• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunitas Benthos di Selat Bali Bagian Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunitas Benthos di Selat Bali Bagian Selatan"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

i

KOMUNITAS BENTHOS

DI SELAT BALI BAGIAN SELATAN

ARIF NURCAHYANTO

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Komunitas Benthos di Selat Bali Bagian Selatan

adalah benar hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

(3)

iii

RINGKASAN

Arif Nurcahyanto. C24070040. Komunitas Benthos di Selat Bali Bagian Selatan. Di bawah bimbingan Yusli Wardiatno dan Majariana Krisanti.

Selat Bali berfungsi sebagai daerah yang sangat penting dalam menghidupkan perekonomian di Jawa Timur dan Bali karena berbagai kegiatan manusia yang berlangsung di sana. Selat Bali bagian selatan termasuk daerah laut dalam, daerah ini memiliki kedalaman hingga mencapai lebih dari 2000 m. Selat Bali bagian selatan memiliki berbagai macam sumberdaya hayati perairan, salah satunya adalah benthos. Benthos merupakan organisme yang hidup di dasar perairan. Menurut ukurannya, benthos dapat dibagi menjadi makrozoobenthos dan meiobenthos. Informasi mengenai benthos di perairan laut dalam dan hubungannya dengan karakteristik substrat masih sedikit. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan komunitas benthos dengan karakteristik substrat dasar perairan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di perairan Selat Bali. Pengambilan data dilakukan pada 10 stasiun di Selat Bali bagian selatan dengan menggunakan R.V. Baruna Jaya VIII. Data yang diambil berupa data kepadatan benthos, karakteristik substrat dasar perairan, dan kualitas perairan dekat dasar perairan. Analisis data yang dilakukan adalah Indeks Similaritas untuk mengetahui pengelompokan stasiun berdasarkan benthos dan karakteristik substrat serta Analisis Komponen Utama untuk mengetahui hubungan antara benthos dan karakteristik substrat.

Dari seluruh stasiun ditemukan 126 genus makrozoobenthos. Stasiun 2 memiliki kepadatan makrozoobenthos paling sedikit dari seluruh stasiun sedangkan Stasiun 9 memiliki kepadatan makrozoobenthos paling banyak. Makrozoobenthos dari kelas Polychaeta ditemukan paling melimpah pada seluruh stasiun, kemudian diikuti oleh makrozoobenthos dari kelas Malacostraca. Dari seluruh stasiun ditemukan 50 genus meiobenthos. Stasiun 8 memiliki kepadatan meiobenthos terendah dibanding stasiun lainnya sedangkan Stasiun 9 memiliki kepadatan meiobenthos yang paling tinggi. Meiobenthos dari kelompok Nematoda ditemukan paling melimpah pada seluruh stasiun.

Berikut ini merupakan karakteristik fisika-kimia perairan yang diambil selama peneltian, nilai kekeruhan dari seluruh stasiun berkisar antara 0,31-0,7 NTU; TSS berkisar antara 5-12 mg/L; suhu berkisar antara 2-29 °C; kedalaman berkisar antara 29,4-2549 m; pH berkisar antara 7,66-8,28; salinitas berkisar antara 33-35 PSU; kandungan oksigen berkisar antara 1,19-2,86 ml/L; dan BOD5 berkisar antara 0,38-6,62 mg/L. Berdasarkan klasifikasi kelas Wentworth, diketahui bahwa Stasiun 2 bertipe substrat pasir sangat halus; Stasiun 3 dan 4 bertipe substrat pasir kasar; Stasiun 5, 6, 7, dan 8 bertipe substrat lempung; dan Stasiun 9 bertipe substrat pasir sedang. Berdasarkan analisis visual, Stasiun 1 dan 10 bertipe substrat batuan.

(4)

iv

stasiun. Kelompok pertama terdiri dari Stasiun 2, 5, 9, 6, dan 7; sedangkan Stasiun 8 membentuk kelompok sendiri. Berdasarkan karakteristik substrat dasar perairan terbentuk 5 kelompok stasiun, kelompok pertama terdiri dari Stasiun 1 dan 10, kelompok kedua terdiri dari Stasiun 5, 6, dan 7, dan kelompok ketiga terdiri dari Stasiun 3, 4, dan 9 sementara Stasiun 2 dan 8 masing-masing membentuk kelompok sendiri.

Analisis Komponen Utama digunakan untuk mengetahui hubungan antara benthos dengan karakteristik substrat. Untuk analisis ini, makrozoobenthos maupun meiobenthos dikelompokan berdasarkan feeding habit-nya. Feeding habit setiap jenis benthos ditentukan berdasarkan studi literatur (Fauchald & Jumars 1979; Giere 1993).

Berdasarkan Analisis Komponen Utama terlihat bahwa makrozoobenthos yang bersifat deposit feeder berkorelasi positif dengan persentase substrat lempung dan liat. Hal tersebut berarti semakin banyak persentase lempung maupun liat pada substrat, maka semakin banyak pula organisme makrozoobenthos deposit feeder. Makrozoobenthos yang bersifat suspension feeder, carnivore, omnivore maupun yang belum diketahui feeding habit-nya berkorelasi positif dengan persentase substrat kerikil dan pasir. Hal tersebut berarti semakin banyak persentase pasir maupun kerikil pada substrat, makrozoobenthos suspension feeder, carnivora, maupun omnivore akan semakin banyak. Craig & Jones (1966) menyatakan bahwa benthos yang bersifat deposit feeder lebih banyak ditemukan pada substrat yang halus sedangkan organisme

suspension feeder lebih banyak ditemukan ada substrat yang kasar. Contoh Makrozoobenthos yang bersifat deposit feeder dan berkorelasi positif dengan persentase lempung dan liat adalah Cossura sp., Maldane sp., Pectinaria sp. (Polychaeta), dan Yoldia sp. (Bivalvia). Contoh makrozoobenthos yang bersifat

suspension feeder dan berkorelasi positif dengan persentase kerikil dan pasir adalah Paramoera sp. dan Ampelisca sp. (Malacostraca).

Seluruh meiobentos (dari seluruh tipe feeding habit) berkorelasi positif dengan persentase substrat pasir. Hal tersebut berarti semakin banyak persentase pasir pada substrat, maka meiobenthos akan semakin banyak. Hal tersebut dikarenakan meiobenthos merupakan organisme insterstisial yang hidup di antara partikel substrat. Ukuran substrat yang lebih besar akan memberikan ruang yang lebih banyak bagi organisme interstisial.

Di Selat Bali bagian selatan ditemukan 126 genus makrozoobenthos (22 Kelas) dan 50 genus meiobenthos (14 Kelas). Makrozoobenthos yang paling melimpah berasal dari Kelas Polychaeta sedangkan meiobenthos yang paling melimpah berasal dari Kelas Adenophorea. Makrozoobenthos deposit feeder

lebih banyak ditemukan pada substrat yang memiliki persentase lempung dan liat lebih banyak sedangkan makrozoobenthos suspension feeder, carnivore, omnivore

(5)

v

KOMUNITAS BENTHOS

DI SELAT BALI BAGIAN SELATAN

ARIF NURCAHYANTO C24070040

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

vi

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Komunitas Benthos di Selat Bali Bagian Selatan Nama Mahasiswa : Arif Nurcahyanto

Nomor Pokok : C24070040

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si. NIP 19660728 199103 1 002 NIP 19691031 199512 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP 19660728 199103 1 002

(7)

vii

PRAKATA

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Komunitas Benthos di Selat Bali Bagian Selatan”. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Penulis pada bulan Maret 2011. Penelitian dilakukan seiring dengan kegiatan survey pendahuluan untuk pemasangan kabel telekomunikasi bawah air yang dilakukan di Selat Bali Bagian Selatan. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. dan Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si. selaku komisi pembimbing; Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil. selaku komisi pendidikan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan; Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc. selaku dosen penguji serta berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan, dukungan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini dengan baik.

Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2012

(8)

viii

UCAPAN TERIMAKASIH

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Komunitas

Benthos di Selat Bali Bagian Selatan”.

Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. dan Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si.

selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan, saran dan masukan serta kesempatan yang telah diberikan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil. selaku Ketua Komisi Pendidikan Departemen MSP.

3. Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc. selaku penguji tamu atas segala saran dan masukan.

4. Dr. Ir. Nurlisa A. Butet, M.Si. selaku pembimbing akademik.

5. Staf Tata Usaha Departemen MSP khususnya Mba Widar dan Mba Maria, Staf Laboratorium Bio Mikro 1 dan Staf Laboratorium Fisika-Kimia Perairan serta seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas segala bimbingan dan bantuan selama penelitian.

6. Bapak Iwan Muluk serta seluruh awak kapal Baruna Jaya VIII atas pengetahuan dan ilmu yang penulis dapat selama pengambilan contoh penelitian.

7. Keluarga tercinta, Ibu Siti Nursiyamah, Bapak Endang Rusman serta Endah Hartantri yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil. 8. Rekan sepenelitian Dwi Yuni Wulandari dan Adang Supardan atas kerja

sama, kekompakan dan dukungan selama penelitian.

(9)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Karawang, 27 Desember 1988, merupakan anak pertama dari Bapak Endang Rusman dan Ibu Siti Nursiyamah. Riwayat pendidikan Penulis dimulai dari TK Taman Siswa (1995), SDN Bojong Rangkas 1 (1995-2001), SMP Negeri 4 Bogor (2001-2004), dan SMA Negeri 5 Bogor (2004-2007). Pada tahun 2007 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan, Penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa TPB sebagai anggota Deperteman Informasi dan Komunikasi, di Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan periode 2008/2009 sebagai anggota divisi Public Relation (PR), periode 2009/2010 sebagai ketua divisi Hubungan Luar Dalam dan Teknologi Informasi, serta mengikuti kepanitiaan dari beberapa kegiatan di lingkungan kampus IPB.

Penulis juga berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Avertebrata Air 2009-2011, Planktonologi 2010, Limnologi 2009-2010, dan Produktivitas Perairan 2010. Penulis berkesempatan menjadi salah satu pemenang Program Kreativitas Mahasiswa Artikel Ilmiah (PKM-AI) yang berjudul “Kajian Mengenai Kandungan Total Coliform dan E. Coli pada Air Sumur di Pemukiman Padat Penduduk.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Penulis menyusun skripsi yang berjudul “Komunitas Benthos di Selat Bali

(10)

x 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali Bagian Selatan ... 3

2.2. Benthos ... 4

2.3. Substrat ... 6

2.4. Parameter Fisika ... 7

2.4.1. Suhu ... 7

2.4.2. Kekeruhan ... 7

2.4.3. Total padatan tersuspensi (TSS) ... 7

2.5. Parameter Kimia ... 8

2.5.1. Salinitas ... 8

2.5.2. Oksigen terlarut (Dissolve oxygen) ... 8

2.5.3. Kebutuhan oksigen biologis ... 8

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 9

3.2. Alat dan Bahan ... 9

3.3. Prosedur Penelitian ... 11

3.3.1. Pengambilan contoh substrat ... 11

3.3.2. Pengambilan contoh benthos ... 11

3.3.3. Pengambilan contoh kualitas air ... 11

3.4. Analisis ... 12

3.4.1. Analisis contoh ... 12

3.4.1.1. Kepadatan benthos ... 12

3.4.1.2. Komposisi benthos ... 13

3.4.1.3. Indeks keanekaragaman ... 13

3.4.1.4. Indeks keseragaman ... 13

3.4.1.5. Indeks dominansi ... 13

3.4.1.6. Ukuran butiran substrat (Grain Size) ... 14

3.4.2. Analisis Data ... 14

3.4.2.1. Indeks similaritas ... 14

3.4.2.2. Analisis komponen utama (PCA) ... 15

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil ... 16

(11)

xi

4.1.1.1. Kepadatan makrozoobenthos ... 16

4.1.1.2. Komposisi makrozoobenthos ... 17

4.1.2. Meiobenthos ... 19

4.1.2.1. Kepadatan meiobenthos ... 19

4.1.2.2. Komposisi meiobenthos ... 20

4.1.3. Karakteristik fisika kimia perairan ... 22

4.1.4. Karakteristik substrat ... 24

4.1.5. Pengelompokan stasiun ... 25

4.1.6. Hubungan antara benthos dan karakteristik substrat dasar perairan ... 28

4.2. Pembahasan ... 34

5. KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Pengukuran parameter kualitas air... 12 2. Klasifikasi tipe substrat berdasarkan skala Wentworth ... 14 3. Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi

makrozoobenthos ... 19 4. Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi

meiobenthos ... 22 5. Karakteristik substrat di lokasi penelitian berdasarkan Skala

Wentworth ... 25 6. Jenis makrozoobenthos yang dominan sesuai dengan kebiasaan

makan dan tipe substrat ... 32 7. Jenis meiobenthos yang dominan sesuai dengan kebiasaan makan

dan tipe substrat ... 33

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema penelitian komunitas benthos di Selat Bali ... 2

2. Posisi Selat Bali ... 4

3. Peta lokasi penelitian ... 10

4. Kepadatan dan jumlah jenis makrozoobenthos dari seluruh stasiun ... 16

5. Komposisi makrozoobenthos berdasarkan kepadatan ... 18

6. Kepadatan dan jumlah jenis meiobenthos dari seluruh stasiun ... 20

7. Komposisi meiobenthos berdasarkan kepadatan ... 21

8. Nilai Parameter fisika-kimia perairan dekat dasar di lokasi penelitian... 23

9. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan kepadatan makrozoobenthos ... 26

10. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan kepadatan meiobenthos ... 27

11. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan karakteristik substrat ... 27

12. Kebiasaan makan benthos dari seluruh stasiun ... 29

13. Hubungan benthos dengan karakteristik substrat ... 30

14. Penyebaran benthos pada seluruh stasiun ... 34

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Alat yang digunakan selama penelitian ... 47 2. Grafik kumulatif fraksi partikel substrat ... 48 3. Makrozoobenthos yang ditemukan selama penelitian ... 49 4. Foto beberapa makrozoobenthos yang ditemukan selama

penelitian... 53 5. Meiobenthos yang ditemukan selama penelitian ... 59 6. Foto beberapa meiobenthos yang ditemukan selama penelitian... 61 7. Kebiasaan makan makrozoobenthos yang ditemukan di lokasi

penelitian... 63 8. Kebiasaan makan meiobenthos yang ditemukan di lokasi

(15)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Selat Bali merupakan selat yang memisahkan antara Pulau Jawa (di sebelah Barat) dan Pulau Bali (di sebelah timur). Selat Bali juga menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di utara dengan Samudera Hindia di selatan. Perairan Selat Bali merupakan perairan yang memiliki produktivitas tinggi. Produktivitas tertinggi terjadi saat musim timur yang disebabkan fenomena upwelling di perairan Samudera Hindia (Arinardi 1989 in Panjaitan 2009). Selat Bali memiliki potensi yang besar baik dalam sumberdaya perairan maupun sebagai pusat aktivitas dan jasa lingkungan. Selat Bali merupakan daerah yang sangat penting dalam menghidupkan perekonomian di Jawa Timur dan Bali karena pada lokasi tersebut berlangsung berbagai kegiatan, misalnya perhubungan, perdagangan, perikanan, pariwisata, dan kependudukan.

Bagian selatan Selat Bali termasuk daerah laut dalam, daerah ini memiliki kedalaman hingga mencapai lebih dari 2000 m. Menurut Snelgrove & Grassle (2001), laut dalam didefinisikan sebagai dasar perairan dengan kedalaman 200-10.000 m. Habitat laut dalam merupakan habitat terluas yang ada di bumi. Akan tetapi pemahaman manusia mengenai komunitas di laut dalam masih sangat sedikit. Habitat laut dalam merupakan daerah yang rentan. Habitat ini mendapat ancaman dari berbagai macam kegiatan antropogenik. Penelitian yang mengkaji organisme benthos di laut dalam di Indonesia masih belum banyak dilakukan.

(16)

Hingga saat ini, belum banyak penelitian tentang benthos di selat Bali. Salah satu penelitian tentang benthos di Selat Bali dilakukan oleh De Wilde et al.

(1989), yang melakukan penelitian tentang benthos dasar perairan halus di perairan Laut Jawa, sekitar Pulau Madura, dan sekitar Pulau Bali. Daerah sekitar Selat Bali memiliki kekayaan spesies lebih dari 100 spesies dan Polycheata 40-60 spesies (De Wilde et al. 1989). Penelitian tersebut hanya dilakukan pada substrat dasar halus yang ditemukan. Akan tetapi, belum ada penelitian yang spesifik mengenai komunitas benthos di Selat Bali dan hubungannya dengan karakteristik substrat dasar perairan.

1.2. Perumusan Masalah

Benthos merupakan hewan yang hidup di dasar perairan yang keberadaannya dipengaruhi berbagai faktor, baik abiotik (misalnya substrat, hidrodinamika, dan kualitas air) dan biotik (misalnya benthos itu sendiri dan kegiatan manusia). Kondisi lingkungan ini dapat mempengaruhi komunitas benthos dan penyebarannya.

Gambar 1. Skema penelitian komunitas benthos di Selat Bali

1.3. Tujuan

(17)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan (Priyono et al. 2007). Salah satu selat yang memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting adalah Selat Bali. Selat Bali merupakan selat yang memisahkan antara pulau Jawa di sebelah barat dan pulau Bali di sebelah timur. Dengan luas 960 mil2 perairan ini menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan. Secara geografis perairan Selat Bali termasuk dalam perairan semi tertutup. Mulut selat di bagian utara lebih sempit dengan perairan yang dangkal, sedangkan pada bagian selatan lebih lebar dengan perairan yang dalam, sehingga perairan Selat Bali lebih dipengaruhi oleh massa air dari Samudra Hindia (Priyono et al. 2007). Perubahan yang dialami Selat Bali akan sama dengan perubahan yang terjadi di Samudra Hindia, terutama di bagian selatan Selat Bali. Perairan Selat Bali memiliki kesuburan yang tinggi, dimana produktivitas tertinggi terjadi pada musim timur yang disebabkan oleh fenomena

upwelling di perairan Samudra Hindia (Arinardi 1989 in Panjaitan 2009). Perairan Selat Bali memiliki kedalaman yang cukup bervariasi, pada daerah utara Selat Bali lebih dangkal dibandingkan bagian selatan. Daerah yang dangkal berada dekat dengan Gilimanuk. Kondisi yang dangkal dan sempit tersebut menyebabkan kecepatan arus yang masuk maupun keluar Selat Bali menjadi tinggi (Priyono et al. 2007). Posisi Selat Bali dapat dilihat pada Gambar 2.

Bagian selatan Selat Bali memiliki kedalaman hingga mencapai lebih dari 2000 m. Berdasarkan kedalaman, bagian selatan Selat Bali dapat digolongkan sebagai laut dalam. Menurut Snelgrove & Grassle (2001) laut dalam didefinisikan sebagai habitat bentik yang berada setelah wilayah continental shelf. Wilayah ini mencakup continental slope, continental rise, abyssal plains, gunung laut (termasuk hydrothermal vents), dan palung laut dalam, sehingga dasar laut dari kedalamaan 200 hingga 10.000 m termasuk dalam kategori laut dalam. Wilayah

continental slope mendapat masukan bahan organik lebih banyak dibanding

(18)

yang berasal dari daratan (run-off sungai) maupun dari produksi biologi laut (Snelgrove & Grassle 2001). Daerah laut dalam merupakan daerah yang afotik dan tidak memiliki produktivitas primer, kecuali pada beberapa tempat dimana terdapat bakteri kemosintetis. Akibatnya, fauna yang hidup di laut dalam sangat bergantung pada bahan organik dari daerah permukaan laut yang tenggelam ke dasar laut (Kingston 2001).

Gambar 2. Posisi Selat Bali

2.2. Benthos

Lebih dari 90% hewan yang ditemukan di laut dan sebagian besar makrophyta laut hidup dengan berasosiasi dengan dasar laut (Sumich 1976). Odum (1971) menyatakan bahwa benthos merupakan organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme nabati (fitobenthos) dan organisme hewani (zoobenthos). Benthos adalah hewan avertebrata yang hidup di dasar perairan (Van der Graaf et al. 2009). Hewan benthos yang hidup di atas substrat dasar atau menempel di dasar disebut epifauna. Hewan benthos lain, infauna, mencari makanan atau perlindungan di dalam substrat dasar (Sumich 1976). Hewan benthos infauna banyak ditemukan pada 2 cm bagian teratas dari substrat dan tidak terdapat pada kedalaman lebih dari 10 cm dari permukaan substrat (VanBralicom 1982) Benthos yang hidup di dasar perairan berdasarkan cara makannya dibagi menjadi dua, yaitu filter feeder

(19)

Makrozoobenthos didefinisikan sebagai hewan benthos yang memiliki ukuran lebih dari 1 mm (Miller 2004; Nybakken 1988). Meiobenthos adalah hewan avertebrata kecil yang hidup pada permukaan sedimen (epibenthic) atau di dalam sedimen (interstisial) (Coull & Chandler 2001). Menurut ukurannya, meiobenthos didefinisikan sebagai hewan avertebrata yang berukuran 0,1-1 mm (Miller 2004; Nybakken 1988). Meiobenthos dapat hidup pada berbagai macam habitat bahkan hingga laut dalam. Meiobenthos terdapat pada sedimen dari yang paling kasar hingga yang halus. Pada skala yang luas (meter hingga kilometer) perbedaan pada faktor fisika seperti salinitas, ukuran butiran sedimen, dan oksigen terlarut akan menyebabkan variasi pada kepadatan meiobenthos. Pada ekosistem perairan, meiobenthos berperan sebagai sumber makanan bagi organisme lain dan mineralisasi bahan organik (Coull & Chandler 2001). Makrozoobenthos dan meiobenthos berinteraksi satu sama lain, beberapa meiobenthos merupakan makanan bagi makrozoobenthos. Interaksi antara meiobenthos dan makrozoobenthos tidak selalu berupa pemangsaan, beberapa makrozoobenthos dapat membentuk struktur berbentuk tabung pada substrat yang dapat dimanfaatkan oleh organisme meiobenthos sebagai tempat berlindung dari gangguan (Bell 1980).

(20)

kesimpulan berbeda diambil bahwa daerah laut dalam merupakan daerah yang memiliki biodiversitas yang tinggi (Grassle 1991). Menurut Kingston (2001), meskipun jumlah individu di laut dalam sedikit di sana terdapat banyak spesies. Wilayah laut dalam seringkali didominasi oleh benthos dari jenis Holothuroidea, Ophiuroidea, Crustacea dan Polychaeta.

2.3. Substrat

Substrat dasar perairan terdiri dari sedimen lumpur, pasir, liat, dan sedikit substrat keras (Odum 1971). Dasar perairan merupakan bagian penting dari habitat hewan benthos. Substrat merupakan tempat tinggal tumbuhan dan hewan yang hidup di dasar perairan. Substrat berguna sebagai habitat, tempat mencari makan, dan memijah bagi sebagian besar organisme akuatik. Substrat menyokong berat tubuh dari organisme yang lebih berat dari air. Beberapa hewan memendamkan diri di substrat dasar atau membentuk saluran-saluran di dalamnya. Dasar perairan juga berfungsi sebagai tempat yang akan mengumpulkan dan mengakumulasi plankton, material buangan, dan bagian tubuh tanaman dan hewan yang tenggelam dari permukaan. Pada beberapa daerah, tenggelamnya bahan-bahan organik dari permukaan merupakan satu-satunya sumber makanan bagi penghuni dasar perairan (Sumich 1976).

Sedimen di dasar perairan berasal dari tiga sumber. Pertama, beberapa mineral mengalami presipitasi dari keadaan terlarutnya, kemudian membentuk deposit di dasar perairan. Kedua, proses erosi daratan akan dibawa oleh aliran sungai ke laut daerah pesisir. Ketiga, pada daerah yang jauh dari pantai, sedimen laut dalam berasal dari rangka tanaman bersel satu dan zooplankton yang termineralisasi (Sumich 1976).

Substrat keras lebih umum ditemui di perairan pesisir dimana terdapat arus pasang surut dan pergolakan massa air. Lebih jauh di lepas pantai, dasar laut didominasi oleh sedimen halus. Selain itu, pada dasar laut di lepas pantai juga terdapat substrat keras, substrat keras lebih banyak terdapat di wilayah gunung laut, palung laut dan daerah-daerah tertentu dimana daerah tersebut terlalu curam sehingga tidak terjadi sedimentasi (Kingston 2001).

(21)

sangat dipengaruhi oleh tekstur dan kestabilan substratnya. Substrat ini mempengaruhi keefektifan gerak bagi organisme motil sedangkan bagi organisme non-motil substrat akan mempengaruhi kemampuan menempel mereka pada substrat. Organisme epifauna seringkali dijumpai berasosiasi dengan substrat yang solid. Kandungan partikel dan kandungan bahan organik akan mempengaruhi distribusi hewan-hewan dengan spesialisasi kebiasaan makan tertentu. Makrozoobenthos juga memiliki peran penting dalam pencampuran sedimen melalui kegiatan menggali dan makan mereka (Sumich 1976).

2.4. Parameter Fisika

2.4.1.Suhu

Suhu merupakan pengatur utama proses fisik dan kimia yang terjadi di perairan. Suhu secara langsung mempengaruhi kelarutan oksigen dan proses kehidupan organisme seperti pertumbuhan dan reproduksi (Huet & Timmermans 1971 in Effendi 2003) serta penyebaran organisme (Nybakken 1988). Air laut dalam memiliki suhu yang dingin, berkisar antara 10 °C pada kedalaman 200 m hingga 2 °C pada kedalaman di bawah 3000 m (Carney 2011 in Kropp 2004).

2.4.2.Kekeruhan

Kekeruhan mengambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air (Davis & Cornwell 1991 in Effendi 2003). Kekeruhan pada perairan pada umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton, dan organisme lainnya (Effendi 2003).

2.4.3.Total padatan tersuspensi (TSS)

(22)

2.5. Parameter Kimia

2.5.1. Salinitas

Salinitas merupakan total konsentrasi dari seluruh ion terlarut dalam air.

Salitinas dinyatakan dalam satuan per mil (‰) maupun PSU (Practical Salinity Unit). Nilai salinitas perairan laut berkisar antara 30-40 ‰ (Effendi 2003). Salinitas mempunyai peran penting dalam distribusi organisme dan berperan penting dalam lingkungan laut (Nybakken 1988). Pada perairan yang dalam, salinitas akan bernilai homogen (Kropp 2004).

2.5.2. Oksigen terlarut (Dissolve Oxygen)

Oksigen terlarut (Dissolve oxygen) adalah konsentrasi oksigen yang terlarut dalam air. Keberadaan oksigen di perairan sangat esensial bagi ikan dan organisme akuatik lainnya untuk pernafasan dan metabolisme (APHA 1995). Kandungan oksigen terlarut sangat penting bagi makrozoobenthos, terutama dalam proses respirasi dan dekomposisi bahan organik (Odum 1971). Kelarutan oksigen berkurang seiring dengan peningkatan suhu dan salinitas (Nybakken 1988).

Kandungan oksigen terlarut pada laut dalam dapat mencapai nilai di bawah 3 mg/L. Kandungan oksigen tersebut dapat bertambah saat arus laut dalam dari kutub utara membawa air yang memiliki kandungan oksigen (Kropp 2004).

2.5.3. Kebutuhan oksigen biologis

(23)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu pengambilan contoh dan analisis contoh. Pengambilan contoh dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di perairan Selat Bali, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali. Pengambilan contoh penelitian dilakukan sebanyak satu kali, pada 10 stasiun di Bagian Selatan Selat Bali. Pengambilan contoh dilakukan secara purposive dengan membagi tempat penelitian menjadi tiga, yaitu perairan dekat Pulau Jawa (Grup 1) dengan 5 stasiun (Stasiun 1, 2, 3, 4, dan 5), perairan tengah laut (Grup 2) dengan 3 stasiun (Stasiun 6, 7, dan 8), dan perairan dekat Pulau Bali (Grup 3) dengan 3 stasiun (Stasiun 9 dan 10). Penentuan 10 stasiun tersebut didasarkan pada lokasi dan perbedaan kedalaman, diharapkan dengan perbedaan lokasi dan kedalaman stasiun-stasiun tersebut akan memiliki karakteristik substrat yang berbeda. Pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan Research Vessel Baruna Jaya VIII milik Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Biologi Mikro I dan Laboratorium Fisika-Kimia Perairan, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Alat dan Bahan

(24)

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 10

JAWA

SELAT BALI

(25)

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Pengambilan contoh substrat

Substrat di dasar perairan diambil dengan menggunakan gravity core. Kemudian substrat tersebut dikeluarkan dari gravity core dan dimasukan ke dalam plastik sampel dan disimpan dalam lemari pendingin. Pengambilan contoh substrat dengan gravity core hanya dilakukan pada Stasiun 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9, hal ini dikarenakan pada Stasiun 1 dan 10 substrat yang ditemukan tidak dapat terambil oleh gravity core. Contoh substrat kemudian dibawa ke laboratorium untuk analisis ukuran butiran substrat (grain size). Sedangkan substrat Stasiun 1 dan 10 didapat dengan menggunakan box core dan diamati secara visual.

3.3.2. Pengambilan contoh benthos

Contoh makrozoobenthos diambil dengan menggunakan box core yang berukuran 50x60 cm2. Box core diturunkan dengan menggunakan derek ke dasar perairan. Setelah menyentuh dasar perairan box core akan tertutup dan substrat dasar terambil. Subtrat pada box core disaring dengan menggunakan saringan dengan ukuran mata jaring 1 mm2 untuk mendapatkan makrozoobenthos. Substrat yang disaring adalah substrat bagian paling atas hingga kedalaman 20 cm, dengan asumsi bahwa makrozoobenthos hanya hidup hingga 20 cm dari permukaan substrat (VanBralicom 1982). Makrozoobenthos yang tersaring dimasukan ke dalam botol sampel dan diawetkan dalam formalin 10%. Contoh makrozoobenthos yang didapatkan di setiap stasiun dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dan dianalisis.

Contoh meiobenthos diambil dengan mengambil substrat pada box core

menggunakan paralon dengan diameter 2,5” (volume 0,000259 m3). Kemudian substrat dimasukan ke dalam botol sampel dan diawetkan dalam formalin 10%. Contoh meiobenthos hanya diambil pada Stasiun 2, 5, 6, 7, 8, dan 9. Hal tersebut dikarenakan kondisi substrat pada Stasiun 1, 3, 4, dan 10 yang yang berbatu tidak memungkinkan untuk pengambilan contoh meiobenthos. Contoh meiobenthos yang didapat dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dan dianalisis.

3.3.3. Pengambilan contoh kualitas air

(26)

untuk pengambilan contoh air. Air kemudian dimasukan ke dalam botol polyetilen dan diberi pengawet. Analisis dilakukan di Laboratorium Fisika-Kimia Perairan, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Sedangkan untuk beberapa parameter kualitas air in situ air contoh langsung dianalisis di lapangan. Pada Stasiun 9 tidak dilakukan pengambilan contoh kualitas air, hal tersebut dikarenakan kondisi cuaca yang tidak memungkinkan pengambilan contoh kualitas air. Alat dan metode pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengukuran parameter kualitas air

Parameter Satuan Alat/Metode Lokasi Sumber

Fisika

Suhu C CTD In Situ APHA 1995

Kekeruhan NTU Gravimetrik Lab APHA 1995

TSS mg/L Gravimetrik Lab APHA 1995

Kimia

Salinitas PSU CTD In Situ APHA 1995

DO mg/L CTD In Situ APHA 1995

BOD mg/L Winkler In Situ dan Lab APHA 1995

3.4. Analisis

3.4.1. Analisis Contoh

3.4.1.1. Kepadatan benthos

Kepadatan makrozoobenthos didefinisikan sebagai jumlah individu makrozoobenthos per satuan luas (m2) (Brower et al. 1990). Formulasi kepadatan makrozoobenthos adalah sebagai berikut,

Keterangan:

K : Kepadatan (ind/m2) Ni : Jumlah individu A : Luas bukaan alat (cm2)

Kepadatan meiobenthos didefinisikan sebagai jumlah individu meiobenthos per satuan volume (m3), dianalisis dengan formula,

(27)

Keterangan:

M : Kepadatan (ind/m3) Ni : Jumlah individu

V : Volume substrat yang diambil (m3)

3.4.1.2. Komposisi benthos

Komposisi jenis memperlihatkan perbandingan persentasi jenis dari benthos. Komposisi jenis juga memperlihatkan taksa yang seringkali muncul pada setiap stasiun (Brower et al. 1990).

3.4.1.3. Indeks keanekaragaman

Indeks keanekaragaman ditentukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (Krebs 1989). Rumus indeks keanekaragaman Shannon-Wiener adalah sebagai berikut,

Keterangan:

H’ : Indeks keanekaragaman

N : Jumlah total individu semua jenis ni : Jumlah individu jenis ke-i

3.4.1.4. Indeks keseragaman

Keseragaman dianalisis dengan menggunakan indeks keseragaman Shannon-Wiener (Krebs 1989) sebagai berikut,

Keterangan:

H : Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener E : Indeks keseragaman

S : Jumlah taksa

3.4.1.5. Indeks dominansi

Indeks dominansi ditentukan berdasarkan indeks dominansi Simpson (Krebs 1989) yaitu,

(28)

Keterangan:

C : Indeks Dominansi

Ni : Jumlah individu spesies ke-i N : Jumlah total individu spesies ke-i

3.4.1.6. Ukuran butiran substrat (Grain Size)

Distribusi ukuran substrat akan digambarkan pada grafik distribusi ukuran substrat dengan sumbu x menggambarkan persentase ukuran substrat dan sumbu y menggambarkan ukuran diameter substrat (Lampiran 2). Kemudian median diameter ukuran substrat ditentukan dengan menarik garis horizontal pada titik 50% pada sumbu x hingga memotong grafik dari perpotongan tersebut garis vertikal ditarik hingga menyentuh sumbu y, sehingga didapatlah median diameter butiran substrat. Klasifikasi tipe substrat ditentukan dengan menggunakan skala Wentworth (Buchanan 1984). Tipe substrat berdasarkan skala Wentworth dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi tipe substrat berdasarkan Skala Wentworth

Nama Batas kelas (mm)

Batu Besar >256

Batu Bulat 256-64

Kerikil 64-4

Butiran 4-2

Pasir Sangat Kasar 2-1

Pasir Kasar 1-0,5

Pasir Sedang 0,5-0,25

Pasir Halus 0,25-0,125

Pasir Sangat Halus 0,125-0,0625

Debu 0,0625-0,003905

Liat <0,003905

Sumber: Buchanan 1984

3.4.2. Analisis Data

3.4.2.1. Indeks similaritas

(29)

untuk pengelompokan berdasarkan karakteristik substrat dengan rumus sebagai berikut,

I

BC

[

∑ | |

∑ | |

]

Keterangan:

IBC : Indeks kesamaan Bray-Curtis Xi – Yi : Nilai kepadatan

N : Jumlah genus yang dibandingkan

I

C

[

[

∑ | |

| |

]]

Keterangan:

IC : Indeks kesamaan Canberra Xi – Yi : Nilai karakteristik substrat N : Jumlah yang dibandingkan

3.4.2.2. Analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA)

(30)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Makrozoobenthos

Jumlah makrozoobenthos yang ditemukan di seluruh stasiun selama pengamatan terdiri dari 22 kelas, yaitu Polychaeta, Aplachopora, Priapulida, Sagittoidea, Anthozoa, Hydrozoa, Cirripedia, Malacostraca, Ostracoda, Asteroidea, Holothuroidea, Ophiuroidea, Polythalamea, Bivalvia, Gastropoda, Polyplachopora, Scaphopoda, Nematoda, Anopla, Porifera, Phascolosomatidae, dan Sipunculidea. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 126 genus dari 108 famili. Organisme-organisme makrozoobenthos yang ditemukan dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.

4.1.1.1. Kepadatan makrozoobenthos

Kepadatan makrozoobenthos yang ditemukan selama penelitian berbeda-beda antar stasiun. Gambar 4 menjelaskan kepadatan makrozoobenthos di setiap stasiun dan jumlah spesies yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan.

Gambar 4. Kepadatan dan jumlah jenis makrozoobenthos dari seluruh stasiun Stasiun 2 memiliki kepadatan makrozoobenthos paling sedikit dari seluruh stasiun, sedangkan Stasiun 9 memiliki kepadatan makrozoobenthos paling

(31)

banyak. Pada Stasiun 1 ditemukan jumlah jenis yang paling banyak dari seluruh stasiun sedangkan pada Stasiun 8 jumlah jenis yang ditemukan paling sedikit. Stasiun yang dekat dengan wilayah pesisir terlihat memiliki kepadatan dan jumlah jenis yang lebih tinggi dibanding stasiun lainnya.

4.1.1.2. Komposisi Makrozoobenthos

Selama penelitian ditemukan adanya perbedaan dalam komposisi makrozoobenthos di setiap stasiun pengamatan. Komposisi makrozoobenthos pada Stasiun 1 didominasi oleh Kelas Polychaeta dan Malacostraca, selain itu ditemukan juga organisme dari kelas Ophiuroidea, Holothuroidea, Anopla, Ostracoda, Hydrozoa, dan Polyplachopora.

Komposisi makrozoobenthos pada Stasiun 2 didominasi oleh Kelas Polychaeta. Selain itu ditemukan juga makrozoobenthos dari kelas Anopla dan Ostracoda. Komposisi makrozoobenthos pada Stasiun 3 didominasi oleh kelas Polychaeta dan Malacostraca. Selain itu ditemukan juga jenis-jenis dari kelas Anopla. Stasiun 4 didominasi oleh Kelas Polychaeta, Ophiuroidea, dan Malacostraca. Selain kelas tersebut, pada Stasiun 4 juga ditemukan jenis-jenis dari Kelas Holothroidae, Anopla, Phascolomatidae, dan Sipunculidae.

Komposisi makrozoobenthos pada Stasiun 5 didominasi oleh Kelas Polychaeta, Malacostraca, dan Ophiuroidea. Selain itu, pada Stasiun 5 juga ditemukan jenis-jenis dari kelas Anopla, Bivalvia, Polythalamea, Sagittoidea, dan Priapulida. Stasiun 6 didominasi oleh kelas Ophiuroidea, Polychaeta, dan Malacostraca. Selain itu ditemukan juga jenis-jenis dari kelas Cirripedia, Ostracoda, Priapulida, Holothuroidea, Bivalvia, Scaphopoda, Adenophora, dan Anopla.

Stasiun 7 didominasi oleh kelas Ophiuroidea, Polychaeta, dan Malacostraca. Selain itu ditemukan juga jenis-jenis dari kelas Sipunculidae, Phascolomatidae, Anopla, Adenophora, Bivalvia, Aplachopora, dan Sagittoidea. Pada Stasiun 8, tidak terlalu banyak ditemukan makrozoobenthos. Kelas makrozoobenthos yang ditemukan cukup banyak adalah kelas Polychaeta, Malacostraca, dan Aplachopora.

(32)

Gastropoda, Bivalvia, Ophiuroidea, dan Anthozoa. Stasiun 10 didominasi oleh Polychaeta dan Malacostraca. Selain itu ditemukan pula jenis-jenis dari kelas Sipunculidae, Porifera, Anopla, Polyplachopora, Gastropoda, Ophiuroidea, dan Holothuroidea.

Terlihat bahwa jenis-jenis dari kelas Polychaeta ditemukan banyak pada semua stasiun pengamatan. Hal ini dikarenakan makrozoobenthos Polychaeta merupakan organisme yang kosmopolit. Mereka dapat ditemukan pada hampir semua habitat laut. Adapun komposisi makrozoobenthos yang ditemukan selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Komposisi Makrozoobenthos berdasarkan kepadatan

Tabel 3 menunjukan nilai indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi makrozoobenthos pada setiap stasiun pengamatan. Secara umum nilai indeks keanekaragaman berkisar antara 1,95 hingga 4,62. Stasiun 1 memiliki nilai indeks keanekaragaman tertinggi sedangkan Stasiun 8 memiliki nilai indeks keanekaragaman terendah. Nilai indeks keanekaragaman ini berbanding lurus dengan jumlah jenis yang ditemukan pada setiap stasiun,

(33)

semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman semakin banyak jenis makrozoobenthos yang ditemukan pada suatu komunitas (Krebs 1989).

Nilai indeks keseragaman pada semua stasiun berkisar antara 0,77 hingga 0,98. Stasiun 2 memiliki nilai indeks keseragaman tertinggi sementara Stasiun 6 memiliki nilai indeks keseragaman terendah. Secara umum nilai indeks keseragaman pada setiap stasiun cukup tinggi (mendekati 1). Dengan nilai indeks keseragaman yang tinggi (mendekati 1) suatu komunitas dapat dikatakan berada dalam kondisi yang relatif mantap dan tidak ada ketidakstabilan pada faktor-faktor lingkungan (Krebs 1984).

Nilai indeks dominansi pada semua stasiun berkisar antara 0,06 hingga 0,30. Stasiun 8 memiliki nilai indeks dominansi tertinggi sedangkan Stasiun 1 memiliki nilai indeks dominansi terendah. Secara umum nilai indeks dominansi pada seluruh stasiun cukup rendah (mendekati 0). Menurut Odum (1971), nilai indeks dominansi yang tinggi (mendekati 1) terdapat suatu jenis yang mendominasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada seluruh stasiun pengamatan tidak ada jenis yang secara ekstrim mendominasi jenis lainnya.

Tabel 3. Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi makrozoobenthos

Indeks Stasiun

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Indeks keanekaragaman 4,64 2,95 3,62 3,18 4,30 4,03 4,24 1,95 4,31 4,37 Indeks keseragaman 0,86 0,98 0,81 0,96 0,91 0,77 0,81 0,84 0,81 0,82 Indeks dominansi 0,06 0,14 0,14 0,12 0,07 0,13 0,11 0,30 0,08 0,09

4.1.2. Meiobenthos

Selama pengamatan, dari seluruh stasiun penelitian ditemukan 14 kelas meiobenthos yang terdiri dari 50 famili. Contoh meiobenthos hanya diambil pada Stasiun 2, 5, 6, 7, 8, dan 9. Contoh meiobenthos pada Stasiun 1, 3, 4, dan 10 tidak diambil karena tipe substrat yang berbatu sehingga pengambilan contoh meiobenthos tidak mungkin dilakukan. Organisme-organisme meiobenthos yang ditemukan selama pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6.

4.1.2.1. Kepadatan Meiobenthos

(34)

yang ditemukan selama pengamatan. Terlihat bahwa pada Stasiun 8 memiliki kepadatan dan jumlah jenis terendah dibandingkan stasiun lainnya. Hal ini dikarenakan tipe substrat pada stasiun tersebut didominasi oleh lempung dan liat, sehingga menyebabkan diameter partikel dan pori-pori substrat lebih kecil. Diameter partikel dan pori-pori substrat yang lebih kecil akan mengurangi ruang untuk meiobenthos yang merupakan biota intersitial (biota yang menempati ruang kosong pada substrat).

Hal yang berbeda terlihat pada Stasiun 9 dimana meiobenthos memiliki kepadatan dan jumlah jenis yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena tipe substratnya yang didominasi oleh pasir sehingga memberikan ruang lebih banyak bagi meiobenthos untuk hidup.

Gambar 6. Kepadatan dan jumlah jenis meiobenthos dari seluruh stasiun

4.1.2.2. Komposisi Meiobenthos

Selama penelitian ditemukan adanya perbedaan dalam komposisi meiobenthos di setiap stasiun pengamatan. Gambar 7 menunjukan komposisi meiobenthos yang ditemukan selama pengamatan. Terlihat bahwa hampir di setiap stasiun, meiobenthos yang ditemukan didominasi oleh kelas Adenophorea. Kelas Adenophorea termasuk kedalam Filum Nematoda. Nematoda merupakan organisme meiobenthos yang paling banyak ditemukan di alam.

(35)

Gambar 7. Komposisi meiobenthos berdasarkan kepadatan

Tabel 4 menunjukan nilai indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi makrozoobenthos pada setiap stasiun pengamatan. Secara umum nilai indeks keanekaragaman makrozoobenthos berkisar antara 2,23 hingga 4,11. Stasiun 9 memiliki nilai indeks keanekaragaman tertinggi sedangkan Stasiun 8 memiliki nilai indeks keanekaragaman terendah. Nilai indeks keanekaragaman ini berbanding lurus dengan jumlah jenis yang ditemukan pada setiap stasiun. Semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman semakin banyak jenis makrozoobenthos yang ditemukan pada suatu komunitas (Krebs 1989).

Nilai indeks keseragaman meiobenthos pada semua stasiun berkisar antara 0,82 hingga 0,96. Stasiun 8 memiliki nilai indeks keseragaman tertinggi sementara Stasiun 6 memiliki nilai indeks keseragaman terendah. Secara umum nilai indeks keseragaman pada setiap stasiun cukup tinggi (mendekati 1). Dengan nilai indeks keseragaman yang tinggi (mendekati 1) maka suatu komunitas dapat dikatakan berada dalam kondisi yang relatif mantap dan tidak ada ketidakstabilan pada faktor-faktor lingkungan (Krebs 1984).

Nilai indeks dominansi meiobenthos pada semua stasiun berkisar antara 0,10 hingga 0,23. Stasiun 8 memiliki nilai indeks dominansi tertinggi sedangkan Stasiun 9 memiliki nilai indeks dominansi terendah. Secara umum nilai indeks

Stasiun 2 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8 Stasiun 9

(36)

dominansi pada seluruh stasiun cukup rendah (mendekati 0). Menurut Odum (1971), nilai indeks dominansi yang tinggi (mendekati 1) menunjukan adanya suatu jenis tertentu yang mendominasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada seluruh stasiun pengamatan tidak ada jenis yang secara ekstrim mendominasi jenis lainnya.

Tabel 4. Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi meiobenthos

Indeks Stasiun

2 5 6 7 8 9

Indeks Keanekaragaman 3,70 3,62 3,69 3,68 2,23 4,11 Indeks Keseragaman 0,87 0,87 0,82 0,88 0,96 0,86 Indeks Dominansi 0,12 0,13 0,15 0,12 0,23 0,10

4.1.3. Karakteristik fisika kimia perairan

Karakteristik fisika kimia perairan di sekitar dasar perairan dapat mempengaruhi kehidupan suatu organisme, baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan dekat dasar yang dilakukan selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 8.

Berdasarkan hasil penelitian, kekeruhan di stasiun pengamatan berkisar antara 0,37-0,70 NTU dengan kekeruhan tertinggi terdapat pada Stasiun 6, yaitu 0,70 NTU. Padatan tersuspensi (TSS) di stasiun pengamatan berkisar antara 5-12 mg/L. Nilai padatan tersuspensi tertinggi terdapat pada Stasiun 6, yaitu 12 mg/L. Kekeruhan yang tinggi akan mengganggu kehidupan makrozoobenthos karena mengganggu daya lihat dan sistem pernafasan. Tingginya kekeruhan di suatu perairan disebabkan tingginya bahan organik yang terakumulasi dan mengendap di daerah ini. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai padatan tersuspensi (TSS).

(37)
(38)

perairan maka kelarutan gas-gas yang ada di dalamnya akan semakin berkurang. Selain itu, pada perairan laut dalam sumber oksigen seperti difusi gas antara air dan udara serta proses fotosintesis tidak terjadi. Perairan laut dalam biasanya memiliki kandungan oksigen yang rendah, mencapai 3 ml/L (Kropp 2004).

Nilai kebutuhan oksigen biologis (BOD) di stasiun pengamatan berkisar antara 0,77-6,62 mg/L. Nilai BOD tertinggi terdapat pada Stasiun 7 (6,62 mg/L) dan Stasiun 6 (6,27 mg/L), sedangkan nilai BOD terendah terdapat pada Stasiun 1 (0,77 mg/L). Hal ini diduga karena tingginya partikel tersuspensi pada stasiun tersebut.

4.1.4. Karakteristik Substrat

Karakteristik substrat dasar suatu perairan akan mempengaruhi kehidupan benthos yang hidup pada substrat tersebut. Karakteristik substrat akan mempengaruhi keefektifan gerak maupun cara makan benthos. Pada penelitian ini tipe substrat ditentukan berdasarkan Skala Wentworth. Ukuran butiran substrat disajikan dalam grafik kumulatif ukuran butiran substrat yang dapat dilihat pada Lampiran 8, sedangkan Tabel 5 menunjukan karakteristik substrat berdasarkan skala Wentworth pada setiap stasiun serta komposisi penyusun substrat tersebut (kerikil, pasir, lempung dan liat). Sedangkan untuk Stasiun 1 dan 10, penentuan tipe substrat dilakukan dengan pengamatan secara visual.

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan karakteristik substrat antar stasiun pengamatan. Median diameter substrat terbesar terdapat pada substrat Stasiun 3 sedangkan yang terkecil terdapat pada substrat Stasiun 6. Median diameter substrat diperoleh dengan cara memplotkan persentase 50% pada grafik kumulatif fraksi ukuran partikel substrat, sehingga nilai mediannya dapat diketahui. Berdasarkan klasifikasi kelas Wentworth (Buchanan 1984), Stasiun 2 bertipe substrat pasir sangat halus, Stasiun 3 dan 4 bertipe substrat pasir kasar, Stasiun 5; 6; 7; dan 8 bertipe substrat lempung, dan Stasiun 9 bertipe substrat pasir sedang. Terlihat bahwa Stasiun 1 dan 10 bertipe substrat batuan.

(39)

substratnya yang halus, stasiun tersebut memiliki diameter partikel dan pori-pori yang lebih kecil (Plaser 2003 in Honata 2010). Hal yang berbeda terjadi pada Stasiun 2, 3, 4, dan 9 dengan kandungan pasir lebih tinggi dibanding stasiun lainnya. Stasiun tersebut berada pada lokasi dekat pesisir dengan kedalaman perairan lebih dangkal sehingga partikel halus tidak terakumulasi karena biasanya pada daerah dekat pantai terdapat arus yang kencang. Odum (1971) menyatakan bahwa partikel halus akan mengendap dan menjadi substrat bila arusnya lemah. Tabel 5. Karakteristik substrat di lokasi penelitian berdasarkan Skala Wentworth

Stasiun

Pengelompokan stasiun dilakukan untuk mengetahui kesamaan antar stasiun. Pengelompokan stasiun dilakukan dengan menggunakan Indeks Similaritas Bray-Curtis (berdasarkan kepadatan makrozoobenthos dan meiobenthos) dan Indeks Similaritas Canberra (berdasarkan karakteristik substrat dasar) dengan bantuan program Minitab 15. Pada penelitian ini, stasiun yang diamati dikelompokan berdasarkan kepadatan makrozoobenthos, kepadatan meiobenthos dan karakteristik substrat dasar perairan.

(40)

karakteristik habitat yang mirip antara kedua stasiun. Kelompok kedua terdiri dari Stasiun 2, 5, 6, dan 7. Sementara Stasiun 9, 8, 4, dan 3 membentuk kelompok sendiri.

Gambar 9. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan kepadatan makrozoobenthos (K= Kelompok)

Gambar 10 menunjukan pembagian kelompok stasiun berdasarkan kepadatan meiobenthos. Terlihat bahwa dengan taraf kesamaan 98,23% terbentuk 2 kelompok stasiun. Kelompok pertama terdiri dari Stasiun 2, 5, 9, 6, dan 7 sedangkan Stasiun 8 membentuk kelompok sendiri. Hal ini dapat dikarenakan tipe substrat pada Stasiun 8 yang sangat berbeda dengan stasiun lainnya.

(41)

Gambar 10. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan kepadatan meiobenthos (K= Kelompok)

Gambar 11. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan karakteristik substrat (K= Kelompok)

(42)

mengelompok sendiri baik dalam pengelompokan stasiun menurut kepadatan makrozoobenthos, meiobenthos, maupun karakteristik substrat. Hal tersebut dapat menunjukan bahwa organisme benthos baik makrozoobenthos maupun meiobenthos yang dominan pada Stasiun 8 merupakan organisme yang lebih menyukai karakteristik substrat Stasiun 8 yang lebih didominasi lempung. Contoh lain terlihat pada Stasiun 1 dan 10 yang merupakan satu kelompok baik berdasarkan kepadatan makrozoobenthos maupun karakteristik subtrat. Hal tersebut mengindikasikan adanya organisme benthos yang lebih menyukai tipe substrat pada Stasiun 1 dan 10.

4.1.6. Hubungan benthos dan karakteristik substrat dasar perairan

Analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA) digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik substrat dan benthos (makrozoobenthos dan meiobenthos). Analisis komponen utama akan mereduksi banyaknya peubah yang digunakan dalam sejumlah data sehingga didapat suatu komponen utama yang menggambarkan keragaman total yang terkandung dalam sejumlah variabel.

Dalam analisis ini benthos yang didapat dikelompokan berdasarkan kebiasaan makannya. Pengelompokan ini dilakukan melalui studi literatur dan dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 8. Pengelompokan dilakukan karena diduga benthos akan mengelompok pada tipe substrat tertentu karena kebiasaan makannya. Gambar 12 menunjukan tipe-tipe kebiasaan makan pada benthos yang ditemukan pada seluruh stasiun yang diamati.

(43)

Gambar 12. Kebiasaan makan benthos pada seluruh stasiun

Variabel yang digunakan untuk Analisis Komponen Utama makrozoobenthos adalah kepadatan dari setiap kebiasaan makan makrozoobenthos, persentase kerikil, persentase pasir, persentase lempung, persentase debu, dan median diameter substrat. Sedangkan untuk Analisis Komponen Utama meiobenthos variabel yang digunakan adalah kepadatan dari setiap kebiasaan makan meiobenthos, persentase kerikil, persentase pasir, persentase lempung, persentase debu, dan median diameter substrat. Hasil Analisis Komponen Utama dapat dilihat pada Lampiran 9.

Gambar 13 menunjukan hubungan benthos (makrozoobenthos dan meiobenthos) dengan karakteristik substrat dasar perairan. Semakin sempit sudut yang dibentuk antar dua variabel maka kedua variabel tersebut berkorelasi positif yang kuat, sebaliknya jika posisi kedua variabel berlawanan satu sama lain, makan kedua variabel tersebut berkorelasi negatif yang kuat.

Berdasarkan Gambar 13 tampak bahwa hasil analisis komponen utama (Principal Component Analysis)makrozoobenthos menunjukan komponen utama pertama memiliki nilai eigenvalue sebesar 5,47 dan memberikan kontribusi sebesar 54,7%. Komponen utama kedua memiliki nilai eigenvalue sebesar 2,43 dan memberikan kontribusi sebesar 24,3%. Kedua komponen utama dapat menjelaskan sebesar 79,1% dari variasi data yang ada. Kepadatan makrozoobenthos yang bersifat deposit feeder memiliki korelasi positif yang kuat

Carnivore; 14

Deposit feeder; 18 Omnivore; 12

Unknown; 6 Carnivore; 28

Deposit feeder; 53 Omnivore; 22

Suspension Feeder; 20 Unknown; 3

(44)

dengan persentase lempung dan liat. Hal tersebut menunjukan bahwa semakin besar komposisi lempung dan liat dalam substrat maka makrozoobenthos yang bersifat deposit feeder akan semakin banyak. Hal ini menunjukan makrozoobenthos yang bersifat deposit feeder akan ditemukan lebih banyak pada substrat halus.

(45)

Makrozoobenthos yang bersifat suspension feeder, omnivore, dan carnivore

memiliki korelasi positif yang kuat dengan persentase kerikil dan pasir. Hal tersebut menunjukan bahwa semakin banyak komposisi kerikil dan pasir dalam substrat maka makrozoobenthos yang bersifat suspension feeder, omnivore, dan

carnivore akan semakin banyak. Makrozoobenthos suspension feeder, omnivore,

dan carnivore akan lebih banyak ditemukan pada substrat kasar.

Berdasarkan Gambar 13 hasil analisis komponen utama (Principal Component Analysis) untuk meiobenthos menunjukan komponen utama pertama memiliki nilai eigenvalue sebesar 6,68 dan memberikan kontribusi sebesar 83,6% sedangkan komponen utama kedua memiliki nilai eigenvalue sebesar 0,74 dan memberikan kontribusi sebesar 9,3% sehingga kedua komponen utama dapat menjelaskan data yang ada sebesar 92,9% dari data yang ada.

Terlihat bahwa meiobenthos dari berbagai tipe kebiasaan makan memiliki korelasi positif yang kuat dengan persentase pasir dalam substrat. Hal tersebut menunjukan bahwa meiobenthos akan semakin banyak ditemukan pada substrat yang memiliki komposisi pasir lebih banyak.

Tabel 6. menunjukan jenis-jenis makrozoobenthos yang dominan pada stasiun yang memiliki karakteristik substrat tertentu. Terlihat bahwa jenis-jenis makrozoobenthos deposit feeder lebih banyak ditemukan pada substrat yang memiliki komposisi substrat lempung maupun liat. Sedangkan jenis-jenis makrozoobenthos suspension feeder, omnivora, dan carnivore lebih banyak ditemukan pada substrat yang memiliki komposisi substrat kerikil maupun pasir lebih banyak. Walaupun begitu, terdapat pula makrozoobenthos deposit feeder

yang ditemukan lebih banyak pada substrat yang berkomposisi kerikil maupun pasir lebih banyak dan makrozoobenthos suspension feeder, carnivore dan

(46)

Tabel 6. Jenis makrozoobenthos dominan sesuai dengan kebiasaan makan dan tipe substrat

% Tipe

Substrat Kebiasaan makan Genus

% Kerikil

Carnivore

Amphicteis sp., Phylodoce sp.,

Aphrodita sp., Parahesione sp.,

Eunice sp. (Polychaeta),

Deposit feeder

Heterotanais sp., Maera sp. (Malacostraca); Pherusa sp.,

Myriochele sp. (Polychaeta),

Suspension feeder

Paramoera sp., Ampelisca sp.,

(Malacostraca); Luidia sp., Cucumaria

sp., Thyone sp. (Echinodermata),

Omnivore

Atylus sp., Munida sp.,

Rhithropanopeus sp., Pasiphaea sp. (Malacostraca)

Ophiopholis sp., Ophiarachnella sp. (Ophiuroidea), Paramoera sp. (Malacostraca), Potamilla sp. (Polychaeta)

Carnivore Glycera sp. (Polychaeta)

% Lempung Deposit feeder Cossura sp., Scoloplos sp.

(Polychaeta)

% Liat

Deposit feeder

Pectinaria sp., Maldane sp., Aricidea

sp., Paraonis sp. (Polychaeta), Yoldia

sp. (Bivalvia), Phascolion sp. (Sipunculidea)

Carnivore

Onuphis sp. (Polychaeta), Sagitta sp. (Chaetognata), Prochaetoderma sp. (Aplachopora)

Unknown Thalassolaimus sp. (Adenophorea)

(47)

Tabel 7. Jenis meiobenthos dominan sesuai dengan kebiasaan makan dan tipe substrat

% Tipe

Substrat Kebiasaan Makan Genus

% Pasir

Carnivore Sigambra sp. (Polychaeta), Encentrum

sp., Brachionus sp., (Eurotaria),

Deposit feeder Capitellidae sp1, Nodellum sp.

(Polythalamea)

% Lempung Unknown

Cervinia sp., Harpacticus sp.,Oncaea

sp. (Maxillopoda), Echinoderes sp. (Kynorhyncha)

Unknown Pselionema sp.

% Liat Deposit feeder

Sarcomastigophora sp2, Sipuncula sp1 (Sipunculidae), Philomedes sp.,

Cypridina sp. (Ostracoda), Syllidae sp1, Cirratulidae sp1, Sabellidae sp1,

Unknown Polychaeta sp1,

Hubungan antara benthos dengan karakteristik substrat dasar perairan juga dapat terlihat pada Gambar 14. Gambar 14 menunjukan penyebaran makrozoobenthos maupun meiobenthos pada setiap stasiun.

(48)

Gambar 14. Penyebaran benthos pada seluruh stasiun (atas=makrozoobenthos, bawah=meiobenthos)

Komposisi meiobenthos pada seluruh stasiun yang ditemukan tidak terlalu berbeda. Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis komponen utama yang menunjukan bahwa hubungan meiobenthos dengan substrat lebih ditunjukan oleh jumlahnya yang akan lebih banyak ditemukan pada substrat yang memiliki komposisi pasir lebih banyak.

4.2. Pembahasan

(49)

lebih bervariasi dibanding Grup 2 maupun 3. Pada Grup 1 kondisi perairan maupun substrat dasarnya lebih bervariasi hal tersebut akan menyebabkan lebih bervariasi pula makrozoobenthos yang ditemukan pada Grup 1. Stasiun 1 memiliki kepadatan dan jumlah jenis makrozoobenthos yang tinggi, Stasiun 3 dan 5 sedang dan Stasiun 2 dan 4 rendah. Penyebaran makrozoobenthos berdasarkan kebiasaan makanannya pada Grup 1 juga menunjukan hasil yang lebih bervariasi dibanding grup lainnya. Stasiun-stasiun di Grup 1 memiliki komposisi kebiasaan makanan makrozoobenthos yang sangat berbeda satu sama lain. Hal yang berbeda terlihat pada stasiun-stasiun pada Grup 2, pada grup ini komposisi kebiasaan makanan makrozoobenthos secara umum cenderung sama yaitu makrozoobenthos deposit feeder ditemukan lebih dominan pada setiap stasiun. Hal yang serupa juga terlihat pada kepadatan dan jumlah jenis pada mieobenthos.

Selama penelitian, makrozoobenthos ditemukan paling banyak pada Stasiun 9. Makrozoobenthos yang paling melimpah pada seluruh stasiun berasal dari filum Annelida kelas Polychaeta. Fauchald & Jumars (1979) menyatakan bahwa Polychaeta merupakan salah satu hewan laut yang paling sering dan paling banyak ditemukan pada lingkungan dasar perairan. Kelas Polychaeta memiliki berbagai macam cara hidup tergantung tempat hidupnya masing-masing.

Meiobenthos ditemukan paling melimpah pada Stasiun 9. Meiobenthos yang paling melimpah pada seluruh stasiun ditemukan berasal dari kelas Adenophorea (Nematoda). Genus yang paling banyak ditemukan adalah

Thalassolaimus sp. Giere (1993) menyatakan bahwa pada umumnya filum Nematoda merupakan meiobenthos yang mendominasi baik dari segi kepadatan maupun biomassa. Mereka memiliki struktur tubuh yang sangat sesuai untuk substrat lumpur maupun pasir.

Lebih bervariasinya makrozoobenthos maupun meiobenthos pada Grup 1 juga didukung oleh lebih bervariasinya karakteristik fisika-kimia perairan dekat dasar maupun karakteristik substrat dasar pada Grup 1 yang disebabkan oleh perbedaan kontur kedalaman yang lebih bervariasi dibanding pada Grup 2 dan 3 yang memiliki kedalaman lebih homogen.

(50)

pada air dekat dasar pada seluruh stasiun berkisar antara 0,37-0,70 NTU sedangkan padatan tersuspensi (TSS) dari seluruh stasiun berkisar antara 5-12 mg/L. Kekeruhan yang tinggi dapat mengganggu kehidupan makrozoobenthos karena mengganggu daya lihat dan sistem pernafasan. Tingginya kekeruhan di suatu perairan disebabkan oleh tingginya bahan organik yang terakumulasi dan mengendap di daerah ini. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai padatan tersuspensi (TSS). Kandungan oksigen terlarut pada dasar perairan berkisar antara 1,19 mg/L hingga 2,89 mg/L. Kandungan oksigen pada perairan dekat dasar ini tergolong rendah karena tidak adanya sumber oksigen misalnya aktivitas fotosintesis dari organisme autotrof maupun difusi oksigen dari udara. Walaupun kandungan oksigen ini dapat meningkat apabila terjadi aliran air dari tempat lain yang memiliki kandungan oksigen yang tinggi (Kropp 2004). Nilai kebutuhan oksigen biologis (BOD) di stasiun pengamatan berkisar antara 0,77-6,62 mg/L. Nilai BOD ini menunjukan oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik secara biologis. Bahan organik ini merupakan salah satu sumber makanan bagi benthos. Secara umum, karakteristik fisika-kimia perairan pada air dekat dasar di seluruh stasiun masih dapat ditolerir oleh benthos.

Substrat dasar merupakan tempat hidup bagi organisme makrozoobenthos maupun meiobenthos. Karakteristik substrat dasar akan mempengaruhi kehidupan makrozoobenthos maupun meiobenthos yang hidup pada substrat tersebut. Dari seluruh stasiun ditemukan lima tipe substrat dasar perairan. Berdasarkan skala Wentworth, ditemukan empat tipe substrat dasar perairan pada stasiun penelitian, yaitu lempung (Stasiun 5, 6, 7, dan 8), pasir sangat halus (Stasiun 2), pasir sedang (Stasiun 9), dan pasir kasar (Stasiun 3 dan 4). Berdasarkan pengamatan visual Stasiun 1 dan 10 bertipe substrat batuan. Terlihat bahwa pada stasiun yang berada di tengah laut dimana kondisinya sangat dalam, jenis substrat lebih lunak/lembut dibanding stasiun yang berada di dekat daerah pesisir. Hal tersebut dikarenakan arus pada daerah pesisir biasanya lebih deras dibandingkan daerah tengah laut, sehingga menyebabkan partikel-partikel kecil tidak mengalami sedimentasi. Odum (1971) menyatakan bahwa partikel halus akan mengendap dan menjadi substrat apabila arusnya lemah.

(51)

mengetahui kemiripan antar stasiun, sehingga akan diketahui stasiun-stasiun tertentu yang memiliki karakteristik yang sama. Pengelompokan dilakukan berdasarkan kepadatan makrozoobenthos, kepadatan meiobenthos dan karakteristik substrat. Berdasarkan kepadatan makrozoobenthos terdapat enam kelompok stasiun. Kelompok pertama terdiri dari Stasiun 1 dan 10. Kelompok kedua terdiri dari Stasiun 2, 5, 6, 7. Kelompok 3, 4, dan 5 merupakan Stasiun 3, 4, 8, dan 9 yang masing-masing membentuk kelompok tersendiri. Pengelompokan stasiun tersebut dapat terjadi karena kemiripan jenis makrozoobenthos maupun kepadatan makrozoobenthos pada masing-masing stasiun yang mengelompok. Pengelompokan ini juga diduga karena tipe substrat pada stasiun tersebut yang mirip sehingga makrozoobenthos yang ditemukan pada stasiun tersebut hampir sama. Seperti pada Stasiun 1 dan 10 dimana terdapat genus Dulichia sp., Alpheus sp., dan Pasiphaea sp. yang lebih melimpah dibanding stasiun lainnya.

Berdasarkan kepadatan meiobenthos terdapat dua kelompok stasiun. Kelompok pertama terdiri dari Stasiun 2, 5, 6, 7 dan 9 sedangkan kelompok kedua terdiri dari Stasiun 8 yang membentuk kelompok tersendiri. Pengelompokan stasiun tersebut dapat terjadi karena kemiripan jenis meiobenthos maupun kepadatan meiobenthos pada masing-masing stasiun yang mengelompok. Pengelompokan ini juga diduga karena tipe substrat pada stasiun tersebut yang mirip sehingga meiobenthos yang ditemukan pada stasiun tersebut hampir sama. Seperti pada Stasiun 2, 5, 6, 7 dimana terdapat jenis Paraonidae sp1 yang melimpah pada stasiun tersebut namun tidak ditemukan pada Stasiun 8.

Berdasarkan karakteristik substrat terdapat empat kelompok stasiun. Kelompok pertama terdiri dari Stasiun 1 dan 10. Kelompok kedua terdiri dari Stasiun 1, 5, 6, dan 7. Kelompok ketiga terdiri dari Stasiun 8. Kelompok keempat terdiri dari Stasiun 3, 4, dan 9. Pengelompokan stasiun ini disebabkan karena kemiripan komposisi penyusun substrat (kerikil, pasir, lempung, dan liat) pada stasiun tersebut. Misalnya pada stasiun 1 dan 10 yang sama-sama memiliki komposisi kerikil lebih banyak dibandingkan dengan stasiun lain.

Gambar

Gambar 4. Kepadatan dan jumlah jenis makrozoobenthos dari seluruh stasiun
Gambar 5. Komposisi Makrozoobenthos berdasarkan kepadatan
Gambar 6. Kepadatan dan jumlah jenis meiobenthos dari seluruh stasiun
Tabel 4 menunjukan nilai indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Umumnya kurva gradasi butiran agregat berupa garis cembung, sedangkan kurva gradasi agregat untuk beton (agregat halus dan agregat kasar) harus berupa garis cekung.. Oleh karena

Secara normal domba memiliki saluran pencernaan mulai dari mulut, esophagus, lambung (rumen, reticulum, omasum, dan abomasum), usus halus (duodenum, jejenum, dan

Tidak ada w aktu lagi. Menurut informasi dari surat Pak Etek Gindo, w aktu pendaftaran Pondok Madani ditutup empat hari lagi, padahal but uh t iga hari jalan darat untuk

Hubungan antara Konsep Diri dengan Tipe Loneliness pada Mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Pajajaran. Bandung:

7 Philip Kotler, Manajemen Pemasaran (Jakarta:Prenhallindo, 1997), h.. adalah produk yang sangat bagus karena memiliki brand yang terkenal. Selain itu, mereka juga

Penilaian kinerja guru  pemula dilakukan sebagaimana penilaian kinerja yang diterapkan terhadap guru lain (senior) pada setiap tahun, dengan menggunakan Lembar Hasil

Untuk mengkaji andil daerah hulu dan tengah DAS Ciliwung terhadap debit dan volume banjir daerah hilir telah digunakan model hidrologi HEC-1 sebagai alat untuk menduga

memberikan kontribusi nyata terhadap kepuasan konsumen dengan asumsi harga yang tepat dan terjangkau terhadap sebuah produk berpengaruh nyata, dengan harga yang sesuai