STATUS HAK KELOLA
TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG
Oleh Nanda Dwika
Pengelolaan kawasan hutan tidak selamanya berjalan lancar, banyak terdapat konflik antara masyarakat dan pihak pengelola yang berwenang menjaga kawasan hutan. Salah satunya adalah di kawasan Tahura Wan Abdurrahman. Konflik yang terjadi adalah konflik status kelola masyarakat yang tinggal di kawasan Tahura dengan pemerintah sebagai pihak pengelola. Ketidakkonsistenan pemerintah dalam menentukan kebijakan di kawasan ini, merupakan salah satu penyebab konflik status hak kelola masyarakat di Tahura WAR. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi status hak kelola di Tahura WAR, mengidentifikasi konflik yang terjadi dan untuk mengetahui keinginan masyarakat dalam penyelesaian konflik status hak kelola di Tahura WAR.
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Februari 2012 di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman tepatnya di wilayah kelola Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Lestari desa Hurun kecamatan Padang Cermin dengan luas garapan 233 Ha di dan di wilayah kelola Gabungan Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (GKPPH) di desa Sumber Agung kecamatan Kemiling dengan luas garapan 492,75 Ha. Metode pengumpulan data menggunakan metode Triangulasi, Focus Group Discussion dan kuesioner. Dari hasil penelitian dapat diketahui, konflik yang terjadi di Tahura WAR, baik di wilayah SHK Lestari maupun Sumber Agung meliputi ketidaktenangan masyarakat karena adanya pengusiran-pengusiran paksa di masa lalu, adanya tumpang tindih hak atas tanah karena masyarakat memiliki sertifikat tanah di kawasan Tahura dan konflik tata batas antara lahan masyarakat sekitar hutan dengan Tahura WAR karena adanya kesalahan dalam penentuan tata batas yang dilakukan oleh pihak pemerintah.
ABSTRACT
STATUS OF COMMUNITY MANAGEMENT RIGHT OF TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN
LAMPUNG By Nanda Dwika
Forest management doesn’t always work well. There are so many conflicts between community and the officer who has the responsibility to preserve the forest. One example of the conflict is “Tahura Wan Abdul Rachman”. The
conflict that happen in this area is status of the community management right who live in Tahura area with the goverment as the forest organizer. Government inconsistency in determine the policy which is occur in the “Tahura Wan Abdurrahman” causes the conflict of status of the community management right in Tahura WAR. This research aims are to identify the conflict that happens and to find out the community desire in finishing the conflict of governance status in Tahura WAR area.
This research has been done on February 2012 at “Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman” specifically in SHK Lestari Hurun village Padang Cermin subdistrict with the area wide about 233 Ha and GKPPH in Sumber Agung village Kemiling subdistrict with the area wide 492,75 Ha. The methods used in this research are Triangulasi method, Focus Group Discussion and questionnaire. As the result we can find out about the conflict which is occurred there not only in the SHK Lestari but also Sumber Agung, include the uncomfortable feeling of community because of the community because there was forced expulsions in the past, there was overlapped of land rights because the community have the certificate of land in Tahura area and the conflict about the boundary between community around the “Tahura WAR” and Tahura WAR itself because of the mistake in determine the boundary by the Government.
TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh NANDA DWIKA
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
Halaman
1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran ... 5
2. Letak Taman Hutan Raya WAR ... 32
3. Grafik Curah Hujan Bulanan ... 33
4. Kelas Kelerengan di Tahura WAR ...………...….... 34
5. Jenis Tanah dan Penyebarannya di Tahura WAR ... 35
6. Sebaran Sungai di Tahura WAR ... 36
7. Perbandingan Jumlah Penduduk di Tiap Kecamatan ..………….... 39
8. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sekitar Tahura ...……... 40
9. Distribusi Mata Pencaharian Masyarakat Sekitar Tahura ..…….... 41
10.Wawancara dengan warga SHK Lestari …….………. 90
11.Diskusi dengan masyarakat SHK Lestari .…………..………. 90
12.Pengisian kuesioner oleh masyarakat SHK Lestari ...… 90
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………. i
DAFTAR GAMBAR ………... ii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1
B. Tujuan Penelitian ………. 2
C. Kerangka Penelitian ………. 3
D. Manfaat Penelitian ………. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan dan Kawasan Konservasi ………... 6
B. Pengertian dan Batasan Konflik ………...………. 8
C. Penyebab konflik, Teori Konflik dan Kriteria Konflik ……. 10
D. Tipe-Tipe Konflik ………. 15
E. Konflik Hak Kelola Hutan di Taman Hutan Raya WAR ……. 16
F. Pengelolaan Konflik …...…………. 20
III. METODE PENELITIAN A.Tempat dan Waktu Penelitian ...………. 24
D.Jenis Data ...………...………. 26
E. Metode Pengumpulan Data ...………. 26
F. Teknik Pengambilan Sampel ...………. 27
G.Metode Pengolahan dan Analisis Data ...…………. 30
IV. GAMBARAN UMUM A. Status Kawasan Tahura ………...……....…………. 31
B. Kondisi Fisik ...………. 32
1. Letak dan Luas ……...………. 32
2. Iklim ………...…………. 33
3. Topografi ...………. 33
4. Geologi ...………. 34
5. Tanah ...………. 34
6. Hidrologi ...………. 35
C. Kondisi Biologi ...……….……… 37
1. Flora ……...………. 37
2. Fauna …...………. 37
D. Potensi Objek Wisata ...………. 38
E. Aksesibilitas ...………. 38
F. Sosial Ekonomi Penduduk ....………. 39
G. Kondisi Penutupan dan Penggunaan Lahan ..………. 41
H. Pengelolaan ...………. 42
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Status Hak Kelola Tahura WAR ...……….. 43
B. Konflik Pengelolaan Kawasan Tahura WAR ..……….... 53
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ………..……… 70
B. Saran ……….. 71
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan. 1993.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 408 /
Kpts-II / 1993Tentang Penetapan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman
. Salinan Biro
Hukum Dan
Organisasi. Dephut. Jakarta.
. 1990.
Undang – Undang No.5 Tahun 1990
tentang konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
. Salinan kepala Biro Hukum
dan Organisasi. Dephutbun. Jakarta.
. 1999.
Undang – Undang No.41 Tahun 1999. Tentang
Kehutanan
. Salinan kepala Biro Hukum dan Organisasi. Dephutbun.
Jakarta.
. 2003.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 107/ Kpts-II / 2003
Tentang Pengelolaan Taman Hutan Raya
. Salinan Biro Hukum Dan Organisasi.
Dephut.
Jakarta.
. 1998.
Peraturan Pemerintah No. 68 tentang Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam
. Departemen Kehutanan. Jakarta
Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI. 2007.
Peraturan Pemerintah RI. No. 6
Tahun 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan
. Salinan Biro Hukum dan
Organisasi. Dephutbun. Jakarta.
Dewan Kolaborasi Pengelolaan Tahura WAR. 2012
. Draft Peraturan Daerah
Kolaborasi Pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdur Rachman
. Tidak
Dipublikasikan
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2006.
Laporan Akhir Master Plan Taman
Hutan Raya Wan Abdul Rahman.
PT. Laras Sembada. Jakarta.
73
Fuad, Faisal dan Maskanah, S. 2000. Inovasi
Penyelesaian Sengketa Pengelolaan
Sumberdaya Hutan
. Pustaka Latin. Bogor.
Galudra, dkk. 2006.
Rapid Land Tenure Assesment (RaTA) Panduan Ringkasan
Bagi Praktisi
. World Agroforesty Centre. Asia Tenggara.
Hasanah, Y. 2008.
Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Tanah Ulayat Baduy pada
Kawasan Hutan Lindung.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Huzaini, M. 2002.
Analisis Konflik Sumberdaya Hutan untuk Pemberdayaan
Masyarakat Kearah Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan
. Tesis. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Kementrian Kehutanan. 2009.
Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.10/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Hutan
Raya
. Kementrian Kehutanan. Jakarta.
. 2011.
Undang- Undang no. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
. Jakarta
Korsadi, Eka R. J. 2007.
Analisis Konflik Areal Eks Tumpang Sari Perum
Perhutani di Wilayah Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Kusworo, A. 2000.
Perambah Hutan atau Kambing Hitam? Potret Sengketa
Kawasan Hutan di Lampung
. Pustaka Latin. Bogor.
Mitchell, Bruce, B. Setiawan, Dwita H, Rahmi. 2000.
Pengelolaan Sumberdaya
dan Lingkungan
. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Mustafa. 2002.
Dinamika Konflik Dan Model Institusi Pengelolaan Kawasan
Yang Berkelanjutan (Studi Kasus Pada Pengelolaan Kawasan Konservasi
Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur)
. Tesis
Moeloeng. diakses pada tanggal 15 desember 2011.
Tipe Penelitian Deskriptif
Kualitatif
.
http://www.scribd.com/doc/33725861/Tipe-Penelitian-Deskriptif-Kualitatif.
Pasya, Gamal. 2011.
Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan
Kawasan Hutan Lindung
. Tesis. Institut Pertanian Bogor. (Tidak
dipublikasikan).
Pasya, Gamal dan M.T Sirait. 2011.
Analisa Gaya Bersengketa (AGATA):
Panduan untuk Membantu Memilih Bentuk Penyelesaian Sengketa
Prio, T. 2008.
Majalah Kehutanan Indonesia “Pembangunan Taman Hutan
Raya” Edisi VII November 2008
. Jakarta.
Quartin, A. 2010.
Peranan Costumer Value dalam Mempertahankan Keunggulan
Bersaing Pada Restoran
. Fakultas Ekonomi. Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran”. Jakarta.
Sitorus, M. T. Felix. 1998.
Penelitian Kualitatif suatu Perkenalan
. Kelompok
Dokumentasi Ilmu Sosial. Bogor
Sugiarto, S. Degribson, Lasmono, T. Sunaryanto, dan Deny S.Oetomo. 2003.
Teknik
Sampling
. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sugiyono, Dr. 2009.
Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Dan R & D
.
Alfabeta. Bandung.
Suraji. 2002.
Keterkaitan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Sistem
Pengelolaan Kebun Campuran dalam Hutan Kemasyarakatan
. Thesis.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tidak Dipublikasikan.
Tim SHK Lestari. 2008.
Inventarisasi Potensi Tumbuhan Dan Satwa Liar Sebagai
Pendukung Ekowisata Di Lokasi Kelola Shk Lestari Tahura Wan Abdul
Rachman
. Laporan Hasil Penelitian. Bandar Lampung.
UPTD Tahura WAR. 2002.
Statistik Data Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman
Reg. 19 Gunung Betung
. UPTD Tahura WAR. Bandar Lampung
UPTD Tahura WAR. 2006.
Master Plan Tahura Wan Abdul Rachman
. UPTD
Tahura WAR. Bandar Lampung
STATUS HAK KELOLA
TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG
Oleh NANDA DWIKA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEHUTANAN
pada Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
JURUSAN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Menurut Undang - Undang No. 5 tahun 1990, Taman Hutan Raya (Tahura) adalah kawasan pelestarian alam yang dibangun untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
Pengelolaan kawasan hutan, termasuk Tahura tidak selamanya berjalan lancar, banyak terdapat konflik antara masyarakat dan pihak pengelola yang
berwenang menjaga kawasan hutan.
2
unsur lain yang akan kembali memberikan pengaruh kepada pihak yang mengelola Tahura (Pasya, 2011).
Konflik pengelolaan hutan juga terjadi dalam pengelolaan Tahura Wan Abdur Rahman (Tahura WAR). Salah satu konflik yang terjadi di kawasan ini adalah konflik status kelola masyarakat yang tinggal di kawasan Tahura dengan pemerintah sebagai pihak pengelola. Adanya pencabutan ijin pembukaan lahan yang diberlakukan pemerintah, membuat masyarakat yang berdiam di daerah Register 19 Gunung Betung menerapkan teknik pengelolaan hutan secara HKm pada tahun 1998 seperti yang dianjurkan oleh pemerintah selaku pihak pengelola. Sebagai Tahura maka pengelolaan secara HKM tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Hal ini mengakibatkan kedudukan masyarakat sebagai pengelola lahan kawasan menjadi tidak jelas, karena sewaktu-waktu pemerintah dapat melakukan pengusiran. Ketidakkonsistenan pemerintah tersebut mengakibatkan konflik status hak kelola masyarakat di Tahura WAR (Pasya dan Sirait, 2011). Untuk itu diperlukan adanya suatu identifikasi konflik dan mengetahui keinginan masyarakat tentang kepastian status hak kelola mereka.
B. Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi status hak kelola di Tahura WAR. 2. Mengidentifikasi konflik yang terjadi di Tahura WAR.
C. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai status hak kelola di Tahura WAR dan potensi konflik kepada pihak terkait dalam pembuatan kebijakan. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan untuk
menjawab kebutuhan masyarakat akan kepastian status hak kelola.
D. Kerangka Pemikiran
Gunung Betung yang memiliki luas area 22.244 hektar dan berstatus sebagai hutan lindung Register 19 Gunung Betung ditetapkan berdasarkan Besluit Residen Lampung No: 307 tanggal 31 Maret 1941. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 408/KPTS-II/93, Hutan Lindung Register 19 tersebut diubah peruntukkannya menjadi Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR) dengan fungsi konservasi yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Provinsi Lampung sesuai UU No. 22 tahun 1999, PP No. 25 tahun 2000, Keputusan Menhut No. 107/Kpts-II/2003 serta Keputusan Gubernur Lampung No. 3 tahun 2003. Perubahan status Tahura WAR inilah yang merupakan awal mula konflik di Tahura WAR.
4
menyertakan partisispasi masyarakat terutama mereka yang telah tinggal menetap antar generasi di dalam dan atau sekitar hutan, yang membentuk komunitas, yang memiliki kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, keterkaitan tempat tinggal, serta nilai-nilai kehidupan sosial.
Lambat laun hal ini akan memicu terjadinya konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kegiatan yang dilakukan masyarakat di dalam kawasan Tahura menyebabkan pengelolaan kawasan tersebut menghadapi kesulitan. Apabila mengikuti aturan sesuai dengan SK Menhut Nomor. 1691/I/3/75 tahun 1975 tentang pencabutan izin pengelolaan lahan maka Pengelola Tahura harus mengusir semua orang yang mengelola lahan di dalam kawasan Tahura WAR. Namun tentu saja hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena pengelola Tahura WAR akan berhadapan dengan masyarakat.
Di sisi lain membiarkan masyarakat mengelola lahan adalah sebuah bentuk pelanggaran karena bertentangan dengan PP No. 3 Tahun 2008 tentang perubahan atas peraturan pemerintah no 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan yang menjelaskan bahwa Tahura WAR tidak dapat dikelola dengan skema HKm. Masalah yang terjadi pengelolaan kawasan hutan didapati sering tidak sesuai dengan fungsi lingkungan yang menjadi permintaan, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat lokal khususnya mereka yang menggantungkan mata pencaharian dan hidupnya di dalam kawasan hutan. Tidak jarang ketidak-sesuaian tersebut menimbulkan berbagai konflik baik konflik land tenure (status dan
Pada dasarnya konflik ini dapat diselesaikan, yaitu dengan mengidentifikasi dan menyatukan persepsi dan keinginan dari stakeholder yang terkait dalam pengelolaan Tahura. Dalam hal ini adalah keinginan pemerintah, masyarakat dan LSM.
Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran Alih Fungsi
Hutan Lindung TAHURA
Ketidakpastian status hak kelola
Konflik
Diselesaikan Tidak dapat diselesaikan
Kepastian status hak kelola
Keinginan pemerintah
Keinginan LSM
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hutan dan Kawasan Konservasi
Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
mendefinisikan hutan sebagai suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan
konservasi, yaitu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri dari Kawasan Hutan Suaka Alam
(KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Menurut Undang-Undang no
28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian alam, Kawasan Suaka Alam adalah hutan dengan ciri khas
tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan. Sedangkan, kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan
ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi
pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. Sedangkan menurut
Undang-Undang No. 5 tahun 1990, Taman Hutan Raya adalah kawasan
pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami
atau buatan, jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, budaya,
paritwisata dan rekreasi.
Hutan di Indonesia secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan statusnya,
yaitu:
1. Hutan negara, yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak
atas tanah.
2. Hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas
tanah.
3. Hutan adat, yaitu hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat.
hukum adatdan ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
Menurut Undang–Undang tentang Kehutanan No. 41 Tahun 1999, hutan juga
dapat diklasifikasikan pada beberapa bagian antara lain:
1. Hutan lindung, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan
memelihara kesuburan tanah.
2. Hutan produksi, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
8
3. Hutan konservasi, yaitu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya.
Hutan dengan fungsi konservasi dapat diklasifikasikan pada beberapa bentuk:
a. Kawasan hutan suaka alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah
sistem penyangga kehidupan, seperti suaka margasatwa dan cagar alam.
b. Kawasan hutan pelestarian alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, seperti kawasan
Taman Hutan Raya(Tahura), taman nasional dan taman wisata.
c. Taman buru, yaitu kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata
berburu.
B. Pengertian dan Batasan Konflik
Fisher (2001) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau
lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki
sasaran-sasaran yang satu sama lain tidak sejalan. Menurut Fraser dan Hipel
(1984) dalam Mustafa (2002), konflik adalah situasi dimana dua atau lebih
kelompok berselisih atas isu-isu atau sumber daya. Menurut Johson dan
banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta merupakan bagian yang
menyatu sejak kehidupan ada. Menurut mereka konflik adalah sesuatu yang tak
terelakkan, yang dapat bersifat positif maupun negatif. Dari berbagai batasan
konflik tersebut, secara umum konflik mencakup (Walker dan Daniels, 1997
dalam Karsodi, 2007):
1. Ketidakcocokan yang terasa
2. Kepentingan tujuan dan aspirasi
3. Dua atau lebih kelompok independen
4. Insentif untuk bekerjasama dan bersaing
5. Interaksi dan komunitas
6. Negosiasi
7. Strategi/perilaku strategis
Menurut Fuad et al. (2000), konflik dapat berwujud tertutup (laten), mencuat
(emerging) dan terbuka (manifest). Konflik tertutup dicirikan dengan adanya
tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dengan
adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang
dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Sering terjadi salah satu
atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling
potensial sekalipun. Konflik mencuat adalah adanya perselisihan dimana
pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan,
kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya
belum berkembang. Konflik terbuka adalah konflik dimana pihak-pihak
yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin
10
C. Penyebab konflik, Teori Konflik dan Kriteria Konflik
Menurut Fisher (2001), konflik ditimbulkan karena ketidak seimbangan antara
hubungan-hubungan itu (hubungan antar pribadi hingga tingkat kelompok,
organisasi, masyarakat, negara dan segala bentuk hubungan manusia-sosial,
ekonomi, dan kekuasaan). Adapun berbagai contoh konflik tersebut adalah
kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang
tidak seimbang terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang
yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi,
pengangguran, kemiskinan, penindasan dan kejahatan. Sementara itu menurut
Scot (1993) dalam Karsodi (2007) dari perspektif ekonomi politik, penyebab
utama konflik dapat ditelusuri dari akar ekonomi dan politik, maka upaya
penyelesaiannya harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi politik.
Roy (1998) dalam Karsodi (2007) menyatakan konflik yang berkembang
antara institusi birokrasi dan institusi sosial berakar dari kurangnya
komunikasi diantara mereka.
Faktor-faktor penyebab konflik pada umumnya berhubungan dengan isu-isu
utama dalam suatu konflik. Menurut Fisher et al (2001), isu-isu utama yang
muncul pada waktu menganalisis konflik adalah isu kekuasaan, budaya,
identitas, gender dan hak. Isu-isu ini muncul pada waktu mengamati interaksi
antar pihak yang bertikai, yang pada suatu kesempatan tertentu akan menjadi
latar belakang konflik serta berperan sebagai faktor-faktor yang
Wirajarjo (2001) dalam Korsadi (2008) menyatakan, bahwa berdasarkan
pengalaman empirik berbagai daerah di Indonesia, maka dapat dinyatakan
bahwa penyebab pokok konflik atas sumberdaya alam adalah konflik yang
bersifat struktural. Konflik yang terjadi ketika ada ketimpangan untuk
melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan
memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya
lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol
terhadap sumberdaya.
Ada enam teori utama penyebab konflik dengan metode dan sasaran yang
berbeda-beda (Fisher,2001) adalah:
1. Teori hubungan masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi,
ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam
suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
a. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara
kelompok-kelompok yang mengalami konflik.
b. Mengusahakan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima
keragaman yang ada di dalamnya.
2. Teori negosiasi politik
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak
selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik dan pihak-pihak yang
mengalami konflik. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan
12
untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan
mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.
b. Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan
keduabelah pihak dan semua pihak.
3. Teori kebutuhan manusia
Konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia baik fisik,
mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Sasaran yang ingin
dicapai teori ini adalah:
a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk
mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang
tidak terpenuhi dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan itu.
b. Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan
untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
4. Teori identitas
Konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, sering berakar pada
hilangnya sesuatu penderitaan dimasa lalu yang tidak terselesaikan.
Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
a. Melalui fasilitas lokakarya atau dialog antar pihak-pihak yang
mengalami konflik diharapkan dapat mengidentifikasi
ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan
untuk membangun empati dan rekonsiliasi diantara mereka.
b. Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas
5. Teori kesalahpahaman antar budaya
Konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara berkomunikasi
diantara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai teori
ini adalah:
a. Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik
mengenai budaya pihak lain.
b. Mengurangi stereotype negatif yang mereka miliki tentang pihak lain.
c. Meningkatkan kefektifan komunikasi antar budaya.
6. Teori transformasi konflik
Konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan
ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan
ekonomi.
Menurut Anwar (2000) dalam Korsadi (2007) kebanyakan konflik
mempunyai penyebab ganda, biasanya merupakan kombinasi dari masalah
dalam hubungan antara pihak-pihak yang bertikai yang mengarah kepada
konflik terbuka. Konflik dapat dikelompokkan dan dianalisis dengan
menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Konflik data
Terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk
mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah,
tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menerjemahkan
informasi dengan cara yang berbeda atau memakai tata cara pengkajian
14
hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi diantara dua orang atau
lebih yang konflik.
2. Konflik kepentingan
Disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara
nyata memang tidak bersesuaian dengan yang diinginkan. Terjadi ketika
satu atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya,
pihak-pihak lain harus berkorban. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini
terjadi karena masalah yang mendasar (uang, sumberdaya, fisik, waktu)
atau menyangkut masalah tata cara (sikap dalam menangani masalah) atau
masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya diri mempertahankan
keadilan, rasa hormat).
3. Konflik hubungan antar manusia
Terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau
stereotype, salah komunikasi atau tingkah laku negatif yang berulang
(repetitif). Masalah ini sering menghasilkan konflik yang realistik atau
mungkin tidak perlu, karena konflik ini bisa terjadi bahkan ketika kondisi
obyektif untuk terjadinya konflik seperti terbatasnya sumberdaya manusia
atau tujuan bersama yang eksklusif, tidak ada. Masalah hubungan antar
manusia seperti yang tersebut diatas, seringkali memicu terjadinya
pertikaian dan menjurus kepada lingkaran-lingkaran spiral dari suatu
konflik destruktif yang tidak perlu.
4. Konflk nilai
Disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian,
adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya,
menjelaskan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan
mana yang salah, mana yang adil dan yang tidak adil. Perbedaan nilai
sebenarnya tidak harus menjadi penyebab terjadinya konflik. Oleh karena
itu manusia dapat hidup secara berkesinambungan dan harmonis dengan
sedikit perbedaan nilai.
5. Konflik struktural
Terjadi ketika ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap
sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk
menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk
menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain.
D. Tipe-Tipe Konflik
Konflik dibedakan diantara dua sumbu, yaitu sasaran dan perilaku yang
kemudian dapat menggambarkan tipe-tipe konflik yang menuntun ke berbagai
bentuk kemungkinan intervensi. Setiap tipe memiliki tantangan dan
potensinya masing-masing (Fisher et al.,2000).
1. Tanpa konflik
Setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai. Jika mereka ingin
agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan
dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola
16
2. Konflik laten
Sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat
ditangani secara efektif.
3. Konflik terbuka
Konflik yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai
tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
4. Konflik di permukaan
Memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena
kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan
meningkatkan komunikasi.
Berdasarkan level permasalahnnya, terdapat dua jenis konflik yaitu vertikal;
dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan
oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan
makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui, sedangkan konflik horizontal terjadi
antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan
makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk
menentukan siapa lawan yang sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000).
E. Konflik Hak Kelola Hutan di Taman Hutan Raya WAR
Masalah penguasaan sumberdaya alam di Indonesia termasuk hutan sebagai
aset ekonomi dan sosial masyarakat pedesaan memang telah lama menyita
perhatian berbagai pihak. Tekanan terhadap hutan akan meningkat karena pada
Hal ini menyebabkan masyarakat miskin yang tidak memiliki lahan mencoba
mempertahankan hidupnya dengan menggarap lahan hutan.
Konflik pertanahan lahan hutan akan sangat mudah berubah menjadi konflik
yang penuh kekerasan karena tanah adalah suatu sumberdaya alam yang tidak
dapat diperbaharui. Setiap konflik akan terjadi pola, yaitu keuntungan bagi
stakeholder yang satu otomatis merugikan bagi stakeholder lainnya (Karsodi,
2007).
Stakeholder adalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik karena mereka
mempunyai kepentingan dengan sumberdaya tersebut. Dalam memahami dan
menilai konflik yang terjadi, ada empat jenis stakeholder yang diperkirakan
(Karsodi, 2007) yaitu:
1. Mereka yang menuntut untuk memperoleh perlindungan hukum
2. Mereka yang mempunyai kunci kekuatan politik
3. Mereka yang mempunyai kekuasaan dan dapat menjegal kesepakatan yang
sudah dirundingkan
4. Mereka yang mempunyai tuntutan moral untuk mendapatkan simpati dari
publik.
Persoalan sistem penguasaan tanah di Indonesia memang sarat ambiguitas yang
cukup banyak menimbulkan konflik, contohnya pada kedua Undang-Undang
yang mengatur sistem penguasaan tanah yaitu Undang Undang Pokok Agraria
(UUPA) dan Undang Undang Pokok Kehutanan (UUPK). Secara sepintas
kedua UU ini berjalan seiring, namun terdapat perbedaan yang signifikan.
18
maka UUPK tidak menyebutkan tentang hak-hak masyarakat, dengan kata lain
UUPK maupun UUTK tidak mengakui hak masyarakat untuk membuka hutan
(Galudra et al., 2006). Konflik seperti inilah yang saat ini terjadi di kawasan
Tahura WAR. Saat pemerintah mengeluarkan Maklumat Residen Lampung
No.15 Tahun 1947 pada tanggal 14 Juni 1947 yang memberikan izin disertai
dengan perjanjian untuk pembukaan hutan larangan pada akhir tahun 1947 dan
tercatat 782 ha lahan dibuka dengan izin ini. Kemudian pada tanggal 16
September 1964 dikeluarkan instruksi Kepala Dinas Kehutanan Lampung No.7
Tahun 1964. Ketetapan ini mengharuskan penduduk mengajukan izin
pembukaan kawasan hutan dan penduduk yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dapat memperoleh hak tanah. Instruksi ini dikeluarkan ketika
Kepala Dinas tengah berkunjung ke Gunung Tanggamus dalam rangka
menyelesaikan kericuhan antara organisasi petani dan petugas kehutanan.
Kemudian Kepala Dinas Kehutanan mengeluarkan pengumuman tentang izin
Tumpang Sari, pengumuman No.250/V/5 tahun 1968 itu memberikan izin
kepada penduduk untuk menanam tanaman tumpang sari (palawija) di dalam
kawasan hutan. Selaras dengan pengumuman di atas, Kepala Dinas Kehutanan
mengeluarkan Instruksi No. 310/V/5 Tahun 1968 tentang reboisasi yang juga
memberikan izin penduduk untuk memanfaatkan kawasan hutan dengan syarat
melakukan penanaman tanaman kehutanan. Namun kemudian pada tahun
1975 muncullah SK Kepala Dinas Kehutanan No. 1691/I/3/75 tentang
pencabutan (pembatalan) semua izin pembukaan lahan hutan negara, yang
Kehutanan kepada penduduk tidak berlaku lagi dan tidak sah. Sejak saat itu
[image:31.612.149.531.168.346.2]tidak ada lagi izin-izin yang diberikan kepada penduduk (Kusworo, 2000)
Tabel 1. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan status Tahura WAR
No Kebijakan Tahun Keterangan
1 Maklumat Residen Lampung No.15 1947 Izin pembukaan 782 ha area hutan
larangan di Lampung.
2 Instruksi Kepala Dinas Kehutanan
Lampung No.7
1964 Penduduk diharuskan mengajukan
izin pembukaan kawasan untuk memperoleh hak tanah.
3 Pengumuman izin Tumpang Sari No.
250/V/5
1968 Pemberian izin kepada penduduk
untuk menanam palawija dalam kawasan hutan
4 Instruksi No.310/V/5 1968 Reboisasi dan pemberian izin
untuk memanfaatkan hutan dengan tanaman kehutanan
5 SK Kepala Dinas Kehutanan No.1691/I/3/75
1975 Pembatalan semua izin pembukaan lahan hutan negara
Sumber: Kusworo, 2000
Hal di atas menunjukkan bahwa Propinsi Lampung seringkali dijadikan contoh
terbaik dari buruknya kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia sekaligus
menjadi ajang uji coba sebagian kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
Kerusakan hutan yang terus berlangsung serta konflik kepentingan dan
tatabatas antara pemerintah dan masyarakat, merupakan sebagian gambaran
dari kompleksitas persoalan pengelolaan hutan di Provinsi Lampung.
Pengakuan terhadap status dan kepemilikan lahan (tanah negara versus tanah
milik/marga) dan akses pengelolaan merupakan tema konflik antara
masyarakat setempat dengan kehutanan. Konflik-konflik seperti ini terjadi di
seluruh kawasan hutan di Lampung.
Konflik penguasaan dan pengelolaan lahan kawasan hutan antara pemerintah
dengan masyarakat di Lampung merupakan sejarah lama yang terus
20
membuka kawasan hutan larangan meningkat karena menganggap kawasan
hutan yang ditinggalkan oleh Belanda merupakan daerah tak bertuan.
Pembukaan hutan secara liar untuk keperluan berladang dan berkebun pada
periode tahun 1950 – 1960 begitu menonjol bahkan dimanfaatkan secara politis
oleh organisasi politik tertentu pada kurun waktu tersebut. Konflik tak
terhindarkan ketika petugas kehutanan yang berada di lapangan mencoba
melakukan pengamanan kawasan hutan dan menertibkan pembukaan hutan
secara liar. Cikal bakal konflik penguasaan dan pengelolaan tersebut berlanjut
hingga sekarang. Kuantitas dan kualitas konflik kehutanan Lampung selalu
bertambah dan meningkat setiap tahunnya (Watala, 2004).
F. Pengelolaan Konflik
Konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penyelesaian (Condliffe, 1991 dalam
Hasanah, 2008) yaitu:
1. Langsung antar pihak yang bersengketa (one-to-one), dimana
masing-masing pihak yang bersengketa bertindak menyelesaikan sendiri.
2. Mewakilkan kepada pihak lain (representational), dimana pihak-pihak
yang bersengketa diwakili pihak lain seperti pengacara, teman, kolega dan
asosiasi resmi.
3. Menggunakan pihak ketiga (third person) dimana peran pihak ketiga
berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas permintaan kedua belah pihak
Prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik tersebut yaitu:
1. Lumping it
Terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk
melakukan tuntutannya. Dengan kata lain, isu yang dilontarkan diabaikan
(simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan.
2. Avoidance or exit
Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar pertimbangannya
adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu
pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi atau psikologis.
3. Coercion
Dimana satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau
kepentingannya pada pihak yang lain.
4. Negotiation
Dimana kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersama-sama
(mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga.
5. Conciliation
Upaya menyatukan kedua belah pihak yang bersengketa untuk
bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan.
6. Mediation
Dimana pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk
22
7. Arbiration
Bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak
ketiga dan kedua belah pihak sudah menyetujui sebelumnya untuk
menerima setiap keputusan pihak ketiga.
8. Adjudication
Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk
mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan
yang diambil, baik yang diharapkan ataupun tidak oleh kedua belah pihak
bersengketa.
Pengelolaan konflik dapat dilakukan dengan menjadikan lembaga, kebijakan
dan programnya lebih responsif terhadap kepentingan-kepentingan
masyarakat, terutama masyarakat yang terlibat langsung. Harapannya adalah
sesuai aspirasi, hak dan kepentingan semua pihak (stakeholder) sehingga tidak
akan menjadi sengketa. Adapun beberapa cara lainnya yang dapat digunakan
untuk mengelola dan memecahkan konflik-konflik dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa alternatif cara dalam mengelola konflik
Cara Konvensional Cara pasif/sepihak Cara partisipatif
Cara kooperatif Cara konfrontatif Penelitian/ pengkajian/ survey Menghindari konflik Perencanaan partisipatif Tawar menawar Aksi sosial Dengar pendapat umum/ temu wicara Penerimaan secara pasif Pemecahan masalah secara partisipatif Arbitrase/ peleraian Demonstrasi
Jajag pendapat Pengabaian/
bersikap tidak peduli
Cara
Konvensional
Cara
pasif/sepihak
Cara partisipatif
Cara kooperatif Cara konfrontatif Penyelesaian
sepihak
Perundingan dengan mediasi
Kekerasan
Penggunaan media massa Ligitasi Aksi legislatif melalui perwakilan
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman. Tepatnya di wilayah kelola Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Lestari desa Hurun Kecamatan Padang Cermin dan di wilayah kelola Gabungan Kelompok Pengelola Hutan dan Pelestari Hutan (GKPPH) di Desa Sumber Agung Kecamatan Kemiling
B. Objek dan Alat Penelitian
C. Batasan Penelitian
1. Penelitian ini hanya mengidentifikasi konflik status hak kelola yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat di wilayah Tahura WAR sebagai bahan pertimbangan bagi pihak yang berwenang dalam membuat kebijakan pengelolaan Tahura WAR.
2. Tahura adalah kawasan pelestarian alam yang dibangun untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
3. Hutan Lindung adalah yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
4. Hak pengelolaan yaitu hak untuk mengelola sumberdaya hutan di sekitar pemukiman penduduk setempat dengan cara yang sesuai dengan tatanilai dan pengetahuan masyarakat setempat.
5. Konflik merupakan benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumberdaya.
26 D. Jenis Data
Data yang dikumpulkan antara lain: a. Data primer
Data primer yang dikumpulkan meliputi wawancara dan diskusi dengan stakeholder yang berkepentingan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan wilayah Tahura, yang mencakup, status lahan dan kepastian akses kelola, konflik yang telah terjadi di Tahura WAR, persepsi dan keinginan masyarakat dalam pengelolaan Tahura WAR.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait seperti kantor
Kecamatan, Kelurahan, Dinas Kehutanan, dan studi kepustakaan lainnya. Data sekunder ini berupa data yang berhubungan sejarah wilayah dan apa saja yang mempengaruhi kepastian akses kelola serta data lain yang mendukung.
E. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode Triangulasi yaitu suatu prosedur pengumpulan data dengan menggunakan teknik observasi, wawancara dan kajian data sekunder untuk informasi independen dan dapat memperoleh kesimpulan yang relatif lebih akurat tentang objek yang diteliti. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan Focus Group Discussion (FGD) sebagai teknik pengumpulan data, teknik ini umum
tema menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini dapat mengungkap pemaknaan dari satu kelompok berdasarkan hasil diskusi terpusat pada suatu permasalahan tertentu. Focus Group Discussion (FGD) juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti. Ciri khas metode FGD yang tidak dimiliki oleh metode riset kualitatif lain adalah wawancara mendalam atau observasi yang keduanya merupakan sebuah interaksi (Quartin, 2010). Pengumpulan data juga dilakukan dengan studi pustaka yang berkaitan dengan penelitian ini, dengan menggunakan teknik mengumpulkan berbagai data penunjang penelitian yang diperoleh dari studi literatur dan instansi-instansi terkait.
F. Teknik pengambilan sampel
[image:39.612.153.501.639.694.2]Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling, yaitu pemilihan sampel yang bertitik tolak pada penilaian pribadi peneliti bahwa sampel-sampel yang diteliti telah mewakili populasi yang ada (Sugiarto et al., 2003). Dari sekian banyak desa yang berada di dalam kawasan Tahura WAR dipilih 2 (dua) desa secara purposive yaitu desa yang berada dalam wilayah kelola SHK Lestari dan GKPPH Sumber Agung karena di daerah tersebut sering terjadi konflik sehingga telah mewakili populasi yang ada. Berikut jumlah KK pada desa yang akan diteliti dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah kepala keluarga (KK) pada desa-desa yang dijadikan objek penelitian
No Nama Kelompok Nama Desa Jumlah KK
1 GKPPH Sumber Agung 423 KK
2 SHK Lestari Hurun 363 KK
Jumlah 786 KK
28
Jumlah Sampel (n) dihitung berdasarkan rumus Slovin (1960) dalam Consuelo, et al. (1993) sebagai berikut :
2 1 Ne N n + =
(
)
2% 10 786 1 786 + =
n = 88,71332
n = 89 KK Keterangan :
n = ukuran sampel N = ukuran populasi
e (10%) = nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan atau persen kelongggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel.
Karena setiap populasi yang berasal dari kedua desa itu berbeda, dan memiliki jumlah sub populasi yang berbeda, maka untuk mendapatkan sampel dari masing-masing sub populasi digunakan rumus sebagai berikut (Walpole, 1993).
ni = Keterangan :
n = banyaknya sampel keseluruhan ni = banyaknya sampel ke-i
N = banyaknya populasi keseluruhan Ni = banyaknya populasi ke-i
Berdasarkan rumus tersebut dapat dicari sub populasi untuk setiap desa, dengan perhitungan sebagai berikut :
1. ni GKPPH = 423 x 89 786
= 47.896 48 KK 2. ni SHK Lestari = 363 x 89
786
Berdasarkan perhitungan maka diperoleh responden dari Kelompok Tani GKPPH sebanyak 48 KK dan SHK Lestari sebanyak 41 KK.
Penentuan responden yang berasal dari masyarakat dilakukan dengan metode purposivesampling dan kategorisasi key person, yaitu dengan pendekatan atau prosedur untuk memahami suatu sistem dengan cara mengindentifikasikan faktor-faktor kunci, seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, ketua kelompok, dan ketua sub kelompok (Sugiarto et al., 2003). Metode ini dilakukan dalam menentukan responden yang menjadi tokoh kunci dalam pelaksanaan FGD yang dilakukan bersama masyarakat agar data yang didapat lebih akurat. Dalam hal ini, penentuan sampel dipilih satu atau dua orang yang merupakan tokoh kunci dalam penelitian, apabila dengan dua orang tersebut informasi yang diperoleh belum lengkap, maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya begitu seterusnya sampai jumlah data sesuai dengan yang dibutuhkan (Sugiyono, 2009).
30 G. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah didapat dengan menggunakan metode Triangulasi
(wawancara, observasi dan kajian data sekunder ) dan FGD akan dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk memberikan gambaran mengenai data yang telah diperoleh. Penelitian deskriptif ditujukan untuk mengumpulkan
informasi secara aktual dan terperinci, mengidentifikasikan masalah, membuat perbandingan atau evaluasi, menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang (Moeloeng, 1998).
Analisis secara deskriptif kualitatif dipilih karena yang menjadi obyek dalam penelitian ini mencakup banyak pihak dengan latar belakang yang berbeda dan tidak dapat dipisahkan. Dengan menggunakan analisa ini diharapkan dapat mengetahui status hak kelola di Tahura WAR termasuk konfliknya
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Status Kawasan Tahura
Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan salah satu Taman Hutan Raya di Indonesia yang memiliki luas 22.249,31 ha dan ditetapkan
berdasarkan Besluit Residen Lampung No. 307 tanggal 31 Maret 1941, kawasan Gunung Betung masih berstatus sebagai hutan lindung dengan nama hutan lindung Register 19 Gunung Betung. Sejak tahun 1987, melalui surat Gubernur Lampung (Yasir Hadibroto) kepada Menteri Kehutanan diusulkan perubahan fungsi kawasan menjadi Taman Hutan Raya (Tahura).
Pertimbangan usulan yang diajukan adalah untuk kepentingan tersedianya pasokan air bersih bagi warga kota Bandar Lampung. Penetapan kawasan ini menjadi Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rahman berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 408/Kpts-II/1993.
32
1964 mengeluarkan instruksi No.7 tentang keharusan masyarakat mengajukan ijin pembukaan (tebang bebas) kawasan hutan. Akan tetapi pada tahun 1975 Menteri Kehutanan mengeluarkan SK Nomor. 1691/1/3/75 tahun 1975 tentang pencabutan ijin pembukaan lahan di hutan negara termasuk Register 19 Gunung Betung.
B. Kondisi Fisik
1. Letak dan Luas
[image:44.612.203.458.474.661.2]Secara administrasi pemerintahan wilayah Tahura ini terletak di tujuh kecamatan yaitu: Gedong Tataan, Kedondong, Padang Cermin, Way Lima, Teluk Betung Barat, Teluk Betung Utara dan Kemiling. Luas Tahura ini 22.249,13 ha. Letak kawasan hutan ini seperti pada Gambar 1 (UPTD Tahura WAR, 2006). Secara geografis batas-batas Tahura WAR berada pada posisi 050, 18’ sampai 050,29’ LS dan antara 1050,02’ sampai 105014’ BT.
Gambar 2. Letak Taman Hutan Raya WAR
2. Iklim
[image:45.612.166.482.311.516.2]Iklim pada kawasan ini adalah iklim tipe B dengan curah hujan kurang lebih 1.106 mm/tahun. Berdasarkan data pengamatan 3 stasiun disekitar Tahura (1987 - 1996), jumlah curah hujan tertinggi 356 mm/bulan dan dan terendah 54 mm/bulan serta rata-rata adalah sebesar 201 mm/bulan. Rata-rata curah hujan bulanan seperti Gambar 2 (Tim SHK Lestari, 2008). Suhu udara maksimum 32,2oC dan minimum 20,8oC.
Gambar 3. Grafik Curah Hujan Bulanan
Sumber: Tim SHK Lestari, 2008
3. Topografi
Topografi di Tahura WAR bervariasi mulai landai sampai bergunung. Daerah lembah terdapat di antara Gunung Betung dan Gunung Tangkil Ulu (Gambar 3). Di Padang Ratu keadaan topografinya relatif datar sampai berombak. Daerah Padang Cermin umumnya berbukit sampai bergunung (Tim SHK Lestari, 2008).
Rata-Rata Curah hujan Bulanan di Tahura Wan Abdul Rachman Berdasarkan Data Tahun 1976 s.d. 2004
0 50 100 150 200 250
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
34
Gambar 4. Kelas Kelerengan di Tahura WAR. (tim SHK Lestari, 2008)
4. Geologi
Sebagian besar terbentuk dari bahan basalt andesit dan lapisan tufa intermedier dengan bahan basalt dan sebagian kecil merupakan batu endapan kwarter dan sedimen tufa asam (Tim SHK Lestari, 2008).
5. Tanah
Gambar 5. Jenis Tanah dan Penyebarannya di Tahura WAR (Tim SHK Lestari, 2008).
6. Hidrologi
Wilayah studi termasuk Daerah Aliran Sungai Way Sekampung yang bermuara di Teluk Lampung dan Teluk Ratai (UPTD Tahura WAR, 2006). Sungai-sungai lain adalah Way Muara Batin, Way Ngeluh, Way Langka dan Way Berenung yang semuanya bermuara di Way Sekampung (Gambar 5). Beberapa anak sungai sejak jaman Belanda telah
dimanfaatkan untuk keperluan irigasi, diantaranya Way Semah yang mampu mengairi sawah seluas 2.000 hektar di Kecamatan Gedong Tataan dan Natar. Sedangkan irigasi Way Padang Ratu dan Way Awi
mempunyai daerah pengairan lebih dari 2.000 hektar di Kecamatan Kedondong sampai Gading Rejo.
36
Sungai-sungai yang mengalir ke selatan pada umumnya merupakan sungai-sungai yang relatif pendek, diantaranya Way Menanga, Way Sabu, Way Campang dan Way Ratai yang bermuara di Teluk Ratai.
Di bagian timur terdapat Tahura terdapat sungai Way Simpang Kanan, Simpang Kiri, Way Jernih, Way Balak dan Way Betung. Sungai-sungai tersebut menyatu dengan Sungai Way Betung dan mengalir ke arah selatan bermuara di Teluk Lampung Sungai Way Betung ini
[image:48.612.137.331.356.525.2]dimanfaatkan untuk bahan baku sumber air minum dan PDAM Bandar Lampung dengan kapasitas pemanfaatannya sebesar 2,0 m3/detik (Tim SHK Lestari, 2008).
Gambar 6. Sebaran Sungai di Tahura WAR (Tim SHK Lestari, 2008). Keterangan :
(i) DAS Way Sekampung Huludengan sub DAS meliputi (a) Way Muara Batin
(b) Way Ngeluh, Way Langka, (c) dan Way Berenung;
(vii) DAS Way Campang; (viii) DAS Way Ratai;
(ix) DAS Betung yang mengalir ke aras Selatan yang bermuara di Teluk Lampung dengan sub DAS;
(a) Way Simpang Kanan (b) Way Simpang Kiri, (c) DAS Way Jernih dan (c) DAS Way Balak.
C. Kondisi Biologi
1. Flora
Jenis flora di kawasan ini antara lain adalah gondang (Ficus variegata), medang (Litsea firmahoa), bayur (Pterospermum sp), pulai (Alstonia
scholaris), durian (Durio sp), merawan (Hopea mangarawan), makaranga
(Macaranga sp.), balik angin (Homolanthus sp.), Trema orientalis,
Vitex pubescens, Molatus paniculatus dan berbagai jenis rotan (Calamus
spp). Hutan di kawasan ini terdiri dari hutan primer, hutan sekunder dan hutan hasil reboisasi dengan tanaman sonokeling (Dalbergia latifolia) (1978/1979) dan kaliandra (Caliandra sp.) (Tim SHK Lestari, 2008).
2. Fauna
Jenis mamalia antara lain adalah harimau sumatera (Panthera tigris
sumatrensis), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus
indicus), rusa sambar (Cervus unicolor), siamang (Hylobates
syndactylus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca
nemestrina). Jenis-jenis burung yang ada seperti elang brontok (Spizaetus
cirrhatus), ayam hutan (Gallus gallus), rangkong (Buceros sp), punai
38
aurigaster), murai (Copsychus malabaricus) dan tekukur (Streptopillia
chinensis) (Tim SHK Lestari, 2008).
D. Potensi Obyek Wisata
Berdasarkan hasil inventarisasi di beberapa wilayah dalam kawasan Tahura WAR yang mempunyai keunikan alam yang berpotensi dikembangkan sebagai obyek wisata alam (Tim SHK Lestari, 2008) adalah :
a. Beberapa air terjun. Air Terjun Way Sabu, Air Terjun Gunung Tanjung, Air terjun Talang Teluk, Air Terjun Batu Perahu, Air Terjun Kupu Jambu, Air Pelangi, dan Air Terjun Sinar Tiga atau Air Terjun Kabut.
b. Pemandangan alam. Pemandangan lepas yang indah ke arah Kota Bandar Lampung, Kabupaten Tanggamus (Gisting, Pagelaran, Pringsewu) dan sebagian Kecamatan Padang Cermin, Kedondong, Gedong Tataan dan Natar, Teluk Lampung dan Teluk Tarai.
c. Keunikan. Batu Lapis, berbagai jenis Bambu Betung, Batu Keramat. Keong Hijau dan tanaman langka.
E. Aksesibilitas
belum ada angkutan umum tetapi sarana jalan sudah ada (Tim SHK Lestari, 2008).
F. Sosial Ekonomi Penduduk
Tahura Wan Abdul Rahman terletak di 7 wilayah kecamatan : Gedong Tataan, Kedondong, Padang Cermin, Way Lima, Teluk Betung Barat, Teluk Betung Utara dan Kemiling. Jumlah penduduk di 7 kecamatan sebanyak 121.553 dengan perbandingan pada tiap kecamatannya disajikan pada Gambar 6 (Tim SHK Lestari, 2008).
Kepadatan penduduk bervariasi mulai dari 500 jiwa per km2 sampai lebih dari 1000 jiwa per km2. Secara agraris kepadatan penduduk di sekitar kawasan bervariasi mulai dari < 4 orang per ha sampai > 10 orang per ha. Semakin tinggi tingkat kepadatan agraris menimbulkan dampak negatif terhadap kawasan Tahura WAR.
0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 J u m la h p e n d u d u k ( ji w a ) K em iling Te
luk B etu
ng U tara
Te luk B
etu ng B
arat P ad an g C erm in K ed on do ng W
ay L im a G ed on g T ata an Jum lah Kecamatan
[image:51.612.163.483.462.685.2]Perbandingan Jumlah Penduduk Kecamatan di Sekitar Tahura WAR
40
Tingkat pendidikan masyarakat di sekitar tahura pada umumnya Sekolah Dasar (SD) baik yang tamat atau tidak tamat 82 %. Tingkat pendidikan SLTP dan SLTA masing-masing hanya 10 % dan 4 % dan yang tidak sekolah 4 % (Gambar 7). Dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan di sekitar kawasan tahura masih tergolong rendah.
Kondisi tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi pola berfikir masyarakat, antara lain kemampuan dalam menerima berbagai program yang dikembangkan di tahura. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya penyuluhan dan pelatihan dalam pembinaan masyarakat secara intensif dan berkelanjutan. Transformasi budaya di beberapa tempat yang potensial dikembangkan pariwisata alam dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan peran serta masyarakat dengan pola kemitraan. Masyarakat perlu dijadikan sebagai aktor utama dalam pengelolaan wisata alam sehingga tumbuh rasa tanggung jawab.
Tidak Sekolah 4%
Sekolah Dasar Tidak Tamat
31%
Sekolah Dasar Tamat 51%
SLTP 10%
SLTA 4%
[image:52.612.191.449.458.644.2]Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa di Sekitar Tahura WAR
Mata pencaharian masyarakat pada umumnya petani (55%). Mereka bekerja di kebun, sawah ataupun di dalam hutan. Ketergantungan masyarakat dengan hutan sangat tinggi, hal ini ditunjukkan dengan
seringnya mereka masuk keluar hutan (Winarno, 2004). Mereka menggarap hutan untuk perladangan dengan tanaman campuran seperti palawija, coklat, kopi, petai, kemiri, jengkol, durian dan tanaman buah lainnya.
Peternakan (32 %) cukup banyak dilakukan oleh masyarakat sekitar. Mereka umumnya beternak ayam dan kambing. Pakan ternak diambil dari ladang mereka baik di lahan sendiri ataupun di kawasan hutan (UPTD Tahura WAR, 2006). Mata pencaharian lainnya disajikan pada Gambar 8.
Bidang Pertanian dan Tanaman Pangan
55%
Bidang Perkebunan/Perladangan
1% Peternakan
32%
Industri Rumah Tangga 1%
Jasa/karyawan/PNS/TNI 11%
[image:53.612.157.494.359.554.2]Distribusi Mata Pencaharian Masyarakat Desa di Sekitar Tahura WAR
Gambar 9. Distribusi Mata Pencaharian Masyarakat Sekitar Tahura (Tim SHK Lestari, 2008).
G. Kondisi Penutupan dan Penggunaan Lahan
42
campuran 12.306,97 ha (55%) dan semak belukar 252,80 ha (1 %). Kondisi ini menunjukkan bahwa Tahura WAR telah mengalami kerusakan yang segera diantisipasi. Areal yang bervegetasi hutan alam primer dan sekunder total hanya 39%. Penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 9.
Kerusakan tersebut disebabkan oleh banyaknya perambah hutan dan penggarapan lahan. Dalam penggarapan lahan mereka menggunakan api untuk mempercepat pembersihan lahan dari gulma seperti semak belukar atau alang-alang. Penggarapan tanah dilakukan dengan penggemburan tanah sehingga bila terjadi hujan akan mengakibatkan longsor dan banjir.
H. Pengelolaan
1. Tim Penguji
Ketua : Dr. Ir. Hj. Christine Wulandari, M.P. ________
Sekretaris : Rudi Hilmanto, S.Hut., M.Si. ________
Penguji
Bukan Pembimbing : Prof. Dr. Ir. H. Sugeng P. Harianto, M.S. ________
2. Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP. 19610826 198702 1 001
Judul Skripsi : STATUS HAK KELOLA TAMAN HUTAN RAYA
WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG
Nama Mahasiswa : Nanda Dwika
Nomor Pokok Mahasiswa : 0714081014
Program Studi : Kehutanan
Fakultas : Pertanian
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hj. Christine Wulandari, M.P. Rudi Hilmanto, S.Hut., M.Si.
NIP. 1964122619993032001 NIP. 197807242005011003
2. Ketua Jurusan Kehutanan
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 19 Januari 1990, anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Zulkarnain Zubir dan Ibu Edni Suhana. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) di TK Kartika II-2 Bandar Lampung (TK Persit) pada tahun 1995. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan pada tahun 2001 di SD Kartika II-5 Bandar Lampung (SD Persit). Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 9 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2004 dan kemudian
melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas yang diselesaikan pada tahun 2007 di SMA Negeri 9 Bandar Lampung. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Universitas Lampung Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian melalui jalur PKAB.
Pada tahun 2008 penulis dipercaya menjadi anggota Bidang Penelitian dan
SANWACANA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW selaku Rasul Allah SWT atas berkat beliaulah kita mendapat petunjuk kejalan yang lurus.
Skripsi dengan judul: “Status Hak Kelola Tahura Wan Abdul Rachman Lampung”adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Universitas Lampung.
Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan saran berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Hj. Christine Wulandari, M.P., selaku pembimbing utama penulis
atas bimbingan, arahan, dan motivasi hingga terselesaikannya skripsi ini. 2. Bapak Rudi Hilmanto, S.Hut,. M.Si., selaku pembimbing kedua penulis atas
bimbingan, kritik, dan saran yang telah diberikan hingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.
Penulis.
5. Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si., selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
6. Bapak dan Ibu Dosen serta Staf Administrasi Jurusan Kehutanan dan Fakultas Pertanian Unila.
7. Pak Saban (GKPPH) dan pak Agus (SHK Lestari) atas bimbingan dan bantuan selama penulis menyelesaikan penelitian.
8. Anggota kelompok GKPPH Sumber Agung dan SHK Lestari Desa Hurun atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan mereka semua yang telah diberikan untuk penulis. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Status kelola masyarakat di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman saat ini masih belum jelas karena belum memiliki izin resmi (secara tertulis) dalam pengelolaannya. Namun, pemerintah tetap mengizinkan
masyarakat yang telah lama bermukim untuk tetap mengelola kawasan Tahura dengan mengeluarkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
2. Konflik yang terjadi di Tahura WAR, baik di wilayah SHK Lestari maupun Sumber Agung meliputi ketidaktenangan masyarakat karena adanya pengusiran-pengusiran paksa di masa lalu, adanya tumpang tindih hak atas tanah karena masyarakat memiliki sertifikat tanah di kawasan Tahura. Konflik tata batas antara lahan masyarakat sekitar hutan dengan Tahura WAR karena adanya kesalahan dalam penentuan tata batas yang dilakukan oleh pihak pemerintah.