• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Proses Peradilan Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Oleh Anak Tanpa Didampingi Advokat (Studi Putusan Nomor 222/Pid.A/2011/PN.GS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Proses Peradilan Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Oleh Anak Tanpa Didampingi Advokat (Studi Putusan Nomor 222/Pid.A/2011/PN.GS)"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Analisis Proses Peradilan Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Oleh Anak Tanpa Didampingi Advokat (Studi Putusan Nomor 222/Pid.A/2011/PN.GS)

Oleh

Marudut Tampubolon

Bantuan hukum terhadap anak yang menjalani proses persidangan diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berisi: “Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dan Pasal 55 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berisi: “Dalam sidang Anak, Hakim wajib memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi Anak”. Penerapan dari undang-undang tersebut belum optimal, salah satu contoh kasus anak yang berhadapan dengan hukum adalah seorang anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan biasa seperti yang diatur dalam Pasal 338 KUHP. Kasus ini sebelumnya telah diputus oleh Pengadilan Negeri Gunung Sugih dengan Nomor perkara 222/Pid.A/2011/PN.GS. Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil judul analisis proses peradilan perkara tindak pidana pembunuhan oleh anak tanpa didampingi advokat. Identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Apakah yang menjadi faktor penyebab seorang anak tidak didampingi advokat dalam proses persidangan? Apakah yang menjadi dampak hukum yang ditimbulkan ketika proses persidangan terhadap anak yang berperkara tidak didampingi advokat?

(2)

Marudut Tampubolon Adapun faktor-faktor yang menyebabkan seorang anak tidak didampingi penasehat hukum ketika sedang dalam proses peradilan adalah Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hokum belum melaksanakan undang-undang tersebut dengan maksimal. Faktor sarana atau fasilitas Lembaga advokasi anak yang seharusnya memberikan perlindungan hukum belum menjangkau di daerah. Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Dalam sidang Anak, Hakim wajib memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi Anak. Dalam hal orang tua/Wali dan/atau pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/atau Pembimbing Kemasyarakatan Berdasarkan terhadap ketentuan kata “wajib”, Pasal yang mencantumkan kata “wajib” itu, apabila dilanggar ada sanksinya,yaitu yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pelanggaran terhadap ketentuan di atas, berdasarkan penjelasan Pasal 55 ayat (3) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka putusan hakim dapat dinyatakan “batal demi hukum”.

Sistem peradilan tindak pidana anak seharusnya dapat diperbaiki sehingga dalam proses penegakan hukumnya dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak No. 11 Tahun 2012, sehingga setiap perkara/tindak pidana yang dilakukan anak dapat diselesaikan dengan optimal sesuai undang-undang yang ada. Dan diharapkan setiap proses peradilan yang melibatkan anak berhadapan dengan hukum seharusnya anak diberitahukan hak-haknya terutama memperoleh bantuan hukum sehingga proses pemebrian sanksi terhadap anak tersebut sesuai dengan aturan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak dan juga berjalan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku sehingga tidak merugikan anak sebagai pelaku. Karena anak merupakan masa depan bangsa dan yang menentukan nasib bangsa ini nantinya.

(3)

ANALISIS PROSES PERADILAN PERKARA TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN OLEH ANAK TANPA DIDAMPINGI ADVOKAT

(STUDI PERKARA NO. 222/Pid.A/2011/PN.GS)

Oleh

MARUDUT TAMPUBOLON

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

ANALISIS PROSES PERADILAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN OLEH ANAK TANPA DIDAMPINGI ADVOKAT (STUDI

PERKARA NO. 222/Pid.A/2011/PN.GS) (skripsi)

Oleh

MARUDUT TAMPUBOLON

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka teoretis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisa ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Pembunuhan ... 15

B. Peradilan Anak ... 25

C. Hak-Hak Anak ... 27

D. Peraturan Perundang-undangan Yang Mengatur tentang Anak... 30

E. Jenis-Jenis Penjatuhan Pidana Pada Anak ... 32

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 40

B. Sumber dan Jenis Data ... 41

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 42

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 43

(6)

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 45 B. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Seorang Anak Tidak

Didampingi Penasehat Hukum Ketika Sedang Dalam Proses

Peradilan ... 46 C. Dampak Hukum Yang Ditimbulkan Ketika Proses Persidangan

Terhadap Anak Yang Berperkara Tidak Didampingi Penasehat

Hukum ... 51

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 58 B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA

(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati M., S.H., M.H. …………...

Sekretaris/Anggota : Rini Fathonah, S.H., M.H. …….…...

Penguji Utama : Dr. Maroni, S.H., M.H. …………....

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003

(8)

Judul Skripsi : Analisis Proses Peradilan Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Oleh Anak Tanpa Didampingi Advokat (Studi Putusan Nomor 222/Pid.A/2011/PN.GS)

Nama Mahasiswa : Marudut Tampubolon Nomor Pokok Mahasiswa : 0852011143

Program Studi : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati M., S.H., M.H. Rini Fathonah, S.H., M.H. NIP 19611231 198903 1 023 NIP 19790711 200812 2 001

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(9)

MOTTO

Sukses dalam hidup tidak terdiri dalam melakukan apa yang

kita cintai, tetapi mencintai apa yang kita lakukan.

Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang

tertawa bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis;

dan pada kematianmu semua orang menangis sedih, tetapi

hanya kamu sendiri yang tersenyum.

(Mahatma Gandhi)

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap

orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.

(10)

PERSEMBAHAN

Puji syukur Kepada Tuhan yesus Kristus Yang selalu

memberkati dan menyertai sepanjang perjalanan penulisan

skripsi ini.

Sebagai wujud ungkapan rasa cinta, kasih dan sayang serta

bakti yang tulus, kupersemabhkan karya kecil ini

untuk :

Kepada Papa dan Mama serta seluruh keluarga besar

Tampubolon dan Tambunan yang telah memberikan kasih

sayang dan dukungan selama ini kepadaku

Dan kepada seluruh teman-temanku dan keluargaku di

Lampung yang telah menemani perjalanan hidupku selama

ini dan juga yang telah mengajariku arti sebuah

persahabatan

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Palembang pada tanggal 13 April 1989. Penulis merupakan anak tunggal pasangan Bapak Usman Tampubolon dan Ibu T. Tambunan.

Penulis mengawali pendidikannya dimulai dari Taman Kanak-kanak di TK Xaverius di Bandar Lampung pada tahun 1995, pendidikan dasar di SD Sejahtera II Bandar Lampung pada tahun 2001, pendidikan lanjutan di SMP Negeri 21 Bandar Lampung pada tahun 2004, dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 5 Bandar lampung pada tahun 2007.

(12)

SANWACANA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena berkat dan kasih sayang-Nya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi dengan judul “Analisis Proses Peradilan Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Oleh Anak Tanpa Didampingi Advokat (Studi Putusan Nomor 222/Pid.A/2011/PN.GS)” ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya pada semua pihak yang telah berperan dalam studi dan proses penyusunan skripsi saya ini, khususnya kepada:

1. Bapak Dr. Heriandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., Ketua Jurusan Hukum Pidana dan sekaligus Dosen Pembimbing I yang senantiasa memberikan saran selama penulisan skripsi ini dan telah banyak memberikan pengarahan dan sumbangan pemikiran, serta kesabarannya dalam membimbing Penulisan selama penulisan skripsi ini.

3. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan serta berbagai saran kepada penulis; 4. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H., sebagai Pembahas I saya yang telah

(13)

5. Bapak Irzal, S.H., M.H., selaku Pembahas II skripsi atas bimbingan, arahan, kritikan, dan saran dalam penulisan skripsi ini di tengah kesibukan beliau. 6. Bapak I Gede Arya Bagus Wiranata, S.H., M.H., Pembimbing Akademik

yang telah memberikan nasehat dan bantuannya selama proses pendidikan. 7. Dosen-Dosen dan Karyawan di Fakultas Hukum Unila pada umumnya dan di

Jurusan Hukum Pidana pada khususnya.

8. Keluarga Besar Tampubolon dan Tambunan yang di Bandar Lampung, yang selalu memberikan semangat dan panutan dalam hidupku, dan yang tercinta Papa (U. Tampubolon) Mama (T. Tambunan) yang telah berusaha keras mengasuh dengan penuh kasih sayang, mendidik dengan sabar serta mendukung dan selalu mendampingi di setiap langkahku dengan sabar. 9. Pantun Halomoan Sitompul S.H., dan Christianti Maranata Simbolon S.H.,

yang selama ini telah banyak mendukung dan membantu dengan tulus.

10. Juliana Tampubolon S.H., dan Junita Nehemia Marcelina Tampubolon S.Abi. Itoku yang selama ini telah banyak mendukung.

11. Pantun Sitompul, Josua Tampubolon, Thimoty silalahi, aldo silalahi, david sipangkar, aparaku yang selama ini telah banyak mendukung.

(14)

yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas kebersamaan dan keceriaan yang telah kalian berikan kepadaku selama kita menuntut ilmu di Unila.

13. Seluruh teman dan sahabat yang ada di Bandar Lampung dan sekitarnya, Demis, Heri, Dooly, Maria, Dea, Yaya, Agus, Diana, Lala, Christian, Pandi, dan yang tidak bias di sebut satu persatu, terimakasih atas semangat dari kalian.

14. Teman-teman KKN yaitu Dafson, Ipeh, Vie, Dora, Intan, Febri, Aris, Irma, dan neti.

15. Buat anjing kesayangan Pepeng dan Ikan spatula Roky.

16. Hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih Bapak Iwan, S.H., M.H., dan Ibu

Rusdiana, S.H., M.H., yang telah bersedia membantu dalam riset yang penulis lakukan.

17. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini.

18. Almamater ku...

Penulis menyadari skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan sehingga penulis dapat menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif. Penulis berharap skripsi ini, semoga dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Terima Kasih

Bandar Lampung, Mei 2013 Penulis ,

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Pembahasan mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang.

Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke- 19, dimana anak dijadikan sebagai objek yang dipelajari secara ilmiah. Hal ini karena perkembangan jiwa anak tidak sama dengan orang dewasa. Anak memiliki system penilaian kanak-kanak yang menampilkan martabat anak sendiri dan criteria norma tersendiri, sebab sejak lahir anak sudah menampakkan ciri-ciri dan tingkah laku karakteristik yang mandiri, memiliki kepribadian yang khas dan unik. Hal ini disebabkan oleh karena taraf perkembangan anak itu memang selalu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya, dimulai pada usia bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut, akan berlainan psikis maupun jasmaninya.1

Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh serta berkualitas. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh

1

(16)

berbagai faktor antara lain: adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang pesat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan gaya hidup orangtua, serta cara mendidik anak, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan serta pengawasan dari orangtua, wali, atau orangtua asuhnya akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya. Dalam menangani dan menanggulangi berbagai perbuatan/tingkah laku Anak Nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya, tetapi hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya pada diri si anak, karena perkembangan fisik, mental dan sosialnya masih belum sempurna serta keadaan lingkungan sekitarnya juga sangat berpengaruh terhadap pembentukan pribadi anak. penanganan terhadap anak nakal benar-benar harus memperhatikan prosedur dan ketentuan yang sudah ditetapkan, baik dalam dokumen-dokumen internasional maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi anak.

(17)

serta perlindungan yang cukup terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya. Namun, kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari prespektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan masih jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi ini dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.

Peraturan-peraturan yang telah dibuat di Indonesia pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial. Dibuatnya aturan-aturan tersebut sangat jelas terlihat bahwa Negara sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut wajib dijunjung tinggi oleh setiap orang. Namun sayangnya dalam pengaplikasiannya masalah penegakan hukum (law enforcement) sering mengalami hambatan maupun kendala baik yang disebabkan karena faktor internal maupun faktor eksternal.

(18)

anak diadakan guna mengatasi permasalahan tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang masih termasuk golongan anak-anak, semuanya wajib disidangkan dalam peradilan bagi anak yang ada pada pengadilan di lingkungan peradilan umum. Undang-Undang tentang Pengadilan Anak akan memberikan landasan hukum yang bersifat nasional untuk perlindungan hukum bagi anak melalui tatanan peradilan anak. Selain itu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang ditujukan sebagai perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum maupun penegakan hak-hak anak dan hukum anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak.

Tugas pokok pengadilan adalah untuk menerima memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Kata terpenting dalam kalimat di muka adalah kata “mengadili” sudah tercakup kata-kata lainnya. Perbuatan “mengadili” adalah bertujuan dan bertntikan “memberikan suatu keadilan”. Untuk memberikan “keadilan” itu, Hakim melakukan

kegiatan tindakan. Pertama-tama menelaah lebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukannya kepadanya, berupa perkara pidana atau perdata. Setelah itu mempertimbangkan dengan seksama, memberikan penilaian atas peristiwa itu serta menghubungkannya dengan hukum yang berlaku untuk selanjutnya memberikan suatu kesimpulan dengan menyatakan suatu hukum terhadap peristiwa tersebut, yaitu perkara yang diperiksa dan diadili dalam mengadili itu hakim berusaha menegakkan hukum itu, hakim melaksanakan hukum yang berlaku dengan dukungan rasa keadilan yang ada padanya dan keadilan yang ada dalam masyarakat,sehingga bias dikatakan bahwa Hakim adalah penegak hukum.2

2

(19)

Suatu negara yang menganut asas negara hukum, maka setiap penyelesaian harus diselesaikan melalui pengadilan, dalam rangka menegakkan hukum sejalan dengan spirit supremasi hukum. Apabila terjadi pelanggaran hukum atau sengketa hukum, baik menyangkut kepentingan hukum keperdataan seseorang atau pelanggaran hukum kepentingan umum, maka tidak boleh menyelesaikan pelanggaran hukum atau sengketa hukum dengan cara “main Hakim sendiri (Eigen Richting)”. Dengan adanya lembaga pengadilan sebagai lembaga yang berwenang

menyelesaikan sengketa hukum, maka akan dapat mewujudkan prinsip kepastian hukum, dalam rangka perlindungan hukum masyarakat, bukan main hakim sendiri yang bias mengakibatkan anarki. Pengadilan adalah pengadilan Negara, sebagai pemegang otoritas seluruh masyarakat.3 Mengenai bantuan hukum terhadap anak yang menjalani proses persidangan diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak berisi: “Setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang ini”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak ditentukan bahwa setiap anak nakal ditangkap atau ditahan berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan kemudian pejabat tersebut wajib memberitahukann kepada tersangka atau orang tua asuh mengenai hak memperoleh bantuan hukum dan berhubungan dengan penasihat hukum dan berhubungan dengan pejabat yang berwenang.

3

(20)

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur pula mengenai perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum yaitu:

Pasal 59

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah penelantaran.

Ketentuan pidana apabila Pasal tersebut tidak dijalankan diatur dalam Pasal sebagai berikut: Pasal 78

Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaiman adimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(21)

Karang yang selanjutnya perakara ini diproses di Pengadilan Tinggi tersebut namun dalam proses persidangan, terdakwa tidak didampingi oleh advokat. Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang menjatuhkan hukuman kepada terdakwa dengan pidana 2 tahun penjara.

Berdasarkan uraian di atas, penulis hendak meneliti tentang penyelesaian perkara pembunuhan oleh anak yang tidak didampingi oleh advokat ke dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Analisis Proses Peradilan Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Oleh Anak Tanpa Didampingi Advokat (Studi Putusan Nomor 222/Pid.A/2011/PN.GS)”

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan seorang anak yang melakukan tindak pidana tidak didampingi advokat ketika proses persidangan?

b. Apakah dampak hukum yang ditimbulkan ketika proses persidangan terhadap anak yang berperkara tidak didampingi advokat?

2. Ruang Lingkup

(22)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan seorang anak yang melakukan tindak

pidana pembunuhan tidak didampingi advokat ketika proses persidangan.

b. Untuk mengetahui dampak hukum yang ditimbulkan ketika proses persidangan terhadap anak yang berperkara tidak didampingi advokat.

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

(23)

b. Kegunaan Praktis

Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis dalam memberi gambaran secara jelas tentang penyelesaian perkara pidana pembunuhan oleh anak yang tidak didampingi oleh advokat di pengadilan.

D. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan. Pada umumnya, teori bersumber dari undang-undang, buku/karya tulis bidang ilmu, dan laporan penelitian.4

a. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum menurut Soerjono Soekanto.5 Penegakan hukum mempunyai faktor-faktor yang berpengaruh di dalamnya, yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni di mana hukum tersebut berlaku dan diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

4

Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT Citra Aditya Bakti. Hlm 73 5

(24)

Pengadilan Anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak, dan batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Ketentuan yang diatur dalam tata cara pemeriksaan di siding pengadilan ini berkaitan dengan pelaksanaan siding, keterlibatan pembimbing kemasyarakatan, bentuk hakimnya, sebagaimana dipaparkan berikut ini:

1) Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar pembimbing Kemasyarakatan menyampakian laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan. Laporan tersebut berisi tentang:

a. Data individu anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial anak; dan

b. Kesimpulan atau pendapat dari pembimbing kemasyarakatan

2) Hakim dalam sidang anak adalah Hakim Tunggal dalam hal tertentu dan dipandang perlu dapat dilaksanakan dengan Hakim Majelis [Pasal 11 ayat (1) UUPA]

3) Dalam perkara anak nakal, penuntut Umum, Penasehat Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, Orang tua, Wali, atau Orang tua asuh, wajib hadir dalam Sidang Anak (Pasal 55 UUPA)

(25)

5) Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar terdakwa dibawa keluar ruang sidang [Pasal 5 ayat (1) UUPA].

6) Sebelum mengucapkan putusnna, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya untuk mengemukakan segala hal ihwal yang bermanfaat lagi anak [Pasal 59 ayat (1) UUPA].

7) Putusan pengadilan wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing kemasyarakatan [Pasal 59 ayat (1) UUPA].

8) Putusan pengadilan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum [Pasal 59 ayat (3) UUPA].

2. Kerangka Konseptual

Menurut Abdulkadir Muhammad, kerangka konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan yang utuh sehingga terbentuk dari beberapa konsep sebagai landasan, acuan dan pedoman dalam penelitian atau penulisan. Sumber konsep adalah undang-undang, buku/karya tulis, laporan penelitian, enksiklopedia, kamus dan fakta/peristiwa.

a. Perkara

Masalah, urusan, persoalan.6 b. Pembunuhan

Suatu perbuatan yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain.7 c. Anak

6

Depdikbud. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Hlm 861 7

(26)

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

d. Penasihat hukum

Seorang yang memenuhi syarat yang ditentukana oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan terhadap substansi penelitian ini maka diperlukan kerangka penulisan yang sistematis. Sistematika skripsi ini terdiri dari 5 bab yang diorganisasikan ke dalam bab demi bab sebagai berikut:

Bab I

Dalam bab ini menguraikan secara garis besar mengenai latar belakang pemilihan judul, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

Bab II

Bab ini berisi pengantar dalam pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan, dalam uraian bab ini berisi uraian empiris dan normatif yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dan kenyataan yang berlaku dan yang terjadi dalam praktik.

(27)

Bab ini menguraikan mengenai metode yang digunakan dalam penelitian, yang memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sample, pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

Bab IV

Pada bab ini berisikan pembahasan dari hasil penelitian yang akan memberikan jawaban tentang penyelesaian perkara pembunuhan oleh anak yang tidak didampingi oleh advokat serta faktor-faktor yang menyebabkan seorang anak tidak didampingi oleh advokat ketika sedang dalam proses peradilan.

Bab V

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana Pembunuhan

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana adalah tindakan yang tida hanya dirumuskan dalam undang-undang pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana, tetapi juga dilihat dari pandangan tentang kejahatan, devisi (penyimpangan dari peraturan Undang-Undang Dasar1945) dan kualitas kejahatan yang berubah-ubah1

Unsur-Unsur dari suatu tindak pidana atau delik yaitu :

a. Harus ada kelakuan;

b. Kelakuan tersebut harus sesuai dengan undang-undang; c. Kelakuan tersebut adalah kelakuan tanpa hak;

d. Kelakuan tersebut dapat diberikan kepada pelaku; e. Kelakuan tersebut diancam dengan hukuman.

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh hokum dan diancam dengan pidana barang saiapa yang melanggar larangan tersebut2

1

Arif Gosita, 1983. Hukum dan Hak-hak anak. Rajawali. Bandung hlm 42.

2

(29)

Unsur-Unsur dari suatu perbuatan pidana yaitu:

a. Perbuatan manusia;

b. Yang memenuhi dalam rumusan undang-undang; c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

2. Pengertian Pembunuhan

Pembunuhan adalah suatu perbuatan yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana terhadap nyawa diatur pada Buku II Titel XIX (Pasal 338 sampai dengan Pasal 350). Arti nyawa sendiri hamper sama dengan arti jiwa. Kata jiwa mengandung beberapa arti, antara lain; pemberi hidup, jiwa dan roh (yang membuat manusia hidup). Sementara kata jiwa mengandung arti roh manusia dan seluruh kehidupan manusia. Dengan demikian tindak pidana terhadap nyawa dapat diartikan sebagai tindak pidana yang menyangkut kehidupan seseorang (pembunuhan/murder).

Tindak pidana terhadap nyawa dapat dibedakan dalam beberapa aspek:

a. Berdasarkan KUHP,yaitu:

1) Tindak pidana terhadap jiwa manusia;

2) Tindak pidana terhadap jiwa anak yang sedang/baru lahir; 3) Tindak pidana terhadap jiwa anak yang masih dalam kandungan.

(30)

Dolus menurut teori kehendak (wilsiheorie) adalah kehendak kesengajaan pada terwujudnya perbuatan. Menurut teori pengetahuan, kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur yang diperlukan. Tindak pidana itu meliputi:

a. Dilakukan secara sengaja;

b. Dilakukan secara sengaja dengan unsur pemberat; c. Dilakukan secara terencana;

d. Keinginan dari yang dibunuh;

e. Membantu atau menganjurkan orang untuk bunuh diri.

Tindak pidana terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 (dua) dasar. Yaitu:

a. Atas dasar unsur kesalahannya

Berkenaan dengan tindak pidana terhadap nyawa tersebut pada hakikatnya dapat dibedakan sebagai berikut:

1) Dilakukan dengan sengaja yang diatur dalam bab XIX KUHP;

2) Dilakukan karena kelalaian atau kealpaan yang diatur dalam bab XIX KUHP;

3) Karena tindak pidana lain yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 170, Pasal 351 ayat 3, dan lain-lain.

b. Atas dasar obyeknya (nyawa)

(31)

1) Tindak pidana terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340, Pasal 344, Pasal 345.

2) Tindak pidana terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat dalam Pasal 341, Pasal 342 dan Pasal 343.

3) Tindak pidana terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu (janin), dimuat dalam Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, dan Pasal 349.

Tindak pidana terhadap nyawa ini disebut delik materiil yaitu delik yang hanya menyebut suatu akibat yang timbul tanpa menyebut cara-cara yang menimbulkan akibat tersebut. Perbuatan dalam tindakan pidana terhadap nyawa dapat berwujud menebak dengan senjata api, menikam dengan pisau, memberikan racun dalam makanan, bahkan dapat berupa diam saja dalam hal seseorang wajib bertindak seperti tidak memberikan makan kepada seorang bayi.

Timbulnya tindak pidana materiil sempurna tidak semata-mata digantungkan pada selesainya perbuatan, melainkan apakah dari wujud perbuatan itu telah menimbulkan akibat yang terlarang atau belum. Apabila karenanya (misalnya membacok) belum mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, kejadian ini dinilai merupakan percoban pembunuhan (Pasal 338 Jo 53) dan belum atau bukan pembunuhan secara sempurna sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 338. Apabila dilihat dari sudut cara merumuskannya,maka tindak pidana materiil ada 2 (dua) macam, yaitu:

(32)

b. Tindakan pidana materiil yang dalam rumusannya mencantumkan unsure perbuatan atau tingkah laku. Juga disebutkan pula unsure akibat dari perbuatan (akibat konstitutif), misalnya pada penipuan (Pasal 378 KUHP).

Suatu perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa dirumuskan dalam bentuk aktif dan abstrak. Bentuk aktif, artinya mewujudkan perbuatan itu harus dengan gerkan dari sebagaian anggota tubuh, tidak boleh diam atau pasif walaupun sekecil apapun, misalnya memasukkan racun pada minum. Hal ini tidak termasuk dalam bentuk aktif, melainkan bentuk abstrak, karena perbuatan ini tidak menunjukan bentuk konkret. Oleh karena itu, dalam kenyataan yang konkret perbuatan itu dapat beraneka macam wujudnya, seperti apa yang telah dicontohkan sebelumnya. Perbuatan-perbuatan ini harus ditambah dengan unsur kesenjangan dalam salah satu dari tiga wujud, yaitu sebagian tujuan oog merk untuk mengadakan akibat tertentu, atau sebagai keinsyafan kepastian akan datangnya akibat itu (opzet big zekerheidsbewustzijn), atau sebagai keinsyafan kemungkinan akan datangnya akibat itu (opzet big zekerheidsbewustzijn).

Tindakan pidana terhadap nyawa yang dilakukan dengan diberi kualitatif sebagai pembunuhan, terdiri dari:

1. Pembunuhan biasa

Pembunuhan biasa (doodslag), harus dipenuhi unsur, yaitu:

a. Bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengjaan itu harus timbul seketika itu juga (dolus repentinus atau dolus impetus) ditunjukan dengan maksud agar orang yang bersangkutan mati.

(33)

c. Perbuatan itu harus menyebabkan matinya orang: a) Seketika itu juga, atau

b) Beberpa saat stelah dilakukannya perbuatan itu.

Perbuatan yang dilakukan harus ada hubungan dengan seseorang. Istilah “Orang” dalam Pasal 338 KUHP itu, masudnya adalah “Orang lain” terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak

menjadi permasalahan. Meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak atau ibu sendiri, termasuk juga pada pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP yang menegaskan “barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan

pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun”.

Jika seseorang melenyapkan nyawanya sendiri dan mencoba membunuh diri sendiri tidak termasuk dengan perbuatan yang dapat dihukum, karena seseorang yang bunuh diri dianggap orang yang skit ingatan dan tidak dapat dipertanggung jawabkan perbuatannya.

2. Pembunuhan Terkualifikasi

Pembunuhan terkualifikasi diatur dalam Pasal 339 KUHP yang menyatakan:

“pembunuhan yang diikuti,disertai atau didahului oleh suatu delik,yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atu mempemudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hokum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 (dua puluh) tahun”.

Apabila rumusan tersebut dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:

(34)

a. Untuk mempersiapkan tindak pidana lain;

b. Untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain;

c. Dalam hal tertangkap tangan ditunjukan untuk menghindarkan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana, atau untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hokum dari tindak pidana lain itu.

Pasal 339 tindak pidana pokoknya adalah pembunuhan, suatu bentuk khusus pembunuhan yang diperberat pada semua unsur yang disebabkan dalam butir b dan c. dalam dua butir itulah diletakkan sifat yang membertakan pidana dalam bnetuk pembunuhan khusus ini.

Pembunuhan yang diperberat terjadi 2 (dua) macam tindak pidana sekaligus, yaitu pembunuhan biasa dalam bentuk pokok dan tindak pidana lain (selain pembunuhan). Apabila pembunuhannya telah terjadi, akan tetapi, tindak pidana lain belum terjadi, misalnya membunuh untuk mempersiapkan pencurian dimana pencuriannya itu belum terjadi, maka tindak pidana tersebut tidak terjadi.

3. Pembunuhan yang Direncanakan

Pembunuhan dengan rencana lebih dulu atau disingkat dengan pembunuhan berencana, adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, hal ini diatur dalam Pasal 340 KUHP yang menyatakan:

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang

(35)

Unsur-unsur dari tindak pidana ini adalah :

1) Adanya kesengajaan, yaitu kesengajaan yang harus disertai dengan suatu perencanaan terlebih dahulu;

2) Yang bersalah di dalam keadaan tenang memikirkan untuk melakukan pembunuhan itu dan kemudian tidak menjadi soal berapa lama waktunya.

Apabila saat timbulnya pikiran untuk membunuh itu dalam keadaan marah atau terharu ingatannya tetapi tetap melakukan pembunuhan itu, maka ia dianggap tetap melakukan pembunuhan itu. Tetapi lain halnya apabila pikiran untuk membunuh itu timbul di dalam keadaan marah dan keharuan itu berlangsung terus sampai ia melakasankan pembunuhan itu, maka dalam hal ini tidak ada perencanaan yang dipikirkan dalam hati yang tenang.

4. Pembunuhan Anak

Pembunuhan anak diatur dalam Pasal 341, yang menyatakan:

“seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh nyawa anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun”.

Tindak pidana pada pembunuhan ini dinamakan membunuh biasa anak atau maker mati anak (kinderdoodslag). Apabila pembunuhan anak itu dilakukan dengan direncanakan sebelumnya, maka dapat diancam dengan Pasal 342 KUHP, yang dinamakan kindermoord. Unsur-unsur pada pembunuhan anak ini adalah:

(36)

2) Pembunuhan anak itu harus terdorong oleh rasa ketakutan akan diketahui melahirkan anak itu.

Bila anak yang didapat karena hasil hubungan kelamin yang tidak sah atau berzinah, apabila unsur-unsur ini tidak ada, maka perbuatan itu dikenakan sebagai pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP).

5. Pembunuhan atas Permintaan si Korban

Diatur dalam Pasal 344 KUHP, yang menyatakan:

“barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun”

Dengan mengandung unsur:

1) Perbuatan: menghilangkan nyawa; 2) Obyek: nyawa orang lain;

3) Atas permintaan orang itu sendiri;

4) Yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh.

(37)

Factor yang meringankan orang yang bersalah, sehingga oleh karenanya hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman lebih dari 12 (dua belas) tahun, meskipun perbuatan itu tidak berbeda dengan pembunuhan biasa atau pembunuhan yang direncanakan. Factor yang memudahkan hal itu adalah adanya permintaan yang sungguh-sungguh dari orang yang diambil nyawanya. Permintaan itu benar-benar harus terbukti bahwa merupakan suatu desakan dan bersungguh-sungguh.

Pasal 344 KUHP tidak disebutkan bahawa perbuatan itu harus dilakukan dengan sengaja, akan tetapi syarat ini harus dianggapsebagai suatu keharusan, sebab jika tidak perbuatan itu termasuk perbuatan yang disebut dalam Pasal 359 KUHP yang merupakan perbuatan “culpoos” atau “alpa” yang menyatakan:

“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun”.

B. Peradilan Anak

Peradilan adalah tiang teras dan landasan Negara hukum. Peraturan hukum yang diciptakan memberikan faedah apabila ada peradilan yang berdiri kokoh dan bebas dari pengaruh apa pun, yang dapat memberikan isi dan kekuatan kepada kaidah-kaidah hukum yang diletakkan dalam undang-undnag dan peratuan hukum lainnya. Peradilan juga merupakan instansi yang merupakan tempat setiap orang mencari keadilan dan menyeleseaikan persoalan-persoalan tentang hak dan kewajibannya menurut hukum.3

3

(38)

Pengadilan Anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutusdan menyelesaikan perkara anak, dan batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Ketentuan yang diatur dalam tata cara pemeriksaan di siding pengadilan ini berkaitan dengan pelaksanaan siding, keterlibatan pembimbing kemasyarakatan, bentuk hakimnya, sebagaimana dipaparkan berikut ini:

1) Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar pembimbing Kemasyarakatan menyampakian laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan. Laporan tersebut berisi tentang:

a. Data individu anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial anak;

b. Kesimpulan atau pendapat dari pembimbing kemasyarakatan.

2) Hakim dalam sidang anak adalah Hakim Tunggal dalam hal tertentu dan dipandang perlu dapat dilaksanakan dengan Hakim Majelis [Pasal 11 ayat (1) UUPA]

3) Dalam perkara anak nakal, penuntut Umum, Advokat, Pembimbing Kemasyarakatan, Orang tua, Wali, atau Orang tua asuh, wajib hadir dalam Sidang Anak (Pasal 55 UUPA)

4) Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar Pembimbingan Kemasyarakatan menyampaikan Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan [Pasal 56 ayat (1) UUPA].

(39)

6) Sebelum mengucapkan putusnna, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya untuk mengemukakan segala hal ihwal yang bermanfaat lagi anak [Pasal 59 ayat (1) UUPA].

7) Putusan pengadilan wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing kemasyarakatan [Pasal 59 ayat (1) UUPA].

8) Putusan pengadilan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum [Pasal 59 ayat (3) UUPA].

Berdasarkan penelaahan penulis terhadap ketentuan kata “wajib”, hanya satu Pasal yang mencantumkan kata “wajib” itu, apabila dilanggar ada sanksinya,yaitu yang diatur dalam Pasal 59 ayat (2) UUPA sebagai berikut: “putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib

memepertibangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan”.

Pelanggaran terhadap ketentuan di atas, berdasarkan penjelasan Pasal 59 ayat (2) UUPA, maka putusan hakim dapat dinyatakan “batal demi hukum”. Untuk lebih jelasnya penuli skutipankan

isi dari penjelasan tersebut sebagai berikut; “Yang dimaksud dengan “wajib” dalam ayat ini

adalah apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, mengakibatkan putusan batal demi hukum”.4

C. Hak-Hak Anak

1. Hak Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun tentang Perlindungan Anak.

Upaya perlindungan anak menurut Undang-Undang 23 tahun 2002 perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif,

4

(40)

undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak sesuai dengan ketentuan hak asasi manusia yang termuat dalam UUD’45 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak yang meliputi: a. Non-diskriminasi;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan,dan

d. Penghargaan terhadap pendapat anak (Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002)

Mengenai hak dan kewajiban anak diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang pada intinya dapat disarikan sebgai berikut:

a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).

b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5).

c. Setiap anak berhak beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal6).

d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk diasuh pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7).

(41)

f. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung-jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

1. Diskriminasi;

2. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; 3. Penelantaran;

4. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; 5. Ketidak-adilan; dan

6. Perlakuan salah lainnya (Pasal 13).

g. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: 1. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

2. Pelibatan dalam sengketa bersenjata; 3. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;

4. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan 5. Pelibatan dalam peperangan.(Pasal 15)

h. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (Pasal 16 ayat (1)).

i. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. (Pasal 16 ayat (2))

j. Penangkapan, penahanan, pidana penjara hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. (Pasal 16 ayat (3))

(42)

1. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

2. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;dan

3. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. (Pasal 17) l. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan

dengan hukum berhak dirahasiakan. (Pasal 17 ayat (2))5

D. Peraturan Perundang-undangan Yang Mengatur tentang Anak

Peraturan perundang-undangan mengenai anak mulai berkembang seiring dengan perkembangan permasalahan hukum yang berkaitan dengan anak. Ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada tersebut antara lain:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

Dalam undang-undang ini tidak disebutkan secara khusus hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan anak, tetapi hanya secara umum berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia yang mengalami bencana alam atau terganggu kemampuannya untuk mempertahankan hidup dan telantar.

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

5

(43)

Mengenai hak-hak anak diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, sebagai berikut;

1) Anak berhak atas kesejahteraan sosial, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusu untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan keperibadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.

3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Salah satu hak anak tercantum dalam undang-undang tersebut yang berkaitan dengan penjatuhan hukuman yaitu tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) undang-undang tersebut, sebagai berikut:

“Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan,

atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi”.

(44)

1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah:

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;

b. Menyerahkan kepada negara ntuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau

c. Menyerahkan kepada departemen sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, da latihan kerja. 2) Tindakan yang dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat

tambahan yang ditetapkan oleh hakim.

E. Jenis-Jenis Penjatuhan Pidana Pada Anak

Jenis-jenis penjatuhan pidana pada persidangan anak diatur pada ketentuan Pasal 22 – 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan dapat berupa pidana atau tindakan. Apabila diperinci lagi, pidana tersebut bersifat Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Pidana pokok itu terdiri dari:

a) Pidana penjara; b) Pidana kurungan; c) Pidana denda; dan d) Pidana pengawasan. Pidana tambahan terdiri atas:

1. Perampasan barang-barang tertentu; dan atau 2. Pembayaran ganti rugi

Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal:

1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

2. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau

3. Menyerahkan kepada departemen sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.6

6

(45)

1. Pidana Pokok a. Pidana Penjara

Pidana penjara adalah pidana berupa perampasan kebebasan seseorang untuk bergerak, yang dilakukan dengan cara menempatkan terpidana dalam suatu gedung/tempat, yang disebut Lembaga Pemasyarakatan.

Menurut Pasal 60 Undang-Undang Pengadilan Anak, anak nakal yang dijatuhi pidana penjara harus ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA), yang harus terpisah dari orang dewasa. Sampai saat ini LPA yang dimaksud sebagian besar belum dibentuk atau didirikan oleh pemerintah. Demikian pula untuk anak yang dijatuhi tindakan diserahkan pada pemerintah harus ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang berbeda dengan Lembaga Pemasyarakatan Anak, dalam hal ini dapat disebut Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara.

Hal-hal yang berkaitan dengan penjatuhan pidana penjara terhadap anak, dalam Undang-Undang Pengadilan Anak diatur dalam Pasal 26 sebagai berikut:

1. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

2. Apabila anak nakal melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.

(46)

b. Pidana Kurungan

Identik dengan pidana penjara, maka pidana kurungan juga merupakan pidana perampasan kemerdekaan pribadi seseorang. Apabila ditinjau secara global, maka pidana kurungan bentuknya dapat dibagi berupa kurungan prinsipal dan kurungan subsidair (pengganti denda). Terhadap jangka waktu kurungan prinsipal lamanya minimum 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan dalam hal adanya gabungan kejahatan, ulangan kejahatan dan karena ketentuan Pasal 52 KUHP. Sedangkan terhadap kurungan subsidair (pengganti denda) lama minimumnya 1 (satu) hari dan maksimum 6 (enam) bulan dan dapat ditambah sampai 8 (delapan) bulan dalam hal residive, gabungan tindak pidana serta ketentuan Pasal 52 KUHP. Pidana kurungan lebih ringan bobotnya daripada pidana penjara dikarenakan bagi terpidana/narapidana yang dijatuhi kurungan mempunyai hak memperbaiki nasibnya di Lembaga Pemasyarakatan, yang dikenal dengan hak pistole.

Menurut ketentuan Pasal 27 Undang-Undang No. 3 tahun 1997 ditegaskan bahwa pidana kurungan yang dapat djatuhkan kepada anak nakal yang melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 2 huruf (a) Undang-Undang No. 3 tahun1997) paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau undang-undang lainnya.

c. Pidana Denda

(47)

3 Tahun 1997) maka hakim mewajibkan anak yang dijatuhkan pidana tersebut untuk membayar sejumlah uang tertentu.

d. Pidana Pengawasan

Hakekat dasar pidana pengawasan diatur dalam ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 3 tahun 1997. Menurut penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, pidana pengawasan merupakan pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.

Terhadap ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 pidana pengawasan ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Pidana pengawasan kepada anak nakal yang melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997) adalah paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun.

2. Pelaksanaan pengawasan dilakukan Jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.

3. Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pengawasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

2. Pidana Tambahan

(48)

a. Perampasan barang-barang tertentu

Perampasan barang-barang tertentu berarti mencabut dari orang yang memegang barang bukti tersebut kemudian dirampas untuk kepentingan negara, atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Perampasan barang-barang tertentu tersebut berorientasi pada milik terdakwa anak sendiri, barang tersebut dipergunakan terdakwa anak untuk melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya, dan barang-barang tersebut diperoleh anak karena melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

b. Pembayaran ganti rugi

Pada dasarnya pembayaran ganti rugi yang dijatuhkan sebagai pidana tambahan merupakan tanggung jawab dari orang tua atau orang lain yang menjalankan kekuasaan orang tua. Selanjutnya mengenai ketentuan bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 23 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997)

3. Tindakan

Dalam sidang anak, Hakim dapat menjatuhkan pidana atau tindakan. Pidana tersebut dapat berupa pidana pokok dan pidana tambahan serta perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi (Pasal 22, Pasal 23 ayat (1),(3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997). Sedangkan terhadap tindakan menurut ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 implementasinya berupa:

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh

(49)

antara lain mengikuti kegiatan kepramukaan dan lain-lain (Penjelasan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).

b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

Pada hakekatnya, jenis tindakan tersebut di atas dapat dijatuhkan hakim kepada anak nakal yang melakukan tindakan pidana (Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak) yang diancam pidana mati atau pidana ppenjara seumur hidup akan tetapi belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun (Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). Konkretnya, secara teoritik dan praktik penjatuhan tindakan sebagaimana ketentan Pasal 24 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ini dilakukan apabila hakim berpendapat bahwa orang tua, wali atau orang tua asuh tidak dapat memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka hakim dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Latihan kerja yang dimaksudkan untuk memberikan bekal keterampilan kepada anak, misalnya dengan memberikan keterampilan mengenai pertukangan, pertanian, perbengkelan, tata rias, dan sebagainya sehingga setelah selesai menjalani tindakan dapat hidup mandiri.

c. Menyerahkan kepada Depertemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja

(50)

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak). Pada prinsipnya pendidikan, pembinaan dan latihan kerja diselenggarakan oleh pemerintah di lembaga pemasyarakatan anak atau departemen sosial, tetapi dalam kepentingan anak menghendaki, hakim dapat menetapkan anak yang bersangkutan diserahkan kepada organisasi kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan. Selama tindakan tersebut diatas (Pasal 24 ayat (1) huruf a,b,c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997) dapat pula disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan hakim (Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997). Sedangkan menurut penjelasan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 maka yang dimaksud dengan “teguran” adalah peringatan dari hakim baik secara langsung

terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhkan tindakan. Sedangkan yang dimaksud dengan “syarat tambahan” misalnya kewajiban untuk melapor periodik kepada pembimbing

kemasyarakatan.7

7

(51)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran teratentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya. Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas atas permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.1

Berdasarkan pengertian ini, dapat dinyatakan bahwa penelitian hukum dianggap sebagai penelitian ilmiah apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Didasarkan pada metode, sistematika, dan logika berpikir tertentu; b. Bertujuan untuk memepelajari gejala hukum tertentu (data primer); dan

c. Guna mencari solusi atas permasalahan yang timbul dari gejala yang diteliti tersebut.

Pendekatan yang digunakan oleh untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan dalam penulisan skripsi ini yaitu menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

1. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan mengkaji serta mempelajari beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi dan pandangan dan

1

(52)

doktrin hukum, peraturan hukum, dan sistem hukum yang berkenaan dengan penulisan skripsi ini. Sedangkan

2. Pendekatan secara yuridis empiris dilakukan dengan menelaah hukum dari aspek Faktor-faktor yang menyebabkan seorang anak tidak didampingi advokat ketika sedang dalam proses peradilan dan dampak hukum yang ditimbulkan ketika proses persidangan terhadap anak yang berperkara tidak didampingi penasehat hokum.

B. Sumber Dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil penelitian di lapangan, yaitu dari hakim di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan merupakan bahan ilmu pengetahuan hukum, yang terdiri dari bahan-bahan hukum sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang terdiri dari :

1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

(53)

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

1. Buku literatur yang berhubungan dengan penyelesaian perkara pembunuhan oleh anak yang tidak didampingi oleh advokat.

2. Koran, Majalah, Kamus, Internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti. Dalam penulisan skripsi ini yang akan dijadikankan populasi adalah Hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih di Lampung Tengah.

2. Sampel

Penelitian ini menggunakan prosedur sampling yang dilakukan dengan purposive sampling, yaitu metode pengambilan sampel yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penulis yang telah ditetapkan. Adapun yang menjadi sampel, yaitu:

a. Hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih 2 Orang

b. Dosen Falkultas Hukum Unila 1 Orang

3 orang D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

(54)

Untuk pengumpulan data pada penulisan skripsi ini, maka penulis akan menyesuaikan metode pengumpulan data dengan sumber data, yaitu data primer dan data sekunder, yang akan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan digunakan guna memperoleh data dari literatur-literatur dan dokumen-dokumen yang mempunyai ciri-ciri umum serta berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Ciri-ciri umum tersebut adalah :

1. Bahan hukum primer pada umumnya ada dalam keadaan siap tersaji. 2. Bahan hukum sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti terdahulu.

3. Bahan hukum tersier dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu, dan demikian studi kepustakaan dan studi dokumentasi ini dilakukan dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip referensi yang ada hubunganya dengan masalah yang akan dibahas.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan dilakukan dengan maksud untuk memperoleh data primer dengan menggunakan metode wawancara (interview). Wawancara dilakukan secara langsung dan dengan mengadakan tanya jawab secara langsung dan terbuka pada para Responden dengan maksud mendapatkan keterangan jawaban yang bebas sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan sebagai hasil wawancara.

2. Pengolahan Data

Pengelolaan Data dilakukan setelah semua data berhasil dikumpulkan, baik dari kepustakaan maupun dari lapangan. Pengolahan Data yang terkumpul dilakukan dengan cara:

(55)

Yaitu mengoreksi apakah data yang sudah terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan dengan masalah.

b. Penandaan data (coding)

Yaitu memberi catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data (buku literature, perundang-undangan atau dokumen);pemegang hak cipta (nama penulis, tahun penerbitan); atau rumusan masalah.

c. Sistemasi data (sistemazing)

Yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.

E. Analisis Data

(56)

1

V. PENUTUP

A. Simpulan

Setelah uraian pembahasan mengenai penyelesaian perkara pembunuhan oleh anak tanpa advokat dapat disimpulkan sebagai berikut:

(57)

2

2. Berdasarkan ketentuan kata “wajib”, Pasal yang mencantumkan kata “wajib” itu, apabila dilanggar ada sanksinya, yaitu yang diatur dalam Pasal 59 ayat (2) UUPA sebagai berikut: “putusan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan”. Pelanggaran terhadap ketentuan di atas,

berdasarkan penjelasan Pasal 59 ayat (2) UUPA, maka putusan hakim dapat dinyatakan “batal demi hukum”. Untuk lebih jelasnya penulis

kutipankan isi dari penjelasan tersebut sebagai berikut; “Yang dimaksud

dengan “wajib” dalam ayat ini adalah apabila ketentuan ini tidak dipenuhi,

mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Berdasarkan terhadap

(58)

3

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang dibuat oleh penulis mengenai penyelesaian perkara pembunuhan oleh anak tanpa advokat, maka penulis mempunyai saran yang mungkin akan berguna dikemudian hari,yaitu sebagai berikut:

1. Sistem peradilan tindak pidana anak seharusnya dapat diperbaiki sehimgga dalam proses penegakan hukumnya dapat terlaksana dengan baik. Setiap proses terhadap anak yang berhadapan dengan hukum seharusnya anak diberitahukan hak-haknya tentang memperoleh bantuan hukum sehingga proses yang berjalan dapat sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku sehingga tidak merugikan anak sebagai pelaku. Karena anak merupakan masa depan bangsa dan yang menentukan nasib bangsa ini nantinya.

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Literatur Buku

Andrisman, tri. 2011. Buku Ajar Hukum Peradilan Anak. Unila. Bandar Lampung.

Dekdibud. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Gosita, Arif. 1983. Hukum dan Hak-hak anak. Rajawali. Bandung.

Gultom, Maidin. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam System Peradilan Anak Di Indonesia. Pt Refika Aditama. Bandung.

Hadisuprapto, paulus. 1997. Juvenile Delinquency (Pemahaman Dan Penanggulangannya). CitraAditya Bakti. Bandung.

Mahmud Marzuki, Peter. 2005. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Muladi. 1984. Teori-Teori Kebijakan Pidana. PT ALUMNI Bandung

Soetodjo, Wagiati. 2005. Hukum Pidana Anak. PT Refika Aditama. Bandung.

Moeljanto, 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum pidana. Jakarta. Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT Citra Aditya Bakti

Mulyadi, Lilik. 2005. Pengadilan Anak Di Indonesia. CV Mandar Maju. Bandung Pajar, Widodo. 2010. Litigasi Dan Bantuan Hukum. UNILA. Bandar Lampung

Prodjodikoro Wiarjono. 2003. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Pt Refika Aditama Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Teori Penegakan Hukum. Rajawali. Jakarta.

________________ 1986. Pengantar penelitian hukum. Universitas Indonesia. Press. Jakarta. Univerasitas lampung. 2008. Pedoman penulisan karya ilmiah universitas lampung. Lampung

(60)

Wahyono dan rahayu. 1993. Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di Indonesia. Sinar Grafika.Jakarta.

Wadong maulana Hassan. 2000. Pengantar advokasi dan perlindungan hukum anak. GramediaWidiasarana Indonesia.

Widyowati Wiratmo Soekito, Sri. 1983. Anak Dan Wanita Dalam Hukum. LP3S. Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan yang menjadi tempat rawan terjadinya kasus tindak pidana pencurian kendaraan bermotor adalah di wilayah kampus

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis data penelitian maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara persepsi siswa terhadap

Dari hasil wawancara terhadap 75 responden didapatkan data bahwa 75 orang (100%) berpendapat bahwa faktor pelayanan kesehatan sudah baik.Dalam penelitian ini

Simulasi Penjalaran Gelombang Tsunami Skenario tsunami B merupakan peristiwa tsunami yang diakibatkan oleh gempabumi yang mengakibatkan tsunami dengan magnitudo 7,1 SR

Penelitian ini mengenai Analisis Resiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan Metode Hazard and Operability Study (HAZOP) penelitian bertujuan untuk

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Uji hipotesis menggunakan rumus korelasi Kendall Tau menunjukkan ada hubungan hubungan tingkat harga diri dengan perilaku konsumtif remaja putri kelas XI di

Atas dasar hal tersebut di atas penulis mencoba untuk membuat suatu aplikasi yang dapat sedikit membantu meselesaikan masalah perhitungan-perhitungan guna mencari letak, besar