dr. Ir. Dedi Nursyamsi, M. Agr.
Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberi kekuatan dan hidayah sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan
dengan baik. Penelitian dengan judul Kajian Penggunaan Amelioran Pupuk
Kandang terhadap Emisi Gas Rumah Kaca pada Tanah yang Diambil dari
Beberapa Agroekosistem Kebun Karet di Lahan Gambut ini telah dilaksanakan
dengan baik, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains. Penelitian ini
merupakan rangkaian penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Lingkungan
Pertanian.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing tesis yang
telah memberikan saran dan kritik serta semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan laporan penelitian (tesis) ini. Kepada kedua orang tua yang telah
memberikan dorongan yang tulus baik moril maupun materil, penulis
mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya.
Selama penyusunan tesis ini, banyak pihak yang membantu penulis.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Hariyadi, MS sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Dedi
Nursyamsi, M. Agr sebagai anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan bimbingan serta motivasi dalam penyusunan tesis ini.
2. Dr. Ir. Suwardi, M.Agr yang telah bersedia menjadi dosen penguji.
Terima kasih atas saran, kritik dan masukan yang telah diberikan selama
ujian tesis. Semoga bermanfaat bagi penulis.
3. Seluruh staf dan karyawan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan atas segala bantuan dalam proses perizinan selama masa
studi dan selesainya tesis ini.
4. Kepala Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) yang telah
memberikan izin serta seluruh bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan
penelitian yang saya akan lakukan.
5. Mbak Terry dan Pak Ali Pramono atas kerjasamanya selama penulis
6. Keluarga besar Laboratorium GRK: Pak Jaka, Mbak Rina, Mbak Titi, Mas
Angri, Mbak Lina, Mbak Yuni, Mbak Cici, Mbak Eni, Pak Yarpani, Pak
Yoto, Pak Jumari, Mas Santo atas bantuannya selama penelitian.
7. Pakdhe Murdopo, Pakdhe Dwi, Pakdhe Ruwi, Bude Ika, Anin, dan Asha.
Terima kasih atas doa, dukungan dan kesabaran yang telah diberikan
selama penulis menyelesaikan pendidikan.
8. Nurihidayati, SP. Terima kasih atas doa, bantuan, motivasi yang telah
diberikan selama penulis melakukan penelitian hingga menyusun tesis.
9. Teman-teman seperjuangan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan (PSL) angkatan 2010. Terima kasih atas kebersamaan,
kenangan dan momen yang indah selama kita bersama. Tetap kompak dan
jalin terus silaturahmi kita.
Semoga penelitian yang telah dilakukan dan karya ilmiah ini dapat dapat
bermanfaat dengan baik bagi pihak yang memerlukan.
Bogor, Desember 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 1988 sebagai putra
pertama dari pasangan Adnan Indarto Kandarusman, SH dan Dra. Sapta
Wulandari. Tahun 2000 penulis lulus dari SD Trisula Perwari 1 Jakarta Pusat
kemudian melanjutkan pendidikan di SLTPN 216 Jakarta Pusat hingga selesai
tahun 2003. Selanjutnya penulis menyelesaikan pendidikan tingkat atas pada
tahun 2006 di SMA Negeri 68 Jakarta Pusat. Pendidikan sarjana ditempuh di
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor dan lulus tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan kuliah
pascasarjana di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,
Institut Pertanian Bogor.
Tahun 2009 sampai 2010 penulis menjadi asisten mata kuliah Dasar-dasar
Agronomi dan asisten mata kuliah Ilmu Tanaman Perkebunan. Penulis juga aktif
di berbagai organisasi mahasiswa. Pada tahun 2007/2008 penulis bergabung
dalam Dewan Perwakilan Mahasiswa dan menjabat sebagai staff Komisi
Pengawas BEM. Selanjutnya pada tahun 2008/2009 penulis menjabat sebagai
Ketua Komisi Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa. Prestasi yang pernah
diraih penulis diantaranya yaitu juara I Lomba Kebun mahasiswa IPB pada tahun
2008 dan Juara II Lomba Recycle Things pada Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional
IV pada tahun yang sama serta menjadi Lulusan Terbaik III pada Departemen
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Kerangka Pemikiran ... 4
Perumusan Masalah ... 5
Tujuan ... 5
Manfaat Penelitian... 5
TINJAUAN PUSTAKA ... 6
Proses Pembentukan Gambut ... 6
Klasifikasi Lahan Gambut ... 7
Karakteristik Lahan Gambut ... 9
Karakteristik Fisik ... 9
Karakteristik Kimia ... 10
Potensi Lahan Gambut untuk Pertanian ... 12
Emisi Karbon Dioksida pada Tanah Gambut ... 13
Emisi Metan pada Tanah Gambut ... 14
Emisi Nitro Oksida pada Tanah Gambut ... 16
Ameliorasi ... 17
Analisis Usahatani ... 18
BAHAN DAN METODE ... 20
Tempat dan Waktu Penelitian ... 20
Sumber Data ... 20
Variabel yang Diamati ... 20
Bahan dan Alat ... 21
Pelaksanaan Percobaan ... 23
Pengamatan ... 30
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
Rekapitulasi F-hitung, Peluang, dan Koefisien Keragaman ... 34
Emisi Gas Rumah Kaca pada Setiap Tipe Penggunaan Lahan dan Pemberian Bahan Amelioran ... 35
Emisi Gas CO2 ... 35
Emisi Gas CH4 ... 38
Emisi Gas N2O ... 42
Potensial Redoks Tanah dan pH Tanah ... 47
Potensial Redoks Tanah ... 47
Kemasaman (pH) Tanah ... 48
Global Warming Potential (GWP) ... 50
Analisis Usahatani ... 52
KESIMPULAN DAN SARAN ... 57
Kesimpulan ... 57
Saran ... 58
DATFAR PUSTAKA ... 59
LAMPIRAN ... 67
DAFTAR TABEL
Teks
Nomor Halaman
1. Rekapitulasi F-Hitung, Peluang dan Koefisien Keragaman dari
Faktor Tipe Penggunaan Lahan ... 34
2. Nilai Rataan Emisi N2O (kg/ha/tahun) pada Tanah Gambut
dengan Perlakuan Pemberian Amelioran dan Penggunaan Lahan .. 45
3. Total emisi GRK Tanah Gambut pada Setiap Perlakuan
Penggunaan Lahan dan Pemberian Amelioran selama satu tahun ... 51
4. Global warming potensial Tanah Gambut pada setiap perlakuan
Penggunaan Lahan dan Pemberian Amelioran selama satu tahun ... 52
5. Hasil analisis usaha tani beberapa agroekosistem tanaman karet di
Jabiren, Kalimantan Tengah ... 55
Lampiran
1. Kebutuhan Gambut Pada Masing-masing Tipe penggunaan Lahan 68
2. Kebutuhan Pupuk Kandang Ayam ... 68
3. Analisis Tanah Awal Pada Tiga Penggunaan Lahan ... 68
4. Analisis Tanah Akhir Pada Tiga Penggunaan Lahan tanpa
Penggunaan Amelioran ... 69
5. Analisis Tanah Akhir Pada Tiga Penggunaan Lahan dengan
Penggunaan Amelioran ... 69
6. Sidik Ragam Emisi CO2 Pada Tiga Tipe Penggunaan Lahan dan
Dosis Pemberian Amelioran ... 71
7. Sidik Ragam Emisi CH4 Pada Tiga Tipe Penggunaan Lahan dan
Dosis Pemberian Amelioran ... 71
8. Sidik Ragam Emisi N2O Pada Tiga Tipe Penggunaan Lahan dan
Dosis Pemberian Amelioran ... 71
9. Data Kemasaman Tanah (pH Tanah) pada Masing-masing Tipe
Penggunaan Lahan Gambut dan Pemberian Amelioran ... 72
10. Data Potensial Redoks Tanah (Eh) pada Masing-masing Tipe
11. Data Emisi CO2 Selama Satu Tahun pada Setiap Tipe
Penggunaan Lahan ... 73
12. Data Emisi CO2 Selama Satu Tahun pada Setiap Tipe Penggunaan Lahan dengan Penambahan Amelioran 4 Ton/Ha ... 73
13. Data Emisi CH4 Selama Satu Tahun pada Setiap Tipe Penggunaan Lahan ... 74
14. Data Emisi CH4 Selama Satu Tahun pada Setiap Tipe Penggunaan Lahan dengan Penambahan Amelioran 4 Ton/Ha ... 74
15. Data Emisi N2O Selama Satu Tahun pada Setiap Tipe Penggunaan Lahan ... 75
16. Data Emisi N2O Selama Satu Tahun pada Setiap Tipe Penggunaan Lahan dengan Penambahan Amelioran 4 Ton/Ha ... 75
17. Biaya TBM-1 Karet Per Hektar ... 76
18. Biaya TBM-2 Karet Per Hektar ... 77
19. Biaya TBM-3 Karet Per Hektar ... 77
20. Biaya TBM-4 Karet Per Hektar ... 78
21. Biaya TBM-5 Karet Per Hektar ... 78
22. Biaya TBM-6 Karet Per Hektar ... 79
23. Biaya TM-1 Karet Per Hektar ... 79
24. Biaya TM-2 sampai TM-10 Karet Per Hektar ... 80
25. Produksi Rata-rata Karet (Kg/Ha) ... 80
26. Cash Flow Tunai Pengusahaan Kebun Karet ... 81
27. Cash Flow Tunai Pengusahaan Kebun Karet Tanpa Pupuk Kandang ... 82
28. Biaya TBM-1 Nanas Per Hektar ... 83
29. Biaya TM-1 dan TM-2 Nanas Per Hektar ... 83
30. Biaya TM-3 Nanas Per Hektar ... 84
31. Produksi Rata-rata Nanas (Kg/Ha) ... 84
32. Cash Flow Tunai Pengusahaan Nanas Sebagai Tanaman Sela di Kebun Karet ... 85
33. Cash Flow Tunai Pengusahaan Nanas Sebagai Tanaman Sela di Kebun Karet Tanpa Pemberian Pupuk Kandang ... 86
DAFTAR GAMBAR
Teks
Nomor Halaman
1. Pembentukan Gambut, gambut ombrogen diatas gambut topogen . 7
2. Bagian – bagian gas chamber ... 21
3. Tahapan Pengukuran Emisi Gambut ... 28
4. Bagan Alir Kegiatan Penelitian ... 29
5. Kondisi Penggunaan Lahan Gambut ... 33
6. Fluks CO2 pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran di Tanah Gambut dari Penggunaan Lahan yang Berbeda ... 36
7. Pengaruh Pemberian Amelioran Terhadap Fluks CO2 pada Tanah Gambut dari Setiap Penggunaan Lahan yang Berbeda ... 37
8. Fluks Kumulatif CO2 pada Tanah Gambut dengan Pemberian Bahan Amelioran dan Penggunaan Lahan yang Berbeda ... 38
9. Fluks CH4 pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran di Tanah Gambut dari Penggunaan Lahan yang Berbeda ... 40
10. Pengaruh Pemberian Amelioran Terhadap Fluks CH4 pada Tanah Gambut dari Setiap Penggunaan Lahan yang Berbeda ... 40
11. Fluks Kumulatif CH4 pada Tanah Gambut dengan Pemberian Bahan Amelioran dan Penggunaan Lahan yang Berbeda ... 41
12. Fluks N2O pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran di Tanah Gambut dari Penggunaan Lahan yang Berbeda ... 43
13. Pengaruh Pemberian Amelioran Terhadap Fluks N2Opada Tanah Gambut dari Setiap Penggunaan Lahan Gambut ... 43
14. Fluks Kumulatif N2O pada Tanah Gambut dengan Pemberian Bahan Amelioran dan Penggunaan Lahan yang Berbeda ... 44
15. Pola Interaksi Pemberian Bahan Amelioran dengan Penggunaan Lahan yang Berbeda terhadap Emisi N2O Tanah Gambut ... 46
16. Perubahan Eh tanah selama periode inkubasi tanah gambut yang berasal dari penggunaan lahan berbeda dan penambahan amelioran. ... 48
17. Perubahan pH tanah selama periode inkubasi tanah gambut yang berasal dari penggunaan lahan berbeda dan penambahan amelioran.. ... 49
Lampiran
Nomor Halaman
1. Analisis Kandungan Pupuk Kandang Ayam ... 70
2. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Tanah Gambut ... 110
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan
dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya
pemanasan global merupakan suatu fenomena yang dipicu akibat kegiatan
manusia yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan
deforestasi/devegetasi. Kegiatan tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan
konsentrasi GRK (gas rumah kaca) di atmosfer seperti karbondioksida (CO2),
metana (CH4), nitrous oksida (N2O), Hidroflourokarbon (HFCs), Perflourokarbon
(PFCs) dan Sulphur heksafluorida (SF6).
Gas CO2 memiliki kontribusi terbesar terhadap terbentuknya efek rumah
kaca. Jika dihitung dari konsentrasinya di atmosfer, ditambah dengan kemampuan
memanaskannya, maka CO2 memberikan sumbangan sekitar 55%, metana 17%,
nitrous oksida 7% dan gas lain termasuk chlorofluocarbon dan gas-gas lain asal
industri besar 21% (Arrouays et al., 2002). Gas rumah kaca memiliki sifat meneruskan radiasi gelombang pendek cahaya matahari tetapi menyerap dan
memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan
bumi yang bersifat panas sehingga suhu atmosfer bumi semakin meningkat
(Murdiyarso, 2003).
Akibat adanya fenomena pemanasan global tersebut, maka wakil
pemerintah berbagai negara membentuk panel dan melakukan suatu konvensi
tingkat dunia yang lebih dikenal dengan UNFCCC (United Nations Framework
Covention on Climate Change). Pada tahun 2004 Indonesia ikut meratifikasi Protokol Kyoto yang dituangkan dalam Undang-Undang RI No 17 Tahun 2004
tentang Pengesahan Kyoto Protocol atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perubahan iklim. Protokol tersebut mengatur mekanisme
untuk memenuhi komitmen atau mencapai target penurunan emisi oleh
negara-negara maju, diantaranya melalui mekanisme Emission Trading (ET), Joint
Implementation (JI) dan Clean Development Mechanism (CDM).
Salah satu kegiatan antropogenik yang diduga turut menyumbang emisi
Indonesia merupakan produsen karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand.
Berdasarkan data Departemen Pertanian RI (2012) luas areal kebun karet di
Indonesia pada tahun 2010 seluas 3,445,121 ha dengan total produksi sebesar
2,591,935 ton. Luasan perkebunan karet tersebut terdistribusi dalam perkebunan
rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta yang tersebar di
wilayah Indonesia. Berdasarkan distribusi tersebut, 85% kepemilikan lahan karet
di Indonesia didominasi oleh perkebunan karet rakyat. Diperkirakan luasan
perkebunan karet akan semakin meningkat diakibatkan peningkatan kebutuhan
karet serta harga yang relatif tinggi dan stabil.
Lahan gambut saat ini merupakan lahan marjinal yang potensial untuk
perluasan areal pertanian (ekstensifikasi pertanian), tak terkecuali untuk
pertanaman karet. Menurut Rieley et al. (1996), sebagian besar lahan gambut tropik berada di Kawasan Asia Tenggara (26,216 juta ha) dan Indonesia
merupakan pemilik lahan gambut terluas. Berdasarkan data BB Litbang SDLP
(2011), Indonesia memiliki lahan gambut sekitar 14.91 juta ha atau sekitar 9%
dari total luas daratan Indonesia. Lahan gambut tersebut tersebar terutama di
pulau-pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua. Tidak seluruh lahan
gambut tersebut layak dikembangkan menjadi areal pertanian, dari 14.91 juta ha
lahan gambut yang ada hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian.
Lahan gambut dalam keadaan hutan alami berfungsi sebagai penambat
(sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer, walaupun proses penembatan berjalan sangat pelan sebesar 0-3 mm
gambut per tahun (Parish et al., 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO2
ha-1 tahun-1 (Agus, 2009). Pengelolaan lahan gambut secara tepat akan
memberikan kontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan dan ketahanan pangan
nasional. Namun jika salah dalam pemanfaatan lahan gambut itu sendiri dapat
menyebabkan kerusakan ekosistem dan meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon tersimpan
pada lahan gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 dan lahan gambut mudah
mengalami penurunan permukaan (subsiden). Subsiden merupakan resultante dari
proses oksidasi dan pemadatan (compaction) sehingga akan memacu proses
cenderung meningkat (Inubushi et al., 2003), walaupun terjadi penurunan emisi CH4 (Klemedtssons et al., 1997).
Mengingat cadangan karbon yang besar pada lahan gambut sedangkan
ekosistemnya sangat rapuh maka apabila tidak dikelola dengan baik akan
menyebabkan kehilangan karbon yang banyak, terutama dalam bentuk gas metan
(CH4) dan karbondioksida (CO2) ke atmosfer sehingga semakin meningkatkan
emisi gas rumah kaca. Dalam rangka meminimalisir dampak dari aktivitas
pengelolaan lahan gambut tropika maka perlu dilakukan tindakan nyata untuk
mendorong penurunan laju kehilangan atau emisi dari lahan gambut, salah
satunya adalah dengan pemberian amelioran. Oleh sebab itu penting untuk diteliti
dampak pemberian amelioran terhadap emisi gas rumah kaca pada beberapa tipe
Kerangka Pemikiran
Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) memiliki pengaruh yang
sangat besar terhadap terjadinya pemanasan global. Salah satu komponen gas
rumah kaca yang paling dominan di atmosfer adalah CO2, CH4 dan N2O. Jika
dibiarkan, konsentrasi gas rumah kaca tersebut dapat mengganggu pola pertanian
yang dapat berdampak langsung terhadap gangguan ketahanan pangan.
Meningkatnya konsentarasi GRK disebabkan sejalan dengan meningkatnya
kegiatan antropogenik, tidak terkecuali kegiatan pertanian. Menurut Klemedtsson
et al (1997), aktivitas pertanian menyumbang sebesar 25% dari total emisi CO2
yang berasal dari sumber antropogenik.
Aktivitas pertanian di Indonesia erat kaitannya dengan pemanfaatan lahan
gambut. Saat ini lahan gambut merupakan salah satu lahan marjinal yang
pemanfaatannya semakin meningkat sebagai konsekuensi semakin bertambahnya
jumlah penduduk dan berkurangnya lahan pertanian produktif (mengalami
penurunan luas areal, karena beralih fungsi menjadi kawasan industri, pemukiman
dan sarana fisik lainnya). Gambut dapat bertindak sebagai sumber (source) dan
penambat/rosot (sink) CO2 di atmosfer. Permasalahan yang terjadi adalah apabila
pengelolaan lahan gambut tersebut tidak tepat, akan dapat menyebabkan
kerusakan ekosistem dan meningkatnya emisi gas rumah kaca.
Apabila lahan gambut dibuka untuk kegiatan pertanian, praktek-praktek
manajemen seperti drainase dan penambahan unsur hara dapat meningkatkan
emisi CO2 (Rinnan et al., 2003). Mengingat cadangan karbon yang besar pada
lahan gambut sedangkan ekosistemnya sangat rapuh, maka apabila tidak dikelola
dengan baik akan menyebabkan kehilangan karbon yang banyak, terutama dalam
bentuk gas metan (CH4) dan karbon dioksida (CO2) ke atmosfer sehingga semakin
meningkatkan emisi gas rumah kaca. Dengan demikian, kajian mendalam tentang
faktor-faktor di lapangan terutama pemberian amelioran terhadap lahan gambut
pada berbagai penggunaan lahan dan kedalaman gambut sangat diperlukan untuk
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan beberapa permasalahan
yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu:
a. Bagaimana Emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan pada beberapa
agroekosistem kebun karet di lahan gambut?
b. Bagaimana pengaruh pemberian amelioran terhadap emisi gas rumah kaca
pada beberapa agroekosistem kebun karet di lahan gambut?
c. Seberapa besar nilai kelayakan usahatani terhadap pemberian amelioran
pada beberapa agroekosistem kebun karet di lahan gambut?
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalis emisi gas rumah kaca pada tanah gambut yang diambil dari
beberapa agroekosistem kebun karet di lahan gambut.
2. Menganalisis pengaruh pemberian amelioran terhadap emisi gas rumah kaca
pada tanah tersebut.
3. Menghitung kelayakan usahatani terhadap pemberian amelioran pada
beberapa agroekosistem kebun karet di lahan gambut.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang emisi
gas rumah kaca pada lahan gambut terkait penggunaan amelioran. Kedepannya
diharapkan dapat diperoleh teknologi mitigasi gas rumah kaca pada lahan gambut
dengan penggunaan amelioran yang dapat meningkatkan produksi pertanaman
dan mengurangi emisi GRK dari lahan gambut. Selain itu diharapkan juga dapat
memberikan informasi terhadap pelaku usaha pertanian lahan gambut mengenai
TINJAUAN PUSTAKA
Proses Pembentukan Gambut
Lahan gambut merupakan daerah dengan akumulasi bahan organik yang
sebagian lapuk, dengan kadar abu sama dengan atau kurang dari 35%, kedalaman
gambut sama dengan atau lebih dari 50 cm, dan kandungan karbon organik
(berdasarkan berat) minimal 12% (Ditjenbun, 2012). Lahan gambut banyak
dijumpai di daerah rawa belakang (black swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Bahan organik penyusun gambut berasal dari sisa-sisa
tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum melapuk
sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Timbunan sisa
tanaman semakin lama semakin bertambah karena proses dekomposisi terhambat
oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan
rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan
tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan
proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses
pedogenik (Hardjowigeno, 1986). Pembentukan gambut di Indonesia diduga
terjadi 6.800-4.200 tahun yang lalu (Andriesse, 1994). Pembentukan gambut
membutuhkan waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh dengan kecepatan
rata-rata antara 0-3 mm per tahun (Agus dan Subiska, 2008).
Proses pembentukan gambut diawali dari danau dangkal yang ditumbuhi
oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah, kemudian tanaman yang mati dan
melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan
transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa
tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari
danau dangkal dan secara perlahan membentuk lapisan gambut sehingga danau
tersebut menjadi penuh. Akibat proses pembentukannya disebabkan oleh
topografi daerah cekungan maka bagian gambut yang tumbuh mengisi danau
Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh
tanah mineral, sehingga tanaman tertentu dapat tumbuh subur diatasnya. Hasil
pelapukan tanaman itu juga membentuk lapisan gambut baru yang semakin lama
membentuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung. Gambut yang
tumbuh diatas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen. Gambut ini
lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir
tidak ada pengkayaan mineral (Gambar 1). Spesies tanaman hutan yang dapat
tumbuh dengan baik pada lapisan ini, seperti Koompassia malaccensis, Durio carinatus, Jackia ornate, Tetramerista glabra, Shorea sp., Eugenia sp., E. acuminatissima, E. clavamyrtus, E. claviflora, Dyera sp.., dan Licuala acutifida.
Gambar 1. Pembentukan gambut, gambut ombrogen diatas gambut topogen (Agus dan Subiska, 2008 mengutip van de Meene, 1982)
Klasifikasi Gambut
Gambut diklasifikasikan berdasarkan berbagai karakteristik diantaranya
yaitu berdasarkan tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi
pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan
menjadi:
Gambut saprik (matang) yaitu gambut yang sudah melapuk lanjut dan
bahan asalnya tidak dikenali, berwarna cokelat tua sampai hiitam dan bila
Gambut hemik (setengah matang) yaitu gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna cokelat dan bila diremas
bahan seratnya 15-75%.
Gambut fibrik (mentah) yaitu gambut yang belum melapuk, bahan asalnya
masih bisa dikenali, berwarna cokelat dan bila diremas > 75% seratnya
masih tersisa.
Bahan fibrik biasanya ditemukan di lapisan bawah dalam profil gambut.
Keadaan kering biasanya dimulai dari bagian atas gambut, sedangkan bagian
bawah masih dalam keadaan tergenang. Oleh sebab itu bahan fibrik biasanya
ditemukan pada lapisan bawah bahan hemik dan saprik. Gambut fibrik banyak
mengandung serat yang dipertahankan dalam bentuk asalnya dan dapat
diidentifikasi asal botaninya. Gambut yang berumur lebih tua banyak didominasi
oleh gambut saprik yaitu mengandung lebih banyak humus. Bahan humus
merupakan produk akhir proses humifikasi yang terjadi di dalam gambut dan
bersifat stabil.
Kedalaman gambut sangat bervariasi hingga lebih dari 10 meter (Hooijer
et al, 2006). Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi Gambut dangkal (50-100 cm), Gambut sedang (100-200 cm), Gambut dalam (200-300
cm), dan Gambut sangat dalam (> 300 cm). Tingkat kesuburan gambut ditentukan
oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan
ketebalan lapisan gambut. Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan
menjadi:
Gambut eutrofik, merupakan gambut yang kaya akan bahan mineral dan
basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya
adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut.
Gambut mesotrofik, merupakan gambut yang agak subur karena memiliki
kandungan mineral dan basa-basa sedang.
Gambut oligotofik, merupakan gambut yang tidak subur karena miskin
mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh
dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik.
Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi
gambut yang terbentuk dekat pantai dan mendapat pengayaan mineral dari air
laut. Gambut pedalaman merupakan gambut yang terbentuk di daerah yang tidak
dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan. Gambut transisi
adalah gambut yang terbentuk diantara kedua wilayah tersebut yang secara tidak
langsung dipengaruhi air pasang laut.
Karakteristik Lahan Gambut
Karakteristik Fisik
Karakterisasi fisik yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian
diantaranya yaitu kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irreversible drying).
Kadar air gambut erat kaitannya dengan berat isi (BD). Menurut Mutalib
et al. (1991) kadar air gambut berkisar antara 100-1.300% dari berat keringnya. Kadar air yang tinggi pada gambut menyebabkan berat isi (BD) menjadi rendah,
gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Nugroho et al,
1997; Widjaja-Adhi, 1997).
Berat isi (BD) pada lapisan gambut memiliki nilai yang bervariasi
tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut lapisan atas memiliki BD antara
0.1 sampai 0.2 g cm-3, sedangkan gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan
bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g cm-3. Akan tetapi menurut Tie and Lim (1991) gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD >
0.2 g cm-3 karena adanya pengaruh tanah mineral.
Lahan gambut yang didrainase akan mengalami penyusutan volume,
sehingga permukaan tanah akan menurun (subsiden). Selain itu menurut Agus dan
Subiska (2008) subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi.
Laju subsiden dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut didrainase bisa
mencapai 50 cm. Laju subsiden pada tahun berikutnya berkisar antara 2-6 cm per
tahun tergantung dari kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase.
Gambut memiliki sifat mengering tidak balik (irreversible drying).
Gambut yang telah mengering, dengan kadar air < 100% (berdasarkan berat),
sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan
mudah terbakar dalam keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Apabila gambut
terbakar akan sulit dipadamkan karena api/bara api masih menyala di bawah
permukaan.
Karakteristik Kimia
Komposisi utama bahan gambut adalah lignin, selulosa dan hemiselulosa
(Wershaw et al., 1996). Kandungan lignin yang tinggi pada gambut bersal dari vegetasi kayu-kayuan. Lignin merupakan sumber utama asam organik aromatik,
terutama asam-asam fenolat. Asam-asam organik aromatik dicirikan jumlah gugus
fungsi fenolat-OH yang tinggi, sedangkan asam-asam organik alifatik dicirikan
oleh jumlah gugus fungsi COOH yang tinggi. Jumlah dan jenis asam-asam fenolat
ditentukan oleh bahan asal gambut.
Karakteristik kimia gambut sangat ditentukan oleh kandungan mineral,
ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat
dekomposisi gambut. Gambut memiliki kandungan bahan organik yang sangat
tinggi namun kandungan unsur N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, Mo dan Bo yang rendah
(Balitra, 1988 dalam Akbar dan Priyanto, 2008). Agus dan Subiska (2008)
menambahkan, kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari
5% dan sisanya merupakan bahan organik. Fraksi organik terdiri atas
senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa-senyawa
lignin, selulosa, hemiselulosa, lignin, tannin, resin, suberin, protein dan senyawa
lainnya.
Tingkat kemasaman pada lahan gambut umumnya relatif tinggi dengan
kisaran pH 3-5. Namun demikian pH gambut cukup ditingkatkan sampai pH 5.
Hal ini dikarenakan gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Selain itu
peningkatan pH sampai tidak lebih dari 5 dapat memperlambat laju dekomposisi
gambut.
Kandungan kation basa pada gambut oligotropik seperti Ca, Mg, K dan Na
umumnya sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut,
basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin
kapasitas tukar kation (KTK) yang tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa
(KB) menjadi sangat rendah. Berdasarkan laporan Tim Institut Pertanian Bogor
(1974) tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah
mempunyai nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur
Riau (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976). Walaupun KTK gambut tinggi, namun
daya pegangnya rendah terhadap kation yang dapat dipertukarkan sehingga
apabila dilakukan pemupukan harus dilakukan beberapa kali (split application) dengan dosis rendah agar hara tidak banyak tercuci.
Lahan gambut secara alamiah memiliki tingkat kesuburan rendah yang
salah satunya disebabkan kandungan beragam asam-asam organik yang sebagian
bersifat racun oleh tanaman. Asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari
tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Pengaruh
buruk asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman dapat
dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang banyak engandung kation
polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kation-kation tersebut membentuk ikatan
koordinasi dengan ligan organik membentuk senyawa komplek yang disebut
dengan Khelat. Oleh karena itu untuk mengurangi sifat racun dari asam organik
dan untuk menambah kesuburan tanah dapat digunakan amelioran yang
mengandung kation polivalen (Sabiham et al., 1997; Saragih, 1996).
Kandungan unsur mikro pada gambut sangat rendah dan diikat cukup kuat
(khelat) oleh bahan organik (Rachim, 1995) sehingga tidak tersedia bagi tanaman.
Kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang
tidak dapat diserap tanaman.
Kandungan lignin gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) lebih
tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah yang memiliki iklim
sedang. Hal ini dikarenakan gambut di Indonesia terbentuk dari pohon-pohonan
(Drissen dan Suhardjo, 1976). Dalam keadaan anaerob lignin yang mengalami
proses degradasi akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenbolat
(Kononova, 1968). Asam-asam fenolat dan derivatifnya bersifat meracuni
tanaman (fitotoksik) dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat.
Potensi Lahan Gambut untuk Pertanian
Meningkatnya kebutuhan pangan dan bahan baku industri bagi penduduk
yang populasinya makin meningkat memaksa pemerintah untuk memperluas areal
budidaya pertanian. Lahan gambut yang saat ini menempati 9-11% dari luasan
daratan di Indonesia merupakan lahan marginal untuk pertanian (kesuburan
rendah, pH sangat masam dan drainase yang jelek) pun menjadi sasaran untuk
melakukan budidaya berbagai komoditas pertanian. Berdasarkan data Departemen
Pertanian RI (2012) luas areal tanaman padi di Provinsi Kalimantan Tengah
mengalami peningkatan pada tahun 2005-2009 yaitu 203,595 ha menjadi 214,480
ha, sementara itu luas areal perkebunan karet meningkat dai 256,596 Ha menjadi
264,947 Ha.
Berdasakan arahan Departemen Pertanian (BB Litbang SDLP, 2008),
lahan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan seperti padi,
jagung, kedelai dan ubikayu disarankan pada gambut dangkal (< 100 cm). Pada
tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit, lahan gambut dengan ketebalan
antara 1.4-2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian lahan S3), sedangkan
gambut yang tipis termasuk agak sesuai (kelas kesesuaian S2) dan gambut dengan
ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman tahunan kecuali ada
sisipan/pengkayaan lapisan tanah atau lumpur mineral (Djainudin et al., 2003).
Data BB Litbang SDLP (2008) menunjukkan bahwa saat ini luas lahan
gambut di Indonesia adalah 14,905,574 Ha. Jika diklasifikasikan menurut
kedalaman gambutnya, maka sebaran gambut di Indonesia yaitu 5.2 juta Ha D1
(gambut dangkal), 3.92 juta Ha D2 (gambut sedang), 2.8 juta Ha D3 (gambut
dalam) dan 3 juta Ha D4 (gambut sangat dalam).
Pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya pertanian tidak luput dari
permasalahan aspek lingkungan. Lahan gambut memiliki sifat yang sangat rapuh
(fragile) sehingga mudah terjadi degradasi apabila mengalami gangguan terhadap ekosistemnya. Apabila lahan gambut terusik akan menyebabkan air tanah menjadi
sangat cepat turun dan gambut mengalami kekeringan serta mengkerut
(subsidence). Penurunan air pada gambut dapat mendorong laju dekomposisi
karena itu, pengembangan lahan gambut untuk perluasan areal pertanian harus
dengan pengelolaan yang tepat demi mencegah terjadinya degradasi.
Pemerintah pun saat ini telah mengatur penggunaan lahan gambut untuk
kegiatan pertanian diantaranya melalui Peraturan Menteri No. 14 Tahun 2009
tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit.
Dalam Peraturan Menteri tersebut diatur bahwa pengusahaan budidaya kelapa
sawit dapat dilakukan di lahan gambut tetapi harus memenuhi persyaratan yang
dapat menjamin kelestarian fungsi lahan gambut. Persyaratan tersebut antara lain:
(a) diusahakan hanya pada lahan masyarakat dan kawasan budidaya, (b) ketebalan
lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter, (c) substratum tanah mineral di bawah
gambut bukan pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam; (d) tingkat kematangan
gambut saprik (matang) atau hemik (setengah matang); dan (e) tingkat kesuburan
gambut tergolong eutropik.
Emisi Karbon Dioksida pada Lahan Gambut
Lahan gambut memiliki peranan yang sangat besar sebagai pengendali
iklim global karena dapat menyimpan unsur C (karbon) dalam jumlah yang besar.
Lahan gambut menyimpan karbon yang jumlahnya jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan tanah mineral. CO2 akan diikat oleh biomass tanaman selama proses
fotosintesis kemudian disimpan dalam tanah sebagai karbon organik melalui
perubahan residu tanaman menjadi bahan organik tanah setelah residu tersebut
dikembalikan ke tanah, sehingga tanah gambut dapat bertindak sebagai rosot
(sink) CO2 atmosfer (Rinnan et al., 2003). Menurut Joosten (2007) lahan gambut
menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari
seluruh karbon atmosfer, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa
(massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon
semua hutan di seluruh dunia.
Lahan gambut apabila dalam kondisi alami berkontribusi dalam menjaga
kestabilan lingkungan, tetapi sebaliknya dapat menjadi sumber berbagai masalah
lingkungan apabila kestabilan lahan gambut terganggu. Perubahan fungsi gambut
pembakaran, dalam hal ini degradasi lahan gambut yang menghasilkan emisi gas
CO2 dan (2) drainase lahan gambut yang menyebabkan dekomposisi aerobik.
Menurut Kirk (2004), proses dekomposisi terdiri atas 2 tahap, yaitu (1)
pembentukan asam organik, asetik, propinat dan butirat, ditambah gugus alfatik
dan phenolic, (2) konversi asam-asam organik tersebut menjadi gas.
Pada kondisi aerob hasil dekomposisi berupa CO2, NO3-, SO42- dan residu
resisten. Hasil dekomposisi pada kondisi anaerob berupa CO2, H2, CH4, N2, NH4,
H2S, bagian terdekomposisi dan residu humik. Selama kebutuhan oksidator
anorganik tercukupi, CO2 merupakan hasil akhir utama dalam dekomposisi bahan
organik. Namun setelah oksidator anorganik habis terpakai, digantikan oleh
proses metanogen sehingga proporsi CH4 meningkat seperti digambarkan reaksi
sebagai berikut (Kirk, 2004):
SOM0 + a H2O SOM1 + B CH3COOH + C H2 + d CO2
CH3COOH CH4 + CO2
H2 + CO2 CH4 + H2O
Transformasi karbon dari gambut ditandai dengan terbentuknya
asam-asam organik, CH4 dan CO2 sebagai hasil akhir (Alexander, 1977; Hartley dan
Whitehead, 1984). Asam-asam organik seperti vanilat, vanillin, ferulat dan asam
lainnya merupakan sumber karbon yang akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme
dan kemudian dilepas ke udara, sementara cincin karbonnya membentuk asam
protokatekuat yang pada proses degradasi selanjutnya cincin karbon ini akan
terbuka (Alexander, 1977). Asam protokatekuat jarang diidentifikasi dan
jumlahnya relatif sedikit (Hrtley dan Whitehead, 1984).
Emisi Metan pada Tanah Gambut
Metan merupakan salah satu komponen gas rumah kaca yang memiliki
kontribusi terbesar kedua setelah CO2 yaitu sekitar 17% (walaupun dikalikan
dengan global warming potentialnya setinggi 23 kali CO2). Menurut Shine et al.
(1995), metan mempunyai kemampuan menyerap sinar infra merah yang
dipancarkan oleh permukaan bumi sebesar 21 kali dibandingkan dengan CO2.
Pada tanah gambut emisi metan diakibatkan oleh metabolisme bakteri metanogen.
oleh keberadaan bahan dasar, populasi dan aktivitas mikrob penghasil CH4 dan
lingkungannya.
Gambut dapat memproduksi dan mengkonsumsi metana secara simultan
dibawah kondisi lingkungan tertentu. Menurut Sylvia et al. (1998), total emisi CH4 diperkirakan sebesar 410 TG CH4-C th-1. Emisi langsung dari lahan basah
sekitar 32% dari total emisi ke atmosfer. Di lahan basah, mikrob pengoksidasi
CH4 dapat mengkonsumsi lebih dari 90% CH4 di daerah anaerobic sebelum
mencapai atmosfer, sehingga oksidasi metana di lahan basah merupakan satu dari
faktor terbesar yang mempengaruhi siklus global metana. Metanogen dalam tanah
memproduksi metana melalui dua jalan utama, yaitu:
CO2+ H2 CH4 (reduksi CO2)
CH3COOH CH4 + CO2 (fermentasi asetat)
Pada kondisi anaerobik, dekomposisi bahan organik sangat lambat dan
karbon dilepaskan sebagai CH4. Gas CH4 terbentuk dari asam organik atau gas C
oleh bakteri metanogen, kemudian CH4 ditranslokasikan ke zona aerasi dari bahan
gambut yang memungkinkan untuk teroksidasi dan dilepaskan sebagai CO2.
Menurut Roulet dan Moore (1993), emisi CH4 menurun dengan meningkatnya
kedalaman muka air tanah. Tingginya emisi CH4 berasosiasi dengan jaringan
pembuluh vascular dan dalamnya perakaran tanaman yang meningkatkan efisiensi
pergerakan CH4 dari lapisan anaerobic ke atmosfer.
Emisi CH4 dari lahan gambut tergantung pada produksi dan konsumsi CH4
dan kemampuan transport gas ke permukaan oleh tanah dan tanaman. Metana
yang dihasilkan oleh aktivitas metanogen ini akan dilepaskan dari zona reduktif
ke atmosfer melalui tiga proses yaitu difusi, ebulisi, dan sistem jaringan tanaman
(Redeker et al., 2003; Rinnan et al., 2003). Ebulisi merupakan suatu proses lepasnya bentuk gelembung gas dari pelarut yang volatile dari dalam larutan ke
permukaan tanah dan ke atmosfer. Bentuk gelembung gas terbentuk secara
spontan jika larutan menjadi jenuh dengan pelarut yang volatile. Pembentukan
gelembung gas CH4 dalam tanah melebihi CO2 walaupun kedua gas tersebut
dalam proporsi yang sama, karena CH4 20 kali lebih volatile daripada CO2 (Kirk,
Emisi Dinitrogen Oksida pada Lahan Gambut
Gas N2O mempunyai peranan yang penting dalam pemanasan global.
Proses pembentukan gas N2O melalui dua tahap yaitu, nitrifikasi dan denitrifikasi.
Proses nitrifikasi terjadi pada kondisi aerobic dan terdapat dalam dua langkah
(Haynes, 1986). Langkah pertama adalah oksidasi NH4- menjadi NO2-, reaksinya
adalah sebagai berikut:
NH4- + ½ O2 NO2- + 2 H+ + H2O + energi
Bakteri yang berperan dalam reaksi ini adalah bakteri nitrosomonas. Langkah berikutnya adalah oksidasi NO2- menjadi NO3- dengan reaksi sebagai
berikut:
NO2- + ½ O2 NO3- + energi
Bakteri yang berperan adalah nitrobacter. Hasil dari nitrifikasi berupa NO3
akan diubah menjadi N2O dalam proses denitrifikasi. Denitrifikasi merupakan
langkah terakhir dalam siklus N dan terjadi pada kondisi anaerobic. Transformasi
N melalui proses denitrifikasi sangat dipengaruhi oleh pH. Pada kondisi netral
N2O direduksi menjadi hasil akhir berupa N2 oleh enzim nitous oxide yang
tereduksi atau enzim nitrogenase (Hardy dan Knight, 1966; Stouthamer, 1988). Pada kondisi masam maupun denitrifikasi oleh denitrifier yang tidak mempunyai
enzim N2O reduktase akan mengemisikan N2O.
Berdasarkan kontribusinya dalam pemanasan global, gas N2O merupakan
komponen gas rumah kaca yang berkontribusi cukup kecil di atmosfer yaitu
sekitar 7% (Arrouays et al., 2002). Namun di atmosfer masa hidup dari N2O
sangat panjang yaitu sekitar 150 tahun. Besarnya fluks N2O dari lahan gambut
terutama yang digunakan untuk budidaya pertanian dipengaruhi oleh teknik
budidayanya. Perlakuan penambahan bahan organik, pengelolaan air dan
pemberian pupuk nitrogen akan berinteraksi mempengaruhi besarnya emisi yang
Ameliorasi
Amelioran merupakan bahan yang dapat ditambahkan ke tanah sehingga
dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan kondisi fisik dan kimia.
Amelioran dapat berupa bahan organik maupun anorganik. Kriteria amelioran
yang baik bagi lahan gambut diantaranya memiliki kejenuhan basa (KB) yang
tinggi, mampu meningkatkan derajar pH secara nyata, memiliki kandungan unsur
hara yang lengkap, mampu memperbaiki struktur tanah, dan mampu mengusir
senyawa beracun terutama asam-asam organik.
Lahan gambut di Indonesia pada umumnya bereaksi masam, memiliki
tingkat kesuburan yang rendah, dan miskin unsur hara. Unsur hara mikro lahan
gambut umumnya terdapat dalam jumlah yang sangat rendah, sehingga
menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman. Menurut Andriesse (1988), gugus
karboksilat dan fenolat pada tapak pertukaran kation gambut dapat membentuk
ikatan kompleks dengan unsur mikro sehingga menjadi tidak tersedia bagi
tanaman. Pemberian bahan amelioran seperti pupuk organik, tanah mineral, zeolit,
dolomit, fosfat alam, pupuk kandang, kapur pertanian, abu sekam, purun tikus
(Eleocharis dulcis) dapat meningkatkan pH tanah dan basa-basa tanah (Subiska et
al., 1997; Mario, 2002; Salampak, 1999).
Setiap aspek kimia logam polivalen dalam tanah berhubungan dengan
pembentukan kompleks logam organik (Stevenson, 1982). Pembentukan senyawa
kompleks merupakan suatu reaksi antara ion logam dan ligan melalui pasangan
elektron. Melalui ikatan logam dan asam organik memungkinkan beberapa kation
dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan reaktivitas asam-asam fenolat, sehingga
tidak membahayakan tanaman.
Pemberian Fe3+ dengan dosis 5% dari jerapan maksimum mampu
menekan konsentrasi asam ferulat hingga 90% pada gambut Jambi (Saragih,
1996), sementara pada gambut Kalimantan Tengah konsentrasi asam kumarat
mampu ditekan sampai 30% dari konsentrasi awal (Salampak, 1999).
Pembentukan kompleks antara molekul organik dengan ion logam dengan
lebih dari satu ikatan akan meningkatkan kestabilan kompleks tersebut sehingga
proses degradasi yang melepaskan C-organik ke udara dapat ditekan. Pemberian
karbon sebesar 22.94% CO2 dan 23.01% CH4 pada gambut Jambi, 27.67% CO2
dan 32.97% CH4 pada gambut Kalimantan Tengah (Sulistyono, 2000).
Bahan-bahan yang kaya akan kation polivalen seperti tanah mineral dan
terak baja (electric furnace slag) dapat digunakan untuk meningkatkan kestabilan
bahan gambut dan mengatasi bahaya asam-asam organik. Pemberian amelioran
bahan tanah mineral dengan kandungan Fe2O3 sebesar 22.06% telah digunakan
Salampak (1999) untuk ameliorasi gambut Kalimantan Tengah. Ameliorasi
dengan bahan tanah mineral sampai 7.5% erapan maksimum Fe menekan
konsentrasi asam-asam fenolat. Selanjutnya dikatakan pemberian amelioran
meningkatkan hara dalam tanah dan kadar hara dalam tanaman serta
meningkatkan bobot kering tanaman dan bobot gabah isi.
Penambahan bahan organik sebagai amelioran ditengarai dapat
meningkatkan emisi N2O dari tanah (Arcara et al., 1999; Friedel et al., 1999;
Mogge et al., 1999; Pidello et al., 1996; Whalen, 2000). Bahan organik yang mempunyai kandungan karbon tinggi serta mudah termineralisasi seperti pupuk
kandang diduga mampu meningkatkan biomas mikroba sehingga dapat
meningkatkan emisi N2O dari tanah pertanian. Karbon yang mudah
termineralisasi meliputi karbon larut dalam air maupun asam lemak mudah
menguap (volatile fatty acid / VFA) serta karbon antron reaktif (anthrone-reactive carbon).
Analisis Usahatani
Pada dasarnya analisis usahatani adalah upaya untuk menilai manfaat
(Output) dan biaya (cost) yang tercakup dalam suatu proses usahatani sehingga sumberdaya yang ada dapat dialokasikan secara efektif dan efisien. Menurut
Gitingger (2008), biaya merupakan segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan
sedangkan manfaat adalah segala sesuatu yang membantu tujuan. Kadariah et al.
(1990) menyebutkan bahwa tujuan analisis usahatani adalah untuk (1) mengetahui
tingkat keuntungan yang dicapai dalam suatu usahatani, (2) menghindari
pemborosan pemakaian sumberdaya, (3) melakukan penilaian terhadap peluang
menambahkan bahwa analisis usahatani dimaksudkan untuk mencari informasi
tentang keragaan suatu usahatani yang dilihat dari berbagai aspek.
Indikator yang dapat dipakai untuk menilai kelayakan usahatani
diantaranya dengan menggunakan B/C ratio. Rasio manfaat terhadap biaya (B/C
ratio) merupakan perbandingan antara pendapatan bersih dengan biaya total yang
dikeluarkan. Suatu usahatani dapat dikatakan menguntungkan apabila nilai B/C
ratio lebih besar dari satu.
Suatu usahatani dapat dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat
mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dengan sebaik-baiknya; dan
dikatakan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan
keluaran (output) yang melebihi masukan (input). Indikator yang dapat dipakai untuk suatu ukuran efisiensi adalah penerimaan untuk tiap rupiah yang
dikeluarkan yaitu revenue cost rasio (R/C rasio). Rasio penerimaan terhadap biaya (R/C ratio) merupakan perbandingan antara penerimaan dengan biaya total
yang dikeluarkan. Suatu usaha tani dikatakan efisien dan menguntungkan apabila
nilai R/C rasionya lebih dari satu (R/C > 1), semakin tinggi nilai R/C rasio berarti
penerimaan yang diperoleh semakin besar. Apabila nilai R/C rasio lebih kecil dari
satu (R/C < 1) maka suatu usahatani dikatakan tidak menguntungkan dan tidak
efisien jika dilakukan, sedangkan apabila R/C = 1 artinya usahatani tersebut tidak
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Gas Rumah Kaca dan Laboratorium
Terpadu Balingtan Jakenan Pati, Jawa Tengah. Lokasi penelitian terletak pada
ketinggian 10-25 meter di atas permukaan laut. Secara geografis daerah penelitian
terletak pada koordiat 111040’ Bujur Timur dan 6045’ Lintang Selatan. Contoh gambut diambil dari Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang
Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan yaitu
dimulai bulan Maret sampai dengan Agustus 2012.
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung di
lapang dan hasil analisis laboratorium, sedangkan data sekunder yang digunakan
merupakan data hasil penelitian sebelumnya terkait dengan emisi GRK pada lahan
gambut dengan perlakuan dan kondisi tutupan lahan yang berbeda.
Variabel yang Diamati
Pengamatan serta pengukuran variabel dilakukan untuk mencapai output
penelitian yang telah ditentukan. Variabel yang diamati dalam penelitian ini
terdiri atas variabel utama dan variabel ekonomi.
Variabel utama:
Perlakuan percobaan terdiri atas 2 faktor. Faktor I adalah tanah yang diambil
dari tipe penggunaan lahan dan Faktor II adalah dosis amelioran (pupuk kandang
ayam).
Faktor I adalah tanah yang diambil dari tiga tipe penggunaan lahan, yaitu :
L1 : lahan gambut yang ditanami tanaman karet dan ditumbuhi semak
L2 : lahan gambut yang ditanami karet dan nanas (ICCTF)
Faktor II adalah dosis pupuk kandang ayam
A1 : 0 ton/ha (kontrol)
A2 : 4 ton/ha
Variabel Ekonomi:
Variabel ekonomi terdiri atas data-data yang diperlukan untuk menghitung
usaha tani penggunaan amelioran (pupuk kandang) pada beberapa agroekosistem
kebun karet di tanah gambut. Data ini diperoleh melalui wawancara langsung
dengan para petani karet yang berada di sekitar lokasi penelitian.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas contoh gambut
yang berasal dari tiga tipe penggunaan lahan. Bahan lain yang digunakan dalam
penelitian ini diantaranya gas pembawa N2 dan H2, gas standar CO2, CH4 dan N2O,
amelioran (pukan ayam) dan peta penggunaan lahan skala 1:50.000. Alat yang
digunakan meliputi bor gambut, syringe, kromatografi gas, timbangan, meteran,
elektroda, pH/EH meter, gelas piala 250 mL, gas chamber (paralon, tutup paralon,
[image:39.595.112.518.473.675.2]sungkup, selang dan septum), GPS dan kamera digital.
Gambar 2. Bagian – bagian gas chamber
Termometer
Septum
Tutup paralon dan penampung air
Syringe
Metode Penelitian
Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak (RKLT) Split Plot dengan 2 faktor perlakuan. Faktor I adalah
tipe penggunaan lahan dan Faktor II adalah pupuk kandang ayam. Kombinasi
perlakuan terdiri atas 3 tipe penggunaan lahan dan 2 taraf dosis pupuk kandang
ayam. Terdapat 3 ulangan pada percobaan ini sehingga keseluruhan percobaan
terdiri atas 18 satuan percobaan. Tata letak perlakuan saat percobaan disajikan
pada Gambar Lampiran 1. Untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan yang
dilakukan terhadap peubah respon yang diamati dilakukan analisis ragam (uji-F).
Model aditif linear yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yijk= µ + i + j + ij + k + ()jk + ijk
Yijk = Respon pengamatan pada kelompok ke-i di lokasi ke-j dengan
pemberian amelioran ke-k
µ = Rataan umum
i = Pengaruh aditif kelompok ke-i
j = Pengaruh aditif dari tipe penggunaan lahan ke-j
ij = Pengaruh galat pada ulangan ke-i di tipe penggunaan lahan ke-j
k = Pengaruh aditif dari pemberian amelioran ke-k
()jk = Pengaruh interaksi pemberian amelioran ke-k pada tipe penggunaan
lahan ke-j
ijk = Pengaruh galat kelompok ke-i pada tipe penggunaan lahan ke-j dengan
pemberian amelioran ke-k
Data pengamatan diuji dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA).
Jika terdapat perbedaan diantara perlakuan yang diuji berdasarkan uji F-hitung
pada taraf 5% maka dilakukan uji lanjut dengan Uji DMRT (Duncan’s Multiple
Range Test) pada taraf 5% (Gomez dan Gomez, 1995). Analisis statistika ini
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak yang tersedia pada SAS/Stat.
Pelaksanaan Percobaan
Persiapan
Tahapan dalam kegiatan persiapan di lapangan yang dilakukan sebelum
kegiatan penelitian dimulai terhadap plot gambut terdiri atas beberapa tahapan
penting sebagai berikut:
1. Orientasi, dilakukan untuk mendapatkan informasi lokasi penelitian dan
tipe penggunaan lahan.
2. Penetapan plot/training area di lapangan yang mewakili kedalaman
gambut.
3. Penentuan posisi titik sampel penelitian menggunakan GPS.
Penentuan Titik Sampel
Pembagian plot dilakukan berdasarkan tipe penggunaan lahan yaitu pada
lahan gambut yang ditanami tanaman karet dan ditumbuhi semak, lahan gambut
yang ditanammi karet dan nanas (ICCTF) serta lahan gambut yang ditumbuhi
semak. Penentuan titik pengambilan sampel dilakukan secara diagonal pada
masing-masing tutupan lahan.
Penentuan Tingkat Kematangan Gambut
Tingkat kematangan gambut dalam kunci taksonomi tanah (Soil Survey
Staff 1999) dapat dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi dari bahan (serat)
tanaman asalnya. Untuk mempermudah penciriannya di lapangan, penetapan
tingkat kematangan gambut dilakukan dengan mengambil segenggam gambut
kemudian diperas dengan telapak tangan secara perlahan-lahan dan
memperhatikan serat-serat yang tertinggal di dalam telapak tangan. Tingkat
kematangan gambut ditentukan berdasarkan ciri-ciri berikut ini, yaitu:
Gambut fibrik (mentah) merupakan gambut yang belum melapuk,
bahan aslinya masih bisa dikenali dan berwarna cokelat. Apabila
setelah dilakukan pemerasan kandungan serat yang tertinggal dalam
tepak tangan adalah tiga perempat bagian atau lebih (> ¾), maka
Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut yang sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali dan memiliki warna cokelat. Apabila
setelah dilakukan pemerasan kandungan serat yang tertinggal dalam
telapak tangan adalah kurang dari tiga perempat sampai seperenam
bagian atau lebih ( < 3/4 - > 1/6 ), maka gambut tersebut digolongkan
ke dalam jenis hemik.
Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan
bahan asalnya tidak dikenali, memiliki warna cokelat tua sampai hitam.
Apabila setelah dilakukan pemerasan kandungan serat yang tertinggal
dalam telapak tangan adalah kurang dari seperenam bagian, maka
gambut tersebut digolongkan ke dalam jenis saprik.
Pengambilan Sampel Gambut
Setelah ditentukan lokasi titik sampling gambut, langkah selanjutnya
adalah pengambilan sampel tanah. Pengambilan sampel gambut dilakukan pada
masing-masing tipe penggunaan lahan. Sampel gambut yang dibutuhkan kurang
lebih sebanyak 1 ton. Sampel gambut kemudian dimasukkan kedalam karung
berukuran 20 kg dan diberi label.
Karung yang digunakan untuk pengambilan sampel gambut sebelumnya
telah dilapisi plastik untuk menjaga kondisi gambut dari gamgguan luar seperti
sinar matahari maupun berkurangnya kadar air. Sampel gambut selanjutnya
diangkut ke Laboratorium Gas Rumah Kaca Balingtan (Pati, Jawa Tengah)
menggunakan jasa ekspedisi.
Analisis Sifat-Sifat Gambut
Pada awal penelitian, gambut dianalisis kematangan, BD, pH (H2O), C, N
(Kjeldahl), P2O5, K2O, Kation, CEC dan KB. Berikut ini sifat-sifat yang dianalisis
Tabel 1. Sifat-sifat gambut yang diamati beserta metode pengukurannya
No Sifat yang Dianalisis Metode Pengukuran
A.Sifat Fisika Tanah
1. Bobot Isi Gravimetri (Blakemore et al., 1987)
2. Kadar Air Gravimetri (Blakemore et al., 1987)
B.Sifat Kimia Tanah
1.
2.
C Organik
N-total
Pengabuan Kering (Blakemore et al., 1987)
Spektrofotometri (Burt, 2004)
3.
4.
5.
6.
pH H2O (1:5)
P2O5
K2O
KTK
pH meter (Black, 1965)
Spektrofotometri (Horwitz, 2000)
Flamephotometri (Horwitz, 2000)
Perkolasi (Page et al., 1982)
Penentuan kadar air dan bobot isi gambut
Pengambilan contoh tanah dilakukan pada plot penelitian dengan
kedalaman antara 0-60 cm menggunakan bor gambut. Alat ini dapat digunakan
untuk mengambil contoh tanah gambut dalam keadaan hampir tidak terganggu
mulai dari lapisan atas sampai lapisan dasar gambut.
Langkah awal penggunaan bor gambut yaitu dengan menekan bor ke
dalam gambut sampai kedalaman yang diinginkan (60 cm) kemudian bor gambut
diputar searah jarum jam minimal setengah putaran. Setelah terlewati setengah
lingkaran maka tabung pada bor gambut akan terisi dengan gambut dan sayap
pada alat ini akan menutup contoh gambut sehingga tidak keluar dari tabung bor
dan tidak ada penambahan contoh gambut ke dalam bor. Langkah berikutnya
adalah mengambil contoh gambut dan disimpan ke dalam kantong plastik yang
tertutup rapat supaya tidak ada air yang tercecer dan gambut yang diambil tidak
berubah volumenya.
Penentuan berat isi (BD) dan kadar air tanah (KA) dilakukan di
laboratorium menggunakan metode gravimetris. Contoh gambut yang berasal dari
bor gambut diukur berat basahnya berdasarkan volume bor gambut (Vt). Berat
tanah basah (Mt) adalah Ms + Mw , dimana Ms adalah berat tanah dan Mw adalah
kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 1050 C selama 2 x 24 jam sampai dicapai berat kering konstan. Selanjutnya dilakukan pengukuran berat kering
tanah (Ms) + berat cawan (Mc). Perhitungan BI menggunakan rumus:
BI = =
Satuan untuk BI adalah g/cm3 dan satuan untuk kadar air adalah % berat untuk mengindikasikan bahwa kadar air dihitung berdasarkan berat tanah.
Pengukuran kadar air t