KELAS: XI IPS
SEMESTER 1
SK: MENGANALISIS PERJALANAN BANGSA INDONESIA PADA MASA
NEGARA-NEGARA TRADISIONAL
KD: MENGANALISIS PROSES INTERAKSI ANTARA TRADISI LOKAL, HINDU BUDHA
DAN ISLAM DI INDONESIA.
PROSES INTERAKSI ANTARA TRADISI LOKAL, HINDU BUDHA DAN ISLAM
DI INDONESIA
A. AKULTURASI BUDAYA HINDU BUDHA DAN BUDAYA LOKAL INDONESIA
Akulturasi adalah perpaduan antara kebudayaan yang berbeda yang langsung bertemu
secara damai dan serasi tanpa menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan
tersebut.
Kebudayaan hindu-buddha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja. Hal ini
disebabkan:
o) Masyarakat di Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi,
sehingga masuknya kebudayaan asing menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia
o) Masyarakat di Indonesia memiliki kecakapan istimewa yang disebut dengan local genius yaitu kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan
mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadiannya.
Seni bangunan Terutama pada candi .
Seni rupa/seni lukis
Relief pada candi prambanan yang memuat ceritera Ramayana, pada candi
Borobudur tampak adanya seni rupa India dengan ditemukannya relief-relief ceritera
sang Buddha Gautama.
Seni sastra
Bahasa Sansekerta sangat mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia.
Bahasa Sansekerta sangat dominan dalam istilah-istilah pemerintahan.
Kalender
Diadopsinya sistem kalender atau penanggalan India. Sistem kalender yang
menggunakan tahun Saka dalam penanggalan.
Kepercayaan filsafat
Pemujaan terhadap roh nenek moyang dan pemujaan terhadap dewa-dewa alam.
Mengenal adanya sistem kasta
Ekonomi
Tidak besar pengaruhnya karena masyarkat Indonesia telah lebih dahulu mengenal
sistem pelayaran dan perdagangan.
Pemerintahan
sebelum masuknya pengaruh hindu-buddha sistem pemerintahan Indonesia yaitu
kepala suku, namun setelah masuknya pengaruh hindu buddha maka sistem
pemerintahannya berganti menjadi seorang Raja.
B. BUDAYA HINDU BUDHA DAN PERKEMBANGAN INTELEKTUAL MASYARAKAT
1. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI
Sebelum munculnyapengaruh Hindu Budha di Indonesia, masyarakat Indonesia
telah memiliki pengetahuan dan teknologi yang tinggi. Hal ini dibuktikan melalui
berbagai bentuk peninggalan benda-benda kebudayaan masyarakat Indonesia
pada masa itu baik benda-benda kebudayaan masayarakat dari zaman batu
sampai zaman logam.
Setelah munculnya pengaruh hindu Budha, pengetahuan dan teknologi yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia terus berkembang. Perpaduan pengetahuan
teknologi itu terlihat jelas pada pembuatan candi dan juga prasasti-prasasti yang
ditulis dibatu besar.
2. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DAN PEMBENTUKAN JARINGAN
INTELEKTUAL
Budaya Hindu Budha berpengaruh dalam bidang pendidikan dan pembentukan
jaringan intelektual. Kaum Brahmana yang datang ke Indonesia memberikan
pendidikan dan mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu kepada masyarakat
dengan membuka tempat-tempat pendidikan yang dikenal dengan nama
pasraman.
Dengan demikian, muncullah tokoh-tokoh masyarakat Hindu yang telah memiliki
pengetahuan yang tinggi dan menghasilkan karya sastra yang terkenal hingga
C. INTERAKSI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA PADA AWAL
PERKEMBANGAN ISLAM
1. Wali Songo
Adapun gerakan dakwah Islam di Pulau Jawa selanjutnya dilakukan oleh para Wali Sanga,
yaitu:
a. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Beliau dikenal juga dengan sebutan Syeikh Magribi. Ia dianggap pelopor penyebaran Islam
di Jawa. Beliau juga ahli pertanian, ahli tata negara dan sebagai perintis lembaga
pendidikan pesantren. Wafat tahun 1419 M.(882 H) dimakamkan di Gapura Wetan Gresik.
b. Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel)
Dilahirkan di Aceh tahun 1401 M. Ayahnya orang Arab dan ibunya orang Cempa, ia sebagai
mufti dalam mengajarkan Islam tak kenal kompromi dengan budaya lokal. Wejangan
terkenalnya Mo Limo yang artinya menolak mencuri, mabuk, main wanita, judi dan madat,
yang marak dimasa Majapahit. Beliau wafat di desa Ampel tahun 1481 M.
Jasa-jasa Sunan Ampel:
1) Mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya. Dari pesantren ini lahir para
mubalig kenamaan seperti : Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan Demak
pertama), Raden Makhdum (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Maulana
Ishak yang pernah diutus untuk menyiarkan Islam ke daerah Blambangan.
2) Berperan aktif dalam membangun Masjid Agung Demak yang dibangun pada tahun
1479 M.
3) Mempelopori berdirinya kerajaan Islam Demak dan ikut menobatkan Raden Patah
sebagai Sultan pertama.
c. Sunan Giri (Raden Aenul Yaqin atau Raden Paku)
Ia putra Syeikh Yakub bin Maulana Ishak. Ia sebagai ahli fiqih dan menguasai ilmu
Falak. Dimasa menjelang keruntuhan Majapahit, ia dipercaya sebagai raja peralihan
sebelum Raden Patah naik menjadi Sultan Demak. Ketika Sunan Ampel wafat, ia
menggantikannya sebagai mufti tanah Jawa.
d. Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Putra Sunan Ampel lahir tahun 1465. Sempat menimba ilmu ke Pasai bersama-sama
e. Sunan Kalijaga (Raden Syahid)
Ia tercatat paling banyak menghasilkan karya seni berfalsafah Islam. Ia membuat
wayang kulit dan cerita wayang Hindu yang diislamkan. Sunan Giri sempat
menentangnya, karena wayang Beber kala itu menggambarkan gambar manusia utuh
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
f. Sunan Drajat
Nama aslinya adalah Syarifudin (putra Sunan Ampel, adik Sunan Bonang). Dakwah beliau terutama dalam bidang sosial. Beliau juga mengkader para da’i yang berdatangan dari berbagai daerah, antara lain dari Ternate dan Hitu Ambon.
g. Syarif Hidayatullah
Nama lainnya adalah Sunan Gunung Jati yang kerap kali dirancukan dengan Fatahillah,
yang menantunya sendiri. Ia memiliki keSultanan sendiri di Cirebon yang wilayahnya
sampai ke Banten. Ia juga salah satu pembuat sokoguru masjid Demak selain Sunan
Ampel, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Keberadaan Syarif Hidayatullah dengan
kesultanannya membuktikan ada tiga kekuasaan Islam yang hidup bersamaan kala itu,
yaitu Demak, Giri dan Cirebon. Hanya saja Demak dijadikan pusat dakwah, pusat studi
Islam sekaligus kontrol politik para wali.
h. Sunan Kudus
Nama aslinya adalah Ja’far Sadiq. Lahir pada pertengahan abad ke 15 dan wafat tahun 1550 M. (960 H). Beliau berjasa menyebarkan Islam di daerah kudus dan sekitarnya. Ia
membangun masjid menara Kudus yang sangat terkenal dan merupakan salah satu
warisan budaya Nusantara.
i. Sunan Muria
Nama aslinya Raden Prawoto atau Raden Umar Said putra Sunan Kalijaga. Beliau
menyebarkan Islam dengan menggunakan sarana gamelan, wayang serta kesenian
daerah lainnya. Beliau dimakamkan di Gunung Muria, disebelah utara kota Kudus.
2. Perpaduan Tradisi Lokal, Hindu-Budha, dan Islam di Indonesia
Bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam, berkembang pula
kebudayaan Islam di Indonesia. Unsur kebudayaan Islam itu lambat laun diterima dan diolah
ke dalam kebudayaan Indonesia tanpa menghilangkan kepribadian Indonesia, sehingga
Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam itu juga mencakup unsur kebudayaan
Hindu-Budha. Perpaduan kebudayaan Indonesia dan Islam, antara lain dapat dilihat sebagai
berikut:
Seni Bangunan. Misalnya bangunan makam. Makam sebagai hasil kebudayaan zaman
Islam mempunyai ciri-ciri perpaduan antara unsur budaya Islam dan unsur budaya
sebelumnya, seperti berikut ini;
Fisik Bangunan. Pada makam Islam sering kita jumpai bangunan kijing atau jirat (bangunan makam yang terbuat dari tembok batu bata) yang kadang-kadang disertai
bangunan rumah (cungkup) di atasnya. Dalam ajaran Islam tidak ada aturan tentang
adanya kijing atau cungkup. Adanya bangunan tersebut merupakan ciri bangunan
candi dalam ajaran Hindu-Budha. Tidak berbeda dengan candi, makam Islam,
terutama makam para raja, biasanya dibuat dengan megah dan lengkap dengan
keluarga dan para pengiringnya. Setiap keluarga dipisahkan oleh tembok dengan
gapura (pintu gerbang) sebagai penghubungnya. Gapura itu belanggam seni zaman
pra-Islam, misalnya ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada
yang berbentuk candi.
Tata Upacara Pemakaman. Pada tata cara upacara pemakaman terlihat jelas dalam bentuk upacara dan selamatan sesudah acara pemakaman. Tradisi memasukkan
jenazah dalam peti merupakan unsur tradisi zaman purba (kebudayaan megalithikum
yang mengenal kubur batu) yang hidup terus menerus sampai sekarang. Demikian
pula, tradisi penaburan bunga di makam dan upacara selamatan tiga hari, tujuh hari,
empat puluh hari, seratus hari, dan seribu hari untuk memperingati orang yang telah
meninggal merupakan unsur Islam dan juga unsur agama Hindu-Budha. Dan hingga
saat ini tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Islam.
Penempatan Makam. Dalam penempatan makampun terjadi akulturasi antara kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan Islam. Misalnya, makam terletak di tempat yang
lebih tinggi dan dekat dengan masjid. Contohnya, makam raja-raja Mataram yang
terletak di bukit Imogiri dan makam para wali yang berdekatan dengan masjid. Dalam
agama Hindu-Budha makam dalam candi.
Bangunan Masjid. Bangunan masjid merupakan salah satu wujud budaya Islam yang
berfungsi sebagai tempat ibadah. Dalam sejarah Islam, masjid memiliki perkembangan yang
bentuk khusus yang merupakan perpaduan budaya Islam dengan budaya setempat.
Perpaduan budaya pada bangunan masjid terlihat pada;
Bentuk Bangunan. Bentuk masjid di Indonesia, terutama di pulau Jawa, bentuknya seperti pendopo (balai atau ruang besar tempat rapat) dengan komposisi ruang yang
berbentuk persegi dan beratap tumpang. Cirri khusus bangunan masjid di Timur
Tengah biasanya bagian atapnya berbentuk kubah, tetapi di Jawa diganti dengan
atap tumpang dengan jumlah susunan bertingkat dua, tiga, dan lima.
Menara. Menara merupakan bangunan kelengkapan masjid yang dibangun menjulang tinggi dan berfungsi sebagai tempat menyerukan azan, yaitu tanda
datangnya waktu shalat. Di Jawa terdapat bentuk menara yang dibuat seperti candi
dengan susunan bata merah dan beratap tumpang, seperti menara masjid Kudus
(Jawa Tengah).
Letak Bangunan. Dalam ajaran Islam, letak bangunan masjid tidak diatur secara khusus. Namun, di Indonesia, penempatan masjid khususnya masjid agung, diatur
sedemikian rupa sesuai dengan komposisi mocopat (yaitu masjid ditempatkan di
sebelah barat alun-alun), dan dekat dengan istana (keraton) yang merupakan symbol
tempat bersatunya rakyat dengan raja di bawah pimpinan imam. Selain itu, adanya
kentongan atau bedug yang dibunyikan di masjid Indonesia sebagai pertanda
masuknya waktu shalat. Hal itu juga menunjukkan adanya unsur Indonesia asli.
Bedug atau kentongan tidak ditemukan pada masjid di Timur Tengah.
Seni Rupa. Wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan islam pada seni rupa dapat dilihat
pada ukiran bangunan makam. Hiasan pada jirat (batu kubur) yang berupa susunan bingkai
meniru bingkai candi. Salah satu cabang seni rupa yang berkembang pada awal
penyebaran agama Islam di Indonesia adalah seni kaligrafi. Kaligrafi tersebut biasanya
digunakan untuk menghias bangunan makam atau masjid.
Aksara. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam dalam hal aksara diwujudkan dengan
berkembangnya tulisan Arab Melayu di Indonesia, yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk
menulis dalam bahasa Melayu. Tulisan Arab Melayu tidak menggunakan tanda a, i, u seperti
lazimnya tulisan Arab. Tulisan Arab Melayu disebut dengan istilah Arab gundul.
Seni Sastra. Kesusastraan pada zaman Islam banyak berkembang di daerah sekitar selat
Malaka (daerah Melayu) dan Jawa. Pengaruh yang kuat dalam karya sastra pada zaman
Islam berasal dari Persia. Misalnya, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman, dan
sastra Indonesia. Misalnya, Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama, Hikayat Kuda
Semirang, dan Syair Panji Semirang.
Cara penulisan karya sastra pada zaman Islam dilakukan dalam bentuk gancaran dan
tembang. Di Jawa, tembang merupakan suatu bentuk yang lazim, tetapi di daerah Melayu,
tembang dan gancaran ada semua. Cerita yang ditulis dalam bentuk gancaran disebut
hikayat, sedangkan cerita yang ditulis dalam bentuk tembang disebut syair. Di daerah
Melayu, karya sastra itu ditulis dengan menggunakan huruf Arab, sedangkan di Jawa,
naskah itu ditulis dengan menggunakan huruf Jawa dan Arab (terutama yang membahas
soal keagamaan).
Sistem Pemerintahan. Pengaruh agama Islam di Indonesia juga terjadi dalam bidang
pemerintahan sehingga terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dan kebudyaan
pra-Islam. Sebelum masuknya agama Islam, di Indonesia telah berkembang sistem
pemerintahan dalam bentuk kerajaan. Raja mempunyai kekuasaan besar dan bersifat
turun-temurun. Masuknya pengaruh Islam mengakibatkan perubahan struktur pemerintahan
dalam penyebutan raja. Raja tidak lagi dipanggil maharaja, tetapi diganti dengan julukan
sultan atau sunan (susuhunan), panembahan, dan maulana. Pada umumnya nama raja pun
disesuaikan dengan nama Islam (Arab).
Akulturasi dalam penyebutan nama raja di Jawa lebih kelihatan karena raja tetap memakai
nama Jawa dibelakang gelar sultan, sunan, atau panembahan, seperti Sultan Trenggono. Di
samping itu, juga muncul tradisi baru di Jawa, yaitu pemakaian gelar raja secara
turun-temurun, sedangkan untuk membedakan raja yang satu dengan yang lainnya ditentukan
dengan menambah angka urutan di belakang gelar, seperti Hamengkubuwono I, II, III, dan
seterusnya. Begitu pula, dengan sistem pengangkatan raja pada masa berdirinya kerajaan
Islam di Nusantara tetap tidak mengabaikan cara-cara pengangkatan raja pada masa
sebelumnya. Di Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan
hukum adat.
Sistem Kalender. Wujud akulturasi budaya Indonesia dan Islam dalam sistem kalender
dapat dilihat dengan berkembangnya sistem kalender Jawa atau Tarikh Jawa. Sistem
kalender tersebut diciptakan oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1043 H atau 1643
M. Sebelum masuknya budaya Islam, masyarakat Jawa telah menggunakan kalender Saka
yang dimulai tahun 78 M. Dalam kalender Jawa, nama bulan adalah Sura, Safar, Mulud,
Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Ruwah, Pasa, Syawal, Zulkaidah, dan
Besar. Nama harinya adalah Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad yang
Filsafat. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha menjawab masalah-masalah yang
tidak terjawab oleh disiplin ilmu yang lain. Filsafat akan mencari suatu kebenaran yang
hakiki. Dalam mencari kebenaran, umat Islam menggunakan pendekatan tasawuf. Tasawuf
adalah ilmu yang mempelajari tentang orang-orang yang langsung mencari Tuhan karena
terdorong oleh cinta dan rindu terhadap Tuhan. Mereka meninggalkan masyarakat ramai
dan kemewahan dunia serta mendekatkan diri kepada Tuhan dengan seluruh jiwa dan raga
mereka. Para pencari Tuhan itu mengembara ke mana-mana. Mereka dinamakan sufi dan
alirannya dinamakan tasawuf. Bersamaan dengan perkembangan tasawuf, muncul tarekat
di Indonesia, seperti tarekat qadariyah. Tarekat adalah jalan atau cara yang ditempuh oleh
kaum sufi untuk mendekatkan dirinya kepada Allah.
Bentuk akulturasi ilmu tasawuf dengan budaya pra-Islam tampak dalam hal-hal
sebagai berikut: Aliran Kebatinan
Dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, muncul usaha mencari Tuhan dari kalangan
sufi. Seperti ajaran manunggaling kawulo gusti yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar. Ajaran
Syeikh Siti Jenar banyak dipengaruhi oleh unsur budaya pra-Islam. Akibatnya, ia dihukum
oleh para wali, karena dianggap menyesatkan. Filsafat Jawa
Filsafat Jawa sangat erat sekali hubungannya dengan dunia pewayangan. Oleh karena itu,
dalam penyebaran Islam di pulau Jawa para wali menggunakan wayang sebagai medianya.