• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Isolat Bakteri Pencerna Serat Dalam Pencernaan Nutrien Pada Pedet Lepas Sapih Yang Diberi Pakan Periode Pertumbuhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Isolat Bakteri Pencerna Serat Dalam Pencernaan Nutrien Pada Pedet Lepas Sapih Yang Diberi Pakan Periode Pertumbuhan"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN ISOLAT BAKTERI PENCERNA SERAT DALAM

PENCERNAAN NUTRIEN PADA PEDET LEPAS SAPIH

YANG DIBERI PAKAN PERIODE PERTUMBUHAN

SKRIPSI

NINUK SRI YUNITASARI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

NINUK SRI YUNITASARI. D24062793. 2011. Peran Isolat Bakteri Pencerna Serat dalam Pencernaan Nutrien pada Pedet Lepas Sapih yang Diberi Pakan Periode Pertumbuhan. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgrSc.

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Dwierra Evvyernie Amirroenas, MS., MSc.

Periode pemeliharaan pedet sejak lahir hingga penyapihan merupakan salah satu periode kritis dalam pembesaran anak. Kendala utama penyapihan dini adalah perkembangan mikroba dan kemampuan konsumsi nutrien yang secara alami berkembang cukup lamban.

Inokulasi bakteri rumen pencerna serat terpilih yang berasal dari rumen kerbau ke dalam rumen pedet memungkinkan rumen berkembang lebih awal sehingga mempercepat kemampuan pedet mengkonsumsi pakan padat. Upaya tersebut diharapkan mengoptimalkan fermentasi rumen serta menjaga keseimbangan komposisi mikroorganisme rumen, meningkatkan kecernaan pakan dan menjaga kesehatan ternak. Perkembangan rumen yang lebih cepat diharapkan dapat mendorong penyapihan dini.

Penelitian ini bertujuan membandingkan pengaruh inokulasi isolat bakteri pencerna serat selama periode pra-sapih terhadap konsumsi, fermentasi, dan kecernaan nutrien pada pedet lepas sapih yang mendapat ransum pertumbuhan. Penelitian menggunakan tujuh ekor pedet peranakan FH (Friesian Holstein) yang berumur delapan minggu. Selama periode pra-sapih, tiga ekor pedet diinokulasi dengan isolat bakteri pencerna serat asal rumen kerbau sedangkan empat ekor pedet dipelihara tanpa diberi inokulan sebagai kontrol. Setelah memasuki periode lepas sapih, inokulasi bakteri dihentikan. Kedua perlakuan tersebut diterapkan pada pedet dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Kedua kelompok pedet mendapatkan pakan periode pertumbuhan yang sama. Pakan dan air minum diberikan setiap hari ad libitum. Peubah yang diamati adalah: (1) konsumsi nutrien ransum, (2) kecernaan bahan kering dan bahan organik, (3) konsentrasi NH3, (4) produksi VFA, dan (5)

Total Digestible Nutrient (TDN). Data pedet yang dinokulasi dibandingkan dengan data pedet kontrol menggunakan Uji-t pada α=0,05.

Rataan konsumsi harian bahan kering ransum mencapai 920 g/ekor/hr untuk kelompok pedet kontrol sedangkan konsumsi pedet yang diinokulasi mencapai 1683 g/ekor/hr. Inokulasi bakteri tidak berpengaruh nyata dalam menaikkan konsumsi nutrien ransum seperti bahan kering, bahan organik, protein, serat kasar, lemak dan BETN pada pedet. Kecernaan bahan kering berada pada kisaran 75,15-83,80% sedangkan kecernaan bahan organik berada pada kisaran 84,61-89,54%. Kecernaan bahan organik lebih tinggi daripada kecernaan bahan kering. Inokulasi bakteri selama periode menyusu tidak berpengaruh nyata pada kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, serat kasar, lemak dan BETN pasca sapih.

Konsentrasi NH3 berada pada kisaran 1,85-13,375 mM. Inokulasi bakteri ke

dalam rumen tidak berpengaruh nyata pada konsentrasi NH3 cairan rumen baik

(3)

produksi VFA cairan rumen ketika pedet sudah tidak diberi inokulan. Inokulasi bakteri dapat meningkatkan produksi VFA secara berkelanjutan.

Rataan konsumsi TDN pada pedet kontrol mencapai 753 g/ekor/hr sedangkan rataan konsumsi TDN pada pedet inokulasi mencapai 1357 g/ekor/hr. Inokulasi bakteri tidak berpengaruh nyata pada konsumsi TDN ransum. Korelasi antara konsumsi TDN dan PBB menunjukkan bahwa semakin tinggi konsumsi TDN ransum maka semakin tinggi pula PBB pedet.

Inokulasi bakteri pencerna serat belum mampu meningkatkan konsumsi dan kecernaan nutrien ransum, namun dapat meningkatkan fermentasi serat secara berkelanjutan. Kebutuhan TDN meningkat seiring dengan meningkatnya pertambahan bobot badan.

(4)

ABSTRACT

Nutrient Digestibility in Weaned Calves Inoculated Previously with Fiber Degrading Bacteria Isolates

N. S. Yunitasari, T. Toharmat, D. E. Amirroenas

In Indonesia, milk and beef production do not meet the needs. High calves mortality is one of the factors related to the problem. Reducing calf mortality and shortening weaning period are necessary to improve the population and farmers profit. The research was designed to evaluate the effect of inoculation of fiber degrading bacteria during pre-weaning period of dairy calves on nutrient intake and digestibility in post-weaning. The treatments were control and inoculation of bacteria isolates that applied in four and three Frisian Holstein calves, respectively. Both treatments were applied to the calf by a complete randomized design. Variables measured were nutrient intake, dry and organic matter digestibility, and the concentration of ruminal ammonia (NH3) and volatile fatty acids (VFA). Dry matter intake was determined

from the beginning of the experimental period. Nutrient digestibility, ruminal NH3

and VFA concentration were determined four weeks after weaning. The data obtained were analyzed statistically using t-test method with α = 0.05. The results showed that the inoculation of bacteria isolates affected the concentration of ruminal VFA of weaned calves. Inoculation of bacteria isolates had no significant effect on nutrient intake, nutrient digestibility and concentrations of ruminal ammonia. It was concluded that inoculation of fiber degrading bacteria into the rumen of calves in milk feeding period improved nutrient fermentability but not improved nutrient intake and its digestibility in post-weaning period.

(5)

PERAN ISOLAT BAKTERI PENCERNA SERAT DALAM

PENCERNAAN NUTRIEN PADA PEDET LEPAS SAPIH

YANG DIBERI PAKAN PERIODE PERTUMBUHAN

NINUK SRI YUNITASARI D24062793

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(6)

Judul : Peran Isolat Bakteri Pencerna Serat dalam Pencernaan Nutrien pada Pedet Lepas Sapih yang Diberi Pakan Periode Pertumbuhan

Nama : Ninuk Sri Yunitasari NIM : D24062793

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Prof.Dr.Ir. Toto Toharmat, MAgrSc.) NIP. 19590902 198303 1 003

Pembimbing Anggota,

(Dr.Ir. Dwierra Evvyernie A., MS.,MSc.) NIP. 19610602 198603 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.) NIP: 19670506 199103 1 001

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kebumen, Jawa Tengah, pada tanggal 19 Juni 1988.

Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, terlahir dari pasangan Bapak

M. Suwardi dan Ibu Martinah.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi di kota

Bogor. Penulis memulai pendidikan di bangku taman kanak-kanak pada tahun 1992

di TK Tunas Rimba 3 Bogor. Setelah penulis menyelesaikan pendidikan di bangku

TK, penulis melanjutkan sekolah di SDN Bangka 3 Bogor dan penulis berhasil

menyelesaikannya pada tahun 2000, kemudian penulis menyelesaikan sekolah

menengah pertama di SLTPN 2 Bogor pada tahun 2003, setelah itu penulis

menyelesaikan sekolah menengah atas di SMAN 3 Bogor pada tahun 2006.

Pada tahun yang sama penulis diterima di program Tingkat Persiapan

Bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor (IPB), melalui jalur SPMB (Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru). Kemudian, pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai

mahasiswi di Mayor Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor. Sejak masih TPB penulis bergabung dalam Unit Kegiatan Kampus

(UKM) Koperasi Mahasiswa (KOPMA) dan aktif menjadi anggotanya hingga tahun

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah

SWT atas segala nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini. Tak lupa penulis ucapkan salawat serta salam kepada Nabi

Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan pengikutnya sampai akhir zaman

nanti.

Skripsi berjudul “Peran Isolat Bakteri Pencerna Serat dalam Pencernaan

Nutrien pada Pedet Lepas Sapih yang Diberi Pakan Periode Pertumbuhan” ini ditulis

berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis mulai bulan Desember 2009

sampai Maret 2010 di kandang A sapi perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan

Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini ditulis sebagai salah satu solusi dari masalah yang banyak terjadi

pada peternakan sapi perah maupun sapi pedaging yaitu tingginya tingkat kematian

dini pada pedet. Inokulasi bakteri pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau

pada pedet diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut.

Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi diri penulis dan para pembaca

serta bermanfaat bagi perkembangan dalam dunia pendidikan dan peternakan di

Indonesia. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang

telah bersedia membantu demi kelancaran pembuatan skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

(9)
(10)

Kandang dan Peralatan ... 16

Ransum Penelitian ... 17

Metode ... 18

Perlakuan ... 18

Pembuatan Ransum dan Pemberian Pakan ... 18

Persiapan Isolat Bakteri ... 19

Koleksi Feses ... 19

Pengambilan Sampel Cairan Rumen ... 20

Peubah yang Diamati ... 20

Konsumsi Calf Grower ... 20

Total Digestible Nutrient ... 21

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ... 21

Konsentrasi NH3 ... 21

Produksi VFA ... 22

Analisis Data ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Konsumsi Nutrien Ransum ... 23

Total Digestible Nutrient (TDN) ... 25

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik ... 26

Konsentrasi NH3 ... 29

Produksi VFA ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

Kesimpulan ... 32

Saran ... 32

UCAPAN TERIMAKASIH ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Bahan Pakan dalam Ransum ... 17

2. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian ... 17

3. Rataan Konsumsi Nutrien Ransum pada Pedet yang Mendapat Ransum tanpa atau dengan Inokulan Selama Pasca Sapih .…... 24

4. Rataan Kecernaan Nutrien pada Pedet Pasca Sapih yang pada Periode Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri.. 27

5. Rataan Konsentrasi NH3 dan VFA Total Cairan Rumen Pedet Pasca

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Contoh Pedet yang Digunakan dalam Penelitian ……….. 16

2. Kandang Penelitian dan Tempat Pakan ……….. 16

3. Pemberian Isolasi Bakteri Pencerna Serat pada Pedet dengan Cara

Dicekok ………... 18

4. Pembuatan Ransum Calf Grower………... 19

5. Isolat Bakteri yang Sudah Dibiakkan pada Susu Segar Steril ……… 19

6. Koleksi Total Feses untuk Pengukuran Kecernaan Nutrien ………... 20

7. Pengambilan Cairan Rumen Menggunakan Selang yang

Dimasukkan Melalui Mulut Pedet ……….. 20

8. Konsumsi Bahan Kering Ransum Pedet Percobaan Selama Periode Pasca Sapih ... 24

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Uji-t Konsumsi Calf Grower (g/ekor/hr) ……….. 38 2. Hasil Uji-t Kecernaan Calf Grower (%) ... 38

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pedet adalah anak sapi yang baru lahir sampai berumur 3-4 bulan atau sampai

lepas sapih. Sistem pemeliharaan pedet sangat menentukan daya hidup pedet.

Blakely & Bade (1991) melaporkan bahwa pedet yang baru lahir harus diberi

kolostrum sesegera mungkin hingga hari keempat sedangkan hari-hari berikutnya

pedet dapat diberi susu yang diperah dari induknya. Pedet biasanya mulai diberi

hijauan muda segar pada umur dua minggu sedangkan pemberian konsentrat mulai

diberikan pada umur empat minggu. Tujuan pembesaran pedet sapi perah secara

umum adalah untuk menyediakan pengganti induk dan meningkatkan populasi.

Lamanya periode pemberiaan susu sangat menentukan biaya pemeliharaan. Saat

penyapihan merupakan salah satu periode kritis dalam pembesaran anak.

Pedet sapi perah umumnya disapih setelah berumur tiga bulan. Penyapihan

dini pada umur satu bulan telah disarankan, namun memiliki resiko kematian pedet

yang sangat tinggi. Menurut Blakely & Bade (1991), beberapa faktor yang dapat

mengakibatkan kematian pada pedet diantaranya adalah kurang makan/susu,

penyakit pneumonia yang sering berkomplikasi dengan gangguan pencernaan dan infeksi pada pusar. Penyapihan sangat tergantung pada perkembangan rumen dan

kemampuan pedet mengkonsumsi bahan kering. Perkembangan rumen sangat

berkorelasi dengan kemampuan konsumsi dan pencernaan komponen pakan padat

dalam rumen.

Sistem pencernaan ruminansia sangat bergantung pada perkembangan

populasi mikroba yang mendiami retikulorumen dalam mengolah setiap bahan pakan

yang dikonsumsi. Mikroba tersebut berperan sebagai pencerna serat dan sumber

protein. Adanya mikroba yang berperan dalam pencernaan pakan di dalam rumen

menyebabkan ternak ruminansia mampu mencerna pakan berserat yang berkualitas

rendah (Sutardi, 1980). Parakkasi (1999) mengatakan bahwa pada umur enam

minggu proporsi isi rumen-retikulum sekitar 60% dan pada umur 3-4 bulan hampir

menyamai ternak dewasa yaitu lebih dari 80%. Mikroba rumen pun secara alami

akan mencapai populasi seperti pada hewan dewasa pada umur empat bulan dan

(15)

Penyapihan dini sangat diperlukan untuk meningkatkan pendapatan peternak

dan percepatan peningkatan populasi sapi perah. Kendala utama adalah

perkembangan mikroba dan kemampuan konsumsi nutrien yang secara alami

berkembang cukup lamban. Perkembangan mikroba rumen diperkirakan akan lebih

cepat jika dilakukan inokulasi bakteri pada pedet muda. Inokulasi mikroba terpilih

dengan kemampuan mencerna serat yang lebih tinggi diharapkan dapat memacu

percepatan kemampuan pedet mengkonsumsi pakan padat.

Inokulasi isolat bakteri rumen pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau

ke dalam rumen pedet memungkinkan rumen berkembang lebih awal dan fermentasi

rumen lebih optimal. Bakteri rumen yang diberikan kepada pedet tersebut merupakan

bakteri pencerna serat terseleksi. Pemberian isolat bakteri tersebut diharapkan dapat

menjaga keseimbangan komposisi mikroorganisme dalam sistem pencernaan pedet

sehingga dapat meningkatkan kecernaan pakan dan menjaga kesehatan ternak.

Perkembangan rumen yang lebih cepat diharapkan dapat mendorong penyapihan dini

sehingga dapat menekan biaya pakan selama pembesaran pedet karena dapat

mengurangi biaya susu yang harus dikeluarkan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan membandingkan pengaruh inokulasi isolat bakteri

pencerna serat selama periode pra-sapih terhadap konsumsi, fermentasi, dan

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Keunggulan Rumen Kerbau

Kerbau merupakan ternak ruminansia yang mempunyai kemampuan tinggi

dalam memanfaatkan jenis limbah berkualitas rendah. Hal itu disebabkan oleh

tingginya populasi bakteri selulolitik (Cakra, 2001). Menurut Suryahadi (1996)

aktifitas bakteri selulolitik dari ternak kerbau lebih tinggi dibandingkan dengan

ternak sapi. Pada percobaan in vitro pada berbagai kondisi menunjukkan bahwa pemecahan selulosa oleh inokulan rumen terjadi lebih awal pada inokulan rumen

kerbau dari pada sapi. Persentase bakteri selulolitik pada sapi sebesar 19,5% dan

pada kerbau 42,3% dari total bakteri. Kelompok utama bakteri selulolitik dalam

rumen meliputi Ruminucoccus albus, Ruminococcus flavefaciens, dan Bacteroides succinogenes (Suryahadi, 1996).

Potensi Sapi Fries Holland

Sapi Fries Holland berasal dari Propinsi Belanda Utara dan Friesland Barat.

Sapi bangsa ini di Amerika Serikat disebut Friesian Holstein (FH) atau disingkat

Holstein dan di Eropa disebut Friesian. Tyler & Ensminger (2006) menjelaskan

taksonomi dari sapi Fries Holland atau Friesian Holstein. Sapi FH termasuk Divisi

Animalia, Filum Chordata, Kelas Mamalia, Ordo Artodactyla, Famili Bovidae, dan Spesies Bos taurus. Frandson (1992) menyatakan bahwa sapi FH tergolong ke dalam bangsa sapi yang paling rendah daya tahan panasnya, sehingga perlu

dipertimbangkan iklim di sekitar daerah pemeliharaan. Cekaman panas dapat

mempengaruhi suhu tubuh dan metabolisme yang selanjutnya dapat menimbulkan

terjadinya penimbunan panas dalam tubuh ternak.

Performa dan Penyapihan Pedet

Blakely & Bade (1991) menyatakan bahwa rata-rata bobot lahir anak sapi

(pedet) keturunan Friesian Holstein adalah 42 kg. Bobot lahir pedet dipengaruhi oleh

jenis kelamin, bangsa dan keturunan. Pedet yang baru lahir memiliki perut yang

terbagi menjadi empat, sama seperti sapi dewasa tetapi hanya abomasum yang

berfungsi, abomasum memiliki kapasitas dua kali lebih besar daripada bagian perut

yang lain. Rumen berfungsi baik setelah pedet berumur dua bulan atau jika pedet

(17)

Roy (1980) menyatakan bahwa pada pedet, air susu maupun pakan dalam

bentuk cair dapat langsung masuk ke dalam abomasum melalui saluran khusus yang

disebut oesophageal groove. Saluran ini terbentuk secara reflek saat protein susu terlarut diberikan. Sebelum pedet berumur dua bulan, refleks pembentukan

oesophageal groove dapat dirangsang menggunakan air dan berfungsi sebaik menggunakan air susu. Akan tetapi setelah pedet berumur lebih dari dua bulan maka

efeknya akan berkurang.

Periode kritis pemeliharaan pedet adalah saat penyapihan (penghentian

pemberian air susu pada pedet baik dari susu induk sendiri maupun induk lain).

Perlakuan lepas sapih dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: 1) dengan melihat

umur dari pedet tersebut, 2) dengan melihat bobot badan yang telah dicapai oleh

pedet, dan 3) dengan melihat banyaknya konsumsi bahan kering (BK) dari ransum

starter (Parakkasi, 1999).

Konsumsi ransum pemula (calf starter) oleh pedet di usia dini sangat penting untuk pengembangan organ pencernaan yang berfungsi untuk mencapai

pertumbuhan yang optimal. Ransum starter yang dikonsumsi sejak lepas kolostrum

dapat mempercepat periode penyapihan. Penyapihan pada pedet dapat dilakukan saat

konsumsi ransum calf starter mencapai 0,5-0,6 kg/ekor/hari (Parakkasi, 1999).

Penggunaan dan Manfaat Probiotik

Probiotik merupakan pakan tambahan dalam bentuk mikroba hidup yang

berpengaruh positif bagi hewan inang dengan meningkatkan keseimbangan mikroba

dalam saluran pencernaan tersebut. Probiotik lokal digunakan untuk memanipulasi

ekosistem rumen yang bertujuan untuk mempertinggi efisiensi fermentasi rumen

dengan cara memaksimalkan degradasi serat kasar dan sintesis protein mikrobial

serta meminimalkan produksi metan, degradasi protein, dan fermentasi pati di dalam

rumen (Amin, 1997).

Mikroorganisme yang dijadikan sebagai probiotik, perkembangannya harus

memenuhi kriteria tertentu, yaitu (1) mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap

kondisi asam sehingga koloni bakteri aktif akan tetap banyak pada saat samapi di

duodenum maupun usus halus, (2) bersifat non patogenik, (3) bersifat gram positif

karena gram positif lebih tahan terhadap pengrusakan kelenjar pencernaan, sehingga

(18)

serta tidak menimbulkan residu dan tidak menyebabkan mutasi, dan (5) bersifat

antagonis terhadap Escherichia coli karena bakteri probiotik sebagai penghasil asam (Shortt, 1999).

Probiotik tidak hanya menjaga ekosistem rumen tetapi juga menyediakan

enzim yang bisa mencerna serat kasar, protein, lemak, detoksifikasi zat beracun, dan

metabolitnya. Keuntungan penggunaan probiotik antara lain: 1) meningkatkan

utilisasi pakan, 2) meningkatkan pertumbuhan rata-rata, 3) menurunkan jumlah

mikroba patogen, 4) menstimulasi konsumsi bahan kering, 5) meningkatkan sistem

kekebalan tubuh, 6) merangsang pertumbuhan mikroba rumen seperti protozoa,

bakteri amilolitik, selulolitik, maupun total bakteri, 7) sebagai pengganti antibiotika

(Sakinah, 2005).

Probiotik dapat diberikan melalui pakan, air minum, dan kapsul. Cara

pemberian yang paling baik adalah melalui pakan untuk memperoleh jumlah dan

proporsi yang tepat. Kunci utama untuk mempertahankan jumlah yang tinggi

populasi probiotik secara permanen di dalam usus ialah pemberian yang

berkesinambungan. Pemberian probiotik secara kontinyu bertujuan untuk menjaga

keseimbangan mikroflora usus (Amin, 1997). Keuntungan utama probiotik adalah

tidak menimbulkan residu yang dapat membahayakan konsumen (Sakinah, 2005).

Penggunaan probiotik dalam bentuk mix culture (kultur campuran antara mikroba-mikroba) pada ternak ruminansia lebih efisien apabila dibandingkan dengan

bentuk mono culture (kultur tunggal). Efisiensi dapat terjadi karena pada proses biofermentasi di dalam rumen hasil degradasi suatu mikroba (intermediet product) akan digunakan oleh mikroba lain untuk pembentukan produk akhir yang berupa

volatile fatty acids (VFA), metan, dan asam amino untuk pembentukan protein tubuh mikroba, sehingga biofermentasi akan berjalan dengan baik dan optimal bila mikroba

yang disuplementasikan ke dalam rumen dapat bekerja secara sinergik dengan

mikroba rumen (Sakinah, 2005).

Peran Rumen dalam Pencernaan Pakan

Rumen merupakan organ pencernaan yang berupa tabung besar dengan

berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur ingesta yang merupakan media

fermentasi oleh mikroba. Fermentasi nutrien oleh bakteri dan mikroba lain

(19)

rumen yang berkembang dengan baik sehingga luas permukaan bertambah tujuh

kalinya. Dari keseluruhan VFA atau asam lemak terbang yang diproduksi, 85%

diabsorbsi melalui epithelium retikulo-rumen (Arora, 1989). Hungate (1966)

menyatakan bahwa rumen merupakan bagian yang terbesar dari bagian-bagian

lambung ruminansia, karena rumen dapat menampung bahan pakan yang mengalami

pencernaan fermentatif.

Perkembangan Rumen

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan rumen adalah pakan

kasar yang merupakan stimulus fisik bagi perkembangan kapasitas rumen dan

produk fermentasi yang merupakan stimulus kimia bagi perkembangan papille rumen.

Ruminansia yang memperoleh pakan berserat kasar tinggi, alat pencernaannya akan

memiliki volume total yang lebih tinggi daripada ruminansia yang memperoleh

pakan berserat kasar rendah. Setelah ternak mengkonsumsi pakan berserat kasar

tinggi maka bobot rumennya menjadi lebih berat dari pada hewan yang tidak

memakan hijauan (Hungate, 1966). Menurut Quigley (2001), hal yang menentukan

perkembangan rumen yaitu (1) perkembangan bakteri dalam rumen, (2) ketersediaan

nutrien, dan (3) tingkat absorpsi dan pemanfaatan nutrien oleh tubuh atau jaringan.

Perkembangan papille akan lebih besar terjadi pada ruminansia yang

memperoleh konsentrat daripada yang memperoleh pakan berserat kasar tinggi.

Dengan meningkatnya perkembangan papille maka luas dan kapasitasnya pun akan

meningkat akibatnya penyerapan dan koefisien penggunaan nutrien akan bertambah

(Wilson & Brigstocke, 1981).

Wilson & Brigstocke (1981) menyatakan bahwa pemberian serat kasar dalam

pakan kering selain akan meningkatkan kapasitas rumen-retikulum juga akan

meningkatkan bobot jaringan rumen-retikulum. Namun peningkatan ketebalan

dinding rumen-retikulum relatif kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan

ketebalan mukosa akibat perkembangan papille. Perkembangan papille akan lebih

besar terjadi pada ruminansia yang memperoleh pakan konsentrat daripada pakan

berserat kasar tinggi, seperti rerumputan. Perkembangan papille akan meningkat

(20)

Mikroba Rumen

Jenis-jenis mikroba penting yang menghuni rumen adalah bakteri, protozoa

dan fungi. Bakteri merupakan penghuni terbesar dalam rumen. Faktor utama yang

mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas populasi mikroba rumen adalah temperatur,

pH, kapasitas buffer, tekanan osmotik, kandungan bahan kering dan potensial

oksidasi reduksi cairan rumen (Dehority, 2004).

Adanya bakteri dan protozoa yang hidup dalam rumen menyebabkan

ruminansia dapat mencerna bahan pakan yang mengandung serat kasar tinggi.

Fermentasi merupakan proses penguraian bahan organik yang mampu menyediakan

energi bagi mikroba rumen (dihasilkan ATP), maka rendahnya VFA mencerminkan

rendahnya energi yang tersedia bagi mikroba rumen (Jayanegara et al., 2006).

Proses Pencernaan

Pencernaan merupakan proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan

pakan dalam alat pencernaan. Proses pencernaan meliputi : (1) pencernaan mekanik,

(2) pencernaan hidrolitik, dan (3) pencernaan fermentatif. Pencernaan mekanik

terjadi di mulut oleh gigi melalui proses mengunyah dengan tujuan untuk

memperkecil ukuran, yang kemudian akan masuk ke dalam perut dan usus untuk

melalui pencernaan hidrolitik, dimana nutrien akan diuraikan menjadi

molekul-molekul sederhana oleh enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh hewan

(Sutardi, 1980). Hasil pencernaan fermentatif berupa volatile fatty acids (VFA), NH3,

dan air diserap sebagian di rumen dan sebagian lagi di omasum. Selanjutnya pakan

yang tidak dicerna disalurkan ke dalam abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh

enzim-enzim pencernaan sama seperti yang terjadi pada hewan monogastrik.

Pencernaan berlangsung dari suatu saluran yang terentang dari mulut ke anus

(Frandson, 1992). Nutrien tersebut dalam saluran pencernaan mengalami

perombakan menjadi molekul yang siap untuk diserap tubuh hewan. Peningkatan

daya cerna suatu bahan pakan dapat dilakukan melalui pengaktifan mikroorganisme

yang ada dalam rumen sehingga semua komponen nutrien dapat dimanfaatkan secara

efisien oleh induk semang. Peningkatan ini dapat dilakukan dengan cara penambahan

jumlah maupun kemampuan mikroorganisme melalui sinergisme mikroorganisme

(21)

Energi

Hasil akhir pencernaan selulosa oleh mikroba adalah asam lemak terbang

(volatile fatty acids = VFA) yang terdiri dari campuran asam asetat, asam propionat, dan asam butirat. VFA dapat dimetabolisme menghasilkan energi dalam tubuh ternak

ruminansia (Arora, 1989) dan Forbes & Frances (1993) menjelaskan bahwa hasil

Sebagian besar ransum ternak ruminansia mengandung polisakarida atau

karbohidrat struktural seperti selulosa, hemiselulosa, dan karbohidrat lain yang tidak

dapat dihidrolisa oleh enzim yang dihasilkan oleh alat pencernaan hewan (Ranjhan,

1980). Polisakarida akan dihidrolisa menjadi monosakarida terutama glukosa oleh

enzim yang dihasilkan mikroba. Selanjutnya glukosa akan difermentasi menjadi

VFA.

VFA terutama yang berantai cabang, esensial untuk pertumbuhan mikroba

rumen. Kadar asam lemak rantai cabang ini umumnya sedikit. Komponen VFA yang

berkerangka karbon cabang, yaitu isobutirat dan isovalerat sangat efisien sebagai

kerangka karbon yang sangat diperlukan mikroba dalam sintesis protein komponen

selnya (Ranjhan, 1980).

Ransum dengan komponen konsentrat tinggi akan menghasilkan

perbandingan 45% asetat, 40% propionat, 5-10% butirat, dan 2-8% valerat. Apabila

konsentrat dalam ransum meningkat, maka proporsi asetat menurun dan asam

propionat meningkat (Ranjhan, 1980).

Asam-asam lemak terbang yang merupakan 60% konsumsi energi tercerna,

secara konstan masuk ke dalam aliran darah melalui dinding rumen (Arora, 1989).

Sebagian asam lemak terbang dimetabolisasi dalam dinding rumen dan hasilnya

menstimulasi perkembangan papille rumen, sehingga menambah luas permukaan

absorpsi (Arora, 1989). Pakan biji-bijian juga mengakibatkan peningkatan produksi

asam lemak terbang dan pengurangan aliran saliva, yang akan menimbulkan

(22)

Protein

Amonia merupakan nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama

dengan kerangka karbon sumber energi akan disintesis menjadi asam amino dan

selanjutnya menjadi protein mikroba (Hungate, 1966). Faktor yang mempengaruhi

konsentrasi N-NH3 adalah karbohidrat dalam ransum (Ranjhan, 1980).

Peningkatan jumlah karbohidrat mudah difermentasi (readily available carbohydrate) akan mengurangi produksi amonia karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan mikroba (Ranjhan, 1980). Kondisi yang

ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepat dengan

pembentukan NH3.

Konsentrasi amino dalam rumen tergantung pada kelarutan dan jumlah pakan.

Protein pakan yang didegradasi menjadi asam amino akan mengalami proses

deaminasi menjadi asam organik CO2 dan NH3. Molekul NH3 yang dihasilkan dapat

diubah menjadi protein mikroba kemudian mengalir ke abomasum, usus halus dan

hati. Namun NH3 yang masuk ke dalam darah dan hati diubah menjadi urea. Urea

yang dihasilkan sebagian akan masuk kembali ke dalam rumen melalui saliva

maupun dinding rumen dan sebagian lagi diekskresikan melalui urin (Ranjhan, 1980;

Arora, 1989).

Mikroorganisme rumen menghasilkan enzim protease yang digunakan untuk

menghidrolisa protein menjadi peptida dan asam amino, yang selanjutnya

didegradasi menjadi CO2, NH3 dan VFA (Ranjhan, 1980). Amonia merupakan

nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka karbon

sumber energi akan disintesis menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi protein

mikroba (Hungate, 1966). Menurut Ranjhan (1980) batas minimum kadar amonia

untuk pertumbuhan mikroba sebesar 2 mg%.

Penyediaan protein dalam ransum sangat penting untuk memenuhi kebutuhan

hidup pokok dan produksi (Sutardi, 1980). Degradasi protein dalam rumen

dipengaruhi oleh sumber protein, bentuk fisik dan kimia pakan, laju partikel pakan

dalam rumen, jumlah konsumsi energi, pertumbuhan mikroba dan ukuran partikel

(23)

Kebutuhan Nutrien Pakan

Nutrien yang dikonsumsi pedet dibutuhkan untuk hidup pokok dan

pertambahan bobot badan dalam bentuk deposit protein dan mineral. Kebutuhan

nutrien pedet antara lain bergantung kepada umur, bobot badan dan pertambahan

bobot badan (NRC, 2001). Kebutuhan hidup pokok yaitu kebutuhan untuk

mempertahankan bobot hidup. Jika sapi memperoleh pakan lebih dari kebutuhan

hidup pokok, sebagian kelebihan nutrien tersebut akan diubah menjadi bentuk

produksi, misalnya pertumbuhan atau kenaikan bobot badan, produksi air susu atau

produksi tenaga (Parakkasi, 1999). Tingkat pertambahan bobot badan maksimum

yang dapat diraih ditentukan oleh tingkat konsumsi energi (Roy, 1980). Menurut

Cullison et al. (2003), fungsi nutrien bagi ternak adalah menyediakan energi untuk produksi panas dan deposit lemak, memelihara sel-sel tubuh, mengatur berbagai

fungsi, proses dan aktivitas dalam tubuh.

Nutrien yang diperlukan ternak dapat dipisahkan menjadi komponen utama

antara lain energi, protein, mineral, dan vitamin. Orskov (2001) menyatakan bahwa

ternak membutuhkan energi untuk pemeliharaan fungsi dalam tubuh, mengontrol

temperatur tubuh, dan untuk produksi. Kebutuhan energi pada ternak dipengaruhi

oleh umur, jenis kelamin, pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, produksi, dan ukuran

tubuh (NRC, 2001). Berdasarkan NRC (2001), pada saat pertumbuhan, seekor ternak

membutuhkan kadar protein yang tinggi untuk proses pembentukan jaringan tubuh.

Ternak muda memerlukan protein lebih tinggi dibandingkan dengan ternak dewasa

karena untuk memaksimalkan pertumbuhannya.

Mineral diperlukan oleh ternak dalam jumlah yang cukup. Pada ternak

ruminansia, mineral selain digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri juga

digunakan untuk mendukung dan memasok kebutuhan mikroba rumen. Apabila

terjadi defisiensi salah satu mineral maka aktivitas fermentasi mikroba tidak

berlangsung secara optimum sehingga akan berdampak pada menurunnya

produktivitas ternak (McDowel, 1992). Beberapa mineral mempunyai fungsi untuk

pertumbuhan, reproduksi, dan untuk memelihara kesehatan. Jika terjadi

ketidakseimbangan hubungan antar mineral maka dapat berpengaruh terhadap

(24)

dari yang tidak terlihat gejalanya atau subklinis sampai yang sangat jelas gejalanya

atau akut.

Seiring dengan bertambahnya konsumsi pakan padat seperti rumput dan calf starter maka papille rumen akan berkembang yang diiringi dengan pertumbuhan mikroorganisme rumen (Rakhmanto, 2009). Jumlah mikroorganisme akan stabil jika

pH rumen mendekati pH netral yang dicapai pada umur sekitar delapan minggu (Roy,

1980). Jumlah bahan kering yang dapat dikonsumsi pada pakan cair lebih banyak

dibandingkan dengan pakan padat sampai anak sapi mempunyai berat hidup 70 kg

dikarenakan energi dari susu dapat tercerna lebih efisien oleh pencernaan

monogastrik dibanding dengan pencernaan pakan padat pada ruminan (Roy, 1980).

Sapi akan mengkonsumsi bahan kering berkisar antara 1,4-2,7% dari bobot badannya

(NRC, 2001).

Konsentrat

Pemberian konsentrat pada pedet harus dilakukan secara bertahap. Hal ini

disebabkan adanya keterbatasan kemampuan rumen yang belum berkembang dan

kebiasaan pedet yang lebih menyukai pakan cair. Pakan padat yang diberikan pada

awal pertumbuhan pedet dikenal dengan calf starter (ransum pemula). Ransum pemula yang diberikan biasanya berupa campuran dari berbagai jenis bahan pakan

berenergi dan protein tinggi (Parakkasi, 1999).

Konsentrat dapat merupakan sumber protein maupun sumber energi.

Konsentrat sumber energi adalah bahan pakan yang mengandung protein kasar

kurang dari 20% dan serat kasar kurang dari 18%. Pemberian konsentrat yg

terlampau banyak akan meningkatkan konsentrasi energi ransum dan dapat

menurunkan tingkat konsumsi sehingga tingkat konsumsi berkurang (Parakkasi,

1999).

Konsentrat biasanya tersusun dari berbagai bahan pakan biji-bijian dan hasil

ikutan dari pengolahan hasil pertanian maupun industri. Pemberian konsentrat

dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan sapi. Namun, pemberian pakan

penguat berupa konsentrat harus memperhitungkan nilai ekonomisnya. Pemberian

konsentrat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerugian bila tidak diiringi

(25)

Serat Kasar Pakan

Menurut Sutardi (1980), dinding sel dapat dibagi menjadi fraksi yang larut

dan tidak larut. Fraksi yang larut sebagian besar terdiri atas hemiselulosa dan sedikit

protein dinding sel. Fraksi yang tidak larut adalah lignoselulosa yang lazim disebut

acid detergent fiber (ADF), dan dari ADF dapat diperoleh selulosa dan lignin.

Kandungan serat kasar yang tinggi akan menghambat gerak laju digesta di

dalam alat pencernaan. Kandungan serat kasar tersebut menyebabkan daya cerna

karbohidrat maupun nutrien lainnya menjadi turun (Parakkasi, 1999).

Menurut Arora (1989), hasil akhir dari proses pencernaan golongan

hemiselulosa dan selulosa berupa asam asetat, asam propionate dan asam butirat.

Fungsi hemiselulosa dan selulosa dalam saluran pencernaan tidak spesifik, tetapi

penting dalam meningkatkan gerak peristaltik pada pencernaan hewan golongan non

ruminansia, juga merupakan sumber energi dari mikroorganisme dalam lambung dan

sebagai bahan pengisi lambung. Golongan lignin tidak dapat dicerna dan tidak

memiliki hasil akhir dari proses pencernaan serta keberadaannya dapat menghambat

proses pencernaan pada ternak.

Pencernaan Serat pada Ruminansia

Kurang lebih 60-75% dari ransum yang biasa dimakan ruminansia terdiri dari

karbohidrat struktural dan nonstruktural. Komponen karbohidrat struktural yang

berupa serat kasar sebagian besar terdapat sebagai selulosa, hemiselulosa dan lignin,

sedangkan karbohidrat nonstruktural dalam konsentrat umumnya terdapat sebagai

pati.

Karbohidrat pakan di dalam rumen mengalami tiga tahap pencernaan oleh

enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Pada tahap pertama, karbohidrat

mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa dan pentosa.

Hasil pencernaan tahap pertama tersebut segera memasuki jalur glikolisis

Embden-Meyerhoff untuk mengalami pencernaan tahap kedua yang menghasilkan piruvat.

Piruvat kemudian akan diubah menjadi VFA (volatile fatty acid) yang umumnya terdiri dari asetat, butirat, propionat. Disamping VFA sebagai produk utama, hasil

fermentasi di dalam rumen lain adalah CO2 dan CH4 yang dikeluarkan melalui proses

eruktasi. VFA merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan

(26)

Konsumsi Ransum

Jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak atau sekelompok ternak yang

mengandung nutrien di dalamnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup

pokok dan produksi ternak tersebut. Menurut Parakkasi (1999) konsumsi pakan

merupakan faktor esensial untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan menentukan

produksi sehingga dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat

ditentukan kadar nutrien dalam ransum yang dapat digunakan untuk memenuhi hidup

pokok dan produksi.

Konsumsi dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

internal berasal dari dalam ternak itu sendiri sedangkan faktor eksternal berasal dari

pakan dan lingkungan sekitar dimana ternak tersebut hidup. Konsumsi pakan

dipengaruhi oleh palatabilitas, sedangkan palatabilitas pakan tergantung pada bau,

rasa, tekstur dan temperatur pakan yang diberikan (Church & Pond, 1988). Parakkasi

(1999) menyatakan bahwa konsumsi ditentukan oleh: (1) berat atau besar badan, (2)

jenis pakan (daya cerna), (3) umur dan kondisi ternak, (4) kadar energi bahan pakan,

(5) cekaman (stress) dan (6) jenis kelamin.

Kecernaan Nutrien

Kecernaan adalah perubahan sifat fisik dan kimia yang dialami bahan pakan

dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan pakan menjadi

butir-butir atau partikel kecil, atau penguraian molekul besar menjadi molekul kecil.

Selain itu, dalam alat pencernaan terutama pada ruminansia bahan pakan mengalami

pula perombakan sehingga sifat-sifat kimia bahan pakan berubah (Sutardi, 1980).

Berdasarkan perubahan yang terjadi pada bahan pakan di dalam alat

pencernaan, proses pencernaan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu pencernaan

mekanik, pencernaan hidrolitik, dan pencernaan fermentatif. Pencernaan fermentatif

pada ternak ruminansia terjadi dalam rumen berupa perubahan senyawa-senyawa

tertentu menjadi senyawa lain yang sama sekali berbeda dari molekul zat asalnya.

Perbedaan prinsip antara pencernaan hidrolitik dengan pencernaan fermentatif adalah

pada pencernaan hidrolitik nutrien yang berupa polimer dihidrolisa menjadi

monomer-monomernya, sedangkan pada pencernaan fermentatif monomer-monomer

tersebut segera dikatabolisasi lebih lanjut. Misalnya protein difermentasi menjadi

(27)

Kecernaan atau ketersediaan nutrien dalam bahan pakan untuk diserap oleh

saluran pencernaan banyak tergantung pada status dan produktivitas atau fungsi

fisiologis ternak (Parakkasi, 1999). Parakkasi (1999) mendefinisikan kecernaan

sebagai bagian yang tidak dieksresikan dalam feses dimana bagian tersebut

diasumsikan diserap oleh tubuh ternak, dinyatakan dalam persen bahan kering.

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa nutrien yang dicerna adalah bagian nutrien

yang tidak dikeluarkan dan diperkirakan diserap oleh tubuh hewan. Selisih antara

nutrien yang terkandung dalam pakan yang dimakan dan nutrien dalam feses adalah

jumlah yang tinggal di dalam tubuh hewan atau jumlah dari nutrien yang dicerna

(Parakkasi, 1999). Pakan yang mengandung serat kasar dapat menurunkan nilai

kecernaan nutrien lainnya karena untuk mencerna serat kasar diperlukan banyak

energi.

Faktor–faktor yang berpengaruh terhadap nilai kecernaan yaitu aspek pakan,

ternak dan lingkungan. Perlakuan terhadap pakan (pengolahan, penyimpanan, dan

cara pemberian), jenis, jumlah, dan komposisi pakan yang diberikan pada ternak.

Umur ternak, kemampuan mikroba rumen mencerna pakan, jenis hewan serta variasi

hewan turut menentukan nilai kecernaan (Parakkasi, 1999).

Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan dipengaruhi antara lain oleh jenis

hewan, macam bahan pakan, jumlah ransum yang diberikan, cara penyediaan pakan,

dan kadar nutrien yang terkandung (Ranjhan, 1980). Faktor yang berpengaruh

lainnya, menurut Arora (1989) yaitu laju pengisian dan pengaliran rumen yang

merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat dan tempat pencernaaan, tingkat

konsumsi mikroba, produksi akhir fermentasi dan penggunaan nitrogen.

Menurut Sutardi (1980) ada dua metode untuk menentukan koefisien cerna

yaitu metode koleksi total dan metode indikator, sedangkan pengukurannya dapat

dilakukan secara in vitro, in vivo dan perhitungan berdasarkan kadar nutrien hasil analisis kimia. Untuk memperoleh angka kecernaan suatu nutrien, diperlukan data

mengenai banyaknya nutrien yang dikonsumsi dan yang terdapat dalam feses. Untuk

mengetahui jumlah nutrien yang dikonsumsi yaitu dengan cara mengalikan jumlah

bahan kering ransum dengan persentase kandungan nutrien dalam ransum, begitu

juga untuk menghitung banyaknya nutrien didalam feses, sedangkan persentase

(28)

Produksi Amonia

Tingkat kecernaan dan degradasi protein terkait dengan tinggi rendahnya

kadar amonia dalam cairan rumen. Produksi amonia rumen dipengaruhi oleh pH

rumen, kelarutan protein bahan pakan, daya tahan protein terhadap degradasi, dan

lamanya bahan pakan dalam rumen. Amonia merupakan sumber nitrogen yang

dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka karbon sumber energi

akan disintesis menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi komponen protein

mikroba (Hungate, 1966). Peningkatan jumlah karbohidrat mudah difermentasi

(RAC) akan mengurangi produksi amonia karena terjadi kenaikan penggunaan

amonia untuk pertumbuhan mikroba (Ranjhan, 1980).

Produksi VFA

Kecernaan dan fermentasi karbohidrat terkait dengan kadar VFA dalam

cairan rumen. Karohidrat yang mudah dicerna akan mudah mengalami fermentasi

dalam rumen. Sebagian besar VFA diserap langsung melalui dinding rumen, dan

sebagian kecil asetat dan propionat serta sebagian besar butirat termetabolisme dalam

dinding rumen (Parakkasi, 1999). Komposisi VFA di dalam rumen berubah dengan

adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian

pakan, serta pengolahan komponen pakan. Produksi VFA yang tinggi merupakan

indikator kecukupan energi bagi ternak (Sakinah, 2005).

Total Digestible Nutrient (TDN)

Kecernaan komponen nutrien yang tinggi tergambarkan oleh nilai kecernaan

nutrien yang tinggi. Tingkat kecernaan nutrien pakan biasanya diekspresikan dalam

satuan nutrien total tercerna atau total digestible nutrien (TDN). TDN merupakan jumlah dari semua nutrien organik yang dapat dicerna, seperti protein, lemak, serat

kasar, dan BETN (bahan ekstrak tanpa nitrogen). Konversi nilai TDN dari nilai

kecernaan nutrien dilakukan dengan memperhitungkan kadar energi lemak sehingga

lemak mempuyai nilai kesetaraan karbohidrat 2,25 karena nilai energi lemak 2,25

kali lebih tinggi daripada nilai energi karbohidrat dan protein (Sutardi, 1980).

Konsumsi TDN berkaitan dengan suplai energi dapat dicerna yang sangat

diperlukan oleh ternak, sehingga konsumsi TDN akan memberikan suplai energi

yang digunakan dalam proses metabolisme dalam tubuh, namun proses pertumbuhan

(29)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2009 sampai dengan Maret

2010, bertempat di kandang A sapi perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi

Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Ternak yang Digunakan

Ternak yang digunakan dalam penelitian adalah tujuh ekor pedet peranakan

FH (Friesian Holstein) yang berumur delapan minggu dengan rataan bobot badan

43,11±7,13 kg.

Gambar 1.Contoh Pedet yang Digunakan dalam Penelitian

Kandang dan Peralatan

Pedet dipelihara dalam kandang individu berukuran 2,0x1,5 m2 yang diberi

alas papan kayu dan dipagari dengan bambu. Kandang dilengkapi dengan tempat

pakan dan tempat air minum serta lampu penerangan. Peralatan lain yang digunakan

adalah timbangan, kantong plastik, sekop dan kantong kain.

(a) (b)

(30)

Ransum Penelitian

Ransum diformulasikan berdasarkan komposisi nutrien bahan pakan menurut

hasil analisa di Laboratorium Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor. Air minum yang diberikan berasal dari air keran yang ada di

kandang. Bahan pakan komponen ransum yang digunakan adalah jagung giling,

bungkil kedelai, pollard, molases, onggok, bungkil kelapa, dan mineral. Komposisi

bahan pakan dalam ransum ditunjukkan dalam Tabel 1 dan kandungan nutrien

ransum ditunjukkan dalam Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan dalam Ransum

Bahan Pakan Komposisi dalam Ransum (%)

Jagung giling 9,39

Bungkil kedelai 14,62

Pollard 14,33

Molases 7,21

Onggok 39,62

Bungkil kelapa 13,64

Mineral 1,19

Total 100,00

Tabel 2. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian

Nutrien Persentase dalam ransum

Bahan kering (%) 80,55

Abu (%BK) 6,47

Protein (%BK) 19,30

Serat kasar (%BK) 15,52

Lemak (%BK) 0,86

BETN (%BK) 57,85

(31)

METODE Perlakuan

Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah kontrol (pedet tanpa

inokulasi bakteri pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau) dan inokulasi (pedet

dengan inokulasi bakteri pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau).

Semua pedet mendapat pakan yang sama yaitu calf grower. Sebanyak 20 ml cairan media biakan bakteri dengan konsentrasi 4,56 x 109 CFU/ml, digunakan

sebagai inokulan dan diberikan pada tiga ekor pedet. Empat ekor pedet dipelihara

tanpa mendapatkan inokulan. Pemberian inokulan dilakukan setiap pagi hari dengan

dicekokan langsung pada setiap pedet. Pemberian inokulan dihentikan setelah dua

minggu.

Gambar 3. Pemberian Isolasi Bakteri Pencerna Serat pada Pedet dengan Cara Dicekok

Pembuatan Ransum dan Pemberian Pakan

Pembuatan ransum dilakukan secara manual dengan mencampurkan semua

bahan pakan diatas lantai yang beralaskan terpal. Pencampuran masing-masing

bahan pakan dilakukan secara bertahap yaitu dengan mencampurkannya satu persatu

mulai dari yang bahan pakan yang jumlahnya paling kecil.

Selama periode menyusu atau empat minggu percobaan, setiap pedet

percobaan mendapatkan susu sesuai dengan jumlah berat badannya yang diberikan

pada pukul 8.00 WIB dan pukul 15.00 WIB. Disamping mendapatkan susu, selama

periode menyusu kedua kelompok pedet percobaan mendapatkan calf stater. Setelah disapih pedet diberi calf grower yang sama selama percobaan. Pakan padat dan air minum diberikan ad libitum, sesuai dengan kemampuan pedet mengkonsumsi pakan. Sisa pakan dari setiap pedet ditimbang setiap hari lalu dikumpulkan di dalam

(32)

Gambar 4.Pembuatan Ransum Calf Grower

Persiapan Isolat Bakteri

Isolat bakteri yang digunakan berjumlah tujuh isolat hasil isolasi mikroba

rumen pencerna serat (Gayatri, 2010; Astuti, 2010) yang berasal dari rumen kerbau

dan merupakan koleksi Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Fakultas

Peternakan IPB. Bakteri tersebut mampu hidup pada media sumber serat dan mampu

mencerna serat dengan baik. Semua isolat bakteri ditumbuhkan di dalam satu media

susu segar steril selama tiga hari. Bakteri tersebut dapat tumbuh dengan baik pada

media yang berprotein tinggi walaupun tidak mengandung serat kasar.

Gambar 5.Isolat Bakteri yang Sudah Dibiakkan pada Susu Segar Steril

Koleksi Feses

Koleksi feses dilakukan selama satu minggu pada minggu ke delapan atau

empat minggu setelah disapih dan inokulasi bakteri dihentikan. Feses yang sudah

dikumpulkan setiap harinya dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berbeda

untuk masing-masing pedet. Feses harian ditimbang berat totalnya lalu diambil 10%

dan dimasukkan ke dalam kantong kain sebagai sampel untuk dikeringkan dan

(33)

Gambar 6.Koleksi Total Feses untuk Pengukuran Kecernaan Nutrien

Pengambilan Sampel Cairan Rumen

Pengambilan sampel cairan rumen pedet dilakukan dua kali yaitu pada

minggu ke dua setelah terakhir inokulasi bakteri dan pada akhir minggu ke empat

yaitu pada hari setelah koleksi feses berakhir. Cairan rumen diambil menggunakan

selang yang dimasukkan ke dalam mulut pedet lalu cairan rumen disedot dengan

pompa vakum. Kadar NH3 dan VFA cairan rumen dianalisis.

Gambar 7.Pengambilan Cairan Rumen Menggunakan Selang yang Dimasukkan Melalui Mulut Pedet

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) konsumsi nutrien

ransum, (2) Total Digestible Nutrient (TDN), (3) kecernaan bahan kering dan bahan organik, (4) konsentrasi NH3, dan (5) produksi VFA.

Konsumsi Calf Grower

Konsumsi harian calf grower dihitung dari selisih jumlah calf grower yang diberikan dengan sisa calf grower yang tidak dikonsumsi dalam 24 jam. Penghitungan dilakukan dalam bahan kering (BK).

(34)

Total Digestible Nutrient

Total digestible nutrient (TDN) merupakan nilai yang menunjukkan jumlah dari nutrien yang dapat dicerna ternak, yang merupakan jumlah dari semua nutrien

organik yang dapat dicerna, seperti protein, lemak, serat kasar, dan BETN (bahan

ekstrak tanpa nitrogen). Nilai TDN dihitung dengan menggunakan rumus:

TDN = Proteint + (2,25x Lemakt) + SKt + BETNt

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Pengukuran kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik

(KCBO) dilakukan dengan metode oven. Feses yang telah dikumpulkan dikeringkan

di bawah sinar matahari selama beberapa hari sampai feses kering. Setelah itu feses

dimasukkan ke dalam oven 60°C sampai feses kering. Setelah itu feses dihaluskan

lalu diambil sekitar 3-5 gram kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen lalu

feses dimasukkan ke dalam oven 105°C sampai kering. Setelah itu feses dimasukkan

ke dalam tanur 600°C selama kurang lebih 6 jam. Kecernaan dihitung dengan

Pengukuran konsentrsi NH3 cairan rumen dilakukan dengan menggunakan

metode mikrodifusi conway. Cawan conway yang dipakai terlebih dahulu diolesi

vaselin pada kedua bibirnya. Sebanyak 1 ml supernatan ditempatkan pada salah satu

sisi sekat cawan dan di sisi yang lain ditempatkan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh. Cawan

diletakkan miring ke arah sekat sehingga kedua larutan tidak tercampur. Pada bagian

tengah cawan ditempatkan 1 ml asam borat berindikator merah metil dan brom

kreosol hijau. Kemudian cawan ditutup rapat sehingga kedap udara. Larutan Na2CO3

dicampurkan dengan supernatan dengan cara menggoyangkan dan memiringkan

(35)

cawan dibuka asam borat dititrasi dengan 0,005 N H2SO4 sampai warnanya kembali

menjadi merah muda. Perhitungan untuk konsentrasi NH3 menggunakan rumus:

NH3 (mM) = ml H2SO4 x N-H2SO4 x 1000

Produksi VFA

Pengukuran produksi VFA dilakukan dengan menggunakan teknik destilasi

uap (steam destilation). Sebanyak 5 ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung

destilasi Markham lalu ditambahkan 1 ml H2SO4 15% dan tabung segera ditutup.

Proses destilasi dilakukan dengan cara menghubungkan tabung dengan labu yang

berisi air mendidih. Destilat ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH

00,5 N sampai volumenya mencapai 300 ml. Setelah itu ditambahkan indikator

fenolptalin sebanyak 2-3 tetes dan kemudian dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai

warna titran berubah dari merah jambu menjadi bening. Perhitungan untuk

konsentrasi VFA menggunakan rumus:

VFA total (mM) = (ml titran blanko – ml titran sampel) x N-HCl x 1000/5

Analisis Data

Perlakuan inokulasi dan kontrol diterapkan pada pedet dalam Rancangan

Acak Lengkap (RAL). Pedet yang mendapatkan perlakuan kontrol berjumlah empat

ekor dan pedet yang mendapatkan perlakuan inokulasi berjumlah tiga ekor. Setiap

pedet merupakan ulangan dalam setiap perlakuan.

Rataan konsumsi nutrien, kecernaan nutrien, konsentrasi NH3 dan VFA

cairan rumen serta TDN dari pedet yang diinokulasi dibandingkan dengan dari pedet

kontrol dengan Uji-t pada α=0,05 (Steel & Torrie, 1991) menggunakan rumus:

Keterangan: = rataan perlakuan ke-1

= rataan perlakuan ke-2

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Nutrien Ransum

Ternak mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan nutrien. Ransum

yang diberikan dalam penelitian ini merupakan ransum calf grower yang telah diperhitungkan kandungan nutriennya sesuai dengan kemampuan pedet

mengkonsumsi pakan. Tingkat konsumsi merupakan jumlah pakan yang terkonsumsi

ternak bila bahan pakan tersebut diberikan ad libitum (Parakkasi, 1999). Tingkat konsumsi dalam kajian inti telah dijadikan indikator perkembangan alat pencernaan

pedet percobaan. Konsumsi bahan kering ransum menggambarkan tingkat

aseptabilitas seekor ternak terhadap pakan. Sutardi (1980) menyatakan bahwa faktor

yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah pakan yang

tersedia dan kualitas atau komposisi kimia bahan pakan.

Palatabilitas didefinisikan sebagai respon ternak terhadap pakan yang

diberikan dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh ternak ruminansia tetapi juga

dilakukan oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan yang

diberikan (Church & Pond, 1988). Tingkat konsumsi pakan yang cukup tinggi

menunjukkan bahwa pakan yang diberikan memiliki tingkat palatabilitas yang cukup

tinggi.

Konsumsi ransum pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan

energi. Ternak akan berhenti makan apabila telah merasa tercukupi kebutuhan

energinya. Namun apabila ransum tidak padat energi (tinggi serat), maka daya

tampung alat pencernaan fermentatif akan menjadi faktor pembatas utama konsumsi

ransum. Ternak akan berhenti makan setelah kapasitas rumennya terpenuhi,

meskipun sesungguhnya kebutuhan energinya belum terpenuhi (Amin, 1997).

Konsumsi bahan kering (BK) merupakan salah satu penentu ketersediaan

nutrien dalam tubuh ternak yang akan menunjang hidup pokok dan produksi.

Konsumsi bahan kering ransum selama pasca sapih disajikan pada Gambar 8 dan

(37)

0

Gambar 8.Konsumsi Bahan Kering Ransum Pedet Percobaan Selama Periode Pasca Sapih

Tabel 3. Rataan Konsumsi Nutrien Ransum pada Pedet yang Mendapat Ransum tanpa atau dengan Inokulan Selama Pasca Sapih

Nutrien Ransum Perlakuan

Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05)

Rataan konsumsi harian bahan kering ransum mencapai 920 g/ekor/hr untuk

kontrol sedangkan kelompok yang mendapat inokulasi mencapai 1683 g/ekor/hr.

Nilai tersebut sudah mencukupi kebutuhan bahan kering pedet berdasarkan Sutardi

(1980) dan NRC (2001). Menurut Sutardi (1980), kebutuhan BK untuk pedet dengan

bobot badan (BB) 30-64 kg dan umur 1-4 bulan adalah sebanyak 480-1800 g/ekor/hr

(1,6%-2,8% BB), sedangkan menurut NRC (2001), kebutuhan BK untuk pedet

dengan BB 30-60 kg dan PBB 0,4-0,6 kg adalah 560-1040 g/ekor/hr (1,4%-1,7%

(38)

Rataan konsumsi bahan kering ransum pada pedet yang diinokulasi isolat

bakteri lebih tinggi daripada kontrol. Konsumsi bahan kering tersebut seiring dengan

konsumsi bahan organik, protein, serat kasar, lemak dan BETN. Pemberian inokulan

tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi BK, BO, protein, serat kasar, lemak dan

BETN. Menurut Amin (1997), peningkatan kecepatan kecernaan serat dan

pembentukan protein mikroba akan menyebabkan laju aliran pakan ke usus halus

lebih cepat, sehingga dapat meningkatkan jumlah pakan yang dikonsumsi dan

pasokan substrat ke usus halus. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan inokulasi isolat

bakteri menyebabkan pedet lebih menyukai pakan sehingga konsumsi pun meningkat.

Total Digestible Nutrient (TDN)

Energi merupakan bagian terbesar yang disuplai oleh hampir semua bahan

pakan. Nilai TDN merupakan nilai yang menunjukkan jumlah nutrien yang dapat

dicerna hewan, dan merupakan jumlah semua nutrien organik yang dapat dicerna

seperti protein, serat kasar, lemak dan BETN. Rataan konsumsi TDN pada penelitian

ini adalah 753 ± 317 g/ekor/hr untuk kontrol dan 1.357 ± 325 g/ekor/hr untuk

inokulasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa inokulasi bakteri

tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi TDN. Konsumsi TDN kontrol lebih

rendah daripada inokulasi. Hal ini dikarenakan bobot badan pedet yang berbeda dan

konsumsi BK pedet kontrol lebih rendah dari inokulasi. Konsumsi TDN dipengaruhi

oleh kualitas ransum, dimana semakin tinggi kandungan serat kasar dalam ransum

y = 0.3331x + 275.18

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800

TDN (g/ekor/hr)

(39)

maka TDN yang dikonsumsi semakin rendah dan semakin baik kualitas ransum yang

diberikan maka TDN yang dikonsumsi semakin tinggi (Utomo, 2003).

Gambar 9 menunjukkan hubungan antara konsumsi TDN dengan

pertambahan bobot badan (PBB) pedet lepas sapih baik yang tidak maupun

diinokulasi bakteri. Pertambahan bobot badan dapat digunakan sebagai ukuran

efisiensi pemanfaatan nutrien oleh ternak. Menurut Amin (1997), penambahan isolat

bakteri dapat meningkatkan pertambahan bobot badan. Tingkat konsumsi yang tinggi

biasanya diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi pula. Semakin tinggi

PBB pedet maka semakin tinggi pula konsumsi TDN ransum. Hal tersebut

dikarenakan semakin tinggi PBB pedet maka semakin tinggi pula nutrien diantaranya

energi yang dibutuhkan. Persamaan dalam Gambar 9 menunjukkan bahwa kebutuhan

TDN untuk hidup pokok adalah 275,18 g/ekor/hr dan kebutuhan TDN untuk rataan

pertumbuhan 612,24 g/ekor/hr adalah 479,12 g/ekor/hr.

Jika energi yang masuk lebih rendah daripada kebutuhan hidup pokok, maka

ternak akan mengalami penurunan pertambahan bobot badan karena ternak akan

menggunakan jaringan tubuh untuk mempertahankan hidup. Sedangkan jika energi

yang masuk berlebih akan mengarah pada produksi lemak tubuh yang lebih tinggi.

Tidak semua energi yang dikonsumsi dapat dicerna dan diserap oleh tubuh, energi

yang tidak terpakai akan dikeluarkan melalui feses dan urin (Parakkasi, 1999). NRC

(2001) menyatakan bahwa kebutuhan energi pada ternak dipengaruhi oleh umur,

jenis kelamin, pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, produksi, dan ukuran tubuh.

Kondisi lingkungan seperti temperatur, kelembaban dan cuaca juga berpengaruh

terhadap kebutuhan energi.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Kecernaan merupakan peubah yang menunjukkan jumlah bagian pakan yang

dikonsumsi yang dapat diserap oleh tubuh, karena dalam suatu proses pencernaan

selalu ada bagian yang tidak dapat dicerna dan dikeluarkan dalam bentuk feses.

Kecernaan nutrien yang biasa diukur adalah kecernaan bahan kering dan bahan

organik karena keduanya dapat digunakan sebagai indikator bahwa pakan dapat

difermentasi oleh mikroba rumen yang berperan dalam pencernaan fermentatif pada

ruminansia. Kecernaan nutrien merupakan salah satu ukuran dalam menentukan

(40)

tinggi juga jumlah nutrien yang dapat dimanfaatkan ternak untuk hidup pokok dan

pertumbuhannya.

Kecernaan dan ketersediaan nutrien dalam bahan pakan dipengaruhi oleh

status dan produktivitas serta fungsi fisiologis ternak (Parakkasi, 1999). Faktor yang

mempengaruhi daya cerna ransum menurut Sutardi (1980) yaitu suhu lingkungan,

laju perjalanan pakan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, komposisi

ransum, dan rasio nutrien dalam bahan pakan. Sutardi (1980) menyatakan bahwa

selain komposisi pakan yang diberikan mengandung nutrien lengkap, nilai kecernaan

suatu pakan juga dipengaruhi oleh kemampuan mikroba rumen dalam mencerna

pakan. Semakin banyak bakteri dalam media cairan rumen maka enzim yang

dikeluarkan bakteri untuk mendegradasi ransum semakin tinggi konsentrasinya

sehingga kecernaan meningkat.

Menurut Amin (1997) bakteri dapat ditambahkan ke dalam pakan sebagai

probiotik. Probiotik merupakan mikroba hidup yang berpengaruh positif bagi hewan

inang dengan meningkatkan keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan

hewan tersebut. Pemberian probiotik pada ternak diharapkan dapat meningkatkan

kecernaan nutrien ransum.

Tabel 4. Rataan Kecernaan Nutrien Pada Pedet Pasca Sapih yang pada Periode Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri

Kecernaan Perlakuan

Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata

(P<0,05)

Rataan kecernaan bahan kering dan komponen nutrien dapat dilihat pada

Tabel 4. Inokulasi bakteri selama periode menyusu tidak berpengaruh nyata pada

(41)

sapih. Kecernaan bahan kering pada penelitian ini berada pada kisaran 75,15-83,80%.

Nilai tersebut menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering cukup tinggi. Sutardi

(1980) menyatakan bahwa bila kadar lignin bahan pakan tinggi, maka kecernaan

bahan pakan itu rendah. Namun dalam kajian ini pakan mengandung serat kasar yang

rendah, sehinga pengaruh lignin terhadap kecernaan sangat rendah. Hal ini

menggambarkan bahwa pedet telah mempunyai kemampuan mencerna yang tinggi.

Kecernaan bahan kering juga dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan,

karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang

berbeda-beda (Sutardi, 1980). Kecernaan bahan kering pada penelitian ini cukup

tinggi karena kandungan lemak bahan pakan yang digunakan cukup rendah dan

kandungan proteinnya pun cukup tinggi.

Berdasarkan kecernaan bahan kering tersebut dapat diketahui bahwa mikroba

rumen dapat berkembang dengan baik. Selain itu juga dapat membuktikan bahwa

mikroba rumen tersebut dapat mencerna komponen nutrien yang ada dalam rumen.

Namun, inokulasi bakteri tidak berpengaruh nyata pada kecernaan bahan kering dan

bahan organik. Amin (1997) melaporkan bahwa penggunaan probiotik lokal

bertujuan untuk memanipulasi ekosistem rumen yang bertujuan untuk mempertinggi

efisiensi fermentasi rumen dengan cara memaksimalkan degradasi serat kasar dan

sintesis protein mikrobial serta meminimalkan produksi metan, degradasi protein,

dan fermentasi pati di dalam rumen. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa

mikroba yang diinokulasikan pada rumen pedet lebih berperan dalam mempercepat

proses pencernaan sehingga laju aliran nutrien menjadi lebih cepat dan meningkatkan

konsumsi, sedangkan peningkatan laju aliran digesta mengakibatkan nutrien tersebut

tidak sempat dicerna seluruhnya.

Kecernaan bahan organik juga dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai

kualitas ransum seperti halnya kecernaan bahan kering (Sutardi, 1980). Bahan

organik menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Semakin

tinggi nilai kecernaan suatu bahan pakan semakin banyak nutrien yang diserap tubuh

(Silalahi, 2003). Kecernaan bahan organik pada penelitian berada pada kisaran

84,61-89,54%. Kecernaan bahan organik lebih tinggi daripada kecernaan bahan

kering. Hasil analisa menunjukkan bahwa pemberian probiotik tidak berpengaruh

(42)

membuktikan bahwa kelarutan bahan mineral atau abu cukup tinggi. Hasil kecernaan

bahan organik ini sejalan dengan nilai kecernaan bahan kering. Hal ini karena bahan

kering suatu bahan pakan sebagian besar terdiri dari bahan organik (Sutardi, 1980).

Nilai kecernaan bahan organik merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan

kualitas pakan, dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pakan yang digunakan

kualitasnya cukup baik karena nilai kecernaan bahan organiknya yang tinggi. Dengan

demikian dapat dinyatakan bahwa pemberian inokulan tidak menunjukkan pengaruh

yang berlanjut terhadap kecernaan nutrien pakan pada perode pasca penyapihan.

Konsentrasi NH3

Amonia dalam cairan rumen merupakan hasil dari proses degradasi protein

dan nitrogen bukan protein (NPN) yang masuk ke dalam rumen. Amonia merupakan

senyawa nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka

karbon sumber energi akan disintesis menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi

protein mikroba (Hungate, 1966). Konsentrasi NH3 merupakan indikator jumlah

protein ransum yang didegradasi di dalam rumen dan nilainya sangat dipengaruhi

oleh kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi protein ransum.

Meningkatnya populasi mikroba dapat menyebabkan peningkatan penggunaan

amonia, kecernaan serat dan sintesa protein mikroba (Amin, 1997).

Tabel 5. Rataan Konsentrasi NH3 dan VFA Total Cairan Rumen Pedet Pasca Sapih

yang pada Periode Prasapih Mendapatkan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri

Gambar

Gambar 1. Contoh Pedet yang Digunakan dalam Penelitian
Tabel 2. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian
Gambar 3. Pemberian Isolasi Bakteri Pencerna Serat pada Pedet dengan Cara
Gambar 5. Isolat Bakteri yang Sudah Dibiakkan pada Susu Segar Steril
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang telah ditetapkan 0.05 maka Ho ditolak dan H1 diterima, yang artinya Sistem Informasi Akuntansi (Persediaan) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

To know the implementation of e-learning in discussion group using Nicenet .org in International Class batch 2012 students’ writing ability.. To find out the

Hal ini di buktikan dari (Tabel 1) banyaknya usaha photobooth pada satu kota yang sama. Jasa yang ditawarkan oleh berbagai pesaing tersebut pada umumnya sama /

Hubungan Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Dengan Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia pra Sekolah Yang Sedang Dirawat di Ruang anak Rumah Sakit Islam

yang direkomendasikan Jika produk ini mengandung komponen dengan batas pemaparan, atmosfir tempat kerja pribadi atau pemantauan biologis mungkin akan diperlukan untuk

Yang dimaksud sales promotion girls (SPG) non Event disini adalah sales promotion girls (SPG) menawarkan barang tidak melalui event-event yang diselengarakan oleh perusahaan

Setelah diberikan perlakuan bimbingan kelompok teknik remedial teaching dengan metode mind maping , hasil post-test menunjukkan adanya penurunan tingkat kesulitan

[r]