• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desentralisation of Coastal Resources Management Area at Cove of Bone, Luwu Regency (Policy Studies and Stakeholder Analysis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Desentralisation of Coastal Resources Management Area at Cove of Bone, Luwu Regency (Policy Studies and Stakeholder Analysis)"

Copied!
291
0
0

Teks penuh

(1)

DESENTRALISASI PENEGLOLAAN SUMBERDAYA PESISIR

KAWASAN TELUK BONE KABUPATEN LUWU

(STUDI KEBIJAKAN DAN ANALISIS STAKEHOLDER)

NURHAN TABAU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “DESENTRALISASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR KAWASAN TELUK BONE

KABUPATEN LUWU (STUDI KEBIJAKAN DAN ANALISIS

STAKEHOLDER)” adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan/atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

(3)

ABSTRACT

NURHAN TABAU. Desentralisation of Coastal Resources Management Area at Cove of Bone, Luwu Regency (Policy Studies and Stakeholder Analysis). Supervised by HARIADI KARTODIHARDJO and ARIF SATRIA.

Management of coastal in desentralitation era needs a strong policy by local government. To know preparedness the government this study was aimed to analysis several policy about coastal management area and analysis of stakeholder. Desentralisation coastal management area at cove of Bone Luwu regency. This study purpose to knows policy sides with and stakholder position, part, relation, importance and influences and to sharpen directive policy of coastal resources management at Luwu regency. Stakeholder analysis had done with indepth interview and cosioner. This study has been grouped to economic, ecologic and social factor, after than make a symbol or scoring to know side with of policy with maked the content analysis. Stakeholders analysis has showed of partisipation, realtionship, importance and influences. Perseption responden of coastal damage 53 percent mangrove plant has damaged, and 20 percent very damaged, 39 percent fishermen assumed coral reefs has damaged and 21 percent assumed very damaged. To analysis stakeholder, Key players are department of fishery and marine, regional development planning agency, local legeslatif department and private sector. Department of law is a Context setters. Environmental impact and control agency and fisherman are Subjects. Non government organization, community social organization, university and part of government are Crowd. In this study was aimed a weak relation of fisherman and social community had became a marginal position.

(4)

RINGKASAN

NURHAN TABAU. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu (Studi kebijakan dan analisis stakeholder). Di bawah bimbingan HARIADI KARTODIHARDJO dan ARIF SATRIA.

Pengelolaan Sumberdaya pesisir di era otonomi daerah mengharuskan Pemerintah Daerah untuk mengelolanya secara berkeadilan dan berkelanjutan. untuk mengetahui kesiapan Pemerintah Daerah maka dilakukan penelitian terhadap kebijakan dan stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberpihakan kebijakan dan posisi, peran, pengaruh dan kepentingan stakeholder, serta mencoba merumuskan arahan atau rekomendasi kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir di masa yang akan datang. Analisis kebijakan dilakukan dengan menggunakan metode analisis isi dengan menganalisis peraturan dari tingkat pusat sampai daerah, selanjutnya melakukan analisis isi terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat. Analisis stakeholder dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam dan kuesioner. Dari penilitian ini ditemukan bahwa substansi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 belum menjamin hak, tanggung jawab masyarakat, pengendalian kerusakan lingkungan dan kawasan perlindungan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Hal ini menunjukkan bahwa Peraturan Daerah belum berpihak pada pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Tingginya tingkatan kerusakan sumberdaya pesisir yang mencapai rata-rata diatas 50.0 persen menandakan pentingnya untuk segera melakukan pembaruan kebijakan. Stakeholders kunci (Key players) adalah DKP, Bappeda, DPRD dan Swasta. Pemerintah Daerah Bagian Hukum merupakan stakeholder yang sangat berpengaruh tetapi kepentingannya rendah (Context setters). Masyarakat atau nelayan dan Bapedalda (Subjects) adalah stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah. LSM, BKM, PT dan Bagian Pemerintahan (Crowd) merupakan stakeholder yang mempunyai sedikit kepentingan dan pengaruh. Sedangkan relasi masyarakat yang lemah dengan hampir seluruh stakeholder menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, posisi masyarakat masih tetap marjinal dalam kebijakan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir.

(5)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

(6)

DESENTRALISASI PENEGLOLAAN SUMBERDAYA PESISIR

KAWASAN TELUK BONE KABUPATEN LUWU

(STUDI KEBIJAKAN DAN ANALISIS STAKEHOLDER)

NURHAN TABAU

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu (Studi Kebijakan dan Analisis Stakeholder)

Nama Mahasiswa : Nurhan Tabau

N R P : P052070141

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S Dr. Arif Satria SP, M.Si

K e t u a A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya, salam dan salawat penulis panjatkan kepada Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu (Studi Kebijakan dan Analisis Stakeholder)” Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (PS-PSL IPB).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS dan Bapak Dr. Arif Satria SP, M.Si selaku komisi pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS sebagai ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas segala perhatian, kesabaran dalam membimbing, mendorong dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc. For selaku penguji luar komisi atas koreksi, kritik dan sarannya. Terima kasih tidak lupa kami ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riani, M.Si yang telah memberikan perhatian dan dorongan dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Kepada Pemerintah Daerah, khususnya Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan yang telah banyak membantu dalam mengakses data yang penulis butuhkan, penulis mengucapkan terimaksih atas dukungan dan kerjasamanya. Rekan-rekan dan sahabat terbaik yang terus memberikan dukungan dan bantuan dalam seluruh proses penelitian hingga penulisan tesis ini. Ungkapan terimakasih yang tulus penulis persembahkan kepada Ayahanda (almarhum) H. M. Nursyam Taba dan Ibunda Hj. Hanisah Audang, Kakanda Andi Ahmad Jimar, Andi Tenriadi, Muhammad yusuf, Adinda Eddy Hamka, Masluki, Safir, Andi Febiyanti beserta seluruh keluarga atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya.

Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi penulis dan pembacanya. Amin.

Bogor, September 2011

Nurhan Tabau

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Larompong Kabupaten Luwu, pada tanggal 26 November 1980 dari Ayah H. M. Nursyam Taba dan Ibu Hj. Hanisah Audang. Penulis merupakan anak putra ke enam dari tujuh bersaudara.

(10)

DAFTAR ISI

2.1 Pengertian Wilayah Pesisir ... 2.2 Potensi Sumberdaya Alam Pesisir... 2.3 Pengertian Kelembagaan ... 2.4 Kelembagaan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lingkungan... 2.5 Desentralisasi Sumberdaya Pesisir ... 2.6 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat... 2.7 Analisis Kebijakan ...

2.7.1 Analisis Isi (Content Analysis) ... 2.7.2 Proses Perubahan Kebijakan ... 2.7.3 Analisis Stakeholder ...

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 3.2 Rancangan Penelitian ... 3.3 Metode Pengumpulan Data ... 3.4 Tahapan Pengumpulan Data ... 3.5 Metode Analisis Data ... 3.5.1 Analisis Isi (Content Analysis) ... 3.5.2 Analisis Stakeholder (Stakeholder Analysis) ... 3.5.3 Rekomendasi atau Arahan Kebijakan ...

(11)

4.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 4.4. Pemerintahan ... 4.5. Potensi Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu ... 4.6 Kebijakan Sektor Pesisir ...

45 46 48 51

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu ... 5.2 Analisis Subtantif Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat ... 5.2.1 Analisis Isi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut terkait Dukungan terhadap Kesempatan Pemanfaatan Masyarakat Lokal dan Efisiensi Ekonomi ... 5.2.2 Analisis Isi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut terkait Dukungan terhadap Partispasi Masyrakat dan Perlindungan Lingkungan Pesisir ... 5.3 Analisis Stakeholder ... 5.3.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu ... 5.3.2 Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu ... 5.3.3 Hubungan antar Persepsi dengan Partisipasi Masyarakat terhadap pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu ... 5.3.4 Persepsi Masyarakat Terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat ... 5.3.5 Tingkat Keterlibatan Stakeholder dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat ... 5.3.6 Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder terhadap

(12)
(13)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1 Responden dalam penelitian ... 38 2 Luas daerah, presentase luas terhadap luas kabupaten per kecamatan

di Kabupaten Luwu ... 42 3 Janji-janji otonomi daerah ... 53 4 Luas Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang Kabupaten Luwu... 55 5 Tim penyusun naskah Rancangan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun

2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang berbasis masyarakat ... 61 6 Relasi antara stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir

Kabupaten Luwu ... 80 7 Rumusan masalah pengelolan sumberdaya pesisir kawasan teluk

bone di Kabupaten Luwu ... 85 8 Rekomendasi tindakan terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir di

(14)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1 Bagan alir kerangka pikir penelitian ... 7 2 Hubungan antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang

mempengaruhi pengambilan keputusan ... 19 3 Kerangka hubungan antar aktor dalam proses perumusan kebijakan ... 33 4 Peta lokasi penelitian ... 35 5 Diagram persepsi masyarakat terhadap kondisi terumbu karang,

mangrove dan padang lamun kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Raya ... 68 6 Partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir

kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu ... 71 7 Persepsi Masyarakat terhadap peraturan daerah Kabupaten Luwu No.

02 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat ... 73 8 Tingkat keterlibatan stakeholder dalam perumusan peraturan daerah

Nomor 02 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat ... 76 9 Peta tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1 Produksi perikanan tangkap menurut jenis ikan (ton) Kabupaten

Luwu Tahun 2005 -2009... 97 2 Jumlah armada perikanan tangkap Tahun 2009 ... 99 3 Daftar potensi budidaya perikanan Kabupaten Luwu 2010 ... 100 4 Potensi luas areal budidaya rumput laut eucheuma Kabupaten Luwu

Tahun 2009 ... 101 5 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pembaruan pemerintah Indonesia membentuk pemerintahan yang lebih terdesentralisasi dengan menyusun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (PEMDA), yang kemudian mengalami amandemen melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menuntut pemerintah daerah untuk siap menerima delegasi wewenang dari pusat atau pemerintah di atasnya, tidak hanya dalam hal penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga dalam hal pemecahan permasalahan dan pendanaan kegiatan pembangunan daerah. Konsekuensinya, memaksa pemerintah daerah melaksanakan manajemen pembangunan daerah yang lebih profesional, bottom-up dan mandiri. Artinya, pemerintah daerah dituntut untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajemen yang lebih komprehensif, yaitu adanya keterkaitan proses antara perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pembangunan daerah yang berkesinambungan.

Tugas pokok pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah adalah menggali dan memanfaatkan sumberdaya (manusia, alam, uang sentra industri dan ekonomi) untuk optimalisasi pembangunan (sektor dan wilayah), mengembangkan dan mengoptimalkan lembaga (institusi) untuk kegiatan pembangunan. Kegiatan yang dilakukan harus merupakan kegiatan yang berkelanjutan (sustainable development) dan berwawasan lingkungan. Pengertian pembangunan yang berkelanjutan pada saat ini (present) dengan tanpa menimbulkan dampak negatif untuk saat yang akan datang (future) (Environmental Energy Study Institute Task Force, 1991). Definisi pembangunan berkelanjutan juga dapat diterjemahkan sebagai suatu kehidupan sosial yang harmonis dengan sistem alam yang sehat (Water Quality 2000 dalam Robert, 2002).

(17)

membawa perubahan-perubahan mendasar, sehingga kebijakan dan kinerja pengelolaan sumberdaya alam dapat diperbaiki. Hal ini terlihat dari aspek-aspek perbaikan yang dijanjikan proses otonomi daerah yaitu kesetaraan (equity) dan efisiensi (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006).

Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup disebabkan perilaku individu maupun organisasi melalui keputusan-keputusan dan tindakannya. Keputusan tersebut ditentukan kelembagaan. Kelembagaan ini mencakup organisasi, hak-hak atas sumberdaya alam, peraturan perundangan, struktur pasar, pengetahuan dan informasi, serta proses-proses politik di dalam pemerintahan. Secara substansial dapat berupa organisasi atau wadah (players of the game) dan aturan main (rules of the game) yang mengatur kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ostrom, 1985) dalam (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006).

Selanjutnya Kartodiharjo dan Jhamtani (2006) menjelaskan bahwa seluruh rangkaian serta ekonomi politik dibalik pemanfaatan sumberdaya alam dari zaman kolonial sampai pelaksanaan otonomi daerah menyisahkan sejumlah masalah mendasar sebagai berikut : 1) Keterbukaan pasar dan permintaan akan sumberdaya alam (SDA) yang tinggi tanpa disertai kepastian hak atas tanah dan kekayaan alam lain, terbukti mengakibatkan pengurasan SDA oleh berbagai pihak, secara legal oleh yang mendapat ijin, maupun secara illegal oleh yang tidak mendapat ijin. 2) Substansi Undang-undang maupun peraturan perundangan lain, termasuk Perpu, yang merupakan landasan kerja semua sektor, cenderung bersifat eksploitatif terhadap SDA. 3) Tindakan eksploitasi SDA secara illegal telah menjadi bagian dari instrumen untuk memperoleh keadilan pemanfaatan SDA bagi sebagian masyarakat yang tinggal didalam dan disekitar lokasi SDA. 4) Proses-proses politik terutama di lembaga legislatif, pusat maupun daerah, cenderung mengarah pada kebijakan SDA eksploitatif mobilisasi suara.

(18)

berjalan. Hal ini menjadi tantangan baru bagi pemerintahan daerah (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006).

Pendelegasian wewenang kepada pemerintah daerah memberikan porsi pengelolaan sumberdaya alam yang cukup besar termasuk sumberdaya alam pesisir yang sifatnya common-pool resources. Hal ini mensyaratkan adanya peran kelembagaan daerah yang tepat dengan semangat keberlanjutan. Kelembagaan yang di maksudkan dalam penelitian ini mencakup organisasi, peraturan perUndang-undangan, struktur pasar, proses-proses politik dalam pemerintahan daerah, serta informasi dan pengetahuan stakeholder dalam pemerintahan daerah. Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai pemindahan otoritas atau kewenangan dan tanggung jawab fungsi pelayanan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau lembaga pemerintahan quasi- independen atau pada sektor privat dan komunitas (Cohen & Peterson, 1999; Rondinelli, 1999; Smith, 1985 dalam Satria, 2004).

Pengelolaan sumberdaya pesisir dalam era desentralisasi memberikan kewenangan kepada pemerintah propinsi 12 mil wilayah laut dari garis pantai, dan untuk kabupaten 4 (empat) mil dari garis pantai. Pemberian kewenangan ini juga mencakup (a) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya kelautan, (b) Manajemen administratif, (c) Pengaturan zona, (d) Penegakan hukum dan kebijakan lokal atau kebijakan pusat yang telah mengalami penyesuaian dengan kebutuhan pemerintahan lokal (Satria, 2004). Untuk melaksanakan ketentuan pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 30 ayat (9) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, telah ditetapkan peraturan pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang di atur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun 2007.

(19)

izin-izin pemanfaatan sumberdaya alam. Kolaborasi tersebut, secara nyata mengangkat status satu pihak yaitu swasta dan disisi lain menurunkan status pihak lain yaitu masyarakat dalam mengakses sumberdaya alam. Izin yang diberikan oleh pemerintah mencakup hak-hak eksklusif yang memungkinkan pihak swasta untuk mengakses, mengambil (withdrawal), bahkan melarang pihak lain (to exclude) mengambil sumberdaya tersebut, sehingga memarginalkan hak-hak masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam secara politik dan ekonomi (Satria, 2009a).

Pada perlindungan sumberdaya alam, seringkali terjadi konflik kepentingan antara masyarakat dengan pemerintah sebagai agen pembangunan. Hal ini tercermin dari sering terjadinyan konflik antar departemen. Satu departemen menghendaki kelestarian lingkungan, sementara itu departemen lainnya menghendaki tujuan ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut. Kasus yang paling hangat adalah konflik antara Departemen Kehutanan dengan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dalam memperebutkan wilayah pertambangan di kawasan hutan lindung. Peran pemerintah sebagai agen dan sekaligus pelindung sumberdaya pesisir tidak jarang menimbulkan konflik dengan masyarakat. Derajat konflik cukup beragam dan sangat dipengaruhi oleh hak kepemilikan dari sumberdaya alam (property right) tersebut (Satria, 2009a).

Pola perilaku aktor-aktor pengelola sumberdaya pesisir (pemerintah, masyarakat dan swasta), sangat menentukan keberlanjutan dari sumberdaya pesisir itu sendiri. Dari pengalaman selama ini, negara dan swasta telah banyak memiliki kesempatan untuk menjadi aktor pengelola sumberdaya pesisir namun ternyata banyak pula menimbulkan masalah. Oleh karena itu, pendistribusian kewenangan pengelolaan sumberdaya pesisir pun perlu mengalami pergeseran dari sentralisasi (governmnent based management) menjadi desentralisasi (community based management) dengan menekankan pendistribusian kewenangan kepada masyarakat (Satria, 2009a).

(20)

Selanjutnya Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, mengatur tentang kewenangan pemerintahan daerah meliputi; (1) Mengatur kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, managemen dan kegunaan sumberdaya laut dibawah 12 mil, (2) Mengatur kebijakan dan pengelolaan regulasi dan kegunaan atas barang dan pelayaran di bawah 12 (dua belas) mil wilayah laut, (3) Mengatur kebijakan dan regulasi batas laut termasuk kewenangan batas laut dan batas hukum laut internasional, (4) Mengatur ukuran wilayah pesisir dan pengelolaan pulau-pulau kecil dan, (5) Menegakkan hukum perairan laut sepanjang 12 (dua belas) mil yang berhubungan spesifik dengan hukum laut international.

(21)

1.2.Kerangka Pemikiran

Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu dan berbagai proses yang mengikutinya dikaji dan dinilai dengan melihat kesiapan kelembagaan daerah dalam hal ini dukungan pemerintah dalam hal kesiapan peraturan daerah, yang akan mengatur keterkaitan pengelolaan wilayah pesisir. Keterpaduan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu membutuhkan kerangka kerja bersama yang bukan hanya memerlukan keinginan politik yang kuat dari aktor kunci melainkan keinginan dan kesiapan institusioanal dari segenap stakeholder kabupaten Luwu untuk menjaga sumberdaya pesisir dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Aktor, kelembagaan dan sumberdaya merupakan elemen kunci manajemen pembangunan berkelanjutan (Gerber et al, 2009).

Kerangka kerja analisis kelembagaan dimulai dari melihat kondisi fisik, sifat komunitas, aturan yang disepakati atau digunakan, arena aksi, situasi aksi, aktor, dan pola interaksi. Pada level analisis dibagi kedalam empat pendekatan yaitu level operasional (operasional choice) dengan melihat perubahan kondisi fisik, pilihan kolektif (collective choice) perubahan atau membuat aturan-aturan untuk situasi level operasional, menjadi pilihan konstitusional (constitucional choice) dengan melihat perubahan atau pembuatan aturan-aturan atas kesepakatan pilihan aksi kolektif dan terakhir adalah Meta-Constitucional menjelaskan bagimana memberikan pengetahuan dan pengertian terhadap pilihan konstitusional (Ostrom and Edella, 1996).

(22)

pengambilan keputusan ini, dijamin oleh kerangka institusional yang berlaku (baik tertulis, seperti konstitusi dan peraturan-perundangan, maupun tidak tertulis, seperti norma dan nilai-nilai). Aturan (rules) di tingkat pilihan operasional dapat diubah oleh aksi di tingkat pilihan kolektif. (2) Tingkat pilihan kolektif adalah pengambilan keputusan oleh sekumpulan orang yang memiliki otoritas untuk itu, namun keputusannya bersifat menentukan dan memaksa individu di dalam jurisdiksi administratif atau hukum maupun sosialnya.

Karena itu, pengambilan keputusan di tingkat ini seperti keputusan pemerintah atau lembaga adat, selalu diiringi sanksi bagi individu yang menyimpang. Aturan ditingkat pilihan kolektif dapat diubah oleh aksi ditingkat pilihan konstitusional. (3) Tingkat pilihan konstitusional adalah pengambilan keputusan oleh sekumpulan orang yang memiliki otoritas untuk itu, namun keputusannya mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di tingkat pilihan kolektif. Pilihan konstitusional, dengan demikian, mengatur keputusan yang dapat diambil ditingkat pilihan kolektif (Fahmi et al. 2003). Alur pikir penelitian dapat di lihat pada Gambar 1 dibawah ini :

Gambar 1 Bagan Alir Kerangka Pikir Penelitian.

Sumber : Fahmi et al. (2003) ; Ostrom dan Edella (1996) ( dimodifikasi)

(23)

1.3. Perumusan Masalah

Pergeseran paradigma pembangunan dari paradigma sentralistik ke paradigma desentralistik membuka ruang yang baik bagi pembangunan wilayah pesisir. Namun di sisi lain, memberi peluang eksploitasi sumberdaya pesisir yang tidak terkontrol. Dalam penelitian keberpihakan kebijakan terhadap kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam yang dilakukan Adiwibowo et al. (2009) ditemukan bahwa (1) Pada tataran lokal atau kabupaten, pemerintah daerah otonom melalui kebijakan, perijinan, atau lisensi yang diterbitkannya dapat membuka jalan dan memberi legitimasi pada aktor tertentu untuk akses terhadap sumberdaya alam di kawasan konservasi yang secara tradisional atau yuridis formal berada di bawah pengusaan aktor yang lain, (2) Tidak adanya kebijakan di tingkat lokal, kabupaten, propinsi maupun nasional yang mensinergikan kepentingan ekonomi dan konservasi secara komprehensif. (3) Pada tataran makro, pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan belum menjadi arus utama (mainstream) pembangunan nasional.

Wilayah pesisir memiliki kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang sangat potensial untuk pembangunan ekonomi. Berlakunya otonomi daerah mengakibatkan pemerintah kabupaten/kota menjadi stakeholder yang mempunyai kewenangan untuk menentukan arah dan model pengelolaan secara penuh dalam pengembangan wilayah pesisir baik dari aspek perencanaan dan pelaksanaan sesuai dengan kemampuan pendanaan yang tersedia. Sekitar lebih dari 50 persen penduduk dunia bertempat tinggal diwilayah pesisir, begitu pula sekitar 2/3 kota-kota besar didunia berlokasi diwilayah pesisir. Walaupun ekosistem pesisir menyediakan berbagai produk dan jasa lingkungan, namun ironisnya sekitar 80 persen dari penduduk diwilayah pesisir di negara-negara sedang berkembang berada dalam kondisi kehidupan yang miskin dengan kualitas lingkungan yang terdegradasi (Kusmana, 2010).

(24)

sehingga ditaati oleh seluruh pelaku (stakeholder). Kegagalan penanganan pembangunan berkelanjutan selama ini telah membuka ruang untuk koreksi, dari pendekatan yang mengandalkan pengaturan dan pengawasan kearah pendekatan yang mengandalkan inisiatif otonom perorangan atau melalui kelembagaan. Good governance sebagai paradigma sosial baru yang oleh Capra (2001) didefinisikan sebagai himpunan konsep, nilai, persepsi dan tindakan yang diterima oleh masyarakat, yang membentuk cara pandang terhadap realitas dan kesadaran kolektif sebagai dasar masyarakat menata dirinya sendiri. Salah satu unsur yang paling dibutuhkan dalam merealisasikan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil saat ini adalah unsur demokrasi (Bengen, 2009).

Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, peran kelembagaan daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir menjadi sangat penting, sebab berbagai permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan juga dapat disebabkan oleh lemahnya peran kelembagaan daerah dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Keterlibatan dan posisi stakeholder dalam pembangunan termasuk pengelolaan sumberdaya pesisir dikawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu juga menjadi sangat penting untuk dinilai sebagai pendekatan yang memungkinkan keterlibatan semua pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir sehingga diharapkan dapat memberi penekanan pada hak atas sumberdaya (property right) dalam hal ini sumberdaya pesisir yang dijamin secara konstitusional bagi semua pihak dan diturunkan dalam aksi kolektif dengan semangat pembangunan berkelanjutan.

Keberpihakan kebijakan pemerintah merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung pengelolaan sumberdaya yang berkeadilan dan berkelanjutan. Hal ini disebabkan oleh peran pemerintah yang begitu besar yang di jamin oleh Undang-undang di era otonomi daerah. Selain itu, dalam pengelolaan yang berkeadilan dan berkelanjutan faktor posisi dan peran stakeholder menjadi sangat penting pula dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, karena setiap stakeholder memiliki tingkat kepentingan yang berbeda dan akses yang berbeda. Oleh karena itu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini antara lain :

(25)

2. Bagaimana posisi stakeholder terhadap desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dikawasan Teluk Kabupaten Luwu?

3. Bagaimana masa depan pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu?

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menilai keberpihakan peraturan daerah pada era otonomi daerah terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.

2. Mengetahui posisi, dan peran stakeholder dalam desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.

3. Merumuskan rekomendasi kebijakan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat :

1. Memberikan informasi mendalam tentang kesiapan dan langkah institusional daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.

2. Sebagai input informasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah, khususnya bagi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.

3. Menstimulan terciptanya kebijakan yang berpihak terhadap kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya pesisir di Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

(26)

stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Penelitian ini juga merumuskan rekomendasi kebijakan atau arahan kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu sebagai input bagi penyelenggaraan rencana pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu dimasa datang.

1.7. Tahapan Penelitian

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan negara adalah penciptaan lembaga-lembaga pemerintahan baru dan penguatan lembaga-lembaga yang telah ada (Fukuyama, 2004). Persoalan utama yang sedang ingin dipahami dalam penelitian ini adalah peran kelembagaan daerah dalam pergeseran paradigma pembangunan sentralistik ke paradigma pembangunan desentralistik. Asumsi dasar dari pergeseran ini adalah lahirnya reformasi kebijakan disemua sektor pembangunan. Akibat lahirnya kekuatan baru daerah, hal ini tidak hanya memberikan dampak posistif terhadap pembangunan tetapi juga membuka peluang lahirnya pembangunan yang eksploitatif bagi sumberdaya alam (Ngakan at al. 2005).

Reformasi kelembagaan terjadi akibat desakan kebutuhan akan pembangunan. Dalam Era Otonomi daerah diperlukan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah yang mencakup berbagai aspek. Terdapat tiga matra untuk pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, pembagian kekuasaan mengelola pemerintahan (governmental power sharing) antara pusat dan daerah. Pelimpahan kepada pemerintah daerah wewenang pengambilan keputusan sektoral, yang mencakup ruang lingkup daerah. Pemerintah pusat cukup membatasi pada tugas berskala nasional, sedangkan tugas berskala daerah diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua, pembagian keuangan dan personalia negara (financial and manpower sharing) antara pusat dan daerah. Ketiga, pelimpahan kekuasaan politik, adat dan budaya (political, and social cultural power) kepada daerah (Salam 2004).

(28)

degradasi lingkungan hidup dikawasan pinggiran laut. Diantara semua aktivitas tersebut, pertanian (akibat aplikasi pestisida dan pupuk kimia) dan pertambangan (misal: pertambangan emas) memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi pencemaran pesisir. Ancaman yang nyata bukan saja kerusakan ekosistem, melainkan ancaman terhadap kualitas dan kuantitas penyediaan pangan berbasis kelautan. Persoalan lain adalah perubahan tataguna lahan pesisir akibat proses kapitalisme sumberdaya alam pesisir seperti tampak pada konversi hutan mangrove ke pertambakan yang mengubah ekosistem pesisir secara radikal (Dharmawan, 2009).

Akses untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya jika tidak diatur dengan kebijakan dan regulasi yang berpihak terhadap kelestarian dan keberlanjutan akan menimbulkan dampak eksploitasi terhadap sumberdaya. Dalam beberapa kasus, sumberdaya pesisir seringkali mendapat beban yang sangat berat, selain karena posisinya yang berada didaerah hilir, juga struktur wilayahnya yang sangat terbuka dan selama ini tidak mendapat prioritas pembangunan akibat paradigma pembangunan yang sangat sektoral. Lahirnya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mewarnai perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia. Semangat otonomi yang terkandung dalam undang-undang tersebut adalah desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut kepada wilayah otonom. Sebagaimana yang dituangkan dalam undang-undang tersebut wilayah otonom dalam hal ini propinsi dan kabupaten/kota (Bengen, 2009).

(29)

pemerintah daerah sangat buruk sementara desakan jebakan hutang yang diderita Indonesia dalam tinjaun ekonomi politik menyebabkan proses eksploitasi dan penghancuran sumberdaya alam dan lingkungan akan makin intensif ke depan (Dharmawan, 2009).

2.1. Pengertian Wilayah Pesisir

Sesuai kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Kearah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran (Brahtz 1972; Soegiarto 1976 dalam Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Kecil, 2003). Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pengertian wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan didarat dan laut.

(30)

Menurut Dahuri et al. (1996), dalam cakupan horizontal, wilayah pesisir di batasi oleh dua garis hipotetik. Pertama, kearah darat wilayah ini mencakup daerah-daerah dimana proses-proses oseanografi (angin laut, pasang-surut, pengaruh air laut dan lain-lain) yang masih dapat dirasakan pengaruhnya. Kedua, kearah laut daerah-daerah dimana akibat proses-psoses yang terjadi di darat (sedimentasi, arus sungai, pengaruh air tawar, dan lain-lain), maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah perbatasan ini mempertemukan lahan darat dan masa air yang berasal dari daratan yang relative tinggi (elevasi landai, curam atau sedang) dengan masa air laut yang relative rendah, datar, dan jauh lebih besar volumenya. Karakteristik yang demikian oleh Ghofar (2004), dinyatakan bahwa secara alamiah wilayah ini sering disebut sebagai wilayah jebakan nutrien (nutrient trap). Akan tetapi, jika wilayah ini terjadi perusakan lingkungan secara massif karena pencemaran maka wilayah ini disebut juga sebagai wilayah jebakan cemaran (pollutants trap).

2.2. Potensi Sumberdaya Alam Pesisir

Kawasan pesisir di Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman jenis sumber daya alamnya baik sumber alam yang dapat pulih (renewable) maupun yang tidak dapat pulih (unrenewable). Sumber daya alam pulau-pulau kecil bila dipadukan dengan sumber daya manusia yang handal serta di dukung dengan iptek yang di tunjang dengan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan yang tepat bisa menjadi modal yang besar bagi pengembangan wilayah pesisir. Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan (Interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya (Clark, 1996). Kekayaan ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan mendorong berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya.

(31)

yakni (1) Sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), (2) Sumberdaya tidak dapat pulih (unrenewable resources), (3) Energi lautan dan (4) Jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, padang lamun, mangrove, terumbu karang termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (marine culture). Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas. Sumberdaya energi terdiri dari OTEC (ocean thermal energy convertion), pasang surut, gelombang dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut.

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa kewenangan kabupaten kota untuk mengelola sumberdaya wilayah laut sepertiga dari kewenangan provinsi 12 (dua belas) mil yang meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan sumberdaya alam dan tanggung jawab untuk melestarikannya. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil juga menjelaskan secara tegas tentang pengertian sumberdaya pesisir dan pulau- pulau kecil yakni sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbuh karang, Padang lamun, mangrove dan biota laut lain. Sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut. Sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut, tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.

2.3. Pengertian Kelembagaan

(32)

terdapat sekurang-kurangnya empat kelembagaan atau pranata tradisional (traditional institution) yang tetap bertahan, yaitu pranata kekerabatan (kinsip/domestic institution), pranata agama atau kepercayaan (religious institution), pranata ekonomi (economic institution), dan pranata pendidikan (education institution) (Kusnadi, 2002).

Ketentuan pokok kelembagaan pemerintah daerah adalah menyangkut mekanisme, bentuk dan susunan kelembagaan daerah beserta perangkatnya. Ketentuan tersebut terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Kelembagaan daerah diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2003. Isu utama dalam penataan kelembagaan di daerah adalah pada jumlah yang diperkenankan bagi setiap daerah untuk membentuk instansi baik berupa dinas, badan, kantor maupun bagian. Berdasarkan PP No. 8 tahun 2003 ini, kriteria penataan organisasi perangkat daerah didasarkan atas perhitungan skor penetapan, di mana faktor-faktor umum yang diperhatikan diantaranya luas wilayah, jumlah penduduk, ratio belanja pegawai dalam APBD, jumlah kecamatan dan desa, serta aspek karakteristik daerah pengembangan atau pertumbuhan. Namun demikian, kriteria yang dikembangkan ini tidak mencerminkan realitas teknis yang menjadi tugas dari setiap lembaga yang akan dibentuk sehingga hasil perhitungan yang diperoleh juga sering tidak mendasari perlunya pembentukan suatu satuan birokrasi tertentu (Dwiyanto et al. 2005).

(33)

dan ukuran biaya transaksi menentukan perilaku serta pengambilan keputusan individu atau organisasi.

Penataan kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan seharusnya memadukan pengetahuan tentang ekosistem dan sumberdaya alam dalam keputusan-keputusan politik pemerintahan. Pengetahuan tersebut bukan hanya berkaitan dengan keterbatasan daya dukung, melainkan juga sifat-sifatnya yang kemudian dapat diklasifikasikan sebagai private goods, club goods, common pool goods dan public goods (Ostrom 1977) dalam (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Pengetahuan ini menentukan ketepatan kelembagaan. Misalnya, kelembagaan untuk pengelolaan common pool goods didasarkan pada beberapa prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumberdaya, teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatan, pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, maupun pengakuan oleh peraturan dan perundangan yang lebih tinggi.

Selanjutnya dijelaskan bahwa pengetahuan mengenai karakteristik sumberdaya alam dapat diadopsi menjadi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam sangat tergantung pada tata pemerintahan dan transaksi-transaksi politik yang menentukan peraturan perundangan serta ketepatan kebijakan dalam mengintervensi struktur pasar. Lebih jauh peraturan-perundangan menentukan hak-hak yang diterima masyarakat dalam pengambilan keputusan, pada saat yang sama pengambilan keputusan mereka dipengaruhi pertimbangan untung-rugi serta kemampuan dan kapasitas untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan tersebut. Dalam kondisi demikian dinamika dan transaksi akan tumbuh di dalam kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

(34)

antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang mempengaruhi pengambilan keputusan dapat di lihat pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Hubungan antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang mempengaruhi pengambilan keputusan (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006).

Pengambilan keputusan ditingkat masyarakat saat ini semakin dipengaruhi mekanisme pasar, sementara hak atas sumberdaya alam serta kapasitas masyarakat untuk mengendalikan kerusakan sumberdaya sangat minim. Beberapa contoh mengenai pertambangan emas tanpa ijin (PETI), pencurian kayu dan penjarahan hutan, penangkapan ikan berlebihan menunjukkan keadaan tersebut. Sementara itu implementasi perundang-undangan yang dilaksanakan dengan pendekatan sektoral cenderung meningkatkan eksploitasi, bukan mengendalikan kerusakan sumberdaya alam (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006).

2.4. Kelembagaan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lingkungan

Kinerja pembangunan sumberdaya alam dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari dua kejadian penting, yaitu krisis ekonomi dan pelaksanaan otonomi daerah. Akar krisis ekonomi telah membuka mata mengenai besarnya korupsi dan kolusi yang melingkupi seluruh sendi kehidupan pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif); sementara (awal) pelaksanaan otonomi daerah menghadirkan persoalan governance, khususnya menyangkut kewenangan pemanfaatan sumberdaya alam, yang masih sulit diprediksi arah penyelesaiannya (Fahmi et al. 2003).

(35)

Sejalan dengan otonomi daerah, pendelegasian secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam dimaksudkan untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dengan tetap terjaganya fungsi lingkungan. Dalam Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan didarat dan laut.

Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya hayati, sumberdaya non hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumberdaya buatan meliputi infstruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.

Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir adalah kebijakan yang selama ini cenderung lebih berpihak terhadap kegiatan eksploitasi sumberdaya pesisir, untuk mencegah hal ini berlanjut, adanya kelembagaan yang kuat dan penegakan hukum yang berkeadilan menjadi keniscayaan bagi pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir (Bengen, 2009).

Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam sistem, organisasi maupun program kerja pemerintahan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir semestinya dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir, keselarasan peran antara pusat dan daerah, serta antar sektor. Pengaturan pengelolaan tersebut merupakan instrumen hukum yang berfungsi preventif menjaga ancaman terhadap kelestarian sumberdaya hayati.

(36)

(5) Introduksi spesies asing, (6) Konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, (7) Perubahan iklim global serta bencana alam (Dahuri, 2001).

Kepemilikan sumberdaya alam bersifat kompleks. Di satu pihak ada bagian dari suatu ekosistem yang dapat memberi manfaat atau mendatangkan kerugian bagi masyarakat banyak (public benefit/cost), di pihak lain sumberdaya alam dapat berupa komoditi (private goods) yang manfaatnya hanya dinikmati oleh perorangan. Karena itu, tersedia pilihan-pilihan bentuk hak-hak (rights) – lazim disebut rejim hak (regimes of property rights) terhadap sumberdaya alam, berkisar dari yang dikuasai negara (state property), diatur bersama didalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu (common property), atau berupa hak individu (private property) (hanna, dkk. 1996 dalam Hariadi Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Rejim hak merupakan alat untuk mengendalikan penggunaan sumberdaya alam dan menentukan keterkaitan serta ketergantungan antara kelompok masyarakat tertentu dengan lainnya (Bromley 1991 dalam Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006).

Kesadaran nilai strategis dari pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat atau lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir seperti sasi, mane’e, panglima laot dan awig-awig, terbatasnya ruang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaannya belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumberdaya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumberdaya non hayati disubstitusi dengan sumberdaya lain (Kusnadi, 2002).

(37)

berpandangan bahwa otonomi daerah hanya ditekankan pada upaya memperbesar pendapatan daerah. Pemerintah daerah hanya cenderung mengedepankan upaya memperoleh dan memperbesar sumber-sumber pendapatannya tanpa memperhatikan keberlanjutan sumberdaya pesisir dalam pengelolaannya. Perlunya pembuatan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya pesisir kepada pemerintah daerah adalah untuk mencegah timbulnya konflik antara pemerintah daerah dan masyarakatnya yang mengambil manfaat dari sumberdaya pesisir. Oleh karenanya, peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir diharapkan dapat mengurangi tumpang tindih pengaturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir (Dharmawan, 2009).

Isu utama yang lain adalah perusakan hutan mangrove dan perusakan terumbu karang. Menurut balai pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang Walanae, tahun 2001 luas hutan mangrove di Sulawesi Selatan adalah 26.909 Ha sangat memperihatinkan jika dibandingkan dengan data tahun 1980an. Kerusakan hutan mangrove juga berdampak buruk bagi terumbuh karang, produksi ikan, nener alam, intrusi air laut dan parawisata pantai. Kerusakan hutan mangrove disebabkan antara lain kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir dan penegakan hukum. Perusakan ekosistem terumbu karang terjadi akibat penangkapan ikan dengan pengeboman, pengambilan karang untuk pembangunan, dan pencemaran akibat dari aktifitas manusia. Rusaknya terumbu karang telah menyebabkan turunnya produksi ikan Malaja dipesisir wilayah Kabupaten Luwu dan turunnya produksi ikan ekor kuning serta nener alam di wilayah pesisir Teluk Bone.

2.5. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

(38)

bagaimana membuat agar desentralisasi hukum lokal dapat diturunkan lebih detail dan bagaimana membuat legitimasi terhadap kelambagaan lokal (Satria, 2004). Kedua, desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan secara tidak langsung membagi manajemen unit pengelolaan perikanan, zona perikanan, untuk wilayah yang berbeda harus dipertanggungjawabkan. Ketiga, pada level komunitas revitalisasi kelembagaan lokal menjadi sangat penting sebagai kunci dari desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan. Revitalisasi ini adalah pemberdayaan dan penguatan kembali bangunan kultural kelembagaan lokal yang baik. Ada dua dimensi dari revitalisasi kelembagaan lokal yaitu dimensi politik dan teknis. Dimensi politik adalah tentang bagaimana memberdayakan nelayan lokal dengan mempercepat menyambut aspirasi mereka, memahami kepentingan nelayan dan merespon relasi kebijakan untuk sektor perikanan (Satria, 2004).

Desentralisasi dapat dibenarkan jika tujuan desentralisasi sebagai upaya peningkatan efisiensi dan keseimbangan aktifitas pembangunan, serta untuk meningkatkan partisipasi lokal dan demokrasi. Pada saat melakukan penguatan terhadap penerapan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir, permasalahan yang terjadi di tingkat pusat dan tingkat lokal semestinya dapat dipecahkan. Pemerintahan pusat semestinya dapat konsisten meninggalkan keengganan untuk membagi kewenangan dengan pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan mengharagai semangat desentralisasi. Di sisi lain, pada tingkat pemerintahan lokal peraturan di tingkat lokal semestinya dapat memfasilitasi dan bekerjasama dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang lebih baik. Kondisi tersebut mengakibatkan kepercayaan antara pemerintahan pusat, pemerintahan lokal dan masyarakat lokal menjadi sangat penting untuk desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan (Satria, 2004).

(39)

program optimalisasi pemanfaatan sumberdaya buatan; (7) Program optimalisasi pemanfaatan jasa lingkungan; (8) Program peningkatan kualitas sumberdaya manusia; dan (9) Program peningkatan kualitas kelembagaan (Balitbangda Sulsel 2006).

Selanjutnya, secara umum dapat disimpulkan bahwa : (1) Sumberdaya alam, sumberdaya buatan, jasa lingkungan cukup potensial dan mempunyai prospek pengembangan yang baik, namun hingga saat ini belum memberikan kontribusi yang optimal bagi peningkatan ketahanan ekonomi wilayah; (2) Kondisi sosial ekonomi masyarakat belum sepenuhnya dapat menunjang upaya peningkatan ketahanan ekonomi wilayah; (3) Infrastruktur wilayah yang ada masih terbatas, sehingga belum dapat memberikan dukungan penuh bagi upaya peningkatan ketahanan ekonomi wilayah; (4) Kebijakan menyangkut kelembagaan tingkat kabupaten masih jauh dari cukup sehingga belum ada instrumen pengelolaan yang memadai; dan (5) Skala usaha dan produk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi masih sangat kecil sehingga belum dapat memberi kontribusi yang basar bagi peningkatan ketahanan ekonomi wilayah di Pantai Timur Sulawesi Selatan (Balitbangda Sulsel, 2006).

Dari hasil penelitian pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Pantai Timur Sulawesi Selatan, maka ada lima kebijakan yang direkomendasikan, yaitu : (1) Optimalisasi Sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan jasa lingkungan; (2) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kondisi sosial ekonomi masyarakat; (3) Peningkatan infrastruktur ekonomi wilayah; (4) Kebijakan pengelolaan pada tingkat kabupaten perlu disempurnakan; dan (5) Penyempurnaan kelembagaan pengelolaan, terutama di tingkat kabupaten (Balitbangda Sulsel, 2006).

2.6. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat

(40)

kesempatan kerja dan kehidupan yang lebih layak bagi nelayan. Dengan semangat partisipasi aktif masyarakat diharapkan dapat menjamin kelestarian sumberdaya alam (Nasution et al. 2007). Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat sudah merupakan pendekatan yang banyak dipakai didalam program-program pengelolaan sumberdaya pesisir diberbagai negara di dunia, khususnya dinegara-negara berkembang. Pendekatan ini secara luas digunakan diwilayah asia pasifik seperti dinegara-negara Filipina dan Pasifik Selatan. Pemerintahan yang semakin mengarah pada desentralisasi membutuhkan pendekatan ini dalam rangka menjawab tuntutan otonomi daerah (Dahuri et al. 2001).

Dengan diberikannya wewenang kepada daerah dalam pengelolaan pesisir dan lautnya sejauh 12 mil untuk propinsi dan 4 mil untuk kabupaten memberikan peluang yang besar bagi pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Lahirnya Undang-Undang No. 27 tahun 2007 juga diharapkan mampu menjadi kekuatan hukum bagi pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis masyarakat. Dalam operasionalnya, paradigma pembangunan berbasis masyarakat mensyaratkan adanya pembagian kewenangan antara pemerintah dan masyarakat. Dua elemen terpenting dalam konsep pemberdayaan yang diperlukan adalah mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat secara egaliter. Masyarakat dengan potensi modal sosial (social capital) dan pemerintah dengan kebijakannya, akan sangat menentukan bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dalam pengelolaannya (Bengen, 2009).

(41)

Berbagai permasalahan yang cukup kompleks dalam pengelolaan kawasan dan pengelolaan sumberdaya pesisir perlu untuk segera di atasi. Pada beberapa daerah pengelolaan kawasan pesisir membawa dampak terhadap degradasi kualitas lingkungan pesisir. Disamping itu pengelolaan kawasan pesisir juga membawa dampak terhadap kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pedoman umum pengelolaan kawasan pesisir di sangat diperlukan karena beberapa hal antara lain : (1) Berbagai permasalahan dalam pengelolaan kawasan pesisir disebabkan karena belum adanya regulasi yang jelas sebagai pedoman dan panduan dalam pengelolaan kawasan pesisir. (2) Pengelolaan kawasan pesisir selama ini cenderung bersifat sektoral. Misalnya kegiatan reklamasi pantai untuk pembangunan kawasan perumahan atau pelabuhan kadang-kadang kurang memperhatikan kondisi daya dukung lingkungan. Demikian juga pembangunan kawasan wisata di daerah pesisir kadang-kadang kurang memperhatikan dampaknya terhadap kondisi sosial budaya masyarakat setempat. (3) Kawasan pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem tidak dapat dilihat hanya dalam batas wilayah administratif pemerintahan. Sebagai suatu kesatuan ekosistem pengelolaan kawasan pesisir pada Daerah Otonom yang berbatasan perlu dilakukan secara terpadu. (4) Kebijakan Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah merupakan suatu kebijakan nasional yang perlu dipertahankan dan dikembangkan. Kewenangan Daerah dalam mengelola kawasan pesisir perlu ditingkatkan implementasinya (Irwansyah, 2007).

Faktor penting yang terkait dengan pembangunan berbasis masyarakat adalah peran kelembagaan lokal, yang dapat diukur dengan melihat, keberpihakan regulasi atau kebijakan daerah dalam bentuk peraturan-peraturan daerah, informasi dan pengetahuan, struktur pasar dan respon stakeholder terhadap kebijakan dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Hal ini akan menjadi kajian dalam penelitian ini dengan melihat kebijakan, respon dan perilaku stakeholder terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu, yang memiliki potensi sumberdaya pesisir yang cukup besar.

(42)

makro merupakan tugas pemerintah untuk mengakui eksistensi sistem pengelolaan tersebut, dan juga tugas unsur civil society lainnya untuk melakukan advokasi. Sementara itu langkah mikro merupakan tugas pemerintah dan civil society untuk melakukan langkah aksi baik untuk pengembangan kapasitas organisasi, kapasitas sumberdaya manusia (SDM), serta pelengkapan sarana dan prasarana pengelolaan (Satria, 2009).

Berbagai kajian menunjukkan bahwa institusi komuniti dapat menyediakan common-pool reosurces dengan lebih baik, termasuk jika dibandingkan dengan institusi negara. pemanfaatan institusi komuniti yang telah terbentuk, khususnya komuniti karena kesamaan teritorial, untuk mengelola suatu kawasan tertentu yang langsung berkaitan dengannya, serta mengembangkan aransemen institusional multi-pihak untuk mengelola common-pool resources yang berada di luar kawasan yang disebut sebelumnya. Untuk mengokohkan kedua aransemen institusional dimaksud, dapat dikaji prinsip desain (design principle) institusi yang mampu bertahan lama menyediakan common-pool resources, sebagaimana dirumuskan oleh Ostrom dan Edella (1996) yang mengatakan bahwa prinsip desain tersebut adalah: (1) Adanya batas (boundaries) yang jelas, baik berkaitan dengan individu atau rumah tangga yang memanfaatkan, maupun berkaitan dengan common-pool resourcesnya sendiri; (2) Kesesuaian antara aturan (rules) pemanfaatan dan penyediaan, dan kondisi lokal; (3) Modifikasi susunan pilihan-kolektif (collective-choice arrangements), khususnya di tingkat aturan operasional, mengikutsertakan (dalam pengambilan keputusan) pihak-pihak yang terkena dampaknya; (4) Pemantauan perilaku pengambil manfaat (appropriators) dan kepada siapa pemeriksa kondisi common-pool resources bertanggungjawab; (5) Sanksi berjenjang terhadap setiap pelanggar aturan-main; (6) Tersedia mekanisme resolusi konflik; dan (7) Pengakuan minimal atas hak komuniti untuk mengorganisasikan diri (Fahmi et al. 2003).

(43)

choice), tingkat pilihan kolektif (collective choice) dan tingkat pilihan konstitusional (constitutional choice), yang sebelumnya dipersepsikan terpisah satu sama lain, sesungguhnya merupakan tiga wilayah pengambilan keputusan yang terkait satu sama lain (Fahmi et al. 2003), semestinya menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dikawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.

2.7. Analisi Kebijakan

Persoalan keadilan selalu mendapatkan tempat yang istemewa di setiap perbincangan intelektual selama ini karena permasalahan karena persoalan keadilan tidak pernah tuntas, selalu saja ada ketidakpuasan terhadap persoalan keadilan. Setiap tercipta suatu keadilan dalam masyarakat, orang akan selalu menyalahkan pemerintah sebagai biang keladi karena kebijakannya terhadap publik dianggap tidak berpihak terhadap mereka yang merasakan ketidakadilan. Tuduhan tersebut sangat beralasan karena memang inti dari kebijakan adalah studi tentang keputusan (decision) dan tindakan (action) pemerintah dalam fokustrasinya terhadap kebutuhan publik. Apabila pemerintah tidak berpihak atau tidak fokus terhadap publik, maka masyarakat berhak menolaknya (Fermana, 2009).

(44)

Pendekatan-pendekatan tersebut gagal mencapai kesuksesan memenuhi rasa keadilan masyarakat karena problem manusia tidak hanya ditentukan oleh segelintir orang saja dengan cara kerja yang disamakan dengan ilmu alam. Permasalahan analisis kebijakan adalah berhubungan dengan pertanyaan siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan dalam suatu kebijakan. Hal ini dapat didekati dengan memahami lebih awal makna keadilan yang secara umum dibangun atas lima dasar yaitu (1) Preferensi individu (individual preferences). Preperensi individu penting karena karena menjadi dasar bagi apa yang diinginkan manusia, jika preferensinya terpenuhi maka individu tersebut akan merasakan keadilan. (2) Etika (ethic). Dari etika konsep baik dan buruk berasal, jika sesuatu dianggap baik maka keadilan mengikutinya begitu pula sebaliknya. (3) Kebebasan Individu (individual freedom). Kebebasan individu adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia, yang mana manusia menginginkannya untuk terpenuhi, oleh sebabnya jika kebebasan tidak terpenuhi atau terhambat maka rasa keadilan akan dituntut. (4) Hak Individu (individual right). Jika hak individu terpenuhi dan tidak dilanggar, rasa keadilan akan terpenuhi, begitu pula sebaliknya. (5) Distribusi Keadilan (distribution of justice). Tersalurnya distribusi nilai-nilai keadilan seperti persamaan hak, dan kebebasan manusia, akan sangat menentukan nilai keadilan.

(45)

karena analisis ini dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul baik sebelum maupun sesudah kebijakan diterapkan.

2.7.1. Analisis isi (Content Analysis)

Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentuk-bentuk tertulis lainnya (Krippendorf, 1980). Teknik penelitian ini bisa berupa teknik kuantitatf yang sistematis dan bisa direplikasi yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari (Riffe et al. 1998). Teknik ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari perilaku manusia secara tidak langsung melalui analisis cara mereka berkomunikasi (Fraenkel dan Norman. 1996). Teknik analisis ini memiliki kelebihan karena sifatnya yang unobtrusive (tidak langsung dan tidak mengganggu obyek yang diteliti), ekonomis, bisa direplikasi serta tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian kelemahan dari metode ini diantaranya adalah sumber data yang terdokumentasi terbatas, dan sulit menentukan validitas jika ada ketidaksepakatan antar penguji (Fraenkel dan Norman. 1996). Analisis isi (content analysis) untuk keperluan penelitian ini dilakukan terhadap peraturan perundang undangan tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dari pusat hingga ke daerah penelitian dalam konteks pembanguan berkelanjutan untuk aspek ekonomi, lingkungn dan sosial.

2.7.2. Proses perubahan kebijakan

(46)

Sutton (1999) menyatakan bahwa segala sesuatu yang diputuskan oleh para pembuat keputusan dianggap sebagai perwujudan pemikiran umum dan pemisahan keputusan-keputusan tersebut dari implementasinya, padahal naskah suatu kebijakan dilahirkan oleh suatu proses yang “chaotic”. Lindayati dalam Rosylin (2008) menyatakan pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan tidak hanya didorong oleh kepentingan pemerintah, tetapi juga melibatkan proses ”pembelajaran” bagi pembuat kebijakan dimana gagasan kebijakan memainkan peranan utama.

Arus utama dalam pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini disebut sebagai model linier. Model ini dikenal juga dengan model rasional atau common-sense. Urutan pembuatan kebijakan dalam model ini adalah sebagai berikut (Sutton 1999) :

1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah. 2. Merumuskan tindakan untuk mengatasai masalah.

3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi.

4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat. 5. Pelaksanaan kebijakan.

6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan.

Menurut (IDS, 2006) proses pembuatan kebijakan non linier mempunyai karakteristik sebagai berikut :

1. Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai suatu proses politik yang sesungguhnya yaitu sesuatu yang bersifat analitis atau suatu pemecahan masalah. Proses pembuatan kebijakan sama sekali bukan semata-mata bersifat teknis, aktivitas rasional-lah yang sering dipertahankan.

(47)

3. Selalu ada tumpang-tindih dan agenda yang berlawanan; disana mungkin tidak ada kesepakatan yang penuh antar stakeholders atas apa permasalahan kebijakan penting yang sebenarnya.

4. Keputusan tidaklah bersifat teknis dan terpisah: nilai-nilai dan fakta-fakta saling terjalin. Pertimbangan-pertimbangan nilai memainkan peran utama.

5. Implementasi melibatkan pertimbangan dan negosiasi oleh para pengambil keputusan dan pelaksana keputusan (memberi kesempatan untuk melakukan inovasi dan lebih dihargai).

6. Tenaga ahli teknis dan penentu kebijakan bekerja sama ‘saling membangun’ kebijakan. Kerja sama ini dikenal juga sebagai co-produksi (produksi bersama) antara kebijakan dan ilmu pengetahuan.

7. Co-produksi kebijakan dan ilmu pengetahuan sering dilakukan untuk mengurangi ketidaktahuan dan ketidakpastian ilmiah, dimana ilmuwan berusaha melengkapi dengan memberi jawaban untuk pembuat kebijakan, dan selanjutnya didiskusikan.

8. Proses kebijakan meliputi beberapa perspektif atas biaya sebagai perspektif dari kemiskinan dan ketermarjinalan yang sering terabaikan.

Proses pembuatan kebijakan dapat dikembangkan dan diuraikan dalam suatu kerangka sederhana yang menghubungkan tiga tema yang saling berhubungan yaitu :

1. Pengetahuan dan diskursus (apa yang merupakan ‘kebijakan naratif’, Bagaimana hal tersebut dirangkai melalui ilmu pengetahuan, riset dan lain sebagainya)

2. Para pelaku dan jaringan kerja (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung) dan

(48)

Gambar 3. Kerangka hubungan antar aktor dalam proses perumusan kebijakan Sumber : Institute of Development Studies (2006).

Sutton (1999) menjelaskan bahwa pengembangan narasi (narrative development) yaitu suatu keyakinan di masa lalu berisi penyederhanaan kompleksitas situasi yang seringkali digunakan oleh pembuat kebijakan (Gambar 3). Mereka sering menetapkan keyakinan-keyakinan tersebut sebagai kearifan di masa lalu yang sulit sekali ditinggalkan. Keberadaan kelompok kepentingan, kekuasaan, dan kewenangan mempunyai kedudukan penting karena akan saling memberi pengaruh terhadap ’kebenaran’, asumsi, jalan keluar, berdasarkan argumentasi dari pengalaman, literatur, atau pasal-pasal dalam peraturan-perundangan. Kelompok-kelompok tersebut menentukan cakupan atau arena yang dibahas dalam pembuatan kebijakan. Narasi membatasi ruang untuk melakukan manuver atau membatasi ruang kebijakan (policy space), yaitu kemampuan pembuat kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan baru. Narasi dilahirkan melalui jaringan pembuat kebijakan (policy coalition/network) dan mengembangkan paradigmanya sendiri sehingga menjadi sangat berpengaruh.

2.7.3. Analisis stakeholder

(49)

dalam setiap kegiatan partisipatif. Namun, seringkali stakeholder diidentifikasi dan dipilih secara ad-hoc sehingga berpotensi meminggirkan kelompok-kelompok penting, membuahkan hasil yang bias dan membahayakan kelangsungan jangka panjang proses dan dukungan atas kebijakan.

(50)

BAB III

METODA PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Agustus 2011. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Luwu, di 7 (tujuh) kecamatan yaitu

Kecamatan Larompong Selatan, Larompong, Suli, Belopa utara, Ponrang, Bua dan Kecamatan Walenrang Timur yang merupakan wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Luwu dan merupakan kawasan Teluk Bone. Adapun lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini :

(51)

3.2. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif yang menekankan pada penggambaran, pemahaman dan penjelasan pada fenomena yang kompleks pada hubungan antar faktor yang berpengaruh. Secara keseluruhan validasi penelitian ini menggunakan metode triangulasi yaitu penelusuran data atau informasi dari tiga sisi yaitu : pertama, data primer dari hasil perolehan observasi lapangan atau dari obyek penelitian secara langsung; kedua, dari data sekunder yang diperoleh dari studi literatur untuk memperkaya dimensi data; dan ketiga dari analisis data yang dilakukan secara subyektif oleh peneliti berdasarkan metode analisis data yang telah dipilih. Dengan memadukan sedikitnya tiga metode misalnya pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen, maka satu dan lain metode akan saling menutup kelemahan sehingga tangkapan atas realitas sosial menjadi lebih valid (Sitorus 1998 dalam Aprianty, 2008).

3.3. Metode Pengumpulan Data

(52)

Tabel 1. Responden dalam penelitian

2. DPRD (dewan perwakilan Daerah) 7

3. Swasta 5

4. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 2

5. Perguruan Tinggi 2

6. Masyarakat/Nelayan : 1. Kec. Larompong Selatan.

2. Kec. Larompong

Dalam penelitian ini dilakukan beberapa tahapan pengumpulan data yaitu :  Merangkum dan atau mengumpulkan beberapa peraturan pusat maupun daerah yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu.

 Melakukan observasi dan identifikasi permasalahan yang ada dilapangan, untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya mengenai proses pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir.

Gambar

Gambar 1  Bagan Alir Kerangka Pikir Penelitian.
Gambar 2  Hubungan antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang mempengaruhi
Gambar 3. Kerangka hubungan antar aktor dalam proses perumusan kebijakan    Sumber : Institute of Development Studies (2006)
Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan atas tujuan dan hasil penelitian yang telah dicapai dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpula bahwa hasil analisis kinerja pada ketiga alat tangkap

Terjadi penurunan WACC yang paling besar terjadi pada tahun 2005 menjadi 2,00% dari 3,65% karena pada tahun itu penurunan biaya modal saham cukup besar dan tidak

Bahan bakar yang digunakan sebagai sumber energi adalah serbuk gergaji kayu dan tongkol jagung. Pada Tabel 14 disajikan konsumsi biomassa yang digunakan selama percobaan.

Masalah-masalah yang telah diidentifikasikan di atas akan dibahas dan diproses melalui pendekatan Proses Hierarki Analitik (PHA) untuk menentukan alternatif

masing masing pixel mewakili lokasi dan nilai warna tertentu.sebagai cintoh, sebuah gambar file yang dihasilakan oleh kamerah yang tersusun dari pixel-pixel secara mosaik,

Setelah penjabaran di atas, peneliti akhirnya menyimpulkan bahwa setiap karakter yang terdapat dalam animasi Binekon merupakan representasi buadaya Nusantara tiap-tiap

Beberapa metode penyelesaian PD secara numerik: 1. Solusi numerik merupakan solusi khusus dari suatu persamaan diferensial oleh karena itu perlu adanya nilai awal atau nilai

Untuk mengoptimalkan evaluasi kinerja Kantor Kelurahan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara dikemukakan identifikasi permasalahan strategis yang dihadapi dalam pelaksanaan