• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENYALAHGUNAAN RHODAMIN B SEBAGAI BAHAN PEWARNA PADA KOSMETIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENYALAHGUNAAN RHODAMIN B SEBAGAI BAHAN PEWARNA PADA KOSMETIK"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

Tyas Hartanti Meidiana

ABSTRAK

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENYALAHGUNAAN RHODAMIN B SEBAGAI BAHAN PEWARNA PADA KOSMETIK

Oleh

Tyas Hartanti Meidiana

Penampilan menarik diinginkan oleh setiap wanita, oleh karena itu kosmetik menjadi salah satu kebutuhan. Tindakan curang terjadi pada bidang usaha kosmetik ini, yaitu penyalahgunaan rhodamin b sebagai bahan pewarna. Untuk itu yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah pertama, Tata cara pendaftaran produk kosmetik di BPOM. Kedua, Bentuk pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha terkait penyalahgunaan rhodamin b pada kosmetik berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Ketiga, Tindakan BPOM terhadap kosmetik terdaftar dan tidak terdaftar yang mengandung rhodamin b.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah normatif terapan. Data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari wawancara dengan pihak BBPOM Bandar Lampung dan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pengumpulan dan pengolahan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

(2)

Tyas Hartanti Meidiana

kewajiban sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 huruf a, b, c, d, e, f,g serta melakukan pelanggaran hukum yang dilarang dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf a, d, e, f, i. Bentuk pelanggaran pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Kesehatan yaitu pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 98 Ayat (1), Pasal 105 Ayat (2), dan Pasal 106 Ayat (1) dan (2). Tindakan BPOM terhadap kosmetik terdaftar dan tidak terdaftar yang mengandung rhodamin b akan ditarik dari peredaran,dimusnahkan dan dilakukan tindakan projusticia.

(3)

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENYALAHGUNAAN RHODAMIN B SEBAGAI BAHAN PEWARNA PADA KOSMETIK

Oleh

Tyas Hartanti Meidiana

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENYALAHGUNAAN RHODAMIN B SEBAGAI BAHAN PEWARNA PADA KOSMETIK

(Skripsi)

Oleh

TYAS HARTANTI MEIDIANA 0912011259

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK JUDUL DALAM

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP

PERSEMBAHAN MOTTO

SANWACANA DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perlindungan Konsumen ... 9

B. Konsumen dan Pelaku Usaha ... 16

1. Konsumen ... 16

2. Pelaku Usaha ... 20

C. Kosmetik ... 23

1. Pengertian Kosmetik ... 23

2. Penggolongan Kosmetik ... 24

D. Pengertian Rhodamin B ... 27

(6)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Tipe Penelitian ... 31

B. Pendekatan Masalah ... 31

C. Data dan Sumber Data ... 32

D. Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 33

E. Analisis Data ... 33

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Tata Cara Pendaftaran Produk Kosmetik di BPOM 1. Notifikasi Kosmetika ... 34

2. Tata Cara Notifikasi Kosmetika ... 37

3. Persyaratan Kosmetika Yang Akan Dinotifikasi ... 44

4. Pembatalan Notifikasi Kosmetika ... 49

B. Bentuk Pelanggaran Pelaku Usaha Terkait Penyalahgunaan Rhodamin B ... 50

1. Kosmetik Mengandung Rhodamin B ... 51

2. Bentuk Pelanggaran Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ... 57

3. Bentuk Pelanggaran Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan ... 60

C. Tindakan BPOM Terhadap Penyalahgunaan Rhodamin B Pada Kosmetik Terdaftar dan Tidak Terdaftar ... 63

V. KESIMPULAN A. Kesimpulan ... 69

(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Yennie Agustin MR, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Dita Febrianto, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Lindati Dwiatin, S.H., M.Hum. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP 19621109 198703 1 003

(8)

Judul Skripsi : PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP

PENYALAHGUNAAAN RHODAMIN B

SEBAGAI BAHAN PEWARNA PADA

KOSMETIK

Nama Mahasiswa : Tyas Hartanti Meidiana No. Pokok Mahasiswa : 0912011259

Bagian : Hukum Keperdataan

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Yennie Agustin MR, S.H., M.H. Dita Febrianto, S.H., M.H. NIP 19710825 199720 2 001 NIP 19840130 200812 1 004

2. Ketua Bagian Hukum Keperdataan

(9)

MOTTO

Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu akan menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) sedangkan harta terhukum. Kalau harta itu akan berkurang

apabila dibelanjakan, tetapi ilmu akan bertambah apabila dibelanjakan (Sayidina Ali bin Abi Thalib)

" Man Jaddah Wajadah, selama kita bersungguh-sungguh, maka kita akan memetik buah yang manis. Segala keputusan hanya ditangan kita sendiri, kita mampu untuk itu”

(10)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, Zat yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

Kupersembahkan skripsi ini kepada : Ibu dan Ayah tercinta

atas segala

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Tyas Hartanti Meidiana, lahir pada tanggal 9 Mei 1991 di Bandar Lampung. Penulis

merupakan anak ke enam dari enam bersaudara pasangan Bapak Suharyono Turachman dan Ibu Baniar Achyar.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak di TK DAYA pada tahun 1996-1997, Sekolah Dasar di SDN 1 Labuhan Ratu pada tahun 1997-2003, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Bandar Lampung pada tahun 2003-2006, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Al-Kautsar pada tahun 2006-2009. Dengan mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2009.

Pada tahun 2012, penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata di Pekon Purawiwitan, Kecamatan Kebon Tebu, Kabupaten Lampung Barat.

(12)

SANWACANA

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah Allah SWT penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Perlindungan Konsumen Terhadap Penyalahgunaan Rhodamin B Sebagai Bahan Pewarna Pada Kosmetik” sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, hal tersebut dikarenakan kurang dan terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Untuk itu, sangat diharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak untuk pengembangan dan kesempurnaan skripsi ini.

Penulis menyelesaikan skripsi ini tidak akan lepas dari bantuan, bimbingan dan saran dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

(13)

pengarahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penghargaan atas waktu dan nilai akan kerja keras merupakan pelajaran berharga yang penulis dapat; 4. Bapak Dita Febrianto, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah

sabar dan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, motivasi, serta petunjuk dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penghargaan atas waktu dan nilai kerja keras merupakan pelajaran berharga yang penulis dapat;

5. Ibu Lindati Dwiatin, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembahas I terima kasih atas perhatian, masukan, kritik dan saran yang sangat berarti selama proses penulisan skripsi ini;

6. Bapak Ahmad Zazili, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan saran dan masukan demi kebaikan penulisan skripsi ini;

7. Ibu Widya Krulinasari, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

8. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi untuk memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuannya selama penulis menyelesaikan studi;

(14)

10. Untuk keluarga besarku, kakak-kakakku atas doa, dukungan dan semangat yang diberikan;

11. Seluruh sahabat-sahabat tercinta Lia, Rini, Jasmine, Marini, Wahyu, Nisa, Yuni dan Tanti terima kasih atas dukungan dan kebersamaan kita selama ini; 12. Untuk Adia Nugraha yang telah memberikan motivasi, doa serta banyak

membantu;

13. Teman-teman seperjuangan Hukum Keperdataan ’09 Rintar, Clara, Vita, Cicha, Novia, Ratu, Vina, Denty, Indah, Dafson, Fariz, Noey, dan seluruh teman-teman Hukum Keperdataan ’09 yang tidak bisa disebutkan satu persatu;

14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, April 2013 Penulis,

(15)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penampilan menarik dan cantik selalu diidam-idamkan oleh semua kalangan wanita. Oleh karena itu maka setiap kosmetik yang ada di pasaran pasti akan diminati sesuai dengan fungsi dan manfaat dari hasil yang ingin dicapai oleh pemakainya. Untuk medapatkan hasil yang maksimal selain menggunakan pelembab untuk wajah terkadang mereka melengkapinya dengan penambahan warna-warna menarik pada mata, bibir dan pipi mereka, semua hal tersebut dapat ditemukan pada setiap kosmetik-kosmetik yang beredar dipasaran.

(16)

2

yang ada dalam produk tersebut dan jarang dijumpai konsumen yang menanyakan apakah produk yang ditawarkan telah memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.

Pelaku usaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan atau jasa yang berkualitas, informasi yang benar dan jelas, aman digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dan dengan harga yang sesuai (reasonable).1 Pada kenyataannya tidak semua pelaku usaha mengindahkan hal tersebut. Prasasto Sudyatmiko mengemukakan empat contoh elemen yang mempengaruhi perilaku bisnis menjadi tidak sehat, yaitu konglomerasi, kartel/trust, insider trading, dan persaingan usaha tidak sehat atau curang.2

Persaingan usaha tidak sehat atau curang ini juga terjadi pada bidang usaha kosmetik, yaitu penyalahgunaan pewarna sintetis yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Salah satu zat pewarna berbahaya itu adalah rhodamin b. Rhodamin b memberikan warna merah sehingga digunakan pada

lipstick, blush on dan eye shadow.

Penggunaan rhodamin b ini sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa konsumen yang mengkonsumsinya. Standarisasi mutu produk sangat penting dirasakan bagi produk kosmetik, mengingat sangat dekat berhubungan dengan kesehatan, karena efek pemakaian kosmetik yang mengandung rhodamin b bisa berdampak buruk pada kesehatan tubuh terutama pada kulit. Dalam hal ini standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan, disusun berdasarkan

1

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hal 63.

2

(17)

3

konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keselamatan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.3

Pemerintah selaku pihak yang berwenang untuk menegakkan hukum perlindungan konsumen harus bersifat proaktif dalam melindungi hak-hak konsumen di Indonesia. Terkait dengan sediaan farmasi yang akan dibahas yaitu kosmetik, upaya pemerintah untuk melindungi konsumen adalah melalui pembentukkan lembaga yang bertugas untuk mengawasi pada suatu produk serta memberikan perlindungan kepada konsumen.

Di Indonesia telah dibentuk suatu badan yang bertugas untuk mengawasi peredaran obat dan makanan, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). BPOM dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 jo Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang mengatur mengenai pembentukan lembaga-lembaga pemerintah nondepartemen. LPND adalah lembaga pemerintah pusat yang dibentuk untuk menjalankan tugas pemerintahan tertentu dari presiden serta bertanggung jawab langsung pada presiden. BPOM merupakan salah satu LPND yang mempunyai tugas terkait dengan pengawasan obat dan makanan.

BPOM bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang

3

(18)

4

berlaku.4 BPOM melakukan pengawasan meliputi dua tahap yaitu pre market dan

post market. Pre market merupakan rangka pemberian persetujuan izin edar,

sedangkan pengawasan post market setelah produk beredar dengan cara pengambilan sampel dan pengujian laboratorium produk yang beredar, inspeksi cara produksi, dan distribusi.5

BPOM mengawasi peredaran kosmetik ini melaui pemeriksaan sarana dan sampling untuk uji laboratorium. Pengawasan sarana terdiri dari sarana distribusi dan produksi. Pengawasan sarana produksi yaitu diawasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan, dan Peraturan Kepala BPOM. Dalam hal ini yang dilihat adalah CPKB (Cara Produksi Kosmetika yang Baik) yaitu dengan melihat bahan baku produksinya. Pengawasan sarana distribusi mengawasi peredaran produk yang dijual, apakah produk tersebut legal atau ilegal serta memenuhi persyaratan atau tidak. 6

Dalam satu tahun anggaran BPOM, jumlah sampel lebih kurang 600 produk yang didapat dari 14 Kabupaten. Dari sinilah dapat diketahui produk memenuhi syarat atau tidak.7 Bahan berbahaya atau dilarang yang didentifikasi terkandung dalam kosmetika tahun 2012 menunjukkan tren yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu penggunaan pewarna berbahaya atau dilarang.8

4

Lihat, Keputusan Presiden RI No. 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. 5

Hasil Wawancara dengan Drs. Hartadi, APT., Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen BBPOM Bandar Lampung.

6

Hasil Wawancara dengan Drs. Hartadi, APT., Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen BBPOM Bandar Lampung.

7

Hasil Wawancara dengan Drs. Hartadi, APT., Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen BBPOM Bandar Lampung.

8

(19)

5

Praktek monopoli dan tidak adanya perlindungan konsumen telah meletakkan posisi konsumen dalam tingkat yang terendah dalam menghadapi para pelaku usaha.9 Dengan adanya kepastian hukum yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini diharapkan konsumen dapat meningkatkan kesadaran terhadap haknya serta merubah pola berpikir dari pelaku usaha bahwa konsumen hanyalah sebagai objek mencapai tujuan yakni untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.

Konsumen di Indonesia masih cenderung pasif meskipun telah ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang hak-hak konsumen, kewajiban pelaku usaha serta memberikan bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya eksploitasi terhadap konsumen yaitu kurangnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya.10 Oleh karenanya dalam hal ini pemberdayaan konsumen sangat penting dengan maksud untuk memiliki kesadaran, kemampuan, dan kemandirian melindungi diri sendiri dari berbagai kemungkinan negatif pemakaian, penggunaan, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya. Pemberdayaan konsumen juga ditujukan agar konsumen memiliki daya tawar yang seimbang dengan pelaku usaha.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dijelaskan bahwa kosmetik harus memiliki izin edar dan memenuhi syarat ketentuan dan mutu. Dengan pengaturan ini pelaku usaha seharusnya lebih menyadari bahwa

9

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Ctk .Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal 1.

10

Susanti, Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara

(20)

6

kesehatan dan keselamatan jiwa konsumen merupakan hal penting yang harus diperhatikan.

Berdasarkan uraian diatas penulis akan membahasnya ke dalam sebuah penelitian yang baru berjudul “Perlindungan Konsumen Terhadap Penyalahgunaan Rhodamin B Sebagai Bahan Pewarna Pada Kosmetik.”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis mengajukan 3 (tiga) permasalahan, yaitu :

a. Tata cara pendaftaran produk kosmetik di BPOM ?

b. Bentuk pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha terkait penyalahgunaan rhodamin b pada kosmetik berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan ?

c. Tindakan BPOM terhadap kosmetik terdaftar dan tidak terdaftar yang mengandung rhodamin b ?

2. Ruang Lingkup

(21)

7

Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan tindakan BPOM terhadap kosmetik terdaftar dan tidak terdaftar yang mengandung rhodamin b.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah : a. Untuk memahami tata cara pendaftaran produk kosmetik di BPOM.

b. Untuk memahami bentuk pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha terkait penyalahgunaan rhodamin b pada kosmetik berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

c. Untuk memahami tindakan BPOM terhadap kosmetik terdaftar dan tidak terdaftar yang mengandung rhodamin b.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut :

a. Secara Teoritis

(22)

8

b. Secara Praktis

(23)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Konsumen

Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum, sehingga perlindungan konsumen pasti mengandung aspek hukum. Materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik saja melainkan kepada hak-hak yang bersifat abstrak. Perlindungan konsumen sangat identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Muhammad Djumhana memasukkan hukum perlindungan konsumen ke dalam hukum ekonomi sosial dengan alasan karena esensi dari ketentuan yang diharapkan untuk melindungi konsumen tersebut merupakan tujuan demi kesejahteraan dari hasil pembangunan ekonomi.1

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Konsumen dilindungi dari setiap tindakan produsen barang atau jasa, importir, distributor penjual dan setiap pihak yang berada dalam jalur perdagangan barang atau jasa ini, yang pada umumnya disebut dengan nama pelaku usaha.

A.Z. Nasution memberikan pengertian tentang perlindungan konsumen yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi

1

(24)

10

hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk antara penyedia dan

penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.2

Menurut Janus Sidabalok, perlindungan konsumen adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.3

Perlindungan konsumen adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk yang dibeli. Namun dalam kenyataannya saat ini keselamatan konsumen seakan-akan tidak diperdulikan oleh pelaku usaha. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen dalam tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen. Negara sesungguhnya adalah penyelenggara perlindungan konsumen. Melalui pemerintah peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen dirancang dan dibuat sekaligus dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyelengaraan.4

Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, tujuan dari perlindungan ini adalah :

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen

2

Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Daya Widya, Jakarta, 2000, hal 23 3

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2006, hal.9

4

(25)

11

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Di dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan

secara maksimal dan memberi kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil maupun secara spiritual.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

(26)

12

Aspek-aspek yang dapat mempengaruhi pelaksanaan perlindungan konsumen adalah :5

a.Aspek Ekonomi.

Aspek ekonomi memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan perlindungan konsumen. Kondisi perekonomian saat ini mengakibatkan kemampuan ekonomi masyarakat semakin merosot sehingga mempengaruhi kemampuan daya beli masyarakat dan dalam hal memilih produk, konsumen hanya dapat mengkonsumsi produk yang terjangkau harganya. Masyarakat tidak akan memikirkan mengenai hak- haknya yang telah dirugikan karena mengkonsumsi produk yang kualitasnya dibawah standar. Dengan kondisi yang demikian maka perlindungan konsumen susah untuk diterapkan, sebab pada prinsipnya pelaksanaan perlindungan konsumen hanya akan terwujud jika konsumen yang menjadi pihak di dalamnya peduli dengan hak-haknya, artinya jika konsumen menyadari bahwa ia telah dirugikan dan perlu untuk menuntut haknya maka perlindungan konsumen dapat dijalankan, akan tetapi jika konsumen yang bersangkutan tidak menuntut hak-haknya maka perlindungan konsumen tidak dapat dijalankan. Dalam prakteknya konsumen memilih diam sebab mereka tidak mengetahui dengan benar hak-hak mereka, justru hal ini sering membuat posisi konsumen menjadi lemah.

b.Aspek Hukum.

Selain aspek ekonomi, aspek hukum juga memiliki peran penting dalam pelaksanaan perlindungan konsumen. Dalam aspek ekonomi yang menjadi fokus adalah situasi ekonomi dari konsumen yang bersangkutan sedangkan

5

(27)

13

pada aspek hukum yang menjadi fokus adalah bagaimana hukum diterapkan dalam rangka menjamin hak-hak konsumen untuk dilindungi dari berbagai hal yang merugikan. Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada para konsumen dan untuk mewujudkannya maka penegak hukum harus bersungguh-sungguh dan konsisten dalam menjalankan tugasnya.

c.Aspek Politis .

Pelaksanaan perlindungan hukum juga dilihat dari aspek politis, tidak hanya untuk melindungi kepentingan konsumen terhadap produk-produk asing yang masuk ke Indonesia. Terhadap produk asing yang masuk ke Indonesia juga harus menaati peraturan yang berlaku. Pelaksanaan perlindungan hukum secara politis dilakukan untuk melindungi kepentingan nasional dari pengaruh produk asing yang akan merugikan bagi konsumen Indonesia.

d.Aspek Budaya.

Pelaksanaan perlindungan konsumen tidak dapat terlepas dari faktor budaya yang berlaku dalam masyarakat sebab hal tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan masyarakat yang akan sangat menentukan sistem nilai yang berlaku di masyarakat tersebut. Perlindungan konsumen mengandung sistem nilai dan budaya tersendiri. Oleh karena itu, membutuhkan waktu yang lama dalam menerapkannya untuk menjadi budaya masyarakat.

(28)

14

Manfaat Perlindungan Konsumen adalah :6

a. Balancing Position

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dengan diterapkan perlindungan konsumen di Indonesia diharapkan kedudukan konsumen yang tadinya cenderung menjadi sasaran pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya menjadi subyek yang sejajar dengan pelaku usaha. Dengan posisi konsumen yang demikian maka akan tercipta kondisi pasar yang sehat dan saling menguntungkan bagi konsumen karena dapat menikmati produk-produk yang berkualitas dan bagi pelaku usaha karena tetap mendapatkan kepercayaan pasar yang tentunya akan mendukung kelangsungan usahanya di masa mendatang.

b. Memberdayakan Konsumen

Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya yang masih rendah, sehingga perlu adanya upaya pemberdayaan. Proses pemberdayaan harus dilakukan secara integral baik melibatkan peran aktif dari pemerintah, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat maupun dari kemampuan masyarakat sebagai konsumen untuk lebih mengetahui haknya. Jika kesadaran konsumen akan hak-haknya semakin baik maka konsumen dapat ditempatkan pada posisi yang sejajar yaitu sebagai pasangan yang saling membutuhkan dan menguntungkan.

(29)

15

c. Meningkatkan Profesionalisme Pelaku Usaha

Perkembangan dunia industrialisasi dan kesadaran konsumen yang semakin baik menuntut pelaku usaha untuk lebih baik dalam menjalankan usahanya secara profesional. Hal itu harus dijalankan dalam keseluruhan proses produksi. Pelaku usaha juga harus mengubah orientasi usahanya yang selama ini cenderung untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek dengan memperdaya konsumen sehingga dalam jangka panjang hal tersebut akan mematikan usahanya. Selain itu pelaku usaha dalam menjalankan usahanya harus memperhatikan kejujuran, keadilan serta etika dalam menjalankan usahanya. Semua itu dilakukan agar pelaku usaha dapat tetap eksis dalam menjalankan usahanya.

Terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen menunjukkan bahwa keberadaan hukum perlindungan konsumen dalam tata hukum nasional tidak diragukan lagi. Kedudukan hukum perlindungan konsumen diakui sebagai cabang hukum tersendiri dari hukum ekonomi, karena konsumen adalah subyek dalam aktivitas perekonomian. Oleh karena itu, perilaku konsumen menjadi obyek studi tidak hanya bagi ilmu ekonomi melainkan juga ilmu hukum.7

Perlindungan konsumen diatur pula dalam ketetapan MPR, khususnya dalam GBHN. Di dalam GBHN diatur tentang program pembangunan nasional di bidang ekonomi. Kemudian, dalam kebijaksanaan pembangunan lima tahun keenam di bidang ekonomi pada sektor perdagangan dengan tegas ditentukan bahwa salah satu tujuan pembangunan perdagangan adalah untuk melindungi kepentingan

7

(30)

16

konsumen.8 Dengan demikian, konsumen diakui keberadaannya dalam Ketetapan MPR. Kedudukan dan wewenang MPR pada era sekarang sudah jauh berbeda dengan pada masa itu, MPR tidak lagi memiliki wewenang menetapkan GBHN, sehingga landasan hukum perlindungan konsumen langsung pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagai peraturan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.

B. Konsumen dan Pelaku Usaha

1. Konsumen

Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha,9 yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.10 Unsur untuk tidak dijual kembali, sudah seharusnya tidak masuk dalam pengertian konsumen, karena kegiatan pembelian untuk dijual kembali adalah kegiatan dagang atau perbuatan perniagaan (daden van koophandel).11

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

8

Lihat, Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). 9

Mariam Darus, Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau dari Segi Standar Kontrak (Baku)

Makalah Pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, BPHN-Binacipta,

1980, hal 57. 10

Az. Nasution, Iklan dan Konsumen (Tinjauan dari Sudut Hukum dan Perlindungan Konsumen,

dalam Manajemen dan Usahawan Indonesia , Nomor 3 Thn.XXIII, LPM FE-UI, 1994, Jakarta,

hal 23. 11

(31)

17

Berdasarkan pengertian konsumen yang terdapat pada Pasal 1 Angka 2, subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan jasa. Adapun menurut Shidarta istilah pemakai sebagaimana yang dijelaskan oleh Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah menekankan bahwa, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer).12

Di dalam penjelasan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk barang atau jasa untuk membuat barang atau jasa lainnya untuk diperdagangkan.

Dalam buku A.Z. Nasution yang berjudul aspek-aspek hukum masalah perlindungan konsumen, istilah konsumen berasal dari bahasa consumer (Inggris -Amerika) atau consument (Belanda). Secara harfiah arti kata consumer adalah lawan dari produsen, setiap orang yang menggunakan barang.13

Menurut A.Z. Nasution, orang yang dimaksud di atas adalah orang alami bukan badan hukum, sebab yang memakai, menggunakan dan atau memanfaatkan barang dan atau jasa untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun

12

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Indonesia, Grasindo, Jakarta, hal 18. 13

(32)

18

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia.14

Batasan-batasan tentang konsumen akhir menurut A.Z. Nasution adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang tersedia di dalam masyarakat, digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi, keluarga, atau rumah tangganya, dan tidak untuk kepentingan komersial.15

Secara umum dikenal adanya empat hak dasar konsumen yaitu hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety), hak untuk mendapatkan informasi

(the right to be informed), hak untuk memilih (the right to choose), dan akhirnya

hak untuk didengar (the right to be heard ).16

Betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan pemikiran yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen merupakan generasi keempat hak asasi manusia, yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi manusia dalam perkembangan di masa yang akan datang.17

Hak Konsumen berdasarkan pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen, antara lain :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

14

Ibid, hal 7.

15Ibid,

hal 3. 16

Gunawan Wijaya dan A Yani, op.cit, hal 27. 17

(33)

19

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan diatas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau dapat membahayakan keselamatan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur.

Perlindungan terhadap kepentingan dan hak-hak konsumen semakin penting untuk diketahui, khususnya berkenaan dengan keadaan atau posisi konsumen di hadapan pelaku usaha.18 Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.

Selain mengatur mengenai hak-hak konsumen, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai kewajiban konsumen, yang terdapat dalam pasal 5, yaitu sebagai berikut :

1.Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

18

(34)

20

2.Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3.Membayar dengan nilai tukar yang disepakati;

4.Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Penjabaran pasal tersebut di atas, dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimal atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya.19

2. Pelaku usaha

Berdasarkan pengertian Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Bentuk atau wujud dari pelaku usaha:

a. Orang perorangan, yakni setiap individu yang melakukan kegiatan usahanya secara seorang diri.

b. Badan usaha, yakni kumpulan individu yang secara bersama-sama melakukan kegiatan usaha. Badan usaha selanjutnya dapat dikelompokkan kedalam dua kategori, yakni:

1) Badan hukum. Menurut hukum, badan usaha yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori badan hukum adalah yayasan, perseroan terbatas dan koperasi.

2) Bukan badan hukum. Jenis badan usaha selain ketiga bentuk badan usaha diatas dapat dikategorikan sebagai badan usahan bukan badan hukum,

19

(35)

21

seperti firma, atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha secara insidentil. 20

Dengan demikian jelaslah bahwa pengertian pelaku usaha menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sangat luas. Yang dimaksud dengan pelaku usaha bukan hanya produsen, melainkan perusahaan, BUMN, koperasi, dan perusahaan swasta, baik berupa pabrikan, importir, pedagang eceran , distributor, dan lain-lain.21

Dalam transaksi konsumen yang bersifat tak langsung dengan pelaku usaha akan melibatkan banyak pihak. Dalam mata rantai bisnis, suatu produk yang dihasilkan oleh pabrik akan menempuh proses dari pihak-pihak tertentu hingga sampai di pasar dan akhirnya jatuh ke tangan konsumen. Hubungan tak langsung antara konsumen dan pelaku usaha ini akan menyulitkan konsumen dalam melakukan penuntutan.

Gugatan konsumen hanya dapat ditujukan kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan hukum, karena dengan adanya hubungan hukum menunjukkan adanya kepentingan hukum antarpihak yang berhubungan. Oleh karena itu, gugatan konsumen yang terjadi karena hubungan hukum yang bersifat tak langsung akan memperbanyak pihak-pihak yang akan digugat. Mulai dari pengecer sampai dengan produsen, atau cukup hingga ke agen saja.22 Namun hal ini tidak serta merta menjadikan semua pihak tersebut sebagai pihak yang bersalah, karena bisa

20

http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/494/jbptunikompp-gdl-harriyanto-24690-3-unikom_h-i.pdf, diakses 6 November 2012.

21

Janus Sidabalok, op.cit., hal 17. 22

(36)

22

saja kecurangan tersebut hanya dilakukan oleh salah satu pihak dan tidak diketahui oleh pihak lain.

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak. Hak tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan mengenai hak-hak dari pelaku usaha, hak pelaku usaha antara lain :

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaiakan hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sebagai konsekuensi adanya hak pelaku usaha, pelaku usaha juga memiliki kewajiban, kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan berbagai kewajiban dari pelaku usaha, yaitu:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

(37)

23

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

C. Kosmetik

1. Pengertian Kosmetik

Kosmetik berasal dari bahasa Inggris Cosmetic yang artinya “ alat kecantikan wanita”. Dalam bahasa Arab modern diistilahkan dengan Alatuj tajmiil, atau

sarana mempercantik diri.23

Berdasarkan BAB I Pasal 1 butir 1 Keputusan Kepala Badan POM RI No. 1745 tahun 2003 tentang Kosmetik dijelaskan bahwa Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik. Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa kosmetik adalah bahan yang digunakan untuk kebutuhan manusia dalam menjaga kebersihan, merawat bagian luar tubuh manusia (kulit, rambut, kuku, organ luar lainnya), dan untuk memperindah penampilan.

Definisi kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.445/MenKes/Permenkes/1998 adalah sebagai berikut : “Kosmetik adalah

sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan

23

(38)

24

(epidermis, rambut,kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi, dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit.”

2. Penggolongan Kosmetik

Menurut Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2003 : BAB I Pasal 3 mengemukakan bahwa berdasarkan bahan dan penggunaannya serta untuk maksud evaluasi produk kosmetik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

a. Kosmetik golongan I adalah :

1) Kosmetik yang digunakan untuk bayi

2) Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut dan mukosa lainnya 3) Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan

penandaan

b. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk golongan I.

Penggolongan kosmetik tidak hanya berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, selain itu kosmetik dibagi menjadi tiga golongan, yaitu menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 445/MenKes/Permenkes/1998, menurut sifat dan cara pembuatannya, serta menurut kegunaan bagi kulit.24

24

(39)

25

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 445/MenKes/Permenkes/1998, kosmetik dibagi menjadi 13 kelompok :

1) Preparat untuk bayi, misalnya minyak bayi, bedak bayi, dll. 2) Preparat untuk mandi, misalnya sabun mandi, bath capsule, dll. 3) Preparat untuk mata, misalnya mascara, eyes-shadow, dll 4) Preparat wangi-wangian, misalnya parfum, toilet water, dll 5) Preparat untuk rambut, misalnya cat rambut, hair spray, dll 6) Preparat pewarna rambut, misalnya pewarna rambut, dll 7) Preparat make-up (kecuali mata), misalnya bedak, lipstick, dll

8) Preparat untuk kebersihan mulut, misalnya pasta gigi, mouth washes, dll 9) Preparat untuk kebersihan badan, misalnya deodorant, dll

10)Preparat kuku, misalnya cat kuku, lotion kuku, dll

11)Preparat perawatan kulit, misalnya pembersih pelembab, pelindung, dll 12)Preparat cukur, misalnya sabun cukur, dll

13)Preparat untuk suntan dan sunscreen, misalnya sunscreen foundation, dll

Penggolongan Kosmetik Menurut Sifat dan Cara Pembuatan :

1) Kosmetik modern, diramu dari bahan kimia dan diolah secara modern 2) Kosmetik tradisional :

a)Betul-betul tradisional, misalnya mangir, lulur, yang dibuat dari bahan alam dan diolah menurut resep dan cara yang turun-temurun.

b)Semi tradisional, diolah secara modern dan diberi bahan pengawet agar tahan lama

(40)

26

Penggolongan Menurut Kegunaan Pada Kulit :

1) Kosmetik perawatan kulit (skin-care cosmetics). Jenis ini perlu untuk merawat kebersihan dan kesehatan kulit, termasuk didalamnya :

a) Kosmetik untuk membersihkan kulit (cleanser): sabun, cleansing

cream,cleansing milk, dan penyegar kulit (freshener).

b) Kosmetik untuk melembabkan kulit (moisturizer), misalnya moisturizing

cream, night cream, anti wrinkle cream.

c) Kosmetik pelindung kulit, misalnya sunscreen foundation, sun block

cream/lotion. Kosmetik untuk menipiskan atau mengampelas kulit

(peeling), misalnya scrub cream yang berisi butiran-butiran halus yang

berfungsi sebagai pengampelas (abrasiver)

2) Kosmetik riasan (dekoratif atau make-up). Jenis ini diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek psikologis yang baik, seperti percaya diri. Dalam kosmetik riasan, peran zat warna dan zat pewangi sangat besar.

Komposisi utama dari kosmetik adalah bahan dasar yang berkhasiat, bahan aktif dan ditambah bahan tambahan lain seperti bahan pewarna, bahan pewangi, pada pencampuran bahan-bahan tersebut harus memenuhi kaidah pembuatan kosmetik ditinjau dari berbagai segi teknologi pembuatan kosmetik termasuk farmakologi, farmasi, kimia teknik dan lainnya.

(41)

27

dibatasi penggunaannya berdasarkan area penggunaan kosmetika. Terdapat bahan pewarna yang diizinkan untuk semua sediaan kosmetika, misalnya CI 14700 dan CI 16035. Kedua bahan tersebut berfungsi untuk memberikan warna merah serta tidak memiliki kadar maksimum atau persyaratan lain dalam penggunaannya sehingga aman. Ada juga yang diizinkan untuk semua sediaan kosmetika kecuali kosmetika yang digunakan di sekitar mata. Contohnya adalah pewarna CI 45405 dan CI 74260. Yang masing-masing memberikan warna merah dan hijau, namun dalam penggunaannya CI 4505 memiliki kadar maksimum pemakaian sehingga jika melebihi yang telah ditentukan akan menjadi tidak aman bagi konsumen. Ada bahan pewarna yang diizinkan khusus pada sediaan kosmetika selama tujuan penggunaan kosmetika tersebut tidak kontak dengan membran mukosa seperti CI 11710 dan CI 47000. Kedua bahan tersebut berfungsi memberikan warna kuning pada kosmetik serta tidak memiliki kadar maksimum atau persyaratan lain. Terakhir adalah bahan pewarna yang diizinkan khusus pada sediaan kosmetika yang tujuan penggunaannya kontak dengan kulit dalam waktu singkat, misalnya CI 50325 dan CI 74180. Dimana masing-masing dari bahan tersebut memberikan warna ungu dan biru. Dalam penggunaannya kedua bahan ini tidak memiliki kadar maksimum dan juga persyaratan lain, sehingga aman untuk digunakan.25

D. Pengertian Rhodamin B

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 239/MENKES/PER/V/1985 Tentang Zat Warna ditentukan bahwa rhodamin b merupakan bahan pewarna berbahaya. Rhodamin b ini digunakan pada industri tekstil dan kertas, jika

25

(42)

28

digunakan sebagai salah satu bahan dalam pembuatan kosmetik maka dapat membahayakan kesehatan pemakainya.

Penyalahgunaan rhodamin b oleh pelaku usaha dikarenakan beberapa faktor, yaitu yang pertama adalah masalah harga. Pewarna kimia tersebut dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami. Masalah ini tentu saja sangat diperhatikan oleh produsen, mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah. Faktor kedua adalah stabilitas. Pewarna sintetis memiliki tingkat stabilitas yang lebih baik, sehingga warnanya tetap cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan.

Rhodamin b berbentuk kristal hijau atau serbuk ungu-kemerah–merahan, sangat larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebiru-biruan dan berfluorensi kuat.26 Rhodamin b disebut juga dengan merah K10.

Ciri-ciri kosmetik yang mengandung rhodamin b :27

1. Warna terlihat sangat cerah, biasanya merah terang atau mencolok 2. Harga terlalu murah (tidak rasional)

3. Dapat menimbulkan iritasi

4. Bila diusapkan pada kulit lengan terasa panas dan gatal

Rhodamin b mempunyai sifat yang tidak dapat larut dalam air (non polar) sehingga bahan tersebut akan tetap menempel pada kulit serta menumpuk dikulit dalam pemakaian jangka panjang, inilah mengapa kosmetik mengandung rhodamin b bisa menyebabkan kerusakan permanen pada kulit. Jika tetap

26

http://catatankimia.com, diakses 18 Oktober 2012. 27

(43)

29

digunakan efeknya bukan hanya merusak kulit, tetapi juga mengakibatkan kanker kulit dan kanker sistemik.28 Rhodamin b dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, jika terhirup terjadi iritasi pada saluran pernapasan, mata yang terkena rhodamin b juga akan mengalami iritasi, jika terkena pada bibir dapat menyebabkan bibir pecah-pecah, kering dan gatal, bahkan kulit bibir terkelupas.

E. Kerangka Pikir

28

Hasil wawancara dengan Evita, S.H. selaku anggota dibidang pemeriksaan dan penyidikan BBPOM Bandar Lampung.

UUPK UU Kesehatan

Pelaku Usaha Kk Konsumen

Pendaftaran Kosmetik di BPOM

P Penyalahgunaan Rhodamin b

(44)

30

Penjelasan :

(45)

31

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Tipe Penelitian

Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian hukum normatif empiris yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji keberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (Kodifikasi, Undang-Undang, atau Kontrak) secara in

action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang berlaku dimasyarakat.1 Tipe

penelitian hukumnya adalah deskriptif, yaitu memaparkan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian sebagai karya ilmiah.

B. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian ini pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif terapan. Dalam pendekatan normatif terapan peneliti lebih dahulu harus merumuskan masalah dan tujuan penelitian. Peneliti harus mengikuti prosedur yang terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:

1) Identifikasi pokok bahasan (topical subject) dan subpokok (sub topical

subject) berdasarkan rumusan masalah penelitian.

2) Identifikasi ketentuan hukum normatif yang menjadi tolok ukur terapan yang bersumber dari dan lebih sesuai dengan subpokok bahasan.

1

(46)

32

3) Penerapan ketentuan hukum normatif tolok ukur terapan pada peristiwa hukum yang bersangkutan, yang menghasilkan perilaku terapan yang sesuai atau tidak sesuai.

C. Data dan Sumber Data

Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber, yaitu melalui wawancara dengan pihak BBPOM Bandar Lampung. Data primer meliputi data perilaku terapan dari ketentuan normatif terhadap peristiwa hukum in concreto.2

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mempelajari bahan-bahan pustaka yang berupa Peraturan Perundang-Undangan dan literatur-literatur lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

Data sekunder terdiri dari:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.3 Dalam penelitian ini bahan hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,4 seperti buku-buku, skripsi-skripsi, surat kabar, artikel internet, hasil-hasil penelitian, pendapat para ahli atau sarjana hukum, bahan kepustakaan, literatur-literatur ilmu pengetahuan hukum yang dapat mendukung pemecahan masalah yang diteliti khususnya mengenai hukum

2Ibid

, hal 151. 3

Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Pers, Jakarta, hal. 52.

(47)

33

perlindungan konsumen, serta sumber tertulis lainnya seperti makalah, tulisan, dan lain-lain.

D. Pengumpulan dan Pengolahan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

1) Studi Kepustakaan, yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dapat dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, yaitu melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi, dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip buku-buku atau literatur yang berhubungan dengan perlindungan konsumen.

2) Studi Lapangan, dilakukan untuk mendapatkan data primer. Adapun cara mengumpulkan data primer yaitu dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terpimpin, yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu dan dilakukan wawancara secara langsung dengan pihak BBPOM Bandar Lampung. Narasumber dalam wawancara yang dilakukan adalah Drs. Hartadi, APT., Kepala Bidang Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen BBPOM Bandar Lampung dan Evita, S.H. selaku anggota

dibidang pemeriksaan dan penyidikan BBPOM Bandar Lampung.

E. Analisis Data

(48)

34

(49)

69

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Tata cara pendaftaran kosmetik di BPOM yaitu, Pemohon mengisi formulir (template) secara elektronik melalui website BPOM kemudian template tersebut disimpan dan dikirim secara elektronik ke BPOM, pemohon yang telah berhasil mengirim template notifikasi akan menerima surat perintah bayar secara elektronik melalui email pemohon kemudian melakukan pembayaran melalui bank yang ditunjuk, lalu menyerahkan asli bukti pembayaran melalui bank kepada BPOM. Asli bukti pembayaran yang diterima BPOM akan diverifikasi kebenarannya, jika asli bukti pembayaran yang diterima benar, pemohon menerima tanda pengenal produk sebagai tanda terima pengajuan permohonan notifikasi. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak pengajuan permohonan notifikasi diterima oleh Kepala BPOM tidak ada surat penolakan, terhadap kosmetika yang dinotifikasi dianggap disetujui dan dapat beredar di wilayah Indonesia.

(50)

70

terdapat dalam Pasal 7 huruf a, b, c, d, e, f,g serta melakukan pelanggaran hukum yang dilarang dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf a, d, e, f, i. Bentuk pelanggaran pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yaitu pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 98 Ayat (1), Pasal 105 Ayat (2), dan Pasal 106 Ayat (1) dan (2).

(51)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adi Nugroho, Susanti, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari

Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Cet .I , Jakarta : Kencana,

2008.

Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Yogjakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.

Ahmad Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di

Indonesia, Surabaya : UNAIR, 2000.

Djumhana, Muhammad, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1994.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Meliala, Adrianus (peny), Praktek Bisnis Curang, Jakarta : Sinar Harapan.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2004.

Nasution, Az, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Diadit Media, 2002. Nasution, Az, Iklan dan Konsumen (Tinjauan dari Sudut Hukum dan

Perlindungan Konsumen, dalam Manajemen dan Usahawan Indonesia ,

Nomor 3 Thn.XXIII, Jakarta :LPM FE-UI, 1994.

Nasution, Az, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Daya Widya, 2000. Shidarta, Hukum Perlindungan Indonesia, Jakarta : Grasindo, 2000.

(52)

72

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Pers, 2007.

Soekardano, R, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I (bagian pertama), cetakan ke-8, jakarta : Dian Rakyat, 1981.

Sutedi, Adrian. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen.

Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.

Sutopo, H.B, Metode Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya Dalam

Penelitian. Surakarta: Sebelas maret university Press, 2002.

Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Lampung : Universitas Lampung, 2007.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Ctk .Kedua, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Kesehatan

Keputusan Presiden RI No. 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.

Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

(53)

73

C. Jurnal atau Makalah

Darus, Mariam. Perlindungan Terhadap Konsumen Ditinjau dari Segi Standar Kontrak (Baku) Makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan

Konsumen, BPHN-Binacipta, 1980

D. Lain-lain

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor : HK.00.05.4.3870 Tentang Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik

Keputusan Kepala Badan POM RI No. 1745 tahun 2003 tentang Kosmetik

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK 00.05.1.23.3516

Siaran Pers Hasil Pengawasan Kosmetika Mengandung Bahan Berbahaya/Dilarang, Jakarta, 27 Desember 2012.

http://apotekerbercerita.wordpress.com

http://www.bisnisrumahan-ku.com/prosedur-perizinan-dan-cara-pembuatan-kosmetika

http://catatankimia.com

http://edukasi.kompasiana.com

http://hastantoferi.blogspot.com/2012/01/harmonisasi-asean-bidang kosmetika.html

http://www.pom.go.id

http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/494/jbptunikompp-gdl-harriyanto-24690-3 unikom_h-i.pdf

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujan untuk menguji pengaruh good corporate governance (dewan komisaris, dewan direksi, komisaris independen dan komite audit) terhadap tindakan

Koefisien Determinasi (KD) = R Square dari hasil perhitungan pada tabel diatas sebesar 0,543. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa besarnya hubungan kompensasi dan iklim

Malah, menjadi penempatan transit bagi pelatih sebelum ditetapkan balai berkhidmat, kawasan yang berkeluasan 76 hektar itu turut ditempatkan sebagai depoh

Jembatan yang harus dapat dilalui oleh kendaraan darurat dan untuk kepentingan keamanan/pertahanan beberapa hari setelah mengalami gempa rencana dengan periode ulang 1000 tahun).

c) Setelan proteksi saluran utama dari hubung pendek bila sirkit cabang itu disuplai oleh satu saluran utama yang juga menyuplai motor rotor lilit dengan arus pengenal beban penuh

Pada uji coba yang telah dilakukan, motif yang dapat diklasifikasikan sistem secara sempurna adalah motif Ceplok, motif Lung-lungan dan motif Parang, sedangkan untuk

Determinan Subjective Norms (Norma Subjektif) perilaku berhenti mengkonsumsi minuman beralkohol merupakan kontribusi terbesar terhadap intensi berhenti mengkonsumsi

Hak anak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan terkait Perlindungan Anak, mewajibkan Pemerintah Daerah untuk menjamin pemenuhan hak anak dengan