• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan usahatani karet dan kelapa sawit berkelanjutan di DAS batang pelepat kabupaten Bungo provinsi Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan usahatani karet dan kelapa sawit berkelanjutan di DAS batang pelepat kabupaten Bungo provinsi Jambi"

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN USAHATANI KARET DAN KELAPA SAWIT

BERKELANJUTAN DI DAS BATANG PELEPAT

KABUPATEN BUNGO PROVINSI JAMBI

S U N A R T I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perencanaan Usahatani Karet dan Kelapa Sawit Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan Belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 2009

Sunarti

(3)

SUNARTI. Sustainable farming systems for Rubber and Oil Palm Planning in Batang Pelepat Watershed Bungo District Jambi Province. Under direction of NAIK SINUKABAN, BUNASOR SANIM, and SURIA DARMA TARIGAN

Land for rubber and oil palm farmings in Batang Pelepat watershed were generally cultivated without adequate fertilization and soil and water conservation techniques. This practice caused high erosion and in turn gradually decreased land productivity and farmer’s income. The objectives of this research were:(1) to identify land characteristics and farming systems of rubber and oil palm (FSROP) types, (2) to study impacts of FSROP on land characteristic, run off and erosion (ROE) rate, crop production and farmer’s income and (3) to design sustainable FSROP. Identification of FSROP characteristics were carried out by using descriptive analysis. Impacts of FSROP on ROE was measured in small erosion plot and analyzed using variance analysis and Duncan New Multiple Range Test (DNMRT). The sustainable FSROP was formulated by simulation technique using universal of soil loss equation (USLE) and multiple goal programming models. The results of the research showed that farming system in Batang Pelepat watershed consisted of five types of rubber farming systems and two types of oil palm farming systems. All of those farming systems were not able to fulfill indicators of sustainable agriculture (ISA). Cultivated land resulted higher ROE than forest. However among the cultivated land sesap karet caused the lowest ROE (3.53 mm and 13.93 ton/ha/year). The sustainable FSROP could be accomplished by application of combination agrotechnologies including balance fertilization using urea, SP-36, KCl and MgSO4. Meanwhile, the ISA were accomplished by application of Legum Cover Crop (LCC) and countour cropping (on slope 3–14%) and LCC and gulud terrace (on slope 15–30%). The sesap karet I (mixed of rubber-manau-kayu sungkai) performed the most optimum ISA. The sesap karet I generated erosion of 0.61 – 3.46 ton/ha/year and the farmer’s income Rp18 320 000 –18 590 000/ha/year.

(4)

SUNARTI. Perencanaan Usahatani Karet dan Kelapa Sawit Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Dibimbing oleh NAIK SINUKABAN sebagai ketua, BUNASOR SANIM, dan SURIA DARMA TARIGAN sebagai anggota.

Pembukaan dan konversi hutan menjadi penggunaan lain, termasuk pengembangan pertanian telah terjadi di berbagai DAS di Indonesia. Fenomena ini juga terjadi di DAS Batang Pelepat, yang umumnya ditujukan untuk pengembangan usahatani karet dan kelapa sawit (UTKKS). Pembukaan dan konversi hutan menjadi lahan UTKKS di DAS Batang Pelepat dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek konservasi tanah dan air (KTA). UTKKS pun dikelola dengan berbagai agroteknologi yang tidak memadai sehingga menyebabkan erosi dan degradasi lahan serta rendahnya pendapatan petani. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab terjadinya perambahan hutan oleh masyarakat atau petani di kawasan ini; jika dibiarkan hal ini dapat mengancam kelestarian Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) karena kawasan hulu DAS Batang Pelepat merupakan kawasan penyangga TNKS. Perencanaan UTKKS yang komprehensif sangat diperlukan untuk mewujudkan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi karakteristik lahan dan tipe UTKKS, (2) mengkaji pengaruh tipe UTKKS terhadap sifat-sifat tanah, aliran permukaan dan erosi dan (3) menyusun perencanaan UTKKS berkelanjutan.

Penelitian ini menggunakan metode survei dan pengukuran lapangan dalam mengumpulkan data biofisik (karakteristik lahan dan tipe UTKKS, sifat-sifat tanah, aliran permukaan dan erosi pada setiap tipe UTKKS) dan sosial ekonomi (luas lahan, input yang digunakan, pendapatan dan karakteristik petani). Karakteristik lahan dan tipe UTKKS dianalisis secara deskriptif, sedangkan pengaruh tipe UTKKS terhadap sifat-sifat tanah, aliran permukaan dan erosi dianalisis dengan analisis ragam (uji F) dan uji jarak berganda duncan pada taraf kepercayaan 95% (α=0.05). Selanjutnya UTKKS berkelanjutan diformulasi melalui teknik simulasi dengan menggunakan model USLE dan program tujuan ganda (multiple goal programming).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAS Batang Pelepat terdiri atas 23 satuan lahan (SL) yang mempunyai tingkat kesuburan yang tergolong sangat rendah – rendah. Lahan tergolong kelas II, III, IV, VI dan VII dengan faktor penghambat utamanya berupa lereng (l) yang tergolong miring hingga sangat curam, erosi (e) yang tergolong ringan hingga sangat berat dan kondisi drainase (d) yang tergolong agak baik hingga agak buruk. Sebagian besar lahan tergolong kelas cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) untuk usahatani karet dan kelapa sawit dengan faktor pembatas berupa kejenuhan basa dan pH yang rendah (nr) serta kemiringan lereng (eh).

(5)

Tipe MK I menunjukkan pengaruh paling buruk terhadap sifat-sifat tanah, aliran permukaan dan erosi dibandingkan dengan tipe UTKKS lainnya dan hutan. Tipe MK I mengakibatkan tingkat kepadatan tanah paling tinggi (BI =1.14 g/cm3) sehingga menyebabkan aliran permukaan dan erosi paling tinggi (6.92 mm dan 0.58 ton/ha), sedangkan tipe SK dengan BI = 0.92 g/cm3 menyebabkan aliran permukaan dan erosi paling rendah (3.53 mm dan 0.12 ton/ha). Berdasarkan prediksi erosi pada lahan pertanian diketahui bahwa semua tipe UTKKS menyebabkan erosi yang melebihi erosi yang dapat ditoleransikan (Etol), kecuali pada lereng 2% (2.78 – 22.23 ton/ha/tahun) dan akibat penerapan tipe SK pada kemiringan lereng 7% sebesar 12.27 ton/ha/tahun. Erosi yang lebih rendah pada tipe sesap karet (SK) dibandingkan dengan tipe usahatani lainnya disebabkan karena sistem pengelolaan pada tipe SK mengakibatkan kapasitas penutupan lahan yang lebih rapat dan jumlah serasah yang lebih banyak dibandingkan tipe usahatani lainnya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semua sifat-sifat tanah pada lahan UTKKS menunjukkan perbedaan dengan tanah hutan. Hutan dengan kepadatan tanah 0.81 g/cm3 menyebabkan aliran permukaan (0.12 mm) dan erosi (1.20x10-6 kg/ha) yang lebih kecil dibandingkan dengan aliran permukaan dan erosi pada lahan UTKKS.

Perbedaan sistem pengelolaan pada setiap tipe UTKKS juga mengakibatkan perbedaan terhadap produksi tanaman sehingga pendapatan juga bervariasi (Rp5 800 000 – 59 360 000). Pendapatan yang diperoleh dari setiap tipe UTKKS per tahun dari 2 hektar lahan yang dikelola petani belum dapat mencukupi kebutuhan hidup petani secara layak (Rp18 000 000/KK/tahun), kecuali pendapatan dari tipe usahatani KRG yang mencapai Rp 59 360 000/ha/tahun atau Rp118 720 000/2ha/tahun karena gaharu mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, yaitu harga jual gubal Rp2 000 000/kg. Tipe UTKKS lainnya (Rp11 200 000 – 16 200 000/2ha/tahun) hanya dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum bagi petani (Rp7 200 000/KK/tahun). Tipe usahatani yang layak hanya tipe MK I, KRG, MKS dan KSP, padahal populasi petani tipe tersebut hanya sebagian kecil. Sebaliknya petani tipe SK I, SK II dan MK II merupakan populasi petani yang dominan di DAS Batang Pelepat, namun tipe usahatani ini tergolong tidak layak.

Berdasarkan analisis erosi dan pendapatan di atas, semua tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat tidak menunjukkan indikator berkelanjutan sehingga memerlukan alternatif agroteknologi yang dapat diterima dan diterapkan petani sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki. Semua tipe UTKKS (kecuali KRG) dapat dijadikan alternatif dalam pemilihan tipe usahatani berkelanjutan yang local based, sedangkan alternatif penyempurnaan agroteknologi aktual terdiri atas 2 skenario.

Skenario agroteknologi 1 (SA1) adalah pengaturan jarak tanam pada tipe SK (penanaman baru) dan pemupukan berdasarkan rekomendasi Balitbang Pertanian (2005), yaitu pemberian pupuk urea, TSP dan KCl masing-masing sebanyak 100, 50 dan 50 kg/ha/tahun untuk karet dan untuk kelapa sawit diberikan pupuk NPK sebanyak 0.22 – 0.45 kg/pohon/tahun dan MgSO4

(6)

pengaturan jarak tanam dan teknik KTA yang sama seperti SA1.

Hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan SA1 dapat meningkatkan produksi tanaman sehingga pendapatan petani pun meningkat menjadi Rp13 370 000 – 16 350 000/ha/tahun, meskipun biaya yang dikeluarkan untuk usahatani juga meningkat (Rp 1 290 000 – 2 440 000/ha). Pemanfaatan sebagian (2 ha) atau seluruh (5 ha) lahan milik petani mengakibatkan pendapatan melampaui standar KHL (PKHL). Penerapan SA1 juga menyebabkan erosi pada setiap tipe UTKKS lebih kecil dibandingkan dengan Etol (21.31 – 43.12 ton/ha/tahun). Erosi pada SK I dan SK II adalah 0.61 – 3.46 ton/ha/tahun, pada MK adalah 4.91 – 27.72 ton/ha/tahun dan pada MKS dan KSP adalah 3.07 – 17.32 ton/ha/tahun. Peningkatan pendapatan dan penurunan erosi disebabkan oleh penyempurnaan agroteknologi yang dilengkapi dengan penerapan teknik pemupukan dan KTA yang efektif meningkatkan produksi dan mengendalikan erosi.

Penerapan SA2 juga meningkatkan produksi tanaman sehingga pendapatan yang diperoleh dari usahatani juga meningkat menjadi Rp13 980 000 – 18 590 000/ha/tahun, meskipun membutuhkan biaya yang lebih besar (Rp1 430 000 – 3 040 000/ha). Pemanfaatan sebagian (2 ha) dan seluruh (5 ha) lahan milik petani menyebabkan pendapatan yang diperoleh petani melampaui standar KHL. Peningkatan produksi dan pendapatan yang dicapai dengan menerapkan SA2 juga diikuti dengan penurunan erosi hingga di bawah Etol (sebagaimana penerapan SA1).

Penerapan SA1 dan SA2 tersebut pada setiap tipe UTKKS menyebabkan setiap tipe UTKKS mencapai indikator berkelanjutan. Tingkat erosi akibat penerapan SA1 sama dengan tingkat erosi akibat penerapan SA2, namun tingkat pendapatan yang dicapai akibat penerapan SA1 lebih rendah dibandingkan dengan akibat penerapan SA2. Peningkatan pendapatan dan penurunan erosi akibat penerapan keduanya juga berbanding lurus dengan diversivitas tanaman yang digunakan pada setiap tipe UTKKS. Biaya yang diperlukan untuk menerapkan SA1 dan SA2 masih dapat terpenuhi oleh ketersediaan modal yang dimiliki petani.

Hasil analisis program tujuan ganda menunjukkan bahwa usahatani berkelanjutan yang paling optimal diterapkan di DAS Batang Pelepat adalah sesap karet I (karet-manau-kayu sungkai) yang disertai penerapan SA2. Tipe usahatani tersebut saat ini hanya optimal diterapkan petani dengan lahan seluas 2 ha, karena modal yang dibutuhkan lebih kecil yang modal yang dimiliki petani (Rp2 860 000 – 3 400 000), sedangkan penerapannya pada lahan seluas 5 ha memerlukan modal lebih besar dari modal yang dimiliki petani (Rp7 200 000 – 8 500 000). Usahatani optimal tersebut layak dan menguntungkan untuk dikembangkan di DAS Batang Pelepat, karena mempunyai B/C=2.94 – 3.74, NPV=Rp43 045 267 341.42 – 50 567 341.42 dan IRR=37.15 – 43.25%). Penerapan usahatani optimal dapat menurunkan erosi 0.61 – 3.46 ton/ha/tahun dan meningkatkan pendapatan sebesar Rp18 320 000 – 18 590 000/ha/tahun.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

PERENCANAAN USAHATANI KARET DAN KELAPA SAWIT

BERKELANJUTAN DI DAS BATANG PELEPAT

KABUPATEN BUNGO PROVINSI JAMBI

S U N A R T I

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Sunaryo, M.Sc

(10)

Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi

Nama : Sunarti

NIM : A262040011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, M.Sc Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan DAS

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(11)

Buat anak-anakku tersayang, Raidan dan Adli :

(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2006 ini adalah pengembangan usahatani karet dan kelapa sawit, dengan judul "Perencanaan Usahatani Karet dan Kelapa Sawit Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing

yang telah banyak memberikan arahan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan kuliah dan penulisan disertasi ini. Selanjutnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing atas kesediaannya memberikan masukan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi.

2. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Sekolah Pascasarjana IPB, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh program doktor di PS DAS Sekolah Pascasarjana IPB dan pelayanan serta fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menempuh studi program doktor.

3. Rektor Universitas Jambi dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jambi yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program doktor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Sekolah Pascasarjana IPB.

4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS kepada penulis untuk mengikuti program doktor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sekolah Pascasarjana IPB serta mendanai sebagian penelitian disertasi ini melalui program Hibah Pascasarjana yang diketuai oleh Bapak Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, M.Sc dan Dr. Ir. H. Yusman Syaukat, M.Ec dan Dr. Ir. H. Muhammad Nur Aidi, M.Si sebagai anggota tim peneliti.

5. Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan terbuka, atas motivasi yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti kuliah di PS DAS dan masukan dalam penyempurnaan disertasi ini.

6. Bapak Dr. Ir. Sunaryo, M.Sc dari Departemen Kehutanan RI, atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka dan saran dalam penyempurnaan disertasi ini.

7. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan BP DAS Batanghari atas pelayanan, kerjasama dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama penelitian, terutama dalam pengumpulan data.

8. Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Perangkat Desa yang tercakup dalam kecamatan Pelepat atas kerjasama dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama melaksanakan penelitian.

9. Dr. Ir. D. Subardja, M.Sc, Drs. Yayat Hadian, M.Si, Ir. Rudi Eko, M.Sc dan Ir. Erna Suryani, M.Si atas bantuannya dalam penyediaan data karakteristik lahan dan spasial.

(13)

diberikan kepada penulis dan anak-anak tersayang Muhammad Raidan Azani dan Muhammad Adli Rahmat Solihin atas pengertian, pengorbanan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan studi.

12. Seluruh keluarga atas pengertian dorongan dan kasih sayang yang dilimpahkan kepada penulis.

13. Dr. Ir. Apik Karyana, M.Sc dan Ir. Henny H, M.Si yang juga telah banyak memberikan perhatian, sumbangan pemikiran dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini.

14. Rekan-rekan dari LSM, yaitu Edi Harfia Surma, SP, Lambok SP dan Marzoni, SP (Gita Buana Club & ACM) dan Ir. Rudisyaf dan Ir. Rahmat (Warsi) yang telah membantu pelaksanaan penelitian di lapangan dan memberikan informasi untuk melengkapi data penelitian ini.

15. Rekan-rekan yang terlibat dalam penelitian Hibah Pasca, yaitu Dr. Ridwansyah, SE, M.Sc, Dr. Ir. Ardi Novra, MS, Dr. Ir. Hutwan Syarifuddin, MP dan Idham Khalid, SP, M.Si atas sumbangan pemikiran dan bantuannya dalam pengumpulan data.

16. Rekan-rekan Program Studi Pengeloaan DAS dan Program Studi lainnya atas apresiasi, do’a dan motivasi kepada penulis selama mengikuti kuliah hingga menyelesaikan disertasi ini.

17. Suseno, SP, Budi Hermansyah, SP dan Yuli, SP yang telah banyak membantu penulis selama melaksanakan penelitian di lapangan dan laboratorium dan entry data.

18. Semua pihak yang telah membantu penulis tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2009

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 27 Desember 1973 sebagai anak kedua dari pasangan H. Darkutni, S.H dan Hj. Ruaida. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jambi, lulus pada tahun 1996. Pada tahun 1996, penulis diterima di Program Studi Ilmu Tanah Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS Dirjen Pendidikan Tinggi.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Jambi sejak tahun 1999. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti ialah konservasi tanah.

(15)

i Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ...vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan masalah ... 5

Kerangka Pemikiran ... 6

Tujuan Penelitian ... 8

Manfaat Penelitian ... 9

TINJAUAN PUSTAKA ... 10

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ... 10

Konsep Pertanian Berkelanjutan ... 11

Usahatani Karet dan Kelapa Sawit ... 13

Usahatani Karet ... 13

Usahatani Kelapa Sawit... 17

Analisis Usahatani ... 20

Erosi dan Faktor-Faktor Penyebabnya ... 22

Dampak Penggunaan Lahan terhadap Erosi ... 28

Perencanaan Penggunaan Lahan Pertanian ... 29

Klasifikasi Kemampuan Lahan ... 31

Kesesuaian Lahan ... 34

Program Tujuan Ganda ... 35

METODOLOGI PENELITIAN ... 38

Waktu dan Tempat Penelitian ... 38

Bahan dan Alat ... 38

Metode Penelitian ... 38

Persiapan ... 38

Pengumpulan Data ... 40

Analisis Data... 44

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 56

Letak Geografis ... 56

Penduduk ... 56

Iklim ... 57

Hidrologi ... 57

Tanah ... 58

Penggunaan Lahan ... 59

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 60

Karakteristik Lahan DAS Batang Pelepat ... 60

Satuan Lahan di DAS Batang Pelepat ... 60

Kemampuan Lahan di DAS Batang Pelepat ... 62

(16)

Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Sifat-Sifat Tanah di DAS Batang

Pelepat ... 71

Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Aliran Permukaan dan Erosi di DAS Batang Pelepat ... 74

Karakteristik Sosial Ekonomi DAS Batang Pelepat ... 80

Karakteristik Petani Karet dan Kelapa Sawit di DAS Batang Pelepat 80 Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Produksi Tanaman ... 81

Pengaruh Tipe UTKKS terhadap Pendapatan dan Kelayakan Usahatani di DAS Batang Pelepat ... 84

Perencanaan UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat ... 86

Alternatif Tipe dan Agroteknologi UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat ... 86

Optimalisasi UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat ... 96

Penerapan UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat ... 99

KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

Kesimpulan ... 104

Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 107

LAMPIRAN ... 116

(17)

iii Halaman

1 Perkembangan luas tanam dan produksi karet di kecamatan Pelepat tahun 2000-2004 ... 14

2 Rekomendasi takaran pupuk dan frekuensi pemupukan tanaman karet sesuai dengan umur tanaman ... 15

3 Perkembangan luas tanam dan produksi kelapa sawit di kecamatan Pelepat tahun 2000-2004 ... 18

4 Rekomendasi takaran pupuk dan frekuensi pemupukan kelapa sawit sesuai dengan umur tanaman ... 19

5 Perbandingan analisis finansial dan ekonomi ditinjau dari beberapa unsur .. 21

6 Pengaruh beberapa faktor terhadap proses dan tingkat erosi tanah ... 23

7 Pengaruh tipe penggunaan lahan terhadap kehilangan tanah di beberapa daerah tangkapan DAS Citarum tahun 2000 ... 29

8 Pengaruh beberapa kategori penggunaan lahan terhadap kehilangan tanah di Australia tahun 2004 ... 29

9 Jumlah sampel responden petani yang ditetapkan berdasarkan tipe UTKKS yang terdapat di DAS Batang Pelepat ... 40

10 Jenis, sumber, teknik pengumpulan dan kegunaan data penelitian ... 41

11 Perlakuan masing-masing petak erosi yang ditentukan berdasarkan tipe UTKKS serta kelompok kemiringan lereng untuk pengukuran erosi di lapangan ... 43

12 Sebaran jumlah penduduk, jumlah KK dan jumlah jiwa/KK pada setiap desa di DAS Batang Pelepat berdasarkan jenis kelamin tahun 2003 ... 56

13 Fluktuasi tinggi muka air dan debit pada setiap bulan di DAS Batang Pelepat berdasarkan data tahun 1985 -2005 ... 58

14 Sebaran dan luas setiap jenis tanah (berdasarkan grup) di DAS Batang pelepat ... 59

15 Distribusi alokasi luas tipe penggunaan lahan di DAS Batang Pelepat tahun 1986, 1994 dan 2005 ... 59

16 Karakteristik satuan lahan yang terdapat di DAS Batang Pelepat ... 61

17 Sebaran kelas kemampuan lahan di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan ... 62

(18)

19 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk kelapa sawit di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan ... 64

20 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk padi ladang di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan ... 64

21 Sebaran kelas kesesuaian lahan untuk pisang di DAS Batang Pelepat berdasarkan satuan lahan ... 65

22 Sebaran luas lahan berbagai tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat berdasarkan peta satuan lahan tahun 2005 ... 66

23 Deskripsi karakteristik setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat ... 67

24 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap kepadatan dan pori tanah di DAS Batang Pelepat tahun 2006 ... 71

25 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap permeabilitas dan kapasitas infiltrasi tanah di DAS Batang Pelepat tahun 2006... 72

26 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap kadar COT, persentase dan indeks kemantapan agregat tanah di DAS Batang Pelepat tahun 2006 ... 72

27 Pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap aliran permukaan dan erosi tanah di DAS Batang Pelepat tahun 2006 ... 75

28 Sebaran jumlah petani karet dan kelapa sawit berdasarkan tipe usahatani pada setiap desa di DAS Batang Pelepat tahun 2006 ... 80

29 Sebaran luas kepemilikan lahan dan luas lahan usahatani per KK pada setiap desa di DAS Batang Pelepat tahun 2006 ... 80

30 Sebaran tingkat pendidikan petani karet dan kelapa sawit di DAS Batang Pelepat tahun 2006 ... 81

31 Sebaran produksi karet, kelapa sawit dan tanaman sela pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat ... 81

32 Distribusi biaya, penerimaan dan pendapatan setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat ... 84

33 Pengaruh tipe UTKKS terhadap tingkat kelayakan usahatani di DAS Batang Pelepat ... 86

34 Deskripsi skenario agroteknologi 1 (SA1) dan skenario agroteknologi 2 (SA2) pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat ... 87

35 Sebaran produksi tanaman karet, kelapa sawit dan tanaman sela pada setiap tipe UTKKS akibat penerapan SA1 di DAS Batang Pelepat ... 90

(19)

37 Pengaruh penerapan SA1 terhadap kebutuhan luas lahan minimal setiap tipe UTKKS pada berbagai kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat ... 91

38 Pengaruh penerapan SA1 terhadap tingkat kelayakan setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat pada setiap kemiringan lereng ... 92

39 Sebaran produksi tanaman karet, kelapa sawit dan tanaman sela pada setiap tipe UTKKS akibat penerapan SA2 di DAS Batang Pelepat ... 94

40 Pengaruh penerapan SA2 terhadap biaya, penerimaan dan pendapatan pada setiap UTKKS di DAS Batang Pelepat ... 95

41 Pengaruh penerapan SA2 terhadap kebutuhan luas lahan minimal setiap tipe UTKKS pada berbagai kemiringan lereng di DAS Batang Pelepat ... 95

42 Pengaruh penerapan SA2 terhadap tingkat kelayakan setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat pada setiap kemiringan lereng ... 96

43 Pengaruh penerapan SA1 dan SA2 terhadap persentase tingkat ketercapaian (d+) dan ketidaktercapaian target (d-) usahatani optimal di DAS Batang Pelepat pada lahan seluas 2 ha dan berbagai kemiringan lereng... 97

(20)

vi Halaman

1 Kerangka pemikiran perencanaan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat ... 7

2 Fase-fase atau tahapan perencanaan pengelolaan DAS ... 11

3 Skema parameter USLE berdasarkan pengelompokan variabel faktor fisik dan pengelolaannya ... 27

4 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan macam penggunaan lahan ... 32

5 Diagram alir tahapan penelitian dan analisis data ... 39

6 Variasi curah hujan dan jumlah hari hujan setiap bulan di DAS Batang Pelepat berdasarkan data curah hujan tahun 1985 – 2005... 57

7 Komposisi tanaman karet dan gaharu pada tipe usahatani KRG di DAS Batang Pelepat ... 69

8 Komposisi tanaman kelapa sawit dan pisang pada tipe usahatani KSP di DAS Batang Pelepat ... 70

9 Pengaruh berat serasah pada setiap tipe UTKKS dan HS terhadap berat volume dan total ruang pori tanah di DAS Batang Pelepat ... 73

10 Pengaruh berat serasah terhadap permeabilitas dan kapasitas infiltrasi tanah di DAS Batang Pelepat ... 73

11 Pengaruh berat serasah terhadap aliran permukaan dan erosi tanah serta konsentrasi sedimen di DAS Batang Pelepat ... 76

12 Pengaruh bobot isi tanah terhadap aliran permukaan dan erosi tanah di DAS Batang Pelepat ... 76

13 Prediksi erosi dan Etol pada setiap SL yang digunakan sebagai lahan pertanian dan non pertanian di DAS Batang Pelepat ... 78

14 Pengaruh penerapan berbagai tipe UTKKS pada berbagai kemiringan lereng terhadap erosi di DAS Batang Pelepat ... 79

15 Perbandingan sebaran produksi karet berdasarkan umur tanaman pada setiap tipe usahatani karet di DAS Batang Pelepat ... 82

16 Perbandingan sebaran produksi TBS berdasarkan umur tanaman di DAS Batang Pelepat dengan potensi produksi pada lahan kelas S3 ... 83

(21)

18 Pengaruh penerapan SA1 pada setiap tipe UTKKS terhadap pendapatan dan erosi pada lahan seluas 2 ha dengan kemiringan lereng yang berbeda di DAS Batang Pelepat ... 88

19 Pengaruh penerapan SA1 pada setiap tipe UTKKS terhadap pendapatan dan erosi pada lahan seluas 5 ha dengan kemiringan lereng yang berbeda di DAS Batang Pelepat ... 89

20 Pengaruh penerapan SA2 pada setiap tipe UTKKS terhadap pendapatan dan erosi pada lahan seluas 2 ha dengan kemiringan lereng yang berbeda di DAS Batang Pelepat ... 93

21 Pengaruh penerapan SA2 pada setiap tipe UTKKS terhadap pendapatan dan erosi pada lahan seluas 5 ha dengan kemiringan lereng yang berbeda di DAS Batang Pelepat ... 93

22 Peta sebaran arahan penerapan agroteknologi UTKKS berkelanjutan dan penggunaan lahan di sub DAS Batang Pelepat ... 100

(22)

viii Halaman

1 Penyebaran perkebunan karet dan kelapa sawit di Provinsi Jambi ... 116

2 Kriteria kesesuaian lahan untuk karet ... 117

3 Kriteria kesesuaian lahan untuk kelapa sawit ... 118

4 Kriteria kesesuaian lahan untuk padi ladang ... 119

5 Kriteria kesesuaian lahan untuk pisang ... 120

6 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan ... 121

7 Peta Administrasi DAS Batang Pelepat... 124

8 Kriteria penilaian struktur tanah dan permeabilitas tanah ... 125

9 Nilai faktor C dengan pertanaman tunggal ... 126

10 Nilai faktor tindakan konservasi (P) dan pengelolaan tanaman (CP) ... 127

11 Faktor kedalaman beberapa sub order tanah ... 128

12 Kedalaman tanah minimum untuk berbagai jenis tanaman ... 129

13 Sebaran produksi tanaman yang digunakan pada beberapa tipe usahatani sesuai umur dan takaran pupuk yang digunakan ... 130

14 Harga pasar yang digunakan dalam analisis usahatani ... 131

15 Sebaran curah hujan rata-rata bulanan di DAS Batang Pelepat tahun 1985 – 2005 ... 132

16 Peta Penggunaan Lahan di DAS Batang Pelepat ... 133

17 Peta tanah di DAS Batang Pelepat ... 134

18 Peta Lereng di DAS Batang Pelepat ... 135

19 Peta satuan lahan di DAS Batang Pelepat ... 136

20 Sifat Fisik dan sifat kimia tanah satuan lahan di DAS Batang Pelepat ... 137

21 Penilaian kelas kemampuan lahan pada setiap satuan lahan di DAS Batang Pelepat ... 139

22 Peta sebaran kelas kemampuan lahan di DAS Batang Pelepat ... 140

23 Evaluasi kesesuaian penggunaan lahan aktual dan kelas kesesuaian di DAS Batang Pelepat untuk beberapa komoditi pertanian... 141

(23)

25 Analisis statistik pengaruh tipe UTKKS dan hutan terhadap beberapa sifat tanah, aliran permukaan dan erosi tanah pada petak erosi ... 146

26 Curah hujan bulanan (cm) dan nilai erosivitas (R) di DAS Batang Pelepat ... 150

27 Prediksi erosi pada setiap SL di DAS Batang Pelepat akibat penggunaan lahan aktual ... 151

28 Perhitungan erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) pada setiap satuan lahan di DAS Batang Pelepat ... 152

29 Prediksi erosi pada beberapa kemiringan lereng lahan akibat penerapan berbagai teknik KTA pada setiap tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat ... 153

30 Analisis pendapatan dan kelayakan Usahatani sesuai dengan skenario agroteknologi yang diterapkan ... 154

31 Nilai CP Maksimum pada setiap satuan lahan di DAS Batang Pelepat ... 155

(24)

1 Latar Belakang

Sumberdaya alam dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) adalah vegetasi, tanah dan air serta jasa-jasa lingkungan yang merupakan modal bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan, sumberdaya alam telah dimanfaatkan dengan prinsip orientasi ekonomi sesaat, terutama hutan dan lahan. Menurut Kartodihardjo et al. (2004), pemanfaatan lahan dalam DAS umumnya kurang memperhatikan keterkaitan unsur-unsur penyusun sistem DAS, padahal kondisi daya dukung lingkungan DAS ditentukan oleh banyak faktor yang mempunyai hubungan dan keterkaitan yang kompleks. Prinsip pemanfaatan yang demikian merupakan salah satu penyebab kerusakan DAS di Indonesia.

Gambaran kerusakan DAS di Indonesia dapat dilihat berdasarkan jumlah DAS prioritas yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum No : 19 tahun 1984 – No : 059/Kpts-II/1984 – No : 124/kpts/1984 tanggal 4 April 1984 tentang penanganan konservasi tanah dalam rangka pengamanan DAS prioritas, tahun 1984 terdapat 22 DAS super prioritas (Arsyad 2006). Berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 284/Kpts-II/1999 tentang penetapan urutan prioritas DAS, jumlah DAS prioritas meningkat hingga 472 DAS. Daerah aliran sungai (DAS) tersebut terdiri atas 62 DAS Prioritas I, 232 DAS Prioritas II dan 178 DAS Prioritas III (Ditjen RRL Dephut 1999). Jumlah DAS prioritas I pada tahun 2004 telah meningkat pula menjadi 65 DAS (Ditjen Sumberdaya Air 2004).

Daerah aliran sungai (DAS) Batanghari merupakan salah satu DAS yang mewakili gambaran umum kondisi DAS di Indonesia yang menunjukkan degradasi pengelolaan hutan dan lingkungan hidup (Direktorat KKSDA BAPPENAS 2007) dan merupakan DAS kedua terbesar di Indonesia. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 284/1999, DAS Batanghari termasuk dalam kategori DAS prioritas I (Ditjen RRL Dephut 1999). Daerah aliran sungai (DAS) Batanghari dengan luas ± 4.5 juta ha meliputi wilayah Provinsi Jambi, Sumatera Barat dan Riau dan mempunyai nilai yang sangat strategis bagi masyarakat sekitarnya.

(25)

berdasarkan frekuensi dan besaran banjir yang sulit diprediksi. Banjir besar pernah terjadi tahun 1996; muka air sungai Batanghari naik hingga 4 m dan kembali terjadi pada tahun 2002 dan tahun 2003 (Sihite dan Pasaribu 2004). Banjir yang terjadi di DAS Batanghari disebabkan oleh sedimentasi sehingga terjadi pendangkalan sungai dan pada musim hujan air sungai meluap.

Sedimentasi dan pendangkalan sungai mengancam nilai strategis DAS Batanghari, diantaranya telah menyebabkan menurunnya debit aliran sungai Batang Siat yang merupakan sumber air irigasi Sungai Dareh dan Sitiung (SEDASI) di Sumatera Barat. Penurunan debit sungai Batang Siat selama 15 tahun terakhir adalah 10.5 m3/det (tahun 1986) menjadi 6.1 m3/det (tahun 2001) sehingga kapasitas aliran irigasi ini menurun 67%. Sedimentasi juga mengancam rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di DAS Batang Merao dan Batang Merangin-Tembesi (Tim Peneliti Bioregion DAS Batanghari 2003). Daerah aliran sungai (DAS) Merangin mempunyai tingkat sedimentasi tertinggi dibandingkan dengan sub DAS yang lain, yaitu 189.43 juta ton/tahun (Depkimpraswil 2003). Pendangkalan sungai akibat sedimentasi juga terjadi di DAS Batanghari hilir sehingga operasional Pelabuhan Samudera ”Muara Sabak” pun terganggu karena keperluan navigasi kapal dengan bobot 5 000 DWT hanya dapat dipenuhi jika dilakukan pengerukan sedimen sebesar 350 000 m3/tahun (JICA 2002).

Sedimentasi di DAS Batanghari diduga berasal dari erosi di kawasan hulu. Erosi di DAS Batanghari menggambarkan telah rusaknya daerah resapan terutama di bagian hulu sehingga run off meningkat (koefisien run off sebesar 0.475). Berdasarkan kriteria yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 52 tahun 2001, koefisien rejim sungai kawasan hulu DAS Batanghari (120) pun telah mengindikasikan terjadinya kerusakan (Depkimpraswil 2004).

Daerah aliran sungai (DAS) Batanghari terdiri atas 5 sub DAS, yaitu Batanghari Hulu, Batang Tebo, Batang Tabir, Batang Merangin-Tembesi, dan Batanghari Hilir. Sub DAS yang mempunyai tingkat erosi paling tinggi adalah DAS Batang Tebo (kawasan hulu DAS Batanghari) yaitu 184.73 ton/ha/tahun (Depkimpraswil 2004). Secara administratif DAS Batang Tebo termasuk dalam Kabupaten Bungo dan terdiri atas tiga sub DAS, yaitu Batang Pelepat, Batang Bungo dan Batang Ule (BPDAS Batanghari 2002).

(26)

Pemerintah Kabupaten Bungo, Pemerintah Provinsi Jambi, swasta (pengusaha) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti ICRAF, CIFOR dan WARSI dibandingkan dengan DAS Batang Bungo dan Batang Ule. Hal ini disebabkan oleh potensi sumberdaya alamnya, namun beberapa tahun belakangan ini setiap musim hujan di DAS Batang Pelepat selalu terjadi banjir. Informasi terakhir pada awal Pebruari 2006 telah terjadi banjir bandang yang merusak beberapa fasilitas/sarana umum dan menggenangi lahan-lahan pertanian di beberapa desa di kecamatan Pelepat (Rantel, Balai Jaya, Rantau Keloyang, Baru Pelepat dan Batu Kerbau). Banjir yang terjadi menggenangi wilayah tersebut hingga ketinggian 2 m (Anonim 2006).

Banjir di DAS Batang Pelepat juga berawal dari erosi dan sedimentasi yang diduga terjadi akibat pembukaan hutan untuk berbagai penggunaan, termasuk pertanian. Pembukaan hutan di DAS Batang Pelepat ditujukan untuk mengembangkan usahatani karet dan kelapa sawit (UTKKS) karena Kecamatan Pelepat merupakan salah satu sentra produksi karet nasional dan kawasan prioritas pengembangan kelapa sawit (BAPPEDA Kabupaten Bungo 2005). Berdasarkan data penggunaan lahan di DAS Batang Pelepat juga dapat diketahui bahwa luas tutupan hutan di DAS Batang Pelepat saat ini hanya 23.51% dari luas DAS (BPDAS Batanghari 2002).

Daerah aliran sungai (DAS) Batang Pelepat terdiri atas beberapa kelas lereng yaitu landai (52 345 ha), agak curam (19 773 ha), curam (19 809 ha) dan curam sekali (1 116 ha). Pembukaan hutan untuk UTKKS di DAS Batang Pelepat pun telah mencapai lereng yang tergolong curam, tetapi tidak disertai dengan teknik konservasi tanah dan air (KTA). Kondisi ini peka menimbulkan erosi terutama pada saat awal tanam yang pada gilirannya menyebabkan degradasi lahan.

Daerah aliran sungai (DAS) Batang Pelepat mempunyai nilai indeks bahaya erosi sebesar 4.71 (BPDAS Batanghari 2002); berdasarkan kriteria Hammer (1981) indeks bahaya erosi tersebut tergolong tinggi. Prediksi erosi di beberapa desa yang termasuk dalam DAS Batang Pelepat menunjukkan bahwa erosi telah melebihi erosi yang dapat ditoleransikan (Etol), seperti di Baru Pelepat prediksi erosi mencapai 59.97 ton/ha/tahun dan di Sungai Beringin sebesar 55.00 ton/ha/tahun; padahal Etol di kedua lokasi ini hanya 16.92 dan 15.48 ton/ha/tahun (PPLH UNJA 2003).

(27)

Raya Timber dan PT Rimba Karya Indah) menjadi UTKKS di sekitar kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) telah menimbulkan erosi yang menyebabkan kerugian berupa kehilangan unsur hara senilai Rp 93.56 milyar/tahun; sebagian besar wilayah eks HPH PT Rimba Karya Indah terdapat di DAS Batang Pelepat (Ridwansyah et al. 2006). Erosi diperkirakan juga menyebabkan sedimentasi di beberapa sungai (off site) yang termasuk dalam DAS Batang Pelepat diantaranya Sungai Batang Pelepat (7.28 ton/hari), Sungai Beringin (9.31 ton/hari) dan Sungai Senamat (9.69 ton/hari) (PPLH UNJA 2003).

Lahan UTKKS di DAS Batang Pelepat umumnya dikelola dengan berbagai agroteknologi yang belum memadai. Pengelolaan UTKKS seperti ini menyebabkan rendahnya produktivitas karet (0.45 ton KKK/ha atau 0.71 ton lateks/ha) dan kelapa sawit (11 ton TBS/ha atau 2.20 ton CPO/ha) di DAS Batang Pelepat (Disbun Provinsi Jambi 2005); produktivitas ini berada di bawah produktivitas karet dan kelapa sawit nasional yang masing-masing mencapai 0.60 ton KKK/ha dan 2.78 ton CPO/ha (Ditjenbun 2004; Balitbang Pertanian 2005a) dan potensi produksi karet yang mencapai 1.20 – 1.50 ton KKK/ha (Balitbang Pertanian 2005a).

Produktivitas karet dan kelapa sawit yang rendah berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat di DAS Batang Pelepat yang sebagian besar berasal dari usahatani. Pendapatan petani yang berasal dari usahatani berkisar Rp320 000 – Rp480 000/bulan, sedangkan total pendapatan masyarakat termasuk usaha di luar usahatani adalah Rp416 000 – Rp472 000/bulan; pendapatan tersebut masih dibawah standar upah minimum regional Kabupaten Bungo (Rp716 000/bulan), meskipun luas pemilikan lahan di kawasan ini adalah 3.82 ha/KK (PPLH UNJA 2003). Secara nasional standar luas lahan yang dianggap layak untuk mendukung kehidupan keluarga petani adalah 2 ha/KK. Standar ini sesuai dengan standar minimum luas lahan pertanian yang diberikan pada transmigran, dengan asumsi bahwa lahan pertanian diusahakan secara intensif (Permana 1980).

(28)

Peningkatan kinerja usahatani karet rakyat tidak dapat dicapai dengan mudah karena tidak hanya menyangkut masalah dana, tetapi juga terkait dengan masalah teknologi dan kemampuan sumberdaya manusia yang terkait dalam penerapannya (PPK Medan 1998). Penerapan sistem pertanian konservasi (SPK) dengan penanaman legum penutup tanah (legume cover crop atau LCC) berupa mucuna sp. dan teras gulud yang disertai pemupukan pada lahan usahatani karet milik peladang berpindah di Jambi, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan dapat meningkatkan produksi tanaman hingga 51.10% dan kelayakan usahatani hingga mencapai B/C sebesar 1.82 serta menurunkan aliran permukaan dan erosi masing-masing 65% dan 45% (Juarsah 2008).

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga berkembang pesat dengan teknologi yang sudah ada, tetapi produktivitasnya masih rendah dibandingkan dengan potensi produksi (terutama perkebunan rakyat). Teknologi yang telah ada saat ini belum cukup untuk mendukung pengembangan usahatani kelapa sawit di masa akan datang. Oleh karena itu penelitian yang menghasilkan paket teknologi yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas tanaman dan pengelolaan lahan secara berkelanjutan perlu segera dilakukan (PPKS Medan 1998). Perbaikan agroteknologi melalui SPK seperti halnya pada lahan usahatani karet diatas merupakan solusi tepat dalam pengembangan usahatani kelapa sawit berkelanjutan. Budidaya kelapa sawit pada lahan berlereng harus dilengkapi dengan tanaman penutup tanah dan teras untuk mengendalikan erosi tanah (PPKS Medan 1999).

Berdasarkan pemikiran tersebut penelitian tentang kondisi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat DAS Batang Pelepat serta karakteristik tipe UTKKS dan pengaruhnya terhadap sifat tanah, erosi, aliran permukaan dan sosial ekonomi masyarakat sangat penting dilakukan. Karakteristik biofisik dan sosial ekonomi tersebut sangat diperlukan dalam penyusunan perencanaan SPK yang komprehensif untuk pengembangan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat.

Perumusan Masalah

(29)

harus melalui langkah-langkah seperti : (1) inventarisasi keadaan biofisik daerah, (2) inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani dan (3) inventarisasi pengaruh luar (Sinukaban 2007a). Kondisi biofisik dan sosial ekonomi merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan perencanaan SPK untuk mewujudkan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat, sedangkan faktor luar (eksternal) merupakan pendukung implementasi perencanaan tersebut. Oleh karena itu SPK dapat diterapkan secara optimal melalui pendekatan interdisipliner sebagaimana konsep sistem pertanian berkelanjutan (SPB).

Penyempurnaan sistem UTKKS di DAS Batang Pelepat dengan mengikuti langkah-langkah dan pendekatan tersebut dapat menghasilkan perencanaan UTKKS yang komprehensif. Oleh karena itu penyusunan perencanaan UTKKS di DAS Batang Pelepat perlu didukung dengan kajian tentang (1) bagaimana karakteristik lahan dan tipe UTKKS, (2) bagaimana pengaruh berbagai tipe UTKKS terhadap aspek biofisik (beberapa sifat tanah, aliran permukaan dan erosi) dan sosial ekonomi (pendapatan petani dan kelayakan usahatani) dan (3) bagaimana mencapai UTKKS berkelanjutan.

Kerangka Pemikiran

Daerah aliran sungai (DAS) terdiri atas unsur yang saling berinteraksi dan membentuk suatu sistem yang saling mempengaruhi (interdependensi) dan peka terhadap unsur masukan, termasuk perubahan penggunaan lahan seperti konversi hutan menjadi penggunaan lain. Hutan di DAS Batang Pelepat umumnya mengalami konversi menjadi lahan UTKKS yang masih dikelola secara konvensional sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan hidup petani secara layak dan bahkan menimbulkan degradasi lahan. Perencanaan SPK dalam kerangka pengelolaan DAS sesuai konsep SPB (mengkompromikan berbagai kepentingan, meskipun saling bertentangan) merupakan solusi tepat untuk mewujudkan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat (Gambar 1). Hal ini sesuai dengan pendapat Sinukaban (2007b) yang menyatakan bahwa konsep SPB yang telah dilaksanakan di sebagian wilayah pulau Jawa dan daerah transmigrasi juga harus diimplementasikan di seluruh daerah dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian dan sekaligus mempertahankan kelestarian sumberdaya alam.

(30)

(Zamora 1995, diacu dalam Salikin 2003). Agroteknologi adalah suatu teknologi inovatif yang dirancang untuk mencapai produksi pertanian yang lebih efisien dan menguntungkan (Parker 2002). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agroteknologi meliputi semua teknologi yang diterapkan dalam budidaya tanaman pertanian seperti sistem tanam, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit serta teknik KTA.

Gambar 1 Kerangka pemikiran perencanaan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat. Paket agroteknologi untuk lahan pertanian telah banyak tersedia dan direkomendasikan berdasarkan berbagai hasil penelitian, tetapi tidak semua agroteknologi dapat diterima dengan baik oleh petani dan efektif dalam mengurangi erosi dan meningkatkan pendapatan petani. Selain itu tidak semua agroteknologi yang sama dapat diterapkan diberbagai lokasi. Teknik KTA akan efektif jika penggunaan lahan sudah cocok (sesuai dengan kelas kemampuan dan kesesuaian lahan). Agroteknologi tidak ada yang mendukung tanaman dapat tumbuh dengan baik dan tidak ada teknik KTA yang dapat mencegah erosi kalau

DAS Batang Pelepat

Karakteristik Biofisik Karakteristik Sosial Ekonomi

Tipe dan Agroteknologi UTKKS

Analisis Sosial Ekonomi :

Economically profitable and Socially acceptable & Applicable

UTKKS Berkelanjutan di DAS Batang Pelepat

Tipe dan Agroteknologi UTKKS Berkelanjutan Analisis Ekologi :

Enviromental friendly

[image:30.612.124.491.198.535.2]
(31)

kondisi tanahnya tidak cocok untuk pertanian (Sinukaban 1989). Berbagai teknik KTA yang dibutuhkan untuk melengkapi agroteknologi usahatani juga bervariasi dan dapat dipilih melalui simulasi sesuai dengan kondisi biofisik dengan menggunakan model Universal of soil loss equation (USLE). Efektivitas suatu teknik KTA untuk mengurangi erosi dapat diindikasikan oleh laju erosi aktual yang lebih kecil daripada Etol (Dariah et al. 2004).

Agroteknologi dalam SPB juga harus dapat diterima dan diterapkan oleh petani dengan sumberdaya yang tersedia baik pengetahuan, ketrampilan maupun tingkat persepsinya (Sinukaban 2007b). Hal ini berarti bahwa agroteknologi yang dipilih dalam usahatani harus pula disesuaikan dengan karakteristik (kendala) sosial ekonomi masyarakat, seperti ketersediaan modal petani, baik lahan, tenaga kerja maupun sarana produksi lainnya. Oleh karena itu agroteknologi juga akan mempengaruhi pendapatan petani, karena agroteknologi yang dipilih akan berhubungan dengan modal usahatani. Petani akan mengadopsi suatu agroteknologi jika mereka memperoleh manfaat ekonomis dari kegiatan tersebut (Arifin 1996; Cahyono 2002 dan Santoso et al. 2004).

Pemilihan agroteknologi usahatani dalam penerapan SPB harus berdasarkan berbagai kriteria, yaitu memberi keuntungan kelestarian lingkungan (environmentally friendly), memberi keuntungan ekonomi kepada masyarakat (economically profitable), serta dapat diterima dan diaplikasikan oleh masyarakat (socially acceptable and Applicable) secara simultan. Berbagai metode dapat digunakan untuk merumuskan model pertanian berkelanjutan dalam pengelolaan DAS melalui analisis sistem multikriteria. Multiplegoal programming (MGP) atau program tujuan ganda (PTG) adalah salah satu model yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan yang mengakomodasi berbagai tujuan atau kepentingan secara simultan (Nasendi dan Anwar 1985; Mulyono 1991 dan Briassoulis 2004).

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka pemikiran, penelitian ini bertujuan untuk :

1. mengidentifikasi karakteristik lahan dan tipe UTKKS di DAS Batang Pelepat. 2. menganalisis pengaruh tipe UTKKS terhadap beberapa sifat tanah, aliran

permukaan dan erosi.

(32)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini menyajikan kajian biofisik dan sosial ekonomi DAS Batang Pelepat terutama yang berkaitan dengan UTKKS dan alternatif pengembangan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat. Oleh karena itu hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk :

1. memberi informasi dan bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam memanfaatkan lahan di DAS Batang Pelepat yang sebagian besar termasuk dalam kawasan penyangga TNKS.

2. menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan SPB di kawasan hulu DAS Batanghari (khususnya DAS Batang Pelepat) sehingga dapat mengurangi tekanan penduduk terhadap TNKS.

3. menjadi sumber informasi bagi petani setempat sebagai pengguna lahan. 4. pengembangan ilmu pengetahuan dalam merancang usahatani yang

(33)

10 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai (DAS) atau watershed adalah sebidang lahan yang menampung air hujan dan mengalirkannya menuju parit, sungai dan akhirnya bermuara ke danau atau laut (Agus dan Widianto 2004). Pengertian tersebut menggambarkan bahwa DAS merupakan satu sistem sehingga ada keterkaitan antara bagian hulu dan hilir. Daerah aliran sungai (DAS) terdiri atas sub sistem biofisik dan sosial ekonomi yang juga saling berkaitan. Oleh sebab itu DAS sebagai satu unit perencanaan perlu dikelola secara terpadu. Kartodihardjo et al.

(2004) juga mengemukakan bahwa berdasarkan kajian institusi DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property) dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan atau kelompok masyarakat.

Daerah aliran sungai (DAS) mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain. Karakteristik DAS terdiri atas ukuran (luas), elevasi dan kemiringan

(slope), aspek dan orientasi, bentuk DAS dan jaringan drainase (Black 1995). Karakteristik DAS sangat penting diketahui dalam menentukan tindakan pengelolaan secara tepat. Karakteristik setiap DAS akan menunjukkan perbedaan satu sama lain sehingga tindakan pengelolaan DAS bersifat spesifik lokasi.

Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Easter et al. 1986; Dephut 2001).

(34)

Pelaksanaan rencana memerlukan monitoring terhadap tujuan dan sasaran yang ditetapkan, sehingga memungkinkan adanya umpan balik dan revisi terhadap rencana yang telah disusun (Davenport 2002 dan Dephut 2001).

Gambar 2 Fase-fase atau tahapan perencanaan pengelolaan DAS (Davenport 2002). Pengelolaan DAS yang mampu memadukan aspek biofisik, sosial ekonomi dan budaya sinergi dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan pemberdayaan ekonomi rakyat/masyarakat dan pelestarian lingkungan secara simultan dan seimbang. Ciri pembangunan berkelanjutan

(sustainable development) dalam suatu DAS adalah (1) mampu memberikan

produktivitas yang tinggi dan pendapatan yang layak bagi seluruh masyarakat, (2) mampu menjamin kelestarian DAS, yaitu dapat menjamin fungsi DAS yang baik, dapat menyimpan air dan memberikan hasil air yang cukup untuk seluruh keperluan yang merata sepanjang tahun dengan kualitas yang baik (erosi/sedimen rendah, pencemaran kecil) dan kuantitas yang mencukupi, (3) mampu memeratakan pendapatan (equity) dan (4) mampu menjamin kelenturan (resiliency) DAS (Sinukaban et al. 2001).

Konsep Pertanian Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan harus diterapkan pada berbagai bidang, termasuk pertanian. Pertanian berkelanjutan pada dasarnya berarti pertanian yang mampu berproduksi dengan tetap mempertahankan basis sumberdaya. Defenisi pertanian berkelanjutan telah banyak dikemukakan oleh berbagai pakar, diantaranya :

1. United State Society of Agronomy (1989), mendefenisikan pertanian berkelanjutan sebagai pertanian jangka panjang yang meningkatkan kualitas lingkungan dan sumberdaya yang diperlukan untuk kegiatan pertanian. Pertanian ini menyediakan makanan pokok manusia dan kebutuhan serat dan secara ekonomi dapat meningkatkan kualitas hidup petani dan masyarakat secara keseluruhan.

FASE PERENCANAAN

FASE IDENTIFIKASI MASALAH

FASE IMPLEMENTASI

(35)

2. Menurut TAC/CGIAR (1988), diacu dalam Reijntjes et al. (1999), pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam.

3. Defenisi pertanian berkelanjutan secara lebih luas mencakup beberapa hal seperti (1) mantap secara ekologis, (2) bisa berlanjut secara ekonomis, (3) adil, (4) manusiawi dan (5) luwes (Gips 1986, diacu dalam Sabiham 2005)

Unsur-unsur pendekatan SPB terdiri atas praktek-praktek ekologi (kebutuhan lingkungan dan didasarkan pada prinsip prinsip ekologi), tanggung jawab sosial (pemberdayaan masyarakat, kesamaan sosial, dan kesehatan kesejahteraan penduduk), dan semangat ekonomi (ketahanan pangan, kelayakan ekonomi dan bernuansa teknologi). Pengertian dan pendekatan tersebut menunjukkan bahwa SPB harus dapat memenuhi indikator dari berbagai aspek (Thrupp 1996). Indikator-indikator SPB adalah pendapatan masyarakat (petani) yang cukup tinggi, tidak menimbulkan kerusakan dan dapat dikembangkan dengan sumberdaya yang dimiliki oleh petani (Sinukaban 1994). Oleh karena itu keberlanjutan sistem usahatani bergantung pada 3 (tiga) karakteristik utama, yaitu kemampuan untuk mengendalikan kehilangan tanah hingga kurang dari Etol atau tolarable of soil loss (TSL), efektivitas dalam meningkatkan pendapatan petani dan secara sosial agroteknologi yang digunakan harus dapat diterima dan diterapkan (acceptable dan replicable) dengan sumberdaya yang ada, termasuk pengetahuan, ketrampilan dan persepsi petani (Sinukaban 2007c).

Pendapatan yang diperoleh petani harus dapat memenuhi kebutuhan hidup petani secara layak. Pendapatan yang tinggi dapat diperoleh jika produksi yang diperoleh dari usahatani juga tinggi dan sangat bergantung pada sistem usahatani, termasuk pengelolaan lahan. Produksi tanaman akan optimal jika ditanam pada lahan yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman. Selain itu komoditi yang dipilih juga harus mempunyai nilai ekonomi tinggi dan sesuai dengan keinginan ataupun kebiasaan petani.

(36)

dapat diminimalkan. Kerusakan lahan sedikit atau tidak terjadi jika erosi yang terjadi lebih kecil dari Etol.

Produksi pertanian yang tinggi dapat dipertahankan secara terus menerus bila erosi lebih kecil dari Etol. Erosi yang lebih besar dari Etol akan menyebabkan produktivitas lahan menurun, sehingga produksi yang tinggi itu hanya dapat dipertahankan beberapa tahun saja (pertanian tidak lestari) (Sinukaban 2003). Oleh sebab itu perlu dilakukan pengendalian terhadap erosi pada lahan pertanian, misalnya penerapan SPK dengan agroteknologi yang dapat diterima dan dikembangkan oleh petani.

Salah satu faktor penghambat implementasi teknologi usahatani adalah terbatasnya adopsi petani terhadap paket teknologi yang diperkenalkan karena petani merasa tidak ikut merencanakan dan tidak mengerti sehingga tidak merasa memiliki kegiatan yang mereka lakukan (Subagyono et al. 2004). Pembangunan pertanian berkelanjutan memerlukan teknologi tepat guna, kebijakan dan pengelolaan sumberdaya yang sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah (Adnyana 2006).

Usahatani Karet dan Kelapa sawit Usahatani Karet

Indonesia pernah menjadi negara penghasil karet alam terbesar di dunia. Komoditi ini pernah diandalkan sebagai penopang perekonomian negara. Karet telah menjadi komoditi ekspor utama Indonesia dan telah menjadi mata pencaharian bagi berjuta-juta keluarga. Usahatani karet terdiri atas perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Karet rakyat meliputi 83% dari total luas kebun karet di Indonesia dengan volume produksi 68% dari total produksi karet di Indonesia. Perkebunan karet rakyat di Indonesia menyebar di Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Riau dan Sumatera Utara, sedangkan perkebunan besar negara dan swasta sebagian besar terdapat di Sumatera Utara (Balitbang Pertanian 2005a).

(37)

ke seluruh wilayah (Lampiran 1) karena karet merupakan salah satu komoditi ekspor Provinsi Jambi (Joshi et al. 2006)

Karet rakyat menyumbangkan produksi ”getah” di Jambi hingga 97% terhadap total produksi. Tahun 1992 dan 1998, laju perkembangan kebun karet di Jambi mencapai 5 520 ha/tahun, tetapi produktivitas karet rakyat masih tetap rendah, yaitu 500 – 650 kg KKK/ha/tahun; produktivitas ini hanya sepertiga hingga setengah kali produktivitas perkebunan karet klon yang mencapai 1 000 – 1 800 kg KKK/ha/tahun (Joshi et al. 2006). Volume ekspor karet di Jambi tahun 2004 mencapai 127 432 916 kg dan menghasilkan devisa sebesar 142 987 228 dollar AS (Harian Kompas 4 Agustus 2005).

Jumlah atau besarnya devisa yang dihasilkan tersebut tidak berbanding lurus dengan perhatian pemerintah terhadap petani karet di Jambi. Hal ini dapat dilihat dari semakin menurunnya produksi karet di daerah ini. Berdasarkan data Disbun Provinsi Jambi (2004), tahun 2003 luas total kebun karet di Jambi adalah 563 502 ha dan 122 060 ha diantaranya merupakan tanaman karet tua dengan produksi hanya sekitar 250 kg lateks/ha/tahun. Fenomena penurunan produksi terjadi hampir di seluruh wilayah yang mengembangkan usahatani karet di Provinsi Jambi, termasuk kecamatan Pelepat yang tercakup dalam DAS Batang Pelepat (Tabel 1).

Tabel 1 Perkembangan luas tanam dan produksi karet di Kecamatan Pelepat, Tahun 2000 - 2004

Tahun Luas Lahan (ha) Produksi (ton) 2000

2001 2002 2003 2004

10 233 9 690 9 604 5 261 6 463

4 162 4 560 4 560 1 011 2 920 Sumber : Disbun Provinsi Jambi (2004).

(38)

tanaman dapat menutupi permukaan tanah dengan baik karena tidak ada penerapan teknik KTA yang memadai.

Produksi lateks yang optimal dari karet dapat dicapai bila ada pengelolaan ideal dan memenuhi persyaratan lingkungan yang diinginkan oleh karet. Karet dapat tumbuh baik pada ketinggian 1 – 600 m diatas permukaan laut (dpl), curah hujan yang cukup tinggi (2000 – 2 500 mm/tahun) dan merata sepanjang tahun serta sinar matahari dengan intensitas cukup 5 – 7 jam/hari. Karet dapat berproduksi maksimal pada tanah-tanah subur, tetapi tanaman karet mempunyai tingkat toleran yang tinggi terhadap tanah yang kurang subur bila dilakukan pemupukan. Tanaman ini masih dapat tumbuh pada batas pH 4 – 8, namun paling cocok pada pH 5 – 6 (Tim Penulis Penebar Swadaya 2004). Kualitas lahan yang dibutuhkan untuk karet ini secara lengkap telah disusun oleh Djaenudin et al. (2003) seperti terlampir pada Lampiran 2.

Karet membutuhkan perawatan, baik sebelum maupun setelah menghasilkan. Perawatan tanaman sebelum menghasilkan meliputi penyulaman, penyiangan, pemupukan, seleksi dan penjarangan, penanaman tanaman penutup tanah serta pengendalian hama dan penyakit. Tanaman yang sudah menghasilkan (diatas 5 tahun) perlu dilakukan penyiangan dan pemupukan. Pemupukan karet harus dilakukan dengan cara, waktu dan takaran yang tepat. Balitbang Pertanian (2005b) menganjurkan penggunaan pupuk urea, TSP dan KCl pada tanaman karet di Kabupaten Bungo (DAS Batang Pelepat) dengan takaran masing-masing 100, 50 dan 50 kg/ha/tahun. BPP Sembawa (2003) juga mengeluarkan rekomendasi pemupukan untuk karet dengan takaran pupuk pupuk urea, SP-36 dan KCl yang bervariasi sesuai dengan umur tanaman (Tabel 2).

Tabel 2 Rekomendasi takaran pupuk dan frekuensi pemupukan tanaman karet sesuai dengan umur tanaman

Umur Tanaman (tahun) Urea (g/pohon/tahun) SP-36 (g/pohon/tahun) KCl (g/pohon/tahun) Frekuensi Pemupukan 0 1 2 3 4 5 6 – 15 16 – 25

[image:38.612.134.506.552.695.2]
(39)

Karet yang sudah tidak produktif perlu diremajakan. Peremajaan kebun karet umumnya dilakukan dengan sistem tebas bakar, tetapi petani tidak menerapkan sistem ini karena mempunyai keterbatasan modal dan lahan serta mengurangi resiko kegagalan penanaman baru. Petani di Jambi umumnya mengadopsi teknik peremajaan dengan melakukan sisipan. Bibit karet ditanam diantara celah-celah pohon karet untuk mengganti pohon yang sudah tidak produktif. Cara ini mampu memperpanjang usia produktif kebun karet secara nyata (Wibawa dan Hendratno 2006).

Karet dapat ditanam secara monokultur dan tumpangsari. Karet yang ditanam secara tumpangsari di Jambi sering dikenal dengan istilah “sesap karet” atau dikenal pula dengan “wanatani karet” atau “agroforestri karet”. Salah satu contoh pengusahaan karet dengan sistem wanatani adalah di Desa Bebeko (Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi). Kebun karet sudah berumur 40 tahun tetapi masih menghasilkan lateks sekitar 40 kg per minggu (dari 300 pohon karet). Pemanenan (penyadapan) karet dilakukan tidak serentak, karena umur tanaman berbeda-beda. Di dalam kebun karet ini juga ditemukan species kayu seperti

Alseodaphne spp (kayu medang), Shorea spp. (kayu meranti), Styrax benzoin

(kemenyan), garcinia parvifolia (asam kandis), bambu, parkia speciosa (petai),

Pithecellobium ellipticum (kabau) dan Baccaurea spp. (rambe). Beberapa tahun yang lalu pemilik telah dapat menjual kayu meranti dan kayu medang dari kebun ini (Joshi et al. 2006). Karet juga dapat ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pertanian lain seperti kopi, kakao dan pisang ataupun tanaman kehutanan.

Teknik budidaya karet berkelanjutan perlu juga disertai dengan teknik KTA seperti tanaman legum penutup tanah (LCC) berupa campuran 4 kg

Pueraria Javanica, 6 kg Colopogonium mucunoides dan 4 kg Centrosema

(40)

Usahatani Kelapa Sawit

Kelapa sawit berasal dari Guinea Afrika dan mulai diusahakan di Indonesia tahun 1911. Kelapa sawit berkembang terus hingga mencapai 25 000 ha pada tahun 1925 dan telah ditanam di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya Aceh, Sumatera timur, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bangka, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi dan Irian Barat (Sutaryanto 1999).

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia akhir-akhir ini mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Indonesia telah menjadi negara produsen dan eksportir CPO terbesar kedua setelah Malaysia. Berdasarkan data Ditjenbun hingga tahun 2004 total luas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 5.6 juta ha yang terdiri atas perkebunan rakyat (1 960 395 ha), perkebunan besar negara (672 331 ha) dan perkebunan besar swasta (2 969 044 ha) (Khoiri 2006). Berdasarkan catatan terakhir tahun 2003, volume ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 6.5 juta ton dengan volume produksi 9.9 juta ton (Ditjenbun 2004).

Peluang Indonesia untuk meningkatkan produksi lebih besar dibandingkan dengan Malaysia karena berkaitan dengan ketersediaan lahan, kesesuaian iklim, ketersediaan sumberdaya manusia sebagai sumber tenaga kerja dan biaya pembangunan dan perawatan per hektar yang lebih murah, tetapi persoalan klasik dan struktural masih harus dihadapi oleh perkebunan kelapa sawit Indonesia dan hingga saat ini belum teratasi secara tuntas. Persoalan tersebut diantaranya adalah ketersediaan input produksi (bibit yang berkualitas, pestisida dan pupuk), produktivitas yang rendah dan harga yang fluktuatif.

Kualitas bibit yang rendah merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi perkebunan kelapa sawit Indonesia sehingga berpengaruh terhadap produktivitas. Menurut Thahar dan Khoiri (2006), di Jambi saat ini diperkirakan terdapat 60 000 ha kelapa sawit yang berasal dari bibit palsu. Produksi kelapa sawit Jambi saat ini sekitar 1.4 ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit/ha/tahun, tetapi produksi kelapa sawit dari bibit palsu hanya 700 kg TBS/ha/tahun. Akibatnya dengan standar harga TBS sebesar Rp653/kg berarti petani mengalami kerugian sebesar Rp164.5 milyar/tahun.

(41)

secara besar-besaran telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Hal ini terkait dengan terjadinya konversi lahan, terutama hutan. Penebangan hutan akan berpengaruh terhadap siklus hidrologi karena terjadi perubahan infiltrasi tanah, evapotranspirasi dari tanaman dan secara potensial juga akan mengurangi jumlah air yang masuk ke sungai. Selain itu setiap aktivitas yang dilakukan pada saat dan setelah konversi hutan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap lingkungan dan pola aliran sungai (Connolly dan Pearson 2005).

Pembukaan hutan untuk kelapa sawit juga sering menyebabkan kebakaran hutan yang menimbulkan pencemaran udara, erosi dan rusaknya biodiversiti. Vegetasi hutan berfungsi baik untuk meresapkan air sehingga dapat mengurangi aliran permukaan. Menurut Iswara (1999), diacu dalam Aswandi (2004), konversi hutan alam menjadi kebun kelapa sawit akan meningkatkan aliran permukaan hingga 300 mm sebelum tanaman tersebut dewasa.

Sebagian besar aktivis lingkungan meminta disain ulang perkebunan kelapa sawit. Disain ini penting agar lahan yang belum terjamah budidaya kelapa sawit tidak dengan mudah dikonversi menjadi kebun kelapa sawit, baik kawasan hutan konservasi, hutan lindung maupun lahan pertanian rakyat yang sudah ada (Khoiri 2006). Disain ulang tersebut harus lebih menjamin keberlanjutan usahatani kelapa sawit, tanpa mementingkan aspek dan pihak tertentu.

Perluasan perkebunan kelapa sawit terus terjadi, termasuk di Jambi yang menyebar hampir di seluruh kabupaten. Kabupaten Bungo, khususnya di DAS Batang Pelepat telah dijadikan salah satu kawasan prioritas pengembangan komoditi ini. Hal ini dapat dilihat dari luas lahan kelapa sawit yang terus meningkat selama 5 tahun terakhir, baik yang diusahakan oleh masyarakat maupun perkebunan swasta (Tabel 3), tetapi tidak diikuti dengan produksi yang baik. Fenomena produksi yang kurang baik ini disebabkan oleh banyaknya jumlah tanaman yang rusak sehingga tidak berproduksi secara maksimal, terutama pada perkebunan kelapa sawit rakyat.

Tabel 3 Perkembangan luas tanam dan produksi kelapa sawit di Kecamatan Pelepat, Tahun 2000 - 2004

Tahun Luas Lahan (ha) Produksi (ton) 2000

2001 2002 2003 2004

6 896 8 823 15 384 13 081 14 255

[image:41.612.131.509.603.684.2]
(42)

Produksi yang rendah juga terkait dengan teknik budidaya yang belum memadai. Kelapa sawit tumbuh baik di daerah tropis pada curah hujan >1500 mm/tahun, tidak memiliki defisit air dan merata sepanjang tahun, suhu 25oC – 32oC (Sutarta et al. 1999). Persyaratan tumbuh lain untuk kelapa sawit adalah elevasi (0 – 500 m dpl) dan penyinaran matahari 100% diperlukan minimal 5 jam/hari (optmum 7 jam/hari). Kelapa sawit dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dengan syarat drainase baik, solumn dalam (minimal 80 cm), agak masam (pH 4 – 6), topografi datar, landai sampai bergelombang, termasuk tanah gambut (Sutaryanto 1999). Persyaratan kualitas atau karakteristik lahan yang dibutuhkan oleh kelapa sawit terdiri atas sifat-sifat fisik dan kimia tanah (Lampiran 3). Faktor tanah merupakan salah satu faktor utama yang harus dikelola secara tepat untuk memperoleh produksi kelapa sawit yang optimal dan berkelanjutan. Pertumbuhan kelapa sawit memerlukan cadangan unsur hara dan air yang tinggi (Winarna et al. 2000). Oleh karena itu dalam pengembangan kelapa sawit perlu disertai dengan teknik pemupukan dan KTA yang tepat.

Pupuk yang direkomendasikan untuk pengembangan kelapa sawit di Kabupaten Bungo adalah NPK dan MgSO4 dengan takaran masing-masing 0.22

dan 0.10 kg/pohon/tahun (umur 0–2 tahun), sedangkan tanaman yang berumur lebih dari 2 tahun harus diberikan NPK dan MgSO4 dengan takaran

masing-masing 0.45 dan 0.40 kg/pohon/tahun (Balitbang Pertanian 2005b). Pengembangan kelapa sawit juga dapat menggunakan pupuk tunggal seperti Urea, TSP, KCl dan Kisierit (MgSO4) dengan takaran yang disesuaikan dengan

umur kelapa sawit. Pupuk urea dan KCl diberikan dengan frekuensi satu kali dalam setahun, sedangkan pupuk TSP diberikan dengan frekuensi dua kali dalam setahun. Kisierit diberikan dua kali per tahun pada tanaman yang berumur 0 – 15 tahun dan satu kali per tahun pada tanaman berumur >15 tahun (Tabel 4).

Tabel 4 Rekomendasi takaran pupuk dan frekuensi pemupukan kelapa sawit sesuai dengan umur tanaman

Umur Tanaman (tahun) Urea (kg/pohon/tahun) TSP (kg/pohon/tahun) KCl (kg/pohon/tahun) MgSO4 (kg/pohon/tahun) 0 1 2 3 4 5 6 – 12

> 12 - 1.10 1.50 0.70 0.70 0.70 0.70 1.50 0.50 0.50 0.50 1.00 1.00 1.00 2.00 1.00 - 0.80 1.50 0.50 0.50 0.50 1.50 1.00 - 0.70 0.70 0.90 0.90 0.90 1.00 0.50

[image:42.612.130.508.570.691.2]
(43)

Teknik KTA juga diperlukan dalam pengembangan kelapa sawit untuk menurunkan kehilangan tanah, memperbaiki sifat-sifat tanah dan meningkatkan produksi kelapa sawit. Teknik KTA yang dapat diterapkan dalam pengembangan kelapa sawit sama dengan tanaman perkebunan lainnya seperti karet, yaitu penggunaan LCC dan dilengkapi dengan teras pada lahan yang mempunyai kemiringan lereng > 15%.

Analisis Usahatani

Analisis usahatani pada dasarnya adalah upaya untuk menilai manfaat (output) dan biaya (cost) yang tercakup dalam suatu proses usahatani. Biaya adalah segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan dan manfaat adalah segala sesuatu yang membantu tujuan (Gitingger 1986). Analisis usahatani dimaksudkan untuk mencari informasi tentang keragaan suatu usahatani yang dilihat dari berbagai aspek (Soekartawi 2002). Kadariah (1990) menambahkan bahwa tujuan analisis usahatani adalah untuk (1) mengetahui tingkat keuntungan yang dicapai melalui investasi dalam suatu kegiatan usahatani, (2) menghindari pemborosan pemakaian sumberdaya yaitu dengan menghindari pelaksanaan kegiatan usahatani yang tidak menguntungkan, (3) mengadakan penilaian terhadap peluang investasi yang dilakukan sehingga dapat diketahui usahatani tersebut menguntungkan atau tidak, dan (4) menentukan prioritas kegiatan usahatani.

Analisis usahatani dapat dilakukan dengan mengetahui struktur penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani. Pendapatan usahatani merupakan selisih dari total penerimaan dan total biaya. Analisis usahatani dibagi menjadi dua, yaitu analisis parsial (satu cabang usahatani) dan analisis keseluruhan usahatani (whole-farm analysis). Selain faktor pendapatan ataupun keuntungan tersebut, perlu dianalisis biaya dan manfaatnya. Hasil analisis dapat digunakan untuk menilai kelayakan keuntungan yang diperoleh dari usahatani.

Kelayakan keuntungan usahatani dapat dinilai melalui analisis finansial dan analisis ekonomi dengan indikator B/C ratio, Net Present Value (NPV) dan

Internal Rate Return (IRR). Rasio manfaat terhadap biaya (B/C ratio) merupakan ukuran manfaat dari usahatani. Menurut Kadariah (1990), analisis B/C ratio

adalah salah satu indikator untuk menilai kelayakan suatu investasi yang ditanam baik secara ekonomi maupun finansial.

Net Present Value (NPV) merupakan penilaian kembali terhadap

(44)

dijadikan ukuran yang menggambarkan kemampuan suatu proyek (Soekartawi et al. 1986). Usahatani karet dan kelapa sawit merupakan kegiatan usahatani yang mempunyai siklus waktu yang relatif lama, sehingga setiap nilai input ataupun

output perlu dikonversi ke nilai waktu sekarang (present). Hal ini penting dilakukan, mengingat waktu dan suku bunga uang akan berpengaruh terhadap nilai output yang diperoleh dari usahatani karet dan kelapa sawit.

Internal Rate of Return (IRR) juga sering digunakan sebagai indikator kelayakan investasi dari suatu usahatani disamping B/C ratio dan NPV. Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang digunakan karena proyek baru sampai pada tingkat modal kembali (Merrett dan Sykes 1967, diacu dalam Gitingger 1986).

Internal Rate of Return (IRR) adalah suku bunga yang dapat mengakibatkan

NPV sama dengan nol.

Kelayakan finansial dan ekonomi mempunyai indikator yang sama, tetapi keduanya berbeda. Pendekatan analisis ekonomi diperlukan untuk verifikasi bahwa hasil usahatani memberi manfaat bersih kepada masyarakat secara keseluruhan, sedangkan analisis finansial dilakukan untuk melihat keuntungan individu atau perusahaan (private group), seperti perkebunan (Gregersen et al.

[image:44.612.126.506.442.684.2]

1989). Secara rinci tentang perbedaan analisis finansial dan analisis ekonomi dapat dikemukakan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Perbedaan analisis finansial dan analisis ekonomi ditinjau dari beberapa unsur

Unsur Analisis Finansial Analisis Ekonomi Fokus Keuntungan perusahaan atau

individu

Keuntungan untuk masyarakat

Tujuan Indikasi insentif terhadap pelaksanaan

Ditentukan jika investasi pemerintah sesuai dengan efisiensi ekonomi

Harga Menggunakan harga pasar (market price)

Beberapa item menggunakan harga bayangan (shadow price)

Pajak

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran perencanaan UTKKS berkelanjutan di DAS Batang Pelepat.
Tabel 2 Rekomendasi takaran pupuk dan frekuensi pemupukan tanaman karet sesuai dengan umur tanaman
Tabel 3 Perkembangan luas tanam dan produksi kelapa sawit di Kecamatan
Tabel 4 Rekomendasi takaran pupuk dan frekuensi pemupukan kelapa sawit sesuai dengan umur tanaman
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap ini penulis mengawalinya dengan mengkaji buku, jurnal, maupun kamus yang memuat informasi mengenai kibou hyougen ~tai dan ~hoshii dalam bahasa Jepang

Dari penelitian Tindakan Sekolah yang dilakukan sebanyak tiga siklus dapat disimpulkan sebagai berikut: Melalui motivasi yang dilakukan kepala sekolah terhadap guru

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana dasar hukum atau syarat-syarat untuk pengakuan atas suatu Negara oleh PBB, bagaimana perubahan status

Namun sayangnya, potensi yang besar tersebut belum dikelola (penelitian dan pelestariannya) dengan optimal. Berbagai konflik kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi

Modul Arduino yang bcrbasis mikrokontrolkr AT Mega 328, digunakan unru k akuisi data drui kclima sensor tersebut, un tuk sdanjutnya niclalui shield GSM / GPRS data dikirim ke

Fokus dalam penelitian ini adalah; (1) Peningkatan daya saing UMKM “keripik tempe rohani” melalui Comparative Advantagedi sentra keripik tempe Sanan, dilihat dari

Berdasarkan Berita Acara Pemasukan Dan Evaluasi Dokumen Kualifikasi Pengadaan Konsultan Perencana Renovasi Graha KencanaTahun Anggaran 2014 Nomor :

Peningkat an pelayanan nasabah oleh Bank selam a t ahun 2010 dit andai dengan pengem bangan teknologi pelayanan nasabah yang berorient asi kepada kepuasan nasabah ( custom