FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG DIIKLANKAN DI TELEVISI (Studi Kasus Mahasiswa Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Institut Pertanian Bogor Terhadap Iklan Produk Indomie)
ANDITO BAGUS PRAKOSO I34053534
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
ABSTRACT
The purposes of this research were to know about consumer attitude of product which have been advertised on television, and analyze the internal and external factors that influencing the consumer attitude. The advertisement which has been analyzed on
this research was the Indomie’s advertisement. The research method was quantitative research and sampling method was simple random sampling.
Result shows that the respondents have high scores of attitude at cognition, affection, and conation level. Internal factors or the characteristic of consumer didn’t influence the attitude well. The frequency of watching television and experience level had a low relation with consumer attitude, and income level was not related with consumer attitude. External factors or the design of advertisement influenced the attitude well. The advertisement’s design such as attraction, comprehension, acceptability, and self involvement were related with consumer attitude.
RINGKASAN
ANDITO BAGUS PRAKOSO. FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI SIKAP KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG DIIKLANKAN DI TELEVISI : Studi Kasus Mahasiswa Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor Terhadap Iklan Produk Indomie. (Di bawah bimbingan RICHARD W.E LUMINTANG).
Berbagai strategi komunikasi pemasaran dilakukan oleh para produsen
mie instan termasuk PT Indofood Sukses Makmur untuk memenangkan pasar.
Salah satu pilihannya adalah melakukan promosi dengan beriklan di berbagai
media. Salah satu media yang dianggap paling efektif untuk mengiklankan produk
termasuk produk mie instan adalah televisi. Iklan melalui media televisi ini
merupakan iklan yang masih dianggap menjadi pilihan utama bagi para pengiklan
untuk menjangkau konsumennya. Pada penelitian ini iklan yang akan diteliti
adalah iklan produk Indomie yang merupakan salah satu produk mie instan PT
Indofood Sukses Makmur.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap konsumen terhadap
produk yang diiklankan di televisi dan menganalisa sejauh mana faktor-faktor
internal dan eksternal mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk yang
diiklankan di televisi. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi
dan masukan bagi PT Indofood Sukses Makmur dan Matari Advertising serta
masyarakat sebagai konsumen.
Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data
primer. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa IPB khususnya
mahasiswa Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Teknik
penentuan sampel menggunakan simple random sampling dimana sampel yang digunakan berjumlah 30 responden. Jenis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di
lapangan dari hasil kuesioner dengan responden. Sedangkan data sekunder
didapatkan dari dokumen-dokumen instansi terkait yaitu PT Indofood Sukses
menggunakan Microsoft Excel dan software SPSS 16.0 for windows, serta menggunakan uji statistik korelasi rank spearman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap konsumen terhadap produk
Indomie setelah melihat iklan versi ‘Satu Selera’ menunjukkan nilai yang tinggi pada setiap tahap baik kognitif, afektif dan konatif. Faktor internal berupa
karateristik konsumen kurang berpengaruh pada sikap konsumen terhadap produk
Indomie baik pada tahap kognitif, afektif, dan konatif. Hal ini dilihat dari
frekuensi menonton televisi dan tingkat pengalaman terhadap produk yang
memiliki hubungan yang rendah dengan sikap konsumen, dan tingkat pendapatan
yang tidak memiliki hubungan terhadap sikap konsumen. Faktor eksternal berupa
rancangan iklan berpengaruh terhadap sikap konsumen. Rancangan iklan yang
bersifat attraction, comprehension, acceptability, dan self involvement memiliki hubungan yang erat dengan sikap konsumen baik pada tahap kognitif, afektif, dan
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
PT. Indofood Sukses Makmur bergerak di bidang usaha industri
pengolahan makanan yang hampir seluruh produknya menguasai pasar di
Indonesia. Produk yang dihasilkan termasuk mie instan (Indomie, Sarimi,
Supermi, Cup Noodles, Pop Mie, Intermie, Sakura). Indofood merupakan
produsen mie instan terbesar dengan kapasitas produksi 13 milyar bungkus per
tahun. Selain itu Indofood juga mempunyai jaringan distribusi terbesar di
Indonesia.
Berdasarkan data PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. (2004-2006),
perkembangan produksi mie instan di Indonesia memperlihatkan suatu
peningkatan yang positif, walaupun pada tahun 2006 sempat mengalami suatu
penurunan produksi. Secara kuantitas, produksi mie instan dari tahun ke tahun
mengalami kenaikan dengan tren yang positif. Hal ini menunjukkan suatu prospek
yang cukup baik bagi industri mie instan ini pada masa yang akan datang.
PT. Indofood Sukses Makmur menjadikan mutu dan kepuasan pelanggan sebagai
basis bagi perencanaan yang dilakukan oleh perusahaan. Oleh karena itu
keinginan dan kebutuhan konsumen harus diperhatikan oleh produsen karena
kebutuhan ini akan senantiasa berubah. Perkembangan produk mie instan yang
sudah dianggap sebagai makanan cepat saji dan bahkan sebagai makanan pokok,
menyebabkan tingkat persaingan pada industri mie instan ini semakin tinggi.
Seiring dengan berkembangnya industri mie instan, maka berkembang
pula persaingan di antara produsen mie instan. Berbagai strategi komunikasi
pemasaran dilakukan oleh para produsen mie instan termasuk PT Indofood Sukses
Makmur untuk memenangkan pasar. Salah satu pilihannya adalah melakukan
promosi dengan beriklan di berbagai media. Salah satu media yang dianggap
paling efektif untuk mengiklankan produk termasuk produk mie instan adalah
televisi. Iklan melalui media televisi ini merupakan iklan yang masih dianggap
Untuk itu, dari data yang diperoleh, belanja iklan untuk media ini sejak tahun
1970-an sampai sekarang terus meningkat. Dari hanya 28 persen dari total belanja
iklan pada periode tahun 1972-1977 (Dhakidae dalam Sadariskar, 2006) menjadi
62,5 persen pada periode 1997-2003 (AC Nielsen dalam Sadariskar, 2006).
Penggunaan media selain televisi menurun dari semula 72 % menjadi 38 % dari
total penggunaan media. Pada penelitian ini iklan yang akan diteliti adalah iklan
produk Indomie yang merupakan salah satu produk mie instan PT Indofood
Sukses Makmur.
Secara sederhana iklan didefinisikan sebagai pesan yang menawarkan
suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media. Iklan
bertujuan untuk mencapai tiga tahap perubahan yang ditujukan bagi konsumen.
Salah satu dari tahap tersebut adalah tahap perubahan sikap (interest stage) yang ditentukan oleh tiga unsur yang disebut tricomponent attitude changes. Unsur-unsur ini menunjukkan bahwa tahap perubahan sikap ditentukan oleh tiga
komponen yaitu cognition (pengetahuan), affection (perasaan), dan conation (perilaku) (Schiffman dan Kanuk, 2007). Jika ketiga komponen ini menunjukkan
adanya kecenderungan perubahan (cognition, affection, dan conation) maka mungkin sekali akan terjadi perubahan sikap. Pada penelitian, ini komponen yang
diteliti adalah sikap konsumen terhadap produk yang diiklankan di televisi serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas maka terdapat
rumusan masalah untuk penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana sikap konsumen terhadap produk yang diiklankan di televisi?
2. Apakah faktor-faktor internal dan eksternal mempengaruhi sikap
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan diadakannya penelitian ini
adalah :
1. Mengetahui sikap konsumen terhadap produk yang diiklankan di televisi.
2. Menganalisa faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi
sikap konsumen terhadap produk yang diiklankan di televisi.
1.4 Kegunaan Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Menjadi bahan informasi dan masukan bagi Matari Advertising sebagai biro
pembuat iklan.
2. Menjadi bahan informasi bagi PT.Indofood Sukses Makmur Tbk sebagai
produsen produk Indomie.
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Iklan Televisi
Iklan merupakan pesan-pesan penjualan yang paling persuasif yang
diarahkan kepada para calon pembeli yang paling potensial atas produk barang
atau jasa tertentu dengan biaya yang semurah-murahnya (Jefkins, 1997).
Fungsi iklan dalam pemasaran adalah memperkuat dorongan kebutuhan
dan keinginan konsumen terhadap suatu produk untuk mencapai pemenuhan
kepuasannya. Agar iklan berhasil merangsang tindakan pembeli, menurut
Djayakusumah dalam Pujiyanto (2003) setidaknya harus memenuhi kriteria
AIDCDA yaitu: Attention : mengandung daya tarik; Interest : mengandung perhatian dan minat; Desire : memunculkan keinginan untuk mencoba atau memiliki ; Conviction : menimbulkan keyakinan terhadap produk ; Decision : menghasilkan kepuasan terhadap produk; Action : mengarah tindakan untuk membeli. Berdasarkan konsep AIDCDA, promosi periklanan harus diperlukan
pengetahuan yang cukup tentang pola perilaku, kebutuhan, dan segmen pasar.
Konsep tersebut diharapkan konsumen dapat melakukan pembelian
berkesinambungan.
Bovee dalam Pujiyanto (2003) mendeskripsikan iklan sebagai sebuah
proses komunikasi, di mana terdapat : pertama, orang yang disebut sebagai
sumber munculnya ide iklan; kedua, media sebagai medium; dan ketiga, adalah
audiens sebagai penerima. Terjadi proses dialektika dalam proses komunikasi
tersebut, dimana individu menciptakan ide yang dikomunikasikan dan audiens
member respon serta memberi masukan terhadap ide-ide baru dalam proses
komunikasi tersebut. Pada proses menuangkan ide ke dalam pesan, terjadi proses
encoding di mana ide itu dituangkan dalam bahasa iklan yang meyakinkan orang. Media kemudian mengambil alih ide itu dan kemudian dikonstruksi
realitas, dan pengetahuan itu bisa mendorongnya merespon balik kepada iklan
tersebut. Respon ini ada dua macam, yaitu pemirsa merespon materi iklan atau
merespon pesan media. Merespon materi iklan bisa berbentuk reaksi terhadap
iklan tesebut, karena merugikan pihak-pihak tertentu. Merespon pesan media,
bisa merupakan bersikap untuk membeli atau tidak membeli produk. Proses ini
terjadi secara kontinyu seumur iklan tersebut, atau bahkan akan mereproduksi
kembali iklan baru dan itu artinya akan lahir kembali sebuah realitas baru dalam
dunia kognisi pemirsa sebagai hasil rekonstruksi (Bungin, 2008).
Secara garis besar bentuk-bentuk iklan terdiri dari beberapa jenis yang
digolongkan menjadi tujuh kategori utama, yakni : (1) iklan konsumen ; (2) iklan
antarbisnis; (3) iklan perdagangan ; (4) iklan eceran ; (5) iklan keuangan ; (6)
iklan langsung ; dan yang terakhir, (7) iklan rekrutmen (Jefkins dalam Bungin, 2008).
Periklanan merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan bentuk
komunikasi massa melalui media. Media-media tersebut antara lain : televisi,
radio, surat kabar, majalah, brosur, banner, poster, dan lain-lain ( Kennedy &
Soemanegara, 2006). Iklan televisi adalah salah satu dari iklan lini atas (above the line). Umumnya iklan televisi terdiri atas iklan sponsorship, iklan layanan masyarakat, iklan spot, Promo Ad, dan iklan politik. Iklan televisi berkembang
dengan berbagai kategori di samping karena iklan televisi perlu kreativitas dan
selalu menghasilkan produk-produk iklan baru, namun juga karena daya beli
masyarakat terhadap sebuah iklan televisi yang selalu bervariasi karena tekanan
ekonomi. Namun bila dibandingkan dengan media lain iklan televisi memiliki
kategorisasi yang jauh berbeda karena sifat media yang juga berbeda. Kategori
besar dari sebuah iklan televisi adalah berdasarkan sifat media ini, di mana iklan
televisi dibangun dari kekuatan visualisasi lebih menonjol bila dibandingkan
dengan simbol-simbol verbal. Umumnya iklan televisi menggunakan cerita-cerita
pendek menyerupai karya film pendek. Karena waktu tayangan yang pendek,
maka iklan televisi berupaya keras meninggalkan kesan yang mendalam kepada
pemirsa dalam waktu beberapa detik (Bungin, 2008).
Beberapa kelebihan iklan televisi yang berlaku secara umum adalah : 1)
warna-warna, suara dan gerakan, maka iklan-iklan televisi nampak begitu hidup dan
nyata, 2) Masyarakat lebih tanggap, karena iklan televisi disiarkan di
rumah-rumah dalam suasana yang lebih santai atau rekreatif sehingga masyarakat lebih
siap untuk memberikan perhatian, 3) Repetisi atau pengulangan, iklan televisi bisa
ditayangkan hingga beberapa kali dalam sehari sampai dipandang cukup
bermanfaat yang memungkinkan sejumlah masyarakat untuk menyaksikannya dan
dalam frekuensi yang cukup sehingga pengaruh iklan itu bangkit, 4) Adanya
pemilahan area siaran (zoning) dan jaringan kerja (networking) yang mengefektifkan penjangkauan masyarakat, 5) Ideal bagi para pedagang eceran
karena iklan televisi dapat menjangkau kalangan pedagang eceran sebaik ia
menjangkau konsumen, 6) Terkait erat dengan media lain (Bungin, 2008).
Ogilvy dalam Bungin (2008) mengatakan bahwa tugas utama iklan televisi
adalah menjual barang atau jasa bukan menghibur. Akan tetapi kata-kata ini tidak
lagi dipatuhi oleh para copywriter dan visualizer iklan televisi, karena ternyata menghibur sambil menjual di televisi menjadi lebih menarik. Para copywriter iklan televisi, kendati mengetahui tidak ada hubungan antara iklan dengan
ketergantungan pemirsa terhadap iklan tertentu, namun dorongan kapitalisme
untuk menjadikan iklan sebagai medium pencitraan terhadap produk-produk lebih
mempengaruhi jalan pikiran copywriter di saat mereka memulai pekerjaan mereka. Para copywriter lebih percaya bahwa iklan-iklan yang besar dengan kekuatan pencitraan yang kuat akan lebih besar kekuatan mempengaruhi pemirsa,
apalagi kalau pencitraan itu dilakukan melalui konstruksi realitas sosial, walupun
realitas itu sifatnya semu. Hal ini adalah contoh dari upaya teknologi menciptakan
theater of mind dalam dunia kognitif masyarakat. Umumnya copywriter dan visualizer berharap bahwa pencitraan dapat ditangkap sebagaimana yang dimaksud oleh mereka. Namun, tidak mustahil pemirsa memaknakan lain karena
iklan itu memiliki sifat umum, sementara pemirsa iklan memiliki kelas sosial dan
tingkatan pengetahuan berbeda-beda berdasarkan layer pemirsa, jadi sangat mungkin terjadi pemaknaan citra yang berbeda pula (Bungin,2008).
Pada kenyataannya tidak semua iklan televisi diciptakan untuk maksud
pencitraan, namun karya iklan televisi dianggap sempurna kalau sampai pada
mereka sampai pada pencitraan produk. Umumnya pencitraan dalam iklan televisi
disesuaikan dengan kedekatan jenis obyek iklan yang diiklankan, walaupun tidak
jarang pencitraan dilakukan secara ganda, artinya iklan menggunakan beberapa
pencitraan terhadap satu obyek iklan.
Beberapa kategorisasi penggunaan pencitraan dalam iklan televisi, sebagai
berikut : Pertama, citra perempuan yang tergambarkan sebagai citra pigura yang
menekankan pada pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat, citra pilar
yang digambarkan sebagai tulang punggung utama keluarga, citra pinggan yang
tidak bisa melepaskan diri dari dapur, dan citra pergaulan yang ditandai dengan
pergulatan perempuan untuk masuk ke kelas-kelas tertentu yang lebih tinggi di
masyarakatnya. Kedua, citra maskulin dimana iklan juga mempertontonkan
kejantanan, otot laki-laki, ketangkasan, keperkasaan, keberanian menantang
bahaya, keuletan, keteguhan hati, dan lain lain. Ketiga, citra kemewahan dan
eksklusif. Kemewahan dan ekslusif adalah realitas yang diidamkan oleh banyak
orang dalam kehidupan masyarakat. Banyak orang bekerja keras, berjuang hidup
untuk memperoleh realitas kemewahan dan eksklusif, karena itu iklan televisi
mereproduksi realitas ini ke dalam realitas iklan dengan maksud memberi
simbol-simbol kemewahan ke dalam obyek iklan televisi. Keempat, citra kelas sosial.
Individu juga mendambakan hidup dalam kelas sosial yang lebih baik, kelas yang
dihormati banyak orang. Kelima, citra kenikmatan yang merupakan bagian
terbesar dari dunia kemewahan dan kelas sosial yang tinggi. Keenam, citra
manfaat karena pada umumnya orang mempertimbangkan faktor manfaat sebagai
hal utama dalam memutuskan perilaku pembelian, karena itu menfaat menjadi
nilai dalam keputusan seseorang. Ketujuh, citra persahabatan. Citra persahabatan
ditampilkan pada sebuah iklan, sebagai jalan keluar terhadap banyaknya problem
rendah diri yang terjadi di kalangan remaja. Kedelapan, citra seksisme dan
seksualitas yang merupakan hal yang amat menarik dibicarakan karena hal ini
menjadi bagian kehidupan individu yang disembunyikan atau bahkan tabu
diungkapkan, namun menjadi bagian yang dominan dalam kehidupan panggung
belakang individu (Bungin, 2008).
Tugas utama iklan adalah untuk mengubah produk menjadi sebuah citra, dan
citra seksualitas dan sebaginya, yang penting pencitraan itu memiliki efek
terhadap produk dan akan menambah nilai ekonomisnya. Dengan demikian,
pencitraan iklan televisi adalah bagian terpenting dalam konstruksi iklan televisi
atas realitas sosial. Ketika iklan televisi melakukan pencitraan terhadap produk
tertentu maka nilai ekonomis sebuah iklan menjadi pertimbangan utama. Artinya
pencitraan itu harus bermanfaat bagi produk tertentu. Sengaja atau tidak, citra
dalam iklan televisi telah menjadi bagian terpenting dari sebuah iklan televisi itu.
Citra ini pula adalah bagian penting yang dikonstruksi oleh iklan televisi. Namun,
sejauh mana konstruksi itu berhasil, amat bergantung pada banyak faktor,
terutama adalah faktor konstruksi sosial itu sendiri, yaitu bagaimana upaya
seorang copywriter mengkonstruksi kesadaran individu serta membentuk pengetahuan tentang realitas baru dan membawanya ke dalam dunia hiper-realitas,
sedangkan pemirsa tetap merasa bahwa realitas itu dialami dalam dunia
rasionalnya (Bungin, 2008).
Sebagai bagian dari dunia komunikasi, maka iklan menggunakan bahasa
sebagai alat utama untuk melakukan penggambaran tentang sebuah realitas.
Demikian pentingnya bahasa sebagai alat iklan, maka di dalam iklan bahasa
digunkan untuk semua kepentingan iklan. Bahasa juga dipahami sebagai wacana
di mana iklan dilihat sebagai seni. Iklan merupakan seni bagaimana orang
menggunakan bahasa untuk menjual. Ada dua unsur iklan : pertama, iklan itu
berbisnis dan kedua, iklan itu seni. Sebagai seni, maka iklan itu sebuah karya
kreativitas yang menjadi cerminan suatu masyarakat di mana iklan itu berada dan
itu sangat bermanfaat bagi nuansa pengembangan seni masyarakat dan bagus bagi
kesetaraan gender. Jadi, bahasa dapat digunakan dengan dua tujuan, pertama,
sebagai media komunikasi dan kedua, bahasa digunakan untuk menciptakan
sebuah realitas. Sebagai media komunikasi, maka iklan bersifat informatif
sedangkan sebagai wacana penciptaan realitas, maka iklan adalah sebuah seni di
mana orang menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia yang diinginkannya
(Bungin, 2008).
2.1.2 Sikap Konsumen
Dalam konteks perilaku konsumen, sikap adalah kecenderungan yang
menyenangkan terhadap suatu obyek tertentu. Kata obyek disini meliputi konsep
yang berhubungan dengan konsumsi atau pemasaran khusus, seperti produk,
golongan produk, merk, jasa, kepemilikan, penggunaan produk, sebab-sebab atau
isu, orang, iklan, situs internet, harga, medium, atau pedagang ritel. Karateristik
sikap antara lain adalah : 1) sikap konsumen harus terkait dengan obyek, 2) Sikap
relatif konsisten dengan perilaku yang dicerminkannya, 3) Sikap terjadi dalam dan
dipengaruhi oleh situasi tertentu (Schiffman & Kanuk, 2007).
Sikap memiliki beberapa model struktur diantaranya adalah : model sikap
tiga komponen, model sikap multi sifat, model mencoba mengkonsumsi, dan
model sikap terhadap iklan. Model sikap tiga komponen menyatakan sikap terdiri
dari tiga komponen utama yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan
komponen konatif. Komponen pertama dari model sikap tiga komponen terdiri
dari kognisi seseorang yaitu pengetahuan dan persepsi yang diperoleh berdasarkan
kombinasi pengalaman langsung dengan obyek sikap dan informasi yang
berkaitan dari berbagai sumber. Pengetahuan dan persepsi yang ditimbulkannya
biasanya mengambil bentuk kepercayaan, yaitu, kepercayaan konsumen bahwa
obyek sikap mempunyai berbagai sifat dan bahwa perilaku tertentu akan
menimbulkan hasil-hasil tertentu. Komponen kedua yaitu emosi atau perasaan
mengenai produk atau merk tertentu merupakan komponen afektif dari sikap
tertentu. Emosi atau perasaan ini mencakup penilaian terhadap obyek sikap secara
langsung dan menyeluruh (menyenangkan atau tidak menyenangkan, bagus atau
jelek). Konasi, komponen terakhir dari model sikap tiga komponen berhubungan
dengan kemungkinan atau kecenderungan bahwa individu akan melakukan
tindakan khusus atau berperilaku dengan cara tertentu terhadap obyek sikap
tertentu (Schiffman & Kanuk, 2007).
Model sikap multi sifat menggabarkan sikap konsumen terhadap obyek
sikap (seperti produk, jasa, katalog direct mail, atau sebab isu tertentu) sebagai fungsi persepsi dan penilaian konsumen terhadap sifat-sifat atau keyakinan pokok
yang dipegang mengenai obyek sikap tertentu. Model sikap terhadap obyek
menyatakan bahwa sikap konsumen terhadap produk atau merk produk tertentu
merupakan fungsi dari adanya (atau tidak adanya) dan penilaian terhadap
yang menyenangkan terhadap merk-merk yang dipercaya mempunyai tingkat
sifat-sifat yang memadai dan mereka nilai positif, dan mempunyai sikap yang
tidak menyenangkan terhadap merk-merk yang dirasa tidak mempunyai tingkat
yang memadai mengenai sifat-sifat yang diingini atau mempunyai terlalu banyak
sifat-sifat negatif atau tidak diinginkan. Model sikap terhadap perilaku merupakan
sikap individu dalam berperilaku atau bertindak terhadap obyek tertentu, dan
bukannya sikap terhadap obyek itu sendiri (Schiffman & Kanuk, 2007).
Model sikap terhadap iklan menggambarkan konsumen membentuk
berbagai perasaan (pengaruh) dan pertimbangan (kognisi) sebagai akibat
keterbukaan terhadap iklan. Perasaan dan pertimbangan ini pada gilirannya
mempengaruhi sikap konsumen terhadap iklan dan keyakinan terhadap merk yang
diperoleh dari keterbukaan terhadap iklan. Akhirnya sikap konsumen terhadap
iklan, dan keyakinan pada merk mempengaruhi sikapnya terhadap merk
(Schiffman & Kanuk, 2007).
Bagaimana berbagai sikap konsumen dibentuk dan bagaimana mereka
diubah merupakan dua isu yang berkaitan erat yang memperoleh perhatian besar
para praktisi pemasaran. Pembentukan sikap dipermudah oleh pengalaman pribadi
langsung dan dipengaruhi oleh berbagai gagasan dan pengalaman teman-teman
dan anggota keluarga dan keterbukaan terhadap media massa. Kepribadian
individu memainkan peran utama dalam pembentukan sikap. Faktor-faktor yang
sama ini juga mempunyai pengaruh terhadap perubahan sikap, yaitu perubahan
sikap itu dipelajari. Perubahan ini dipengaruhi oleh berbagai pengalaman pribadi
dan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber perorangan dan umum.
Kepribadian konsumen sendiri mempengaruhi penerimaan maupun kecepatan
perubahan sikap (Schiffman & Kanuk, 2007).
Strategi perubahan sikap dapat digolongkan ke dalam enam kategori yang
berbeda : 1) mengubah motivasi dasar, 2) digolongkan, 3) menghubungkan obyek
sikap dengan sikap yang berlawanan, 4) mengubah komponen model multi-sifat ,
5) mengubah keyakinan mengenai merk para pesaing, 6) model perluasan
kemungkinan. Setiap strategi ini memberikan jalan alternatif kepada para pemasar
Kebanyakan pembahasan mengenai pembentukan sikap dan pengubahan
sikap menekankan pandangan tradisional bahwa para konsumen mengembangkan
sikap sebelum mereka bertindak. Mungkin tidak selalu ataupun biasa terjadi. Baik
teori ketidakcocokan kognitif maupun teori pertalian memberikan penjelasan
alternatif mengenai pembentukan dan pengubahan sikap yang mengemukakan
bahwa perilaku mungkin mendahului sikap. Teori ketidakcocokan kognitif
mengemukakan bahwa pemikiran yang bertentangan, atau informasi yang tidak
cocok, yang mengikuti keputusan pembelian dapat mendorong para konsumen
untuk mengubah sikap mereka untuk membuatnya sesuai dengan tindakan
mereka. Teori pertalian memfokuskan pada bagaimana orang menentukan
hubungan sebab akibat terhadap berbagai peristiwa dan bagaimana mereka
membentuk atau mengubah sikap sebagai hasil dalam menilai perilaku mereka
sendiri, atau perilaku orang-orang atau benda-benda lain (Schiffman & Kanuk,
2007).
2.1.3 Pengaruh Iklan Terhadap Sikap Konsumen
Pengaruh atau dampak menurut Moriarty (1991) mengacu pada
kemampuan iklan dalam mengontrol proses persepsi pemirsa untuk mengatasi
ketidakacuhan khalayak, merebut perhatian, memelihara minat dan menanamkan
produk dengan kuat dalam ingatan. Beberapa faktor yang ikut mempengaruhi
dampak adalah perhatian, pengertian dan penerimaan audiens terhadap
pesan-pesan yang disampaikan melelui media ( Rakhmat, 1997). Berkaitan dengan
dampak pesan melalui media massa terhadap khalayak, Anderson dalam Rakhmat
(1997) menyebutkan ada tiga jenis dampak, yaitu perubahan kognitif, perubahan
afektif dan perubahan konatif.
Untuk mengetahui bagaimana suatu usaha promosi dapat mempengaruhi
proses respons penerima, para ahli periklanan mengembangkan berbagai model
proses respons yang salah satunya dikenal sebagai The Hierarchy of Effect. Hirarki efek adalah model proses respons yang dikembangkan oleh Lavridge dan
Steiner dalam Sudiana (1986), dimana model ini mengetengahkan enam tahapan
Cognitive : Awareness Knowledge Affective : Liking Preference Conative : Conviction Purchase
Model ini merupakan alur peringkat pengaruh kesadaran ( hierarchy-of-effect models) yang terbentuk dengan beberapa tahapan yakni kesadaran, pengetahuan, menyukai, kegandrungan, keyakinan, dan pembelian. Tahap
pertama mencakup tingkat-tingkat pengetahuan dan kesadaran yang dapat di
bandingkan dengan komponen pengetahuan akan kognitif sikap. Komponen
afektif dari suatu sikap, aspek suka-tidak suka, terwakili oleh peringkat menyukai
atau kegandrungan. Komponen sikap mengingatkan adalah komponen konatif,
sedangkan unsur motivasi atau tindakan diwakili oleh peringkat keyakinan dan
pembelian, yang merupakan dua tingkat terakhir dalam model tersebut (Sudiana,
1986).
Berkaitan dengan tahapan dampak komunikasi seperti yang telah
dipaparkan di atas, menurut Sendjaja (1999) kenyataannya ketiga tahap dampak
komunikasi, tidak selalu berjalan secara berurutan dari tahap kognitif, ke tahap
afektif kemudian ke tahap konatif. Tahap tersebut dapat terjadi secara tidak
berurutan. Proses yang berjalan secara berurutan dari kognitif ke afektif dan ke
konatif disebut sebagai model belajar (learning process). Proses yang terjadi secara terbalik dimulai dari konatif, afektif, dan kognitif disebut sebagai proses
yang mengikuti model atribusi disonansi (dissonance-atribution). Proses yang berjalan secara meloncat-loncat tidak beraturan disebut sebagai
ketidakkonsistenan (inconsistency).
Pesan iklan yang tereksposure ke dalam benak seseorang akan
menimbulkan efek kognitif yang kemudian dapat berkembang menjadi
comprehension dan selanjutnya bisa membentuk sikap serta tindakan. Efektivitas berlangsungnya proses tersebut turut ditentukan oleh faktor internal dan eksternal
media yang digunakan, faktor pendidikan dan pengalaman, budaya, kondisi
ekonomi, gender, lingkungan termasuk peer group, dan lain lain (Zuraida &
Chasanah,2006).
Iklan efektif mempengaruhi niat beli dan pembelian melalui sikap
terhadap iklan dan sikap terhadap merek. Sikap terhadap produk dibentuk oleh
sikap terhadap iklan bukan oleh pengetahuan dan kepercayaan. Rancangan iklan
yang meliputi attraction, comprehension, acceptability, dan self-involvement mempengaruhi sikap konsumen (Zuraida & Chasanah, 2006). Dalam proses
komunikasi, sebuah pesan efektif dalam mempersuasi khalayak bila pesan
tersebut mencakup unsur-unsur daya tarik (attraction), keterlibatan diri (self -involvement), penerimaan (acceptability) dan pemahaman (comprehension) dari khalayak sasaran dalam perancangan dan penuangan kedalam media. Attraction adalah daya tarik, perhatian, dan kenikmatan pesan yang menstimulasi audiens.
Comprehension adalah tingkat dimana pesan tersebut dapat dibaca, didengarkan, diperhatikan, dan dipahami sesuai dengan yang dirasakan audiens. Acceptability terdiri dari kredibilitas serta kepercayaan terhadap pesan. Self-involvement merupakan tingkat dimana audiens dapat menemukan pesan tersebut melibatkan
mereka secara personal dimana pesan tersebut ditujukan kepada mereka dan
meningkatkan partisipasi mereka (Bertrand dalam Sitopu, 2009).
Frekuensi menonton televisi juga turut berpengaruh terhadap tingkat
afeksi karena semakin banyak frekuensi menonton televisi maka semakin banyak
pula frekuensi menonton iklan televisi. Semua hal tersebut membuktikan bahwa
iklan memiliki pengaruh kuat pada sikap konsumen, sehingga pemasang iklan
harus memiliki pemanfaatan media dan metode penjadwalan yang baik karena
sikap konsumen mempunyai pengaruh signifikan terhadap niat beli (Zuraida &
2.2 Kerangka Pemikiran
Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi sikap konsumen terhadap
iklan, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa ancangan iklan
yang memiliki attraction, comprehension, acceptability, dan self-involvement. Faktor internal berupa frekuensi menonton televisi, tingkat pengalaman
konsumen terhadap produk tersebut, dan tingkat pendapatan. Faktor-faktor
tersebut mempengaruhi sikap konsumen pada tahap kognitif, afektif, dan
konatif. Kerangka pemikiran tersebut tertera pada gambar 1.
Faktor Eksternal (Rancangan Iklan Televisi) :
Attraction Comprehension Acceptability Self-Involvement
Sikap Konsumen : Kognitif Afektif Konatif
Faktor Internal (karateristik konsumen):
Frekuensi Menonton
Televisi
Tingkat pengalaman
Tingkat pendapatan
Keterangan : mempengaruhi
2.3 Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran, maka hipotesis
umum yang diuji kebenarannya yaitu bahwa :
1. Diduga terdapat hubungan yang erat antara karateristik konsumen dengan sikap
konsumen.
2. Diduga terdapat hubungan yang erat antara rancangan iklan dengan sikap
konsumen.
Hipotesis uji berdasarkan hipotesis umum tersebut adalah:
1. Diduga terdapat hubungan yang erat antara frekuensi menonton televisi dengan
kognitif
2. Diduga terdapat hubungan yang erat antara frekuensi menonton televisi dengan
afektif.
3. Diduga terdapat hubungan yang erat antara frekuensi menonton televisi dengan
konatif.
4. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengalaman dengan kognitif
5. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengalaman dengan afektif.
6. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengalaman dengan konatif.
7. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pendapatan dengan kognitif
8. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pendapatan dengan afektif
9. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pendapatan dengan konatif.
19. Diduga terdapat hubungan yang erat antara self-involvement dengan kognitif 20. Diduga terdapat hubungan yang erat antara self-involvement dengan afektif. 21. Diduga terdapat hubungan yang erat antara self-involvement dengan konatif.
2.4 Definisi Operasional a. Attraction:
Rancangan iklan yang memiliki kemampuan untuk menarik konsumen, dinyatakan dalam : kisaran skor : 8-20 : rendah
21-32 : tinggi
b. Comprehension :
Rancangan iklan yang memiliki kemampuan untuk dapat dipahami konsumen,
dinyatakan dalam : kisaran skor : 8-20 : rendah
21-32 : tinggi
c. Acceptability :
Rancangan iklan yang memiliki kemampuan untuk dapat diterima konsumen,
dinyatakan dalam : kisaran skor : 8-20 : rendah
21-32 : tinggi
d. Self-involvement :
Rancangan iklan yang memiliki kemampuan untuk melibatkan konsumen,
dinyatakan dalam ditujukan : kisaran skor : 8-20 : rendah
21-32 : tinggi
e. Frekuensi menonton televisi :
Frekuensi waktu menonton televisi per hari, dinyatakan dalam: a. Kurang dari
1 jam per hari, b. 1-3 jam per hari, c. Lebih dari 3 jam per hari
f. Tingkat pengalaman :
Tingkat pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi produk tersebut,
dinyatakan dalam :
g. Tingkat pendapatan :
Tingkat pendapatan berdasarkan uang saku perbulan yang diperoleh dari orang
tua, beasiswa, penghasilan lainnya, dinyatakan dalam :
a. <500 rb perbulan, b. 500 rb-1 juta perbulan, c. >1 juta perbulan
h. Kognitif :
Pengetahuan dan kesadaran konsumen terhadap produk, dinyatakan dalam
kisaran skor : 8-20 : rendah
21-32 : tinggi
i. Afektif :
Pernyataan emosi atau perasaan konsumen terhadap produk, dinyatakan dalam
kisaran skor : 9-22.5 : rendah
22.6-36 : tinggi
j. Konatif :
Kecenderungan konsumen untuk berprilaku terhadap produk, dinyatakan dalam
kisaran skor : 7-17.5 : rendah
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode pada penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif. Metode
penelitian kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survei. Penelitian survei
adalah penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan menggunakan
kuesioner sebagai alat pengumpul data primernya, dengan unit analisa individu
(Singarimbun dan Effendi, 1995).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di kampus IPB Darmaga. Pemilihan lokasi
dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa :
1. Kampus Darmaga merupakan tempat mahasiswa menuntut ilmu, sehingga
memudahkan peneliti untuk menemui responden.
2. Mahasiswa merupakan salah satu target konsumen dari produk yang
diiklankan.
3. Lokasi Penelitian dapat menerima siaran televisi.
4. Secara geografis lokasi penelitian mudah dijangkau oleh peneliti.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2009.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data primer.
Penggunaan kuesioner ditujukan untuk memperoleh informasi yang relevan
dengan tujuan penelitian. Unit analisa yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
individu.
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa IPB khususnya mahasiswa
Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang berada di kampus
Dramaga. Kerangka sampel yang digunakan adalah mahasiswa Departemen
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang pernah menonton iklan produk
kerangka sampel dan dipilih secara acak. Sampel yang digunakan berjumlah 30
responden. Pemilihan sampel dilakukan dengan melakukan pengundian terhadap
kerangka sampel.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di lapangan dari hasil kuesioner
dengan responden dan wawancara dengan Matari Advertising. Data sekunder
didapatkan dari dokumen serta literatur dengan instansi terkait yaitu PT Indofood
Sukses Makmur dan Matari Advertising.
3.4 Teknik Analisis Data
Data primer yang telah dikumpulkan terlebih dahulu ditabulasikan kemudian
dianalisis dan dipresentasikan untuk dapat melihat fakta. Pengolahan data
kuantitatif dilakukan menggunakan software SPSS 16.0 for windows. Analisis data menggunakan Microsoft Excel untuk mengukur sikap konsumen. Variabel karateristik konsumen terhadap sikap konsumen dan variabel rancangan iklan
terhadap sikap konsumen diuji dengan menggunakan korelasi Rank Spearman yang berfungsi untuk menentukan besarnya hubungan dua variabel yang berskala
ordinal (Sarwono, 2006).
Adapun rumus koefisien korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut: ρ atau rs = 1 – 6 ∑di2
n (n2– 1)
Keterangan :
ρ atau rs = Koefisien korelasi spearman rank di = determinan
n = Jumlah data/sampel
Koefisien korelasi Rank Spearman (rxy) menunjukkan kuat tidaknya antara indikator x terhadap variabel X dengan indikator y terhadap variabel Y maupun
variabel X terhadap variabel Y sehingga digunakan batasan koefisien korelasi
Tabel 1. Kriteria Pengukuran Koefisien Korelasi
Kisaran Kriteria
0 - 0,249 menunjukkan tidak adanya hubungan atau lemah sekali
0,250 - 0,499 menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah
0,500 - 0,749 menunjukkan hubunganyang erat atau tinggi
BAB IV
GAMBARAN UMUM PRODUK
4.1 Produk Indomie
Indomie adalah merek mi instan terpopuler di Indonesia, diproduksi oleh
PT. Indofood Sukses Makmur. Selain di Indonesia, Indomie juga dijual di luar
negeri, antara lain Amerika Serikat, Australia, Asia, Afrika dan negara-negara
Eropa. Di Indonesia, sebutan "Indomie" juga umum dijadikan istilah generik yang
merujuk kepada mi instan. Mie ini murah meriah dan cocok dengan selera
Indonesia, sampai tidak jarang orang membawa Indomie ke luar negeri bila
makanan di luar tidak cocok. Saat terjadi bencana alam, orang Indonesia sering
sekali menyumbang mi instan seperti Indomie, tentu saja beserta barang-barang
kebutuhan lainnya (id.wikipedia.org/wiki/Indomie). Berbagai macam jenis atau
rasa dari produk Indomie (www.indomie.com) antara lain adalah :
1. Indomie Regular-goreng
Produk terpopuler dari brand Indomie, Indomie Goreng pertama diluncurkan pada tahun 1982 dan telah merambah banyak negara termasuk
Amerika Serikat, Australia, Inggris, Timur Tengah dan China. Pilihan rasa dari
produk ini antara lain : Indomie Goreng Special, Indomie Goreng Spesial Plus,
Indomie Goreng Kriuk Pedas, Indomie Goreng Kriuk Bawang, Indomie Goreng
Kriuk Ayam, Indomie Goreng Pedas, Indomie Goreng Rasa Ayam, dan Indomie
Goreng Sate. Contoh dari produk tersebut ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar 2. Indomie regular-goreng
2. Indomie Regular-soup
Pilihan rasa dari produk ini antara lain : Indomie Soto Mie, Indomie Ayam
Bawang, Indomie Rasa Kaldu Ayam, Indomie New Kari Ayam, Indomie Kari
Kaldu Udang, Indomie Rasa Baso Sapi, dan Indomie Rasa Sop Ayam. Contoh
dari produk tersebut ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 3. Indomie regular-soup
3. Indomie Rasa Nusantara
Sebagai mie instan asli Indonesia, Indomie pun hadir dalam beraneka rasa
khas dari seluruh pelosok nusantara. Pilihan rasa tersebut antara lain : Ikan
Cakalang, Soto Medan, Soto Banjar, Mi Kocok Bandung, Empal Gentong, Soto
Banjar Limo Kuit, Coto Makassar, Mie Celor, Soto Betawi, Sop Buntut, dan Kari
Medan. Contoh produk tersebut ditunjukkan pada gambar 4.
Gambar 4. Indomie Rasa Nusantara
4. Indomie Premium
Indomie Premium ditujukan bagi konsumen yang menginginkan sesuatu
yang lebih dari sebuah mie instan. Produk ini merupakan jenis mie keriting yang
terbuat dari terigu kualitas nomor satu disertai extra topping dengan pilihan rasa mie keriting goreng spesial, mie keriting ayam panggang, mie ayam, dan mie
keriting ayam. Contoh produk tersebut ditunjukkan pada gambar 5.
5. Indomie Jumbo.
Produk ini memiliki porsi besar dan ditujukan kepada konsumen yang
tidak cukup memakan satu bungkus mie. Contoh produk tersebut ditunjukkan
pada gambar 6.
Gambar 6. Indomie Jumbo
Sampai saat ini Indomie masih memegang 60 % dari total pasar mie instan
berdasarkan riset riset yang dilakukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Indomie
merupakan brand leader dari produk mie instan di Indonesia. Hal ini juga ditambah dengan berbagai penghargaan yang diperoleh (www.indomie.com)
diantaranya adalah :
1. Indonesia Costumer Satisfaction Award (2001-2007) untuk kategori mie instan. 2. Indonesia Best Brand Award (2003-2008) untuk kategori mie instan.
3. Superbrand (2005) untuk kategori best local brand dan Superbrand (2005- 2006) untuk kategori mie instan.
4. Anugerah Produk Asli Indonesia (2007).
4.2 Iklan Indomie Versi ‘Satu Selera’
4.2.1 Konsep Iklan
Iklan Indomie versi ‘Satu Selera’ merupakan iklan indomie yang ditayangkan di televisi pada tahun 2008. Iklan ini bertemakan keanekaragaman
budaya Indonesia. Tema tersebut dapat terlihat dari tampilan representasi
budaya-budaya di Indonesia berupa penggunaan bahasa daerah pada jingle iklan tersebut dan penggunaan landmark dari beberapa propinsi di Indonesia seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Bali, Papua, maupun DKI Jakarta.
Maksud pesan dari iklan tersebut adalah bahwa orang Indonesia walaupun
satu selera dalam memilih mie instan yaitu Indomie. Pembuatan tema iklan ini
juga bertepatan dengan peringatan 100 tahun kebangkitan nasional, sehingga hal
ini merupakan momen yang tepat untuk mengajak masyarakat menjunjung
nilai-nilai persatuan diatas semua perbedaan yang ada.
Tujuan komunikasi iklan adalah untuk mendekatkan produk Indomie
kepada konsumen. Indomie merupakan brand leader dari produk mie instan di Indonesia, maka iklan tersebut merupakan iklan pengingat yang berfungsi untuk
maintenance dari pemasaran produk tersebut agat tidak kehilangan pasarnya. Target audiens yang diharapkan dari penayangan iklan tersebut adalah sesuai
dengan target pasar Indomie yaitu seluruh masyarakat Indonesia dari seluruh
lapisan masyarakat, segala usia, jenis kelamin, pekerjaan, maupun lokasi
geografis masayarakat.
Matari Advertising selaku biro pembuat iklan bekerjasama dengan
CHAMP Production House. Iklan ini menggunakan jingleoriginal Indomie yang diarransemen ulang oleh Erwin Gutawa dan liriknya diganti menggunakan
representasi beberapa bahasa daerah. Penggunaan model-model yang merupakan
anak muda dimaksudkan untuk membawa spirit pemuda yang aktif dan penuh semangat. Selain itu juga agar Indomie tidak kehilangan pasar dari generasi muda.
Salah satu scene pada iklan tersebut dapat dilihat pada gambar 7. Gambar 7. SceneIklan Indomie ‘Satu Selera’
4.2.2 Penayangan
Iklan indomie versi ‘Satu Selera’ ditayangkan di semua stasiun televisi nasional maupun lokal di Indonesia, diantaranya : RCTI, SCTV, Trans TV, Trans
7, Indosiar, ANTV, TV One, TPI, dan lain-lain. Jumlah penayangan iklan ini
rata-rata 5 kali tayang per hari selama tahun 2008 dengan durasi 60 detik. Untuk
negosiasi lebih lanjut. Iklan tersebut bisa saja ditayangkan pada saat prime time ataupun waktu-waktu tertentu. Durasi iklan tersebut pada akhirya pun berkurang
menjadi 30 detik sampai 15 detik per tayang.
Sampai dengan saat ini media iklan televisi merupakan media yang paling
banyak digunakan oleh Indomie dibandingkan dengan media lainnya seperti
media cetak atau media-media below the line seperti billboard. Contoh iklan Indomie ‘Satu Selera’ versi billboard dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Iklan Indomie ‘Satu Selera’ versi billboard
Media televisi merupakan media yang paling efektif dalam memasarkan
produk mie instan dikarenakan konsumen mie instan dapat terpengaruh secara
besar oleh iklan televisi. Hanya dengan melihat tayangan iklan di televisi,
konsumen dapat tertarik untuk membeli produk mie instan yang diiklankan
BAB V
SIKAP KONSUMEN
5.1 Sikap Konsumen Terhadap Produk
Tiga puluh responden telah mengisi kuesioner yang berisikan pertanyaan
mengenai sikap mereka terhadap produk. Sikap yang dimaksud adalah kognitif
(pengetahuan), afektif (emosi atau perasaan), dan konatif (kecenderungan untuk
berprilaku). Berdasarkan pengolahan data menggunakan Microsoft Excel, diperoleh data bahwa responden memiliki sikap kognitif, afektif, dan konatif yang
tinggi terhadap produk. Data tersebut tersaji pada tabel 2.
Tabel 2. Sikap Konsumen Terhadap Produk
Sikap Kisaran Skor
Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)
Kognitif 8-20 Rendah 0 0
21-32 Tinggi 30 100
Afektif 9-22,5 Rendah 2 6.7
22,6-36 Tinggi 28 93.3
Konatif 7-17,5 Rendah 5 16.7
17,6-28 Tinggi 25 83.3
5.1.1 Kognitif
Tiga puluh responden yang telah mengisi kuesioner, semua responden atau
100 % dari total responden menunjukkan sikap kognitif yang tinggi terhadap
produk (Tabel 2). Hasil tersebut menunjukkan bahwa seluruh responden (100 %)
memiliki kognitif yang tinggi mengenai produk. Kognitif yang merupakan
pengetahuan dan persepsi yang diperoleh berdasarkan kombinasi pengalaman
langsung dengan obyek sikap dan informasi yang berkaitan dari berbagai sumber.
terhadap produk dan informasi yang berkaitan dari berbagai sumber terutama dari
iklan televisi.
Seluruh responden yang memiliki pengetahuan tinggi terhadap produk
tersebut, dibagi ke dalam dua kategori yaitu tinggi dan sangat tinggi. Responden
yang termasuk kategori tinggi berjumlah 10 orang (33,3 %) dimana responden ini
berada dalam kisaran skor 21-26,5. Responden tersebut mengetahui akan
keberadaan produk Indomie. Pengetahuan mengenai produk Indomie yang
dimiliki oleh responden-responden tersebut diantaranya adalah mengenai berbagai
varian rasa dari produk Indomie. Berbagai varian rasa tersebut antara lain rasa
ayam bawang, soto mie, mie goreng, dan lain lain. Selain varian rasa,
responden-responden tersebut juga mengetahui zat-zat yang terkandung dalam Indomie
dimana terdapat zat-zat seperti vitamin A, B1, B6, B12, Niasin, Asam Folat,
Mineral, Zat Besi, dan lain-lain. Responden mengetahui tagline Indomie adalah ‘indomie seleraku’. Responden juga mengetahui bahwa Indomie merupakan brand leader dari produk mie instan di Indonesia. Indomie merupakan merek mie instan paling favorit di Indonesia sehingga Indomie umum dijadikan istilah
generik untuk merujuk kepada mie instan. Akan tetapi responden-responden
tersebut kurang mengetahui bahwa Indomie juga dijual ke luar negeri.
Responden lainnya yang berjumlah 20 orang (66,7%) termasuk dalam
kategori sangat tinggi dimana mereka berada dalam kisaran skor 26,5 -32.
Responden tersebut termasuk dalam kategori tingkat pengetahuan yang sama
dengan responden yang berada dalam kategori tinggi ditambah dengan mereka
mengetahui bahwa produk Indomie juga dijual ke luar negeri.
5.1.2 Afektif
Tiga puluh responden yang telah mengisi kuesioner, 28 responden
menunjukkan sikap afektif yang tinggi terhadap produk (tabel 2). Afektif
merupakan emosi atau perasaan mengenai produk atau merek. Emosi atau
perasaan ini mencakup penilaian terhadap obyek sikap secara langsung dan
menyeluruh. Emosi atau perasaan yang dimaksud adalah suka atau tidaknya
konsumen terhadap produk. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
Sebagian besar responden tersebut menyukai produk Indomie karena
mereka juga menyukai iklan Indomie versi ‘Satu Selera’. Responden juga menyukai produk Indomie di antaranya adalah karena rasa yang enak. Rasa yang
enak tersebut membuat mereka lebih memilih Indomie daripada merek mie instan
lainnya. Kemasan yang menarik dan varian rasa yang beragam juga membuat
mereka menyukai Indomie. Selain itu, harga yang terjangkau, produk Indomie
yang mudah didapatkan dimana-mana juga membuat responden menyukai
Indomie. Responden-responden tersebut juga menyatakan bahwa Indomie lebih
baik dari produk Indomie lainnya.
Dua responden lainnya yang tidak menyukai produk dikarenakan mereka
tidak menyukai iklan indomie versi ‘Satu Selera’, rasanya tidak enak, kemasan tidak menarik, variasi rasa tidak membuat mereka tertarik, harganya tidak
terjangkau, tidak mudah untuk mendapatkan produk, dan Indomie tidak lebih baik
daripada produk mie instan lainnya.
5.1.3 Konatif
Tiga puluh responden yang telah mengisi kuesioner, 25 responden atau
83,3 % dari total responden menunjukkan sikap konatif yang tinggi terhadap
produk (Tabel 2). Konatif merupakan kecenderungan bahwa individu akan
melakukan tindakan khusus atau berperilaku dengan cara tertentu terhadap obyek
sikap tertentu. Dalam hal ini, kecenderungan untuk membeli produk. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden (83,3 %) ingin membeli
produk Indomie.
Sebagian besar responden tersebut ingin membeli produk Indomie karena mereka juga menyukai iklan Indomie versi ‘Satu Selera’. Responden juga ingin membeli produk Indomie di antaranya adalah karena rasa yang enak. Rasa yang
enak tersebut membuat mereka lebih memilih untuk mengkonsumsi Indomie
daripada merek mie instan lainnya. Kemasan yang menarik dan varian rasa yang
beragam juga membuat mereka tertarik untuk membeli Indomie. Selain itu, harga
yang terjangkau, produk Indomie yang mudah didapatkan dimana-mana juga
Lima responden lainnya yang tidak ingin membeli produk dikarenakan
indikator-indikator seperti rasa, varian, harga, kemudahan untuk memperoleh
produk, kemasan dan iklan tidak membuat mereka ingin membeli produk
Indomie. Responden-responden tersebut memang tidak menyukai rasa produk
Indomie, selain itu harga, kemasan, kemudahan untuk memperoleh produk, serta
BAB VI
FAKTOR-FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI SIKAP KONSUMEN
6.1 Karateristik Konsumen
Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, didapatkan hasil
bahwa sebagian besar responden memiliki frekuensi menonton televisi 1-3 jam
per hari. Data juga menunjukkan bahwa setiap tingkatan frekuensi menonton
televisi, responden memiliki sikap kognitif, afektif, konatif yang tinggi terhadap
produk. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya frekuensi menonton
televisi tidak akan menyebabkan semakin tingginya sikap konsumen terhadap
produk.
Hasil pengolahan data juga menunjukkan terdapat 1 orang responden yang
sama sekali belum pernah mencoba produk dikarenakan responden tersebut lebih
menyukai produk mie instan lainnya. Responden tersebut memiliki sikap kognitif
atau pengetahuan yang tinggi terhadap produk dan memiliki sikap afektif dan
konatif terhadap produk. Selain itu, terdapat pula beberapa responden yang telah
mencoba produk lebih dari 2 kali tetapi memiliki sikap afektif dan konatif yang
rendah terhadap produk dikarenakan di saat itu tidak ada mie instan yang ia sukai
atau ingin beli untuk dikonsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya
tingkat pengalaman tidak akan menyebabkan semakin tingginya sikap konsumen
terhadap produk.
Sebagian besar responden memiliki tingkat pendapatan Rp 500.000,00-Rp
1.000.000,00. Data juga menunjukkan bahwa setiap tingkatan frekuensi menonton
televisi, responden memiliki sikap kognitif, afektif, konatif yang tinggi terhadap
produk. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya tingkat pendapatan tidak
akan menyebabkan semakin tingginya sikap konsumen terhadap produk.
Tabel 3. Karateristik Konsumen
Karateristik Konsumen
Tingkat Jumlah (orang)
Persentase (%)
Kognitif Afektif Konatif
Frekuensi
Menonton
Televisi
< 1 jam per
hari
5 16.67 % tinggi tinggi tinggi
1 – 3 jam per hari
16 53.3 % tinggi tinggi tinggi
> 3 jam per
hari
9 30 % tinggi tinggi tinggi
Tingkat
Pengalaman
Tidak
Pernah
1 3 % tinggi rendah rendah
1 kali 0 0 0 0 0
>2 kali 29 97 % tinggi tinggi tinggi
Tingkat
Pendapatan
< Rp
500.000,00
4 13.3 % tinggi tinggi tinggi
Rp
500.000,00-
Rp
1.000.000,0
0
21 70 % tinggi tinggi tinggi
> Rp
1.000.000,0
0
6.1.1 Frekuensi Menonton Televisi
Berdasarkan hasil pengolahan data, responden yang memiliki frekuensi
menonton televisi kurang dari 1 jam per hari berjumlah 5 orang atau 16.7 % dari
total responden. Responden memiliki waktu yang sedikit untuk menonton televisi
karena kesibukan kuliah dan kegiatan-kegiatan lainnya yang menyebabkan
mereka jarang menonton televisi. Responden yang memiliki frekuensi menonton
televisi lebih dari 3 jam per hari berjumlah 9 orang atau 30 % dari total reponden.
Responden ini memiliki waktu menonton televisi yang banyak karena jadwal
kuliah yang tidak padat serta tidak mengikuti banyak kegiatan baik di kampus
maupun luar kampus.
Sebagian besar responden memiliki frekuensi menonton televisi per hari
antara 1 sampai dengan 3 jam berjumlah 16 orang atau 53.3 % dari total
responden. Responden ini memiliki waktu yang seimbang antara menonton
televisi dengan kuliah dan kegiatan-kegiatan lainnya.
6.1.1.1 Hubungan Frekuensi Menonton Televisi dengan Kognitif
Berdasarkan hasil uji antara frekuensi menonton televisi dengan sikap
kognitif didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.308 (tabel 4). Nilai Koefisien
korelasi ini menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah. Hal tersebut juga
ditunjukkan pada tabel 3 dimana responden yang memiliki frekuensi menonton
televisi paling rendah memiliki kognitif yang tinggi, sama dengan responden yang
memiliki frekuensi menonton televisi lebih tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa
H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat antara
frekuensi menonton televisi dengan kognitif.
Frekuensi menonton televisi tidak memiliki pengaruh yang kuat atau
langsung terhadap sikap kognitif atau pengetahuan konsumen terhadap produk.
Semakin tinggi frekuensi menonton televisi konsumen tidak membuat
pengetahuan konsumen akan produk Indomie semakin tinggi. Hal tersebut
disebabkan oleh pengetahuan mengenai produk Indomie tidak hanya didapat
frekuensi menonton televisi tinggi akan tetapi jarang melihat iklan tersebut karena
menonton televisi ketika waktu yang bukan jam penayangan iklan tersebut. Selain
itu terdapat pula beberapa responden yang memiliki pengetahuan yang tinggi
mengenai produk dengan hanya sekali melihat iklan tersebut. Responden tersebut
memiliki frekuensi menonton televisi yang rendah.
ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan
Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 90.28 %
N : jumlah responden
6.1.1.2 Hubungan Frekuensi Menonton Televisi dengan Afektif
Berdasarkan hasil uji antara frekuensi menonton televisi dengan sikap
afektif didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.338 (tabel 5). Nilai koefisien
korelasi ini menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah. Hal tersebut juga
ditunjukkan pada tabel 3 dimana responden yang memiliki frekuensi menonton
televisi paling rendah memiliki afektif yang tinggi, sama dengan responden yang
memiliki frekuensi menonton televisi lebih tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa
H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat antara
frekuensi menonton televisi dengan afektif.
Frekuensi menonton televisi tidak memiliki pengaruh yang kuat atau
langsung terhadap sikap afektif atau perasaan konsumen terhadap produk..
Semakin tinggi frekuensi menonton televisi konsumen tidak membuat konsumen
semakin menyukai produk Indomie. Beberapa responden yang memiliki frekuensi
menonton televisi tinggi akan tetapi jarang melihat iklan tersebut karena mereka
[image:37.595.99.470.197.378.2]menonton televisi ketika waktu yang bukan jam penayangan iklan tersebut. Selain Tabel 4. Hubungan Frekuensi Menonton Televisi dengan Kognitif
frektv Kognitif
Spearman's rho frektv Correlation Coefficient 1.000 .308
Sig. (2-tailed) . .097
N 30 30
Kognitif Correlation Coefficient .308 1.000
Sig. (2-tailed) .097 .
itu terdapat pula beberapa responden yang menyukai produk dengan hanya sekali
melihat iklan tersebut. Responden tersebut memiliki frekuensi menonton televisi
[image:38.595.105.473.169.374.2]yang rendah.
Tabel 5. Hubungan Frekuensi Menonton Televisi dengan Afektif
frektv Afektif
Spearman's rho frektv Correlation Coefficient 1.000 .338
Sig. (2-tailed) . .068
N 30 30
Afektif Correlation Coefficient .338 1.000
Sig. (2-tailed) .068 .
N 30 30
ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan
Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 93.18 %
N : jumlah responden
6.1.1.3 Hubungan Frekuensi Menonton Televisi dengan Konatif
Berdasarkan hasil uji antara frekuensi menonton televisi dengan sikap
konatif didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.470 yang berarti menunjukkan
hubungan yang tidak erat atau rendah (tabel 6). Hal tersebut juga ditunjukkan pada tabel 3 dimana responden yang memiliki frekuensi menonton televisi paling
rendah memiliki konatif yang tinggi, sama dengan responden yang memiliki
frekuensi menonton televisi lebih tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa H0
diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat antara
frekuensi menonton televisi dengan konatif.
Frekuensi menonton televisi tidak memiliki pengaruh yang kuat atau
langsung terhadap sikap konatif atau keinginan konsumen untuk membeli produk.
Semakin tinggi frekuensi menonton televisi konsumen tidak membuat konsumen
semakin ingin membeli produk Indomie. Beberapa responden yang memiliki
frekuensi menonton televisi tinggi akan tetapi jarang melihat iklan tersebut karena
menonton televisi ketika waktu yang bukan jam penayangan iklan tersebut. Selain
sekali melihat iklan tersebut. Responden tersebut memiliki frekuensi menonton
[image:39.595.108.480.159.367.2]televisi yang rendah.
Tabel 6. Hubungan Frekuensi Menonton Televisi dengan Konatif
frektv Konatif
Spearman's rho frektv Correlation Coefficient 1.000 .470**
Sig. (2-tailed) . .009
N 30 30
Konatif Correlation Coefficient .470** 1.000
Sig. (2-tailed) .009 .
N 30 30
ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 99.08 %
N : jumlah responden
6.1.2 Tingkat Pengalaman
Berdasarkan hasil pengolahan data, responden yang memiliki tingkat
pengalaman konsumsi produk paling rendah yaitu tidak pernah mencoba
berjumlah 1 orang atau 3 % dari total responden. Responden tersebut tidak
pernah mengkonsumsi Indomie karena mengkonsumsi produk mie instan lainnya.
Tidak ada responden yang pernah mencoba produk sebanyak 1 kali saja, dan
mayoritas responden yang berjumlah 29 orang responden atau 97 % dari total
responden lebih dari 2 kali mencoba produk Indomie. Responden-responden
tersebut telah mencoba mengkonsumsi Indomie sejak mereka kecil dank arena
Indomie merupakan produk mie instan yang mudah didapatkan. Indomie tersedia
di setiap supermarket, mini market, maupun pasar tradisional di seluruh
Indonesia.
6.1.2.1 Hubungan Tingkat Pengalaman dengan Kognitif
Berdasarkan hasil uji antara tingkat pengalaman dengan sikap kognitif
3 dimana terdapat responden yang belum pernah mencoba produk akan tetapi
memiliki sikap kognitif yang tinggi mengenai produk. Hasil ini menunjukkan
bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat
antara tingkat pengalaman dengan kognitif.
Tingkat pengalaman terhadap produk , dalam hal ini produk Indomie tidak
berpengaruh terhadap pengetahuan konsumen. Hal ini disebabkan pengetahuan
konsumen mengenai produk tidak didapatkan ketika mengkonsumsi produk
tersebut. Pengetahuan mengenai produk lebih banyak didapat dari media seperti
iklan televisi maupun dari mulut ke mulut. Konsumen ketika mencoba atau
mengkonsumsi produk mie instan, mereka tidak memperhatikan segala hal
mengenai kandungan gizi, variasi rasa, dan informasi lainnya. Konsumen tersebut
hanya mengetahui keberadaan produk tersebut dan mengetahui rasa dari mie
[image:40.595.97.485.379.587.2]instan tersebut.
Tabel 7. Hubungan Tingkat Pengalaman dengan Kognitif
Pengalaman Kognitif
Spearman's rho Pengalaman Correlation Coefficient 1.000 .271
Sig. (2-tailed) . .148
N 30 30
Kognitif Correlation Coefficient .271 1.000
Sig. (2-tailed) .148 .
N 30 30
ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan
Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 85.18 %
N : jumlah responden
6.1.2.2 Hubungan Tingkat Pengalaman dengan Afektif
Berdasarkan hasil uji antara tingkat pengalaman dengan sikap afektif
didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.292 yang berarti menunjukkan hubungan
yang tidak erat atau rendah (tabel 8). Hasil ini menunjukkan bahwa H0 diterima
dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat antara tingkat
Tingkat pengalaman terhadap produk kurang berpengaruh pada suka atau
tidaknya konsumen terhadap produk. Hal ini juga ditunjukkan oleh terdapat
responden yang memiliki sikap afektif rendah terhadap produk walaupun telah
lebih dari 2 kali mencoba produk Indomie. Responden tersebut tidak menyukai
produk Indomie karena lebih menyukai produk mie instan merek lainnya.
Responden tersebut mengkonsumsi produk Indomie karena di saat itu tidak ada
merek mie instan yang ia suka untuk dikonsumsi.
Tabel 8. Hubungan Tingkat Pengalaman dengan Afektif
Pengalaman Afektif
Spearman's rho Pengalaman Correlation Coefficient 1.000 .292
Sig. (2-tailed) . .118
N 30 30
Afektif Correlation Coefficient .292 1.000
Sig. (2-tailed) .118 .
N 30 30
ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan
Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 88.18 %
N : jumlah responden
6.1.2.3 Hubungan Tingkat Pengalaman dengan Konatif
Berdasarkan hasil uji antara tingkat pengalaman dengan sikap konatif
didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.271 yang berarti menunjukkan hubungan
yang tidak erat atau rendah (tabel 9). Hasil ini menunjukkan bahwa H0 diterima
dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat antara tingkat
pengalaman dengan konatif.
Tingkat pengalaman terhadap produk kurang berpengaruh pada keinginan
konsumen untuk membeli produk. Sebagian besar responden yang memiliki
tingkat pengalaman tinggi memiliki sikap konatif yang tinggi pula. Akan tetapi,
berdasarkan data yang diperoleh terdapat 4 orang responden yang memiliki sikap
Indomie. Responden tetap tidak ingin membeli produk karena lebih menyukai
produk mie instan merek lainnya. Responden tersebut mengkonsumsi produk
Indomie karena di saat itu tidak ada merek mie instan yang ia ingin beli untuk
[image:42.595.107.486.185.392.2]dikonsumsi.
Tabel 9. Hubungan Tingkat Pengalaman dengan Konatif
Pengalaman Konatif
Spearman's rho Pengalaman Correlation Coefficient 1.000 .271
Sig. (2-tailed) . .148
N 30 30
Konatif Correlation Coefficient .271 1.000
Sig. (2-tailed) .148 .
N 30 30
ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan
Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 85.18 %
N : jumlah responden
6.1.3 Tingkat Pendapatan
Berdasarkan hasil pengolahan data, responden yang memiliki tingkat
pendapatan yang berasal dari uang saku orang tua, beasiswa, dan lain lain kurang
dari Rp. 500.000,00 perbulan berjumlah 4 orang atau 13.3 % dari total responden,
kemudian untuk responden yang memiliki tingkat pendapatan antara Rp.
500.000,00 sampai dengan Rp. 1.000.000,00 perbulan berjumlah 21 orang atau 70
% dari total responden, dan untuk responden yang memiliki tingkat pendapatan di
atas Rp. 1.000.000,00 berjumlah 5 orang atau 16.7 % dari total responden. Dari
hasil tersebut dapat dikatakan bahwa mayoritas responden berpendapatan
menengah.
6.1.3.1 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Kognitif
Berdasarkan hasil uji antara tingkat pendapatan dengan sikap kognitif
didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.231 (tabel 10). Nilai Koefisien korelasi ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap
pendapatan memiliki sikap kognitif yang tinggi.