ANALISIS HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK
YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU
( STUDI KASUS DI KOTA MEDAN)
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada
Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan
OLEH :
Y U S N A N I
057011100/M.KN
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK
YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU
( STUDI KASUS DI KOTA MEDAN)
NASKAH PUBLIKASI
OLEH :
Y U S N A N I
057011100/M.KN
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
Telah Diuji Pada :
Tanggal : 31 Juli 2007
Panitia Penguji Tesis
Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum
Anggota : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, M.S.C.N
ANALISIS HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK
YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU
(STUDI KASUS DIKOTA MEDAN)
Yusnani1 tangan Pemerintah. Dalam menjalankan jabatannya notaris harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang di buatnya, yakni tanggung jawab hukum dan tanggung
jawab moral. Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana pertanggung jawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu, bagaimana sanksi yang diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik, dan bagaimana akibat hukumnya terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu.
Dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan maka penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analisis, yang menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Penelitian dilakukan di Kantor-kantor Notaris, Kantor Pengadilan Negeri, dan Kantor Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris yang wilayah kerjanya di Kota Medan. Data primer dan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi lapangan dengan mempergunakan pedoman wawancara dan observasi lapangan.
Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tanggung jawab notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab notaris hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta.Notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil dengan yang sebenarnya lalu menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta otentik tersebut. Dan akta otentik tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadi
1
Mahasiswa Program Studi Magister Kienotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara 2
Dosen Pembimbing Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara 3
Dosen Pembimbing Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara 4
suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap. Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik adalah berupa ancaman hukuman perdata yakni memberi ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkannya terhadap si penderita, dan secara pidana kepada penghadap layak diberi hukuman pidana penjara sebab telah memenuhi unsur-unsur dari pasal-pasal yang dituduhkan dan telah terbukti secara sah melakukan kejahatan pemalsuan surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, yakni ”secara bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik”. Akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta tersebut telah menimbulkan sengketa dan diperkarakan di sidang Pengadilan, maka oleh pihak yang dirugikan mengajukan gugatan secara perdata untuk menuntut pembatalan agar hakim memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut. Dengan adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka dinyatakan akta tersebut batal demi hukum artinya tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat hukum. Dan sejak diputuskannya pembatalan akta itu oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/ perjanjian itu dibuat.
Disarankan kepada para semua pihak yang berkaitan dengan penerbitan akta otentik seperti pihak penghadap dan notaris, agar berhati-hati dan waspada dalam segala hal yang berhubungan dengan pembuatan akta, disamping itu juga diharapkan kepada pihak yang berkompeten seperti Majelis Pengawas Daerah, pihak kepolisian, pengadilan harus lebih selektif dalam melakukan pemeriksaan terhadap notaris.
1
Student Magister Of Notarial Affairs Study Program School Of Postgraduate Studies, University Of Nort Sumatera.
2
Lecturer Magister of Of Notarial Affairs Study Program School Of Postgraduate Studies, University Of Nort Sumatera.
3
Lecturer Magister of Of Notarial Affairs Study Program School Of Postgraduate Studies, University Of Nort Sumatera.
4
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat
dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul : “ Analisis
Hukum Terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi
Kasus di Kota Medan)”.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada :
- Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku pembimbing
pertama
- Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku pembimbing
kedua
- Bapak Notaris, Syafnil Gani, SH, M. Hum, selaku pembimbing ketiga;
yang telah menyisihkan waktunya untuk membimbing penulis dengan penuh
kesabaran dan keikhlasan dari awal penyusunan proposal sampai selesainya penulisan
tesis ini.
Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Yth :
1. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku dosen tamu sekaligus
penguji.
2. Ibu Chairani Bustami, SH, MKn, selaku dosen tamu sekaligus penguji.
3. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Prof. Dr. Ir. T . Chairun Nisa H, Msc, selaku Direktur Sekolah Pasca
Sarjana.
5. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN, selaku Ketua
Program Studi Kenotariatan.
6. Para Guru Besar, Staf Pengajar Program Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara.
7. Kepada Notaris-notaris, Kantor Majelis Pengawas Daerah (MPD), Pengadilan
8. Para pegawai Administrasi dan pegawai perpustakaan Program Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
9. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara.
Teristimewa kepada kedua orang tua penulis :
- Ayahanda yang tercinta Alm. MUHAMMAD YAHYA Kl
MARPAUNG.
- Ibunda yang tercinta Alm. HASBIAH BUTAR-BUTAR
- Suami Tercinta Chairuddin Panjaitan, SE
- Abangnda, Kakanda dan Adinda yang tersayang;
penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya atas doa, kasih sayang dan
dukungan baik moril maupun materil yang tidak dapat dinilai dalam bentuk apapun,
sehingga tetap menyertai penulis.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan,
baik dari sudut isi maupun dari cara penyajiannya. Oleh karena itu penulis menerima
masukan dan kritikan dari semua pihak. Harapan penulis, semoga tesis ini dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi semua pihak.
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, Amin.
Medan, Desember 2007
Penulis,
DAFTAR RIWAYA HIDUP
Nama : Yusnani, SH
Tempat / tgl lahir : Aek Nagaga Asahan, 15 Maret 1966
Agama : Islam
Jenis kelamin : Perempuan
Nama Orang Tua :
1. M. Yahya KL Marpaung
2. Hasbiah Butar-Butar
Latar Belakang Pendidikan
1. SD. Negeri Bandar Pulau Asahan : 1975 - 1980
2. SMP Negeri II Medan : 1980 – 1983
3. SMU Wage Rudolf Supratman Medan : 1983 - 1986
DAFTAR ISI
INTISARI ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR ISTILAH ... x
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Keaslian Penelitian ... 7
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 8
G. Metode Penelitian ... 37
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU ... 41
B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Akta Mengandung
Keteranga Palsu ... 49
C. Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta yang Mengandung Keterangan Palsu ... 54
BAB III SANKSI YANG DIBERIKAN KEPADA PENGHADAP YANG MEMBERIKANKETERANGAN PALSU DALAM AKTA OTENTIK ... 67
A. Pengertian Sanksi ... 67
B. Tinjauan Umum Tentang Para Pihak ... 68
C. Tinjauan Umum Tentang Saksi-Saksi ... 71
D. Sanksi yang Diberikan Kepada Penghadap yang Memberikan keterangan Palsu Dalam Akta Otentik ... 74
BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU ... 83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 90
A. Kesimpulan ... 90
B. Saran ... 91
DAFTAR ISTILAH
Acta Publica Probant Sese Ipsa : Suatu Akta kelihatannya sebagai
akta otentik
Ambtelijke Akten : Akta Pejabat
Code Penal : Kitab Undang-undang Hukum
Pidana di Negara Perancis
Conviction Intime : Perasaan Belaka
Conviction Raisonee : Pertimbangan Akal
Curator : Pengampun
Darde : Pihak ketiga (orang ketiga)
De Eigenlijke Falsum : Tindak Pidana Pemalsuan
Door Een : Dibuat Oleh (yang membuat)
Dwaling : Salah pengertian atau kekhilafan
Dwang : Paksaan
Ecretures : Tulisan-tulisan
Faux : Pemalsuan
Intellectuele Valsheid : Pemalsuan Intelektual
KUHPer : Kitab Undang – Undang Hukum
Perdata
KUHP : Kitab Undang-Undang Pidana
Law Inforcement : Penegakan Hukum Les Crimes Et Delicts Contre La Paix Publique : Kejahatan-kejahatan dan
pelanggaran-pelanggaran terhadap kepercayaan umum
Machtsstaat : Berdasarkan Kekuasaan
Materiele Bewijskracht : Pembuktian Material
Materiele Valsheid : Pemalsuan Material
Misdrijven : Kejahatan
Notaris Reglement : Peraturan Jabatan Notaris
Nullum delictum noela poena
praevia sine lege poenali : Tidak ada pidana tanpa
undang-undang yang mengaturnya lebih dahulu
Onrechtmatige Daad : Perbuatan melawan hukum
Onvoldoende Evearing : Kekurangan pengalaman
Onvoldoende Kennis : Kekurangan pengetahuan
Overtredingen : Pelanggaran
Partij : Pihak
Partij Aktan : Akta Partij (dibuat oleh para
pihak dihadapan pejabat umum)
Person : Orang (perseorangan)
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
Profesional Behaviour : Perilaku Profesional
Quasi Falsum : Pemalsuan yang bersifat semu
Rechtsstaat : Berdasarkan Hukum
Reglement Op Het Notaris Ambt In Indonesia : Peraturan Jabatan Notaris
Saksi attesteren : Saksi yang memperkenalkan di
depan pengadilan
Saksi Instrumentair : Saksi yang memperkenalkan di
depan notaris
Tegen Bewijs : Pembuktian Sebaliknya
Ten overstaan van een : Akta Yang Diperbuat Dihadapan
(Notaris)
Uitwendige bewijskracht : Pembuktian lahiriah
UUJN : Undang-Undang Jabatan Notaris
Van Rechtswege Nietig : Batal Demi Hukum
Vereniging : perkumpulan
Vernietigbaar : Dibatalkan
Waarnemen : menyaksikan sendiri
Wedertrechtlijkheid : Dalam Arti Obyektif
(bertentangan dengan hukum); dalam arti subyektif
(bertentangan dengan kepentingan orang lain)
Wetboek van Strafrecht : Kitab Undang-undang Hukum
Pidana di Indonesia masa Jajahan Belanda
Wilsgebrik : Adanya kecacatan dalam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beberapa tahun terakhir ini begitu banyaknya perubahan yang terjadi di muka
bumi baik yang berskala besar maupun kecil.
Perubahan-perubahan ini terjadi karena arus globalisasi yang melanda dunia sehingga
membuat banyak orang khawatir, cemas ataupun takut karena adanya ketidakpastian
akan apa yang akan terjadi dimasa mendatang.
Penegakan hukum (Law Inforcement) dan nilai-nilai budaya sudah menjadi
salah satu peran penting diera globalisasi dimana dalam sejarah perkembangan
hukum dikenal lembaga notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat
merupakan seorang pejabat yang dapat di percaya. Ia adalah pembuat dokumen yang
kuat dalam suatu proses hukum yang tanda tangan serta capnya memberi jaminan dan
bukti kuat.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan kepada pejabat umum
lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum,
selain akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga dikehendaki oleh pihak
kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan
sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.1
Akta Notaris lahir dengan adanya keterlibatan langsung dari pihak yang
menghadap notaris, merekalah yang menjadi pemeran utama dalam pembuatan
sebuah akta sehingga tercipta sebuah akta yang otentik.
Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang, akta yang
dibuat notaris menguraikan secara otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang disaksikan oleh para penghadap dan saksi-saksi.2
Dalam menjalankan jabatannya notaris harus dapat bersikap profesional
dengan dilandasi kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan
undang-undang sekaligus menjunjung tinggi Kode Etik profesinya yaitu Kode Etik Notaris.
Berdasarkan Pasal 16 huruf a Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN), seorang
notaris diharapkan dapat bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Disamping itu
notaris sebagai pejabat umum harus dapat mengikuti perkembangan hukum sehingga
dalam memberikan jasanya kepada masyarakat dalam membantu mengatasi dan
memenuhi kebutuhan hukum yang terus berkembang dapat memberikan jalan keluar
yang dibenarkan oleh hukum.
Peka, tanggap, mempunyai ketajaman berfikir dan mampu memberikan analisis yang tepat terhadap setiap fenomena hukum dan fenomena sosial yang muncul merupakan sikap yang harus dimiliki notaris sehingga akan menumbuhkan
1 Penjelasan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
2
keberanian dalam mengambil sikap yang tepat. Keberanian yang dimaksud adalah untuk menolak membuat akta apabila bertentangan dengan hukum, moral dan etika.3
Kepercayaan masyarakat terhadap notaris adalah salah satu bentuk wujud
nyata kepercayaan masyarakat terhadap hukum, oleh sebab itu notaris dalam
melaksanakan tugasnya harus tunduk dan terikat dengan peraturan-peraturan yang
ada yakni Undang-undang Jabatan Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Kode Etik Notaris dan Peraturan Hukum lainnya.
Akta yang dibuat notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan
agar tercapai sifat otentik dari akta itu misalnya mencantumkan identitas para pihak,
membuat isi perjanjian yang dikehendaki para pihak, menandatangani akta, dan
sebagainya. Apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka akta tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum.
Rancangan akta yang sudah dibuat berupa konsep minuta akta sebelum
penandatanganan dilakukan terlebih dahulu dibacakan dihadapan para penghadap dan
saksi-saksi yang dilakukan oleh notaris yang membuat akta tersebut. Berdasarkan
Pasal 16 ayat (1) huruf I Undang-Undang Jabatan Notaris, Notaris wajib
membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua
orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi-saksi dan
notaris.
Tujuan pembacaan akta ini adalah agar para pihak saling mengetahui isi dari
akta tersebut sebab isi dari akta itu merupakan kehendak para pihak. Pembacaan akta
ini juga dilakukan agar pihak yang satu tidak merasa dirugikan apabila terdapat
3
keterangan atau redaksi akta yang memberatkan atau merugikan terhadap pihak yang
lain.
Dalam prakteknya sering terjadi notaris dilibatkan jika terjadi perkara antara
para pihak, padahal sengketa yang terjadi bukanlah antara para pihak degan notaris
mengingat notaris bukan pihak dalam akta yang dibuatnya, namun notaris sering
harus keluar masuk gedung pengadilan untuk mempertanggungjawabkan aktanya
maupun sebagai saksi.
Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap
akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata dibelakang hari mengandung
sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan
notaris atau kesalahan para pihak yang tidak memberikan dokumen yang sebenarnya
dan para pihak memberikan keterangan yang tidak benar ataukah adanya kesepakatan
yang dibuat antara notaris dengan salah satu pihak yang menghadap. Apabila akta
yang dibuat/diterbitkan notaris mengandung cacat hukum karena kesalahan notaris
baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan notaris itu sendiri maka notaris itu
harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum. Dan
tentunya hal ini harus terlebih dahulu dapat dibuktikan.
Jabatan Notaris merupakan jabatan yang terhormat yaitu suatu jabatan yang
dalam pelaksanaannya mempertaruhkan jabatannya dengan mematuhi dan tunduk
pada UUJN dan Kode Etik Notaris. Dengan demikian diharapkan agar notaris dalam
menjalankan jabatannya mempunyai integritas moral dengan memperhatikan nilai
Oleh karena itu seorang notaris tidak mungkin menerbitkan suatu akta yang
mengandung cacat hukum dengan cara sengaja, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa diluar sepengetahuan notaris para pihak/penghadap yang
meminta untuk dibuatkan akta memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar
dan menyerahkan surat-surat/dokumen-dokumen yang tidak benar sehingga setelah
semuanya dituang kedalam akta lahirlah sebuah akta yang mengandung keterangan
palsu.
Keterangan palsu adalah suatu keterangan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran, keterangan mana mengenai sesuatu hal/kejadian yang harus dibuktikan oleh akta otentik itu, hal mana diatur dalam Pasal 266 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa tindak pidana menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu didalam suatu akta otentik merupakan suatu tindak pidana pemalsuan.4
Dengan terjadinya kasus semacam ini maka akan menyebabkan notaris harus
keluar masuk gedung pengadilan untuk mempertanggungjawabkan akta yang telah
dibuatnya, mengingat notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat
akta otentik dan akta otentik yang dibuatnya setelah ditandatangani oleh para pihak
menjadi dokumen negara.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas notaris dalam mempertanggungjawab
kan akta yang telah diterbitkannya harus terlebih dahulu mendapat izin/
persetujuan dari Majelis Pengawas untuk dapat diperiksa atau diproses oleh Aparat
Hukum. Bagaimana pertanggungjawaban seorang notaris dan bagaimana sanksi
hukum yang dapat dilakukan terhadap penghadap serta bagaimana akibat
4
hukumnya terhadap akta yang mengandung keterangan palsu, hal inilah yang perlu
diteliti lebih lanjut.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka yang menjadi pokok
permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung
keterangan palsu
2. Bagaimana sanksi yang diberikan kepada penghadap yang memberikan
keterangan palsu dalam akta otentik.
3. Bagaimana akibat hukumnya terhadap akta otentik yang mengandung keterangan
palsu.
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang
mengandung keterangan palsu.
2. Untuk mengetahui sanksi apa yang diberikan kepada penghadap yang
memberikan keterangan palsu dalam sebuah akta otentik.
3. Untuk mengetahui akibat hukum dari suatu akta otentik yang mengandung
keterangan palsu.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan penambahan
ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai
bahan kajian pada umumnya, khususnya pengetahuan dalam hal pertanggung
jawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa dan masyarakat
khususnya bagi para calon notaris dalam hal mengetahui secara jelas tentang
pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan
palsu.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas
Sumatera Utara, penelitian mengenai “Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik Yang
Mengandung Keterangan Palsu” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya,
dengan demikian penelitian ini adalah asli. Adapun penelitian yang pernah dilakukan
adalah :
1. Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Semu (Schijn Handeling) Dalam Praktek
Dengan Akta Notaris (Studi Kasus di Kota Medan), oleh Syafnil Gani.
2. Aspek Hukum Pidana Dalam Kasus Penggunaan Ijazah Palsu Pada Pencalonan
Anggota Legislatif, oleh Tarima Saragi, yang menitik beratkan permasalahan
dalam penelitiannya adalah bagaimana aspek hukum pidana dalam kasus
dalam kasus tersebut serta bagaimana pertanggungjawaban pidana partai politik
dalam kasus tersebut.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dibutuhkan
alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan
hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu. Notaris merupakan jabatan
tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, perlu
mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.
Pengertian notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan:
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.”
Kewenangan lainnya dari seorang notaris dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat 1
Undang-undang Jabatan Notaris yaitu :
(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang”.
Notaris disebut sebagai pejabat umum karena notaris diangkat dan
diberhentikan oleh pemerintah, notaris menjalankan tugas negara, minuta akta yang
dibuat notaris setelah ditandatangani oleh para pihak, saksi-saksi dan notaris adalah
Berdasarkan pengertian notaris tersebut diatas maka R. Soegondo Notodisoerjo
mengemukakan :
“Bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya seorang pegawai catatan sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu,umpamanya untuk membuat akta kelahiran atau akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu”.5
Akta otentik yang diuraikan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang berbunyi sebagai berikut :
“Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang dikehendaki oleh
Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya”.
Pasal 1 Angka 7 UUJN menyatakan :
“Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.”
R. Subekti, mengemukakan :
Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh Hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan ia memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna”.6
5
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia (suatu penjelasan) Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal 43.
6
Syarat-syarat pembatalan dalam akta dapat diketahui dengan adanya
syarat-syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yakni :7
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri 2.Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3.Suatu hal tertentu
4.Suatu sebab yang halal
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif karena mengenai subjek perjanjian sedangkan kedua syarat yang terakhir dinamakan syarat ojektif karena mengenai objek perjanjian. Apabila syarat yang pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perbuatan hukum itu dapat dibatalkan (vernietigbaar) sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perbuatan hukum itu batal demi hukum (van rechtswege nietig).
Satochid Kartanegara, mengemukakan :
“Hukum pidana adalah hukum publik yakni yang mengatur hubungan antara
individu dengan masyarakat atau dengan negara”.8 Moeljatno (1975:35) mengemukakan :
“Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
pelanggarnya”9
Tindak pidana pemalsuan adalah berupa kejahatan yang didalamnya
mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (obyek) yang
sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya
bertentangan dengan yang sebenarnya.10 Drs. P.A.F Lamintang, SH mengemukakan :
7
Mariam Darus Badrul Zaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 73.
8
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (Kumpulan Kuliah), Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa , hal 3.
9
Nico, Op. Cit. hal 142.
10
“Keterangan palsu adalah keterangan yang tidak sesuai dengan kebenaran, dan
keterangan yang tidak sesuai dengan kebenaran tersebut oleh pelaku harus dibuat
untuk dicantumkan dalam suatu akta otentik oleh pejabat yang memang
berwenang untuk membuat akta otentik tersebut”.11
Tindak pidana pemalsuan surat dalam KUHP diatur dalam Buku II Bab XII,
Pasal 263 sampai dengan pasal 275.
Ketentuan pasal 263 KUHP menyatakan :
(1) Barang siapa membikin surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perutangan atau yang dapat membebaskan daripada utang atau yang dapat menjadi bukti tentang sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu dapat mendatangkan kerugian, maka karena memalsukan surat, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enama tahun.
(2) Dipidana dengan pidana penjara semacam itu juga, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian.
Ketentuan Pasal 266 KUHP yang menyatakan :
(1) Barangsiapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu hak di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut dengan maksud untuk mempergunakannya atau untuk menyuruh orang lain mempergunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian.
(2) Di pidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
mempergunakan akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika penggunaannya dapat menimbulkan sesuatu kerugian.
11
P.A.F Lamintang, Delik-Delik Khusus (Kejahatan-kejahatan membahayakan kepercayaan
umum terhadap surat-surat,alat-alat pembayaran, alat-alat bukti dan peradilan), Mandar Maju,
2. Landasan Konsepsional
Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang
dipergunakan dalam penelitian ini, maka konsep yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
a. Pengertian Notaris
Lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai didaerah Italia, dari Italia
berkembang ke Perancis, Belanda dan Indonesia. Lembaga notariat mulai masuk ke
Indonesia pada permulaan abad ke 17 dan pada tanggal 27 Agustus 1620 yaitu
beberapa bulan setelah Jakarta dijadikan ibu kota. Notaris di Indonesia diangkat
untuk pertama kali adalah Melchior Kerchem. Dalam akta pengangkatan tersebut
sekaligus secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan
dan wewenangnya yakni untuk menjalankan tugas jabatannya untuk kepentingan
publik dan kepadanya diwajibkan untuk mendaftarkan semua dokumen dan akta yang
dibuatnya. Dalam tahun 1860 Pemerintah Belanda menganggap telah tiba waktunya
untuk menyesuaikan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris di Indonesia
dengan yang berlaku di negeri Belanda dan karenanya sebagai pengganti dari
peraturan yang lama diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (notaris reglement)
pada tanggal 26 Januari 1860 (STB. No. 3) yang berlaku tanggal 1 Juli 1860 12. Akan tetapi Peraturan Jabatan Notaris telah diganti dengan sebuah
Undang-undang yang mengatur tentang pekerjaan dan jabatan notaris yaitu Undang-Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Undang-undang Jabatan Notaris,
yang telah ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 6
12
Oktober 2004. Setelah berlakunya Undang-undang ini maka Reglement op Het
Notaris Ambt in indonesia (Stb. 1860 Nomor 3) yang dikenal dengan Peraturan
Jabatan Notaris sebagaimana yang telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara
1945 Nomor 101 dinyatakan tidak berlaku lagi .
Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Undang-undang
Jabatan Notaris (UUJN) menyebutkan : Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini.
Dalam Pasal 1 angka 1 Jo. Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Jabatan Notaris
menyebutkan13 :
” Pengertian notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akte otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”
Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa :
1) Notaris adalah pejabat umum.
2) Notaris merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik.
3) Akta-akta yang berkaitan dengan pembuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan supaya dinyatakan dalam suatu akta otentik.
4) Adanya kewajiban dari notaris untuk menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, memberikan grosse, salinan dan kutipan- kutipannya. 5) Terhadap pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan oleh
suatu peraturan umum kepada pejabat atau orang lain.
13
Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh
kekuasaaan umum (pemerintah), dan diberikan wewenang/kewajiban untuk melayani
publik dalam hal-hal tertentu. Jabatan notaris adalah jabatan umum sebab notaris
diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, notaris menjalankan tugas negara dan
akta yang dibuat oleh notaris atau disebut dengan minuta adalah merupakan dokumen
negara.14
Jadi pengertian pejabat umum yang diemban oleh notaris bukan berarti notaris
adalah pegawai negeri yang merupakan bagian dari suatu korps pegawai yang
tersusun, dengan hubungan kerja yang hirarkis, yang digaji oleh pemerintah, seperti
yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok
kepegawaian.
Setelah notaris diangkat dan sebelum menjalankan jabatannya sebagai pejabat
umum wajib mengucapkan sumpah/atau janji menurut agamanya dihadapan Menteri
atau pejabat yang ditunjuk, demikian juga pemberhentian notaris dilakukan oleh
menteri.
Adapun syarat-syarat untuk diangkat menjadi notaris dalam pasal 3
Undang-undang Jabatan Notaris menyebutkan :
1) Warga negara Indonesia
2) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3) Berumur serendah-rendahnya 27 (dua puluh tujuh) tahun. 4) Sehat jasmani dan rohani
5) Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan
6) Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi organisasi notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan
14
7) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.
Setelah memenuhi syarat untuk diangkat menjadi notaris maka notaris
tersebut berkewajiban mengucapkan sumpah/janji sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 5 Undang-undang jabatan notaris yakni mengucap sumpah/janji jabatan notaris
dilakukan dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan
pengangkatan sebagai Notaris.
Apabila pelaksanaan pengangkatan notaris telah selesai dilakukan maka
notaris juga tidak terlepas dari kode etik jabatannya yaitu Kode Etik Notaris. ”Kode
Etik Notaris adalah suatu sikap seorang notaris yang merupakan suatu kepribadian
yang mencakup sikap dan moral terhadap organisasi profesi, terhadap sesama rekan
dan terhadap pelaksanaan tugas jabatan.”15
Khusus untuk kalangan profesi Ikatan Notaris Indonesia (INI), telah
ditetapkan Kode Etik Notaris yang diputuskan dalam kongres INI ke XIII di Bandung
pada Tahun 1987.
Dalam penjelasan Kode Etik Notaris disebutkan seorang notaris harus
memiliki perilaku profesional (profesional behaviour) antara lain :16
1) Perilaku profesional harus menunjukkan pada keahlian yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman tinggi.
2) Dalam melakukan tugas profesionalnya harus mempunyai integritas moral, dalam arti segala pertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas-tugas profesionalnya.
15
Rapat Pleno Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, tanggal 29-30 Agustus 1998, di Surabaya.
16
3) Harus jujur, tidak saja kepada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada dirinya sendiri.
4) Sekalipun keahlian profesi notaris dapat dimanfaatkan sebagai upaya untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugasnya ia tidak boleh didorong oleh pertimbangan uang.
5) Ia harus memegang teguh etik profesi. Sebab sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan hukum dan harus berbahasa Indonesia yang sempurna sesuai dengan perkembangan Bahasa Indonesia dan Nasional.”
Perilaku profesional yang harus dimiliki oleh notaris maksudnya adalah dalam
melakukan tugas profesionalnya harus diselaraskan dengan nilai-nilai
kemasyarakatan, nilai-nilai sopan santun, dan agama yang berlaku. Misalnya apabila
seseorang mengharapkan bantuannya dan orang itu tidak dapat mambayar karena
tidak mampu, demi profesionalnya ia harus memberikan jasanya semaksimal
mungkin dengan cuma-cuma. Dan notaris tersebut tidak boleh bersikap diskriminatif,
yakni membedakan antara orang yang mampu dan orang yang tidak mampu.
Memegang teguh kode etik profesi sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan
tugas profesi dengan baik, karena dalam kode etik profesi itulah ditentukan segala
perilaku yang harus dimiliki oleh seorang notaris. Notaris didalam dan diluar
jabatannya bertata kehidupan yang baik dan menyesuiakan diri dengan norma-norma
kebiasaan yang baik di tempat dimana ia bertugas.
Pasal 15 Undang-undang No. 30 tahun 2004 menyebutkan bahwa
kewenangan notaris adalah sebagai berikut :
1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan dan
2) Notaris berwenang pula :
a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
b) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
c) Membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
d) Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya. e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
g) Membuat akta risalah lelang.
3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan wewenang yang harus dimiliki oleh Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya, Notaris hanya diperkenankan untuk menjalankan
jabatannya di dalam daerah yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam UU Jabatan
Notaris dan di dalam daerah hukum tersebut Notaris mempunyai wewenang. Apabila
ketentuan itu tidak diindahkan, akta yang dibuat oleh Notaris menjadi tidak sah.
Adapun wewenang yang dimiliki oleh Notaris meliputi empat (4) hal yaitu sebagai
berikut :17
1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya
2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat. 4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
17
b. Pengertian Akta Notaris
“Akta18 adalah tulisan yang ditandatangani dan dipersiapkan /dibuat untuk
dipergunakan sebagai alat bukti bagi kepentingan orang untuk siapa akta itu
diperbuat.” Ketentuan pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
menyebutkan bahwa :
“ Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan
oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”.
Akta otentik yang dibahas dalam penelitian ini adalah akta otentik yang dibuat
oleh notaris. Apabila ditinjau menurut defenisinya, ada 3 unsur yang terkandung
dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yaitu :
1. Dibuat dalam bentuk menurut ketentuan undang-undang 19.
Mengingat notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta
otentik maka dalam hal pembuatan akta otentik harus memenuhi syarat/ketentuan
yang tercantum dalam pasal 38 undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 mengenai
bentuk dan sifat akta disebutkan :
a) Setiap akta notaris terdiri atas : (a) Awal akta atau kepala akta (b) Badan akta, dan
(c) Akhir atau penutup akta
b) Awal akta atau kepala akta memuat : (a) Judul akta
(b) Nomor akta
(c) Jam, hari, tanggal, bulan, tahun, dan
(d) Nama lengkap dan tempat kedudukan notaris
18
M.U. Sembiring, Teknik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notaris, Fakultas Hukum USU, Medan, 1997, hal 4.
19
c) Badan akta memuat :
(a) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan , kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili.
(b) Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap.
(c) Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan, dan
(d) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
d) Akhir atau penutup akta memuat :
(a) Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf I atau pasal 16 ayat (7)
(b) Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemah akta apabila ada.
(c) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal tiap-tiap aksi akta,dan
(d) Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.
Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabata umum terikat dengan
semua ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Jabatan Notaris dan Kode Etik
Notaris sendiri. Adapun yang menjadi tugas pokok dari notaris adalah membuat akta
otentik dan di dalam pembuatan akta tersebut, notaris harus mampu menguasai
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang bentuk dan formalitas dari akta notaris
itu, dengan tujuan agar akta otentik yang dibuat oleh notaris tetap mempunyai
otentisitasnya.
Dengan adanya otentisitas akta tersebut akan secara otomatis akan
memberikan perlindungan kepada notaris, pihak yang bersangkutan, dan termasuk
juga pihak-pihak yang membutuhkan jasanya. Perlindungan hukum terhadap diri
notaris dan pihak-pihak yang membutuhkan jasanya sangat penting karena itu notaris
harus menguasai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jabatannya.
dibuat akan terhindar dari kecacatan hukum, yang dapat menimbulkan akta tersebut
batal demi hukum atau akta tersebut dapat dibatalkan.
Di dalam pembuatan suatu akta notaris, notaris harus mengetahui terlebih
dahulu bentuk formal akta yang dibuatnya sehingga mempunyai kekuatan
pembuktian yang mengikat dan berlaku sebagai alat bukti yang sempurna dan jika
notaris tidak mengetahui bentuk formal akta maka akta yang dibuatnya hanya
mempunyai kekuatan seperti akta dibawah tangan saja.
Bentuk akta notaris diatur di ABM pasal 29 1921 yaitu dibuat dalam bentuk minuta
yang ditulis diatas kertas ukuran A3, tiap halaman terdiri dari maksimum 30 (tiga
puluh) baris, tiap baris maksimum terdiri dari 15 (lima belas) suku kata, sepertiga di
sebelah kiri dari halaman akta notaris tampak kosong dan dipergunakan untuk
mengisi renvooi apabila terjadi perubahan / penambahan pada suatu akta.20
Pengertian bentuk yang dimaksud dari akta otentik ialah syarat-syarat yuridis
yang harus dipenuhi seperti hari dan tanggal akta yang diperbuat, nama dan tempat
tinggal para penghadap, nama notaris yang membuat akta dan saksi-saksi yang
menyaksikan pembuatan akta tersebut. Sedangkan pengertian dari akta dibawah
tangan diuraikan dalam Pasal 1874 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yaitu : sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan diangap akta-akta yang ditandatangani
dibawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat rumah tangga dan lain-lain
tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.
20
Dengan memenuhi bentuk formal akta tersebut maka akta yang dibuat akan
mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan berlaku sebagai alat bukti yang
sempurna.
2. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang21
Dalam hal akta notaris yang berhak membuat akta otentik adalah notaris, sebab
notaris telah ditunjuk sebagai satu-satunya pejabat umum yang berhak membuat
semua akta otentik kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.
Akta notaris dibedakan dalam 2 bentuk yaitu :
a) Akta yang dibuat oleh (door een) notaris atau akta yang dinamakan ”akta
relaas” atau akta pejabat (ambtelijke akten). Akta jenis ini diantaranya akta
berita acara rapat pemegang saham Perseroan Terbatas (PT), akta pendaftaran
atau inventarisasi harta peninggalan, akta berita acara penarikan undian.
Akta relaas dibuat oleh notaris yang menguraikan secara otentik suatu
keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris sendiri, dibuat catatannya
(aktanya, didalam menjalankan tugas jabatannya selaku notaris).
b) Akta yang diperbuat dihadapan (ten overstaan van een) notaris atau yang
dinamakan akta partij (partij aktan). Akta jenis ini diantaranya jual beli, akta
sewa menyewa, akta perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan
sebagainya.
Akta partij dibuat para pihak dihadapan pejabat umum, pembuatan akta
otentik tersebut sepenuhnya berdasarkan kehendak dari para pihak dengan
21
bantuan pejabat umum. Isi akta otentik tersebut merupakan
keterangan/kehendak para pihak itu sendiri.
3. Dibuat dalam wilayah kerja notaris yang bersangkutan22
Walaupun seorang notaris berhak membuat akta otentik, akan tetapi apabila
pembuatan akta tersebut tidak dilakukan didaerah jabatannya maka aktanya tidak
otentik, sebab tidak memenuhi syarat pasal 1868 KUHPer maka akta tersebut
batal demi hukum. Akan tetapi ada pengecualian bahwa seorang notaris boleh
membuat akta diluar daerah jabatannya apabila jasanya sangat diperlukan
ditempat tersebut (dalam keadaan darurat).
Berdasarkan sifat suatu akta maka akta terdiri atas akta otentik dan akta
dibawah tangan. Kedua akta ini merupakan salah satu alat bukti yang dikenal dalam
Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1868 memberikan
pengertian dari akta otentik, bahwa akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk
yang ditentukan oleh Undang-undang, diperbuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.
Pegawai-pegawai umum disini maksudnya adalah notaris, Pegawai-pegawai-Pegawai-pegawai umum selain
notaris yang berhak membuat akta otentik adalah pejabat lain yang ditunjuk oleh
Undang-Undang.
Dari pengertian akta diatas maka dapat dibedakan antara akta otentik dengan
akta dibawah tangan, yaitu : akta otentik merupakan suatu bukti yang sempurna
tentang apa yang dimuat didalamnya, berarti bukti yang sempurna mengenai
kepastian tanggal, kepastian penandatanganan dan kepastian isi akta yang
22
dikehendaki para pihak. Sedangkan akta dibawah tangan dapat dilihat dari bunyi
Pasal 1867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan barang siapa
yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan dibawah tangan, diwajibkan secara tegas
mengakui atau memungkiri tanda tangannya, tetapi bagi para ahli warisnya atau
orang yang mendapat hak daripadanya adalah cukup jika mereka menerangkan tidak
mengakui tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili. Apabila timbul suatu
masalah tentang suatu perjanjian antara para pihak yang memerlukan pembuktian,
meskipun secara fisik perjanjian dimaksud ada, akan tetapi perjanjian dibuat dibawah
tangan, maka masih diperlukan pembuktian lebih lanjut dengan pembuktian atau
pemungkiran secara tegas oleh para pihak. Yang lebih menambah kesulitan akibat
dari perjanjian yang dibuat dibawah tangan adalah bahwa pemungkiran dari para ahli
waris ataupun yang mendapat hak dari salah satu pihak cukup dilakukan dengan
sebuah keterangan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan yang
mereka wakili.23
c. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik
Pembuktian merupakan titik sentral dari keseluruhan proses pemeriksaaan
perkara di sidang pengadilan, baik perkara perdata maupun perkara pidana. Dari
sinilah akan ditarik kesimpulan yang dapat mempengaruhi keyakinan hakim dalam
menilai perkara yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu hakim tidak boleh
menjatuhkan putusan tanpa terlebih dahulu dilakukan pembuktian. Pembuktian sangat
penting atas dikabulkan atau tidaknya suatu gugatan atau tuntutan baik dalam perkara
perdata maupun pidana.
23
Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang
ditemukan dalam persengketaan yang diajukan kepengadilan, atau memperkuat
kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah.24
Pengertian pembuktian tebagi atas beberapa bagian yaitu :25 1). Pembuktian Dalam Arti Logis
Dalam arti logis membuktikan berarti memberikan kepastian yang bersifat mutlak berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian yang demikian berlaku dilapangan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada aksioma, yaitu suatu dalil atau ketentuan yang sudah nyata dan tidak dapat dibantah kebenarannya.
2). Pembuktian Dalam Arti Konvensional
Mambuktikan dalam arti konvensional berarti juga memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan kepastian nisbi atau relatif sifatnya dan mempunyai tingkatan-tingkatan, yaitu kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka (conviction intime) dan kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonee)
3). Pembuktian Dalam Arti Yuridis
Membuktikan dalam arti yuridis adalah memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan, guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam sidang perkara pengadilan.
Didalam proses pembuktian, hakim menggunakan sarana atau alat untuk
memastikan kebenaran suatu peristiwa sehingga hakim dapat mengkonstatir
peristiwa, artinya hakim menganggap bahwa suatu peristiwa yang disampaikan
kepadanya diakui sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi diantara para
pihak yang bersengketa.
Tulisan-tulisan otentik maupun tulisan-tulisan dibawah tangan merupakan
suatu hal pembuktian dan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Didalam Pasal 1870 dan
24
R. Subekti (I) Op. Cit, hal 1.
25
1871 KUH Perdata dikemukakan bahwa akta otentik adalah sebagai alat pembuktian
yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang
mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik
merupakan bukti yang mengikat berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam
akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama
kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Dan ia
merupakan suatu bukti yang sempurna berarti bahwa ia sudah tidak memerlukan
suatu penambahan pembuktian. Jadi akta otentik dapat merupakan suatu alat bukti
yang mengikat dan sempurna.26
Kekuatan Pembuktian akta otentik, demikian juga akta notaris, adalah akibat
langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan bahwa ada
akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh
undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu. Dalam pemberian
tugas ini terletak kepercayaan kepada para pejabat tersebut dan pemberian kekuatan
pembuktian kepada akta-akta yang dibuat mereka.27
Pada setiap akta otentik termasuk akta notaris, dibedakan 3 (tiga) kekuatan
pembuktian, yakni :28
a. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijskract)
Kekuatan pembuktian lahiriah adalah kemampuan dari akta itu sendiri untuk
membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini berdasarkan Pasal
26
R. Subekti (I) Op. Cit, hal 27.
27
G.H.S. Lumban Tobing. Op. Cit, hal 56.
28
1875 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan tidak dapat diberikan kepada
akta yang dibuat dibawah tangan.
Pasal tersebut menyatakan bahwa :
”Suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya. Serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan pasal 1871 untuk tulisan itu”.
Pasal 1871 kitab undang-undang hukum perdata menyebutkan :
”Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat didalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selain sekedar apa yang dituturkan itu ada hubungan langsung dengan pokok isi akta. Jika apa yang termuat disitu sebagai suatu penuturan belaka maka tidak ada hubungan langsung dengan pokok isi akta, maka itu hanya dapat berguna sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.”
Lain halnya dengan akta otentik, akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya,
atau biasa disebut dalam bahasa latin ”acta publica probant sese ipsa”, yaitu suatu
akta kelihatannya sebagai akta otentik maka akta itu dianggap sebagai akta otentik
sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu adalah tidak otentik.
b. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht)
Kekuatan pembuktian formal adalah kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta
tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh
pihak-pihak yang menghadap. Dengan pembuktian formal ini suatu akta otentik
selain hanya membuktikan bahwa pejabat atau notaris telah menyatakan dengan
tulisan dalam akta yang dibuatnya, juga menegaskan bahwa segala kebenaran
yang diuraikan dalam akta itu seperti yang dilakukan dan disaksikan oleh notaris.
ini membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu dilihat, didengar dan
dilakukan oleh notaris juga menjamin kebenaran tentang tanggal, tanda tangan
dan identitas dari para pihak yang hadir serta tempat dibuatnya akta itu. Adapun
arti formal dalam akta para pihak, dapat dijelaskan adanya keterangan dalam akta
itu merupakan uraian yang telah diterangkan oleh para pihak yang hadir
sedangkan kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya dapat
dipastikan antara para pihak tersebut. Baik terhadap akta pejabat umum maupun
akta para pihak sama-sama mempunyai kekuatan pembuktian formal dan berlaku
terhadap setiap orang.
c. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht)
Kekuatan pembuktian material adalah kepastian bahwa apa yang disebut dalam
akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat
akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada
pembuktian sebaliknya (tegen bewijs).
Tentang pembuktian material, G.H.S. Lumban Tobing mengemukakan pendapatnya
bahwa :
”Akta notaris mengenai jual beli misalnya, tidak hanya menerangkan bahwa para pihak telah melakukan jual beli dihadapan notaris, akan tetapi juga membuktikan bahwa para pihak telah mencapai persetujuan mengenai perjanjian yang dimuat dalam akta itu, sehingga akta itu juga adalah untuk membuktikan tentang harga penjualan dan pembelian dan kebenaran dari apa yang diterangkan oleh para pihak mengenai itu.”
Pasal-pasal 1870, 1871 dan 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tersebut benar-benar telah terjadi. Artinya secara material isi dalam akta tersebut
adalah benar.
d. Pengawasan Terhadap Notaris
Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum untuk membuat
akta otentik diawasi oleh yang berwajib, dengan tujuan agar Peraturan jabatan Notaris
dan Kode Etik Notaris dapat dilaksanakan dengan baik dan notaris dalam
menjalankan tugasnya selalu memperhatikan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan oleh Undang-Undang demi terjaminnya kepastian hukum bagi
pihak-phak yang membuat perjanjian. Pengawasan yang dilakukan terhadap notaris sangat
beralasan karena notaris merupakan pejabat yang memberikan jasanya kepada
masyarakat dan memberikan penjelasan msengenai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris dan Undang-Undang
lainnya memberikan kepercayaan kepada notaris untuk menjalankan tugasnya.
Kepercayaan yang sudah diberikan kepada notaris merupakan tanggung jawab yang
harus diemban berdasarkan nilai-nilai agama, moral, kesusilaan, etika dan hukum.
Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum untuk membuat
akta otentik diawasi oleh yang berwajib berdasarkan Pasal 67 Undang-Undang
Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 dalam hal pengawasan notaris, disebutkan
bahwa : pengawasan terhadap notaris dilakukan oleh Menteri, dimana dalam
melaksanakan pengawasan tersebut menteri membentuk Majelis Pengawas, yang
terdiri atas 3 (tiga) Majelis Pengawasan terdiri dari unsur Departemen, Organisasi
Majelis Pengawasan Pusat, Majelis Pengawasan Daerah dan Majelis Pengawasan
Wilayah. Pengawasan terhadap notaris meliputi perilaku notaris dan pelaksanaan
jabatan notaris.
Hamid Awaluddin29 menegaskan bahwa pembentukan Majelis Pengawas
merupakan amanat Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
khususnya Pasal 67, yang menyatakan bahwa menteri berwenang melakukan
pengawasan terhadap notaris dan dalam melakukan pengawasan tersebut, menteri
membentuk Majelis Pengawas. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, pembinaan dan pengawasan notaris merupakan
wewenang Menteri Hukum dan HAM dengan Majelis Pengawasan.
Substansi pengawasan terhadap notaris tidak hanya dalam pelaksanaan
jabatan notaris, akan tetapi perilaku notaris juga harus diawasi Majelis Pengawas,
misalnya melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama,
norma kesusilaan dan norma adat dan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan
martabat notaris. Apabila notaris terbukti melakukan hal-hal tersebut maka dapat
dijadikan dasar untuk memberhentikan notaris dari jabatannya oleh Menteri
berdasarkan laporan dari Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah dan Pusat).30
Sehubungan dengan hal tersebut diatas bahwa pengambilan keputusan oleh
Majelis Pengawas untuk menjatuhkan sanksi kepda Notaris yang melakukan
29
Menteri Hukum dan HAM pada Kabinet Indonesia Bersatu, 2004-2009.
30
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik
Organisasi Notaris, dilakukan atas adanya pengaduan masyarakat yang dirugikan.31
Adapun tujuan dari pengawasan terhadap Notaris adalah supaya Notaris
memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut kepadanya tidak hanya oleh hukum
dan undang-undang, akan tetapi juga berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh
klien terhadap Notaris. Sifatnya dari jabatan Notaris maupun keluhuran dari martabat
jabatannya mengharuskan adanya tanggung jawab dan kepribadian serta etika hukum
yang tinggi, karena jabatan yang diamanatkan kepada Notaris adalah suatu jabatan
kepercayaan. Oleh sebab itu, seseorang yang telah bersedia untuk mempercayakan
sesuatu kepadanya dan adapun konsekuensi dari kepercayaan itu adalah tanggung
jawab yang besar bagi Notaris. Notaris yang tidak bertangung jawab dan tidak
menjunjung tinggi hukum dan martabat serta keluhuran jabatannya adalah berbahaya,
tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat yang dilayaninya.32
Mengingat kewenangan Notaris begitu luas dan sangat berpengaruh dalam
lalu lintas kehidupan masyarakat, maka perilaku dan perbuatan Notaris dalam
menjalankan jabatan profesinya rentan terhadap penyalahgunaan yang mungkin dapat
menimbulkan kerugian masyarakat, berdasarkan ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf a
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, mengamanatkan
agar dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban bertindak jujur, seksama,
31
Hadi Setia Tunggal, Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Jabatan Notaris, dilengkapi
Putusan Mahkamah Konstitusi dan AD, ART, dan Kode etik Notaris, Harvarindo, Jakarta, 2006. 32
mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan yang terkait dalam perbuatan
hukum.33
e. Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana
1) Hukum Pidana
Di setiap negara terdapat hukum yang mengatur mengenai negara,
pemerintahan dan masyarakat. Hukum yang dimaksud terbagi atas hukum tidak
tertulis dan hukum tertulis. Hukum tidak tertulis juga disebut hukum kebiasaan, yaitu
merupakan ketentuan-ketentuan yang lazim dipatuhi oleh masyarakat. Hal ini
termasuk sebagaian besar hukum adat di Indonesia. Sedangkan hukum tertulis
merupakan hukum yang dilengkapi dengan sanksi bagi yang melanggarnya dan harus
di taati oleh seluruh warga negara Indonesia, misalnya hukum publik, hukum perdata,
hukum pidana, hukum administrasi.34
Istilah ”hukuman” adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena
melanggar suatu norma hukum. Apabila yang dilanggar adalah norma disiplin,
ganjarannya adalah hukuman disiplin, untuk pelanggaran hukum perdata diberi
ganjaran hukum perdata, untuk pelanggaran hukum administrasi diberi ganjaran
hukuman administrasi dan ganjaran atas pelanggaran hukum pidana adalah hukuman
pidana. Sedangkan kata ”pidana” adalah derita, nestapa, pendidikan, penyeimbangan.
33
Yusril Ihza Mahendra, Makalah Tentang Penggunaan Terminologi Pejabat Umum Dalam
Tata Hukum Indonesia, Disampaikan pada Panel Diskusi dalam Rangka Pelaksanaan Kongres ke XIX
dan Up Grading Refreshing Course Ikatan Notaris Indonesia, Jakarta 25 Januari 2006.
34
Jadi, hukuman pidana berarti hukuman sebagai akibat dari dilanggarnya suatu norma
hukum pidana.35
Pengertian hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku
di suatu negara, yang membedakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
a) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya ;
b) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yanmg telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan ;
c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut.36
Pompe memberikan pendapatnya mengenai batasan hukum pidana, terjemahan
bebasnya adalah sebagai berikut :
”Hukum Pidana itu merupakan keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana, dan dimana pidana itu sebenarnya menjelma”.37
Dari batasan hukum pidana tersebut diatas, hukum pidana adalah :
1). Perbuatan-perbuatan yang diancam pidana atau syarat-syarat yang harus dipenuhi,
sehinga pengadilan menjatuhkan pidana ;
2). Hukum Pidana menetapkan dan mengumumkan reaksi yang akan diterima oleh
orang yang melakukan perbuatan yang dilarang.38
Dalam hukum pidana dikenal asas legalitas yaitu suatu asas yang paling
penting dalam hukum pidana. Asas legalitas ini dikenal dengan adagium ”nullum
35
E.Y. Kanter dan S.R Sianturi, Op. Cit hal 12.
36
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 1995, hal 1.
37
Ibid.
38
delictum noela poena praevia sine lege poenali” yang artinya tidak ada pidana tanpa
undang-undang. Jadi undang-undang menetapkan dan membatasi perbuatan mana dan
pidana (sanksi) mana yang dapat dijatuhkan kepada pelanggarnya.39
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdiri dari tiga buku, Buku I
berisi aturan umum hukum pidana, Buku II mengenai tindak pidana kejahatan dan
Buku III mengenai tindak pidana pelanggaran. Pembedaan dan pengelompokan
tindak pidana menjadi kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen)
didasarkan pada pemikiran bahwa :40
a) Pada kenyataannya dalam masyarakat ada sejumlah perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya sudah mengandung sifat terlarang (melawan hukum), yang karenanya pada pembuatnya patut dijatuhi pidana walapun kadang-kadang perbuatan itu tidak dinyatakan dalam undang-undang.
b) Disamping itu ada perbuatan-perbuatan yang baru mempunyai sifat terlarang dan kepada pembuatnya diancam dengan pidana setelah perbuatan itu dinyatakan dalam undang-undang.
2) Tindak Pidana
Tindak pidana / perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman / sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi pelakunya.41
Adapun unsur-unsur dari perbuatan pidana tersebut adalah sebagai berikut:42
a) Perbuatan (manusia)
Yang dimaksud dengan perbuatan manusia dalam unsur-unsur tindak pidana
adalah kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh pelaku
39
Kamoriah Enong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Alumni Bandung, 2002, hal 6. 40
Adamichazawi, Op.Cit hal 1
41
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit hal 15.
42
b) Yang Memenuhi rumusan dalam Undang-undang (Syarat formil)
Untuk dapat disebut sebagai tindak pidana, suatu perbuatan harus memenuhi
rumusan dalam undang-undang, hal ini sesuai dengan ketentuan asas legalitas
yakni bahwa tidak ada perbuatan yang tidak dilarang dan diancam dengan pidana,
apabila tidak ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan.
c) Bersifat melawan hukum (syarat materil)
Menurut Moeljatno (1983:21):
Disamping memenuhi syarat-syarat formil, maka perbuatan harus benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut
dilakukan sebab bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam
pergaulan masyarakat yang dicita-citakan yakni masyarakat yang bahagia, adil
dan sejahtera
Tindak pidana pemalsuan surat di dalam KUHP pada Buku II Bab XII tidak
dapat dilepaskan dari pengaturan tindak pidana pemalsuan yang diatur dalam code
penal di Perancis yang memberi pengertian pada kata ”Faux’ atau ”Pemalsuan”
obyeknya hanyalah ”ecretures” atau tulisan-tulisan saja.43
Menurut hukum Romawi yang dipandang sebagai ” de eigenlike falsum” atau
sebagai tindak pidana pemalsuan yang sebenarnya adalah pemalsuan surat-surat
berharga dan pemalsuan mata uang kemudian ditambah dengan sejumlah tindak
pidana yang sebenarnya tidak dapat dipandang sebagai pemalsuan, sehingga doktrin
menyebutkan Quasi Falsum atau pemalsuan yang sifatnya semu.44
43
P.A.F. Lamintang, Op. Cit, hal 1.
44