PENGARUH PEMBERIAN SILASE DAUN SINGKONG (
Manihot
esculenta
) TERHADAP PENGGUNAAN NUTRIEN PAKAN,
PRODUKSI, DAN KUALITAS SUSU KAMBING
PERANAKAN ETAWAH (PE)
SKRIPSI
NOVICHA SOFRIANI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
i RINGKASAN
Novicha Sofriani. D24063512. 2012. Pengaruh Pemberian Silase Daun Singkong (Manihot esculenta) Terhadap Penggunaan Nutrien Pakan, Produksi, dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah (PE). Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Yeni Widiawati
Produk kambing merupakan produk yang unik terutama pada susu yang dihasilkan. Susu kambing banyak menghasilkan manfaat bagi kesehatan. Di Indonesia, kambing yang menghasilkan susu yang paling utama adalah kambing peranakan etawah. Susu yang dihasilkan bernilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi. Masalah utama dari peternakan kambing perah ini adalah masalah pakan, peternak umumnya tidak punya cukup modal untuk memberikan pakan yang baik, yaitu pakan dengan protein lebih dari 14%. Di sisi lain, Indonesia memliki hasil samping pertanian yang melimpah berupa daun singkong yang merupakan sumber protein, akan tetapi sifat daun singkong yang tidak dapat disimpan dalam jangka waktu lama dan mengandung zat antinutrien membatasi penggunaannya. Salah solusi permasalahan tersebut adalah dengan mengolah daun singkong menjadi silase. Potensi tersebut menjadi dasar perlunya penelitian lebih lanjut tentang manfaat silase daun singkong terhadap penggunaan nutrien pakan, produksi, dan kualitas susu pada ternak kambing perah.
Penelitian ini menggunakan daun singkong (Manihot esculenta) yang berasal dari hasil samping produk tanaman singkong di desa Situ Udik Kecamatan Cibungbulang, Bogor. Daun singkong yang diperoleh kemudian disilase dengan penambahan 5% molases dengan waktu fermentasi minimal empat minggu. Perlakuan penelitian dibagi berdasarkan subtitusi silase daun singkong terhadap konsentrat. Perlakuan pada penelitian ini terdiri atas perlakuan kontrol (CLS-0) diberikan 50% rumput raja dan 50% konsentrat, perlakuan pertama (CLS-1) diberikan 50% rumput gajah, 40% konsentrat, dan 10% silase, serta perlakuan kedua (CLS-2) diberikan 50% rumput gajah, 30% konsentrat, dan 20% silase. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi nutrien dalam ransum (bahan kering, abu, protein kasar, serat kasar dan lemak), kecernaan nutrien ransum (bahan kering, abu, protein kasar, serat kasar dan lemak), produksi susu, dan kualitas susu (berat jenis, bahan kering, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak, dan kadar protein).
ii perbedaan nyata namun memperlihatkan kecenderungan untuk meningkat kadarnya ketika terjadi peningkatan proporsi silase daun singkong pada perlakuan.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah penggantian silase terhadap konsentrat sebanyak 40% (CLS-2) merupakan perlakuan terbaik dalam penelitian ini karena secara nyata (P>0,05) dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, abu, protein dan serat kasar.
ABSTRACT
Effect of Feeding Cassava (Manihot esculenta) Leaf Silage on Nutrients Utilization Milk Production and Milk
Quality of Indonesian Ettawah Goat Sofriani, N, A. Sudarman, and Y. Widiawati
Goat milk has many benefits for human health. In order to increase goat milk production and quality, good quality of feed is required continuously. Cassava leaves (CL) is potential sources of feed containing high nutrient value, but CL known as perishable material so that it is not available for the whole year. Therefore it must be preserved. The aim of this experiment is to elaborate the level of CL silage in replacing concentrate for ettawa dairy goat. Parameters measured were nutrients utilization, milk production, and milk quality. This experiment was conducted from March 2011 to January 2012 at Research Institute of Animal Production, Ciawi, Bogor. Three levels of silage were used as treatments to substitute concentrate namely CLS-0 (0% silage), CLS-1 (10% silage), and CLS-2 (20% silage). Digestibility of dry matter, crude protein, crude fiber, and ash of CLS-2 was significantly (P< 0,05) higher than those of CLS-0 and CLS-1, but fat digestibility was not significantly different. There was no significant difference between treatments in milk production and milk quality. It is concluded that CLS-2 is the best treatment to enhance nutrient utilization and hence dairy goat performance.
PENGARUH PEMBERIAN SILASE DAUN SINGKONG (
Manihot
esculenta
) TERHADAP PENGGUNAAN NUTRIEN PAKAN,
PRODUKSI, DAN KUALITAS SUSU KAMBING
PERANAKAN ETAWAH (PE)
NOVICHA SOFRIANI D24063512
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 7 November 1989 di Medan, Sumatera Utara. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Syofnir Ridwan Honein dan Ibu Sofia.
Penulis mengawali pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Negeri Laantula Jaya, Sulawesi Tengah pada tahun 1995 dan diselesaikan pada tahun 2001 di Sekolah Dasar Negeri Filial Betung, Kalimantan Selatan. Pendidikan lanjutan pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun
2003 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Islam Sabilal Muhtadin, Banjarmasin. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Banjarmasin pada tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun 2006.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam tidak lupa disampaikan pada Rasulullah saw yang menjadi teladan untuk menjalani hidup. Skripsi yang akan dijabarkan ini berjudul “Pengaruh Pemberian Silase Daun Singkong (Manihot esculenta) Terhadap Penggunaan Nutrien Pakan, Produksi, dan Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah (PE)”
Kambing peranakan etawah merupakan jenis ternak yang potensial untuk dikembangkan. Jenis kambing ini merupakan ternak dwiguna, yakni mampu memproduksi daging dan susu yang bernilai gizi tinggi bagi manusia. Di Indonesia, jenis utama kambing yang dipelihara untuk menghasilkan susu adalah kambing peranakan etawah. Hasil produksi susu dari kambing peranakan etawah memiliki nilai ekonomis yang cukup potensial. Masalah utama dari peternakan kambing perah ini adalah masalah pakan, peternak umumnya mengeluarkan cukup modal untuk memberikan pakan yang baik, yaitu pakan dengan protein lebih dari 14%. Di sisi lain, Indonesia memliki hasil samping pertanian yang melimpah berupa daun singkong yang merupakan sumber protein, akan tetapi sifat daun singkong yang tidak dapat disimpan dalam jangka waktu lama dan mengandung zat antinutrien membatasi penggunaannya. Salah satu solusi permasalahan tersebut adalah dengan mengolah daun singkong menjadi silase. Potensi tersebut menjadi dasar perlunya penelitian lebih lanjut tentang manfaat silase daun singkong terhadap ternak kambing perah.
Ucapan terima kasih dihaturkan kepada seluruh pihak yang telah berperan dalam menyelesaikan skripsi ini. Besar harapan penulis, skripsi ini menjadi salah satu sumbangan untuk meningkatkan keilmuan peternakan dan dapat diterapkan di masyarakat luas.
Bogor, September 2012
DAFTAR ISI
Potensi Daun Singkong (Manihot esculenta) Sebagai Pakan Ternak ... 3
Pencernaan dan Metabolisme Karbohidrat ... 11
ix
Kandang dan Peralatan ... 21
Pakan ... 21
Pengujian Komponen Susu ... 22
Prosedur ... 22
Pembuatan Silase ... 22
Penerapan Perlakuan ... 23
Koleksi Feses ... 23
Prosedur Pengukuran Peubah Penelitian ... 23
Konsumsi Bahan Kering ... 23
Kecernaan Bahan Kering ... 24
Produksi Susu ... 24
Kualitas Susu ... 25
Rancangan dan Analisis Data ... 26
Rancangan……… 26
Analisis Statistik……….. . 27
Peubah yang Diamati ... 27
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27
Konsumsi Nutrien Pakan ... 28
Kecernaan Nutrien Pakan ... 30
Bahan Kering ... 30
Protein ... 30
Lemak ... 32
Serat Kasar ... 32
Abu ... 33
Produksi Susu ... 34
Kualitas Susu ... 35
Bahan Kering ... 35
Lemak ... 35
Protein ... 36
Bahan Kering Tanpa Lemak (Solid Nonfat) ... 36
Berat Jenis ... 37
KESIMPULAN DAN SARAN ... 38
Kesimpulan ... 38
Saran ... 38
UCAPAN TERIMAKASIH ... 39
DAFTAR PUSTAKA ... 40
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kinerja Produksi Kambing Peranakan Etawah ... 9
2. Kebutuhan Nutrien Kambing ... 10
3. Perbandingan Komposisi Susu Kambing, Domba, dan Sapi…. ... 16
4. Komposisi Bahan Pakan pada Konsentrat……… 22
5. Bahan Pakan yang Digunakan………. ... 22
6. Komposisi Nutrien pada Pakan Tiap Perlakuan……… 22
7. Konsumsi Nutrien Pakan oleh Ternak pada Masing-masing Perlakuan………... 28
8. Rataan Konsumsi Tiap Bahan Makanan pada Tiap Perlakuan……. 29
9. Kecernaan Bahan Kering dan Nutrien dari Tiap Perlakuan ... 30
10. Rataan Produksi Susu dan Produksi Susu Terkoreksi Lemak 4% ... 34
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. (a) Kambing PE Betina (b) Kambing PE Jantan ... 9 2. Alat Pencernaan Kambing ... 11 3. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak
Ruminansia………. 12 4. Proses Metabolisme Protein di dalam Rumen Ternak
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT
Konsumsi Bahan Kering……….... 49
2. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Konsumsi Protein……….. 50
3. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Konsumsi Lemak ... 51
4. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Konsumsi Serat Kasar……… 52
5. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Konsumsi Abu……… 53
6. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Bahan Kering………... 54
7. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Protein…. 55
8. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Lemak ... 56
9. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Serat Kasar ... 57
10. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Kecernaan Abu ... 58
11. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Bahan Kering Susu ... 59
12. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Lemak Susu ... 60
13. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Protein Susu ... 61
14. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Bahan Kering Tanpa Lemak………... 62
15. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Berat Jenis.. ... . 63
16. Hasil Sidik Ragam dan Uji Lanjut BNT Produksi Susu. ... . 64
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kambing merupakan ruminansia kecil yang dapat dimanfaatkan untuk
memproduksi daging, susu, bulu, dan kulit di berbagai belahan dunia. Habitat
kambing bervariasi mulai dari iklim subtropis sampai iklim kering sehingga
penyebaran bangsa kambing merata di seluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan kambing untuk beradaptasi di lingkungan ekstrim dibandingkan dengan
ternak lain, salah satunya adalah mampu mengubah pakan rendah nutrien menjadi
sumber protein yang bernilai (Silanikove, 2000).
Produk kambing merupakan produk yang unik, terutama pada susu yang
dihasilkan oleh kambing. Susu kambing telah dikenal oleh sebagian besar
masyarakat di Indonesia sebagai salah satu sumber protein hewani yang memiliki
banyak manfaat. Komponen susu kambing yang rendah laktosa membuat susu
kambing dapat dikonsumsi sebagai pengganti susu sapi oleh penderita laktosa
intoleran. Menurut penelitian Barrionuevo et al. (2002) susu kambing juga mampu
mengatasi gangguan penyerapan zat besi dan kromium dibandingkan susu sapi dan
domba pada tikus percobaan sehingga menghindarkan terjadinya anemia. Keunikan
dari susu kambing tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan akan
penyediaan susu kambing di masyarakat.
Di Indonesia, susu kambing umumnya dihasilkan oleh kambing peranakan
etawah yang merupakan hasil kawin silang antara kambing etawah dari India dengan
kambing kacang asli Indonesia. Kambing peranakan etawah juga dianggap sebagai
penghasil daging yang baik sehingga peternak yang memelihara kambing jenis ini
bisa mendapatkan dua keuntungan sekaligus.
Susu kambing yang dihasilkan oleh kambing peranakan etawah ini memiliki
nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi, harga susu kambing
saat ini berkisar antara Rp 20.000-Rp 100.000 per liter. Umumnya permasalahan
yang terjadi pada pemeliharaan kambing adalah masalah rendahnya kualitas nutrien
pakan yang diberikan oleh peternak terutama pada kandungan protein dalam ransum.
Pemberian pakan yang seadanya disebabkan pakan berkualitas baik dengan protein
2 untuk pembelian pakan berkualitas baik. Hal ini membutuhkan alternatif solusi guna
mengatasi permasalahan tersebut.
Singkong adalah salah satu tanaman yang hampir tumbuh di seluruh wilayah
Indonesia. Tanaman singkong merupakan tanaman produktif yang umbinya
dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat, sedangkan daun singkong dikenal sebagai
sumber makanan bagi manusia dan ternak tegantung pada varietasnya. Pada pakan
ternak, daun singkong digunakan sebagai sumber protein potensial dan tersedia di
berbagai daerah Indonesia.
Pemberian daun singkong tersebut memiliki keterbatasan karena kandungan
antinutrien pada daun singkong berupa HCN dan tanin. HCN memiliki efek racun
pada ternak jika diberikan melebihi batas toleransi. Hal ini membutuhkan pengolahan
lebih lanjut agar daun singkong dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pakan
ternak. Salah satu pengolahan yang dapat menurunkan kadar HCN dan tanin pada
daun singkong adalah melalui proses ensilase. Berdasarkan penelitian Man dan
Wiktorson (2002) silase daun singkong akan mengalami penurunan HCN 68% dan
tanin 25% setelah disimpan selama 2 bulan.
Keuntungan lain dari proses ini adalah daun singkong menjadi awet dan
tersedia sepanjang tahun serta meningkatkan kecernaan pakan pada ternak. Besarnya
potensi daun singkong ini bisa menjadi alternatif solusi permasalahan pakan yang
terjadi di peternak. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai
dampak daun singkong pada ternak kambing, terutama pada jenis kambing perah
yang permintaan produknya meningkat saat ini.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur dan menganalisis pengaruh
pemberian silase daun singkong untuk mensubstitusi konsentrat terhadap
penggunaan nutrien pakan, produksi susu dan kualitas susu. Adapun manfaat dari
penelitian ini, yaitu memberikan informasi kepada masyarakat dan akademisi tentang
sumber pakan yang kaya nutrien dan tersedia sepanjang waktu bagi masyarakat
TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Daun Singkong Sebagai Pakan Ternak
Singkong memiliki nama latin yang diterima secara internasional, yaitu
Manihot esculenta dengan sinonim yang biasa dikenal sebagai Manihot utilissima
(ITIS, 2012). Singkong merupakan tanaman pertanian yang sangat produktif. Pada
tahun 2009, produksi singkong mencapai 22 juta ton (Departemen Pertanian, 2010).
Singkong terdiri atas 45% bagian umbi, 35% bagian batang, dan 20% bagian daun.
Singkong dimanfaatkan sebagai pangan sumber karbohidrat oleh manusia dan
industri yang menghasilkan pati. Singkong dikenal sebagai tanaman yang merusak
kesuburan tanah karena kemampuannya untuk memanfaatkan unsur hara tanah
secara besar-besaran. Namun, ketika singkong tumbuh di lingkungan pertanian yang
terintegrasi dengan peternakan, singkong dapat memanfaatkan sumber nutrien dari
kotoran ternak menjadi unsur hara yang bernilai (Preston, 2002).
Daun singkong merupakan sumber hijauan yang potensial untuk ternak. Daun
singkong bisa dimanfaatkan melalui defoliasi sitematis setelah umbi singkong
dipanen (Fasae et al., 2006). Daun singkong memiliki nilai nutrien yang tinggi untuk
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kemudian, biaya produksi daun singkong
tergolong murah, dan daun singkong yang diproduksi tidak termanfaatkan serta tidak
berkompetisi dengan umbinya yang merupakan produk komersial utama dari
tanaman singkong (Wanapat et al., 2000). Namun, hal yang menjadi pembatas
penggunaannya adalah adanya komponen antinutrisi dan substansi toksik bagi ternak
yang berupa HCN. Substansi tersebut mengganggu kecernaan dan konsumsi nutrien,
dan bersifat racun untuk pemberian yang melebihi jumlah yang ditoleransi.
Daun Singkong Sebagai Suplemen Pakan
Daun singkong memiliki kandungan protein yang tinggi, yaitu sebesar >20%
(AFRIS, 2007) dan untuk daun singkong muda (Pucuk) mengandung protein sebesar
21-24% (Sokerya dan Preston, 2003), dan sejak tahun 1970 daun singkong telah
dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Eggum, 1970). Daun singkong juga dilaporkan
menjadi sumber mineral Ca,Mg, Fe, Mn, Zn, vitamin A, dan B2 (riboflavin) yang
4 Komponen protein akan menurun berdasarkan umur panen singkong,
semakin tua persentase protein pada daun singkong akan semakin kecil. Hal
sebaliknya terjadi pada persentase komponen serat (Fasae et al., 2009). Komponen
nutrien yang paling baik terjadi pada saat tanaman singkong berumur 4 bulan,
persentase protein mencapai puncaknya, interval defoliasi tiap 2 bulan sekali akan
menambah persentase protein dan meningkatkan rasio protein dan energi (Wanapat,
2008). Namun, terlalu sering didefoliasi akan meningkatkan kadar HCN pada daun
singkong (Fasae et al., 2009)
Antinutrisi Pada Daun Singkong
Asam Sianida (HCN). Kandungan Asam sianida (HCN) dalam daun singkong
merupakan salah satu senyawa pembatas dalam penggunaan daun singkong sebagai
pakan ternak. Interval jumlah kandungan HCN pada daun singkong umumnya
berkisar antara 20 sampai 80 mg per 100 g berat segar daun singkong, atau dari 800
sampai 3.200 mg/kg bahan kering (BK). Komposisi HCN pada daun singkong lebih
tinggi dibandingkan dengan umbi singkong (Ravindran, 1992). Varietas dan tingkat
kematangan adalah faktor utama penyebab variasi dari komposisi sianida (CN) dari
daun singkong (Chhay et al., 2001). Konsumsi HCN tidak bermasalah bagi ternak
ruminansia sampai batas 100 ppm (Tewe, 1994). HCN dapat didetoksifikasi oleh
mikroorganisme di dalam rumen (Preston, 1995). Pada ruminansia kecil, pakan yang
kaya akan sulfur merupakan komponen vital untuk detoksifikasi CN menjadi
tiosianat, yang dikenal juga dengan sulfosianat, tiosianat, dan rhodanit (Onwuka et
al. 1992). Tiosianat, yang merupakan anion SCN- dibentuk di rumen, kemudian dibawa oleh serum darah dan hilang perlahan melalui urin. Oleh sebab itu, persentase
unsur S di dalam pakan kambing dan domba harus mencapai minimal 0.5% sehingga
detoksifikasi CN dapat berjalan optimal (Onwuka et al. 1992). Selain itu, kadar HCN
pada daun singkong dapat diturunkan melalui proses pengolahan pakan dengan
dilayukan di bawah sinar matahari (Gomez et al., 1984), diolah menjadi hay, dan
silase (Man dan Wiktorsson, 1999).
Tanin. Pada daun singkong terdapat bahan aktif berupa tanin terkondensasi atau
dikenal juga dengan proantisianidin. Tanin memiliki manfaat dan kerugian
5
dan kerugian tanin pada ternak seperti spesies ternak, kondisi fisiologis ternak dan
komposisi pakan yang diberikan (Makkar, 2003). Senyawa ini larut dalam air dan
mampu mengendapkan protein. Adanya tanin dan protein akan menghasilkan ikatan
kompleks tanin-protein oleh ikatan hidrogen dalam kondisi pH basa. Kambing dapat
mengkonsumsi tanin terhidrolisasi sebanyak 10 g per hari dan tanin terkondensasi
sebanyak100-150 g per g per hari tanpa adanya tanda-tanda keracunan (Silanikove et
al., 1996).
Kemampuan tanin untuk membentuk kompleks dengan protein berpengaruh
negatif terhadap fermentasi rumen dalam nutrisi ternak ruminansia. Tanin dapat
berikatan dengan dinding sel mikroorganisme rumen dan dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme atau aktivitas enzim (Smith et al., 2005). Tanin juga
dapat berinteraksi dengan protein yang berasal dari pakan dan menurunkan
ketersediaannya bagi mikroorganisme rumen (Tanner et al., 1994). Keberadaan tanin
di sisi lain berdampak positif jika ditambahkan pada pakan yang tinggi akan protein
baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan protein yang berkualitas
tinggi dapat terlindungi oleh tanin dari degradasi mikroorganisme rumen sehingga
lebih tersedia pada saluran pencernaan pasca rumen. Kompleks ikatan tanin-protein
kemudian dapat lepas pada pH rendah di abomasum dan protein dapat didegradasi
oleh enzim pepsin sehingga asam-asam amino yang dikandungnya tersedia bagi
ternak. Hal ini menjadikan tanin sebagai salah satu senyawa untuk memanipulasi
tingkat degradasi protein dalam rumen. Tanin terkondensasi dalam saluran
pencernaan ruminansia bermanfaat untuk meningkatkan daur ulang N di rumen dan
saliva (Reed, 1995). Adanya daur ulang tersebut meningkatkan sintesis protein
mikrobial di dalam rumen (Makkar, 2000).
Silase
Ensilase merupakan teknik penting dalam pengawetan bahan makanan ternak
menjadi hasil akhir yang dikenal dengan silase yang menghasilkan kehilangan
nutrien dalam jumlah kecil (Adesogan, 2006). Proses ensilase juga dapat
menurunkan persentase HCN pada hijauan sebanyak 72,7%. Proses pengawetan
bahan makanan ternak melalui ensilase adalah berdasarkan prinsip proses fermentasi
6 larut air (water soluble carbohydrates) menjadi produk utama asam laktat dalam
kondisi anaerob. Pada kondisi tersebut, asam laktat yang dihasilkan akan
mengakibatkan kondisi asam pada lingkungan anaerob (Adesogan et al., 2007).
Kondisi asam dengan pH <4 dan kondisi anaerob tersebut mengakibatkan silase
dapat disimpan dalam jangka waktu lama tanpa terjadinya proses pembusukan
(Masuko, 1994).
Untuk menghasilkan kualitas silase yang baik, dibutuhkan kisaran kadar air
antara 60-80%. Pada penelitian yang dilakukan Ohmomo et al. (2002) menunjukkan
bahwa pada kadar air 60% dihasilkan 7,8% asam laktat dan 0,1% asam butirat,
sedangkan pada kadar air 80% dihasilkan 4,7% asam laktat dan 1,8 % asam butirat.
Guna menghindari kebusukan akibat kadar air bahan tinggi, dilakukan
pelayuan agar kadar air bahan menurun. Namun pelayuan yang terlalu lama akan
menurunkan kualitas nutrien hijauan yang ditandai dengan tingginya respirasi
tanaman dan tumbuhnya bakteri aerob (Ohmomo et al., 2002).
Pada proses ensilase, kepadatan lingkungan silo (wadah pembuatan silase)
mempengaruhi kualitas silase yang dibuat. Silo yang tidak terisi penuh akan
menyebabkan terciptanya lingkungan asam yang lebih lama bahkan ketika silo
ditutup rapat dalam jangka waktu singkat. Akibatnya, nilai nutrien dari material yang
diproses menjadi silase akan menurun karena adanya aktivitas bakteri aerob dan
respirasi hijauan. Oleh karena itu, kondisi silo yang rapat dan padat dibutuhkan untuk
mempercepat terjadinya lingkungan asam pada silo dan meningkatkan proses
fermentasi oleh bakteri asam laktat (Ohmomo et al., 2002).
Bakteri asam laktat homo-fermentatif Lactobacillus plantarumseperti adalah
bakteri utama penghasil kualitas silase yang baik. Selain itu, keberadaan Lactococci
pada produk silase juga memberikan dampak positif pada pembentukan lingkungan
asam di fase awal pembentukan silase. Guna meningkatkan kualitas silase, banyak
penelitian yang mempelajari penambahan bahan aditif biologis, kimiawi, dan jenis
bahan lainnya (Adesogan et al., 2007).
Keberadaan bakteri asam laktat pada silase memiliki potensi untuk
meningkatkan kesehatan pencernaan pada ternak. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Tahara (1992) pemberian bakteri asam laktat dapat berfungsi sebagai
7 merupakan suplementasi mikroba hidup yang dapat memberikan keuntungan pada
inang dengan meningkatkan keseimbangan mikrobial, dan beberapa jenis bakteri
asam laktat dapat bertindak sebagai bakteri probiotik, seperti Lactobacillus
acidophilus. Oleh karena itu, bakteri asam laktat pada silase dapat berfungsi sebagai
probiotik yang dapat mengatasi terjadinya diare pada ternak.
Molases
Molases adalah salah satu bahan baku pakan hasil samping agroindustri tebu
yang mengandung energi cukup tinggi. Molases merupakan bahan baku pakan yang
cukup potensial untuk diberikan kepada ternak. Molases biasa digunakan tidak
melebihi 10-15% dalam ransum karena penggunaan di atas persentase tersebut dapat
meningkatkan harga ransum, mengurangi aktivitas mikroba dan ransum menjadi sulit
ditangani karena menjadi lembek (Perry et al., 2003).
Pada proses pembuatan silase, molases umumnya digunakan sebagai bahan
starter silase. Molases digunakan karena dapat menstimulasi fermentasi silase dan
menurunkan pH silase. Penambahan molases pada silase dapat meningkatkan
populasi bakteri asam laktat, meningkatkan kualitas silase dan menghindari
hilangnya bahan kering pada silase (Mcdonald et aI., 2002). Selain itu, molases
mengandung gula yang digunakan mikroorganisme sebagai sumber makanan dan
meningkatkan aktivitas dari bakteri fermentasi mikroba (McDonald et al., 2002).
Handerson (1993) menyatakan bahwa penggunaan molasses 4 sampai 5% sebagai
bahan aditif silase dapat meningkatkan nilai nutrien dari silase daun singkong.
Penelitian Amaliah (2010) yang menguji penambahan berbagai macam bahan
aditif, yaitu tepung tapioka, molasses, dan dedak pada silase daun singkong dengan
persentase masing-masing 5-10% menunjukkan bahwa penambahan molasses 5%
pada silase daun singkong menunjukkan nilai score atas kualitas fisik dan kecernaan
in vitro paling tinggi. Perolehan rata-rata pH pada silase dengan penambahan 5%
molasses, yaitu sebesar 4,0. Macaulay (2004) menyatakan bahwa, kualitas silase
yang baik memiliki pH di bawah 4.2, maka berdasarkan hasil penelitian Amalia
(2010) silase daun singkong dengan penambahan molasses 5% menghasilkan
8 silase maka aktivias bakteri pembusuk akan semakin kecil sehingga daya simpan
silase semakin lama.
Hasil uji kecernaan in vitro dalam penelitian Amalia (2010) menunjukkan
bahwa silase daun singkong dengan penambahan molasses 5% memiliki konsentrasi
VFA sebesar 161,71 mM. Percobaan kecernaan bahan organik dan kecernaan bahan
kering masing-masing menunjukkan hasil 54,20% dan 57,17%. Hasil ini
menunjukkan bahwa, dari segi kecernaan in vitro silase daun singkong memiliki
kecernaan yang baik.
Kambing Peranakan Etawah (PE)
Kambing Etawah merupakan kambing yang mempunyai dwi fungsi, yaitu
sebagai kambing perah penghasil susu dan kambing pedaging (Sodiq dan Abidin,
2002). Pada umumnya, kambing etawah di Indonesia disilangkan dengan kambing
kacang (lokal) menghasilkan peranakan Etawah. Kambing Etawah memiliki produksi
susu yang tinggi, yakni bisa mencapai 235 kg per masa laktasi (261 hari) dan mampu
memproduksi 3,8 kg per hari pada masa puncak laktasi.
Keunggulan lain dari kambing Etawah adalah laju pertumbuhan yang baik
serta didukung dengan daya adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan yang
ekstrim. Kambing peranakan Etawah mempunyai ukuran yang lebih besar
dibandingkan dengan kambing kacang dan memiliki kemampuan yang lebih baik
terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan (Prasetyo, 1992). Jumlah anak per
kelahiran dapat mencapai tiga ekor. Hal ini menambah keunggulan kambing Etawah
sebagai hewan ternak yang menguntungkan. Kinerja produksi kambing peranakan
9
Tabel 1. Kinerja Produksi Kambing Peranakan Etawah
Parameter Kisaran
1. Berat Badan dewasa (kg)
Jantan
Betina
2. Jumlah anak sekelahiran (ekor)
3. Berat lahir (kg)
Kelahiran tunggal
Kelahiran kembar
Jantan
Betina
4. Masa Laktasi (hari)
5. Produksi susu harian (liter)
45-80
30-50
1-3
3-5
3-3,5
3-5
2-4,5
90-265
1,5-3,7
Sumber : Mulyono dan Sarwono, 2004
Kambing peranakan Etawah memiliki katrakteristik tubuh yang besar dengan
bobot badan kambing jantan dapat mencapai 90 kg dan betina 50 kg. Ciri-ciri
spesifik kambing peranakan etawah antara lain memiliki hidung yang lebih besar
dibanding jenis kambing kacang, kambing jantan mempunyai rambut yang tebal dan
agak panjang di bawah leher dan pundak, sedangkan rambut pada kambing betina
agak panjang terdapat di bagian bawah ekor ke arah garis kaki. Rambut menutupi
seluruh tubuh, rambut pada bagian dagu dan bagian belakang lebih halus dan
panjang. Warna rambut pada kambing peranakan Etawah lebih cenderung kombinasi
dua atau tiga pola warna, sedangkan warna rambut tunggal pada kambing peranakan
Etawah sangat jarang ditemukan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
(a) (b)
10
Kebutuhan Nutrien
Guna memperoleh target produksi baik susu ataupun daging, kebutuhan
nutrien kambing yang dipelihara haruslah terpenuhi dengan baik. Pada kambing,
konsumsi energi sangat menentukan komposisi susu (Sampelayo et al., 1998) dan
volume susu. Walaupun kambing merupakan jenis ternak yang tahan dalam kondisi
ekstrim, namun untuk optimasi produksi dan komposisi susu yang baik, maka
dibutuhkan asupan pakan yang memenuhi kebutuhan nutrien dari kambing tersebut.
Kebutuhan nutrien kambing dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kebutuhan Nutrien Kambing
Bobot badan (lb)
Bahan Kering (lb/ekor)
%
Bobot Badan Protein Kasar TDN Kebutuhan Hidup Pokok
Kebutuhan Tambahan Untuk Produksi Susu Per Pound Dilihat Dari Persentase Lemak (%)
Kambing merupakan jenis hewan ruminansia yang memiliki empat bagian
perut seperti sapi, domba, dan rusa. Bagian-bagian perut tersebut adalah rumen,
retikulum, omasum, dan abomasum (disebut juga sebagai perut sejati). Pada hewan
11 mikrobial yang terjadi pada retikulum dan rumen (disebut juga retikulorumen).
Adanya pencernaan mikrobial menyebabkan hewan ruminansia dapat mencerna
pakan tinggi serat. Setelah melalui rumen pakan kemudian dicerna di abomasum
dengan asam (HCl) dan enzim-enzim pencernaan. Hasil pencernaan tersebut akan
diserap di usus halus. Pada Gambar 2 ditunjukkan alat pencernaan yang ada pada
kambing (Hart, 2008).
Gambar 2. Alat Pencernaan Kambing Sumber : Hart (2008)
Pencernaan dan Metabolisme Karbohidrat
Rumen merupakan bagian terbesar dari perut ruminansia, termasuk kambing.
Rumen berfungsi sebagai tempat fermentasi pakan yang dikonsumsi ternak karena di
dalamnya terdapat berbagai jenis populasi mikroba, antara lain, bakteri, fungi, yeast,
dan protozoa. Sumber energi utama bagi ternak ruminansia merupakan produk akhir
dari fermentasi karbohidrat di dalam rumen yang dikenal dengan volatile fatty acid
12
Asetil Co A Laktat Oksaloasetat
Laktil Co A Malat
Krotonil Co A Propionil
Co A
Pentosa Fruktosa-6-fosfat Fruktosa Fruktan
Pentosa Fruktosa-1,6-difosfat
Gambar 3. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: McDonald et al. (2002).
Proses metabolisme karbohidrat pada ruminansia dijelaskan oleh McDonald
et al. (2002) seperti tertera pada Gambar 3. Sekitar 75% dari total VFA yang
diproduksi akan diserap langsung di retikulo-rumen termasuk ke darah, sekitar 20%
diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya sekitar 5% diserap usus halus.
Parakkasi (1999) menambahkan bahwa sebagian besar VFA diserap langsung
melalui dinding rumen, hanya sedikit asetat, beberapa propionat dan sebagian besar
13
Pencernaan dan Metabolisme Protein
Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptida dan
asam amino, beberapa asam amino dipecah lebih lanjut menjadi amonia. Amonia
diproduksi bersama peptida dan asam amino yang akan digunakan oleh mikroba
rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002). Proses
metabolisme protein pada ruminansia dijelaskan oleh McDonald et al. (2002) seperti
tertera pada Gambar 4.
Gambar 4. Proses Metabolisme Protein di dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: McDonald et al. (2002)
Produksi NH3 berasal dari protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik di
dalam rumen, protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen. Tingkat
hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kenaikan
kadar NH3 (Arora, 1989). Haaland et al. (1982) menyatakan bahwa semakin tinggi
kandungan protein ransum maka produksi amonia akan semakin meningkat sebagai
akibat aktivitas proteolitik meningkat. Kadar amonia dalam rumen merupakan
petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis protein oleh mikroba rumen. Pakan
Protein Non-protein N
Sulit Didegradasi Mudah
Didegradasi
Non-protein N
Peptida
Asam Amino
Protein Mikroba
Dicerna di usus
Kelenjar Saliva
Amonia
Dirombak di hati NH3 Urea
Ginjal
14 Jika pakan defisien akan protein atau proteinnya tahan degradasi maka konsentrasi
amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikroba rumen akan lambat
yang menyebabkan turunnya kecernaan pakan (McDonald et al., 2002).
Pencernaan protein di usus halus menghasilkan asam-asam amino yang
selanjutnya diserap oleh darah kemudian dibawa ke hati. Asam-asam amino yang
berasal dari hati disalurkan ke jaringan tubuh lainnya termasuk kelenjar susu untuk
membentuk protein jaringan dan protein susu. Menurut Sniffen dan Robinson (1987),
sumbangan protein mikroba rumen terhadap kebutuhan asam-asam amino ternak
ruminansia mencapai 40-80%. Sisa-sisa pencernaan protein berupa protein dan
asam-asam amino bahan makanan yang tidak tercerna dan terabsorbsi akan dikeluarkan
dari tubuh melalui feses.
Pencernaan dan Metabolisme Lemak
Pencernaan dan pemanfaatan lemak oleh hewan ruminansia ditentukan oleh
proses yang berlangsung di dalam rumen sebelum diserap di usus halus. Selama
berada di dalam rumen, lemak pakan ditransformasi sehingga lemak yang
meninggalkan rumen berbeda komposisi dan jumlahnya dibandingkan dengan lemak
yang dikonsumsi. Terlebih lagi, lemak memiliki dampak negatif pada aktivitas
rumen, terutama pada aktivitas degradasi karbohidrat (Doreau dan Ferlay, 1995).
Lemak pakan secara ekstensif dihirolisis di dalam rumen oleh enzim
mikrobial yang berasal dari berbagai spesies bakteri (spesies yang paling dikenal
adalah Anaerovibrio lipolytica) dan protozoa (Harfoot dan Hazlewood, 1988).
Enzim-enzim yang dihasilkan antara lain, lipase, galaktosidase, dan fosfolipase,
adanya aktivitas enzim tersebut menstimulasi terbentuknya asam lemak bebas tanpa
komponen perantara seperti mono- dan diasilgliserol. Proses lipolisis ini terjadi
sangat cepat baik dalam in vitro maupun in vivo (Demeyer dan Van Nevel, 1995).
Adapun faktor-faktor yang menghambat terjadinya lipolisis antara lain antibiotik dan
pH rendah (Van Nevel dan Demeyer, 1995). Hidrogenasi terjadi dengan adanya asam
lemak bebas. Tahap pertama terjadi isomerisasi, kemudian enzim hidrogenase
mereduksi asam lemak berdasarkan jalur yang dijelaskan oleh Harfoot dan
Hazlewood (1988). Produk akhir dari hidrogenasi asam lemak C18 adalah asam
stearat. Akan tetapi ketika terdapat sejumlah besar asam linoleat, proses hidrogenasi
15 dari asam lemak monoenoat (Harfoot et al., 1973). Hidrogenasi umumnya
berlangsung lebih lambat dibandingkan lipolisis. Bakteri menginkorporasi dan
mensintesis berbagai jenis asam lemak, karakteristik utamanya adalah asam lemak
yang kebanyakan tersusun oleh 15 dan 17 atom C. Sintesis asam lemak terutama
berasal dari VFA, sedangkan asam lemak bercabang berasal dari isobutirat dan
isovalerat (Demeyer dan Hooze, 1984).
Susu Kambing
Kambing merupakan ternak yang dimanfaatkan untuk produksi daging dan
susu di berbagai belahan dunia. Produk dari kambing telah menjadi diskusi dan
bahan penelitian oleh ilmuwan di berbagai belahan dunia (Haenlein, 2001). Produk
susu dari kambing diminati oleh penduduk dunia dari segi tekstur dan nilai gizi,
terutama untuk produk yoghurt dan keju. Hal ini menimbulkan peningkatan
permintaan atas produk susu kambing. Selain itu, susu kambing disarankan oleh
sebagian besar dokter bagi orang yang menderita alergi susu sapi dan gangguan
pencernaan lainnya (Haenlein, 2001).
Berdasarkan penelitian Barrionuevo et al. (2002) mengenai pengaruh susu
kambing pada tikus percobaan yang mengalami malabsorbsi zat besi dan tembaga,
menunjukkan bahwa dibandingkan susu sapi, susu kambing dapat membantu
masalah malabsorbsi kedua mineral tersebut, hal ini mecegah terjadinya anemia pada
hewan percobaan tersebut. Pada penelitian Alferez et al. (2001), menunjukkan bahwa
penggunaan lemak dan peningkatan bobot badan meningkat pada tikus yang
mengonsumsi susu kambing dibandingkan dengan tikus yang mengonsumsi susu
sapi. Pada penelitian tersebut juga didapatkan penurunan jumlah kolesterol dan fraksi
(low density lipoprotein) LDL, namun jumlah trigliserida, SGOT (serum glutamic
oxaloacetic transaminase), dan SGPT cenderung normal. SGOT dan SGPT
merupakan enzim penanda yang digunakan untuk mengukur kerusakan fungsi hati,
jika kadarnya tinggi menandakan terjadinya gangguan fungsi hati. Reaksi-reaksi
tersebut terjadi karena senyawa bioaktif dan komponen yang ada di dalam susu
kambing. Tabel 3 menunjukan perbandingan susu kambing, domba, sapi, dan
17 susu merupakan interaksi yang padu antara nutrien, hormon, dan jaringan lain,
sehingga setiap jaringan di dalam tubuh mendapat asupan nutrien yang seimbang.
Pola adaptasi tersebut merupakan hasil dari kecukupan kuantitas pakan dan
keseimbangan nutrien untuk sintesis susu (Bauman, 2000). Secara umum, sintesis
komponen susu dapat dilihat pada Gambar 6.
Keterangan. LPL : Lipoprotein. VLDL : very low density lipoprotein. β-HB : β-Hidroksi butirat. TGS :Trigliserida. FAS : fatty acid synthetase. ∆9 : ∆9 desaturase. ACC : Acetyl Co-A Carboxylase. TAG : Triacylgliserides.
Gambar 6. Proses Pembentukan Komponen Susu Sumber : Lock et al. (2004)
Lemak Susu
Lemak susu (lipid) merupakan salah satu faktor yang menentukan harga
susu, jumlah nutrien yang harus diberikan dan karakteristik fisik dan sensori dari
susu yang diproduksi. Triasil gliserol merupakan bagian terbesar dari bahan
penyusun lemak susu (98%), komponen lainnya yaitu terdiri atas monoasilgliserida,
fosfolipid, kolesterol, asam lemak nonesterifikasi (Haenlein dan Wendorf, 2006).
Komponen lemak umumnya mudah mengalami perubahan dengan adanya persentase
perubahan pemberian hijauan (Abijaoudé et al., 2000)
Lipid dalam susu berbentuk globula, pada susu kambing dan domba ukuran
globula tersebut <3.5µm. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mens (1985)
18 lemak susu ini memiliki manfaat dari segi pencernaan dan lebih efisien dalam hal
metabolism lipid dibandingkan dengan lemak susu sapi (Park, 2007). Namun, dari
segi mekanisme sekresi globula lemak tidak ditemukan perbedaan antara sapi,
domba, dan kambing.
Komposisi lemak susu pada umunya tinggi beberapa saat setelah melahirkan
dan menurun selama laktasi (Sauvant et al., 1991). Hal ini berkaitan dengan dua
fenomena, yaitu efek pengenceran ketika volume susu meningkat sampai puncak
laktasi, dan penurunan mobilisasi lemak menurunkan ketersediaan plasma
nonesterified fatty acid (NEFA) terutama C18:0 dan C18:1, yang digunakan untuk
sintesis lipid kelenjar susu. Ketersediaan NEFA juga dipengaruhi oleh keseimbangan
energi pada tubuh ternak. Status nutrisi dari hewan laktasi dapat diperkirakan melalui
keseimbangan energi pada ternak tersebut. Keseimbangan energi sangat bervariasi
bergantung pada potensi genetik dan fase laktasi, serta kualitas dan komposisi
nutrien pakan. Ketika keseimbangan energi negatif, tubuh hewan akan memobilisasi
lipid yang disimpan pada jaringan adipose, dengan produk utamanya adalah NEFA.
Jaringan adiposa pada ruminansia sangat kaya akan palmitat, stearat, dan asam oleat
(Bas et al., 1987).
Protein Susu
Protein susu merupakan 95% bagian dari total nitrogen pada susu. Umumnya,
persentase jumlah dari protein susu ditentukan oleh tingkatan laktasi, komposisi
pakan, dan jenis hewan, keturunan, musim, dan kesehatan ambing. Protein susu
tersusun atas kasein, whey, serum albumin, dan imunoglubulin.. Komposisi kasein
berkisar dari 76% sampai 86% dari total protein susu, persentase tersebut umumnya
tidak ditentukan oleh tingkatan laktasi dan komposisi pakan (Coulon et al.,1998).
Albumin dan immunoglobulin disintesis pada sel epithelial kelenjar susu dengan
asam amino sebagai prekursor utamanya.
Penggunaan asam amino oleh kelenjar susu terjadi akibat adanya
pengambilan asam amino dari sirkulasi peripheral oleh sel sekretori, dan kemudian
terjadi sintesis protein intraselular di dalam reticulum endoplasma. Sintesis protein
susu mutlak membutuhkan keberadaan ATP (sebagai hasil proses oksidasi asetat),
19
Konsumsi Pakan
Konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila
diberikan ad libitum (Parakkasi, 1999). Menurut Tillman et al. (1998) konsumsi
diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak, zat makanan
yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan
untuk keperluan produksi hewan tersebut. Daya cerna makanan diikuti kecepatan
aliran makanan yang tinggi dalam saluran pencernaan dapat meningkatkan konsumsi.
Jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu yang paling penting untuk
menentukan jumlah zat-zat makanan yang tersedia bagi ternak. Banyaknya jumlah
makanan yang dikonsumsi oleh ternak merupakan faktor penting yang akan
mempengaruhi produktivitas ternak. Semakin baik kualitas makanannya, maka
makin tinggi konsumsi ransum ternak. Selain konsumsi ransum, ternak yang
berkualitas baik juga ditentukan oleh fisiologi ternak tersebut (Parakkasi, 1999).
Ternak ruminansia yang normal (tidak sakit atau sedang bereproduksi)
mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang terbatas sesuai dengan kebutuhannya untuk
mencukupi hidup pokok (Siregar, 1996). Tinggi rendah konsumsi pakan pada ternak
ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu, tempat tinggal (kandang),
palatabilitas, konsumsi nutrisi, bentuk pakan dan faktor internal yaitu, selera, status
fisiologi, bobot tubuh dan produksi ternak itu sendiri (Kartadisastra, 1997). Menurut
Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor yang essensial yang merupakan dasar
untuk hidup pokok dan menentukan produksi. Mulyono dan Sarwono (2004)
menyatakan bahwa konsumsi pakan kambing dinyatakan dalam bahan kering
Kecernaan
McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan adalah proporsi zat
makanan yang tidak diekskresikan lewat feses dan diasumsikan diserap oleh tubuh
ternak. Biasanya ini dinyatakan berdasarkan bahan kering (BK) dan apabila
dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisien cerna (Tillman et al., 1998).
Koefisien cerna merupakan selisih antara zat-zat makanan yang terkandung dalam
pakan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang ada pada feses.
Daya cerna dipengaruhi oleh komposisi pakan, keserasian zat makanan,
20 kasar dapat mempengaruhi daya cerna bahan organik. Menurut Tillman et al.,
(1998), setiap penambahan serat kasar dalam bahan makanan akan menyebabkan
penurunan daya cerna bahan organik. Kecernaan zat makanan bergantung pada
ternak yaitu status, produktivitas, dan fungsi fisiologis yang sedang dialami ternak
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan
Januari 2012 di Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang untuk proses pembuatan
silase daun singkong, kandang Balai Penelitian Ternak Ciawi untuk proses perlakuan
penelitian, Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi untuk
analisis kandungan nutrien dan Laboratorium Ilmu Produksi Ternak, Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor untuk analisis kualitas susu.
Materi
Ternak Percobaan
Penelitian ini menggunakan ternak percobaan berupa kambing perah
peranakan etawah sebanyak 12 ekor yang sedang laktasi bulan ke 2 dengan rataan
bobot badan 30,27±3,22 kg. Kambing-kambing tersebut dibagi ke dalam 3 perlakuan
dan 4 ulangan.
Kandang dan Peralatan
Kambing perah dipelihara pada kandang individu dengan peralatan berupa
ember sebagai tempat air minum dan tempat makan terpisah antara hijauan dan
konsentrat. Timbangan pada penelitian ini digunakan untuk menimbang bobot awal
ternak pada awal penelitian. Gelas ukur digunakan untuk mengukur jumlah susu
yang diproduksi oleh masing-masing kambing yang diberi perlakuan.
Pakan
Kambing perlakuan diberi pakan berupa rumput raja, konsentrat dan silase
daun singkong pada taraf yang berbeda. Konsentrat yang digunakan pada penelitian
ini diproduksi di Balai Penelitian Ternak Ciawi. Komposisi bahan pakan yang
22 Tabel 4. Komposisi Bahan Pakan pada Konsentrat
Bahan Pakan Pemakaian (%)
Bungkil Inti Sawit Fermentasi 50%
DGDS (Dried Distiled Grain Soluble) 20%
Polard 10%
Ampas Kecap 19%
Mineral 1%
(Keterangan : Hasil Formulasi Balai Penelitian Ternak Ciawi, 2011)
Pada perlakuan kontrol (CLS-0) diberikan 50% rumput raja dan 50% konsentrat,
pada perlakuan pertama (CLS-1) diberikan 50% rumput raja, 40% konsentrat, dan
10% silase, sedangkan perlakuan kedua (CLS-2) diberikan 50% rumput raja, 30%
konsentrat, dan 20% silase. Jumlah bahan kering keseluruhan yang diberikan adalah
5,2% bobot badan. Air minum diberikan ad libitum pada setiap kambing yang
dipelihara. Bahan pakan yang digunakan dan komposisi nutrien pada pakan tiap
perlakuan disajikan pada Tabel 5 dan Tabel 6.
Tabel 5. Bahan Pakan yang Digunakan
(Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi, 2011)
Tabel 6. Komposisi Nutrien pada Pakan Tiap Perlakuan
Perlakuan Bahan Kering (%)
Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi (2011)
23
Alat yang Digunakan
Peralatan yang digunakan untuk pembuatan silase daun singkong adalah
gunting, selotip besar, plastik hitam, plastik ukuran 5 kg. Pengukuran produksi susu
menggunakan gelas ukur, dan plastik bening HDPE untuk menyimpan susu sebelum
dianalisis. Untuk pengukuran kualitas susu digunakan butyrometer, buret, gelas ukur,
laktodensimeter, sentrifuse, termometer, labu Erlenmeyer, pipet volumetrik, pipet
Mohr, dan penangas air. Pengukuran kecernaan dan zat nutrien masing-masing
komponen ransum menggunakan oven dan peralatan penunjang lainnya untuk
analisis proksimat.
Prosedur
Pembuatan Silase
Daun, tangkai dan batang singkong yang masih muda dipotong menjadi
ukuran panjang ±2 cm. Potongan-potongan tersebut dilayukan 3 jam di ruang terbuka
yang terhindar dari sinar matahari langsung. Setelah itu, daun, tangkai, dan batang
yang masih dapat dikonsumsi dicampur dalam tempat terpisah hingga homogen.
Setelah homogen, daun, tangkai dan batang singkong masing-masing dikemas dalam
kantong plastik tahan panas ukuran 5 kg kemudian dicampurkan dengan 5% molases
(dari bobot segar keseluruhan potongan daun, tangkai, dan batang muda), kemudian
dimasukan dalam kantong plastik hitam. Penambahan molases dilakukan sebagai
tambahan karbohidrat mudah tersedia sehingga proses ensilase berlangsung dengan
baik. Silase disimpan dalam ruangan dengan suhu kamar selama minimal 4 minggu.
Silase diberikan ke ternak sesuai dengan rancangan percobaan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amaliah (2010) Silase daun singkong
yang ditambahkan 5% dan 10% molases menghasilkan kecernaan in vitro dan sifat
fisik terbaik dibandingkan silase daun singkong yang ditambahkan dedak padi 5%
dan 10%, serta tepung tapioka 5% dan 10%.
Penerapan Perlakuan
Pada awal penelitian kambing ditimbang bobot badannya untuk mengetahui
jumlah pakan yang akan dikonsumsi. Frekuensi pemberian pakan dilakukan
sebanyak 2 kali. Ternak dibagi menjadi 3 perlakuan dengan 4 ulangan. Perlakuan
24 terhadap pakan perlakuan dan 4 minggu masa pengamatan terhadap parameter. Pada
minggu ke 4 pengamatan dilakukan pengumpulan feses (collecting feces) yang akan
digunakan untuk uji kecernaan bahan pakan. Perbandingan antara hijauan,
konsentrat, dan silase adalah 50:50:0 (CLS-0), 50:40:10 (CLS-1), dan 50:30:20
(CLS-2).
Koleksi Feses
Koleksi feses total digunakan untuk mengukur kecernaan bahan makanan
berupa serat kasar dan protein kasar. Selama penelitian berlangsung dilakukan
koleksi sebanyak 1 kali pada akhir masa penelitian. Koleksi dilakukan selama 7 hari
berturut-turut. Penampungan feses dilakukan dengan memasang tempat
penampungan feses di bagian bawah kandang. Setiap pagi selama 7 hari feses yang
ditampung tersebut dikumpulkan. Feses yang diperoleh pada setiap masa koleksi
terlebih dahulu ditimbang sehingga diperoleh bobot feses segar. Feses segar
kemudian diambil 10 % dari jumlah tersebut, selanjutnya sampel feses tersebut
dikeringkan dalam oven bersuhu 60 oC selama 2x24 jam dan digiling halus, untuk
dilanjutkan dengan analisis terhadap bahan kering dan kandungan nutrien sampel.
Pengukuran Peubah Penelitian
Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari). Konsumsi bahan kering ransum diperoleh
dengan cara mengurangi jumlah bahan kering ransum yang diberikan dengan bahan
kering ransum sisa pada keesokan harinya. Pengukuran ini dilakukan setiap hari.
Kecernaan Bahan Kering.Kecernaan nutrien ditentukan dengan metode koleksi
total pada kandang metabolis. Ransum yang diberikan dikompositkan dan diambil
10% untuk dianalisis kandungan nutriennya. Feses yang diekskresikan setiap hari,
dikumpulkan dan ditimbang beratnya kemudian dioven 60 ◦C selama 2 hari. Setelah
kering feses ditimbang dan disimpan dalam kantong plastik yang tertutup rapat.
Sampel feses yang terkumpul dikompositkan dan diambil 10% untuk analisis
komposisi kimianya. Kecernaan nutrien dapat dihitung dengan rumus (Pond et al.,
25
Kecernaan = Nutrien yang dikonsumsi (g) – Nutrien dalam feses (g) x 100% Nutrien yang dikonsumsi (g)
Keterangan:
Nutrien yang dikonsumsi = ∑ konsumsi BK x kandungan nutrien ransum Nutrien dalam feses = ∑ produksi feses x BK feses x %nutrien
dalam feses
Produksi Susu. Pengambilan sampel susu dilakukan setiap hari selasa dan sabtu.
Frekuensi pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pagi pada jam 06.00
serta sore jam 16.00 WIB. Pemerahan dilakukan dengan cara manual tanpa alat bantu
pemerahan. Sampel susu diukur dengan menggunakan gelas ukur skala 1 liter.
Produksi susu (ml 4% FCM/ hari) ditentukan dengan konversi sebagai berikut.
Produksi susu 4% FCM = (0.4 x PS) + (15 x PS x %L)
Keterangan : PS = Produksi susu rata-rata harian (ml/ekor/hari)
L = % kadar lemak susu
Kualitas Susu
a. Lemak Susu
Sampel susu diambil 50 ml per ekor kemudian disimpan di dalam freezer.
Penentuan kadar lemak susu dilakukan dengan cara Gerber (Badan Standardisasi
Nasional, 1999). Prosedurnya antara lain, ditambahkan 10,75 ml susu ke dalam
butyrometer. Diambil sebanyak 10 ml asam belerang dengan konsentrasi
91-92%, kemudian dimasukkan ke dalam butyrometer. Ditambahkan 1 ml
amylalkohol ke dalam butyrometer. Butyrometer ditutup dengan sumbat karet
dan dikocok perlahan-lahan dengan membentuk angka delapan sampai zat-zat
yang ada di dalam butyrometer tercampur secara homogen. Kemudian
butyrometer diletakkan ke dalam penangas air dengan suhu 65-70 ºC selama 10
menit. Setelah itu, botol butyrometer tersebut disentrifuse dengan kecepatan 1200
putaran per menit. Butyrometer yang telah disentrifuse dimasukkan ke dalam
pengangas air selama 5 menit. Setelah 5 menit, keluarkan sedikit demi sedikit
penyumbat karet dari butyrometer tersebut untuk mendapatkan skala nol pada
26 b. Protein Susu
Kadar protein susu dapat ditentukan dengan metode titrasi formol (Badan
Standardisasi Nasional, 1999). Caranya adalah dengan mentitrasi campuran yang
terdiri atas 10 ml susu + 0.4 ml larutan kalium oksalat dan 3 tetes phenolptalin
1% yang ditempatkan di dalam gelas beaker, dengan larutan NaOH sampai warna
menjadi merah muda. Susu yang berubah warna tersebut ditambah 2 ml formalin
40% dan warna menjadi putih susu kembali. Campuran tersebut dititrasi kembali
sampai timbul warna merah muda, dan volume titrannya dicatat (a). Selanjutnya,
dibuat blanko dengan mengganti contoh susu dengan aquadest dan dititrasi
sampai warna merah muda. Volume titran dicatat (b).
Kadar protein (%) = (a – b) x 1,95
Keterangan : 1,95 = faktor protein untuk susu kambing
c. Berat Jenis Susu
Penentuan berat jenis susu dapat dilakukan dengan laktodensimeter. Sebanyak
250 ml sampai 500 ml susu diukur ke dalam gelas ukur, kemudian dicelupkan
laktodensimeter ke dalam gelas ukur pada suhu kamar (±27,2 ºC). Pengukuran
berat jenis susu hanya dapat dilakukan setelah 3 jam dari waktu pemerahan atau
bila suhu susu sudah terletak antara 20 sampai 30 ºC, karena pada kondisi ini
susu telah stabil keadaannya.
d. Bahan Kering Susu
Bahan kering susu dapat diukur dengan rumus Fleischman (Badan Standardisasi
Nasional, 1999), yaitu.
Bahan Kering = 1, 23 + 2,71 100 (BJ-1) BJ Keterangan : BJ = Berat jenis susu
Rancangan dan Analisis Data
Rancangan
Rancangan percobaan yang akan digunakan adalah rancangan acak kelompok
(RAK) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Pengelompokkan ternak dilakukan
berdasarkan perbedaan minggu laktasi pada ternak. Model matematika yang
27
Yij = μ+ βi + τj + εij
Keterangan :
Yij : nilai pengamatan perlakuan ke-i, blok ke-j μ : nilai rataan umum perlakuan
βi : efek perlakuan ke-i τj : efek blok ke-j
εij : galat percobaan pada perlakuan ke-i dan blok ke-j
i : jumlah pemberian silase daun singkong j : blok
Analisis Statistik
Perbedaan tingkat pemberian silase dianalisis dengan metode analysis of
variance (ANOVA), dan jika terdapat perbedaan yang nyata diuji lanjut dengan uji
beda nyata terkecil (BNT) (Steel dan Torrie, 1993).
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi nutrien dalam
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Nutrien Pakan
Hasil pengamatan konsumsi pakan dan nutrien dalam bahan kering disajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7. Konsumsi Nutrien Pakan oleh Ternak pada Masing-Masing Perlakuan
Nutrien CLS-0 (Silase 0%)
CLS-1
(Silase 10%)
CLS-2
(Silase 20%)
Bahan Kering (g) 1.301,91±247,00 1.266,19±312,12 1.213,95±320,41
Protein (g) 235,42±38,34 249,63±15,19 251,04±30,87
Lemak (g) 68,48±12,99b 63,65±15,69b 58,16±15,36a
Serat Kasar (g) 387,10±63,4a 449,68±91,62ab 488,05±106,33b
Abu (g) 165,80±31,46b 154,15±38,00b 140,79±11,71a
Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi (2011)
Pada penelitian ini, tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) pada konsumsi
bahan kering. Hasil ini penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Preston dan Bunyeth (2006), pemberian suplementasi silase daun singkong dengan
penambahan 5% sirup gula aren secara nyata (P<0,05) meningkatkan konsumsi
bahan kering pada kambing yang digembalakan di padang rumput dibandingkan
kambing yang disuplementasi rumput alami yang tumbuh di sekitar tempat
penelitian.
Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan bahwa adanya 20% silase
(CLS-2) dalam ransum ternak secara nyata (P<0,05) meningkatkan konsumsi serat
kasar, sedangkan untuk konsumsi lemak dan abu, CLS-2 secara nyata (P<0,05)
paling rendah jika dibandingkan dengan CLS-0 dan CLS-1, hal ini disebabkan oleh
kandungan silase daun singkong yang digunakan sebagai bahan subtitusi kosentrat
memiliki kandungan serat kasar yang lebih tinggi (54,82%) dan kadar lemak (6%)
serta abu (8,25%) yang lebih rendah dibandingkan dengan konsentrat yang
disubstitusi (6%). Pada penelitian ini, digunakan konsentrat dengan kadar serat kasar
sebesar 16,49% dan lemak sebesar 7,33%, dan abu 13,86% sehingga ketika
29 Komposisi pakan tersebut akan mempengaruhi secara langsung jumlah nutrien yang
dikonsumsi pada tiap-tiap perlakuan.
Daun singkong yang digunakan sebagai silase ini termasuk ke dalam pakan
hijauan yang mengandung serat kasar >18%. Sehingga penambahan silase daun
singkong meningkatkan kandungan serat kasar pakan sebesar 16,02% pada CLS-1
dan 26,10% pada CLS-2. Pada ternak perah, konsumsi hijauan atau serat sangat
penting dan berpengaruh terhadap kualitas susu khususnya lemak susu. Serat akan
dicerna untuk menghasilkan asam lemak, seperti asam asetat, yang bermanfaat untuk
pembentukan komponen lemak susu (Aluwong et al., 2010).
Selama penelitian berlangsung, pakan yang habis dikonsumsi setiap harinya
adalah silase daun singkong dan konsentrat. Rataan konsumsi tiap bahan makanan
pada tiap perlakuan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan Konsumsi Tiap Bahan Makanan pada Tiap Perlakuan
Perlakuan
Pemberian Pakan
(Bahan Kering g/ekor/hari)
Konsumsi Pakan
(Bahan Kering g/ekor/hari)
Rumput Konsentrat Silase Rumput Konsentrat Silase
CLS-0 781 792 0 564,49±130,18 792 0
CLS-1 781 633,60 158,40 530,93±186,66 633,60 158,40
CLS-2 781 475,20 316,80 472.73±180,75 475,20 316,80
Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi (2011)
Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa konsentrat dan silase yang diberikan
memiliki palatabilitas yang cukup baik sehingga habis dikonsumsi oleh ternak. Hal
ini disebabkan oleh kualitas sensori dari silase daun singkong yang ditambahkan
molases tergolong baik karena memiliki bau asam silase (Amaliah, 2010).
Kartadisastra (1997) menyatakan bahwa palatabilitas pakan adalah sifat performansi
bahan pakan yang dicerminkan oleh kenampakan, bau, rasa dan tekstur dapat
menumbuhkan daya tarik dan merangsang ternak untuk mengkonsumsinya.
Faverdine et al. (1995) juga menjelaskan bahwa regulasi dari konsumi dan pemilihan
makanan oleh ternak dipengaruhi oleh kontrol jangka pendek dari perilaku makan
ternak yang berkaitan erat dengan regulasi homeostasis atau keadaan ternak untuk
30 bergantung pada kebutuhan zat makanan oleh ternak. Faktor kondisi makanan
termasuk kontrol jangka pendek.
Kecernaan Nutrien Pakan
Hasil pengamatan kecernaan zat nutrien dari tiap perlakuan disajikan pada
Tabel 9.
Tabel 9. Kecernaan Bahan Kering dan Nutrien Dari Tiap Perlakuan
Kecernaan Nutrien CLS-0 (Silase 0%)
CLS-1
(Silase 10%)
CLS-2
(Silase 20%)
Bahan Kering (%) 56,54±3,14a 59,07±2,18a 62,24±2,81b
Protein (%) 69,83±9,08a 68,20±6,00a 76,18±7,14b
Lemak (%) 81,35±5,86 81,92±4,27 81,63±5,81
Serat Kasar (%) 39,92±4,21a 54,34±7,01b 66,99±8,62c
Abu (%) 44,29±9,40a 46,17±9,08a 53,76±15,07b
Keterangan: CLS-0= 0% pemberian silase, CLS-1= 10% pemberian silase, CLS-2= 20% pemberian silase. Hasil Analisis Laboratorium Analisis Kimia Balai Penelitian Ternak Ciawi (2011)
Bahan Kering
Berdasarkan hasil uji yang disajikan pada Tabel 8, kecernaan bahan kering
(KCBK) secara nyata paling tinggi ada pada perlakuan CLS-2 (P<0,05), kemudian
diikuti dengan perlakuan CLS-0 dan CLS-1. Dibandingkan dengan perlakuan kontrol
(CLS-0), perlakuan CLS-2 lebih besar nilai kecernaan bahan keringnya sebesar
10,08%. Faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan pada ternak adalah komposisi
pakan, ketersediaan energi, dan waktu retensi makanan pada saluran pencernaan.
Pada penelitian ini, tingginya kecernaan bahan kering tersebut disebabkan oleh,
adanya bakteri asam laktat yang ada pada silase. Keberadaan bakteri asam laktat
tersebut membantu meningkatkan kecernaan bahan kering pada ternak. (Bolsen et
al., 1996).
Protein
Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa penambahan silase daun singkong
pada pakan sebanyak 20% (CLS-2) secara nyata (P<0,05) meningkatkan kecernaan
31 dibandingkan perlakuan CLS-0 (kontrol) adalah sebesar 9,09%. Peningkatan
kecernaan protein yang terjadi pada perlakuan CLS-2 berbanding lurus dengan
peningkatan kecernaan bahan kering. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Ondiek
et al. (1999) pada kambing perah yang diberi suplemen protein dari Gliricidia
sepium pada rumput gajah, mengalami peningkatan kecernaan bahan kering dari 50%
menjadi 58%.
Peningakatan level subtitusi konsentrat oleh daun singkong menyebabkan
peningkatan kecernaan protein dan serat. Hal ini memungkinkan terjadinya
keseimbangan antara ketersediaan N dalam bentuk ammonia dari degradasi protein
dan energi dalam bentuk VFA dari degradasi bahan serat di dalam rumen.
Keseimbangan kedua unsur ini sangat penting terutama bagi pertumbuhan dan
aktivitas bakteri rumen dalam mendegradasi pakan yang dikonsumsi ternak.
Berdasarkan hasil tersebut dapat terlihat bahwa penambahan silase daun singkong
pada pakan kambing perah sampai taraf 20 % tidak berdampak negatif pada
ekosistem rumen, khususnya aktivitas mikroba rumen dalam mencerna pakan.
Kecernaan protein pada ternak ruminansia dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu kandungan protein pakan (Ondiek et al, 1999) ukuran partikel (Novita et al.,
2006) serta ketersediaan RUP (rumen undegradable protein) dan RDP (rumen
degradable protein) yang ada pada pakan.
Protein jenis RUP merupakan jenis protein yang tidak bisa didegradasi oleh
mikroba rumen atau dikenal juga dengan istilah by-pass protein. Umumnya jenis
protein ini tidak terdegradasi karena bahan pakan sumber protein tersebut memiliki
zat antinutrisi yang mengikat protein, sehingga dapat diserap oleh dinding usus halus
dengan baik dan meningkatkan kecernaan. Daun singkong yang digunakan sebagai
silase pada penelitian ini diketahui memiliki zat antinutrisi berupa tanin yang dapat
berikatan dengan protein, sehingga pasokan RUP yang diserap oleh usus halus dapat
terpenuhi. Berbeda dengan RUP, RDP justru merupakan jenis protein yang mudah
diserap oleh mikroba rumen dan dimanfaatkan sebagai sumber nutrien. Hal tersebut
juga menguntungkan bagi ternak ruminansia, karena ruminansia mampu
memanfaatkan protein mikroba sebagai sumber protein, sehingga dalam komposisi
32
Lemak
Kecernaan lemak yang diperoleh pada penelitian ini tidak menunjukkan
perbedaan hasil yang nyata secara statistik. Peningkatan kecernaan lemak dapat
terjadi dengan suplementasi pakan sumber lemak. Silase daun singkong merupakan
bahan pakan yang dikategorikan sebagai sumber protein dan memiliki kandungan
lemak sebesar 6%, sehingga tidak secara nyata mempengaruhi besarnya kecernaan
lemak antar perlakuan. Pada ternak perah, kadar lemak yang umumnya ada pada
pakan disarankan tidak melebihi 7%, lebih dari pada level tersebut akan menurunkan
kerja mikroba rumen ternak (Doreau dan Chiliard, 1997).
Pada hewan ruminansia, pencernaan lemak terjadi di dalam rumen secara
hidrolisis dan biohidrogenisasi. Proses tersebut menyebabkan perbedaan jenis lemak
pada pakan dengan produk hasil proses pencernaan. Proses hidrolisis lemak pakan
terjadi secara ekstraseluler oleh bakteri rumen seperti Anaerovibro lipolytica dan
Butyrivibrio fibrisolvens (Harfoot dan Hazlewood, 1997). Proses biohidrogenasi merupakan proses perubahan lemak tak jenuh dengan ikatan rangkap menjadi lemak
jenuh dengan ikatan tunggal. Proses biohidrogenasi memiliki proporsi yang lebih
kecil dibandingkan dengan proses hidrolisis pada rumen.
Setelah meninggalkan rumen, lemak pakan yang telah diubah menjadi asam
lemak bebas oleh proses yang terjadi di rumen serta fosfolipid dari mikroba akan
dibentuk menjadi misel dengan bantuan empedu dan kelenjar pankreas. Kemudian
misel akan diserap oleh sel epitel pada usus halus terutama daerah jejunum dan
mengalami esterifikasi kembali menjadi trigliserida dan diubah menjadi chylomicron
(Demeyer dan Doreau, 1999).
Serat Kasar
Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 8 menunjukan bahwa penggantian
silase terhadap konsentrat sebesar 10% (CLS-1) dan 20% (CLS-2) secara nyata
(P<0,05) meningkatkan kecernaan serat kasar pada ternak. Kecernaan serat kasar
tertinggi secara nyata (P<0,05) ditunjukan oleh perlakuan CLS-2. Peningkatan serat
kasar ini disebabkan oleh terjadinya perenggangan dinding sel dari daun singkong
yang dibuat silase, sehingga dapat menyebabkan bahan tersebut lebih mudah dicerna.
Peregangan tersebut terjadi karena adanya hidrolisis asam terhadap komponen
33 yang komplek dan terdiri atas berbagai molekul dan biosintesisnya diatur oleh enzim
yang dikode dan diregulasi oleh gen (Iiyama et al., 1993).
Kecernaan serat kasar dalam penelitiaan ini, erat kaitannya dengan adanya
bakteri asam laktat dan asam laktat yang dihasilkan oleh silase. Asam laktat yang
dihasilkan oleh bakteri tersebut, diindikasikan akan menurunkan pH rumen sehingga
bakteri selulolitik (pencerna serat) akan bekerja lebih baik. Penurunan pH rumen
terjadi secara tidak nyata berdasarkan statistik, sehingga tidak menyebabkan asidosis
pada ternak (Krause dan Combs, 2003). Kondisi ini akan menguntungkan bagi proses
pecernaan serat yang terjadi di dalam rumen. Berdasarkan hasil penelitian,
peningkatan kecernaan serat secara langsung akan menyumbangkan peningkatan
kecernaan bahan kering pada ternak. Hal ini sejalan dengan pendapat McDonald
(1995) yang menyatakan bahwa kecernaan pakan dipengaruhi oleh komposisi kimia
pakan, dan fraksi pakan berserat berpengaruh besar pada kecernaan ternak.
Abu
Pada penelitian ini menunjukan bahwa perlakuan CLS-2 secara nyata
(P<0,05) memiliki kadar abu paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan CLS-1
dan CLS-0. Peningkatan kadar abu yang terjadi pada perlakuan CLS-2 dibandingkan
dengan perlakuan kontrol CLS-0 adalah sebesar 21,52%. Abu merupakan
keseluruhan komponen mineral yang terkandung dalam jaringan hewan dan
tumbuhan (Suttle, 2010). Pada hewan ternak, mineral berfungsi sebagai struktur
pembentuk sel, menjaga proses fisiologis tubuh, katalisator dan atau aktivator kinerja
enzim dan hormon, serta regulator perbanyakan dan diferensiasi sel pada tubuh.
Tidak seperti komponen nutrien lainnya yang mengalami proses pencernaan dan
pemecahan molekul, metabolisme mineral di dalam tubuh ternak umumnya terjadi di
mukosa usus kemudian ditransport ke hati dalam bentuk mineral bebas atau terikat
dengan protein, dan didistribusi ke berbagai organ dan jaringan yang kadarnya
disesuaikan oleh mekanisme kebutuhan mineral pada masing-masing unit sel.
Kecernaan mineral suatu bahan pakan umumnya dipengaruhi oleh regulasi hormon
seperti mineral Ca, sifat antagonisme antar mineral yang ada pada bahan pakan, dan
terikatnya mineral oleh zat antinutrisi seperti P yang terikat oleh fitat akan menurun