• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja Tentang Stimulasi Pada Pengasuhan Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja Tentang Stimulasi Pada Pengasuhan Anak"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU IBU BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA TENTANG STIMULASI PADA PENGASUHAN ANAK BALITA

TRIE HARIWENI

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan Nasional jangka panjang menitikberatkan pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang tangguh dan produktif. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan upaya mengusahakan tumbuh kembang anak seoptimal mungkin setaraf potensinya. Dalam usaha “Kelangsungan hidup, Perkembangan dan Perlindungan Anak” juga tidak lepas dari tujuan membina SDM yang tangguh dan berkualitas.1

Tumbuh kembang seorang anak dipengaruhi oleh berbagai kondisi, baik dari

dalam diri anak itu sendiri maupun kondisi lingkungan sekitarnya.2,3 Untuk

mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, maka kebutuhan dasar anak harus terpenuhi, meliputi kebutuhan fisik/biomedik, kebutuhan emosi/kasih

sayang dan kebutuhan stimulasi/pendidikan.2,4 Anak yang mendapat stimulasi yang

terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang

kurang/tidak mendapat stimulasi.2 Berbagai penelitian yang mendukung hal ini

telah banyak dilakukan. Field mengatakan bahwa stimulasi taktil/kinestetik dalam meningkatkan pertumbuhan dan tingkah laku pada neonatus prematur yang sangat

kecil dari segi biaya sangat efektif.5 Sementara itu Kuperus menemukan bahwa

anak-anak dengan resiko biologis tinggi mampu mengejar ketinggalan di bidang kognitif dengan pemberian stimulasi yang tinggi di lingkungan rumahnya.6

Masa kanak-kanak khususnya masa balita, merupakan masa kritis yang akan menentukan hasil proses tumbuh kembang anak selanjutnya. Agar anak dapat bertumbuh kembang secara optimal diperlukan situasi yang mendukung. Keluarga atau orangtua khususnya ibu , merupakan lingkungan yang pertama dan utama

bagi seorang anak usia balita.2,7 Tahun-tahun pertama kehidupan merupakan

periode yang sangat penting karena pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, ketrampilan motorik dan sosial emosi berjalan demikian pesatnya. Sehinggga dapatlah dikatakan bahwa keberhasilan tahun-tahun pertama untuk sebagian besar menentukan masa depan anak tersebut. 7,8

Peran seorang ibu dalam pengasuhan anak, juga dalam pemberian stimulasi

mental pada anaknya sangat besar.8 Karena itu diperlukan pemahaman yang benar

mengenai masalah ini. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dalam masalah kesehatan antara lain : umur ibu, tingkat pendidikan, dan jumlah anak, jumlah balita.9

Di Indonesia seperti juga kemungkinan besar di negara-negara yang sedang berkembang lainnya masih banyak ditemukan praktek pengasuhan balita yang kurang kaya stimulasi mental dini. Sedangkan stimulasi mental dini ini sangat

penting untuk perkembangan mental psikososial anak tersebut. 10

(2)

tentang stimulasi; 34,4% berpengetahuan sedang dan 64,3% berpengetahuan rendah tentang stimulasi.10

Perkembangan perekonomian dan meningkatnya taraf pendidikan serta ketrampilan wanita Indonesia semakin membuka lapangan kerja untuk wanita dan semakin banyak ibu yang bekerja di luar rumah.4 Selain itu, adanya krisis ekonomi

di negara kita mengharuskan sebagian besar kaum ibu untuk ikut bekerja mencari nafkah sehingga akses ke pendidikan anak berkurang. Dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1999 diperoleh bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja 49,2% adalah wanita, dengan rincian 85,8% di sektor formal dan 14,2% di sektor

informal.11 Hal tersebut dikhawatirkan akan berakibat kurang menguntungkan pada

pengasuhan anak karena disamping kurangnya akses ke pendidikan juga tercurahnya sebagian besar waktu para ibu bekerja di sektor ekonomi.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut diatas dirumuskan permasalahan sebagai berikut : apakah ibu bekerja berhubungan dengan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang stimulasi pada pengasuhan anak balitanya, apakah ada perbedaan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang stimulasi antara ibu bekerja dan tidak bekerja.

- Pengetahuan

- Sikap

- Perilaku

Imunisasi

1.3.Kerangka konsep

Ibu bekerja

Ibu tidak

Ibu balita

-Pendidikan

-Usia

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gbr.1. Kerangka konsep penelitian pengetahuan, sikap dan perilaku ibu bekerja dan tidak bekerja tentang stimulasi

1.4. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku tentang stimulasi pada pengasuhan anak balita pada ibu bekerja

b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku tentang stimulasi pada pengasuhan anak balita pada ibu tidak bekerja

c. Untuk membandingkan tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku tentang stimulasi pada pengasuhan anak balita pada ibu bekerja dan tidak bekerja

d. Menilai apakah karakteristik pada ibu ( usia , tingkat pendidikan, jumlah anak, jumlah balita ) berhubungan dengan tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku ibu tentang stimulasi pada pengasuhan anak balitanya

1.5. Hipotesis

Hipotesis nol penelitian ini adalah:

a. Tidak ada perbedaan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu bekerja tentang stimulasi pada pengasuhan anak balita dibanding dengan ibu tidak bekerja b. Tidak ada hubungan antara usia ibu, tingkat pendidikan, jumlah anak dan

(3)

1.6. Manfaat Penelitian

a. Dapat digunakan sebagai bahan/data dasar untuk penyuluhan agar dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu tentang stimulasi pada perkembangan anak balitanya

b. Memacu petugas kesehatan untuk meningkatkan penyuluhan tentang

manfaat stimulasi pada pengasuhan anak balita c. Dapat dipergunakan untuk penelitian selanjutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku Kesehatan

2.1.1. Perilaku dan Elemen–Elemen Pokoknya

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulasi yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini berbentuk dua macam, yakni : bentuk pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir, berpendapat, tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan, oleh sebab itu perilaku mereka ini masih terselubung ( covert behavior

); bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Oleh karena perilaku mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata, maka disebut overt behavior. 12-14

Sesuai dengan batasan ini perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya

yang berhubungan dengan kesehatan. 14

2.1.2..Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Perilaku.

Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti: keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, berpikir, sikap, motivasi, reaksi dan sebagainya. 14

Apabila kita telusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan yang tercermin dibidang tindakan atau perilaku manusia tersebut, maka terdapat bermacam–macam faktor lain. Faktor tersebut antara lain adalah pengalaman, keyakinan, sarana–sarana fisik, sosial budaya masyarakat, dan sebagainya. 14

Muzaham 13 mengatakan bahwa dalam teori Lawrence Green kesehatan

individu/masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor–faktor diluar perilaku (non perilaku). Selanjutnya faktor perilaku ini

ditentukan oleh tiga kelompok faktor: faktor–faktor predisposisi (presdiposing

factors) mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan tradisi, norma sosial, dan bentuk lainnya yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat.

Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya sarana pelayanan

kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. Sedangkan faktor pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Dalam teori Lawrence Green juga dikatakan bahwa pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan ketiga kelompok faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat

(4)

Sarwono 12 juga menyebutkan teori lain yang berkaitan dengan teori

Lawrence Green, yaitu model kepercayaan kesehatan (Health Belief Model) oleh

Rosenstock (1982). Dia percaya bahwa perilaku individu ditentukan oleh motif dan kepercayaan tersebut sesuai atau tidak dengan realitas atau dengan pandangan orang lain tentang apa yang baik untuk individu tersebut . Sangatlah penting untuk membedakan antara kebutuhan kesehatan yang obyektif ialah yang diidentifikasikan oleh petugas kesehatan berdasarkan penilaiannya secara profesional, yaitu adanya gejala yang dapat mengganggu/membahayakan kesehatan individu. Sebaliknya, individu menentukan sendiri apakah dirinya mengandung penyakit, berdasarkan perasaan dan penilaiannya sendiri. Pendapat atau kepercayaan ini dapat sesuai dengan realitas, namun dapat pula berbeda dengan kenyataan yang dilihat oleh orang lain. Meskipun berbeda dengan kenyataan, pendapat subyektif inilah yang justru merupakan kunci dari dilakukannya atau dihindarinya suatu tindakan kesehatan. Artinya, individu itu baru akan melakukan suatu tindakan untuk pencegahan penyakit jika dia benar –benar merasa terancam oleh penyakit tersebut . Jika tidak, maka dia tidak akan melakukan tindakan apa-apa.

2.1.3. Domain Perilaku Kesehatan

Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang

sangat luas. Notoatmodjo14 mengatakan bahwa Bloom (1908) membaginya menjadi

ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain) dan ranah

psikomotor (psychomotor domain).

Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari: 14

a. Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan

(knowledge)

b. Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan. (attitude)

c. Praktek atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan (practice).

Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subyek tahu terlebih dahulu terhadap stimulasi yang berupa materi atau obyek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subyek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni obyek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu

berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulasi atau obyek

tadi. Namum demikian, di dalam kenyataan stimulasi yang diterima subyek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seorang dapat bertindak atau perilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulasi yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap.

14

a. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi pada panca indera manusia. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.14

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Karena itu dari pengalaman dan

penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng

daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Notoatmodjo14 mengatakan

(5)

baru (berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :

a. Kesadaran (Awareness), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

b. Merasa tertarik (Interest) terhadap stimulus atau obyek tersebut, disini sikap subyek sudah mulai terbentuk.

c. Menimbang-nimbang (Evaluation) terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Uji coba (Trial) dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuai dengan apa

yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adopsi (Adoption), dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian dari penelitian selanjutnya disimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap – tahap tersebut diatas. 14

b. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. Dari berbagai batasan tentang sikap dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu.

Notoatmodjo14 mengatakan bahwa Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial

menyatakan bahwa sikap itu merupakan tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.14

Notoatmodjo14 menjelaskan bahwa Allport (1954) mengatakan sikap itu

mempunyai 3 komponen pokok, yakni :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu obyek b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek c. Kecenderungan untuk bertindak.

Ketiga komponen ini bersama–sama membentuk sikap yang utuh (total

attitude). Dalam penentuan sikap ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Suatu contoh misalnya, seorrang ibu telah mendengar penyakit polio (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berfikir dan berusaha supaya anaknya tidak terkena polio. Dalam berfikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat akan mengimunisasikan anaknya untuk mencegah anaknya terkena polio.14

Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yakni : 1. Menerima (Receiving)

Subyek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan obyek

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya serta mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Terlepas jawaban dan pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut .

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain mengerjakan atau mendiskusikan terhadap suatu masalah.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya merupakan tingkat sikap yang paling penting.

(6)

pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju).14

c. Praktek atau Tindakan (Practice).

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).

Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlakukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Sikap ibu yang sudah positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut dapat

mengimunisasikan anaknya.14

Tingkat–tingkat Praktek.14 1. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil

2. Respon Terpimpin (Guided Respons)

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh.

3. Mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau suatu ide sudah merupakan suatu kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

4. Adaptasi (Adaptation)

Merupakan praktek yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan

yang lalu (recall). Pengukuran langsung dengan observasi tindakan atau kegiatan

responden.14

2.2.Peranan Ibu

Dalam beberapa dekade terakhir ini, banyak penelitian yang sudah dan sedang dilakukan mengenai peranan hubungan ibu dengan anak pada usia dini dalam proses perkembangan emosional anak. Hasil penelitian itu membuktikan bahwa hubungan ibu-anak yang terjalin dalam suatu “ikatan ibu-anak” yang baik, merupakan salah satu prasyarat penting agar perkembangan sosial emosional anak dapat berlangsung dengan baik. 15

Di kebanyakan masyarakat, ibu umumnya mengambil peranan utama dalam pengasuhan anak. Karena ketersediaan dan responsivitas ibu yang konsisten itu, dapatlah dimengerti bahwa kebanyakan anak akan membentuk ikatan primer dengan ibunya. 16

Atmodiwirjo2 mengatakan bahwa Ainsworth (1978) melaporkan bahwa

bayi-bayi yang ibunya sensitif dan responsif terhadap kebutuhan-kebutuhannya selama setahun pertama kehidupannya, akan mampu membentuk ikatan ibu-anak yang kuat.

Mulai pada usia kurang 6-8 bulan, bayi mulai memperlihatkan respon yang khas bila ia dipisahkan dari ibunya. Ia mulai melengket pada ibunya dalam keadaan yang stressful, antara lain bila ia merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan, atau bila ia didekati oleh orang lain yang belum dikenal. Pada usia 6-8 bulan

anak-anak dapat membedakan ibu dan ayah mereka dari orang lain. 15

(7)

mengadakan interaksi optimal dengan bayi dipengaruhi oleh faktor-faktor ibu dan lingkungan yang mempengaruhinya. Faktor lingkungan secara langsung juga dapat mempengaruhi tumbuh kembang bayi. Faktor-faktor ibu yang berpengaruh antara

lain : kedewasaan (usia), pendidikan dan kepribadian serta sikap ibu. 16

Hoffman 17 mengatakan bahwa pentingnya interaksi antara seseorang dengan

berbagai sistem dalam lingkungan dikemukakan oleh Bronfenbrenner yang berpandangan bahwa dunia anak berada dalam empat lapisan sistem, yaitu mikrosistem, mesosistem, eksositem dan makrosistem.

Ibu adalah tokoh sentral ekosistem mikro yang membesarkan anak, ekosistem mini adalah keluarga tempat anak dibesarkan, sedangkan ekosistem meso merupakan jembatan antara ekosistem mini dengan ekosistem yang lebih luas, yaitu ekosistem makro.2,7

Seorang ibu mempunyai peranan yang sangat besar dalam memberikan

kebutuhan dasar pada anak untuk tumbuh kembang .2,7,8

Antara anak dan lingkungan/ekosistem harus terjadi interaksi terus menerus bahkan bila perlu transaksi. Asuh dan asih menyebabkan konstitusi anak/fungsi organ-organ tubuh, terutama otak, menjadi baik dengan demikian anak dapat “mencerna” asah (stimulasi mental) yang disediakan. Dengan demikian berjalanlah proses perkembangan secara optimal. 2,8

2.3. Stimulasi Mental Dini

Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Oleh karena itu pada periode kritis ini diperlukan rangsangan/stimulasi yang berguna agar potensinya berkembang, sehingga perlu mendapat perhatian.2,7,8

Sularyo18 menjelaskan bahwa Bloom dalam penyelidikan longitudinal

mengenai kecerdasan berpendapat kira-kira 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah ada pada usia 4 tahun, 30% berikutnya pada usia 8 tahun dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dikatakannya bahwa 4 tahun pertama adalah kurun waktu dimana seorang anak sangat peka terhadap kaya miskinnya lingkungan akan stimulasi; selama kurun waktu tersebut pada umumnya perbedaan kecerdasan pada anak dengan lingkungan yang kaya akan stimulasi dengan anak yang berada dalam lingkungan yang miskin stimulasi adalah kira-kira 10 unit Inteligensia Quotient (IQ), selanjutnya 6 unit pada usia 4-8 tahun.

Yang dimaksud stimulasi disini adalah perangsangan yang datangnya dari lingkungan di luar individu anak. Berbagai macam stimulasi seperti stimulasi verbal, visual, auditif, taktil dan lain-lain dapat mengoptimalkan perkembangan anak. Perhatian dan kasih sayang juga merupakan stimulasi yang penting pada awal perkembangan anak, misalnya dengan mengajaknya bercakap-cakap, membelai, mencium, bermain dan lain-lain. 2

Pemberian stimulasi akan lebih efektif apabila memperhatikan

kebutuhan-kebutuhan anak sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. 19

Dari percobaan binatang dan manusia memberikan bukti yang sangat kuat tentang pengaruh pengalaman pada tahun-tahun awal pada perkembangan otak dan

kecakapan, kemampuan meniru, tingkah laku, dan kesehatan di kemudian hari. 20

Bukti biologis mendukung hipotesis bahwa perkembangan otak pada masa kanak-kanak awal merupakan faktor yang mempengaruhi kesehatan, pengetahuan, emosional dan tingkah laku seluruh siklus hidupnya. 20,21

(8)

berkaitan dari jalur otak/hormon, jalur syaraf ( seperti korteks visual), dan

tahap-tahap perkembangan otak manusia:20

a. Jalur otak/hormon ( brain/hormonel pathway)

Rangsangan sensoris ekternal atau internal ke otak, melalui sistem hipotalamus-pituitari-kelenjar adrenal (HPA), meningkatkan produksi kortikosteroids (sterol) dan mengaktifkan sistem saraf otonom. Kadar sterol dan durasinya dalam darah mempengaruhi seluruh sistem tubuh dan organ, termasuk otak. Otak mengatur kadar sterol dalam darah melalui sistem umpan balik yang melibatkan

hipotalamus. Pengaturan pengeluaran corticotropin-releasing hormone (CRH) dari

hipotalamus tidak hanya mempengaruhi jalur HPA, tapi juga hipokampus dan juga jalur lain dalam sistem limbik.

Stimulasi jalur CRH-HPA dapat terjadi melalui minimal 3 rute : melalui faktor endogen dari sirkulasi seperti yang berhubungan dengan penyakit, melalui stimulasi langsung dari sistem indera visceral ( contoh nyeri dan tekanan darah), dan melalui perangsangan hipotalamus melalui sistem indera ekternal otak ( contoh penglihatan, sentuhan, suara dan penciuman). Hipokampus merupakan stuktur yang penting karena keterlibatannya dengan sistem limbik hipotalamik pituitari adrenal (LHPA) dan korteks prefrontal. Hipokampus mempengaruhi memori, pengetahuan dan tingkah laku. Kadar sterol yang tinggi dalam jangka panjang dapat menyebabkan hilangnya neuron-neuron di hipokampus, dan berpengaruh pada memori dan tingkah laku. Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa pengalaman awal (stimulasi) mempengaruhi perkembangan jalur-jalur otak dan mempengaruhi respon jalur-jalur ini terhadap stimulasi internal dan eksternal di kemudian hari.

b. Jalur saraf (sensory pathway) 20

Jalur otak lain yang dipengaruhi oleh kondisi pada awal kehidupan adalah penyambungan dan pembentukan daerah korteks yang menghubungkan ke sistem indera (seperti penglihatan, sentuhan, suara dan penciuman). Neuron-neuron pada bagian korteks otak yang berbeda yang membedakan respon pada sinyal yang diterima pada awal kehidupan mempengaruhi seberapa baik individu ini mengenal dunia sekitarnya dan respon yang masuk dari organ indera.

c. Tahap-tahap perkembangan (stages of development) 20

Penelitian noninvasif pada perkembangan otak manusia akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa struktur berkembang lebih awal daripada lainnya dan bahwa perkembangan otak paling aktif pada awal kehidupan. Pada dekade kedua, aktivitas ini akan mengalami penurunan sampai kurang lebih nilainya sama dengan pada kehidupan dewasa. Beberapa perkembangan yang terjadi pada saat awal adalah jalur indera seperti penglihatan, suara, sentuhan, jalur CRH-HPA, sementara itu jalur yang berkembang kemudian adalah pengenalan huruf dan matematika, yang tampaknya dipengaruhi oleh dasar-dasar sebelumnya.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

(9)

3.2. Desain Dan Sampel Penelitian

Penelitian bersifat analitik yang dilakukan secara sekat lintang melalui wawancara dengan suatu kuisioner terancang ( lihat lampiran 2 ). Responden adalah ibu bekerja di PT Indofood Sukses Makmur dan ibu tidak bekerja ( istri karyawan pria yang tidak melakukan pekerjaan di luar rumah). Seluruh responden harus memiliki anak berusia dibawah lima tahun. Hal – hal yang ditanyakan antara lain : Identitas / karakteristik Ibu (usia, tingkat pendidikan, jumlah anak, jumlah balita). Pengetahuan, sikap dan perilaku ibu terhadap stimulasi (seperti yang dijelaskan pada definisi operasional).

Pewawancara adalah dokter-dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Haji Adam Malik Medan yang sebelumnya telah dilatih tentang maksud pertanyaan, tehnik bertanya serta cara menilai dan mencatat jawaban responden Selanjutnya dilakukan uji coba untuk menyempurnakan bentuk kuisioner maupun pelaksanaan wawancara. Responden harus dapat menjawab seluruh pertanyaan secara lengkap, jujur, tanpa seorangpun dibenarkan, baik pewawancara maupun orang lain untuk mempengaruhinya. Setiap jawaban diberi tanda benar atau salah.

Besar sampel ditetapkan berdasarkan estimasi proporsi sebesar 50%, perbedaan yang masih bisa ditoleransi 30%, tingkat kepercayaan 95%, dan

kekuatan studi 90%. Besar sampel dihitung berdasarkan rumus : 22

(

)

(

)

[

]

(

)

2

2 1

2 2 2 1 1 2

1

P

P

Q

P

Q

P

Ƣ

0,5

z

2PQ

ơ

/2

-0,5

z

n

n

+

+

=

=

n1=jumlah sampel ibu bekerja

n2=jumlah sampel ibu tidak bekerja

P1=Proporsi ibu bekerja yang pengetahuannya baik = 0,5

P2=Proporsi ibu tidak bekerja yang pengetahuannya baik = 0,5

0,50

2

0,50

0,50

2

P

P

P

=

1

+

2

=

+

=

Z ( 0,5 - α / 2 ) = 1,96 ; α = 0,05

Z (0,5 - β ) = 1,282 ; β = 0,10

Maka jumlah sampel minimal sesuai rumus adalah 58 orang.

Sampel diambil secara acak dari daftar karyawan yang mempunyai anak dibawah usia lima tahun sampai didapatkan jumlah sampel yang diperlukan.

3.3. Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Kategori

A. Variabel Bebas

1. Tingkat Pendidikan Ibu

Adalah jenjang pendidikan formal yang pernah diikuti oleh ibu :

Kategori : 1. Pendidikan rendah : SD dan SLTP

2. Pendidikan sedang : SLTA

3. Pendidikan tinggi : Akademi / PT

2. Jumlah anak

Adalah jumlah anak yang dimiliki oleh ibu balita

Kategori : 1. > 2 orang (tidak sesuai program Keluarga Berencana)

2. ≤ 2 orang (sesuai program Keluarga Berencana)

3. Jumlah balita

(10)

Kategori : 1. > 1 orang (tidak sesuai anjuran Departemen Kesehatan)

2. 1 orang (sesuai anjuran Departemen Kesehatan)

B. Variabel terikat 1. Pengetahuan

Yaitu pengetahuan tentang pengertian stimulasi, manfaat stimulasi, macam stimulasi, contoh-contoh stimulasi, pentingnya bermain, pengaruh lingkungan dan faktor yang berperan dalam perkembangan anak .

Kategori: 1. Buruk (menjawab tahu ≤ 2 dari 10 pertanyaan )

2. Kurang (menjawab tahu 3 – 5 dari 10 pertanyaan)

3. Baik (menjawab tahu > 5 dari 10 pertanyaan )

2. Sikap

Yaitu setuju tidaknya pemberian stimulasi dalam pengasuhan anak merupakan tugas orangtua, setuju tidaknya seorang bayi perlu kasih sayng dan belaian, setuju tidaknya bermain diperlukan oleh anak balita, setuju tidaknya stimulasi sejak dini akan membuat anak cepat berkembang, setuju tidaknya anak yang tidak distimulasi akan lambat perkembangannya, setuju tidaknya lingkungan keluarga berperan dalam memberikan stimulasi.

Kategori : 1. Buruk (menjawab ya ≤ 2 dari 6 pertanyaan)

2. Kurang (menjawab ya 3–4 dari 6 pertanyaan)

3. Baik (menjawab ya 5–6 dari 6 pertanyaan)

3. Perilaku

Yaitu tentang pernahkan ibu mendengar, membaca atau mengikuti penyuluhan tentang stimulasi ; apakah waktu bekerja anak ada yang mengajak bermain; apakah ibu sering membelai, mencium dan memeluk bayinya; apakah di rumah disediakan permainan seperti bola warna-warni, kerincingan, kotak dll; apakah ibu sering mengajak bicara atau mendongeng untuk anak, apakah ibu sering bermain dengan anaknya.

Kategori : 1. Buruk (menjawab ya ≤ 2 dari 6 pertanyaan)

2. Kurang (menjawab ya 3–4 dari 6 pertanyaan)

3. Baik (menjawab ya 5–6 dari pertanyaan)

3.4. Analisis Statistik

Data dikumpulkan dan disajikan secara kualitatif, diuji dengan kai kuadrat (X2), dan dinyatakan bermakna apabila p < 0,05. Data diolah dengan menggunakan program komputer Statistic Package for Social Science (SPSS) for MS Windows versi 10,0.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

(11)

Tabel 1. Karakteristik sampel

Pekerjaan Ibu

Ibu bekerja Ibu tidak

bekerja Karakteristik

n % n %

p

Usia

< 20 tahun 20-35 tahun > 35 tahun

Tingkat pendidikan SD SLTP SLTA Akademi/PT Usia balita < 12 bulan 12-35 bulan >35 bulan Jumlah anak 1

2 ≥ 3

Jumlah balita 1

2 ≥ 3

0 54 11 5 20 35 5 18 28 19 17 26 22 47 17 1 0,0 41,2 8,4 3,9 15,3 28,7 3,8 13,7 21,4 14,5 13,0 19,8 16,8 35,9 13,0 0,8 3 54 9 9 22 27 8 26 22 18 20 17 29 49 17 0 2,3 41,2 6,9 6,9 16,8 20,6 6,1 19,8 16,8 13,7 15,3 13,0 22,1 37,4 13,0 0,0 0,20 0,39 0,33 0,21 0,59

Dari tabel 1 terlihat bahwa proporsi kelompok usia terbesar untuk kedua kelompok adalah kelompok usia 20-35 tahun (82,4%). Tingkat pendidikan terbanyak untuk kedua kelompok adalah SLTA (47,3%), dan distribusi usia balita terbanyak untuk kedua kelompok adalah kelompok usia 12-35 bulan (38,2%). Jumlah anak yang dimiliki oleh ibu balita terbanyak untuk kedua kelompok adalah

berjumlah ≥ 3 orang (38,9 %) sedangkan jumlah balita yang dimiliki ibu terbanyak

untuk kedua kelompok adalah 1 orang (73,3%). Tidak dijumpai perbedaan bermakna untuk distribusi usia responden, tingkat pendidikan, usia balita, jumlah anak dan jumlah balita yang dimiliki pada kedua kelompok (p>0,05).

Tabel 2. Pengetahuan tentang stimulasi Pengetahuan

Baik Kurang /Buruk● Jumlah

Pekerjaan ibu

n % n % n % Ibu bekerja

Ibu tidak bekerja

42 64 32,1 48,9 23 2 17,6 1,5 65 66 49,6 50,4

Jumlah 106 80,9 25 19,1 131 100,0

X 2 = 22,200 df = 1 p = 0,0001

• = karena kategori pengetahuan buruk hasilnya 0 maka kategori pengetahuan

(12)
[image:12.612.91.513.184.313.2]

Pengetahuan ibu tentang stimulasi terlihat pada tabel 2. Dijumpai perbedaan bermakna pengetahuan tentang stimulasi antara ibu bekerja dan ibu tidak bekerja (p<0,05). Pengetahuan baik dan kurang tentang stimulasi pada ibu bekerja didapati berturut-turut 32,1%; 17,6% sedang pada ibu tidak bekerja didapati 48,9%; 1,5%. Terdapat 10 pertanyaan yang diajukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang stimulasi. Dari seluruh responden dijumpai jawaban yang hampir separuh tidak benar terutama mengenai contoh stimulasi perabaan dan faktor yang mempengaruhi perkembangan anak.

Tabel 3. Sikap tentang stimulasi Sikap

Baik Kurang /Buruk● Jumlah

Pekerjaan ibu

n % n % n % Ibu bekerja

Ibu tidak bekerja

62 18

47,3 13,7

3 48

2,3 36,6

65 66

49,6 50,4

Jumlah 80 61,1 51 38,9 131 100,0

X 2 = 63,902 df = 1 p = 0,0001

• = kategori sikap buruk hasilnya 0, maka kategori sikap buruk digabungkan

dengan sikap kurang

Sikap ibu tentang stimulasi terlihat pada tabel 3. Dijumpai perbedaan yang bermakna pada sikap tentang stimulasi antara ibu bekerja dan ibu tidak bekerja (p<0,05). Sikap baik dan kurang tentang stimulasi pada ibu bekerja didapati 47,3%; 2,3% sedang pada ibu tidak bekerja didapati 13,7%; 36,6%.

Perilaku ibu tentang stimulasi terlihat pada tabel 4. Dijumpai perbedaan bermakna pada perilaku tentang stimulasi antara ibu bekerja dan tidak bekerja (p<0,05). Perilaku baik, kurang dan buruk tentang stimulasi pada ibu bekerja didapati berturut-turut adalah 29,9 %; 20,6 % dan 0 %, sedang pada ibu tidak bekerja didapati 11,5 % ; 36,6 % dan 2,3 %.

Tabel 4. Perilaku tentang stimulasi Perilaku

Baik Kurang Buruk Jumlah

Pekerjaan ibu

n % n % n % n % Ibu bekerja

Ibu tidak bekerja 38 15

29,0 11,5

27 48

20,6 36,6

0 3

0,0 2,3

65 66

49,6 50,4

Jumlah 53 40,5 75 57,3 3 2,3 13

1

100, 0 X 2 = 18,855 df = 2 p = 0,0001

[image:12.612.84.520.449.557.2]
(13)
[image:13.612.83.538.101.339.2]

Tabel 5. Hubungan tingkat pendidikan ibu dengan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang stimulasi pada ibu bekerja.

Pendidikan

SD SLTP SLTA Akademi/P T

Jumlah p df

n % n % n % n % n %

Pengetahua n Baik Kurang Sikap Baik Kurang Perilaku Baik Kurang 0 5 4 1 1 4 0,0 7,7 6,2 1,5 1,5 6,2 5 1 5 2 0 0 9 1 1 7,7 23,1 30,8 0 13,8 16,9 3 2 3 3 3 2 2 4 4 49, 2 4,6 50, 8 3,1 36, 9 16, 9 5 0 5 0 4 1 7,7 0 7,7 0 6,2 1,5 4 2 2 3 6 2 3 3 8 2 7 64, 6 35, 4 95, 4 4,6 58, 5 41, 5 0,00 0,26 0,07 3 3 3

Sedangkan hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap tentang stimulasi dengan tingkat pendidikan pada ibu tidak bekerja ternyata dari penelitian ini didapati bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan pengetahuan, sikap maupun perilaku mereka terhadap stimulasi (p < 0,05). Hubungan ini terlihat pada tabel 6.

Tabel 6. Hubungan tingkat pendidikan ibu dengan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang stimulasi pada ibu tidak bekerja.

Tingkat Pendidikan

SD SLTP SLTA Akademi/PT Jumlah p df

n % n % n % n % n %

Pengetahua n Baik Kurang Sikap Baik Kurang Perilaku Baik Kurang Buruk 8 1 4 5 2 5 2 12,1 1,5 6,1 7,6 3,0 7,6 3,0 21 1 5 17 4 17 1 31,8 1,5 7,6 25,8 6,1 25,8 1,5 27 0 6 21 6 21 0 40,9 0 9,1 31,8 9,1 31,8 0 8 0 3 5 3 5 0 12,1 0 4,5 7,6 4,5 7,6 0 64 2 18 48 15 48 3 97,0 3,0 27,3 72,7 22,7 72,7 4,5 0,35 0,50 0,15 3 3 6

[image:13.612.86.543.453.648.2]
(14)

Tabel 7. Hubungan usia ibu dengan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang stimulasi pada ibu bekerja.

20 - 35 tahun >35 tahun Jumlah

n % N % % n p df

Pengetahuan Baik Kurang Sikap Baik Kurang Perilaku Baik Kurang 38 16 51 3 33 21 58,5 24,6 78,5 4,6 50,8 32,3 4 7 11 0 5 6 6,2 10,8 16,9 0 7,7 9,2 42 23 62 3 38 27 64, 6 35, 4 95, 4 4,6 58, 5 41, 5 0,03 0,42 0,33 1 1 1

Sedangkan pada kelompok ibu tidak bekerja didapati usia ibu berhubungan dengan perilaku, namun tidak berhubungan dengan pengetahuan dan sikap ibu terhadap stimulasi. Hubungan usia ibu dengan pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap stimulasi pada kelompok ibu tidak bekerja dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Hubungan usia ibu dengan pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap stimulasi pada ibu tidak bekerja

Usia Ibu (tahun)

< 20 20 – 35 > 35 Jumlah

n % n % n % n %

p df Pengetahuan Baik Kurang Sikap Baik Kurang Perilaku Baik Kurang Buruk 3 0 1 2 0 2 1 4,5 0,0 1,5 3,0 0,0 3,0 1,5 52 2 13 41 13 41 0 78,8 3,0 19,7 62,1 19,7 62,1 0,0 9 0 4 5 2 5 2 13, 6 0,0 6,1 7,6 3,0 7,6 3,0 64 2 18 48 15 48 3 97,0 3,0 27,3 72,7 22,7 72 4,5 0,79 0,43 0,00 2 2 4

[image:14.612.90.510.96.318.2] [image:14.612.82.524.424.625.2]
(15)

4.2. Pembahasan

Sebagian besar responden pada penelitian ini ( 82,4% ) berusia antara 20-35 tahun, hal ini berarti sebagian besar responden berada pada usia reproduktif dan berada pada usia saat melahirkan yang dianjurkan.

Bila dilihat jumlah anak yang dimiliki umumnya responden mempunyai anak satu sampai dua orang sebesar 60,1 %. Sedangkan yang mempunyai anak lebih dari 3 orang sebanyak 38,9 %. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak responden yang belum mengikuti anjuran pemerintah untuk mempunyai anak dua orang saja cukup, sehingga perlu digalakkan program keluarga berencana oleh instansi terkait.

Pada hasil penelitian ini didapatkan 42,9% responden mempunyai pendidikan rendah sedangkan 49,3 responden berpendidikan sedang dan sisanya 6,8% berpendidikan tinggi. Berdasarkan hasil Statistik Kesejahteraan Rakyat (SKR) tahun 2000, proporsi penduduk wanita yang berpendidikan rendah adalah sebesar 52,7%,

pendidikan sedang sebesar 12,8% dan tinggi sebesar 2,6%.23 Bila dibandingkan

dengan hasil penelitian ini tampaknya responden yang berpendidikan rendah lebih sedikit sedangkan yang berpendidikan sedang lebih tinggi daripada hasil SKR tahun 2000.

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka seseorang akan dapat lebih mudah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan menyerap kemajuan teknologi.

Kemajuan yang dicapai oleh suatu bangsa antara lain sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan penduduknya. Dalam kaitannya dengan pendidikan, perempuan mempunyai peranan penting, terutama dalam proses pembentukan pribadi seseorang. Sebagai ibu rumah tangga, perempuan merupakan pendidik pertama bagi anak-anaknya 11

Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna pada pengetahuan, sikap dan perilaku tentang stimulasi antara ibu bekerja dan tidak bekerja. Temuan kami memperlihatkan bahwa pada penggabungan semua responden, ibu-ibu setuju bahwa stimulasi penting bagi perkembangan anak dan merupakan tugas orangtua untuk memberikannya.

Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini ternyata 80,9% ibu memiliki pengetahuan baik tentang stimulasi bagi perkembangan anak. Ternyata pengetahuan baik pada ibu tidak bekerja lebih tinggi daripada ibu bekerja yaitu 48,9 % dibanding 32,1% . Hanya 17,6% ibu bekerja dan 1,5% ibu tidak bekerja yang memiliki pengetahuan kurang tentang stimulasi bagi perkembangan anak. Berbeda

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Marpaung10 di daerah kumuh kelurahan

Pulogadung, Jakarta, dimana responden sebagian besar merupakan ibu rumah tangga (94,6%) mendapatkan pengetahuan tinggi tentang stimulasi bagi perkembangan anak sebanyak 1,3%, sedang 34,4% dan rendah 64,3%. Perbedaan ini karena karakteristik sampel yang berbeda dan kuesioner yang dipakai juga berbeda.

Tidak diketahui alasan yang jelas mengapa meskipun tingkat pengetahuan baik tentang stimulasi pada ibu bekerja lebih sedikit dibandingkan ibu tidak bekerja namun sikap dan perilaku baik tentang stimulasi lebih banyak pada ibu bekerja. Namun dari pengalaman dan penelitian ternyata bahwa tindakan seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap. Meskipun dikatakan juga bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari oleh pengetahuan. 14

(16)

penelitian Marpaung10 yang mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan tingkat pengetahuan dan perilaku ibu tentang stimulasi. Sedangkan pada kelompok ibu tidak bekerja didapati tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan, sikap maupun perilaku tentang stimulasi.

Sedangkan faktor usia ibu pada kelompok ibu bekerja ternyata mempunyai hubungan yang bermakna dengan tingkat pengetahuan tentang stimulasi namun tidak berhubungan dengan sikap dan perilaku ibu terhadap stimulasi. Hal ini berbeda

dengan hasil penelitian Lubis24 yang mendapatkan hubungan yang bermakna antara

pengetahuan, sikap dan perilaku ibu tentang imunisasi dengan usia ibu. Namun pada kelompok ibu tidak bekerja didapati hubungan bermakna antara usia dengan perilaku tentang stimulasi. Hal ini sesuai seperti pada berbagai penelitian yang menyatakan bahwa usia ibu terutama berpengaruh terhadap pengetahuan tentang

perkembangan anak dan praktek-praktek pengasuhan anak. 25

Faktor jumlah anak tidak mempunyai hubungan yang bermakna pada pengetahuan, sikap dan perilaku ibu tentang stimulasi, baik pada kelompok ibu bekerja maupun ibu tidak bekerja. Sementara Soetjiningsih mengemukakan bahwa jumlah anak yang banyak pada keluarga dengan sosial ekonomi yang cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang diterima anak, terutama jika jarak terlalu dekat. Sedangkan pada keluarga dengan sosial ekonomi yang kurang, jumlah anak yang banyak mengakibatkan kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti makanan, sandang dan perumahan tidak terpenuhi yang pada akhirnya akan berpengaruh pada

perkembangan anak.2

Pada penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan tumbuh kembang anak untuk menilai pengaruh pengetahuan, sikap dan perilaku ibu tentang stimulasi terhadap perkembangan balitanya.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari penelitian ini didapati pada ibu bekerja tingkat pengetahuan (baik 32,1% ; kurang 17,6), sikap (baik 47,3%; kurang 2,3%), perilaku (baik 29%; kurang 20,6%); sedangkan pada ibu bekerja didapati tingkat pengetahuan (baik 48,9%; kurang 1,5%), sikap (baik13,7%; kurang 36,6%), perilaku (baik 11,5%; kurang 36,6%; buruk 2,3%). Pada kedua kelompok didapati tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku tentang stimulasi yang berbeda bermakna. Pada ibu bekerja, faktor tingkat pendidikan dan usia ibu berhubungan bermakna dengan tingkat pengetahuan tentang stimulasi.

5.2. Saran

5.2.1. Diperlukan penelitian dengan pengamatan langsung terhadap perilaku ibu dalam memberikan stimulasi bagi perkembangan anaknya dan menilai langsung pengaruh pengetahuan, sikap dan perilaku ibu terhadap perkembangan anaknya.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

American academy of pediatrics. Care of adolescent parents and their children (RE0020). Pediatrics 2001;107(2): 429-34.

Atmodiwirjo ET. Pentingnya stimulasi dalam pengasuhan anak. Dalam: Sularyo TS, Musa DA, Gunardi H, penyunting. Deteksi dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang anak dalam upaya optimalisasi kualitas sumber daya manusia. PKB IKA XXXVII FK UI. Jakarta: PB FK UI, 1996: 33-40.

Badan Pusat Statistik. Indikator social wanita Indonesia. Jakarta: Badan pusat statistik; 1999.

Chugani HT. Biological basis of emotions: brain systems and brain development. Pediatrics 1998; 102(5):1225-1229.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2000. Jakarta : Departemen Kesehatan RI 2001, h.11.

Field TM, dkk. Tactile/kinesthetic stimulation effects on preterm neonates. The American academy of pediatrics, 1986;77. 654-8.

Hoffman l, Paris S, Hall E. Developmental psychology today. Edisi keenam.New York: McGraw-Hill,1994.h.47-51.

Ismael S. Tumbuh kembang anak dalam pencapaian potensi sumber daya manusia yang tangguh. Pidato pengukuhan guru besar Universitas Indonesia. Jakarta: BP FK UI; 1991.

Jaenudin E. Stimulasi keluarga pada perkembangan bicara anak usia 6 sampai 36 bulan di kelurahan kuningan, Semarang Utara. Tesis. Semarang, FK UNDIP, 2000.

Kuperus NW, Baerts W, Smrkovsky M, Sauer PJ. Effects of biological and social factors on the cognitive development of very low birth weight children. The American academy of pediatrics, 1993; 92:658-65.

Lubis IZ, Lubis M, Loebis MS, Manoeroeng SM, Lubis CP. Pengetahuan, sikap dan perilaku orangtua tentang imunisasi. Majalah Kedokteran Nusantara 1990;1:1-11

Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Binarupa aksara, 1995.h. 187-212. Markum AH. Tumbuh kembang. Dalam: Markum AH, Ismael S, Alatas H, Akib A,

Firmansyah A, Sastroasmoro S, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I. Jakarta: FKUI, 1991. h.9-40.

Marpaung U. Hubungan pengetahuan dan perilaku ibu tentang stimulasi dengan perkembangan bayinya di daerah kumuh kelurahan Pulogadung Jakarta. Tesis. Jakarta: BP FK UI, 1999.

Mustard JF. Early child development and the brain-the base for health, learning, and behavior throughout life. Dalam: Young ME, penyunting. From early child development to human development. Washington DC, the world bank, 2002.h.23-62..

Muzaham F. Sosiologi Kesehatan. Jakarta: UI Press; 1995.h.43-91.

Notoatmodjo S. Prinsip-prinsip dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.h. 95-133.

Prasetyo J. Peranan faktor “ikatan ibu-anak” pada anak balita resiko tinggi untuk gangguan emosional / perilaku. Dalam : Sularyo TS, Musa DA, Gunardi H, penyunting. Deteksi dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang anak dalam upaya optimalisasi kualitas sumber daya manusia. PKB IKA XXXVII FK UI. Jakarta: PB FK UI, 1996 : 247-58.

(18)

Soedjatmiko. Peranan Taman Penitipan Anak dalam upaya pembinaan tumbuh kembang anak. Dalam: Sularyo TS, Musa DA, Gunardi H, penyunting. Deteksi dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang anak dalam upaya optimalisasi kualitas sumber daya manusia . PKB IKA XXXVII FK UI. Jakarta: PB FK UI, 1996: 215-38.

Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC; 1998.h.1-94,105-26.

Sudjarwo SR. Uji skrining perkembangan dengan metode Denver II. Dalam: Sularyo TS, Musa DA, Gunardi H, penyunting. Deteksi dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang anak dalam upaya optimalisasi kualitas sumber daya manusia. PKB IKA XXXVII FK UI. Jakarta : PB FK UI, 1996 : 133-45.

Sularyo TS. Pentingnya stimulasi mental dini. Disampaikan pada Seminar dan Pelatihan Sehari untuk umum: Pencatatan Pemantauan Tumbuh Kembang Balita; Jakarta, 8 Februari,1993.

Sularyo TS. Periode kritis pada tumbuh kembang balita. Dalam: Sularyo TS, Musa DA, Gunardi H, penyunting. Deteksi dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang anak dalam upaya optimalisasi kualitas sumber daya manusia.PKB IKA XXXVII FK UI. Jakarta: BP FK UI, 1996: 1-32

Gambar

Tabel 1. Karakteristik sampel
Tabel 3. Sikap tentang stimulasi
Tabel 6.  Hubungan tingkat pendidikan ibu dengan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang stimulasi pada ibu tidak bekerja
Tabel 7. Hubungan usia ibu dengan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang stimulasi pada ibu bekerja

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi pengaruh tingkat kepemimpinan (tingkat kemampuan, tingkat kepribadian, dan gaya kepemimpinan) terhadap tingkat

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian penjelasan (Explanatory Research) yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara variabel yang telah ditetapkan

Amerika Serikat memiliki sejarah program militerisasi yang panjang dan dengan kebangkitan Tiongkok di bidang yang sama menyebabkan terjadinya pola kompetisi yang bertujuan

Teori partisipasi mobilisasi digunakan peneliti sebagai landasan untuk mendeskripsikan bagaimana strategi GP Ansor dalam mendukung pasangan Saiful Ilah dan Ahmad Syaifuddin

bahwa dalam rangka menindaklanjuti Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan

Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di atas melihat tingkat kesuksesan perusahaan obyek penelitiannya dari kinerja industri atau kinerja perusahaan dengan melihat

Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (SMK3) dengan Kejadian Kecelakaan Kerja Di Treat And Ship Operations – Facility Operations PT Chevron Pacific

[r]