• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Interplay Of Social Capital With Sub District Developmentin Sukabumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Interplay Of Social Capital With Sub District Developmentin Sukabumi"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

KETERKAITAN MODAL SOSIAL DENGAN

PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN

SUKABUMI

ADI GUMBARA PUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keterkaitan Modal Sosial dengan Perkembangan Kecamatan di Kabupaten Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

ADI GUMBARA PUTRA. Keterkaitan Modal Sosial dengan Perkembangan Kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan LALA M. KOLOPAKING.

Modal sosial merupakan salah satu modal yang dibutuhkan dalam pembangunan. Keberadaannya dalam suatu wilayah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, maupun kesejahteraan masyarakat. Namun penilaian modal sosial dalam perencanaan pembangunan daerah belum banyak dilakukan, karena masih terbatasnya metode dan data yang tersedia setiap tahun. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sebaran stok modal sosial di Kabupaten Sukabumi yang dapat digunakan dalam perencanaan pembangunan wilayah.

Data yang digunakan berupa data sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi pemerintah. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis faktor dengan metode Principal Component Analysis (PCA), analisis indeks perkembangan kecamatan, analisis klaster berhierarki dengan metode

ward’s, dan analisis model regresi linier berganda. Hasil analisis analisis faktor didapatkan tiga faktor utama yang mewakili subdimensi modal sosial, yaitu norma, yang dominan di 24 kecamatan, rasa percaya yang dominan di 21 kecamatan, dan subdimensi jaringan kerja yang dominan pada dua kecamatan. Tipologi kecamatan yang didapatkan dari hasil analisis adalah tipologi wilayah berkembang dengan 15 kecamatan, tipologi wilayah cukup berkembang dengan 11 kecamatan dan tipologi wilayah belum berkembang dengan 21 kecamatan. Analisis reegresi linier berganda menunjukkan bahwa modal sosial yang telah berinteraksi dengan modal manusia berpengaruh secara nyata terhadap pendapatan perkapita pada taraf nyata 5%.

(5)

SUMMARY

ADI GUMBARA PUTRA. The Interplay of Social Capital with Sub-District Developmentin Sukabumi. Supervised by ERNAN RUSTIADI and LALA M. KOLOPAKING.

Social capital is one of the required capitals for development. The presence of social capital may improve economic growth, environmental sustainability and social welfare. The objectives of the study were to analyze stocks and the dominant dimensions of social capital in Sukabumi district, to identify sub-districts typology based on the stock of social capital and sub-sub-districts development index in Sukabumi district, and to analyze the interplay of social capital with regional development in Sukabumi district.

This study employed secondary data that obtained from several government agencies. Principal Component Analysis (PCA) method, the sub-district development index analysis, hierarchical cluster analysis, and multiple linear regression models were used for factor analysis. The result shown that there were three main factors represented sub-dimensions social capital. They were the social networks (dominant in 24 sub-districts), trust (dominant in 21 sub-districts), and networks (dominant in two sub-districts). The analysis of the sub-district typology classifies three types of sub-districts, namely "developing areas" (15 sub-districts), in human resources (11 sub-districts) and least developed area in infrastructure (21 sub-districts). The multiple linear regression analysis shown that the social capitals that had been interacted with human capitals significantly affected per capita income at 5% level of significance.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

KETERKAITAN MODAL SOSIAL DENGAN

PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN

SUKABUMI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)

Judul Tesis : Keterkaitan Modal Sosial dengan Perkembangan Kecamatan di Kabupaten Sukabumi

Nama : Adi Gumbara Putra NIM : A156140294

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr Ketua

Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, M.ScAgr

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang berjudul Keterkaitan Modal Sosial dengan Perkembangan Kecamatan di Kabupaten Sukabumi.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan sekaligus sebagai ketua komisi pembimbing dengan kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk mengarahkan dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 2. Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS sebagai anggota komisi pembimbing

yang juga dengan kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk mengarahkan dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

3. Bapak Dr. Ir. Manuwoto selaku dosen penguji luar komisi atas masukan dan sarannya.

4. Segenap dosen dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama mengikuti studi.

5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

6. Bapak Bupati Sukabumi, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, serta Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sukabumi yang telah memberikan ijin serta dukungan baik moril maupun materiil unuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.

7. Ibunda terkasih serta Istri dan Anak tercinta yang telah memberikan ridho, ijin serta dorongan semangat sehingga memberikan kekuatan yang besar kepada penulis.

8. Rekan-rekan PWL IPB baik kelas khusus Bappenas maupun reguler yang juga memberikan dorongan moral untuk kesuksesan penulis.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik moril maupun materiil selama studi dan penulisan tesis ini

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan. Kritik dan saran yang bermanfaat sangat diharapkan penulis untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Semoga memberikan manfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Pembangunan Wilayah 6

Pengertian Modal Sosial 8

Klasifikasi dan Determinan Modal Sosial 10

Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah 11

Modal Sosial di Indonesia dan Jawa Barat 17

3 METODE 21

Lokasi Penelitian 21

Jenis dan Sumber Data 21

Metode Pengumpulan Data 23

Metode Analisis Data 23

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 27

Kondisi Fisik Wilayah 27

Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah 30

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 38

Modal Sosial di Kabupaten Sukabumi 38

Tipologi Kecamatan di Kabupaten Sukabumi 45

Keterkaitan Modal Sosial dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah di

Kabupaten Sukabumi 48

6 SIMPULAN DAN SARAN 52

Simpulan 52

Saran 53

DAFTAR PUSTAKA 54

LAMPIRAN 56

(12)

DAFTAR TABEL

1 Peneliti, definisi dan sumber modal sosial 13

2 Penelitian modal sosial terdahulu dan variabel yang digunakan 14

3 Stok modal sosial di Jawa Barat 19

4 Tujuan penelitian, jenis data, teknik pengumpulan, sumber data, teknik

analisis data dan output penelitian 22

5 Luas Wilayah Kabupaten Sukabumi Menurut Ketinggian. 28 6 Data Klimatologi Kabupaten Sukabumi Tahun 2014 29 7 Pergeseran Pola Penggunaan Lahan Kabupaten Sukabumi (dalam hektar)

Tahun 2004 – 2008 29

8 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Sex Ratio, dan Kepadatan

Penduduk Kabupaten Sukabumi Tahun 2014 31

9 Gambaran PDRB Kabupaten Sukabumi dari Tahun 2011-2014 33 10Laju Pertumbuhan Ekonomi Menurut Kategori Lapangan Usaha

Kabupaten Sukabumi Tahun 2012-2014 34

11Struktur Ekonomi Menurut Kategori Lapangan Usaha Kebupaten

Sukabumi Tahun 2014 35

12Variabel Penentu Modal Sosial pada Tingkat Makro di Kabupaten

Sukabumi 39

13Nilai Communalities Variabel Penduga Modal Sosial di Kabupaten

Sukabumi 39

14Nilai Eigenvalues dan Variance Kumulatif Faktor Penentu Modal Sosial

di Kabupaten Sukabumi 40

15Nilai Loadings Factor Variabel Penentu Modal Sosial di Kabupaten

Sukabumi 40

16Nilai Component Transformation Matrix Indeks Komposit Modal Sosial

di Kabupaten Sukabumi 40

17Kategori Variabel Penciri pada Subdimensi Modal Sosial 41 18Total Stok dan Kontribusi Subdimensi Modal Sosial di Kabupaten

Sukabumi 42

19Tipologi kecamatan di Kabupaten Sukabumi 46

20Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov 50

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran 5

2 Bagan Alir Penelitian 6

3 Grafik Stok Modal Sosial di Jawa Barat Tahun 2009 20

4 Lokasi Penelitian 21

5 Jumlah Penduduk Kabupaten Sukabumi Tahun 2010-2014 31 6 Piramida Penduduk Kabupaten Sukabumi Tahun 2014 32 7 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Sukabumi Tahun 2010-2014 33 8 Struktur Perekonomian Daerah Kabupaten Sukabumi Tahun 2014 35

9 PDRB Per Kapita Kabupaten Sukabumi Tahun 2014 36

(13)

12Peta sebaran stok modal sosial Kabupaten Sukabumi 44 13Peta sebaran subdimensi modal sosial dominan di Kabupaten Sukabumi 44 14Diagram pohon analisis klaster berhierarki dengan metode ward’s

berdasarkan IPM, IPK dan stok modal sosial 46

15Peta tipologi kecamatan di Kabupaten Sukabumi 47 16Peta subdimensi modal sosial dominan dan tipologi kecamatan di

Kabupaten Sukabumi 47

17Histogram uji normalitas 49

18Grafik p p-plot uji normalitas 50

19Scatter Plot Uji Heterokedastisitas 51

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis komponen utama variabel modal sosial 57

2 Hasil analisis statistik tipologi kecamatan 58

3 Hasil analisis statistik keterkaitan modal sosial dengan pembangunan

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Rustiadi et al. (2011) menjelaskan bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. UNDP mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices). Senada dengan itu, Riyadi dan Bratakusumah (2004) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terrencana.

Di Indonesia, pembangunan sebelumnya lebih ditekankan pada pola yang terpusat dan sedikit pembagian kewenangan pada level yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan tersisihnya kepentingan-kepentingan masyarakat yang dikalahkan oleh tujuan efisiensi dan skala keekonomian untuk menghasilkan produk dan keuntungan yang sebesar-besarnya. Paradigma pembangunan seperti ini sering disebut dengan "Production Centered Development" atau pembangunan yang berpusat pada hasil atau produk (Korten dan Sjahrir, 1988). BPS (2010) yang menjelaskan bahwa perspektif pembangunan yang berkembang selama ini, keluaran dan hasil pembangunannya sangat ditentukan oleh ketersediaan faktor produksi yang diproses secara sistematis. Dalam konteks ini, pembangunan lebih banyak dipahami sebagai pembangunan ekonomi, karena indikator yang sering digunakan untuk menilai keberhasilan ataupun kegagalan pembangunan lebih banyak bernuansa ekonomi. Pembangunan yang dilaksanakan menjadi terlalu terfokus pada bidang ekonomi dengan penekanan pada pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, nuansa sosial seperti sikap percaya, toleransi, kelompok, dan jejaring antar anggota masyarakat cenderung masih diabaikan dalam pembangunan.

Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu kabupaten dengan pembangunan yang cukup tertinggal dibandingkan dengan kabupaten lain di Jawa Barat. Fakta ini diperkuat dengan terbitnya Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 001/Kep/M-PDT/1/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, yang memasukkan Kabupaten Sukabumi bersama Kabupaten Garut sebagai daerah tertinggal di Jawa Barat.

Pada tahun 2012 BPMPD Kabupaten Sukabumi menerbitkan hasil survei desa tertinggal di Kabupaten Sukabumi. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat 121 desa atau sekitar 32% desa di Kabupaten Sukabumi yang cenderung berada dalam kondisi maju, 184 desa atau 48% desa berada dalam kategori desa menengah atas, sementara desa tertinggal dan transisi masih cukup banyak, yaitu berjumlah 76 desa atau mencapai 20 %.

(16)

terencana untuk meningkatkan kualitas masyarakat dan wilayah yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dari definisi tersebut terlihat bahwa ketertinggalan suatu daerah diukur berdasarkan kriteria tertentu dan dibandingkan posisinya dengan daerah lain. Dalam peraturan pemerintah tersebut dijelaskan juga ukuran ketertinggalan sebagaimana dimaksud di atas. Ukuran-ukaran itu ditunjukkan oleh beberapa indikator, yaitu perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, prasarana-sarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal, aksesibilitas, dan karakteristik daerah.

Sebagai upaya untuk menanggulangi daerah tertinggal, Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi telah meluncurkan beberapa program pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2010 – 2015. Program-program tersebut meliputi Program-program di bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang ekonomi, program peningkatan infrastruktur, serta peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan. Namun demikian, faktanya mayoritas yang menjadi fokus Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi dalam penanggulangan daerah tertinggal adalah bidang infrastruktur dan pendidikan, sehingga efektivitas dari program-program yang diluncurkan tersebut masih belum terlihat signifikan. Hal ini dikarenakan hingga saat ini status daerah tertinggal yang melekat pada Kabupaten Sukabumi belum bisa dihilangkan.

Melihat kondisi di atas, sudah saatnya Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi menyadari bahwa investasi dalam peningkatan sumber daya manusia dan infrastruktur akan lebih efektif jika disertai dengan investasi pada modal sosial. Modal sosial dan modal manusia merupakan bahan baku pembangunan yang harus dioptimalkan. Keduanya harus diinvestasikan secara beriringan, sehingga akan meningkatkan efektivitas pembangunan. Modal sosial yang tinggi namun tidak diimbangi dengan modal manusia akan mengarahkan pada ikatan solidaritas yang menciptakan kohesi kelompok namun dalam situasi yang merugikan dan berakibat pada menurunnya produktivitas. Begitupun sebaliknya, modal manusia yang tinggi tanpa diimbangi oleh modal sosial yang mumpuni akan meningkatkan biaya dalam setiap proses pembangunan serta berpeluang meningkatkan perilaku-perilaku oportunistik pada suatu komunitas. Coleman (1999) menjelaskan bahwa modal sosial telah terbukti secara nyata memberikan pengaruh yang besar terhadap pembentukan modal manusia baik dalam lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Modal sosial yang ada di lingkungan ternyata lebih penting dari pada etnisitas, keragaman etnis, atau informasi demografis lainnya dalam memahami kontribusi barang publik di masyarakat (Leonard et al. 2010). Colleta dan Cullen (2000) juga menjelaskan bahwa modal sosial dapat memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan, dimana modal sosial itu sendiri didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum (world view), kepercayaan (trust), pertukaran timbal balik (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusia, budaya).

(17)

yang berorientasi kepada pelembagaan hubungan-hubungan kelompok, yang dapat dipakai sebagai sumber terpercaya untuk meraih keuntungan. Oleh karena itu, investasi modal sosial yang kurang baik akan mengakibatkan menurunnya stok modal sosial yang ada di masyarakat dan mempengaruhi kehidupan perekonomian masyarakat, sebaliknya program-program pembangunan yang memelihara serta berintegrasi dengan keberadaan modal sosial masyarakat akan semakin memupuk dan menumbuhkan modal sosia tersebut.

Perumusan Masalah

Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu kabupaten dengan wilayah yang cukup luas, yaitu 416 200 Haatau sekitar 3.01 % (persen) dari luas Pulau Jawa. Potensi sumber daya alam yang dimiliki Kabupaten Sukabumi cukup besar, dari mulai potensi pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan, hingga pariwisata. Namun demikian, kondisi ini tidak serta merta menjadikan pembangunan di Kabupaten Sukabumi menjadi sangat pesat, bahkan hingga saat ini Kabupaten Sukabumi masih menjadi salah satu kabupaten tertinggal di Indonesia.

Sebagai kabupaten yang masih termasuk dalam kategori daerah tertinggal, anggaran-anggaran percepatan pembangunan di Kabupaten Sukabumi masih selalu difokuskan pada bidang peningkatan infrastruktur. Pada tahun 2015, sebanyak Rp 3 600 000 000 (tiga milyar enam ratus juta rupiah) telah dialokasikan untuk peningkatan infrastruktur di daerah tertinggal. Selain itu dana-dana yang dialokasikan oleh pemerintahan desa pun mayoritas digunakan dalam pembangunan infrastruktur wilayah. Kondisi ini sepintas sangat baik dalam pembangunan daerah-daerah tertinggal, namun pembangunan infrastruktur yang tidak disertai dengan pemberdayaan masyarakat dan penguatan modal sosial dikhawatirkan akan mempercepat arus pengurasan sumber daya dari daerah-daerah tertinggal ke daerah-daerah maju atau sering disebut dengan istilah backwash effect (Rustiadi et al. 2011).

Selain dalam bidang infrastruktur, anggaran pembangunan banyak pula dialokasikan pada bidang pendidikan. Setiap tahunnya lebih dari 20% APBD Kabupaten Sukabumi telah dialokasikan untuk pendidikan. Namun demikian, alokasi anggaran tersebut dirasakan belum cukup efektif. Hal ini terbukti dengan rata-rata lama sekolah masyarakat Kabupaten Sukabumi yang hanya 7.05 tahun.

(18)

harus mempertimbangkan modal sosial dan sumber daya bersama yang harus dikelola secara berkelanjutan.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, untuk melakukan analisis mengenai keterkaitan modal sosial dengan perkembangan kecamatan di Kabupaten Sukabumi timbul pertanyaan-pertanyaan penelitian terkait (1) bagaimana keberadaan modal sosial pada tingkat kecamatan di Kabupaten Sukabumi, (2) bagaimana karakteristik dan tipologi wilayah kecamatan-kecamatan yang ada, serta (3) bagaimana modal sosial berperan dalam pembangunan kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Pengetahuan terhadap hal-hal terkait modal sosial ini diharapkan dapat menjadi landasan penyusunan kebijakan pembangunan Kabupaten Sukabumi.

Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan latar belakang dan permasalahan di atas, dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Menganalisis stok dan subdimensi modal sosial yang dominan pada tingkat kecamatan di Kabupaten Sukabumi;

2. Mengidentifikasi tipologi wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sukabumi berdasarkan stok modal sosial, indeks pembangunan manusia, dan indeks perkembangan kecamatan;

3. Menganalisis keterkaitan modal sosial dengan pembangunan wilayah di Kabupaten Sukabumi.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam penyusunan kebijakan

pembangunan yang partisipatif;

2. Sebagai alternatif dalam menganalisis peranan modal sosial terhadap pembangunan ekonomi wilayah;

3. Menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang pembangunan wilayah dan modal sosial.

Kerangka Pemikiran

Pembangunan di Kabupaten Sukabumi terutama di tingkat kecamatan tidak hanya memerlukan program-program dalam bidang infrastruktur dan pendidikan. Program yang memanfaatkan modal sosial masyarakat dapat lebih ditingkatkan agar efektivitas pembangunan di Kabupaten Sukabumi dapat ditingkatkan.

(19)

pertumbuhan dan percepatan pembangunan melalui peningkatan penyediaan akses masyarakat terhadap modal usaha, pendidikan,kesehatan dan keamanan. Stok modal sosial yang besar akan memfasilitasi terjadinya transaksi antar individu, rumah tangga dan kelompok melalui tiga bentuk, yaitu: a). tersedianya informasi dengan biaya rendah; b). terdapat kemudahan bagi semua pihak untuk mencapai keputusan kolektif; c) berkurangnya perilaku oportunistik dari anggota masyarakat. Disamping itu interaksi sosial dalam suatu struktur sosial yang kuat dapat menjadi alat untukmeredam konflik yang mungkin terjadi di masyarakat yang dapat menghambatproses pembangunan (Narayan 1999). Senada dengan tersebut, Sabatini (2005) menyatakan bahwa modal sosial mengikat (bonding social capital) berperan negatif terhadap pembangunan manusia dan kinerja ekonomi, sebaliknya modal sosial menyambung (bridging social capital) mampu menjembatani antara komunitas yang berbeda, mendorong terjadinya difusi informasi sehingga bermanfaat dalam proses pembangunan.

Modal sosial yang ada di masyarakat tentu akan berbeda kaitannya dengan pembangunan wilayah untuk setiap tipologi wilayah. Masyarakat yang berada diwilayah pesisir memiliki struktur sosial yang berbeda dengan masyarakat yang berada di pegunungan dengan ciri khas agraris. Hal ini akan berimplikasi pada modal sosial yang berbeda kaitannya dengan pembangunan di masing-masing wilayah, begitupun masyarakat di perdesaan akan memiliki modal sosial yang berbeda dengan masyarakat di perkotaan. Namun demikian, pada dasarnya stok modal sosial masyarakat dapat memfasilitasi aksi kolektif masyarakat yang kemudian memberikan pengaruh terhadap akses individu terhadap pendidikan, kesehatan maupun tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Keadaan pendidikan dan kesehatan masyarakat yang lebih baik serta tingkat pendapatan yang lebih tinggi akan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) serta menekan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1 dan bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

(20)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Wilayah

Pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Menurut Siagian (1994), pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building). Senada dengan hal tersebut, Rustiadi et al. (2011) menjelaskan bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. UNDP mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices). Dalam pengertian lain, Kartasasmita (1994) menjelaskan bahwa pembangunan adalah suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.

Menurut BPS (2010), Pembangunan merupakan proses transformasi jangka panjang yang melibatkan berbagai faktor produksi sebagai input untuk menghasilkan keluaran (output) dan hasil (outcome) yaitu berupa kemakmuran dan kesejahteraan. Faktor produksi dalam arti luas meliputi sumber daya alam (natural capital), sumber daya manusia (human capital), dan sumber daya teknologi (technology capital). Ketiga faktor produksi tersebut dikenal dengan modal tradisional pembangunan.

Terdapat perbedaan antara makna pembangunan dan perkembangan. Pembangunan yang diartikan sebagai suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana, berbeda dengan perkembangan yang diastikan sebagai proses perubahan yang terjadi secara alamiah sebagai

(21)

dampak dari adanya pembangunan (Riyadi dan Bratakusumah, 2003). Dengan demikian, perkembangan merupakan salah satu hasil yang diakibatkan oleh pembangunan.

Pembangunan sendiri dapat memiliki makna perubahan dan pertumbuhan. Menurut Siagian (1983) dalam Riyadi dan Bratakusumah (2003), pembangunan sebagai suatu perubahan diartikan untuk mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu prtumbuhan menunjukkan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa pada dasarnya pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti bahwa pembangunan dapat menyebabkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan.

Menurut Todaro (2000) dalam Rustiadi et al. (2011), paling tidak pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustainance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri (self-esteem) serta kebebasan (freedom) untuk memilih.

Menurut Rustiadi et al. (2011) konsep “wilayah”, “kawasan”, “daerah”,

“regional”, “area”, “ruang” dan istilah-istilah sejenis, banyak dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda. Istilah wilayah mengacu pada pengertian unit geografis, secara lebih jelasnya wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu sama lain. Dengan demikian, wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponenya memiliki arti didalam pendiskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Dilihat dari konotasi maknanya, "daerah" lebih berkonotasi pada satuan administrasi tertentu seperti provinsi, kabupaten/kotamadya, kecamatan hingga ke desa. Berbeda dengan itu, wilayah lebih sering dimaknai sebagai area fungsional, seperti perkotaan, perdesaan, dan lain-lain.

Pembagunan daerah tidak terlepas dari proses perencanaan pembangunan daerah. Riyadi dan Bratakusumah (2003) menjelaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi tetap berpegang pada azas prioritas. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa perencanaan pembangunan daerah menyangkut pada tiga hal pokok , yaitu perencanaan komunitas, menyangkut area/daerah, dan sumber daya yang ada di dalamnya.

(22)

Bratakusumah, 2003). Senada dengan hal tersebut Anwar dan Hadi (1996) menjelaskan bahwa perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu proses atau tahapan pengarahan kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang melibatkan interaksi antara sumber daya manusia dengan sumber daya lain, termasuk sumber daya alam dan lingkungan melalui investasi.

Perencanaan pembangunan daerah memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1) Menghasilkan program-program yang bersifat umum.

2) Analisis perencanaan bersifat makro/luas.

3) Lebih efektif dan efisien digunakan untuk perencanaan jangka menengah dan panjang.

4) Memerlukan pengetahuan secara interdisipliner, general dan universal, namun tetap memiliki spesifikasi masing-masing yang jelas.

Fleksibel dan mudah untuk dijadikan sebagai acuan perencanaan pembangunan jangka pendek.

Pengertian Modal Sosial

Teori modal sosial awal sebenarnya dipicu oleh tulisan Pierre Bourdieu pada akhir tahun 1970-an. Meskipun demikian, banyak pihak yang berkeyakinan bahwa Coleman merupakan ilmuan pertama yang memperkenalkan konsep modal sosial (social capital) sebagaimana tulisannya dalam jurnal American Journal of Sociology American Journal of Sociology berjudul "Social Capital in the Creation of Human Capital" pada tahun 1988 (Kuncoro, 2010).

Menurut Coleman (1988), jika kita mulai dengan teori tindakan rasional, di mana masing-masing individu memiliki kontrol atas sumber daya tertentu dan kepentingan sumber daya dan peristiwa tertentu, maka modal sosial merupakan jenis sumber daya tertentu yang tersedia untuk seorang individu. Modal sosial juga didefinisikan oleh fungsinya yang bukan merupakan satu entitas tersendiri, namun terdiri atas berbagai entitas yang berbeda, dengan dua elemen yang sama. Elemen-elemen ini terdiri dari modal sosial yang mencakup beberapa aspek struktur sosial dan modal sosial yang memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku, baik pelaku individu maupun perusahaan di dalam struktur tersebut. Seperti bentuk-bentuk lain dari modal, modal sosial bersifat produktif, yang memungkinkan pencapaian tujuan tertentu. Di samping itu, Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai bentuk (feature) dari organisasi sosial seperti rasa percaya, norma dan jaringan kerja yang dapat meningkatkan efisiensi pada masyarakat dengan memfasilitasi aksi yang terkoordinasi.

Fukuyama (1995), menjelaskan modal sosial secara sederhana bisa didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Jika anggota-anggota kelompok itu mengharapkan para anggota yang lain akan berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai.

(23)

berkeyakinan bahwa jaringan sosial tidaklah alami, melainkan dikonstruksi melalui strategi investasi yang berorientasi kepada pelembagaan hubungan-hubungan kelompok, yang dapat dipakai sebagai sumber terepercaya untuk meraih keuntungan. Definisi tersebut mengandaikan bahwa modal sosial memisahkan dua elemen, yaitu: (1) hubungan sosial itu sendiri yang mengijinkan individu untuk mengklaim akses terhadap sumber daya yang dimiliki oleh asosiasi mereka; dan (2) jumlah dan kualitas sumber daya tersebut.

Modal sosial juga dapat dilihat sebagai sekumpulan asosiasi diantara orang-orang yang mempengaruhi produktivitas komunitas yang mencakup jaringan dan norma sosial. Jaringan dan norma secara empirik saling berhubungan dan memiliki konsekuensi ekonomi yang penting. Modal sosial berperan di dalam menfasilitasi kerjasama dan koordinasi untuk manfaat bersama bagi anggota- anggota asosiasi (Putnam, 1993)

Narayan (1999), memberikan definisi modal sosial sebagai norma dan hubungan sosial yang tertambat di dalam struktur sosial masyarakat yang memungkinkan orang-orang untuk mengkoordinasikan tindakan dan mencapai tujuan bersama. Sedangkan Portes (1998), mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan dari para pelaku untuk mendapatkan manfaat melalui keanggotaan di dalam jaringan sosial atau struktur sosial lainnya.

Menurut Teilmann (2012), modal sosial merupakan sebuah konsep yang memiliki berbagai aspek, sehingga dalam menganalisis maupun mengukurnya perlu pendekatan yang mencakup seluruh aspek tersebut. Fukuyama (2002) menjelaskan tentang konsep modal sosial yang lebih luas. Menurutnya modal sosial termasuk pada organisasi masyarakat yang di dalamnya terdapat anggota yang berusaha untuk mencapai tujuan bersama yang berbasis pada norma dan nilai informal bersama. Disamping itu, banyak yang sekarang berpendapat bahwa modal sosial menjadi bahan pokok dalam pembangunan ekonomi dan stabilitas demokrasi.Modal sosial memungkinkan individu untuk bersatu dalam membela kepentingan mereka dan mengatur untuk mendukung kebutuhan bersama, dalam pemerintahan yang otoriter.

Modal sosial masyarakat termasuk juga lembaga, hubungan, sikap dan nilai-nilai yang mengatur interaksi antara orang-orang yang berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Modal sosialtidak hanya jumlah dari lembaga yang mendukung masyarakat, namun juga sebagai lem yang memegang mereka secara bersama-sama. Modal sosial ini termasuk nilai-nilai bersama dan aturan untuk perilaku sosial yang diungkapkan dalam hubungan pribadi, kepercayaan, dan rasa umum dari tanggung jawab masyarakat, yang membuat masyarakat lebih dari kumpulan individu. Tanpa adanya pemerintahan, norma-norma budaya, dan aturan-aturan sosial, sulit untuk membayangkan sebuah masyarakat dapat berfungsi (Serageldin, 1998).Dalam berbagai literatur ilmu politik, sosiologi, dan antropologi, modal sosial secara umum merujuk pada norma, jaringan kerja dan organisasi yang memberikan keuntungan akses terhadap kekuasaan dan sumber daya, serta formulasi dalam pembuatan keputusan dan kebijakan (Grootaert, 1999).

(24)

adalah unit penting, jembatan dalam meneropong kegiatan ekonomi di tingkat komunitas atau masyarakat.Lebih lanjut Ibrahim (2002) menjelaskan behwa bila dibandingkan dengan modal budaya, modal manusia yang dimiliki oleh individu, maka modal sosial bukan milik individual, tetapi sebagai hasil dari hubungan sosial antar individu. Modal sosial juga dapat didefinisiskan sebagai norma dan hubungan sosial yang menyatu dalam struktur masyarakat yang membuat orang dapat bekerjasama (connectedness) dalam bertindak untuk mencapai tujuan.

Modal sosial terjadi melalui perubahan dalam hubungan antara orang-orang yang memfasilitasi tindakan. Jika modal fisik sepenuhnya nyata, yang diwujudkan dalam bentuk materi yang dapat diamati, sedangkan modal manusia bersifat kurang nyata, yang diwujudkan dalam keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh oleh seorang individu. Seperti halnya modal manusia, modal sosial memiliki sifat yang kurang nyata, dan ada dalam hubungan antar individu. Sama seperti modal fisik dan modal manusia, modal sosial juga dapat memfasilitasi kegiatan produktif (Ibrahim, 2002).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaan dalam mendefinisikan modal sosial. Namun demikian, secara umum hampir semua ahli sepakat bahwa modal sosial memiliki tiga unsur utama, yaitu; (1) Rasa percaya (trust), (2) Norma (norm) dan (3) Jaringan kerja (network). Ketiga unsur utama tersebut dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur tingkat modal sosial di dalam suatu wilayah.

Klasifikasi dan Determinan Modal Sosial

Meskipun ada banyak definisi dan interpretasi dari konsep modal sosial, ada konsensus yang berkembang bahwa modal sosial merupakan kemampuan pelaku untuk mengamankan keuntungan berdasarkan keanggotaan dalam jaringan sosial atau struktur sosial lainnya (Portes, 1998). Jika seseorang mengambil pandangan yang luas dari apa yang terdiri oleh ini struktur sosial lainnya, modal sosial maka adalah sebuah konsep yang relevan di tingkat mikro, meso, dan makro (Grootaert, 1999).

Pada level mikro, modal sosial dapat terlihat dalam bentuk jaringan horisontal antara individu dan rumah tangga serta norma-norma yang mengatur hubungan itu dan nilai-nilai yang melandasi jaringan horisontal ini. Pengamatan modal sosial pada level meso mencakup hubungan horisontal dan vertikal di antara kelompok, diilustrasikan dengan pengelompokan asosiasi lokal menurut wilayah. Sedangkan pada level makro, modal sosial dapat diamati di dalam bentuk lingkungan kelembagaan dan politik yang mempengaruhi seluruh kegiatan ekonomi dan sosial, serta kualitas dari pengaturan pemerintah. Pada level makro, modal sosial berkaitan dengan ekonomi kelembagaan yaitu kualitas insentif dan kelembagaan yang merupakan faktor penentu yang utama dari pertumbuhan ekonomi (Grootaert dan van Bastelaer, 2002).

(25)

horizontal. Dimensi kognitif bersumber dari norma-norma, nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan yang hidup di dalam masyarakat sipil oleh dorongan kepercayaan, solidaritas, kerjasama dan persahabatan. Unsur modal sosial kognitif mempengaruhi/mengarahkan orang pada aksi kolektif yang menghasilkan manfaat bersama, sedangkan unsur-unsur struktural berperan di dalam memperlancar/memfasilitasi aksi kolektif itu. Dimensi-dimensi dari modal sosial struktural dan kognitif harus dikombinasikan untuk mewakili potensi agregat dari aksi kolektif yang mendatangkan manfaat bersama yang telah ada di dalam suatu komunitas.

Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah

Menurut Grootaert (1999) terdapat pandangan yang berkembang bahwa perbedaan hasil ekonomi, baik pada tingkat individu, rumah tangga ataupun di tingkat negara, tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh perbedaan dalam inputtradisional seperti tenaga kerja, lahan, dan modal fisik. Oleh karena itu, tumbuh perhatian kepada peran modal sosial dalam mempengaruhi kesejahteraan rumah tangga dan tingkat perkembangan masyarakat dan bangsa.

Modal sosial dapat berpengaruh terhadap hasil-hasil pembangunan, yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan pengentasan kemiskinan. Asosiasi dan kelembagaan menyediakan sebuah kerangka kerja informal untuk mengelola penyebaran informasi, koordinasi kegiatan, dan pengambilan keputusan bersama (Grootaert, 1999). Woodhouse (2006) juga menyatakan bahwa modal sosial dapat berpengaruh secara positif terhadap pembangunan ekonomi. Modal sosial ini baik berupa bonding social capital maupun bridging social capital sangat penting dalam keberhasilan pembangunan ekonomi masyarakat.

Adanya modal sosial mungkin bisa membantu menjelaskan kemajuan ekonomi daerah tertentu, karena penggunaan sumber daya daerah endogen adalah faktor kunci pembangunan di bidang sosial-ekonomi. Kadang-kadang modal sosial dapat cukup untuk menetapkan pembangunan berkelanjutan endogen dan kemakmuran ekonomi, tapi setidaknya itu meningkatkan modal ekonomi dan pembangunan (Bronisz et al. 2010).

(26)

view), berpendapat bahwa jaringan kerja komunitas dan masyarakat sipil, secara luas adalah hasil dari keadaan politik, hukum, dan lingkungan kelembagaan. Pandangan ini telah menghasilkan sejumlah metodologi dan fakta empiris yang kuat namun hanya untuk kebijakan makro, (4) pandangan sinergi (the synergy view), menggabungkan pandangan jaringan dan kelembagaan atas dasar asumsi bahwa tidak satupun pelaku pembangunan (pemerintah, swasta dan masyarakat) akan dapat berjalan sendiri di dalam mengakses sumberdaya yang dibutuhkan untuk menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Modal sosial digunakan sebagai variabel penghubung.

Pengaruh modal sosial terhadap pembangunan ekonomi suatu wilayah dijelaskan pula oleh Pretty (2003). Dalam hal ini, ia lebih mengkaitkannya dengan pengelolaan sumber daya bersama. Menurutnya telah banyak komunitas yang menunjukkan sejak dahulu hingga kini dalam berkolaborasi guna melakukan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan. Modal sosial menggambarkan ide bahwa ikatan sosial dan norma sangat penting dalam keberlanjutan suatu pengelolaan sumberdaya, dimana modal sosial diwujudkan dalam tingginya intensitas kelompok formal, tingginya keinginan masyarakat dalam melakukan kegiatan bersama, dan kepedulian masyarakat terhadap kegiatan bersama tersebut. Sekitar 0.4 sampai 0.5 juta kelompok telah membuktikannya dalam pengelolaan sumber daya air, hutan, perikanan, irigasi, pemberantasan hama, dan pengelolaan keuangan mikro. Semua itu merupakan bukti dalam pengelolaan sumber daya bersama secara berkelanjutan (Pretty, 2003).

(27)

Tabel 1 Peneliti, definisi dan sumber modal sosial

Peneliti Definisi Modal Sosial

Sumber Modal Sosial

Kemampuan pelaku untuk mengamankan keuntungan dengan cara menjadi anggota dalam jaringan kerja sosial atau struktur sosial lainnya.

Modal sosial didefinisikan menurut fungsinya, bukan merupakan satu sifat tertentu tetapi terdiri atas berbagai sifat yang berbeda.

Closure; ikatan multiple

Putnam (1993) Karakteristik organisasi sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama.

Networks Efisiensi Pemerintah

Ostrom (1994) Modal sosial adalah pengetahuan bersama, pengertian, norma, aturan dan ekspektasi mengenai pola interaksi dimana kelompok individual membangun aktivitas bersama

(Coleman 1998; E.Ostrom 1990, 1992; Putnam, Ieonardi, dan Nanetti 1993)

Networs Norma Social belieft

Modal Sosial adalah informasi, kepercayaan dan norma resiprositas yang melekat pada jaringan kerja sosial.

Integritas

Modal sosial adalah norma informal yang bersifat instant yang mengembangkan kerjasama antar dua atau lebih individu. Norma yang merupakan modal sosial dapat dibentuk dari norma yang bersifat resiprokal antar teman, atau yang lainnya.

Grootaert (2001) Sesuai dengan definisi Portes (1998) Networks

Beugelsdijk, Van Schaik (2003)

Rasa saling percaya

Svendsen (2004) Rasa percaya Entrepreneurship

Sumber : Vipriyanti, 2007

(28)

Tabel 2 Penelitian modal sosial terdahulu dan variabel yang digunakan

Penulis Variabel Bebas Identifikasi Variabel Terikat Hasil

Knack & Keefer (1997)

Indikator Pertumbuhan Ekonomi

Trust, Civic norm

Student enrollment pada tingkat primer dan sekunder

Harga barang investasi

Trust dan civic cooperation memiliki dampak yang kuat pada aktivitas ekonomi

Grootaert (1999)

Tingkat pendapatan Kepemilikan aset

fisik dan tabungan

Membership : rata-rata anggota yang aktif per RT Indeks Heterogenitas: Skala heterogenitas internal

(0-100) berdasarkan 8 kriteria

Kehadiran: rata-rata jumlah kehadiran anggota keluarga pada pertemuan kelompok selama 3 bulan terakhir, dinormalisasi dengan jumlah anggota.

Indeks partisipasi dalam pengambilan keputusan: Skala partisipasi aktif dalam pengambilan

keputusan.

Cash contribution: jumlah fee yang dibayarkan sebagai anggota pada tiga kelompok terpenting Work contribution: jumlah hari kerja per tahun Community orientation: persentase anggota dalam

suatu organisasi dalam komunitas berasal.

Kekuatan pengaruh modal sosial hampir sama dengan human capital

(29)

Tabel 2. Lanjutan

Penulis Variabel Bebas Identifikasi Variabel Terikat Hasil

Glaeser, Laibson,

Tingkat return to social skill Kepemilikan rumah

Jarak

Modal sosial dan umur awalnya berhubungan positif lalu negatif Mobilitas memperlemah modal sosial Return to social skill yang lebih besar Pemilikan rumah meningkatkan modal

sosial

Jarak fisik memperlemah hubungan sosial Investasi dalam human capital juga berarti

investasi dalam modal sosial

Aktivitas dan keanggotaan suatu organisasi

 Pertumbuhan di Yunani dapat dijelaskan melalui akumulasi modal sosial secara gradual

 Yunani memiliki kesamaan dengan Itali Selatan dalam hal sebab akibat dari tingkat modal sosial yang rendah

Christoforou (2003) Tingkat pengangguran dan GDP (Gross Domestic

Civic society yang lemah berimplikasi pada stok modal sosial dan trust yang rendah Negara di uni eropa yang memiliki tingkat

group membership rendah cenderung berkaitan dengan tingkat GDP per kapita yang rendah

(30)

Tabel 2. Lanjutan

Penulis Variabel Bebas Identifikasi Variabel Terikat Hasil

Beugelsdijk dan Schaik (2003)

Modal sosial diukur berdasarkan rasa percaya (general trust) dan aktivitas organisasi

Menggunakan variabel dalam penelitian Knack dan Keefer (2003) serta Putnam (1993) dan Olson (1982)

 Modal sosial yang diukur dari trust tidak berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi

 Tidak ada bukti kuat yang mendukung hubungan antara investasi, student enrollment dan pertumbuhan ekonomi

Brata (2004) Akses pada lembaga perkreditan  Jumlah keanggotaan, kehadiran, partisipasi dalam pengambilan keputusan  Social position

Kehadiran berpengaruh terhadap perolehan kredit formal sedangkan jumlah keanggotaan dalam organisasi pada perolehan kredit informal

Iyer, Kitson, Toh (2005) Modal sosial diukur dari rasa percaya dan keanggotaan dalam organisasi  Modal sosial memberi peran

penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan wilayah

 Modal sosial tidak dapat berdiri sendiri, hanya berperan bila dikombinasikan dengan modal lainnya.

(31)

Modal Sosial di Indonesia dan Jawa Barat

Penyediaan informasi terkait modal sosial di Indonesia telah dilakukan oleh BPS sejak tahun 2005. Pada tahun 2009 stok modal sosial diperoleh dari data mentah yang berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Modul Sosial Budaya dan Pendidikan. Berdasarkan hasil survei tersebut, sikap percaya merupakan unsur utama pembentuk modal sosial di masyarakat. Adanya sikap saling percaya di antara anggota masyarakat akan mempertinggi keeratan dan harmoni hubungan antar anggota masyarakat pada suatu komunitas. Sikap percaya masyarakat terhadap aparatur RT/SLS terkecil, pengurus kelompok masyarakat, dan aparatur desa/kelurahan ternyata masih sangat tinggi. Di samping itu, sikap percaya anggota masyarakat terhadap tetangga sekitarnya dapat dilihat berdasarkan 2 (dua) hal yaitu (1) sikap percaya untuk menitipkan anak kepada tetangga ketika tidak satupun anggota rumah tangga dewasa ada di rumah, dan (2) sikap percaya menitip rumah kepada tetangga ketika tidak satupun anggota ternyata masih saling percaya terhadap tetangga. Masyarakat secara umum lebih banyak khawatir untuk menitipkan anak daripada menitipkan rumah kepada tetangga (BPS, 2010).

Unsur pembentuk modal sosial lainnya yang juga sangat penting adalah toleransi baik antar suku bangsa maupun agama. Secara umum kehidupan bertetangga antar anggota masyarakat yang berbeda agama dan suku bangsa tidak mengalami masalah. Namun demikian, terkait pembangunan tempat ibadah agama yang berbeda dengan mayoritas masyarakat setempat masih mengalami kendala di dalam masyarakat Indonesia (BPS, 2010).

Unsur modal sosial lain yang diukur oleh BPS adalah terkait dengan interaksi sosial. Menurut BPS (2010), Interaksi sosial membutuhkan wadah berupa kelompok sebagai sarana komunikasi dan jalinan kerja sama antar individu dalam komunikasi. Atas dasar ini tersebut maka kelompok menjadi salah satu subdimensi dalam rangka pengukuran stok modal sosial. Ikatan individu dalam sebuah kelompok akan mendorong setiap anggota masyarakat untuk sadar dan patuh terhadap tata nilai dan aturan yang berlaku di masyarat. Selain itu kelompok juga menjadi wadah untuk mengembangkan potensi diri setiap anggota masyarakat sesuai bidang yang diminati. Subdimensi kelompok dalam masyarakat dicerminkan oleh adanya keeratan hubungan dalam komunitas berupa kebiasaan saling mengantar makanan, serta kebiasaan saling bersilaturahmi diantara anggota masyarakat dalam komunitas.

(32)

membantu apabila ada rumah tangga lain meminjam uang untuk kebutuhan mendesak, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung mempunyai niat yang baik untuk membantu kebutuhan mendesak. Namun demikian, aplikasinya bergantung pada kondisi ekonomi rumah tangga saat itu (BPS, 2010).

Melihat modal sosial di Jawa Barat, menurut BPPD Provinsi Jawa Barat (2008), di kalangan masyarakat Jawa Barat baik masyarakatperdesaan maupun perkotaan modal sosial yang ada masih dalam tahap bonding (sebagai pengikat saja), belum sebagai jembatan (bridging) yang menghubungkan seluruh potensi warga. Hal ini ditandai denganmayoritas kelompok-kelompok yang terbentuk adalah berdasarkan persamaan baik karena kekerabatan, persamaan etnik, persamaan agama, persamaan strata ekonomi, dan lain-lain, serta memiliki ikatan yang kuat, disebabkan pertemuan diantara anggotanya yang cukup intens. Kelompok-kelompok tersebut contohnya kelompok pengajian (persamaan agama), kelompok arisan (persamaan tempat tinggal) dan kelompok tani (persamaan pekerjaan). Selain itu, kerjasama yang dilaksanakan terbatas pada komunitas yang sama, serta pendanaan dalam kelompok tersebut pada umumnya swadaya dari iuran anggota.

Kapasitas modal sosial yang tersedia belum secara optimal dimanfaatkan untuk penanggulangan kemiskinan karena kelompok-kelompok yang tersedia memiliki keterbatasan akses untuk memberdayakan anggotanya. Selain itu, untuk perluasan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan aktualisasi diri, pada umumnya masyarakat mendapatkan informasi dari keluarga, teman, dan tetangga, sedangkan untuk minta bantuan, pada umumnya mencari bantuan dari kelompok masyarakat yang strata ekonominya setara (BPPD Provinsi Jawa Barat, 2008).

(33)

Tabel 3 Stok modal sosial di Jawa Barat

No Kabupaten/ Kota

Stok Modal Sosial

Presentase Kontribusi Faktor Pembentuk Stok Modal Sosial (%)

Percaya Terhadap Toleransi Beragama dan

Suku Bangsa Kelompok Persahabatan Jejaring Total

Aparatur dan Kelompok Tetangga

1 Bogor 58,8 32,0 19,9 15,7 12,0 9,0 11,4 100,0

2 Sukabumi 56,2 31,9 19,7 15,8 12,5 8,6 11,5 100,0

3 Cianjur 57,8 30,1 19,5 17,6 12,1 9,5 11,3 100,0

4 Bandung 56,6 31,3 19,3 16,9 11,9 8,7 11,8 100,0

5 Garut 57,1 30,6 18,5 19,7 11,4 9,1 10,8 100,0

6 Tasikmalaya 60,6 29,4 18,7 19,3 11,8 9,1 11,7 100,0

7 Ciamis 60,1 30,0 17,8 18,9 12,4 9,8 11,2 100,0

8 Kuningan 58,8 30,6 18,2 18,7 11,7 9,4 11,3 100,0

9 Cirebon 58,2 30,9 17,7 19,7 11,8 9,1 10,8 100,0

10 Majalengka 59,7 29,5 18,4 18,9 11,9 10,6 10,6 100,0

11 Sumedang 61,3 30,8 19,9 18,8 11,1 9,3 10,1 100,0

12 Indramayu 57,4 30,4 18,4 19,2 12,5 8,7 10,9 100,0

13 Subang 58,4 30,8 18,9 18,2 11,7 9,2 11,3 100,0

14 Purwakarta 59,1 30,8 17,9 18,5 11,9 9,7 11,3 100,0

15 Karawang 59,7 30,0 18,9 18,2 12,2 9,8 10,8 100,0

16 Bekasi 57,6 31,0 18,7 18,4 12,1 8,2 11,5 100,0

17 Bandung Barat 59,9 31,7 19,0 18,5 11,9 7,8 11,0 100,0

18 Kota Bogor 55,8 30,9 18,4 18,4 12,1 9,2 11,0 100,0

19 Kota Sukabumi 58,2 31,2 18,8 18,4 10,9 9,3 11,5 100,0

20 Kota Bandung 56,1 31,0 17,8 18,4 11,2 9,8 11,8 100,0

21 Kota Cirebon 57,8 31,9 18,8 19,0 11,5 8,1 10,7 100,0

22 Kota Bekasi 59,4 31,1 18,6 17,5 12,5 8,9 11,5 100,0

23 Kota Depok 61,9 31,4 19,3 17,7 11,7 9,1 10,8 100,0

24 Kota Cimahi 58,7 30,3 18,7 19,2 11,7 9,5 10,6 100,0

25 Kota Tasikmalaya 58,8 31,0 18,9 17,5 11,6 10,3 10,8 100,0

26 Kota Banjar 58,6 29,5 19,8 18,5 11,5 9,3 11,3 100,0

Sumber: BPS (2010)

(34)

Sumber: BPS (2010)

Gambar 3 Grafik Stok Modal Sosial di Jawa Barat Tahun 2009

52 54 56 58 60 62 64

Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar

(35)

3

METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian mengenai studi keterkaitan modal sosial dengan perkembangan kecamatan dilakukan di Kabupaten Sukabumi yang meliputi 47 Kecamatan. Secara geografis wilayah Kabupaten Sukabumi terletak diantara 6o57’ - 7o25’ Lintang Selatan dan 106o49’ - 107o00’ Bujur Timur. Luas daerahnya yaitu 416.200 Ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat; Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia; Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten dan Samudera Indonesia; Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur (Gambar 3). Penelitian akan dilaksanakan selama 7 (tujuh) bulan dari bulan April sampai Desember 2015.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder berupa variabel-variabel modal sosial yang diperoleh dari data potensi desa dan indikator-indikator pembangunan dari Bappeda Kabupaten Sukabumi dan BPS Kabupaten Sukabumi dan diolah menggunakan software ArcGIS 10.1, Microsoft Office 2007, Statistica 7, dan SPSS 22. Hubungan antara tujuan penelitian, teknik analisis data, variabel, sumber data dan output yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 3.

Sumber: Peta RTRW Kabupaten Sukabumi

(36)

Tabel 4 Tujuan penelitian, jenis data, teknik pengumpulan, sumber data, teknik analisis data dan output penelitian

No Tujuan Jenis Data Sumber Data Metode Analisis Keluaran

1 Menganalisis stok  Data organisasi profesi  Data organisasi

masyarakat

 Data tokoh masyarakat  Data keragaman etnis  Data kepadatan penduduk

BPS Kab.Sukabumi

 Data sarana dan prasarana wilayah  Rata-rata lama sekolah  Persentase jalan desa yang

(37)

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara studi literatur dan data sekunder. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini semaksimal mungkin menggunakan data sekunder yang ada. Data ini dapat diperoleh dari berbagai instansi yang terkait antara lain BPS, Bappeda, Dinas Sosial dan instansi-instansi terkait.

Metode Analisis Data

Analisis Modal Sosial

Analisis stok modal sosial dilakukan dengan berbagai tahapan. Setiap tahapan ini dilakukan dengan metode analisis tersendiri. Pada dasarnya metode ini mengacu pada metode yang dilakukan oleh BPS dalam mengukur stok modal sosial di tingkat kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Data yang digunakan dalam pengukuran stok modal sosial adalah data-data sosial yang menjadi proksi dari masing-masing faktor pembentuk stok modal sosial di tingkat kecamatan. Data tersebut contonya seperti data jenis dan kepadatan organisasi sosial, data jenis dan kepadatan organisasi profesi, jumlah konflik, tingkat keragaman etnis dan agama, serta data-data lain yang secara statistik diyakini mampu mempresentasikan konsep modal sosial yang hendak diukur. Data tersebut diseleksi untuk mendapatkan variabel modal sosial yang menggambarkan keragaman stok modal sosial di kecamatan dan berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi kecamatan. Hasil analisis ini berupa skor indeks (stok) modal sosial beserta faktor pembentuknya yang selanjutnya disajikan menurut kecamatan di Kabupaten Sukabumi.

Tahapan pengukuran stok modal sosial untuk setiap kecamatan di Kabupaten Sukabumi adalah sebagai berikut:

1) Identifikasi faktor

Pada dasarnya identifikasi faktor yang dilakukan ini sama dengan analisis tipologi wilayah, yaitu dengan menggunakan Analisis komponen utama. Analisis komponen utama merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memperkecil korelasi antar variabel yang kuat yang ditunjukkan oleh gejala multikolinieritas. Dalam penelitian ini Analisis Komponen Utama (PCA) dilakukan dengan menggunakan software SPSS 22. Analisis ini pada dasarnya digunakan untuk melihat struktur keterkaitan antar variabel yang dirumuskan, sehingga menghasilkan indeks komposit yang merupakan gabungan dari variabel asal yang saling mempengaruhi. Tujuan Analisis Komponen Utama (PCA) sebenarnya adalah membentuk struktur data baru yang disebut dengan faktor dengan cara mentransformasi struktur data dengan variabel-variabel yang masih berkorelasi tadi atau dengan kata lain disebut ortogonalisasi variabel. Dengan ortogonalisasi variabel akan dihasilkan struktur data baru dengan variabel yang jauh lebih sederhana dengan tingkat keragaman dan kandungan informasinya yang relatif tidak berubah. Teknik ekstraksi data dengan PCA pada dasarnya adalah dengan memaksimalkan keragaman dalam satu faktor baru dan meminimalkan keragaman dengan faktor yang lain, menjadi peubah yang bebas satu sama lain (Supranto, 2004).

(38)

(1) Standarisari variabel asal yang bertujuan untuk menghilangkan data antar variabel yang dilakukan dengan rumus :

Xij - µj YIJ = --- Sj Keterangan:

YIJ = Variabel baru yang telah disederhanakan Xij = Variabel nilai x pada wilayah i variabel j µj = Nilai rata-rata masing-masing variabel Sj = Simpangan masing-masing variabel

(2) Ortogonalisasi variabel bertujuan untuk membuat variabel baru Zα (α=1,2…q≤p) yang memiliki karakteristik yaitu:

a. Satu sama lain tidak saling berkorelasi, yakni rαα = 0 b. Nilai rataan masing-masing tetap sama dengan nol

c. Nilai ragam masing-masing Zα sama dengan גα≥0, dimana ∑α

גα=p

(3) Penyederhanaan jumlah variabel dilakukan dengan mengurutkan masing-masing faktor atau komponen utama yang menghasilkan eigenvalue dari yang tertinggi sampai yang terendah. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :

a. Memilih faktor atau komponen yang memiliki eigenvalue ≥1. Ini berarti bahwa faktor tersebut memiliki ragam setara dengan informasi yang terkandung dalam satu peubah asal.

b. Membuang faktor yang memiliki eigenvalue antar dua faktor atau komponen utama yang berdekatan/tidak begitu signifikan jika (גα - µα– 1)<1

c. Atau juga bisa dilakukan dengan menggunakan scree test dengan memilih hasil scree test yang paling curam.

d. Menentukan faktor utama yang memiliki koefisien korelasi nyata minimal satu peubah asal. Kriteria yang digunakan adalah

│rαj│≥ 0,65. Hal ini dimaksudkan agar setiap faktor yang terpilih paling tidak memiliki satu penciri dominan dari variabel asalnya.

Penghitungan Analisis Komponen Utama (PCA) dilakukan dengan menggunakan software SPSS 22.

2) Pengukuran bobot setiap variabel

Bobot (penimbang) bagi setiap variabel pada suatu faktor dihitung berdasarkan hasil susunan faktor optimal pembentuk stok modal sosial. Bobot setiap variabel dihitung berdasarkan nilai loading factor's pada variabel yang bersangkutan dan nilai rotation sums of square loading (% of variance) pada faktor yang terbentuk (BPS, 2010). Lebih lanjut BPS (2010) menjelaskan bahwa pengukuran bobot bagi setiap variabel dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu:

a. Penghitungan bobot tiap variabel dalam faktor dengan formula:

(39)

Keterangan: B = nilai bobot

LF = nilai loading factor

RLF = rata-rata loading factor dalam satu faktor

RSSL = nilai rotation sums of squared loading (% of variance)

b. Perhitungan bobot ternormalisasi tiap variabel dalam faktor dengan formula:

Keterangan:

b = nilai bobot ternormalisasi B = nilai bobot

JB = jumlah semua bobot 3) Pengukuran nilai stok modal sosial

Pengukuran stok modal sosial bagi setiap kecamatan dilakukan dengan menggunakan data setiap faktor yang telah dinormalisasi, sehingga nilai masing-masing faktor dapat diperbandingkan. Nilai tersebut dihitung dengan menggunakan formula:

Keterangan:

S = stok modal sosial

T = t skor untuk masing-masing variabel b = nilai bobot ternormalisasi

i = kecamatan ke i

Analisis Klaster (Cluster Analysis)

Teknik pewilayahan adalah suatu teknik yang dilakukan untuk mengelompokkan wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik tertentu dari suatu hamparan wilayah (Panuju dan Rustiadi, 2013). Sejalan dengan hal tersebut, Supranto (2014) menjelaskan bahwa teknik pewilayahan dilakukan dengan cara membatasi wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik tertentu dari suatu hamparan wilayah. Pembentukan klaster didasarkan pada kuat tidaknya hubungan antar wilayah dengan menggunakan multivariabel. Setelah klaster terbentuk maka dilakukan interpretasi. Dalam konteks penelitian ini maka pengklasteran didasarkan pada tiga kategori wilayah yaitu wilayah berkembang, wilayah cukup berkembang, dan wilayah belum berkembang. Metode penggerombolan yang digunakan adalah hierarchical clustering dengan metode ward’s, karena memiliki lebih sedikit asumsi dan campur tangan pelaku analisis. Variabel yang digunakan adalah indeks pembangunan manusia (IPM), stok modal sosial dan indeks perkembangan kecamatan. Indeks perkembangan kecamatan dihitung dengan formula (Panuju et al. 2013):

(40)

D

IPDj = Indeks Perkembangan Kecamatan ke-j

Kij = Nilai baku indeks hierarki untuk fasilitas ke-i dan kecamatan ke-j Xij = Jumlah jenis / unit fasilitas ke-i di kecamatan ke-j

Sj = Standar deviasi invers jarak dan fasilitas pada kecamatan ke-j

Analisis klaster yang akan dilakukan dalam penelitian ini menggunakan jarak eucledian sebagai jarak antara dua data atau jarak antara dua gerombol data dengan ciri yang serupa. Perhitungan jarak ini dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan penggabungan data. Persamaan perhitungan jarak eucledian antara dua titik atau dua gerombol adalah sebagai berikut :

Nilai D merupakan jarak antara titik data/gerombol X dan Y. Makin kecil nilai D makin besar kemiripan data X dan Y. Asumsi yang harus dipenuhi dalam penggunaan jarak eucledian ini adalah bahwa antar variabel tidak terjadi multikolinearitas atau variabel-variabel yang ada saling tegak lurus (ortogonal). Berhubung pada umumnya pengkelasan suatu wilayah didasarkan pada karakteristik (variabel) dalam jumlah cukup besar, maka kemungkinan terjadinya multikolinearitas cukup besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan teknik antara dengan menghilangkan kondisi tersebut melalui transformasi analisis komponen utama (Principal Components Analysis). Dengan transformasi PCA tersebut variabel-variabel yang digunakan akan saling ortogonal satu dengan yang lain. Analisis Keterkaitan antara Modal Sosial dengan Pembangunan Wilayah (Model Regresi Linier Berganda)

Pada penelitian ini, keterkaitan modal sosial dengan pembangunan wilayah dianalisis dengan model regresi linier berganda. Beberapa variabel yang diuji untuk mewakili aspek pembangunan wilayah dan menjadi variabel dependent antara lain pendapatan perkapita, persentase keluarga pra sejahtera, dan indeks pembangunan manusia, sedangkan modal fisik, modal manusia, dan modal sosial sebagai variabel independent.

Model yang dibangun dalam penelitian ini sebagian berdasarkan penelitian Viprianti (2007). Pada model pembangunan yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan atas pertimbangan adanya keterkaitan (sifat simultan) antar modal sosial dan indikator hasil-hasil pembangunan.

Keberhasilan pembangunan tidak hanya mempertimbangkan ketersediaan faktor fisik (FC) namun juga faktor non fisik seperti modal sosial (SC) dan modal manusia (HC). Secara rinci, spesifikasi model yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yi = F(FCi, HCi,SCi,)

keterangan :

Yi = indikator pembangunan ekonomi wilayah

FCi = modal fisik

HCi = modal manusia

SCi = stok modal sosial

(41)

4

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Kondisi Fisik Wilayah

Geografi dan Administrasi

Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Jawa Barat dengan jarak tempuh 96 km dari Ibukota Provinsi Jawa Barat (Bandung) dan 119 km dari Ibukota Negara (Jakarta). Secara geografis wilayah Kabupaten Sukabumi terletak pada 6o 57’-7o 25’ Lintang Selatan dan 106o49’-107o00’ Bujur Timur dan mempunyai luas wilayah 4.161 km2. Kabupaten Sukabumi memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut (BPS, 2015):

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat;

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia;

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten dan Samudera Hindia;

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Selain berbatasan dengan wilayah-wilayah di atas, Kabupaten Sukabumi secara administratif juga berbatasan secara langsung dengan wilayah Kota Sukabumi yang merupakan daerah kantong (enclave) yang dikelilingi oleh beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Sukabumi, Kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Sukabumi di sebelah Utara, Kecamatan Cisaat dan Kecamatan Gunung Guruh di sebelah Barat, Kecamatan Nyalindung di sebelah Selatan, Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Kebonpedes di sebelah Timur.

Wilayah Kabupaten Sukabumi meliputi meliputi 47 kecamatan, 6 kelurahan dan 381 desa dengan ibukota kabupaten berada di Kecamatan Palabuhanratu. Meskipun demikian,beberapa kantor pemerintahan masih ada yang berdomisili di Kecamatan Cisaat, Kecamatan Cibadak, Kecamatan Cikembar, bahkan di Kota Sukabumi.

(42)

Geologi dan Jenis Tanah

Kabupaten Sukabumi sebagian besar memiliki tanah dengan tekstur sedang (tanah lempung). Kedalaman tanahnya dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) golongan besar yaitu kedalaman tanah sangat dalam (lebih dari 90 cm) dan kedalaman tanah kurang dalam (kurang dari 90 cm). Kedalaman tanah sangat dalam tersebar di bagian utara, sedangkan kedalaman tanah kurang dalam tersebar di bagian tengah dan selatan. Hal ini mengakibatkan wilayah bagian utara lebih subur dibanding wilayah bagian selatan.

Struktur geologi wilayah Kabupaten Sukabumi terbagi menjadi dua zona yaitu zona utara dan zona selatan, dengan batas Sungai Cimandiri yang mengalir dari arah Timur Laut ke Barat Daya. Zona Utara merupakan kawasan yang dipengaruhi oleh vulkan dan sebagian besar merupakan daerah yang subur, dimana terdapat kawasan perkebunan, persawahan dan kegiatan pertanian lainnya. Zona selatan merupakan kawasan yang berbukit-bukit yang terdiri atas kawasan pertanian lahan kering, perkebunan dan kehutanan. Jenis tanah di bagian utara pada umumnya terdiri dari tanah latosol, andosol dan regosol. Di bagian tengah pada umumnya terdiri dari tanah latosol dan podzolik, sedangkan di bagian selatan sebagian besar terdiri dari tanah laterit, grumosol, podzolik dan alluvial. Jenis tanah ini termasuk tanah yang agak peka terhadap erosi.

Hidrologi

Kondisi hidrologi dan hidrogeologi wilayah Kabupaten Sukabumi meliputi air tanah terutama berupa mata air, dan air permukaan berupa sungai dan anak-anak sungainya. Di wilayah Kabupaten Sukabumi banyak dijumpai mata air, biasanya tempat pemunculan mata air ini berasal dari dasar lembah atau kaki perbukitan. Munculnya mata air dari tempat-tempat tersebut disebabkan adanya lapisan batuan kedap air di bawahnya, sehingga peresapan tidak terus ke dalam melainkan ke arah lateral dan muncul di kaki-kaki tebing/lembah atau kaki perbukitan. Sementara air permukaan yang sebagian besar terdiri atas sungai-sungai dan anak-anak sungai-sungainya membentuk daerah aliran sungai-sungai (DAS) yang mengaliri luas areal persawahan, meliputi DAS Cikaranggeusan (4.038 ha), DAS Ciletuh (6.248 ha), DAS Cisalada (632 ha), DAS Cimandiri (700 ha), DAS Ciseureuh Cibeureum (1.303 ha), DAS Cikarangnguluwung (1.874 ha), DAS Cikarang Cigangsa (1.025 ha), DAS Cigangsa (1.514 ha), dan 19 DAS kecil lainnya (8.909 ha).

Tabel 5 Luas Wilayah Kabupaten Sukabumi Menurut Ketinggian.

Ketinggian Luas Wilayah (ha) Persen

0-25 10 455.45 2.52%

Gambar

Gambar 2  Bagan Alir Penelitian
Tabel 1  Peneliti, definisi dan sumber modal sosial
Tabel 2  Penelitian modal sosial terdahulu dan variabel yang digunakan
Tabel 2. Lanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

KONDISI AWAL Administrator sudah masuk ke halaman lihat tipe sepeda motor.. PEMICU Administrator menambahkan data baru tipe

Secara umum penelitian ini memberikan dukungan yang signifikan terhadap konsep yang menyatakan bahwa penanganan keluhan, kepercayaan pelanggan dan kualitas fungsional

Karena pertumbuhan BRICs yang rata-rata sebesar 5% pada awal tahun 2000, peneliti memprediksi bahwa pada tahun 2050, perekonomian negara anggota BRICs akan lebih

Dengan memperhatikan kondisi geometrik jalan, volume arus lalu lintas, hambatan samping dan lingkungan simpang, mencoba untuk mengatasi dengan menggunakan simpang

Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu kontak dan tinggi level yang diaplikasikan, semakin besar pula luas permukaan sintesis TiO 2 serbuk kayu kelor dalam menyerap

Peserta tidak diperbolehkan masuk ke Schoology setelah 10 menit tes dimulai (Panitia akan mengeluarkan peserta yang sudah terlambat 10 menit ke atas) - jadi

Gambar 7 adalah tiga tingkatan kandungan air didalam tulang yaitu 5, 10 daD 15% yang selanjutnya diiradiasi dengan 30 kGy. Dati spektrum ESR terlihat bahwa jUlulah radikal

Ratna Akbari Ganie, SpPK-KH, sebagai Ketua Program Studi di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang memberikan kesempatan kepada