• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS HAK KELOLA TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STATUS HAK KELOLA TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS HAK KELOLA

TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG

Oleh Nanda Dwika

Pengelolaan kawasan hutan tidak selamanya berjalan lancar, banyak terdapat konflik antara masyarakat dan pihak pengelola yang berwenang menjaga kawasan hutan. Salah satunya adalah di kawasan Tahura Wan Abdurrahman. Konflik yang terjadi adalah konflik status kelola masyarakat yang tinggal di kawasan Tahura dengan pemerintah sebagai pihak pengelola. Ketidakkonsistenan pemerintah dalam menentukan kebijakan di kawasan ini, merupakan salah satu penyebab konflik status hak kelola masyarakat di Tahura WAR. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi status hak kelola di Tahura WAR, mengidentifikasi konflik yang terjadi dan untuk mengetahui keinginan masyarakat dalam penyelesaian konflik status hak kelola di Tahura WAR.

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Februari 2012 di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman tepatnya di wilayah kelola Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Lestari desa Hurun kecamatan Padang Cermin dengan luas garapan 233 Ha di dan di wilayah kelola Gabungan Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (GKPPH) di desa Sumber Agung kecamatan Kemiling dengan luas garapan 492,75 Ha. Metode pengumpulan data menggunakan metode Triangulasi, Focus Group Discussion dan kuesioner. Dari hasil penelitian dapat diketahui, konflik yang terjadi di Tahura WAR, baik di wilayah SHK Lestari maupun Sumber Agung meliputi ketidaktenangan masyarakat karena adanya pengusiran-pengusiran paksa di masa lalu, adanya tumpang tindih hak atas tanah karena masyarakat memiliki sertifikat tanah di kawasan Tahura dan konflik tata batas antara lahan masyarakat sekitar hutan dengan Tahura WAR karena adanya kesalahan dalam penentuan tata batas yang dilakukan oleh pihak pemerintah.

(2)

ABSTRACT

STATUS OF COMMUNITY MANAGEMENT RIGHT OF TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN

LAMPUNG By Nanda Dwika

Forest management doesn’t always work well. There are so many conflicts between community and the officer who has the responsibility to preserve the forest. One example of the conflict is “Tahura Wan Abdul Rachman”. The

conflict that happen in this area is status of the community management right who live in Tahura area with the goverment as the forest organizer. Government inconsistency in determine the policy which is occur in the “Tahura Wan Abdurrahman” causes the conflict of status of the community management right in Tahura WAR. This research aims are to identify the conflict that happens and to find out the community desire in finishing the conflict of governance status in Tahura WAR area.

This research has been done on February 2012 at “Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman” specifically in SHK Lestari Hurun village Padang Cermin subdistrict with the area wide about 233 Ha and GKPPH in Sumber Agung village Kemiling subdistrict with the area wide 492,75 Ha. The methods used in this research are Triangulasi method, Focus Group Discussion and questionnaire. As the result we can find out about the conflict which is occurred there not only in the SHK Lestari but also Sumber Agung, include the uncomfortable feeling of community because of the community because there was forced expulsions in the past, there was overlapped of land rights because the community have the certificate of land in Tahura area and the conflict about the boundary between community around the “Tahura WAR” and Tahura WAR itself because of the mistake in determine the boundary by the Government.

(3)

TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh NANDA DWIKA

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)

Halaman

1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran ... 5

2. Letak Taman Hutan Raya WAR ... 32

3. Grafik Curah Hujan Bulanan ... 33

4. Kelas Kelerengan di Tahura WAR ...………...….... 34

5. Jenis Tanah dan Penyebarannya di Tahura WAR ... 35

6. Sebaran Sungai di Tahura WAR ... 36

7. Perbandingan Jumlah Penduduk di Tiap Kecamatan ..………….... 39

8. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sekitar Tahura ...……... 40

9. Distribusi Mata Pencaharian Masyarakat Sekitar Tahura ..…….... 41

10.Wawancara dengan warga SHK Lestari …….………. 90

11.Diskusi dengan masyarakat SHK Lestari .…………..………. 90

12.Pengisian kuesioner oleh masyarakat SHK Lestari ...… 90

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………. i

DAFTAR GAMBAR ………... ii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1

B. Tujuan Penelitian ………. 2

C. Kerangka Penelitian ………. 3

D. Manfaat Penelitian ………. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan dan Kawasan Konservasi ………... 6

B. Pengertian dan Batasan Konflik ………...………. 8

C. Penyebab konflik, Teori Konflik dan Kriteria Konflik ……. 10

D. Tipe-Tipe Konflik ………. 15

E. Konflik Hak Kelola Hutan di Taman Hutan Raya WAR ……. 16

F. Pengelolaan Konflik …...…………. 20

III. METODE PENELITIAN A.Tempat dan Waktu Penelitian ...………. 24

(7)

D.Jenis Data ...………...………. 26

E. Metode Pengumpulan Data ...………. 26

F. Teknik Pengambilan Sampel ...………. 27

G.Metode Pengolahan dan Analisis Data ...…………. 30

IV. GAMBARAN UMUM A. Status Kawasan Tahura ………...……....…………. 31

B. Kondisi Fisik ...………. 32

1. Letak dan Luas ……...………. 32

2. Iklim ………...…………. 33

3. Topografi ...………. 33

4. Geologi ...………. 34

5. Tanah ...………. 34

6. Hidrologi ...………. 35

C. Kondisi Biologi ...……….……… 37

1. Flora ……...………. 37

2. Fauna …...………. 37

D. Potensi Objek Wisata ...………. 38

E. Aksesibilitas ...………. 38

F. Sosial Ekonomi Penduduk ....………. 39

G. Kondisi Penutupan dan Penggunaan Lahan ..………. 41

H. Pengelolaan ...………. 42

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Status Hak Kelola Tahura WAR ...……….. 43

B. Konflik Pengelolaan Kawasan Tahura WAR ..……….... 53

(8)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ………..……… 70

B. Saran ……….. 71

DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan. 1993.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 408 /

Kpts-II / 1993Tentang Penetapan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman

. Salinan Biro

Hukum Dan

Organisasi. Dephut. Jakarta.

. 1990.

Undang – Undang No.5 Tahun 1990

tentang konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

. Salinan kepala Biro Hukum

dan Organisasi. Dephutbun. Jakarta.

. 1999.

Undang – Undang No.41 Tahun 1999. Tentang

Kehutanan

. Salinan kepala Biro Hukum dan Organisasi. Dephutbun.

Jakarta.

. 2003.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 107/ Kpts-II / 2003

Tentang Pengelolaan Taman Hutan Raya

. Salinan Biro Hukum Dan Organisasi.

Dephut.

Jakarta.

. 1998.

Peraturan Pemerintah No. 68 tentang Kawasan Suaka Alam

dan Kawasan Pelestarian Alam

. Departemen Kehutanan. Jakarta

Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI. 2007.

Peraturan Pemerintah RI. No. 6

Tahun 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan

. Salinan Biro Hukum dan

Organisasi. Dephutbun. Jakarta.

Dewan Kolaborasi Pengelolaan Tahura WAR. 2012

. Draft Peraturan Daerah

Kolaborasi Pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdur Rachman

. Tidak

Dipublikasikan

Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2006.

Laporan Akhir Master Plan Taman

Hutan Raya Wan Abdul Rahman.

PT. Laras Sembada. Jakarta.

(10)

73

Fuad, Faisal dan Maskanah, S. 2000. Inovasi

Penyelesaian Sengketa Pengelolaan

Sumberdaya Hutan

. Pustaka Latin. Bogor.

Galudra, dkk. 2006.

Rapid Land Tenure Assesment (RaTA) Panduan Ringkasan

Bagi Praktisi

. World Agroforesty Centre. Asia Tenggara.

Hasanah, Y. 2008.

Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Tanah Ulayat Baduy pada

Kawasan Hutan Lindung.

Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Huzaini, M. 2002.

Analisis Konflik Sumberdaya Hutan untuk Pemberdayaan

Masyarakat Kearah Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan

. Tesis. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Kementrian Kehutanan. 2009.

Peraturan Menteri Kehutanan No.

P.10/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Hutan

Raya

. Kementrian Kehutanan. Jakarta.

. 2011.

Undang- Undang no. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan

Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

. Jakarta

Korsadi, Eka R. J. 2007.

Analisis Konflik Areal Eks Tumpang Sari Perum

Perhutani di Wilayah Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

.

Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Kusworo, A. 2000.

Perambah Hutan atau Kambing Hitam? Potret Sengketa

Kawasan Hutan di Lampung

. Pustaka Latin. Bogor.

Mitchell, Bruce, B. Setiawan, Dwita H, Rahmi. 2000.

Pengelolaan Sumberdaya

dan Lingkungan

. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Mustafa. 2002.

Dinamika Konflik Dan Model Institusi Pengelolaan Kawasan

Yang Berkelanjutan (Studi Kasus Pada Pengelolaan Kawasan Konservasi

Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur)

. Tesis

Moeloeng. diakses pada tanggal 15 desember 2011.

Tipe Penelitian Deskriptif

Kualitatif

.

http://www.scribd.com/doc/33725861/Tipe-Penelitian-Deskriptif-Kualitatif.

Pasya, Gamal. 2011.

Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan

Kawasan Hutan Lindung

. Tesis. Institut Pertanian Bogor. (Tidak

dipublikasikan).

Pasya, Gamal dan M.T Sirait. 2011.

Analisa Gaya Bersengketa (AGATA):

Panduan untuk Membantu Memilih Bentuk Penyelesaian Sengketa

(11)

Prio, T. 2008.

Majalah Kehutanan Indonesia “Pembangunan Taman Hutan

Raya” Edisi VII November 2008

. Jakarta.

Quartin, A. 2010.

Peranan Costumer Value dalam Mempertahankan Keunggulan

Bersaing Pada Restoran

. Fakultas Ekonomi. Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran”. Jakarta.

Sitorus, M. T. Felix. 1998.

Penelitian Kualitatif suatu Perkenalan

. Kelompok

Dokumentasi Ilmu Sosial. Bogor

Sugiarto, S. Degribson, Lasmono, T. Sunaryanto, dan Deny S.Oetomo. 2003.

Teknik

Sampling

. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sugiyono, Dr. 2009.

Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Dan R & D

.

Alfabeta. Bandung.

Suraji. 2002.

Keterkaitan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Sistem

Pengelolaan Kebun Campuran dalam Hutan Kemasyarakatan

. Thesis.

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tidak Dipublikasikan.

Tim SHK Lestari. 2008.

Inventarisasi Potensi Tumbuhan Dan Satwa Liar Sebagai

Pendukung Ekowisata Di Lokasi Kelola Shk Lestari Tahura Wan Abdul

Rachman

. Laporan Hasil Penelitian. Bandar Lampung.

UPTD Tahura WAR. 2002.

Statistik Data Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman

Reg. 19 Gunung Betung

. UPTD Tahura WAR. Bandar Lampung

UPTD Tahura WAR. 2006.

Master Plan Tahura Wan Abdul Rachman

. UPTD

Tahura WAR. Bandar Lampung

(12)

STATUS HAK KELOLA

TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG

Oleh NANDA DWIKA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEHUTANAN

pada Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

JURUSAN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Menurut Undang - Undang No. 5 tahun 1990, Taman Hutan Raya (Tahura) adalah kawasan pelestarian alam yang dibangun untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.

Pengelolaan kawasan hutan, termasuk Tahura tidak selamanya berjalan lancar, banyak terdapat konflik antara masyarakat dan pihak pengelola yang

berwenang menjaga kawasan hutan.

(14)

2

unsur lain yang akan kembali memberikan pengaruh kepada pihak yang mengelola Tahura (Pasya, 2011).

Konflik pengelolaan hutan juga terjadi dalam pengelolaan Tahura Wan Abdur Rahman (Tahura WAR). Salah satu konflik yang terjadi di kawasan ini adalah konflik status kelola masyarakat yang tinggal di kawasan Tahura dengan pemerintah sebagai pihak pengelola. Adanya pencabutan ijin pembukaan lahan yang diberlakukan pemerintah, membuat masyarakat yang berdiam di daerah Register 19 Gunung Betung menerapkan teknik pengelolaan hutan secara HKm pada tahun 1998 seperti yang dianjurkan oleh pemerintah selaku pihak pengelola. Sebagai Tahura maka pengelolaan secara HKM tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Hal ini mengakibatkan kedudukan masyarakat sebagai pengelola lahan kawasan menjadi tidak jelas, karena sewaktu-waktu pemerintah dapat melakukan pengusiran. Ketidakkonsistenan pemerintah tersebut mengakibatkan konflik status hak kelola masyarakat di Tahura WAR (Pasya dan Sirait, 2011). Untuk itu diperlukan adanya suatu identifikasi konflik dan mengetahui keinginan masyarakat tentang kepastian status hak kelola mereka.

B. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi status hak kelola di Tahura WAR. 2. Mengidentifikasi konflik yang terjadi di Tahura WAR.

(15)

C. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai status hak kelola di Tahura WAR dan potensi konflik kepada pihak terkait dalam pembuatan kebijakan. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan untuk

menjawab kebutuhan masyarakat akan kepastian status hak kelola.

D. Kerangka Pemikiran

Gunung Betung yang memiliki luas area 22.244 hektar dan berstatus sebagai hutan lindung Register 19 Gunung Betung ditetapkan berdasarkan Besluit Residen Lampung No: 307 tanggal 31 Maret 1941. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 408/KPTS-II/93, Hutan Lindung Register 19 tersebut diubah peruntukkannya menjadi Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR) dengan fungsi konservasi yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Provinsi Lampung sesuai UU No. 22 tahun 1999, PP No. 25 tahun 2000, Keputusan Menhut No. 107/Kpts-II/2003 serta Keputusan Gubernur Lampung No. 3 tahun 2003. Perubahan status Tahura WAR inilah yang merupakan awal mula konflik di Tahura WAR.

(16)

4

menyertakan partisispasi masyarakat terutama mereka yang telah tinggal menetap antar generasi di dalam dan atau sekitar hutan, yang membentuk komunitas, yang memiliki kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, keterkaitan tempat tinggal, serta nilai-nilai kehidupan sosial.

Lambat laun hal ini akan memicu terjadinya konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kegiatan yang dilakukan masyarakat di dalam kawasan Tahura menyebabkan pengelolaan kawasan tersebut menghadapi kesulitan. Apabila mengikuti aturan sesuai dengan SK Menhut Nomor. 1691/I/3/75 tahun 1975 tentang pencabutan izin pengelolaan lahan maka Pengelola Tahura harus mengusir semua orang yang mengelola lahan di dalam kawasan Tahura WAR. Namun tentu saja hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena pengelola Tahura WAR akan berhadapan dengan masyarakat.

Di sisi lain membiarkan masyarakat mengelola lahan adalah sebuah bentuk pelanggaran karena bertentangan dengan PP No. 3 Tahun 2008 tentang perubahan atas peraturan pemerintah no 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan yang menjelaskan bahwa Tahura WAR tidak dapat dikelola dengan skema HKm. Masalah yang terjadi pengelolaan kawasan hutan didapati sering tidak sesuai dengan fungsi lingkungan yang menjadi permintaan, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat lokal khususnya mereka yang menggantungkan mata pencaharian dan hidupnya di dalam kawasan hutan. Tidak jarang ketidak-sesuaian tersebut menimbulkan berbagai konflik baik konflik land tenure (status dan

(17)

Pada dasarnya konflik ini dapat diselesaikan, yaitu dengan mengidentifikasi dan menyatukan persepsi dan keinginan dari stakeholder yang terkait dalam pengelolaan Tahura. Dalam hal ini adalah keinginan pemerintah, masyarakat dan LSM.

Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran Alih Fungsi

Hutan Lindung TAHURA

Ketidakpastian status hak kelola

Konflik

Diselesaikan Tidak dapat diselesaikan

Kepastian status hak kelola

Keinginan pemerintah

Keinginan LSM

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan dan Kawasan Konservasi

Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

mendefinisikan hutan sebagai suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan

konservasi, yaitu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai

fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri dari Kawasan Hutan Suaka Alam

(KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Menurut Undang-Undang no

28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

Pelestarian alam, Kawasan Suaka Alam adalah hutan dengan ciri khas

tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok

sebagai sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa

serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga

kehidupan. Sedangkan, kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan

ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi

pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari

(19)

hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. Sedangkan menurut

Undang-Undang No. 5 tahun 1990, Taman Hutan Raya adalah kawasan

pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami

atau buatan, jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, budaya,

paritwisata dan rekreasi.

Hutan di Indonesia secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan statusnya,

yaitu:

1. Hutan negara, yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak

atas tanah.

2. Hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas

tanah.

3. Hutan adat, yaitu hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat.

hukum adatdan ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat

hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

Menurut Undang–Undang tentang Kehutanan No. 41 Tahun 1999, hutan juga

dapat diklasifikasikan pada beberapa bagian antara lain:

1. Hutan lindung, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai

perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,

mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan

memelihara kesuburan tanah.

2. Hutan produksi, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

(20)

8

3. Hutan konservasi, yaitu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang

mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan

satwa serta ekosistemnya.

Hutan dengan fungsi konservasi dapat diklasifikasikan pada beberapa bentuk:

a. Kawasan hutan suaka alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu yang

mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman

tumbuhan dan serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah

sistem penyangga kehidupan, seperti suaka margasatwa dan cagar alam.

b. Kawasan hutan pelestarian alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu yang

mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan,

pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan

secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, seperti kawasan

Taman Hutan Raya(Tahura), taman nasional dan taman wisata.

c. Taman buru, yaitu kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata

berburu.

B. Pengertian dan Batasan Konflik

Fisher (2001) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau

lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki

sasaran-sasaran yang satu sama lain tidak sejalan. Menurut Fraser dan Hipel

(1984) dalam Mustafa (2002), konflik adalah situasi dimana dua atau lebih

kelompok berselisih atas isu-isu atau sumber daya. Menurut Johson dan

(21)

banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta merupakan bagian yang

menyatu sejak kehidupan ada. Menurut mereka konflik adalah sesuatu yang tak

terelakkan, yang dapat bersifat positif maupun negatif. Dari berbagai batasan

konflik tersebut, secara umum konflik mencakup (Walker dan Daniels, 1997

dalam Karsodi, 2007):

1. Ketidakcocokan yang terasa

2. Kepentingan tujuan dan aspirasi

3. Dua atau lebih kelompok independen

4. Insentif untuk bekerjasama dan bersaing

5. Interaksi dan komunitas

6. Negosiasi

7. Strategi/perilaku strategis

Menurut Fuad et al. (2000), konflik dapat berwujud tertutup (laten), mencuat

(emerging) dan terbuka (manifest). Konflik tertutup dicirikan dengan adanya

tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dengan

adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang

dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Sering terjadi salah satu

atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling

potensial sekalipun. Konflik mencuat adalah adanya perselisihan dimana

pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan,

kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya

belum berkembang. Konflik terbuka adalah konflik dimana pihak-pihak

yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin

(22)

10

C. Penyebab konflik, Teori Konflik dan Kriteria Konflik

Menurut Fisher (2001), konflik ditimbulkan karena ketidak seimbangan antara

hubungan-hubungan itu (hubungan antar pribadi hingga tingkat kelompok,

organisasi, masyarakat, negara dan segala bentuk hubungan manusia-sosial,

ekonomi, dan kekuasaan). Adapun berbagai contoh konflik tersebut adalah

kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang

tidak seimbang terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang

yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi,

pengangguran, kemiskinan, penindasan dan kejahatan. Sementara itu menurut

Scot (1993) dalam Karsodi (2007) dari perspektif ekonomi politik, penyebab

utama konflik dapat ditelusuri dari akar ekonomi dan politik, maka upaya

penyelesaiannya harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi politik.

Roy (1998) dalam Karsodi (2007) menyatakan konflik yang berkembang

antara institusi birokrasi dan institusi sosial berakar dari kurangnya

komunikasi diantara mereka.

Faktor-faktor penyebab konflik pada umumnya berhubungan dengan isu-isu

utama dalam suatu konflik. Menurut Fisher et al (2001), isu-isu utama yang

muncul pada waktu menganalisis konflik adalah isu kekuasaan, budaya,

identitas, gender dan hak. Isu-isu ini muncul pada waktu mengamati interaksi

antar pihak yang bertikai, yang pada suatu kesempatan tertentu akan menjadi

latar belakang konflik serta berperan sebagai faktor-faktor yang

(23)

Wirajarjo (2001) dalam Korsadi (2008) menyatakan, bahwa berdasarkan

pengalaman empirik berbagai daerah di Indonesia, maka dapat dinyatakan

bahwa penyebab pokok konflik atas sumberdaya alam adalah konflik yang

bersifat struktural. Konflik yang terjadi ketika ada ketimpangan untuk

melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan

memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya

lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol

terhadap sumberdaya.

Ada enam teori utama penyebab konflik dengan metode dan sasaran yang

berbeda-beda (Fisher,2001) adalah:

1. Teori hubungan masyarakat

Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi,

ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam

suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:

a. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara

kelompok-kelompok yang mengalami konflik.

b. Mengusahakan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima

keragaman yang ada di dalamnya.

2. Teori negosiasi politik

Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak

selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik dan pihak-pihak yang

mengalami konflik. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:

a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan

(24)

12

untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan

mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.

b. Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan

keduabelah pihak dan semua pihak.

3. Teori kebutuhan manusia

Konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia baik fisik,

mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Sasaran yang ingin

dicapai teori ini adalah:

a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk

mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang

tidak terpenuhi dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan itu.

b. Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan

untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

4. Teori identitas

Konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, sering berakar pada

hilangnya sesuatu penderitaan dimasa lalu yang tidak terselesaikan.

Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:

a. Melalui fasilitas lokakarya atau dialog antar pihak-pihak yang

mengalami konflik diharapkan dapat mengidentifikasi

ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan

untuk membangun empati dan rekonsiliasi diantara mereka.

b. Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas

(25)

5. Teori kesalahpahaman antar budaya

Konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara berkomunikasi

diantara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai teori

ini adalah:

a. Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik

mengenai budaya pihak lain.

b. Mengurangi stereotype negatif yang mereka miliki tentang pihak lain.

c. Meningkatkan kefektifan komunikasi antar budaya.

6. Teori transformasi konflik

Konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan

ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan

ekonomi.

Menurut Anwar (2000) dalam Korsadi (2007) kebanyakan konflik

mempunyai penyebab ganda, biasanya merupakan kombinasi dari masalah

dalam hubungan antara pihak-pihak yang bertikai yang mengarah kepada

konflik terbuka. Konflik dapat dikelompokkan dan dianalisis dengan

menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Konflik data

Terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk

mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah,

tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menerjemahkan

informasi dengan cara yang berbeda atau memakai tata cara pengkajian

(26)

14

hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi diantara dua orang atau

lebih yang konflik.

2. Konflik kepentingan

Disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara

nyata memang tidak bersesuaian dengan yang diinginkan. Terjadi ketika

satu atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya,

pihak-pihak lain harus berkorban. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini

terjadi karena masalah yang mendasar (uang, sumberdaya, fisik, waktu)

atau menyangkut masalah tata cara (sikap dalam menangani masalah) atau

masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya diri mempertahankan

keadilan, rasa hormat).

3. Konflik hubungan antar manusia

Terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau

stereotype, salah komunikasi atau tingkah laku negatif yang berulang

(repetitif). Masalah ini sering menghasilkan konflik yang realistik atau

mungkin tidak perlu, karena konflik ini bisa terjadi bahkan ketika kondisi

obyektif untuk terjadinya konflik seperti terbatasnya sumberdaya manusia

atau tujuan bersama yang eksklusif, tidak ada. Masalah hubungan antar

manusia seperti yang tersebut diatas, seringkali memicu terjadinya

pertikaian dan menjurus kepada lingkaran-lingkaran spiral dari suatu

konflik destruktif yang tidak perlu.

4. Konflk nilai

Disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian,

(27)

adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya,

menjelaskan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan

mana yang salah, mana yang adil dan yang tidak adil. Perbedaan nilai

sebenarnya tidak harus menjadi penyebab terjadinya konflik. Oleh karena

itu manusia dapat hidup secara berkesinambungan dan harmonis dengan

sedikit perbedaan nilai.

5. Konflik struktural

Terjadi ketika ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap

sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk

menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk

menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain.

D. Tipe-Tipe Konflik

Konflik dibedakan diantara dua sumbu, yaitu sasaran dan perilaku yang

kemudian dapat menggambarkan tipe-tipe konflik yang menuntun ke berbagai

bentuk kemungkinan intervensi. Setiap tipe memiliki tantangan dan

potensinya masing-masing (Fisher et al.,2000).

1. Tanpa konflik

Setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai. Jika mereka ingin

agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan

dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola

(28)

16

2. Konflik laten

Sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat

ditangani secara efektif.

3. Konflik terbuka

Konflik yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai

tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.

4. Konflik di permukaan

Memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena

kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan

meningkatkan komunikasi.

Berdasarkan level permasalahnnya, terdapat dua jenis konflik yaitu vertikal;

dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan

oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan

makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui, sedangkan konflik horizontal terjadi

antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan

makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk

menentukan siapa lawan yang sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000).

E. Konflik Hak Kelola Hutan di Taman Hutan Raya WAR

Masalah penguasaan sumberdaya alam di Indonesia termasuk hutan sebagai

aset ekonomi dan sosial masyarakat pedesaan memang telah lama menyita

perhatian berbagai pihak. Tekanan terhadap hutan akan meningkat karena pada

(29)

Hal ini menyebabkan masyarakat miskin yang tidak memiliki lahan mencoba

mempertahankan hidupnya dengan menggarap lahan hutan.

Konflik pertanahan lahan hutan akan sangat mudah berubah menjadi konflik

yang penuh kekerasan karena tanah adalah suatu sumberdaya alam yang tidak

dapat diperbaharui. Setiap konflik akan terjadi pola, yaitu keuntungan bagi

stakeholder yang satu otomatis merugikan bagi stakeholder lainnya (Karsodi,

2007).

Stakeholder adalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik karena mereka

mempunyai kepentingan dengan sumberdaya tersebut. Dalam memahami dan

menilai konflik yang terjadi, ada empat jenis stakeholder yang diperkirakan

(Karsodi, 2007) yaitu:

1. Mereka yang menuntut untuk memperoleh perlindungan hukum

2. Mereka yang mempunyai kunci kekuatan politik

3. Mereka yang mempunyai kekuasaan dan dapat menjegal kesepakatan yang

sudah dirundingkan

4. Mereka yang mempunyai tuntutan moral untuk mendapatkan simpati dari

publik.

Persoalan sistem penguasaan tanah di Indonesia memang sarat ambiguitas yang

cukup banyak menimbulkan konflik, contohnya pada kedua Undang-Undang

yang mengatur sistem penguasaan tanah yaitu Undang Undang Pokok Agraria

(UUPA) dan Undang Undang Pokok Kehutanan (UUPK). Secara sepintas

kedua UU ini berjalan seiring, namun terdapat perbedaan yang signifikan.

(30)

18

maka UUPK tidak menyebutkan tentang hak-hak masyarakat, dengan kata lain

UUPK maupun UUTK tidak mengakui hak masyarakat untuk membuka hutan

(Galudra et al., 2006). Konflik seperti inilah yang saat ini terjadi di kawasan

Tahura WAR. Saat pemerintah mengeluarkan Maklumat Residen Lampung

No.15 Tahun 1947 pada tanggal 14 Juni 1947 yang memberikan izin disertai

dengan perjanjian untuk pembukaan hutan larangan pada akhir tahun 1947 dan

tercatat 782 ha lahan dibuka dengan izin ini. Kemudian pada tanggal 16

September 1964 dikeluarkan instruksi Kepala Dinas Kehutanan Lampung No.7

Tahun 1964. Ketetapan ini mengharuskan penduduk mengajukan izin

pembukaan kawasan hutan dan penduduk yang memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan dapat memperoleh hak tanah. Instruksi ini dikeluarkan ketika

Kepala Dinas tengah berkunjung ke Gunung Tanggamus dalam rangka

menyelesaikan kericuhan antara organisasi petani dan petugas kehutanan.

Kemudian Kepala Dinas Kehutanan mengeluarkan pengumuman tentang izin

Tumpang Sari, pengumuman No.250/V/5 tahun 1968 itu memberikan izin

kepada penduduk untuk menanam tanaman tumpang sari (palawija) di dalam

kawasan hutan. Selaras dengan pengumuman di atas, Kepala Dinas Kehutanan

mengeluarkan Instruksi No. 310/V/5 Tahun 1968 tentang reboisasi yang juga

memberikan izin penduduk untuk memanfaatkan kawasan hutan dengan syarat

melakukan penanaman tanaman kehutanan. Namun kemudian pada tahun

1975 muncullah SK Kepala Dinas Kehutanan No. 1691/I/3/75 tentang

pencabutan (pembatalan) semua izin pembukaan lahan hutan negara, yang

(31)

Kehutanan kepada penduduk tidak berlaku lagi dan tidak sah. Sejak saat itu

[image:31.612.149.531.168.346.2]

tidak ada lagi izin-izin yang diberikan kepada penduduk (Kusworo, 2000)

Tabel 1. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan status Tahura WAR

No Kebijakan Tahun Keterangan

1 Maklumat Residen Lampung No.15 1947 Izin pembukaan 782 ha area hutan

larangan di Lampung.

2 Instruksi Kepala Dinas Kehutanan

Lampung No.7

1964 Penduduk diharuskan mengajukan

izin pembukaan kawasan untuk memperoleh hak tanah.

3 Pengumuman izin Tumpang Sari No.

250/V/5

1968 Pemberian izin kepada penduduk

untuk menanam palawija dalam kawasan hutan

4 Instruksi No.310/V/5 1968 Reboisasi dan pemberian izin

untuk memanfaatkan hutan dengan tanaman kehutanan

5 SK Kepala Dinas Kehutanan No.1691/I/3/75

1975 Pembatalan semua izin pembukaan lahan hutan negara

Sumber: Kusworo, 2000

Hal di atas menunjukkan bahwa Propinsi Lampung seringkali dijadikan contoh

terbaik dari buruknya kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia sekaligus

menjadi ajang uji coba sebagian kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat.

Kerusakan hutan yang terus berlangsung serta konflik kepentingan dan

tatabatas antara pemerintah dan masyarakat, merupakan sebagian gambaran

dari kompleksitas persoalan pengelolaan hutan di Provinsi Lampung.

Pengakuan terhadap status dan kepemilikan lahan (tanah negara versus tanah

milik/marga) dan akses pengelolaan merupakan tema konflik antara

masyarakat setempat dengan kehutanan. Konflik-konflik seperti ini terjadi di

seluruh kawasan hutan di Lampung.

Konflik penguasaan dan pengelolaan lahan kawasan hutan antara pemerintah

dengan masyarakat di Lampung merupakan sejarah lama yang terus

(32)

20

membuka kawasan hutan larangan meningkat karena menganggap kawasan

hutan yang ditinggalkan oleh Belanda merupakan daerah tak bertuan.

Pembukaan hutan secara liar untuk keperluan berladang dan berkebun pada

periode tahun 1950 – 1960 begitu menonjol bahkan dimanfaatkan secara politis

oleh organisasi politik tertentu pada kurun waktu tersebut. Konflik tak

terhindarkan ketika petugas kehutanan yang berada di lapangan mencoba

melakukan pengamanan kawasan hutan dan menertibkan pembukaan hutan

secara liar. Cikal bakal konflik penguasaan dan pengelolaan tersebut berlanjut

hingga sekarang. Kuantitas dan kualitas konflik kehutanan Lampung selalu

bertambah dan meningkat setiap tahunnya (Watala, 2004).

F. Pengelolaan Konflik

Konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penyelesaian (Condliffe, 1991 dalam

Hasanah, 2008) yaitu:

1. Langsung antar pihak yang bersengketa (one-to-one), dimana

masing-masing pihak yang bersengketa bertindak menyelesaikan sendiri.

2. Mewakilkan kepada pihak lain (representational), dimana pihak-pihak

yang bersengketa diwakili pihak lain seperti pengacara, teman, kolega dan

asosiasi resmi.

3. Menggunakan pihak ketiga (third person) dimana peran pihak ketiga

berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas permintaan kedua belah pihak

(33)

Prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik tersebut yaitu:

1. Lumping it

Terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk

melakukan tuntutannya. Dengan kata lain, isu yang dilontarkan diabaikan

(simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan.

2. Avoidance or exit

Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar pertimbangannya

adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu

pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi atau psikologis.

3. Coercion

Dimana satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau

kepentingannya pada pihak yang lain.

4. Negotiation

Dimana kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersama-sama

(mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga.

5. Conciliation

Upaya menyatukan kedua belah pihak yang bersengketa untuk

bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan.

6. Mediation

Dimana pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk

(34)

22

7. Arbiration

Bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak

ketiga dan kedua belah pihak sudah menyetujui sebelumnya untuk

menerima setiap keputusan pihak ketiga.

8. Adjudication

Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk

mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan

yang diambil, baik yang diharapkan ataupun tidak oleh kedua belah pihak

bersengketa.

Pengelolaan konflik dapat dilakukan dengan menjadikan lembaga, kebijakan

dan programnya lebih responsif terhadap kepentingan-kepentingan

masyarakat, terutama masyarakat yang terlibat langsung. Harapannya adalah

sesuai aspirasi, hak dan kepentingan semua pihak (stakeholder) sehingga tidak

akan menjadi sengketa. Adapun beberapa cara lainnya yang dapat digunakan

untuk mengelola dan memecahkan konflik-konflik dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Beberapa alternatif cara dalam mengelola konflik

Cara Konvensional Cara pasif/sepihak Cara partisipatif

Cara kooperatif Cara konfrontatif Penelitian/ pengkajian/ survey Menghindari konflik Perencanaan partisipatif Tawar menawar Aksi sosial Dengar pendapat umum/ temu wicara Penerimaan secara pasif Pemecahan masalah secara partisipatif Arbitrase/ peleraian Demonstrasi

Jajag pendapat Pengabaian/

bersikap tidak peduli

(35)

Cara

Konvensional

Cara

pasif/sepihak

Cara partisipatif

Cara kooperatif Cara konfrontatif Penyelesaian

sepihak

Perundingan dengan mediasi

Kekerasan

Penggunaan media massa Ligitasi Aksi legislatif melalui perwakilan

(36)

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman. Tepatnya di wilayah kelola Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Lestari desa Hurun Kecamatan Padang Cermin dan di wilayah kelola Gabungan Kelompok Pengelola Hutan dan Pelestari Hutan (GKPPH) di Desa Sumber Agung Kecamatan Kemiling

B. Objek dan Alat Penelitian

(37)

C. Batasan Penelitian

1. Penelitian ini hanya mengidentifikasi konflik status hak kelola yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat di wilayah Tahura WAR sebagai bahan pertimbangan bagi pihak yang berwenang dalam membuat kebijakan pengelolaan Tahura WAR.

2. Tahura adalah kawasan pelestarian alam yang dibangun untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.

3. Hutan Lindung adalah yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.

4. Hak pengelolaan yaitu hak untuk mengelola sumberdaya hutan di sekitar pemukiman penduduk setempat dengan cara yang sesuai dengan tatanilai dan pengetahuan masyarakat setempat.

5. Konflik merupakan benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumberdaya.

(38)

26 D. Jenis Data

Data yang dikumpulkan antara lain: a. Data primer

Data primer yang dikumpulkan meliputi wawancara dan diskusi dengan stakeholder yang berkepentingan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan wilayah Tahura, yang mencakup, status lahan dan kepastian akses kelola, konflik yang telah terjadi di Tahura WAR, persepsi dan keinginan masyarakat dalam pengelolaan Tahura WAR.

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait seperti kantor

Kecamatan, Kelurahan, Dinas Kehutanan, dan studi kepustakaan lainnya. Data sekunder ini berupa data yang berhubungan sejarah wilayah dan apa saja yang mempengaruhi kepastian akses kelola serta data lain yang mendukung.

E. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode Triangulasi yaitu suatu prosedur pengumpulan data dengan menggunakan teknik observasi, wawancara dan kajian data sekunder untuk informasi independen dan dapat memperoleh kesimpulan yang relatif lebih akurat tentang objek yang diteliti. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan Focus Group Discussion (FGD) sebagai teknik pengumpulan data, teknik ini umum

(39)

tema menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini dapat mengungkap pemaknaan dari satu kelompok berdasarkan hasil diskusi terpusat pada suatu permasalahan tertentu. Focus Group Discussion (FGD) juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti. Ciri khas metode FGD yang tidak dimiliki oleh metode riset kualitatif lain adalah wawancara mendalam atau observasi yang keduanya merupakan sebuah interaksi (Quartin, 2010). Pengumpulan data juga dilakukan dengan studi pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini, dengan menggunakan teknik mengumpulkan berbagai data penunjang penelitian yang diperoleh dari studi literatur dan instansi-instansi terkait.

F. Teknik pengambilan sampel

[image:39.612.153.501.639.694.2]

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling, yaitu pemilihan sampel yang bertitik tolak pada penilaian pribadi peneliti bahwa sampel-sampel yang diteliti telah mewakili populasi yang ada (Sugiarto et al., 2003). Dari sekian banyak desa yang berada di dalam kawasan Tahura WAR dipilih 2 (dua) desa secara purposive yaitu desa yang berada dalam wilayah kelola SHK Lestari dan GKPPH Sumber Agung karena di daerah tersebut sering terjadi konflik sehingga telah mewakili populasi yang ada. Berikut jumlah KK pada desa yang akan diteliti dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah kepala keluarga (KK) pada desa-desa yang dijadikan objek penelitian

No Nama Kelompok Nama Desa Jumlah KK

1 GKPPH Sumber Agung 423 KK

2 SHK Lestari Hurun 363 KK

Jumlah 786 KK

(40)

28

Jumlah Sampel (n) dihitung berdasarkan rumus Slovin (1960) dalam Consuelo, et al. (1993) sebagai berikut :

2 1 Ne N n + =

(

)

2

% 10 786 1 786 + =

n = 88,71332

n = 89 KK Keterangan :

n = ukuran sampel N = ukuran populasi

e (10%) = nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan atau persen kelongggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel.

Karena setiap populasi yang berasal dari kedua desa itu berbeda, dan memiliki jumlah sub populasi yang berbeda, maka untuk mendapatkan sampel dari masing-masing sub populasi digunakan rumus sebagai berikut (Walpole, 1993).

ni = Keterangan :

n = banyaknya sampel keseluruhan ni = banyaknya sampel ke-i

N = banyaknya populasi keseluruhan Ni = banyaknya populasi ke-i

Berdasarkan rumus tersebut dapat dicari sub populasi untuk setiap desa, dengan perhitungan sebagai berikut :

1. ni GKPPH = 423 x 89 786

= 47.896 48 KK 2. ni SHK Lestari = 363 x 89

786

(41)

Berdasarkan perhitungan maka diperoleh responden dari Kelompok Tani GKPPH sebanyak 48 KK dan SHK Lestari sebanyak 41 KK.

Penentuan responden yang berasal dari masyarakat dilakukan dengan metode purposivesampling dan kategorisasi key person, yaitu dengan pendekatan atau prosedur untuk memahami suatu sistem dengan cara mengindentifikasikan faktor-faktor kunci, seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, ketua kelompok, dan ketua sub kelompok (Sugiarto et al., 2003). Metode ini dilakukan dalam menentukan responden yang menjadi tokoh kunci dalam pelaksanaan FGD yang dilakukan bersama masyarakat agar data yang didapat lebih akurat. Dalam hal ini, penentuan sampel dipilih satu atau dua orang yang merupakan tokoh kunci dalam penelitian, apabila dengan dua orang tersebut informasi yang diperoleh belum lengkap, maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya begitu seterusnya sampai jumlah data sesuai dengan yang dibutuhkan (Sugiyono, 2009).

(42)

30 G. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah didapat dengan menggunakan metode Triangulasi

(wawancara, observasi dan kajian data sekunder ) dan FGD akan dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk memberikan gambaran mengenai data yang telah diperoleh. Penelitian deskriptif ditujukan untuk mengumpulkan

informasi secara aktual dan terperinci, mengidentifikasikan masalah, membuat perbandingan atau evaluasi, menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang (Moeloeng, 1998).

Analisis secara deskriptif kualitatif dipilih karena yang menjadi obyek dalam penelitian ini mencakup banyak pihak dengan latar belakang yang berbeda dan tidak dapat dipisahkan. Dengan menggunakan analisa ini diharapkan dapat mengetahui status hak kelola di Tahura WAR termasuk konfliknya

(43)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Status Kawasan Tahura

Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan salah satu Taman Hutan Raya di Indonesia yang memiliki luas 22.249,31 ha dan ditetapkan

berdasarkan Besluit Residen Lampung No. 307 tanggal 31 Maret 1941, kawasan Gunung Betung masih berstatus sebagai hutan lindung dengan nama hutan lindung Register 19 Gunung Betung. Sejak tahun 1987, melalui surat Gubernur Lampung (Yasir Hadibroto) kepada Menteri Kehutanan diusulkan perubahan fungsi kawasan menjadi Taman Hutan Raya (Tahura).

Pertimbangan usulan yang diajukan adalah untuk kepentingan tersedianya pasokan air bersih bagi warga kota Bandar Lampung. Penetapan kawasan ini menjadi Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rahman berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 408/Kpts-II/1993.

(44)

32

1964 mengeluarkan instruksi No.7 tentang keharusan masyarakat mengajukan ijin pembukaan (tebang bebas) kawasan hutan. Akan tetapi pada tahun 1975 Menteri Kehutanan mengeluarkan SK Nomor. 1691/1/3/75 tahun 1975 tentang pencabutan ijin pembukaan lahan di hutan negara termasuk Register 19 Gunung Betung.

B. Kondisi Fisik

1. Letak dan Luas

[image:44.612.203.458.474.661.2]

Secara administrasi pemerintahan wilayah Tahura ini terletak di tujuh kecamatan yaitu: Gedong Tataan, Kedondong, Padang Cermin, Way Lima, Teluk Betung Barat, Teluk Betung Utara dan Kemiling. Luas Tahura ini 22.249,13 ha. Letak kawasan hutan ini seperti pada Gambar 1 (UPTD Tahura WAR, 2006). Secara geografis batas-batas Tahura WAR berada pada posisi 050, 18’ sampai 050,29’ LS dan antara 1050,02’ sampai 105014’ BT.

Gambar 2. Letak Taman Hutan Raya WAR

(45)

2. Iklim

[image:45.612.166.482.311.516.2]

Iklim pada kawasan ini adalah iklim tipe B dengan curah hujan kurang lebih 1.106 mm/tahun. Berdasarkan data pengamatan 3 stasiun disekitar Tahura (1987 - 1996), jumlah curah hujan tertinggi 356 mm/bulan dan dan terendah 54 mm/bulan serta rata-rata adalah sebesar 201 mm/bulan. Rata-rata curah hujan bulanan seperti Gambar 2 (Tim SHK Lestari, 2008). Suhu udara maksimum 32,2oC dan minimum 20,8oC.

Gambar 3. Grafik Curah Hujan Bulanan

Sumber: Tim SHK Lestari, 2008

3. Topografi

Topografi di Tahura WAR bervariasi mulai landai sampai bergunung. Daerah lembah terdapat di antara Gunung Betung dan Gunung Tangkil Ulu (Gambar 3). Di Padang Ratu keadaan topografinya relatif datar sampai berombak. Daerah Padang Cermin umumnya berbukit sampai bergunung (Tim SHK Lestari, 2008).

Rata-Rata Curah hujan Bulanan di Tahura Wan Abdul Rachman Berdasarkan Data Tahun 1976 s.d. 2004

0 50 100 150 200 250

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

(46)
[image:46.612.131.507.73.311.2]

34

Gambar 4. Kelas Kelerengan di Tahura WAR. (tim SHK Lestari, 2008)

4. Geologi

Sebagian besar terbentuk dari bahan basalt andesit dan lapisan tufa intermedier dengan bahan basalt dan sebagian kecil merupakan batu endapan kwarter dan sedimen tufa asam (Tim SHK Lestari, 2008).

5. Tanah

(47)
[image:47.612.170.507.78.331.2]

Gambar 5. Jenis Tanah dan Penyebarannya di Tahura WAR (Tim SHK Lestari, 2008).

6. Hidrologi

Wilayah studi termasuk Daerah Aliran Sungai Way Sekampung yang bermuara di Teluk Lampung dan Teluk Ratai (UPTD Tahura WAR, 2006). Sungai-sungai lain adalah Way Muara Batin, Way Ngeluh, Way Langka dan Way Berenung yang semuanya bermuara di Way Sekampung (Gambar 5). Beberapa anak sungai sejak jaman Belanda telah

dimanfaatkan untuk keperluan irigasi, diantaranya Way Semah yang mampu mengairi sawah seluas 2.000 hektar di Kecamatan Gedong Tataan dan Natar. Sedangkan irigasi Way Padang Ratu dan Way Awi

mempunyai daerah pengairan lebih dari 2.000 hektar di Kecamatan Kedondong sampai Gading Rejo.

(48)

36

Sungai-sungai yang mengalir ke selatan pada umumnya merupakan sungai-sungai yang relatif pendek, diantaranya Way Menanga, Way Sabu, Way Campang dan Way Ratai yang bermuara di Teluk Ratai.

Di bagian timur terdapat Tahura terdapat sungai Way Simpang Kanan, Simpang Kiri, Way Jernih, Way Balak dan Way Betung. Sungai-sungai tersebut menyatu dengan Sungai Way Betung dan mengalir ke arah selatan bermuara di Teluk Lampung Sungai Way Betung ini

[image:48.612.137.331.356.525.2]

dimanfaatkan untuk bahan baku sumber air minum dan PDAM Bandar Lampung dengan kapasitas pemanfaatannya sebesar 2,0 m3/detik (Tim SHK Lestari, 2008).

Gambar 6. Sebaran Sungai di Tahura WAR (Tim SHK Lestari, 2008). Keterangan :

(i) DAS Way Sekampung Huludengan sub DAS meliputi (a) Way Muara Batin

(b) Way Ngeluh, Way Langka, (c) dan Way Berenung;

(49)

(vii) DAS Way Campang; (viii) DAS Way Ratai;

(ix) DAS Betung yang mengalir ke aras Selatan yang bermuara di Teluk Lampung dengan sub DAS;

(a) Way Simpang Kanan (b) Way Simpang Kiri, (c) DAS Way Jernih dan (c) DAS Way Balak.

C. Kondisi Biologi

1. Flora

Jenis flora di kawasan ini antara lain adalah gondang (Ficus variegata), medang (Litsea firmahoa), bayur (Pterospermum sp), pulai (Alstonia

scholaris), durian (Durio sp), merawan (Hopea mangarawan), makaranga

(Macaranga sp.), balik angin (Homolanthus sp.), Trema orientalis,

Vitex pubescens, Molatus paniculatus dan berbagai jenis rotan (Calamus

spp). Hutan di kawasan ini terdiri dari hutan primer, hutan sekunder dan hutan hasil reboisasi dengan tanaman sonokeling (Dalbergia latifolia) (1978/1979) dan kaliandra (Caliandra sp.) (Tim SHK Lestari, 2008).

2. Fauna

Jenis mamalia antara lain adalah harimau sumatera (Panthera tigris

sumatrensis), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus

indicus), rusa sambar (Cervus unicolor), siamang (Hylobates

syndactylus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca

nemestrina). Jenis-jenis burung yang ada seperti elang brontok (Spizaetus

cirrhatus), ayam hutan (Gallus gallus), rangkong (Buceros sp), punai

(50)

38

aurigaster), murai (Copsychus malabaricus) dan tekukur (Streptopillia

chinensis) (Tim SHK Lestari, 2008).

D. Potensi Obyek Wisata

Berdasarkan hasil inventarisasi di beberapa wilayah dalam kawasan Tahura WAR yang mempunyai keunikan alam yang berpotensi dikembangkan sebagai obyek wisata alam (Tim SHK Lestari, 2008) adalah :

a. Beberapa air terjun. Air Terjun Way Sabu, Air Terjun Gunung Tanjung, Air terjun Talang Teluk, Air Terjun Batu Perahu, Air Terjun Kupu Jambu, Air Pelangi, dan Air Terjun Sinar Tiga atau Air Terjun Kabut.

b. Pemandangan alam. Pemandangan lepas yang indah ke arah Kota Bandar Lampung, Kabupaten Tanggamus (Gisting, Pagelaran, Pringsewu) dan sebagian Kecamatan Padang Cermin, Kedondong, Gedong Tataan dan Natar, Teluk Lampung dan Teluk Tarai.

c. Keunikan. Batu Lapis, berbagai jenis Bambu Betung, Batu Keramat. Keong Hijau dan tanaman langka.

E. Aksesibilitas

(51)

belum ada angkutan umum tetapi sarana jalan sudah ada (Tim SHK Lestari, 2008).

F. Sosial Ekonomi Penduduk

Tahura Wan Abdul Rahman terletak di 7 wilayah kecamatan : Gedong Tataan, Kedondong, Padang Cermin, Way Lima, Teluk Betung Barat, Teluk Betung Utara dan Kemiling. Jumlah penduduk di 7 kecamatan sebanyak 121.553 dengan perbandingan pada tiap kecamatannya disajikan pada Gambar 6 (Tim SHK Lestari, 2008).

Kepadatan penduduk bervariasi mulai dari 500 jiwa per km2 sampai lebih dari 1000 jiwa per km2. Secara agraris kepadatan penduduk di sekitar kawasan bervariasi mulai dari < 4 orang per ha sampai > 10 orang per ha. Semakin tinggi tingkat kepadatan agraris menimbulkan dampak negatif terhadap kawasan Tahura WAR.

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 J u m la h p e n d u d u k ( ji w a ) K em iling Te

luk B etu

ng U tara

Te luk B

etu ng B

arat P ad an g C erm in K ed on do ng W

ay L im a G ed on g T ata an Jum lah Kecamatan

[image:51.612.163.483.462.685.2]

Perbandingan Jumlah Penduduk Kecamatan di Sekitar Tahura WAR

(52)

40

Tingkat pendidikan masyarakat di sekitar tahura pada umumnya Sekolah Dasar (SD) baik yang tamat atau tidak tamat 82 %. Tingkat pendidikan SLTP dan SLTA masing-masing hanya 10 % dan 4 % dan yang tidak sekolah 4 % (Gambar 7). Dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan di sekitar kawasan tahura masih tergolong rendah.

Kondisi tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi pola berfikir masyarakat, antara lain kemampuan dalam menerima berbagai program yang dikembangkan di tahura. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya penyuluhan dan pelatihan dalam pembinaan masyarakat secara intensif dan berkelanjutan. Transformasi budaya di beberapa tempat yang potensial dikembangkan pariwisata alam dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan peran serta masyarakat dengan pola kemitraan. Masyarakat perlu dijadikan sebagai aktor utama dalam pengelolaan wisata alam sehingga tumbuh rasa tanggung jawab.

Tidak Sekolah 4%

Sekolah Dasar Tidak Tamat

31%

Sekolah Dasar Tamat 51%

SLTP 10%

SLTA 4%

[image:52.612.191.449.458.644.2]

Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa di Sekitar Tahura WAR

(53)

Mata pencaharian masyarakat pada umumnya petani (55%). Mereka bekerja di kebun, sawah ataupun di dalam hutan. Ketergantungan masyarakat dengan hutan sangat tinggi, hal ini ditunjukkan dengan

seringnya mereka masuk keluar hutan (Winarno, 2004). Mereka menggarap hutan untuk perladangan dengan tanaman campuran seperti palawija, coklat, kopi, petai, kemiri, jengkol, durian dan tanaman buah lainnya.

Peternakan (32 %) cukup banyak dilakukan oleh masyarakat sekitar. Mereka umumnya beternak ayam dan kambing. Pakan ternak diambil dari ladang mereka baik di lahan sendiri ataupun di kawasan hutan (UPTD Tahura WAR, 2006). Mata pencaharian lainnya disajikan pada Gambar 8.

Bidang Pertanian dan Tanaman Pangan

55%

Bidang Perkebunan/Perladangan

1% Peternakan

32%

Industri Rumah Tangga 1%

Jasa/karyawan/PNS/TNI 11%

[image:53.612.157.494.359.554.2]

Distribusi Mata Pencaharian Masyarakat Desa di Sekitar Tahura WAR

Gambar 9. Distribusi Mata Pencaharian Masyarakat Sekitar Tahura (Tim SHK Lestari, 2008).

G. Kondisi Penutupan dan Penggunaan Lahan

(54)

42

campuran 12.306,97 ha (55%) dan semak belukar 252,80 ha (1 %). Kondisi ini menunjukkan bahwa Tahura WAR telah mengalami kerusakan yang segera diantisipasi. Areal yang bervegetasi hutan alam primer dan sekunder total hanya 39%. Penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 9.

Kerusakan tersebut disebabkan oleh banyaknya perambah hutan dan penggarapan lahan. Dalam penggarapan lahan mereka menggunakan api untuk mempercepat pembersihan lahan dari gulma seperti semak belukar atau alang-alang. Penggarapan tanah dilakukan dengan penggemburan tanah sehingga bila terjadi hujan akan mengakibatkan longsor dan banjir.

H. Pengelolaan

(55)

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Ir. Hj. Christine Wulandari, M.P. ________

Sekretaris : Rudi Hilmanto, S.Hut., M.Si. ________

Penguji

Bukan Pembimbing : Prof. Dr. Ir. H. Sugeng P. Harianto, M.S. ________

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP. 19610826 198702 1 001

(56)

Judul Skripsi : STATUS HAK KELOLA TAMAN HUTAN RAYA

WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG

Nama Mahasiswa : Nanda Dwika

Nomor Pokok Mahasiswa : 0714081014

Program Studi : Kehutanan

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hj. Christine Wulandari, M.P. Rudi Hilmanto, S.Hut., M.Si.

NIP. 1964122619993032001 NIP. 197807242005011003

2. Ketua Jurusan Kehutanan

(57)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 19 Januari 1990, anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Zulkarnain Zubir dan Ibu Edni Suhana. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) di TK Kartika II-2 Bandar Lampung (TK Persit) pada tahun 1995. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan pada tahun 2001 di SD Kartika II-5 Bandar Lampung (SD Persit). Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 9 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2004 dan kemudian

melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas yang diselesaikan pada tahun 2007 di SMA Negeri 9 Bandar Lampung. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Universitas Lampung Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian melalui jalur PKAB.

Pada tahun 2008 penulis dipercaya menjadi anggota Bidang Penelitian dan

(58)

SANWACANA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW selaku Rasul Allah SWT atas berkat beliaulah kita mendapat petunjuk kejalan yang lurus.

Skripsi dengan judul: “Status Hak Kelola Tahura Wan Abdul Rachman Lampung”adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Universitas Lampung.

Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan saran berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Hj. Christine Wulandari, M.P., selaku pembimbing utama penulis

atas bimbingan, arahan, dan motivasi hingga terselesaikannya skripsi ini. 2. Bapak Rudi Hilmanto, S.Hut,. M.Si., selaku pembimbing kedua penulis atas

bimbingan, kritik, dan saran yang telah diberikan hingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.

(59)

Penulis.

5. Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si., selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

6. Bapak dan Ibu Dosen serta Staf Administrasi Jurusan Kehutanan dan Fakultas Pertanian Unila.

7. Pak Saban (GKPPH) dan pak Agus (SHK Lestari) atas bimbingan dan bantuan selama penulis menyelesaikan penelitian.

8. Anggota kelompok GKPPH Sumber Agung dan SHK Lestari Desa Hurun atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan mereka semua yang telah diberikan untuk penulis. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

(60)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Status kelola masyarakat di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman saat ini masih belum jelas karena belum memiliki izin resmi (secara tertulis) dalam pengelolaannya. Namun, pemerintah tetap mengizinkan

masyarakat yang telah lama bermukim untuk tetap mengelola kawasan Tahura dengan mengeluarkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

2. Konflik yang terjadi di Tahura WAR, baik di wilayah SHK Lestari maupun Sumber Agung meliputi ketidaktenangan masyarakat karena adanya pengusiran-pengusiran paksa di masa lalu, adanya tumpang tindih hak atas tanah karena masyarakat memiliki sertifikat tanah di kawasan Tahura. Konflik tata batas antara lahan masyarakat sekitar hutan dengan Tahura WAR karena adanya kesalahan dalam penentuan tata batas yang dilakukan oleh pihak pemerintah.

(61)

B. SARAN

Gambar

Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran
Tabel 1. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan status Tahura WAR
Tabel 3. Jumlah kepala keluarga (KK)  pada desa-desa yang dijadikan objek         penelitian
Gambar 2.  Letak Taman Hutan Raya WAR
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pendugaan terhadap produksi seresah menjadi hal yang penting di Tahura Wan Abdul Rachman khususnya pada tegakan hutan di blok penelitian dan pendidikan, karena pada areal

Hasil analisis AHP terhadap bentuk pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman menunjukkan bahwa bentuk strategi yang paling utama adalah melakukan strategi pengelolaan secara ekowisata

[r]

Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (HPKT Tahura WAR) merupakan wilayah hutan konservasi yang memiliki areal alami dam areal budidaya.. Areal

Keanekaragaman jenis burung keseluruhan di Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura WAR tergolong tinggi dengan indeks keanekaragaman sebesar (3,4386), ini menunjukkan

Taman Hutan Raya (TAHURA) adalah kawasan pelestarian alam yang dibangun untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan bukan

Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu (HPKT) Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR) dengan luas 1.143 ha merupakan habitat berbagai jenis tumbuhan dan satwa yang