• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diversity of Birds and Amphibian in Human Dominated Lanscape in Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diversity of Birds and Amphibian in Human Dominated Lanscape in Bogor"

Copied!
210
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN SPESIES BURUNG DAN AMFIBI

PADA LANSKAP DIDOMINASI MANUSIA

DI WILAYAH BOGOR

INSAN KURNIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASINYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Spesies Burung dan Amfibi Pada Lanskap Didominasi Manusia di Wilayah Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

(4)
(5)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)
(7)

PADA LANSKAP DIDOMINASI MANUSIA

DI WILAYAH BOGOR

INSAN KURNIA

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis :

(9)

Didominasi Manusia di Wilayah Bogor

Nama : Insan Kurnia

NIM : E351080051

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Zuhud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)
(11)
(12)
(13)

Halaman

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Hipotesis 4

Manfaat Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Keanekaragaman Spesies dan Faktor yang Mempengaruhi 5

Lanskap Didominasi Manusia 7

Fragmentasi Habitat 8

Peran Lanskap Buatan Untuk Konservasi Satwaliar 9

METODE PENELITIAN 11

Waktu dan Tempat 14

Alat dan Bahan 14

Jenis dan Metode Pengambilan Data 13

Jenis Data 13

Metode Pengambilan Data 13

Analisa Data 18

KONDISI UMUM PENELITIAN 21

Letak dan Luas 21

Penggunaan Lahan dan Status Lahan 22

Kondisi Fisik 22

Kondisi Habitat 23

Yan Lapa 23

Dungus Iwul 26

Haurbentes 29

Ciampea 30

Cimulang 34

(14)

Darmaga 38

Ciburial 40

Bogor Kota 42

HASIL DAN PEMBAHASAN 45

Hasil 45

Struktur dan Komposisi Komunitas Burung dan Amfibi 45

Kekayaan Spesies 45

Keanekaragaman dan Kemerataan Spesies 47

Kelimpahan Individu 49

Waktu Penemuan 50

Indeks Kesamaan Komunitas 51

Komposisi Guild Burung dan Kelompok Amfibi 53 Hubungan Komunitas Burung dengan Amfibi 63

Seluruh Tipe Habitat 63

Hubungan Luas Habitat dengan Komunitas Burung dan Amfibi

Struktur dan Komposisi Komunitas Burung dan Amfibi 87

Kekayaan Spesies 87

(15)

Kelimpahan Individu 104

Waktu Penemuan 105

Indeks Kesamaan Komunitas 106

Komposisi Guild Burung dan Kelompok Amfibi 107 Hubungan Antara Komunitas Burung dengan Amfibi 110 Hubungan Antara Luas Habitat dengan Komunitas Burung dan Amfibi

111

Implikasi Konservasi 113

SIMPULAN DAN SARAN 117

Simpulan 117

Saran 117

DAFTAR PUSTAKA 119

(16)
(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Lokasi Penelitian 11

2. Gradien habitat yang diteliti di setiap lokasi 12 3. Gradien habitat menurut tingkat suksesi dan dominasi manusia 13 4. Jumlah titik hitung pengambilan data burung di setiap gradien

habitat yang diteliti

15

5. Jumlah jalur pengambilan data amfibi di setiap gradien habitat yang diteliti

17

6. Beberapa penggunaan lahan di Kabupaten Bogor 22

7. Penggunaan lahan di Kota Bogor 23

8. Gradien habitat di Yan Lapa 23

9. Gradien habitat di Dungus Iwul 26

10. Gradien habitat di Haurbentes 30

11. Gradien habitat di Ciampea 31

12. Gradien habitat di Cimulang 34

13. Gradien habitat di Cikabayan 36

14. Gradien habitat di Darmaga 38

15. Gradien habitat di Ciburial 41

16. Gradien habitat di Bogor Kota 43

17. Nilai uji chi square kekayaan spesies satwa antar gradien habitat 47 18. Nilai uji chi square jumlah individu spesies satwa antar gradien

habitat

47

19. Nilai indeks kesamaan komunitas satwa antar tipe habitat di lokasi penelitian

51

20. Nilai uji chi square kekayaan spesies burung menurut kategori pakan utama di setiap gradien habitat

54

21. Nilai uji chi square kekayaan spesies burung menurut kategori pakan utama antar gradien habitat

55

22. Nilai uji chi square jumlah individu burung menurut kategori pakan utama di setiap gradien habitat

56

23. Nilai uji chi square jumlah individu burung menurut kategori pakan utama antar gradien habitat

56

24. Kekayaan spesies burung pada setiap guild pemakan serangga di lokasi penelitian

58

25. Nilai uji chi square kekayaan spesies burung yang termasuk guild pemakan di setiap gradien habitat

(18)

26. Nilai uji chi square jumlah individu burung yang termauk kategori guild pemakan serangga

60

27. Nilai uji chi square kekayaan spesies amfibi menurut kelompok amfibi di setiap gradien habitat

62

28. Nilai uji chi square jumlah individu amfibi menurut kelompok utama di gradien habitat

63

29. Nilai korelasi hubungan komunitas burung dengan komunitas amfibi di setiap gradien habitat

69

30. Nilai korelasi hubungan komunitas burung dengan komunitas amfibi

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Lokasi Penelitian di Kabupaten dan Kota Bogor 11 2. Ilustrasi penggunaan metode titik hitung untuk burung 15 3. Ilustrasi penggunaan Visual Encountered Survey dengan disain

jalur untuk pengambilan data amfibi

16

4. Ilustrasi penempatan jalur pengamatan amfibi di berbagai tipe habitat. (a) terestrial; (b) habitat sungai; (c) habitat danau/situ

17

5. Ilustrasi plot pengambilan data profil vegetasi di setiap gradien habitat yang diteliti

18

6. Lokasi penelitian di Kabupaten dan Kota Bogor 21 7. Profil vegetasi habitat hutan alam di Yan Lapa 25 8. Profil vegetasi habitat hutan tanaman dipterocarpaceae di Yan

Lapa

25

9. Profil vegetasi habitat hutan tanaman akasia di Yan Lapa 26 10. Profil vegetasi habitat hutan alam di Dungus Iwul 27 11. Profil vegetasi habitat talun di Dungus Iwul 28 12. Profil vegetasi habitat kebun sawit di Dungus Iwul 28 13. Profil vegetasi habitat hutan tanaman dipterocarpaceae di

Haurbentes

30

14. Profil vegetasi habitat hutan tanaman mahoni di Ciampea 32 15. Profil vegetasi habitat hutan tanaman jati usia 6 tahun di Ciampea 32 16. Profil vegetasi habitat kebun karet di Ciampea 33 17. Profil vegetasi habitat kebun sawit di Cimulang 35 18. Profil vegetasi habitat hutan tanaman campuran I di Cikabayan 36 19. Profil vegetasi habitat perumahan di Cikabayan

20. Profil vegetasi habitat hutan tanaman Dipterocarpaceae di Darmaga

39

21. Profil vegetasi habitat hutan kebun talun di Ciburial 41 22. Profil vegetasi habitat hutan tanaman campuran I di Bogor Kota 43 23. Profil vegetasi habitat hutan tanaman campuran II di Bogor Kota 43 24. Profil vegetasi habitat perumahan di Bogor Kota 44 25. Grafik kekayaan spesies (atas) dan jumlah individu (bawah) burung

dan amfibi yang dijumpai di lokasi penelitian

46

26. Grafik nilai indeks keanekaragaman spesies (H’) burung dan amfibi di lokasi penelitian

(20)

27. Grafik nilai indeks kemerataan spesies (E) burung dan amfibi di

29. Kurva akumulasi penemuan spesies (a) burung; (b) amfibi di lokasi penelitian

50

30. Dendogram kesamaan (a) burung; (b) amfibi di lokasi penelitian 52 31. Multi-dimension scaling komposisi spesies kesamaan (a) burung;

(b) amfibi di lokasi penelitian

53

32. Proporsi spesies burung menurut kategori pakan utama yang ditemukan di setiap gradien habitat

54

33. Persentase jumlah individu burung menurut kategori pakan utama yang ditemukan di setiap gradien habitat

55

34. Perbandingan proporsi komposisi spesies dan individu burung pemakan daging antar gradien habitat

35. Kekayaan spesies burung pemakan daging menurut kategori sumber pakan di sesetiap iap habitat

57

36. Persentase kekayaan spesies burung menurut kategori guild pemaan serangga di setiap gradien habitat

59

37. Persentase jumlah individu burung menurut kategori guild pemaan serangga di setiap gradien habitat

59

38. Kekayaan spesies burung pemakan serangga di setiap gradien habitat

60

39. Perbandingan proporsi komposisi spesies dan individu burung pemakan biji antar gradien habitat

61

40. Persentase kekayaan spesies amfibi menurut kelompok amfibi setiap gradien habitat

61

41. Persentase jumlah individu amfibi menurut kelompok amfibi setiap gradien habitat

62

42. Proporsiindividu amfibi kelompok terestrial dan akuatik di setiap gradien habitat

63

43. Hubungan (a) kekayaan spesies dan (b) jumlah individu antara komunitas burung dengan amfibi di seluruh habitat

64

44. Hubungan (a) kekayaan spesies dan (b) jumlah individu antara komunitas burung dengan amfibi di Hutan Tanaman Camputran

65

45. Hubungan (a) kekayaan spesies dan (b) jumlah individu antara komunitas burung dengan amfibi di Hutan Tanaman Monokultuur

66

46. Hubungan (a) kekayaan spesies dan (b) jumlah individu antara komunitas burung dengan amfibi di kebun

66

47. Hubungan (a) kekayaan spesies dan (b) jumlah individu antara komunitas burung dengan amfibi di sawah

(21)

48. Hubungan (a) kekayaan spesies dan (b) jumlah individu antara komunitas burung dengan amfibi di perumahan

68

49. Gradien habitat menurut luas di seluruh lokasi penelitian 70 50. Grafik kekayaan spesies (atas) dan jumlah individu (bawah) burung

dan amfibi di seluruh habitat mengikuti gradien luas

70

51. Hubungan antara luas habitat dengan kekayaan spesies (a) burung dan amfibi di seluruh tipe habitat

71

52. Hubungan antara luas habitat dengan jumlah individu (a) burung dan amfibi di seluruh tipe habitat

72

53. Gradien habitat menurut luas di Hutan Tanaman Campuran 72 54. Grafik kekayaan spesies (atas) dan jumlah individu (bawah) burung

dan amfibi yang dijumpai di habitat Hutan Tanaman Campuran

73

55. Hubungan antara luas habitat dengan kekayaan spesies (a) burung dan amfibi di Hutan Tanaman Campuran

74

56. Hubungan antara luas habitat dengan jumlah individu (a) burung dan amfibi di Hutan Tanaman Campuran

74

57. Gradien habitat menurut luas di Hutan Tanaman Monokultur 75 58. Grafik kekayaan spesies (atas) dan jumlah individu (bawah) burung

dan amfibi yang dijumpai di habitat Hutan Tanaman Monokultur

76

59. Hubungan antara luas habitat dengan kekayaan spesies (a) burung dan amfibi di Hutan Tanaman Monokultur

77

60. Hubungan antara luas habitat dengan jumlah individu (a) burung dan amfibi di Hutan Tanaman Monokultur

77

61. Gradien habitat menurut luas di kebun 78

62. Grafik kekayaan spesies (atas) dan jumlah individu (bawah) burung dan amfibi yang dijumpai di habitat kebun

78

63. Hubungan antara luas habitat dengan kekayaan spesies (a) burung dan amfibi di kebun

79

64. Hubungan antara luas habitat dengan jumlah individu (a) burung dan amfibi di kebun

80

65. Gradien habitat menurut luas di sawah 80

66. Grafik kekayaan spesies (atas) dan jumlah individu (bawah) burung dan amfibi yang dijumpai di habitat sawah

81

67. Hubungan antara luas habitat dengan kekayaan spesies (a) burung dan amfibi di habitat sawah

82

68. Hubungan antara luas habitat dengan jumlah individu (a) burung dan amfibi di habitat sawah

82

69. Gradien habitat menurut luas di perumahan 83 70. Grafik kekayaan spesies (atas) dan jumlah individu (bawah) burung

dan amfibi yang dijumpai di habitat perumahan

(22)

71. Hubungan antara luas habitat dengan kekayaan spesies (a) burung dan amfibi di habitat perumahan

84

72. Hubungan antara luas habitat dengan jumlah individu (a) burung dan amfibi di habitat perumahan

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar spesies burung yang ditemukan di setiap gradien habitat 135 2. Daftar spesies amfibi yang ditemukan di setiap gradien habitat 141 3. Nilai indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E) spesies

burung

142

4. Nilai indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E) spesies burung

(24)

Latar Belakang

Pemanfaatan lahan oleh manusia, telah mengubah lanskap alami menjadi lanskap budaya atau dikenal juga dengan lanskap buatan manusia yaitu suatu lanskap yang didominasi oleh adanya campur tangan manusia sehingga memunculkan suatu istilah yang disebut sebagai lanskap didominasi manusia (LDM) atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai human dominated lanscape (HDL). Lanskap ini dapat berupa perkotaan (urban landscape) maupun pedesaan (rural landscape) ataupun yang terbentuk diantara keduanya seperti sub-urban landscape, dengan beragam penggunaan lahan seperti permukiman, persawahan, perkebunan, ruang terbuka hijau maupun hutan tanaman. Perubahan struktur dan komposisi ini, tentunya sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies (Hartel et al. 2010; Lepczyk el at. 2003) baik mamalia, burung, reptil dan amfibi karena tidak seluruh spesies mampu beradaptasi dengan perubahan habitat. Sebagian spesies satwa tetap bertahan sedangkan sebagian spesies lainnya tersingkir dari tipe-tipe LDM (Germaine et al. 1997) Keberadaan LDM telah menjadi bagian integral dari konservasi keanekaragaman hayati karena tidak seluruh keanekaragaman hayati terdapat di dalam kawasan konservasi. Saat ini, kawasan konservasi darat yang ada di Indonesia adalah 19,8 juta ha (DEPHUT 2005), atau hanya sekitar 10% dari total luas daratan Indonesia dengan distribusi yang relatif kurang seimbang, seperti yang ada di Pulau Jawa yaitu enam dari 10 taman nasional daratan merupakan kawasan pegunungan (DEPHUT 2007), sedangkan yang berada di dataran rendah mayoritas adalah kawasan konservasi berukuran kecil yang terpisah sehingga menjadi hutan yang terfragmentasi. Keterbatasan ini menyebabkan perlunya sinergi antara keberadaan kawasan konservasi dan kawasan non-konservasi untuk melindungi keanekaragaman hayati (UNU-IAS 2010).

(25)

terbukti melindungi keanekaragaman hayati yang ada baik flora maupun fauna seperti subak di Bali, pengolahan lahan di Baduy serta di banyak negara Asia Selatan, Asia Timur, Amerika Latin bahkan Eropa.

Wilayah Bogor merupakan perpaduan perkotaan dan pedesaan dengan lanskap yang sangat beraneka ragam. Lanskap alami didominasi di bagian selatan oleh dua kawasan konservasi yaitu Taman Nasional (TN) Gunung Gede Pangrango (TNGGP/21.975 ha) dan TN Gunung Halimun Salak (TNGHS/115.357 ha) (DEPHUT 2007) serta terdapat juga kawasan konservasi berukuran kecil yaitu Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Pancar (447.5 ha), TWA Telaga Warna (5 ha), Cagar Alam (CA) Telaga Warna (268,25 ha), CA Yan Lapa (32 ha) dan CA Dungus Iwul (9 ha) (BPLHD Jabar 2010; DISHUT Jabar 2010). Kawasan-kawasan konservasi kecil tersebut telah terfragmentasi dan dikelilingi oleh kawasan LDM, sehingga keberadaan kawasan LDM di sekitar kawasan konservasi ini menjadi bernilai penting, karena dapat menjadi bagian integral konservasi keanekaragaman hayati. Namun demikian, tidak seluruh tipe LDM memiliki kemampuan yang sama dalam konservasi keanekaragaman hayati dilihat dari jumlah keanekaragaman hayati yang mampu hidup di dalam LDM tersebut. Komponen habitat penyusun LDM merupakan faktor penting kehadiran suatu spesies dalam LDM.

Burung dan amfibi merupakan dua kelompok taksa satwa yang umum digunakan sebagai indikator suatu kondisi lingkungan. Burung diketahui sebagai satwa yang dapat menggambarkan kondisi suatu habitat karena peka terhadap perubahan yang terjadi terutama unsur vegetasi sehingga dapat dilihat pola keanekaragaman burung di beragam tingkat suksesi vegetasi. Sementara itu, amfibi dikenal sebagai satwa indikator yang sensitif terkait dengan kondisi iklim mikro terutama faktor air (Tockner et al. 2006; Wilson & McCrain 2005). Pemilihan amfibi dibandingkan serangga karena walaupun serangga merupakan satwa yang biasa digunakan sebagai indikator, namun memiliki kelemahan dalam hal identifikasi serta waktu yang lebih lama (Hilty & Merenlender 2000). Oleh karena itu, amfibi dapat dijadikan sebagai alternatif untuk melihat peran LDM serta hubungannya dengan kekayaan spesies amfibi.

(26)

diketahui sebagai satwa yang dapat menggambarkan kekayaan suatu habitat (Sujatnika et al. 1995), sehingga tinggi rendahnya kekayaan spesies burung sangat berhubungan erat dengan tinggi rendahnya kekayaan hayati lainnya. Selain faktor suksesi vegetasi, faktor luas habitat juga merupakan salah satu yang dapat mempengaruhi pembentukan komunitas satwa di suatu tempat, sehingga perlu juga diketahui hubungan keanekaragaman spesies burung dan amfibi dengan luas habitat.

Perumusan Masalah

Penelitian satwaliar selama ini lebih difokuskan di dalam kawasan konservasi seperti taman nasional, suaka margasatwa maupun cagar alam. Penelitian di luar kawasan konservasi telah dilakukan juga seperti di hutan kota, persawahan maupun habitat perumahan. Penelitian yang ada sebatas hanya mengidentifikasi keanekaragaman spesies satwa belum dikaitkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta kaitan dan perannya bagi konservasi dibandingkan kawasan konservasi yang ada. Selain itu, penelitian yang ada juga belum dikaitkan dengan kondisi kekinian yaitu fragmentasi dan isolasi habitat serta aktivitas manusia. Oleh karena itu, perlu penelitian mengenai keanekaragaman spesies satwa liar di berbagai LDM serta hubungannya dengan faktor yang mempengaruhi keanekaragaman spesies satwa tersebut seperti faktor luas habitat. Selain itu, perlu juga diketahui mengenai kaitan keanekaragaman antar taksa satwaliar yang ada.

Dari beberapa hal yang sudah disebutkan, maka kunci pertanyaan dalam penelitian ini adalah :

1. bagaimana kekayaan spesies satwaliar untuk burung dan amfibi di LDM? 2. bagaimana kaitan dan hubungan kekayaan spesies antara burung

dengan amfibi?

(27)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. menganalisa dan membandingkan stuktur dan komposisi spesies burung dan amfibi di berbagai LDM;

2. menganalisa derajat korelasi antara komunitas burung dengan komunitas amfibi;

3. menganalisa derajat korelasi antara luas habitat dengan komunitas burung dan amfibi.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini yaitu :

1. struktur dan komposisi spesies burung dan amfibi menunjukkan perbedaan di tiap tipe LDM;

2. Terdapat korelasi positif kekayaan spesies burung terhadap kekayaan spesies amfibi;

3. kekayaan spesies burung dan amfibi dipengaruhi luas habitat.

Manfaat Penelitian

(28)

Keanekaragaman Spesies dan Faktor yang Mempengaruhi

Kekayaan spesies merupakan jumlah seluruh spesies yang terdapat di suatu area tertentu (Morin 1999). Nilai kekayaan spesies ini sering diterjemahkan sebagai keanekaragaman hayati. Walaupun keanekaragaman dapat diukur secara langsung dari jumlah spesies, namun lebih sering ditampilkan sebagai indeks dengan menyertakan peran kekayaan spesies dan kelimpahan relatif setiap spesies (evenness) untuk suatu komunitas (Magurran 2004). Penggunaan metode yang berbeda untuk satu komunitas yang sama, dapat saja menghasilkan nilai indeks yang berbeda. Selain itu perubahan dalam jumlah spesies ataupun kelimpahan individu juga berubah secara musiman ataupun spasial, dan ini merupakan proses yang menjadi karakter kebanyakan komunitas burung (Malizia 2001).

Banyak faktor yang mempengaruhi keanekaragaman di suatu tempat. Mengikuti teori biogeografi pulau, MacArthur dan Wilson (1967) menyatakan bahwa keanekaragaman spesies merupakan hasil proses keseimbangan dinamis antara laju kepunahan dan kolonisasi di suatu pulau. Wells (2007) mencontohkan bahwa keanekaragaman spesies amfibi lebih tinggi di daratan utama (mainland) dibandingkan habitat pulau, namun demikian jumlahnya meningkat seiring dengan luasnya pulau habitat. Jarak sumber keanekaragaman dari daratan utama (mainland) juga berpengaruh terhadap keanekaragaman satwaliar (Clough et al. 2009). Connor et al. (2000) juga mengemukakan bahwa populasi dan kelimpahan satwa memiliki hubungan yang erat dengan patch habitat.

(29)

iklim dan sumber daya; (3) keragaman habitat; dan (4) pengaruh kompetitor baik burung ataupun kelompok hewan lainnya.

Banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi jumlah spesies di suatu habitat seperti strata vegetasi, air maupun musim. Keanekaragaman habitat yang tinggi akan berpengaruh positif terhadap tingginya keanekaragaman spesies satwaliar (Tagliapietra & Sigovini 2010; Hortal et al. 2009). Satwa juga sangat berhubungan erat dengan vegetasi (Mazerolle 2006; Ruiz-Jaen & Aide 2005). Keanekaragaman spesies berhubungan dengan struktur vegetasi dan variasi strata vegetasi (Fardila & Sjarmidi 2012; Tripathi & Singh 2009; Ding et al. 2008; Waltert et al. 2004). Demikian juga yang dikemukakan oleh Major et al. (2001), bahwa komunitas burung sangat dipengaruhi oleh vegetasi yang ada. Komposisi komunitas burung berubah sesuai dengan musim. Musim merupakan faktor abiotik yang mempengaruhi ketersediaan sumber daya secara langsung seperti adaptasi fisiologis terhadap panas dan kekurangan air (Pearson 1977), pergantian dengan spesies pendatang (Malizia 2001), ataupun terhadap ketersediaan sumber daya (Blake & Loiselle 2000). Menurut Wiens (1989), hal ini mewakili adanya perubahan biologis, dinamika keseimbangan, perubahan ketersediaan sumber daya sejalan dengan waktu, tingkah laku, distribusi dan kondisi demografi burung itu sendiri.

Amfibi merupakan satwa yang sangat erat kaitannya dengan air (Schmutzer et al. 2008; Wells 2007; Tockner et al. 2006). Keberadaan air sangat penting artinya bagi amfibi, bahkan menjadi faktor utama untuk mendeterminasi distribusinya baik secara geografis maupun lokal. Secara global, distribusi amfibi sangat terkait dengan interaksi biologi antar spesies, sejarah, lanskap utama, iklim, curah hujan dan ketinggian tempat (Wells 2007). Selain itu, kekayaan amfibi juga sangat terkait erat dengan garis lintang, yaitu lebih kaya di wilayah tropika dibandingkan sub-tropika (Wells 2007).

(30)

Lanskap Didominasi Manusia

Lanskap didefinisikan sebagai wilayah heterogen yang terdiri atas kelompok-kelompok interaksi dalam ekosistem yang mirip (Forman & Godron 1986). Lanskap alami merupakan lanskap yang belum terpengaruh oleh aktivitas manusia. Seluruh komponen lanskap di lanskap alami, baik fisik dan biotik bebas berubah dan bergerak di alam. Sementara, lanskap budaya (cultural lanscape) didefinisikan sebagai hasil dari perubahan yang dibuat atas lanskap alami karena pengaruh manusia dalam jangka waktu yang lama (Farina 1998). Mitchel dan Buggel (2000) mendefinisikan tiga kategori untuk lanskap budaya, yaitu (1) lanskap yang didesain dan dibuat secara sengaja oleh manusia; (2) berkembang secara terstuktur; dan (3) berasosiasi dengan lanskap budaya. Lanskap budaya dikenal juga sebagai lanskap buatan manusia (man-made landscape).

Salah satu lanskap budaya yang ada adalah lanskap pedesaan (rural landscape), sebuah istilah yang merujuk pada aktivitas manusia yang berkaitan dengan pertanian (Kim et al. 2007). Lanskap pedesaan merupakan hubungan timbal baik antara alam dan manusia dalam jangka waktu yang lama sehingga dianggap sebagai ekosistem manusia dan alam. Istilah lanskap pedesaan sering disebut sebagai lanskap budaya karena kehasan aktivitas manusia di ekosistem pedesaan diantaranya tanaman pagar serta terasering sawah.

(31)

Fragmentasi Habitat

Fragmentasi habitat adalah issue hangat yang terus berkembang dalam kajian biologi konservasi (Franklin et al. 2002). Modifikasi lanskap dan fragmentasi habitat telah menjadi penyebab hilangnya berbagai spesies secara global (Fischer & Lindenmayer 2007). Hal ini terjadi karena adanya habitat yang hilang, terdegradasi ataupun terisolasi. Hilangnya habitat dapat menjadi penyebab utama kepunahan akan spesies (Charlet 2002). Fragmentasi adalah hal penting dan merupakan tema yang sangat terkait dengan konservasi (Haila 2002).

Terdapat perbedaan pengertian antara fragmentasi habitat dengan hilangnya habitat (habitat loss) (Collinge 2009). Hilangnya habitat adalah proses konversi lahan yang mengurangi luasan habitat yang dikonversi dengan menyisakan habitat asli dalam satu sisi atau terpisah dengan jarak yang lebih besar dari habitat yang tersisa, sedangkan fragmentasi adalah proses konversi yang memecah habitat asli menjadi beberapa bagian.

Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya fragmentasi. Konversi lahan dan penebangan hutan dapat menjadi pemicu fragmentasi. Urbanisasi juga dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya fragmentasi habitat (Bolger et al. 1997). Fragmentasi habitat merupakan ancaman bagi keanekaragaman hayati. Banyak penelitian menunjukkan bahwa fragmentasi dapat menjadi penyebab hilangnya sebagian keanekaragaman hayati. Trainor (2007) menemukan perubahan komposisi burung di habitat yang berubah akibat konversi dan fragmentasi hutan alam. Fragmentasi telah mengubah satu kawasan yang besar menjadi kawasan yang lebih kecil sehingga hanya mampu mendukung jumlah satwa yang lebih sedikit (Collinge 2009).

(32)

Peran Lanskap Buatan Untuk Konservasi Satwaliar

Secara umum lanskap buatan manusia serta secara khusus kawasan agroekosistem telah dikenal mampu mendukung kehidupan beragam satwa sebagai habitat alternatif dari dari lanskap alami dan kawasan konservasi. Berbagai spesies satwaliar hidup dan tergatung dengan lanskap buatan manusia karena kawasan agroekosistem tersebut menyediakan berbagai komponen habitat yang dibutuhkan oleh satwa tersebut.

(33)

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama dua belas bulan dimulai bulan Februari 2011 sampai Januari 2012. Lokasi penelitian sebanyak sembilan lokasi yang termasuk ke dalam wilayah Kota Bogor dan Kabupaten Bogor (Tabel 1; Gambar 1). Seluruh lokasi penelitian berada di bawah 1000 meter di atas permukaan laut. Lokasi dipilih dengan memenuhi kriteria LDM yang terdiri dari lima tipe habitat LDM dan satu habitat hutan alam (Tabel 2).

Tabel 1 Lokasi penelitian

Lokasi Kecamatan Kabupaten / Kota

1 Yan Lapa Tenjo Kabupaten Bogor

2 Dungus Iwul Jasinga Kabupaten Bogor

3 Haurbentes Jasinga Kabupaten Bogor

4 Ciampea Ciampea Kabupaten Bogor

5 Cimulang Ranca Bungur Kabupaten Bogor

6 Cikabayan Darmaga Kabupaten Bogor

7 Darmaga/CIFOR Kota Bogor Barat Kota Bogor

8 Ciburial Ciomas Kabupaten Bogor

9 Bogor Kota Kota Bogor Tengah Kota Bogor

Gambar 1 Lokasi penelitian di Kabupaten dan Kota Bogor.

(34)

Tabel 2 Gradien habitat yang diteliti di setiap lokasi

Penelitian yang dilakukan mencakup enam kelompok habitat menurut tingkat suksesi habitat yaitu satu hutan alam dan lima tipe habitat yang termasuk LDM yaitu hutan tanaman (HT) Campuran, HT Monokultur, kebun, sawah dan perumahan. Lokasi habitat yang paling banyak diteliti yaitu HT Campuran sebanyak delapan lokasi, sementara hutan alam merupakan habitat yang paling sedikit diteliti yaitu dua lokasi (Tabel 3).

Pola suksesi memiliki pola berbanding terbalik dengan derajat dominasi manusia. Semakin lanjut tingkat suksesi maka derajat dominasi manusia semakin rendah dan semakin awal tingkat suksesi maka derajat dominasi manusia semakin tinggi. Perumahan dikelompokkan sebagai habitat dengan tingkat suksesi paling awal, karena merupakan habitat dengan derajat dominasi manusia paling tinggi. Hutan tanaman, baik HT Campuran dan HT Monokultur memiliki derajat dominasi manusia yang relatif sama, namun karena memiliki komposisi vegetasi utama yang berbeda sehingga dibedakan menjadi dua tipe berbeda. Pola urutan gradien habitat ini mirip dengan yang dilakukan oleh Blair (1996) dalam penelitian burung di Kalifornia.

(35)

No Lokasi Lokasi habitat menurut gradien suksesi dan dominasi manusia

Hutan alam HT Campuran HT Monokultur Kebun Sawah Perumahan

1 Yan Lapa Hutan alam HT Dipterocarpacea HT Akasia - Sawah -

Kebun Talun campuran

2 Dungus Iwul Hutan alam Kebun Talun campuran Kebun sawit - - -

3 Haurbentes - HT Dipterocarpaceae - - Sawah -

Kebun Talun sengon

4 Ciampea - Kebun Talun bambu HT Mahoni Kebun sayuran Sawah -

HT Jati 6 tahun Semak belukar HT Jati 3 tahun

Kebun karet

5 Cimulang - - HT Campuran - Sawah -

6 Cikabayan - HT Campuran 1 Kebun karet Kebun sayuran Sawah Perumahan

HT Campuran 2 Kebun sawit Semak belukar

7 Darmaga - HT Dipterocarpaceae - Kebun singkong Sawah Perumahan

Kebun Talun campuran Kebun sayuran

8 Ciburial - Kebun talun campuran - - - Perumahan

9 Bogor Kota - HT Campuran 1 - - - Perumahan

(36)

Alat yang digunakan mencakup :

1. Peta Kawasan dan Penggunaan Lahan 2. Geographical Positioning System (GPS) 3. Binokuler (Bushnell 10x50)

4. Buku Panduan Burung (Buku Panduan Lapangan Burung-burung di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali oleh MacKinnon et al. 1998).

5. Buku Panduan Amfibi (Buku Panduan Lapangan Amfibi Jawa dan Bali oleh Iskandar 1998)

6. Stop watch 7. Meteran 8. Kamera

9. Kantung spesimen 10. Alat tulis menulis

Bahan penelitian yaitu peta citra dijital Landsat-7 ETM+ tahun 2003 dan peta topografi. Obyek penelitian yang diamati adalah seluruh spesies satwaliar mencakup burung dan amfibi serta habitatnya.

Jenis dan Metode Pengambilan Data

Jenis Data

Data yang diambil, yaitu :

1. data burung, meliputi : spesies, jumlah individu, waktu ditemukan, strata dan ruang vegetasi ditemukan, aktivitas dan pemanfaatan habitat;

2. data amfibi, meliputi : spesies, jumlah individu, waktu ditemukan, posisi (vertikal dan horizontal), substrat, aktivitas dan pemanfaatan habitat;

3. data lanskap, meliputi luas dan deskripsi habitat.

Metode Pengambilan Data

Data Burung

(37)

Kalimantan (MacKinnon et al. 1998). Untuk tata nama suku dan spesies mengikuti Sukmantoro et al. (2007). Pengelompokan berdasarkan pakan, cara mencari makan, tempat mencari makan dan strata tempat mencari makan didasarkan pada Connel et al. (2000).

Metode yang digunakan yaitu metode titik hitung atau IPA (Indices

Ponctuels d’Abondance) (Bibby et al. 2000). Pengamatan dilakukan pada pagi

hari antara pukul 05.30-10.00 WIB dan sore hari antara pukul 15.00-18.00 WIB. Titik hitung yang digunakan berukuran jari-jari 20 m dengan waktu pengamatan antara 5-10 menit setiap titik (Gambar 2). Ukuran titik hitung diseragamkan untuk seluruh tipe habitat dengan penyesuaian habitat yang relatif tertutup seperti hutan alam dan hutan tanaman. Pengamatan di setiap titik akan berhenti jika selama dua menit tidak lagi dijumpai individu baru. Setiap lokasi diamati hingga mencapai asimtot spesies yang dijumpai. Total titik hitung yang diamati sebanyak 5013 titik hitung selama 557 jam pengamatan (Tabel 4).

Gambar 2 Ilustrasi penggunaan metode titik hitung untuk burung.

Tabel 4 Jumlah titik hitung pengambilan data burung di setiap gradien habitat yang diteliti

Monokultur Kebun Sawah Perumahan

(38)

Data Amfibi

Metode yang digunakan adalah pengamatan langsung yaitu VES (visual encountered survey) dengan desain jalur (Heyer et al. 1994). Panjang jalur yaitu 100 meter dengan radius pengamatan kanan dan kiri jalur sangat bervariasi antara 0.5-3 meter tergantung kondisi habitat yang diamati. Habitat yang terbuka, memiliki radius pengamatan lebih lebar dibandingkan habitat tertutup karena lebih mudah diamati (Gambar 3).

Secara umum, tipe habitat yang diamati untuk setiap lokasi adalah habitat terestrial dan habitat perairan permanen. Setiap lokasi yang hanya terdiri atas habitat perairan, ditempatkan minimal dua jalur yaitu di tepian habitat dan di bagian tengah habitat. Jika terdapat badan air, maka jalur ditempatkan memotong badan air. Untuk habitat perairan berupa sungai, jalur ditempatkan di tepian secara memanjang mengikuti aliran air, sedangkan di habitat perairan berupa danau/situ jalur pengamatan diletakkan mengelilingi danau/situ kecuali badan air tersebut dapat dilewati oleh pengamat, maka ditempatkan juga memotong badan air (Gambar 4).

Metode yang digunakan adalah time search yaitu menjelajahi kawasan penelitian dengan standar penggunaan waktu tertentu. Standar waktu yang digunakan adalah 120 menit/ pengamat untuk jalur sepanjang 400 meter. Oleh karena panjang tiap jalur adalah 100 meter, maka pengamatan setiap jalur adalah 30 menit/pengamat. Waktu pengamatan dilakukan pada periode 19.00-24.00 WIB. Setiap lokasi diamati hingga mencapai asimtot spesies yang dijumpai. Total jalur yang diamati yaitu 1693 jalur dengan total waktu pengamatan 424 jam (Tabel 5).

Identifikasi spesies didasarkan pada Buku Panduan Lapangan Amfibi Jawa dan Bali (Iskandar 1998), sementara untuk tatanama mengikuti publikasi on-line oleh the Integrated Taxonomic Information System (ITIS) dari www.itis.gov. Pengelompokkan amfibi menurut habitat utama yang digunakan didasarkan juga pada Iskandar (1998).

Gambar 3 Ilustrasi penggunaan metode Visual Encountered Survey dengan disain jalur untuk pengambilan data amfibi.

Jalur Pengamatan Wilayah yang diamati

(39)

(a)

(b)

(c)

Gambar 4 Ilustrasi penempatan jalur pengamatan amfibi di berbagai tipe habitat. (a) habitat terestrial, (b) habitat sungai; dan (c) habitat danau/situ.

Tabel 5 Jumlah jalur pengambilan data amfibi di setiap gradien habitat yang diteliti

Monokultur Kebun Sawah Perumahan

1 Dungus Iwul 50 79 75

Tipe habitat diperoleh dengan mendeskripsikan langsung setiap lokasi yang diamati baik kondisi fisik maupun biotik terutama vegetasi yang ada. Luas setiap tipe habitat dihitung menggunakan software Arc GIS 9.3. Penggunaan lahan diketahui dengan pengamatan maupun wawancara langsung.

Keanekaragaman dan Profil Vegetasi

(40)

Gambar 5 Ilustrasi plot pengambilan data profil vegetasi di setiap gradien habitat yang diteliti.

Analisa Data

Analisa Data Satwa Tiap Tipe Habitat

Analisa data satwa dilakukan setelah jumlah individu setiap spesies yang dijumpai distandarkan dengan membuat reratanya dalam satuan per hari pengamatan yaitu 120 menit untuk satu hari pengamatan. Hal ini dilakukan karena lama waktu pengamatan yang berbeda untuk setiap lokasi tergantung kurva asimtot penemuan spesies yang didapatkan.

Indeks Keanekaragaman Spesies (H’)

Nilai keanekaragaman spesies dilihat menggunakan indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wiener (H’) (Magurran 2004) :

H’ = -∑ pi lnpi

dimana pi = ∑ burung spsesies ke∑ total burung -i

dengan pi = proporsi individu pada spesies ke-i

Indeks Kemerataan (E)

Untuk menentukan proporsi kelimpahan spesies burung dan amfibi dari masing-masing gradien habitat digunakan indeks kemerataan (Index of Equitability or evennes), yaitu (Pielou 1969, 1975 diacu dalam Magurran 2004) :

E = H’ / ln s

Dengan s = jumlah spesies 10 m

(41)

Komposisi Burung dan Amfibi

Perbandingan komposisi burung maupun amfibi di setiap gradien habitat dilakukan untuk melihat signifikan atau tidaknya perbedaan yang ada. Perbandingan didasarkan pada dua hal, yaitu kekayaan spesies dan jumlah individu spesies. Untuk melihat perbedaan masing-masing dilakukan pengujian dengan menggunakan uji chi-square :

χ²

hitung =

(Oi - Ei)2

Ei

dimana O = frekuensi hasil pengamatan; E = frekuensi harapan

Nilai signifikan dibandingkan dengan Chi-sguare teoritis (Chi-square tabel) pada derajat bebas v=(r-1)(c-1). Taraf signifikansi yang digunakan adalah 5% (p<0.05).

Analisa Data Satwa Antar Tipe Habitat

Indeks kesamaan komunitas ini digunakan untuk melihat kesamaan masing-masing komposisi spesies burung dan amfibi antar lokasi. Indeks yang digunakan adalah indeks kesamaan spesies Jaccard (1901) (Balen 1984; Krebs 1985) :

IS = c

a + b + c

Dimana : a = Jumlah spesies yang hanya terdapat di lokasi 1 b = Jumlah spesies yang hanya terdapat di lokasi 2 c = Jumlah spesies yang terdapat di lokasi 1 dan 2

Untuk melihat tingkat kesamaannya, digunakan dendogram. Pembuatan dendogram dibuat secara manual dengan melihat nilai kesamaannya (IS). Selanjutnya dilakukan analisis determinan dengan program statistika dan MDS (multidimensional scaling) untuk mengetahui kedekatan komunitas burung dan amfibi antar tipe habitat. Analisa determinan dilakukan untuk memperkuat dendrogram yang didapatkan. Program software yang digunakan yaitu SPSS version 15.0.

Analisa Data Satwa dengan Faktor Habitat

(42)

Analisa Data Antar Taksa Burung dan Amfibi

Untuk melihat hubungan antara keanekaragaman spesies burung dan amfibi dalam satu habitat, maka dilakukan uji chi square :

x

2hitung =

(Oi - Ei)2

Ei

dimana O = frekuensi hasil pengamatan; E = frekuensi harapan

(43)

KONDISI UMUM PENELITIAN

Letak dan Luas

Wilayah Bogor mempunyai luas 2,499.71 Km2 yang terdiri dari Kabupaten Bogor seluas 2,371.21 Km2 (PEMDA Bogor 2010) dan Kota Bogor seluas 118.5 Km2 (PEMKOT Bogor 2005). Secara geografis, Bogor terletak di 6.190–6.470 lintang selatan dan 10601' -1070103' bujur timur (Gambar 6).

Gambar 6 Lokasi Penelitian di Kabupaten dan Kota Bogor.

(Sumber : Bakosurtanal 2012)

(44)

Secara administratif, Bogor terbagi menjadi dua wilayah pemerintahan yaitu Kabupaten Bogor dan Kota Bogor yang termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Kota Bogor berada di tengah-tengah Kabupaten Bogor.

Wilayah Bogor berbatasan dengan wilayah lain, yaitu : - bagian barat dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten;

- bagian timur dengan Kabupaten Cianjur, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat;

- bagian utara dengan Kota Depok dan Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat serta Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang Provinsi Banten;

- bagian selatan dengan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat.

Penggunaan dan Status Lahan

Penggunaan lahan di wilayah Bogor sangat bervariasi. Hutan rakyat masih terdapat di Kabupaten Bogor (Tabel 6), sementara Ruang Terbuka Hijau (RTH) menempati proporsi yang relatif tinggi di Kota Bogor mencapai 51.38% (Tabel 7). Lokasi penelitian dikelola oleh beragam pihak dengan beragam penggunaan. Pemanfaatan tersebut yaitu sebagai perumahan, gedung perkantoran, lahan pertanian sawah, lahan pertanian holtikultura, kebun kelapa sawit, kebun karet, hutan produksi, hutan penelitian dan hutan konservasi. Pengelola tersebut yaitu masyarakat/ individu, lembaga pendidikan, pemerintah pusat/ daerah, maupun badan usaha milik negara / Daerah (BUMN/D).

Kondisi Fisik

Bogor memiliki kondisi iklim tropis. Suhu harian rerata yaitu 26 0C dengan suhu terendah 21,8 0C dengan suhu tertinggi 30,4 0C. Kelembaban udara yaitu 70 %. Curah hujan tahunan sekitar 3.500 – 4000 mm dengan curah hujan terbesar pada bulan Desember dan Januari.

Tabel 6 Beberapa penggunaan lahan di Kabupaten Bogor

No. Penggunaan Luas (ha)

1 Sawah 48 321.00

2 Tegal/kebun 57 609.00

3 Perkebunan Besar Negara 4 422.08

4 Perkebunan Besar Swasta 3 649.76

5 Hutan rakyat 25 980.17

(45)

Tabel 7 Penggunaan lahan di Kota Bogor

14 Lain-Lain (Tidak Teridentifikasi) 144,35 1,22

11.850,00 100

Sumber : Pemkot Bogor 2005

Kondisi Habitat

Yan Lapa

Terdapat lima tipe habitat yang diamati di Yan Lapa yaitu hutan alam, hutan tanaman (HT) Dipterocarpaceae, HT Akasia, kebun talun campuran dan sawah. Tingkat suksesi paling lanjut adalah hutan alam dan tingkat suksesi paling awal adalah sawah (Tabel 8).

Tabel 8 Gradien habitat di Yan Lapa

No. Tipe Habitat Gradien Habitat Pengelola Lahan*

1 Hutan alam Hutan alam Ditjen PHKA

2 HT Dipterocarpaceae HT Campuran Balitbang Kehutanan

3 Kebun talun campuran HT Campuran Masyarakat

4 HT Akasia HT Monokultur Perum Perhutani

5 Sawah Sawah Masyarakat

(46)

Habitat hutan alam termasuk kawasan konservasi dengan status cagar alam yang berada di bawah pengelolaan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat sebagai UPT Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan. Jenis dominan diantaranya laban (Vitex pubencens), keranji (Dialium indum) serta terep/benda (Artocarpus elastica). Jenis lain diantaranya rambutan hutan (Nephelium lappaceum), menteng hutan (Baccaurea racemosa), cangcaratan (Neonauclea obtusa) dan sempur (Dillenia excelsa). Jenis tumbuhan bawah yang dijumpai diantaranya kekep (Rhaphidophora korthalsii), cakar ayam (Selaginella doederleinii), patat (Halopegia blumei), rotan, pinang dan honje. Tidak terdapat sungai di dalam hutan alam namun terdapat sumber air yang mengalir keluar kawasan. Keadaan tanah lembab dengan serasah yang cukup tebal. Strata hutan lengkap mulai stara A hingga strata E (Gambar 7).

Habitat HT Dipterocarpaceae hampir mengelilingi hutan alam dengan status hutan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan. Usia tanaman sekitar 60 tahun dengan jenis utama dari famili Dipterocarpaceae seperti kayu bapa/ meranti bapa (Shorea selanica). Jenis tanaman lain diantaranya yaitu ketapang/okari (Terminalia kaernbanchii), terep (Artocarpus elastica) dan pinus (Pinus merkusii). Lantai hutan berupa rumput dan semak belukar pada strata D dan E seperti bunga soka (Ixora javanica). Tidak terdapat sumber air dalam kawasan ini, namun terdapat cukup banyak kubangan yang selalu terisi air. Tanah lembab dan serasah cukup tebal terutama di bagian yang terdapat strata D (Gambar 8).

(47)

Gambar 7 Profil vegetasi habitat hutan alam di Yan Lapa.

(48)

Gambar 9 Profil vegetasi habitat hutan tanaman akasia di Yan Lapa

Habitat HT Akasia merupakan hutan tanaman produksi dengan tanaman utama berupa akasia (Acacia mangium). Areal ini dikelola oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Usia tanaman berkisar antara 4-7 tahun. Jenis tumbuhan lain yang hidup berupa rumput jukut pahit (Axonopus compressus), tembelekan (Lantana camara), harendong (Clidemia hirta), orang-aring (Eclipta alba), alang-alang (Imperata cylindrica) serta tumbuhan merambat kasapan (Tetrascera scandens). Tanah relatif agak kering, namun banyak terbentuk kubangan di jalan setapak di antara tanaman (Gambar 9).

Habitat sawah sebagian berbatasan langsung dengan hutan alam dan sebagian lain berbatasan langsung dengan talun campuran. Sistem persawahannya yaitu air tadah hujan yang berasal dari hutan di sekitarnya. Tumbuhan lain hanya berupa rumput liar di pematang sawah dan tidak terdapat tumbuhan lain.

Dungus Iwul

Terdapat tiga tipe habitat yang diamati yaitu hutan alam, kebun talun campuran dan kebun sawit. Tingkat suksesi paling lanjut adalah hutan alam dan tingkat suksesi paling awal adalah kebun sawit (Tabel 9).

Tabel 9 Gradien habitat di Dungus Iwul

No. Tipe Habitat Gradien Habitat Pengelola Lahan *

1 Hutan alam Hutan alam Ditjen PHKA Kemenhut

2 Kebun talun campuran HT Campuran Masyarakat

3 Kebun sawit HT Monokultur PTPN VIII

(49)

Habitat hutan alam termasuk kawasan konservasi dengan status cagar alam yang berada di bawah pengelolaan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat sebagai UPT Direktorat Jenderat Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan. Strata vegetasi di hutan alam ini masih lengkap. Jenis dominan yaitu iwul (Orania sylvicola) yang menjadi dasar penamaan cagar alam ini, yaitu ”Dungus” yang berarti sisa hutan dan ”Iwul” yang berarti palem iwul. Jenis tumbuhan lainnya adalah asam keranji (Diallium indum), anggrit (Adina polycephala), ki bentili (Kicseia arborea), ki hijoer (Quercus blumeana), teureup (Artocarpus elastica), dahu (Dracontomelon dao), matoa (Pometia pinnata), rambutan (Nephelium lappaceum), gandaria (Bouea macrophylla) dan kayu gambir (Gironniera subaequalis). Tidak terdapat sumber air baik berupa mata air maupun sungai. Keadaan tanah lembab dengan serasah yang cukup tebal (Gambar 10).

(50)

Habitat kebun talun campuran berstatus lahan masyarakat dan berbatasan langsung dengan hutan alam. Jenis tanaman yang ada merupakan campuran tanaman keras dan tanaman buah-buahan seperti karet (Hevea brasiliensis), bambu (Bambusa sp.), sengon (Paraserianthes falcataria), manggis (Garcinia mangostana), durian (Durio zibethinus), cempedak (Artocarpus champeden), kecapi (Sandoricum koetjapi), melinjo (Gnetum gnemon) dan bambu (Bambusa sp.). Jenis tanaman lain adalah pisang (Musa sp.). Penutupan lahan berupa semak rendah statum E dan D. Terdapat sungai kecil dengan lebar antara 50-100 cm bersumber di dekat perbatasan dengan hutan alam. Aliran air sungai ini mengalir sepanjang waktu (Gambar 11).

Gambar 11 Profil vegetasi habitat talun di Dungus Iwul.

(51)

Habitat kebun sawit berstatus milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII hampir mengelilingi habitat hutan alam. Habitat ini didominasi tanaman kelapa sawit (Elaesis gueneensis) dengan jarak tanam rata-rata 4x6 meter. Penutupan lahan berupa rerumputan rendah yang termasuk stratum D dan E, sementara pada sekeliling batang hanya berupa tanah kosong berdiameter + 1 meter. Tidak terdapat sumber air maupun sungai namun banyak terdapat kubangan baik di tengah kebun maupun di jalan angkutan. Genangan air terbentuk baik kecil-kecil maupun relatif besar mencapai ukuran 1-2 m2 (Gambar 12).

Haurbentes

Terdapat tiga tipe habitat yang diamati yaitu HT Dipterocarpaceae, kebun talun sengon dan sawah. Tingkat suksesi paling lanjut adalah HT Dipterocarpaceae dan tingkat suksesi paling awal adalah sawah (Tabel 10).

Habitat HT Diperocarpaceae berstatus hutan penelitian milik Kementerian Kehutanan. Tanaman didominasi jenis dari famili Dipterocarpaceae diantaranya Shorea leprosula, S. pinanga, S. stenoptera, S. selanica, S. mechisopteryx, S.

(52)

Tabel 10 Gradien habitat di Haurbentes

No. Tipe Habitat Gradien Habitat Pengelola Lahan*

1 HT Dipterocarpaceae HT Campuran Balitbang Kehutanan

2 Talun sengon HT Campuran Masyarakat

3 Sawah Sawah Masyarakat

Sumber : * Wawancara langsung

Gambar 13 Profil vegetasi habitat hutan tanaman Dipterocarpaceae di Haurbentes.

Habitat sawah berbatasan langsung dengan HT Dipterocarpaceae. Status lahan sawah adalah milik masyarakat. Sawah yang ada menggunakan sistem tadah hujan karena tidak ada sistem irigasi. Terdapat sumber air berupa sungai kecil yang berasal dari dalam kawasan HT Dipterocarpacea namun bersifat tidak permanen terutama pada saat musim kemarau serta tidak memadai untuk pengairan sawah yang ada. Kegiatan rotasi jenis tanaman tidak dilakukan dalam sistem pengolahan lahan sawah ini. Beberapa jenis tanaman pohon seperti sengon (Paraserianthes falcataria), kayu afrika (Maesopsis eminii) dan pinus (Pinus merkusii) banyak ditanam di tepian sawah yang berbatasan dengan jalan desa maupun dengan sungai kecil.

Ciampea

(53)

Tabel 11 Gradiean habitat di Ciampea

No. Tipe Habitat Gradien Habitat Pengelola Lahan*

1 Kebun talun bambu HT Campuran Masyarakat

2 HT Mahoni HT Monokultur Perum Perhutani

3 HT Jati 6 Tahun HT Monokultur Perum Perhutani

4 HT Jati 3 Tahun HT Monokultur Perum Perhutani

5 Kebun karet HT Monokultur Balitbang Pertanian

6 Kebun sayuran Kebun Masyarakat

7 Semak belukar Kebun Perum Perhutani

8 Sawah Sawah Masyarakat

Sumber : * Wawancara langsung

Habitat talun berstatus lahan milik masyarakat yang didominasi oleh bambu (Bambusa sp.). Jenis pohon yang ditanam diantaranya kelapa (Cocos nucifera), asam jawa (Tamaricus indica), sengon (Paraserianthes falcataria), kapuk randu (Ceiba pentandra), petai (Parkia speciosa), rambutan (Nephelium lappaceum) dan kecapi (Sondaricum koetjapi). Habitat ini berbatasan langsung dengan habitat sawah dan kebun musiman, sehingga intensitas kegiatan manusia cukup tinggi. Penutupan lahan bervariasi mulai tanah kosong, rumput pendek hingga semak belukar mencapai ketinggian 1 meter. Sumber air berupa sungai yang mengalir sepanjang tahun.

Habitat HT Mahoni terletak di lereng selatan Bukit Cibodas. Kawasan ini berstatus hutan tanaman milik KPH Bogor Perum Perhutani dengan tanaman berupa mahoni (Swietenia mahagoni). Semak belukar tumbuh mencapai ketinggian lebih dari 2 meter, diantaranya alang-alang (Imperata cylindrica), kaliandra (Calliandra haematocephala), rumput ekor-kucing (Pennisetum polystachion) dan kirinyuh (Eupatorium inulifolium). Tidak terdapat sumber air maupun genangan air baik yang bersifat permanen maupun tidak. Kondisi topografi dengan kemiringan antara 20-30%, membuat habitat ini hampir tidak pernah digenangi air setelah hujan turun. Tanah yang ada relatif kering (Gambar 14).

(54)

Gambar 14 Profil vegetasi habitat hutan tanaman mahoni di Ciampea.

Gambar 15 Profil vegetasi habitat hutan tanaman jati 6 tahun di Ciampea.

(55)

Gambar 16 Profil vegetasi habitat kebun karet di Ciampea.

Habitat HT jati 3 Tahun terletak pada bagian selatan Bukit Cibodas merupakan tanaman jati (Tectona grandis) usia sekitar tiga tahun dengan jarak tanam 2x3 meter. Jenis tumbuhan lain yang dijumpai dalam jumlah hanya 1-2 individu diantaranya petai cina (Leucaena leucocephala) dan pisang (Musa sp.). Tanaman tumpang sari hanya tersisa sedikit seperti cabe. Bagian lantai berupa tanah yang ditumbuhi rumput rendah namun relatif rapat hanya terbuka pada sekitar batang tanaman jati. Pada beberapa tempat semak tumbuh hingga mencapai 20-30 cm. Diantara jenis rumput yang ada yaitu alang-alang, putri malu dan relatif tanpa serasah. Tidak ada sumber air di habitat ini, namun kadang terdapat genangan-genangan air jika turun hujan.

(56)

Habitat semak belukar merupakan habitat yang mendominasi kawasan Bukit Cibodas. Lahan ini dikelola oleh KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Ketinggian semak mulai rendah, sedang hingga tinggi. Jenis yang menyerupai pohon pada habitat semak yaitu kaliki hutan (Crecopia peltata). Jenis semak yang ada diantaranya alang-alang (Imperata cylindrica), rumput ekor-kucing (Pennisetum polystachion) dan rumput gelagah. Sumber air hanya berupa beberapa kolam kecil milik masyarakat yang berada di tepian habitat semak belukar dan terletak berjauhan. Genangan air jarang terbentuk walaupun habis hujan

Habitat sawah berstatus lahan milik masyarakat. Luasan sawah relatif kecil dan tersebar. Tanaman menahun yang umumnya terdapat di habitat talun, juga banyak dijumpai di habitat sawah sehingga di habitat sawah juga banyak dijumpai jenis tanaman pohon, diantaranya sengon (Paraserianthes falcataria), petai (Parkia speciosa), puspa (Schima walichii) dan bambu (Bambusa sp.). Berbagai jenis rumput juga tumbuh terutama pada pematang sawah. Terdapat sungai yang mengalir dari habitat talun bambu.

Cimulang

Terdapat dua tipe habitat yang diamati di Cimulang yaitu kebun sawit dan sawah. Tingkat suksesi paling lanjut adalah kebun sawit dan tingkat suksesi paling awal adalah sawah (Tabel 12).

Habitat sawit merupakan tanaman monokultur sawit (Elaesis guineensis) dengan usia beragam mulai usia 6 tahun hingga 13 tahun. Aktivitas pemanenan dilakukan setiap hari untuk buah yang masak dan siap panen. Penutupan lahan berupa rumput rendah stratum E sedangkan sebagian lain relatif terbuka berupa tanah yang hanya ditumbuhi lumut. Terdapat beberapa sungai kecil dengan aliran pernamen dan beberapa selokan dengan aliran air permanen juga. Selain itu, terdapat juga situ alami dengan ukuran kecil yang berair permanen sepanjang tahun (Gambar 17).

Tabel 12 Gradien habitat di Cimulang

No. Tipe Habitat Gradien Habitat Pengelola Lahan*

1 Kebun sawit HT Campuran PTPN VIII

2 Sawah Sawah Masyarakat

(57)

Gambar 17 Profil vegetasi habitat kebun sawit di Cimulang.

Habitat sawah yang ada merupakan lahan budidaya padi dengan sistem irigasi. Rotasi tanaman terlihat tidak dilakukan, sehingga sepanjang tahun hanya ditanami padi saja. Pola tanam dilakukan secara bergantian, sehingga setiap waktu selalu ada lahan dengan kondisi siap tanam, tanaman usia dua minggu, satu bulan, dua bulan, siap panen hingga lahan bekas panen.

Cikabayan

Terdapat tujuh tipe habitat yang diamati yaitu HT Campuran, kebun karet, kebun sawit, kebun sayuran, semak belukar, sawah dan perumahan. Tingkat suksesi paling lanjut adalah HT Campuran dan tingkat suksesi paling awal adalah perumahan (Tabel 13).

(58)

Tabel 13 Gradien habitat di Cikabayan

No. Tipe Habitat Gradien Habitat Pengelola Lahan*

1 HT Campuran 1 HT Campuran IPB - Kemdikbud

2 HT Campuran 2 HT Campuran IPB - Kemdikbud

3 Kebun karet HT Monokultur IPB - Kemdikbud

4 Kebun sawit HT Monokultur IPB - Kemdikbud

5 Kebun Kebun Masyarakat

6 Semak belukar Kebun IPB - Kemdikbud

7 Sawah Sawah Masyarakat

8 Perumahan Perumahan IPB - Kemdikbud

Sumber : * Wawancara langsung

Gambar 18 Profil vegetasi habitat hutan tanaman campuran I di Cikabayan.

Habitat HT Campuran 2 juga merupakan hutan tanaman campuran yang ditanam secara acak dan kondisinya sudah menyerupai hutan alam karena strata hutan lengkap dari A hingga E. Jenis pohon yang ada diantaranya yaitu sengon (Paraserianthes falcataria) dan pinus (Pinus merkusii). Lantai hutan tertutup rapat oleh rumput dan semak hingga mencapai 2 meter. Tidak ada sumber air permanen dalam habitat ini, namun habitat ini berbatasan langsung dengan Sungai Cisadane.

(59)

Habitat kebun sawit terdiri atas tanaman sawit (Elaesis guineensis) dengan kelas umur campuran. Terdapat juga tanaman lain seperti kelapa (Cocos nucifera) serta semak belukar diantara tanaman sawit. Sumber air berupa mata air kecil yang mengalir hampir sepanjang tahun.

Habitat kebun sayuran berstatus lahan milik masyarakat. Tanaman yang umum ditanam adalah tanaman hortikultura seperti kacang panjang (Vigna sinensis) dan jagung (Zea mays). Habitat kebun merupakan rotasi dari kegiatan pertanian sawah. Tanah relatif lembah dan terdapat beberapa kubangan kecil karena sebagian pematang kebun dialiri sungai irigasi.

Habitat semak belukar merupakan lahan kosong yang didominasi oleh semak belukar. Beberapa jenis pohon ditanam namun masih berukuran kecil antara 50 cm hingga 2 meter, diantaranya sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia mahagoni) dan kelapa sawit (Elaesis gueneensis). Ketinggian semak mulai rendah, sedang hingga tinggi antara 30 cm hingga dua meter. Tidak terdapat sumber air dalam habitat ini. Serasah sangat jarang, namun penutupan lahan hampir seluruhnya tertutup rumput dan semak.

Habitat sawah berstatus lahan milik masyarakat. Habitat sawah yang diamati kondisinya sangat beragam, mulai lahan siap tanam, lahan dengan tanaman umur dua minggu, satu bulan, dua bulan dan tanaman menjelang panen hingga lahan bekas panen dengan tumpukan jerami. Terdapat beberapa jenis tanaman lain seperti pisang (Musa sp.), bambu (Bambusa sp.) dan tebu (Saccharum sp.) terutama di bagian pematang yang berbatasan dengan pengairan.

(60)

Gambar 19 Profil vegetasi habitat perumahan di Cikabayan.

Darmaga

Terdapat enam tipe habitat yang diamati yaitu HT Dipterocarpaceae, kebun talun campuran, kebun singkong, kebun sayuran, sawah dan perumahan. Tingkat suksesi paling lanjut adalah HT Dipterocarpaceae dan kebun talun campuran, sedangkan tingkat suksesi paling awal adalah perumahan (Tabel 14). Habitat HT Dipterocarpaceae berstatus hutan penelitian Kementerian Kehutanan. Jenis dominan yaitu dari famili Dipterocarpaceae seperti meranti (Shorea spp.). Jenis tanaman lain diantaranya sengon buto dan sawit (Elaesis guineensis). Penutupan tanah berupa rumput dan semak pendek – tinggi hingga mencapai tinggi lebih dari 1.5 meter. Habitat ini berbasatan langsung dengan Situ Gede yang berair permanen sepanjang tahun. Namun demikian, di dalam kawasan HT Dipterocarpaceae saat ini tidak terdapat sumber air, namun terdapat bekas aliran sungai. Kubangan air kadang muncul namun tidak permanen tergantung hujan. Tanah lembab di sebagian besar kawasan. Serasah juga terdapat di bagian yang minim aktivitas manusia (Gambar 20).

Tabel 14 Gradiean habitat di Darmaga

No. Tipe Habitat Gradien Habitat Pengelola Lahan*

1 HT Dipterocarpaceae HT Campuran Balitbang Kehutanan

2 Kebun talun campuran HT Campuran Masyarakat

3 Kebun singkong Kebun Masyarakat

4 Kebun sayuran Kebun Masyarakat

5 Sawah Sawah Masyarakat

6 Perumahan Perumahan Masyarakat

(61)

Gambar 20 Profil vegetasi habitat hutan tanaman Dipterocarpaceae di Darmaga.

Habitat talun campuran berstatus lahan milik masyarakat. Lokasi ini berbatasan langsung dengan sawah dan kebun sayuran. Jenis yang terdapat diantaranya bambu (Bambusa sp.), sengon (Paraserianthes falcataria), jambu batu (Psidium gajava) dam palem raja (Roystonea regia). Terdapat aliran sungai kecil yang berhulu dari Situ Panjang. Kondisi tanah lembab terutama di bagian yang ditumbuhi rumput. Serasah di bagian lantai hutan hanya sedikit.

(62)

charantia), mentimun (Cucumis sativus), ubi jalar (Ipomoea batatas) serta talas bogor (Colocasia gigantea). Habitat ini berbatasan langsung dengan habitat sawah dan talun campuran. Terdapat aliran air irigasi yang berfungsi mengairi sawah.

Habitat sawah berstatus lahan milik masyarakat dan merupakan tipe sawah irigasi sehingga dapat ditanami hampir sepanjang tahun. Pola tanam sawah tidak seragam, sehingga selalu ada berbagai kondisi mulai sawah siap tanam, tanaman usia 2 minggu, usia satu bulan, dua bulan, siap panen hingga lahan bekas panen. Selain itu, petani juga kadang melakukan rotasi tanaman dengan jenis tanaman hortikultura. Beberapa petak telah ditanami jenis tanaman menahun seperti jambu batu (Psidium guajava), jabon (Anthocephalus cadamba) serta sengon (Paraserianthes falcataria). Pada bagian tengah habitat sawah terdapat badan air permanen yaitu Situ Panjang.

Habitat perumahan berupa perumahan penduduk dengan corak campuran desa-kota. Corak desa dicirikan dengan adanya tanaman pekarangan khas desa, sedangkan corak kota dicirikan dengan kepadatan perumahan itu sendiri. Terdapat beberapa kolam ikan dengan air permanen sepanjang tahun. Jenis vegetasi yang ditanam diantaranya jambu batu (Psidium guajava), rambutan (Nephelium lappaceum), palem raja (Roystonea regia), kelapa (Cocos nucifera) dan alpukat (Persea americana).

Ciburial

Terdapat dua tipe habitat yang diamati di Ciburial yaitu kebun talun campuran dan perumahan. Tingkat suksesi paling lanjut adalah HT Campuran dan tingkat suksesi paling awal adalah perumahan (Tabel 15).

(63)

minum daerah. Terdapat beberapa aliran air berupa selokan dengan lebar variasi antara 30 cm hingga 1 meter. Selain itu, terdapat kolam penampungan air dan juga kolam ikan di dalam kawasan ini (Gambar 21).

Habitat perumahan berupa perumahan dengan corak desa dan masih banyak jenis tanaman pekarangan menahun diantaranya pohon buah-buahan seperti kecapi (Sandoricum koetjapi) dan nangka (Artocarpus heterophylla). Jenis tanaman lainnya adalah bambu (Bambusa sp.), aren (Arenga pinnata), kelapa (Cocos nucifera). Masih banyak terdapat semak yang tumbuh serta tanaman bambu (Bambusa sp.). Terdapat aliran sungai kecil permanen dengan lebar antara 50-100 cm.

Tabel 15 Luas setiap tipe habitat di Ciburial

No. Tipe Habitat Gradien Habitat Pengelola Lahan**

1 Kebun talun HT Campuran PD PAM Tirta Kahuripan

2 Perumahan Perumahan Masyarakat

Sumber : * Wawancara langsung

(64)

Bogor Kota

Terdapat tiga tipe habitat yang diamati yaitu HT Campuran dan Perumahan. Terdapat dua lokasi HT Campuran yaitu HT campuran I dan HT Campuran II, sementara habitat perumahan terdiri atas dua tipe yaitu perumahan dan lapangan rumput. Tingkat suksesi paling lanjut adalah HT Campuran dan tingkat suksesi paling awal adalah perumahan (Tabel 16).

Hutan Tanaman Campuran I termasuk wilayah Kebun Raya Bogor di Blok XIX. Hutan ini memiliki strata paling lengkap yaitu A hingga E. Jenis tanaman yang ada diantaranya Salix tetrasperma, Lanni coremandala, Baccaurea malayana, Ficus binnerdiski, Cyanometra ramiflora. Tumbuhan lain yang ada diantaranya paku raksasa serta liana liar. Terdapat kolam permanen berukuran kecil. Kondisi tanah lembab terutama di bagian yang strata D dan E rapat (Gambar 22).

Hutan Tanaman Campuran I termasuk Kebun Raya Bogor di Blok XV. Hutan ini memiliki strata atas yaitu A dan B, namun hampir tidak memiliki strata C dan D. Pohon dominan yaitu Epipremnum pinnatum. Terdapat aliran anak Sungai Ciliwung melalui tepian habitat ini dengan aliran air sepanjang tahun walaupun debitnya tidak begitu besar (Gambar 23).

Habitat perumahan berupa wilayah pendidikan yaitu Kampus IPB Baranangsiang dan perumahan di sekitarnya. Bangunan gedung bertingkat serta rumah mendominasi habitat ini. Intensitas aktivitas manusia sangat tinggi. Beberapa jenis pohon yang ditanam sebagai bagian ruang terbuka hijau diantaranya kapuk randu (Ceiba pentandra), beringin (Ficus benjamina), bungur (Lagerstromia speciosa), angsana (Pterocarpus indicus), mahoni (Swietenia mahagoni) dan bunga kupu-kupu (Bauhinia sp.). Berbagai tanaman hias di pekarangan diantaranya adalah Heliconia sp.. Terdapat lapangan lapangan rumput yang didominasi jenis jukut pait (Axonopus compressus). Tidak terdapat sumber air alami, namun terdapat selokan limbah aktivitas manusia dan kadang tergenang terutama setelah hujan (Gambar 24).

(65)

Tabel 16 Gradien habitat di Bogor Kota

No. Tipe Habitat Gradien Habitat Pengelola Lahan*

1 HT Campuran 1 HT Campuran KRB - LIPI

2 HT Campuran 2 HT Campuran KRB - LIPI

3 Perumahan Perumahan Masyarakat

4 Lapangan rumput Perumahan KRB - LIPI

Sumber : * Wawancara langsung

Gambar 22 Profil vegetasi habitat hutan tanaman campuran I di Bogor Kota.

(66)
(67)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Struktur dan Komposisi Komunitas Burung dan Amfibi

Kekayaan Spesies

Kekayaan spesies yang dijumpai di seluruh lokasi penelitian yaitu 100 spesies burung dari 39 suku dan 16 ordo. Sementara kekayaan amfibi yang dijumpai yaitu 16 spesies dari lima suku dan satu ordo. Spesies burung paling tinggi dijumpai di HT Campuran yaitu 86 spesies dan menurun menurut tingkat suksesinya di habitat perumahan hanya 25 spesies. Hal yang sama terjadi juga untuk amfibi, spesies tertinggi dijumpai di HT Campuran sebanyak 14 spesies dan menurun menjadi hanya tujuh spesies di sawah dan perumahan (Gambar 25; Lampiran 1-2).

Suksesi

Lanjut Awal

Gambar

Tabel 1 Lokasi penelitian
Tabel 3 Gradien habitat menurut tingkat suksesi dan dominasi manusia
Gambar 6 Lokasi Penelitian di Kabupaten dan Kota Bogor.
Tabel 6 Beberapa penggunaan lahan di Kabupaten Bogor
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mendorong siswi kelas XI SMA Negeri 1 Jatisrono Wonogiri untuk memakai jilbab

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi, Kepala Dinas, Sekretaris, Kepala Bidang, Kepala Sub Bagian, Kepala Seksi dan kelompok jabatan fungsional wajib menerapkan

(3) bukti memilikiilmu pengetahuan dinilai dari keterampilannya, bukan dari sert ifikatnya, (4) biasanya tidak terlalu terikat dengan ketentuan yang ketat, (5) isi, staf

Pembiayaan konsumtif digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seperti pembiayaan hunian syariah (pembelian

Tabel 1 menunjukan deskripsi nilai kemampuan pemecahan masalah kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada materi bioteknologi siswa kelas XII SMA Negeri 9

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan adaptasi yang dikembangkan PDAM dan pemangku kepentingan, IUWASH juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan aksi-aksi adaptasi

Bagi masyarakat Desa Simpang Jaya perlu memperluas lagi lahan karet karena karet dapat menambah kontribusi banyak di Desa Simpang Jaya, serta perlu adanya kegiatan