• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Kelembagaan Formal dalam Pengelolaan Lahan Agroforestri di Tahura Wan Abdul Rachman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Kelembagaan Formal dalam Pengelolaan Lahan Agroforestri di Tahura Wan Abdul Rachman"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN KELEMBAGAAN FORMAL

DALAM PENGELOLAAN LAHAN AGROFORESTRI

DI TAHURA WAN ABDUL RACHMAN

TRI MAYASARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perubahan Kelembagaan Formal dalam Pengelolaan Lahan Agroforestri di Tahura Wan Abdul Rachman adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

TRI MAYASARI. Perubahan Kelembagaan Formal dalam Pengelolaan Lahan Agroforestri di Tahura Wan Abdul Rachman. Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO dan NURHENI WIJAYANTO.

Tahura WAR mengalami perubahan kelembagaan formal yang awalnya berupa Hutan Lindung (sebelum tahun 1993), menjadi Tahura WAR (1993), penetapan Hutan Kemasyarakatan (1998), dan Perda Kolaboratif (2012). Perubahan kelembagaan ini menyebabkan perubahan property right dan perubahan perilaku. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan property right dan perilaku Masyarakat Sumber Agung terhadap perubahan kelembagaan formal yang ada di Tahura WAR. Perubahan pada property right dan perilaku ini berimplikasi terhadap kelestarian fungsi kawasan dan pengelolaan Tahura WAR yang dapat dilihat melalui komposisi jenis tanaman dan pendapatan petani pengelola lahan agroforestri.

Analisis yang digunakan adalah analisis kelembagaan, vegetasi dan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan hutan yang dilakukan bersama masyarakat dalam bentuk program HKm lebih berpengaruh positif terhadap keberlanjutan kelembagaan dibandingkan dengan tanpa HKm, sehingga Hkm memiliki potensi aksi kolektif yang lebih besar daripada tanpa HKm. HKm juga merupakan awal perubahan komposisi jenis dari sistem agroforestri yang ditanam Masyarakat Sumber Agung yang berdampak pada penghasilan masyarakat, sehingga kelembagaan ini memperbaiki hutan dengan adanya penanaman multi strata dan mencegah terjadinya perambahan lebih lanjut.

(5)

SUMMARY

TRI MAYASARI. The Changing of Formal Institution in Management Agroforestry Land at Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Supervised by BRAMASTO NUGROHO and NURHENI WIJAYANTO

Tahura WAR has been changed formally from Protected Forest (before 1993) become Tahura WAR (in 1993), then become Community Forestry (in 1998), and Collaborative Local Regulation (in 2012). These changing give impact to the property right and changing of behavior. This research aim to know the changing of property right and behaviour of Sumber Agung community against changing of the formal institution in Tahura WAR. The changing on property right and behaviour implicate to the sustainability of forest function and management of Tahura WAR which could be seen by composition of plants and income of the farmers who cultivate the agroforestri area.

This research analyze institution, vegetation, and income. The result show that forest management by community in Community Forestry Programme gives positive impact to the sustainability of institution rather than without it. Therefore Community Forestry has more potency of collective action rather than without it. HKm also the beginning of changing of plants composition from agroforestry system by Sumber Agung Community which bring impact to community income, so that, this institution improve the forest by multi-strata planting and prevent further encroachment.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

PERUBAHAN KELEMBAGAAN FORMAL

DALAM PENGELOLAAN LAHAN AGROFORESTRI

DI TAHURA WAN ABDUL RACHMAN

TRI MAYASARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Perubahan Kelembagaan Formal dalam Pengelolaan Lahan Agroforestri di Tahura Wan Abdul Rachman

Nama : Tri Mayasari NIM : E151120241

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Bramasto Nugroho, MS Ketua

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr Tatang Tiryana, S.Hut, MSc.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Perubahan Kelembagaan Formal dalam Pengelolaan Lahan Agroforestri di Tahura Wan Abdul Rachman. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS., dan Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan saran. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada

Prof. Dr. Ir Didik Suharjito, MS selaku penguji luar dalam ujian tesis dan Dr. Ir. Tatang Tiryana, M.Sc selaku ketua Program studi Ilmu Pengelolaan Hutan

(IPH), yang sudah banyak memberikan saran. Disamping itu, penghargaan yang sebesar-besarnya juga diberikan kepada teman-teman IPH yang sudah banyak memberikan dukungan moril dan saran yang membangun kepada penulis. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada ayah, ibu, suami, anak dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat banyak kekurangannya, baik dari segi penulisan maupun dari sumber pustakanya. Mudah-mudahan tesis ini bermanfaat bagi kita semua, amin.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 METODOLOGI PENELITIAN 6

Lokasi dan Waktu Penelitian 6

Jenis dan Sumber data 6

Data primer 6

Data sekunder 6

Metode Penelitian 6

Populasi dan Contoh 7

Pengukuran lapangan 9

Prosedur Analisis Data 10

Analisis deskriptif 10

Analisis vegetasi 11

Analisis pendapatan 11

3 GAMBARAN UMUM TAHURA WAR DAN PERUBAHAN KELEMBAGAAN 12

Tahura WAR 12

Hutan Kemasyarakatan 14

Pengelolaan Kolaboratif 15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Perubahan Property Right 16

Perubahan Perilaku 23

Komposisi Jenis dan Insentif Ekonomi dari Sistem Agroforestri Sebagai Bentuk Pengelolaan Tahura WAR 31

5 SIMPULAN DAN SARAN 35

Simpulan 35

Saran 35

DAFTAR PUSTAKA 36

LAMPIRAN 39

(12)

DAFTAR TABEL

1 Variabel, indikator dan metode analisis data 7 2 Data jumlah kepala keluarga dan luas garapan KPPH 8

3 Jumlah contoh 9

4 Luasan blok pengelolaan Tahura WAR 14

5 Property right Masyarakat Sumber Agung terhadap perubahan

kelembagaan formal di Tahura WAR 18

6 Perubahan property right Masyarakat Sumber Agung 19 7 Properti right dan status kepemilikan lahan Masyarakat Sumber

Agung terhadap kawasan hutan secara de jure dan de facto 21 8 Pengetahuan, persuasi, keputusan dan implementasi Masyarakat

Sumber Agung terhadap peraturan di Tahura WAR 25 9 Pemenuhan prinsip desain Ostrom pada setiap perubahan aturan

di Tahura WAR 27

10 Pembagian strata penguasaan lahan dan jumlah plot pengamatan 32 11 Jenis dan jumlah individu pada tiap strata dan tingkatan tajuk 33 12 Pendapatan petani tertinggi dan terendah dari tiap strata 34

DAFTAR GAMBAR

1 Perubahan kelembagaan formal di Tahura WAR 3

2 Plot lingkaran 9

3 Peta Tahura WAR 13

4 Susunan tajuk pohon: A. strata tajuk atas; B. strata tajuk tengah 33

5 Analisis vegetasi 39

6 Pembuatan plot lingkaran 39

7 Tajuk tengah 39

8 Tajuk atas 39

9 Wawancara 39

10 Pengisian data responden 39

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi pada saat pengambilan data di lapangan 39

2 Data analisis vegetasi 40

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 hutan dibagi menjadi tiga fungsi pokok yaitu hutan sebagai fungsi konservasi, hutan sebagai fungsi lindung dan hutan sebagai fungsi produksi. Hutan konservasi terdiri dari Kawasan Hutan Suaka Alam, Kawasan Hutan Pelestarian Alam dan Taman Buru (Kemenhut 1999). Kawasan Hutan Pelestarian Alam yang memiliki luas sekitar 26 juta hektar (Statistik Kehutanan Indonesia 2011) salah satunya terdiri dari kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) yaitu kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (Ditjen PHKA 2006). Indonesia memiliki dua puluh dua Tahura yang tersebar hampir di seluruh kepulauan kecuali Papua. Salah satu Tahura terdapat di Provinsi Lampung yaitu Tahura Wan Abdul Rachman (WAR) dengan luas 22,249.31 ha (UPTD Tahura WAR 2012). Kawasan ini ditetapkan sebagai Tahura Wan Abdul Rachman berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 742/Kpts-II/1992 tanggal 21 Juli 1992 (Kemenhut 2007) yang kemudian diperbaharui melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 408/Kpts-II/1993 tanggal 10 Agustus 1993.

Keputusan Residen Lampung pada tanggal 31 Maret 1941 Besluit No. 307 menghasilkan bahwa wilayah hutan Gunung Betung (Register 19) ditetapkan sebagai kawasan hutan yang dilindungi (UPTD Tahura WAR 2012). Secara administratif kawasan ini terletak di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Masyarakat mulai memasuki Kawasan hutan yang dilindungi ini sejak tahun 1941, kemudian disusul pada tahun 1962 penduduk etnis Jawa, Sunda, Banten, Semendo (Sumatera Selatan) yang memenuhi Kawasan Hutan Lindung Register 19 Gunung Betung (Juansyah dan Kurniadi 2011). Tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat mengakibatkan dikeluarkan pengumuman Kepala Kanwil Kehutanan Lampung Nomor 250/V/5 Tahun 1968 tentang izin tumpang sari. Kebutuhan ekonomi yang tinggi dan akibat dari reformasi, maka pada tahun 1998 Kementerian Kehutanan memberikan akses legal pengelolaan Tahura WAR dengan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 677/Kpts-II/1998 yang mengeluarkan izin sementara Hutan Kemasyarakatan (HKm) selama lima tahun kepada Gabungan Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (GKPPH) di Sumber Agung, Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung (Juansyah dan Kurniadi 2011).

(14)

2

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi dan meningkatnya kebutuhan ekonomi beberapa GKPPH masih bertahan yang salah satunya terdapat di Sumber Agung. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam menjadi dasar beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mendorong Pemerintah Daerah Provinsi Lampung agar segera menerbitkan peraturan tentang pengelolaan kolaboratif Tahura WAR. Sehingga pada tahun 2012 Pemerintah Daerah Provinsi Lampung mengeluarkan Perda Nomor 3 tentang Kolaborasi Pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahcman Provinsi Lampung.

Pengelolaan Tahura WAR yang dilakukan oleh GKPPH Sumber Agung menggunakan sistem agroforestri. Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan, kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar tanaman berkayu dan komponen lainnya (Huxley 1999). Pengelolaan hutan dengan sistem angroforestri ini tidak akan menyebabkan kerusakan pada penutup tanah apabila dapat dikelola dengan baik dan benar melalui pemberdayaan sumber daya manusia dan mengembangkan sistem kelembagaan yang sesuai (Suraji 2003).

Kelembagaan adalah aturan main yang mengatur hubungan antar manusia untuk menghambat munculnya perilaku oportunistik dan saling merugikan, sehingga perilaku manusia dalam memaksimumkan kesejahteraan individualnya lebih dapat diprediksi (Kasper dan Streit 1998). Menurut Syahyuti (2006) kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku yang hidup pada suatu kelompok orang yang merupakan sesuatu yang stabil, mantap dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial, tradisional, modern atau bisa berbentuk tradisional dan modern serta berfungsi mengefisienkan kehidupan sosial. Menurut Ostrom (1990) kelembagaan adalah aturan dan rambu-rambu yang digunakan sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota dari suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Tujuan kelembagaan menurut Ostrom (1990) adalah untuk mengarahkan perilaku individu menuju arah yang diinginkan oleh anggota masyarakat serta untuk meningkatkan kepastian dan keteraturan dalam masyarakat serta mengurangi perilaku oportunis.

(15)

3 perubahan perilaku masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Notoatmodjo (2010) bahwa perubahan perilaku masyarakat dapat melalui peraturan, perundangan, atau peraturan tertulis.

Perumusan Masalah

Kelembagaan menurut North (1990) terbagi menjadi dua, yaitu kelembagaan formal dan informal. Perubahan kelembagaan yang terjadi di Tahura WAR adalah perubahan kelembagaan formal. Kelembagaan formal adalah kelembagaan yang kelahirannya umumnya dirancang secara sengaja seperti perundang-undangan (konstitusi) yang dibuat oleh lembaga legislatif/pemerintah yang dapat berlangsung dalam kurun waktu 10 sampai 100 tahun (Williamson 2000). Gambaran perubahan yang terjadi di Tahura WAR dapat dilihat pada Gambar 1.

Tahura HKm Non HKm Pengelolaan Kolaboratif 1993 1998 2001 2012

Gambar 1 Perubahan kelembagaan formal di Tahura WAR

Perubahan kelembagaan formal dapat mengalami inersia kelembagaan informal (Kant dan Berry 2005). Inersia kelembagaan adalah kecenderungan penolakan perubahan yang terjadi yang dikarenakan adanya efek ketergantungan pada kelembagaan pada masa lalu. Hal ini seperti yang terjadi pada tahun 2001 ketika program HKm dicabut, namun GKPPH Sumber Agung tetap melakukan aktifitasnya dalam pemanfaatan hasil Tahura WAR. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah aktifitas masyarakat yang memanfaatkan Tahura WAR merupakan inersia kelembagaan atau masyarakat yang tidak mengetahui perubahan kelembagaan yang terjadi pada Tahura WAR?

Perubahan kelembagaan terdiri dari adanya penetapan kebijakan baru dan perubahan norma atau nilai-nilai atau struktur yang merupakan karakteristik kelembagaan (Peters 2000). Pada perumusan kebijakan baru dapat dilihat yaitu perubahan peraturan tentang pengelolaan Tahura WAR dari HKm (1998), non HKm (2001) dan Pengelolaan Kolaboratif (2012) yang nantinya diharapkan adanya perubahan di lapangan sesuai dengan yang diharapkan. Perubahan ini dapat dilihat dari aspek property right seperti yang diungkapkan oleh Posner (1992) bahwa perubahan kelembagaan disebabkan karena adanya upaya melindungi property right. Property right adalah hak yang dimiliki individu, masyarakat, negara atas suatu sumber daya untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindah tangankan atau untuk merusaknya. Menurut Schlager dan Ostrom (1992) hak kepemilikan memiliki ciri-ciri hak operasional (acces, withdrawal) dan tingkat pilihan bersama (management, exclusions, transfer). Pertanyaanya apakah perubahan kelembagaan formal yang terjadi di Tahura WAR merubah aspek property right masyarakat di Sumber Agung?

(16)

4

yaitu kelembagaan yang mengendalikan perilaku individu-individu dalam masyarakat dimana perubahan yang dimaksud lebih dipentingkan terhadap hasil akhir yang diakibatkannya (Kartodihardjo 2006). Misalnya perubahan kelembagaan dapat digambarkan oleh perubahan perilaku masyarakat yang menaati peraturan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Perubahan perilaku masyarakat merupakan respon dari suatu rangsangan. Menurut WHO dalam Notoatmodjo (2010) satu strategi yang dapat merubah suatu perilaku masyarakat adalah melalui peraturan, perundangan atau peraturan tertulis (law enforcement). Artinya Masyarakat Sumber Agung diharapkan dapat berperilaku sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam pengelolaan Tahura WAR. Namun apakah perubahan peraturan yang terjadi di Tahura WAR ini merubah perilaku masyarakat?. Perubahan perilaku ini dapat dilihat dalam tiga indikator yaitu pengetahuan, sikap, praktik dan tindakan (Notoatmodjo 2007). Sedangkan menurut Rogers (2003) proses adopsi inovasi (adopsi pada perubahan kelembagaan Tahura) memiliki lima tahap, yaitu: knowledge (pengetahuan), persuasion (persuasi), decision (keputusan), implementation (penerapan) dan confirmation (penegasan/pengesahan).

Tujuan pengelolaan hutan di Tahura yang dilakukan oleh GKPPH di Sumber Agung adalah mengembangkan sistem pengelolaan yang bertujuan pada kelestarian fungsi kawasan hutan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Hasil akhir dari perubahan kelembagaan dan kinerja GKPPH Sumber Agung sebagai perwujudan dari kelestarian fungsi kawasan dan pengelolaan yang berkelanjutan dapat dilihat dengan menggunakan salah satu pendekatan yaitu performance yang diadaptasi dari Muslim et al. (2008). Performance merupakan wujud yang sudah dikerjakan kelembagaan yang melibatkan partisipasi kelompok tani. Tampilan performance dapat menunjukkan tampilan kegiatan, output, manfaat yang diperoleh. Hal ini dapat dilihat dari aspek komposisi jenis dan pendapatan petani. Pendapatan petani ini digambarkan dalam keuntungan yang diperoleh dari memanfaatkan agroforestri. Sehingga timbul pertanyaan bagaimanakah komposisi agroforestri dan pendapatan petani dari hasil agroforestri sebagai bentuk performance dari kelembagaan yang berlaku di masyarakat?

Dengan demikian pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: 1 Apakah aktifitas masyarakat yang memanfaatkan Tahura WAR merupakan inersia kelembagaan atau masyarakat yang tidak mengetahui perubahan kelembagaan yang terjadi pada Tahura WAR?

2 Apakah perubahan kelembagaan formal yang terjadi di Tahura WAR merubah aspek property right masyarakat di Sumber Agung?

3 Apakah perubahan kelembagaan formal yang terjadi di Tahura WAR merubah perilaku masyarakat?

(17)

5

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui kebijakan apa yang diinginkan masyarakat dalam pengelolaan Tahura WAR yang diakibatkan oleh adanya perubahan peraturan yang terjadi, sehingga tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1 Menganalisis perubahan pada property right yang ditimbulkan akibat adanya perubahan kelembagaan formal yang terjadi di Tahura WAR.

2 Menganalisis perubahan perilaku Masyarakat Sumber Agung ditimbulkan akibat adanya perubahan kelembagaan formal yang terjadi di Tahura WAR . 3 Mengetahui komposisi jenis dan insentif ekonomi dari sistem Agroforestri

sebagai bentuk pengelolaan sumber daya di Tahura WAR.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memahami perubahan perilaku dan perubahan property right akibat dari perubahan peraturan yang terjadi. Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah Provinsi Lampung khususnya Dinas Kehutanan Provinsi Lampung sebagai bahan pembuatan kebijakan dengan pendekatan kelembagaan yang berguna dalam pengelolaan hutan berkelanjutan berbasis masyarakat di Tahura WAR.

Ruang Lingkup Penelitian

1 Penelitian dilakukan pada GKPPH di Sumber Agung.

2 Kelembagaan yang dimaksud adalah aturan, norma, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang berfungsi dalam pengelolaan agroforestri di Tahura WAR.

3 Kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan, kesepakatan, perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisnis, politik dan lain-lain. Kesepakatan-kesepakatan yang berlaku baik pada level internasional, nasional, regional maupun lokal termasuk ke dalam kelembagaan ini (North 1990).

4 Perubahan perilaku dilihat dari proses adopsi inovasi (adopsi pada perubahan kelembagaan Tahura) yang terdiri dari: knowledge (pengetahuan), persuasion (persuasi), decision (keputusan), implementation (penerapan) dan confirmation (penegasan/pengesahan).

5 Perubahan property right dilihat dari hak operasional (acces, withdrawal) dan tingkat pilihan bersama (management, exclusions, transfer).

(18)

6

2

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Kemiling, Provinsi Lampung pada Maret – April 2014.

Jenis dan Sumber Data

Data primer

Data primer diperoleh dengan pengambilan data langsung di lapangan. Pengambilan data perubahan property right dan perubahan perilaku dilakukan dengan wawancara terhadap GKPPH Sumber Agung, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, UPTD Tahura. Sedangkan untuk data tentang komposisi jenis didapat dengan analisis vegetasi di lapangan. Data primer yang dibutuhkan adalah data tentang:

1 Perubahan pada property right yang ditimbulkan dari perubahan kelembagaan formal yang terjadi di Tahura WAR.

2 Perubahan perilaku yang terjadi di GKPPH Sumber Agung sejak terjadinya perubahan kelembagaan formal yang terjadi di Tahura WAR.

3 Komposisi jenis dan insentif ekonomi dari sistem agroforestri sebagai bentuk pengelolaan sumber daya hutan Tahura WAR.

Data sekunder

Data sekunder diperoleh melalui studi literatur, seperti jurnal, buku, data base, internet, penelitian terdahulu dan data lain yang dibutuhkan dalam penelitian. Data sekunder yang dibutuhkan berupa:

1 Sejarah pengelolaan Tahura WAR

2 Sejarah perkembangan kawasan dan kondisi fisik Tahura WAR

3 Sejarah perkembangan, asal usul dan kondisi sosial Masyarakat Sumber Agung 4 Peraturan pengelolaan Tahura WAR.

Metode Penelitian

(19)

7 Wawancara yang digunakan untuk menggali informasi memiliki tujuan untuk menemukan masalah secara lebih terbuka (Sugiono 2010). Wawancara menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang berisi daftar pertanyaan yang bersifat terbuka atau jawaban bebas agar memperoleh jawaban yang lebih luas dan mendalam (Suyanto dan Sutinah 2011). Seiring yang diungkapkan oleh Notoatmodjo (2007) bahwa pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah lalu maupun sekarang. Variabel, indikator dan metode analisis data disajikan pada Tabel 1

Tabel 1 Variabel, indikator dan metode analisis data Variabel Indikator Pemecahan Masalah Metode

Perolehan Data Tahura WAR dari HKm (1998), non HKm (2001) dan Pengelolaan Kolaboratif (2012) dapat

dijelaskan dalam bentuk hak operasional (acces, withdrawal) maupun tingkat pilihan bersama (management, exclusions, transfer)

Wawancara

Perubahan perilaku yang terjadi di GKPPH Sumber Agung sejak

persuasion (persuasi), decision

(keputusan), implementation

- Komposisi jenis dari sistem agroforestri digambarkan

(20)

8

Sukawera, Umbul Kadu, Pemancar, Mata Air, Cirate. Jumlah populasi sebanyak 499 kepala keluarga dengan luas seluruh garapan 523 hektar, dengan rincian pada Tabel 2.

Tabel 2 Data jumlah kepala keluarga dan luas garapan KPPH No Nama KPPH Jumlah kepala keluarga Luas garapan (ha)

1 Tanjung Manis 133 152

2 Sukawera 88 103

3 Umbul Kadu 103 97

4 Pemancar 64 74

5 Mata Air 52 52

6 Cirate 59 45

Jumlah 499 523

Sumber: Data GKPPH 2010

Jumlah contoh dihitung berdasarkan rumus Slovin (1960) sebagai berikut:

n = N

1+Ne2

� = 499

1+499(10%)2

n = 83 KK Keterangan:

n = ukuran contoh

N = ukuran populasi

E (10%) = nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan

Setiap populasi dari KPPH memiliki jumlah yang berbeda, sehingga diperlukan penarikan contoh dari sub populasi dengan menggunakan rumus Walpole (1993) sebagai berikut:

ni = Ni x nN

Keterangan:

n = banyaknya contoh keseluruhan ni = banyaknya contoh ke-i

N = banyaknya populasi keseluruhan Ni = banyaknya populasi ke-i

(21)

9 Tabel 3 Jumlah contoh

No Nama KPPH Populasi Contoh

1 Tanjung Manis 133 22

2 Sukawera 88 14

3 Umbul Kadu 103 17

4 Pemancar 64 11

5 Mata Air 52 9

6 Cirate 59 10

Jumlah 499 83

Pengukuran Lapangan

Pengukuran lapangan digunakan untuk mengetahui komposisi jenis dari agroforestri dalam Kawasan Tahura. Pengukuran ini dilakukan dengan pembuatan plot lingkaran. Plot lingkaran dalam pengamatan fase pohon dibuat dengan jari-jari 17.85 m, fase tiang 11.28, fase pancang 7.94 dan fase semai 2.82 m (Permenhut No 33 Tahun 2009). Luasan yang tercakup dalam satu buah plot lingkaran adalah seluas 1000.47 m2. Pengambilan contoh dilakukan dengan membagi menjadi tiga strata berdasarkan luas kepemilikan lahan yang menurut Sajogyo (1978) strata pertama adalah petani yang memiliki luasan lahan yang paling luas. Intensitas sampling yang digunakan adalah 2.5%. Strata kepemilikan lahan dibagi menjadi: 1 Strata I adalah petani yang memiliki lahan 2.67 – 4 ha.

2 Stata II adalah petani yang memiliki lahan 1.34 – 2.66 ha. 3 Strata III adalah petani yang memiliki lahan < 1.33 ha.

Gambar 2 Plot Lingkaran

. Plot pengamatan fase

pohon (17.85 m)

Plot pengamatan

fase tiang (11.28 m) Plot pengamatan fase pancang (7.94 m)

Plot pengamatan fase semai (2.82 m)

(22)

10

Prosedur Analisis Data

Analisis data yang dilakukan pertama kali adalah analisis data sebelum memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau data sekunder yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian (Sugiyono 2010). Kemudian menyusun pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalam menggali informasi di lapangan.

Analisis deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan pada hasil wawancara GKPPH Sumber Agung yaitu meliputi perubahan property right dan perilaku. Perubahan pada property right dianalisis menurut Schlager dan Ostrom (1992) yaitu perubahan pada hak operasional (acces, withdrawal) dan tingkat pilihan bersama (management, exclusions, transfer).

1 Acces merupakan hak untuk memasuki suatu sumber daya, biasanya hak ini dimiliki oleh masyarakat yang berada di dekat sumber daya.

2 Withdrawal merupakan hak untuk mengambil sumber daya untuk dimanfaatkan bagi kebutuhan.

3 Management merupakan hak untuk membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya, biasanya otoritas ini dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat komunal yang didasarkan pada keputusan kolektif yang terdapat dua model pengaturan sumber daya hutan yakni pengaturan oleh manajemen pemerintah dan manajemen masyarakat lokal.

4 Exclusion merupakan hak untuk memutuskan siapa yang boleh masuk ke sumber daya tertentu dan siapa yang tidak boleh. Hak ini biasanya juga dimiliki oleh masyarakat lokal di sekitar sumber daya berada, namun lebih baik jika ada otoritas pemerintah yang memiliki kekuatan untuk memaksakan aturan terhadap pengguna.

5 Transfers merupakan hak untuk menjual, menyewakan, atau mewariskan sumber daya kepada pihak lain yang memerlukannya.

Perubahan perilaku dianalisis berdasarkan teori Rogers (2003) yaitu tentang proses keputusan adopsi inovasi. Adopsi adalah perilaku baru seseorang sesuai dengan latar belakang pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap rangsangan/stimulus (Rogers 2003). Inovasi yang dimaksud adalah peraturan yang ada di Tahura WAR. Proses adopsi inovasi menurut Rogers (2003) terdiri dari lima tahap, yaitu knowledge stage (tahap pengetahuan), persuasion stage (tahap persuasi), decision stage (tahap keputusan), implementation stage (tahap penerapan) dan confirmation stage (tahap penegasan/pengesahan), yang terjadi ketika adanya perubahan kelembagaan pada Tahura WAR:

1 Knowledge stage (tahap pengetahuan)

Pada tahap ini seseorang belajar tentang keberadaan suatu inovasi (peraturan yang ada di Tahura WAR) dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Tahapan ini terjadi pada saat seseorang menyadari adanya suatu inovasi. Pengertian menyadari dalam hal ini bukan memahami tetapi membuka diri untuk mengetahui inovasi.

(23)

11 Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi (peraturan yang ada di Tahura WAR). Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi, maka tahap ini berlangsung setelah knowledge stage dalam proses keputusan inovasi. Knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi.

3 Decision stage (tahap keputusan).

Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi (peraturan yang ada di Tahura WAR). Menerima inovasi berarti sepenuhnya akan menerapkan inovasi. Penolakan terhadap inovasi berarti tidak akan menerapkan inovasi.

4 Implementation stage (tahap implementasi)

Pada tahap ini sebuah inovasi (aturan yang ada di Tahura WAR) dicoba untuk dipraktekkan. Tahap implementasi dari proses keputusan inovasi terjadi apabila seseorang menerapkan inovasi. Keputusan penerima gagasan atau ide baru dibuktikan dalam praktek. Pada umumnya impelementasi tentu mengikuti hasil keputusan inovasi. Tetapi dapat juga terjadi karena sesuatu hal sudah memutuskan menerima inovasi tidak diikuti implementasi. Biasanya hal ini terjadi karena fasilitas penerapan yang tidak tersedia.

5 Confirmation stage (tahap konfirmasi)

Ketika keputusan inovasi sudah dibuat, maka pengguna akan mencari dukungan atas keputusannya ini. Pengguna dapat menarik kembali keputusannya jika memang diperoleh informasi yang bertentangan dengan informasi semula. Dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu.

Analisis vegetasi

Analisis vegetasi digunakan dalam menggambarkan komposisi jenis tanaman yang dikelola dengan sistem agroforestri yang disajikan secara deskripsi. Komposisi jenis dapat dilihat dari jumlah setiap jenis yang ada pada plot pengamatan dalam bentuk kualitatif secara stratifikasi. Stratifikasi adalah distribusi tetumbuhan dalam ruangan vertikal (Indriyanto 2006).

Analisis pendapatan

(24)

12

TR = P x Q

Keterangan:

TR = Pendapatan total P = Harga jual Q = Jumlah barang

Pd = TR – TC Keterangan:

Pd = Pendapatan bersih TR = Pendapatan total TC = Total biaya

3

GAMBARAN UMUM TAHURA WAR DAN PERUBAHAN

KELEMBAGAAN

Tahura WAR

Pada tahun 1991, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 67/Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang Rencana Penatagunaan Hutan Provinsi Lampung, kawasan hutan Register 19 Gunung Betung ditetapkan sebagai kawasan Hutan Lindung (UPTD Tahura WAR). Seiring dengan hal tersebut pada tahun 1993, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Lampung No. 10 tahun 1993 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) menetapkan kawasan hutan Register 19 Gunung Betung dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi Hutan Lindung (UPTD Tahura 2012). Hutan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan pemerintah sebagai Hutan Lindung yang memiliki fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan yaitu menjaga sistem tata air, mencegah erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah (UU No 41 Tahun 1999). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 67/Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang Rencana Penatagunaan Hutan Provinsi Lampung, Kawasan Hutan Register 19 Gunung Betung ditetapkan sebagai kawasan Hutan Lindung.

(25)

13 1. Mempertahankan contoh keterwakilan ekosistem dalam kondisi alami.

2. Mempertahankan keanekaragaman ekologi (ekosistem) flora dan fauna. 3. Melestarikan kondisi kawasan tangkap air (catchment area).

4. Mengendalikan erosi, sedimentesi, pencegahan banjir, tanah longsor dan pengawetan kesuburan tanah.

5. Menjaga kestabilan iklim mikro dan lingkungan kawasan hilir.

6. Menyediakan penelitian, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan pemanfaatan lingkungan.

7. Menunjang pengembangan budidaya tanaman pangan, obat-obatan, tanaman hias, hasil hutan bukan kayu.

8. Menyediakan pariwisata dan rekreasi alam.

9. Mendorong pemanfaatan nasional dan berkelanjutan dari kawasan regional dan pembangunan kelurahanan.

Berdasarkan administrasi pemerintahan kawasan ini berada di wilayah Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Peta Tahura WAR dapat dilihat pada Gambar 3

Gambar 3 Peta Tahura WAR

Pengelolaan Tahura WAR dilakukan dengan membagi blok pengelolaan. Luasan blok-blok pengelolaan Tahura WAR disajikan pada Tabel 4.

(26)

14

Tabel 4 Luasan blok pengelolaan Tahura WAR

Blok pengelolaan Luas (ha) Persentase (%) Blok pemanfaatan/wisata alam 1,073.61 4.83

Blok koleksi 841.56 3.78

Blok perlindungan 13,049.01 58.65

Blok lainnya:

a. Blok pendidikan dan penelitian 549.76 2.47

b. Blok sosial forestry 6,735.37 30.27

jumlah 22,249.31 100.00

Sumber: UPTD Tahura WAR (2012)

Vegetasi kawasan hutan Tahura Wan Abdul Rachman dibedakan berdasarkan kondisi penutupan lahan yang ada, terdiri dari (UPTD Tahura 2012) : 1. Vegetasi hutan primer

Vegetasi hutan primer di kawasan ini pada umumnya terdapat di daerah-daerah perbukitan dan pegunungan, yaitu daerah sekitar puncak Gunung Betung, Gunung Tangkit Ulu Padang Ratu dan Gunung Pesawaran, mencakup bagian kawasan seluas ± 8,200 ha (37 %)

2. Vegetasi hutan sekunder

Vegetasi hutan sekunder terdapat pada bagian kawasan yang telah mengalami gangguan, terutama akibat pencurian kayu dan penebangan liar, kemudian berangsur mengalami suksesi alam menjadi hutan sekunder. Bagian kawasan Tahura yang ditutupi vegetasi hutan sekunder ini seluas ± 4,200 ha (19%) 3. Semak belukar dan alang-alang

Semak belukar dan alang-alang merupakan bagian kawasan hutan bekas areal perambahan yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat penggarap. Vegertasi semak belukar ini pada umumnya dijumpai pada daerah kawasan yang bergelombang dan lereng perbukitan di bagian selatan dan utara kawasan. Vegetasi semak belukar bagian seluas ± 4,000 ha (18 %).

4. Kebun dan tanaman pertanian

Kebun dan tanaman pertanian di dalam kawasan Tahura merupakan areal kawasan yang dirambah oleh masyarakat dan dijadikan lahan usaha pertanian, tanaman semusim dan pemeliharaan tanaman komoditas perkebunan seperti ; kopi, cokelat dan tanaman buah-buahan. Bagian kawasan yang dijadikan lahan usaha pertanian ini mencakup kawasan ± 5,200 ha (24 %).

Hutan Kemasyarakatan

(27)

15 dalam dan/atau di sekitar hutan, yang bermukim di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang memiliki komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan. Prinsip-prinsip HKm adalah (Permenhut No 37 Tahun 2007): 1. Tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan.

2. Pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan penanaman.

3. Mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya. 4. Membangun dan mengembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa. 5. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan.

6. Memerankan masyarakat sebagai pelaku utama. 7. Adanya kepastian hukum.

8. Transparansi dan akuntabilitas publik. 9. Partisipatif dalam pengambilan keputusan.

Tahuran WAR merupakan salah satu kawasan yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis masyarakat. Banyaknya penduduk yang begantung pada kawasan ini menyebabkan pada tahun 1998, Kementerian Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 677/Kpts-II/1998 yang mengeluarkan izin sementara Hutan Kemasyarakatan (HKm) selama lima tahun kepada kelompok HKm Talang Mulya Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan, dan kelompok HKm Sumber Agung Kecamatan Kemiling Kota Bandar Lampung (Juansyah dan Kurniadi 2011). Namun pada tahun 2001 akses legal pemanfaatan Kawasan Konservasi Tahura WAR dalam program HKm ini dicabut karena dinilai bertentangan dengan undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pengelolaan Kolaboratif

(28)

16

Pendidikan /Lembaga Ilmiah. Peran serta para pihak adalah kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh para pihak yang timbul atas minat, kepedulian, kehendak dan atas keinginan sendiri untuk bertindak dan membantu dalam mendukung pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Permenhut nomor 19 tahun 2004)

Kolaborasi pengelolaan Tahura adalah pelaksanaan kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam kawasan Tahura guna meningkatkan evektifitas pengelolaan Tahura secara bersamaan dan bersinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama. Para pihak adalah semua pihak yang mempunyai kewajiban, minat, kepedulian atau kepentingan dengan upaya konservasi Tahura, antara lain terdiri dari Lembaga Pemerintah Pusat, Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) Provinsi Lampung, ataupun kabupaten/kota yang ada di Provinsi Lampung baik yang mempunyai tugas di bidang kehutanan serta SKPD yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kehutanan, DPRD Provinsi Lampung, masyarakat sekitar Tahura maupun yang mengelola Tahura, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), BUMD, BUD, Swasta Nasional, perorangan maupun masyarakat internasional, Perguruaan Tinggi, Lembaga Pendidikan maupun lembaga ilmiah lainnya (Perda Provinsi Lampung nomor 3 Tahun 2012).

Tujuan kolaborasi pengelolaan Tahura adalah:

1 Sebagai dasar pengambilan kebijakan guna mengembalikan fungsi Tahura. 2 Sebagai dasar untuk melakukan proteksi (perlindungan, pengawasan dan

pengamanan) ancaman terhadap perambahan hutan dan pelibatan para pihak dalam upaya pemulihan kawasan Tahura.

3 Sebagai dasar untuk menyelesaikan permasalahan yang sering terjadi di kawasan Tahura dan memberikan kepastian hukum terhadap hak kelola masyarakat penggarap di kawasan Tahura.

Sasaran kolaborasi pengelolaan Tahura adalah:

1 Terjaganya keutuhan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta mempercepat pemulihan tutupan lahan di kawasan Tahura.

2 Terwujudnya peningkatan manfaat ekonomi jangka panjang bagi masyarakat sekitar Tahura.

3 Terwujudnya rencana dan kesepakatan multi pihak dalam pengelolaan Tahura. 4 Sebagai dasar pengelolaan yang efektif.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Property Right

(29)

17 Menurut Ostrom (1990), kelembagaan diartikan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya. Kelembagaan selalu berubah tergantung dari perkembangan suatu masyarakat. North (1990) mengemukakan bahwa jika para aktor merasakan kelembagaan yang berlaku sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan atau kondisi lingkungan yang ada, maka ia akan berusaha melakukan perubahan kelembagaan agar lebih akomodatif terhadap lingkungan yang baru. Analisis perubahan kelembagaan menurut Schmid (2004) adalah tentang suatu proses pembelajaran yang dikombinasikan dengan mengganti suatu peraturan untuk membuat aturan yang baru.

Perubahan peraturan dalam pengelolaan Tahura WAR oleh pemerintah merupakan perubahan kelembagaan formal. Kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan, kesepakatan, perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisnis, politik, maupun kesepakatan yang berlaku baik pada level internasional, nasional, regional maupun lokal (North 1990). Seperti yang terjadi pada Tahura WAR, Hutan Lindung Gunung Betung mengalami perubahan status menjadi Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman pada tahun 1993, kemudian diberlakukannya kebijakan HKm pada tahun 1998, pencabutan HKm pada tahun 2001, dan adanya Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2012 tentang Pengelolaan Kolaboratif Tahura WAR.

Perubahan kelembagaan merubah aturan main. Seringkali upaya perubahan kelembagaan yang berupa aturan main tidak diikuti oleh pembaharuan filosofi dan kerangka pikir yang digunakan sehingga walaupun peraturan bertambah, lembaga berubah, tapi tidak mengubah kinerja di lapangan (Kartodihardjo 2006). Perubahan kelembagaan dapat dilihat dari aspek property right seperti yang diungkapkan oleh Posner (1992) bahwa perubahan kelembagaan disebabkan karena adanya upaya melindungi property right. Property right adalah hak yang dimiliki individu, masyarakat, negara atas suatu sumber daya untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindah tangankan atau untuk merusaknya. Menurut Schlager dan Ostrom (1992) hak kepemilikan memiliki ciri-ciri hak operasional (acces, withdrawal) dan tingkat pilihan bersama (management, exclusions, transfer).

Hak akses (acces) merupakan hak untuk memasuki suatu sumber daya, biasanya hak ini dimiliki oleh masyarakat yang berada di dekat sumber daya (Schlager dan Ostrom 1992). Masyarakat Sumber Agung adalah masyarakat yang bermukim di wilayah sekitar Tahura WAR yang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan hasil hutan. Perubahan hak akses Masyarakat Sumber Agung untuk memasuki Kawasan Tahura WAR dilihat dari sebelum tahun 1992 sampai dengan penelitian ini dilaksanakan yaitu pada tahun 2014. Pada saat status kawasan masih Hutan Lindung, diketahui 69 % responden menggunakan hak akses mereka untuk memasuki kawasan hutan, baik hanya sebagai pejalan kaki atau mengambil hasil hutan (tanpa mengelola).

(30)

18

Tahura WAR yaitu sekitar 78.3 % dari total responden yang berdasarkan wawancara, mereka melakukannya dengan sembunyi-sembunyi dari petugas Dinas Kehutanan. Masyarakat melakukan hal tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup utama yang berasal dari pengelolaan lahan hutan. Kelemahan yang sering dijumpai dalam introduksi kelembagaan baru adalah pendekatan yang terburu-buru yang kurang didasarkan pada kebutuhan masyarakat lokal (Suradisastra 2008). Pada tahun 1998 ketika diberlakukannya HKm yang merupakan akses legal pemanfaatan Tahura WAR, hak akses dari responden terhadap Tahura WAR meningkat menjadi 100 % baik sebagai pemanfaat ataupun pengelola lahan di Tahura WAR. Akses terhadap Tahura WAR oleh Masyarakat Sumber Agung tetap berlanjut walaupun izin HKm telah dicabut pada tahun 2001. Secara de jure akses masyarakat terhadap Tahura adalah legal dengan syarat untuk kepentingan pariwisata alam dan rekreasi, pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, menunjang budidaya dan budaya. Property right Masyarakat Sumber Agung terhadap Tahura WAR selama terjadinya perubahan kelembagaan formal disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Property right Masyarakat Sumber Agung terhadap perubahan kelembagaan formal di Tahura WAR

Hak pemanfaatan (withdrawal) merupakan hak untuk mengambil sumber daya untuk dimanfaatkan bagi kebutuhan (Schlager dan Ostrom 1992). Pemanfaatan kawasan yang dilakukan oleh Masyarakat Sumber Agung berupa pemanfaatan atau pengambilan hasil hutan kayu dan non kayu. Hasil hutan kayu yang dimanfaatkan berupa kayu bakar. Masyarakat Sumber Agung tidak melakukan penebangan pohon. Hal ini karena adanya kesepakatan yang telah dibuat oleh masyarakat dan Dinas Kehutanan untuk tidak melakukan. Hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan berupa buah-buahan, kulit kayu, maupun getah.

(31)

19 Sumber Agung yang memanfaatkan kawasan. Status kawasan yang meningkat menjadi Tahura WAR tidak mempengaruhi persentase responden yang memanfaatkan kawasan, yaitu sekitar 78.3%. Pemanfaatan kawasan tersebut bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1990 yaitu Tahura WAR merupakan kawasan konservasi yang di dalamnya diperuntukkan untuk perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari sumber daya alam dan ekosistemnya.

Pada tahun 1998 Kementerian Kehutanan yang diprakarsai oleh Dinas Kehutanan dan peneliti agroforestri dari Universitas Indonesia, mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 677/Kpts-II/1998 yang mengeluarkan izin sementara Hutan Kemasyarakatan (HKm) selama lima tahun kepada Gabungan Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (GKPPH) di Sumber Agung. HKm Sumber Agung merupakan HKm yang ada pertama kali di Indonesia. Akses legal pengelolaan Tahura WAR yang berupa HKm ini memberikan kesempatan yang besar kepada masyarakat dalam pemanfaatan kawasan Tahura WAR walaupun dalam kenyataanya kebijakan ini bertetangan dengan UU Konservasi. Hkm meningkatkan pemanfaatan kawasan oleh responden menjadi 100%. Perubahan pada property right disajikan pada Tabel 6

Tabel 6 Perubahan property right Masyarakat Sumber Agung Hak Manajemen Pemerintah Pemerintah Pemerintah dan

GKPPH Sumber

Ekslusi Pemerintah Pemerintah Pemerintah dan GKPPH Sumber

(32)

20

Hak manajemen (management) merupakan hak untuk membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya, biasanya otoritas ini dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat komunal yang didasarkan pada keputusan kolektif yang terdapat dua model pengaturan sumber daya hutan yakni pengaturan oleh manajemen pemerintah dan manajemen masyarakat lokal (Schlager dan Ostrom 1992). Hak manajemen pada Hutan Lindung dan Tahura dimiliki oleh pemerintah seutuhnya, dalam pelaksanannya di lapangan sebagian masyarakat memiliki hak tersebut, walaupun hal ini dilakukan secara ilegal. Pada saat Hutan Lindung maupun Tahura, masyarakat telah melakukan pengelolaan, walaupun sebagian besar dari mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi dari petugas. Ketika ditetapkannya HKm, pemerintah mengizinkan secara resmi anggota GKPPH untuk melakukan garapan di lahan Tahura WAR. Pemerintah juga mengatur komposisi tanaman yang harus di Tanam di Tahura WAR yaitu berupa Multy Purpose Tress Species (MPTS) sebanyak 70% dan 30% tanaman berkayu, namun pemerintah tidak menentukan jenis-jenisnya kecuali tanaman reboisasi yang salah satunya adalah tanaman sengon (Paraserianthes falcataria).

Hak manajemen juga dimiliki masyarakat ketika ditetapkannya program HKm. Masyarakat berhak menentukan siapa yang boleh menggunakan lahan garapan di Tahura WAR. Pengambilan keputusan untuk pengelolaan lahan di Tahura WAR dilakukan oleh GKPPH dalam musyawarah kelompok. Masyarakat memutuskan sendiri jenis tanaman yang ditanam yaitu tanaman yang dapat diambil langsung hasilnya berupa cokelat, karet, kopi, tanaman buah berkayu. Jumlah luasan lahan tiap orang tidak sama, hal ini terjadi karena dahulu orang yang membuka lahan pertama kali di Tahura menentukan luas lahan sendiri sesuai kemampuan pribadi untuk membuka kawasan hutan. Hal ini mengakibatkan tidak meratanya hasil yang diperoleh petani. Seperti penelitian yang dilakukan El (2009) bahwa sistem agoforestri yang diterapkan Dusun Negeri Liang memiliki aturan adat yang mengatur status penguasaan lahan/kepemilikan lahan maupun mengelola jenis-jenis tanaman tertentu yang diusahakan. Menurut El (2009), hal ini dilakukan sebagai salah satu bentuk tradisi masyarakat dalam menata kehidupan bermasyarakat, termasuk upaya untuk mengatur pemerataan pembagian atau pendapatan hasil dari pada sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga penduduk setempat.

(33)

21 Pada saat penetapan HKm, masyarakat secara legal memiliki hak untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak untuk mengelola Tahura WAR. Ketika HKm dicabut secara de jure, masyarakat tidak boleh mengelola Tahura WAR, namun secara de facto hal ini tetap dilakukan. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan Dinas Kehutanan membuat program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Program PHBM merupakan program yang sama dengan HKm, namun penetapannya dilakukan oleh Pemda. Secara de jure dan de facto, property right Masyarakat Sumber Agung terhadap kawasan hutan dapat dilihat pada Tabel 7

Pada saat status kawasan masih Hutan Lindung, secara de jure masyarakat memiliki hak akses dan hak pemanfaatan. Menurut Schlager dan Ostrom (1992) status masyarakat terhadap kawasan adalah sebagai pemanfaat hutan yang tidak bisa mengklaim kepemilikan atas sumber daya. Peningkatan status kawasan menjadi Tahura WAR, membuat masyarakat hanya sebagai pengunjung yang mendapat hak akses saja. Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa HKm merupakan aturan yang melegalkan pengelolaan lahan yang ada di Tahura WAR. Penetapan HKm secara de jure membuat masyarakat sebagai pengelola tetap yang memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan dan hak ekslusi, meskipun tidak memiliki hak pengalihan. Pada saat pencabutan Hkm dan diterbitkannya Perda Kolaboratif, property right Masyarakat Sumber Agung tidak berubah. Masyarakat tetap melakukan pemanfaatan kawasan Tahura WAR walaupun menurut Schlager dan Ostrom (1992) status masyarakat seara de jure sebagai pengunjung yang memiliki hak akses saja. Perda Kolaboratif memiliki status yang sama dengan HKm secara hak kepemilikan dan juga legalitas dalam pengelolaan Tahura WAR, namun kurang direspon oleh masyarakat karena sampai saat ini belum terlaksana. Pelaksanaan Kolaborasi pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam yang merupakan legalitas pengelolaan kawasan konservasi telah dilakukan di Indonesia salah satunya berada di Taman Tasional Kutai (Falah 2012).

Secara de facto status kepemilikan lahan masyarakat terhadap Tahura WAR adalah sebagai pemilik, hal ini karena masyarakat memiliki semua hak kepemilikan termasuk hak transfer (Schlager dan Ostrom 1992). Hal tersebut terjadi karena diduga Tabel 7 Property right dan status kepemilikan lahan Masyarakat Sumber Agung terhadap kawasan hutan secara de jure dan de facto

Pemanfaat pemilik pengunjung pemilik Pengelola

tetap pemilik pengunjung pemilik

Pengelola

(34)

22

adanya kegagalan klaim pemerintah terhadap Kawasan Tahura WAR. Menurut Ostrom dan Schlager (1996) yang mengacu pandangan Panayotou dan Ashton hal tersebut terjadi disebabkan oleh lima hal, yakni: 1. Areal yang ditransfer menjadi kepemilikan negara terlalu luas; 2. Kegagalan dalam memahami dan mengakomodasi keragaman hak individu dan masyarakat terhadap hutan; 3. Keterbatasan anggaran dan administrasi, teknik, kapasitas penegakan klaim pemerintah; 4. Tekanan pertambahan penduduk; dan 5. Kegagalan pengembangan wilayah dalam menyediakan alternatif pekerjaan dan kesempatan berusaha.

Transfer lahan terjadi karena pengelolaan Tahura WAR dilakukan oleh masyarakat dalam waktu yang relatif lama. Masyarakat terdahulu yang mengelola merasa telah merasa memiliki lahan yang dikelolanya, sehingga mereka selalu mewariskan kepada anak atau sanak saudaranya dan juga menjual atau membeli lahan garapan kepada pihak lain. Peraturan bersama Mendagri, Menhut, Men PU dan Kepala BPN No: 79 Tahun 2014, No: PB.3/Menhut-11/2014, No: 17/PRT/M/2014, No: 8/SKB/X/2014 menyebutkan bahwa bahwa, masyarakat hukum adat yang sudah menguasai dan menggunakan bidang tanah dalam kawasan hutan dengan minimal waktu pengelolaan 20 tahun dapat diberikan hak atas tanah oleh negara dengan syarat tertentu, namun apabila syarat tidak terpenuhi maka kawasan hutan dapat dikelola melalui pola pemberdayaan masyarakat dalam/sekitar hutan (Kemendagri, Kemenhut, Kemen PU, BPN 2014) .

Hak pengalihan (transfers) merupakan hak untuk menjual, menyewakan, atau mewariskan sumber daya kepada pihak lain yang memerlukannya (Schlager dan Ostrom 1992). Peraturan yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan melarang dilakukan transfer dalam pengelolaan lahan di Tahura WAR, baik menjual, menyewakan, atau mewariskan. Namun dalam kenyataanya hal ini berjalan sangat bebas di Tahura WAR, sebagian besar anggota GKPPH mendapatkan lahan garapan dari warisan orang tua, bahkan ada yang membeli lahan garapan. Pembelian lahan garapan dilihat dari komoditi yang berada pada lahan tersebut, namun status lahan tetap milik negara, hanya penggarap saja yang berbeda. Berdasarkan wawancara diperoleh data 59 orang mendapatkan lahan garapan dari warisan orang tua, 18 orang mendapatkan lahan garapan dengan membeli, 1 orang menyewa, dan 5 orang mendapatkan lahan garapan dengan cara membeli dan warisan dari orang tua.

Hak pengalihan terjadi karena pengelolaan Tahura WAR dilakukan oleh masyarakat dalam waktu yang relatif lama. sehingga mereka selalu mewariskan kepada anak atau sanak saudaranya dan ada juga yang menjual atau membeli lahan garapan kepada pihak lain. Mereka sadar lahan yang dikelola adalah milik negara, sehingga dalam menentukan harga berdasarkan jenis komoditi yang ditanam. Penetapan luas lahan tidak diatur oleh pemerintah. Namun pemerintah memberi kepercayaan kepada kelompok yang mengelola dengan disertai laporan perkembanganya.

(35)

23 2001 ketika program HKm dicabut, namun GKPPH Sumber Agung tetap melakukan aktifitasnya dalam pemanfaatan hasil Tahura WAR. Introduksi kelembagaan formal yang terjadi di Tahura WAR menunjukkan tidak adanya proses institusionalisasi atau proses melembaganya kelembagaan formal tersebut (Kartodihardjo 2006) yang dibuktikan dengan tidak adanya perubahan di lapangan.

Proses institusionalisasi terjadi pada kelembagaan lokal masyarakat, dimana Masyarakat Sumber Agung memiliki struktur organisasi dan aturan yang terorganisir dengan baik sehingga di patuhi oleh setiap anggotanya. Hal ini juga menyebabkan introduksi kelembagaan formal yang baru tidak merubah aturan yang ada dalam lembaga lokal masyarakat. Samuel Hutington dalam Peters (2000) menetapkan empat kriteria terjadinya proses institusionalisasi, yaitu adanya kemampuan lembaga untuk:

1. Membuat dan menjalankan keputusan-keputusan yang dibuatnya. Masyarakat Sumber Agung yang tergabung dengan GKPPH memiliku aturan yang di buat secara bersama-sama dalam musyawarah kelompok untuk pengelolaan lahan agroforestri di Tahura WAR. Mereka berkomitmen untuk menjalankan semua aturan yang telah di buat. Penerapan dari komitmen itu adalah adanya penegakan sanksi dan laporan yang dibuat kepada dinas terkait sebagai bukti dari penegakan aturan di lapangan.

2. Membentuk struktur di dalam dirinya sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, seperti anggota GKPPH mengelola lahan agroforestri di Tahura WAR dengan menanami tanaman MPTS dan multi strata. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan fungsi ekologis kawasan dan memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat.

3. Mengelola aktivitas dan mengembangkan prosedur sehingga tugas-tugasnya selesai tepat pada waktunya.

4. Beradaptasi terhadap lingkungannya.

Perubahan Perilaku

Perilaku manusia adalah merupakan aktifitas dari manusia itu sendiri yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung (Notoatmodjo 2007). Perubahan perilaku masyarakat merupakan respon dari suatu rangsangan. Menurut WHO dalam Notoatmodjo (2010) satu strategi yang dapat merubah suatu perilaku masyarakat adalah melalui peraturan, perundangan atau peraturan tertulis (law enforcement). Perubahan perilaku yang terjadi dalam Masyarakat Sumber Agung dilihat dari perubahan peraturan yang terjadi di Tahura WAR.Perubahanperilaku dapat dilihat dari aspek pengetahuan, persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi (Rogers 2003).

(36)

24

Sumber Agung tentang perubahan peraturan yang terjadi di Tahura WAR dilihat dari tahun 1993 ketika kawasan Hutan Lindung ditetapkan sebagai Tahura WAR dan sampai saat ditetapkannya Perda Pengelolaan Kolaboratif yaitu tahun 2012.

Masyarakat Sumber Agung yang mengetahui tentang penetapan Tahura WAR pada tahun 1992 sebanyak 74.70%, sisanya sebanyak 25.30% tidak mengetahui penetapan Tahura WAR maupun apa itu yang dimaksud dengan Kawasan Tahura WAR. Masyarakat yang tidak mengetahui Kawasan Tahura WAR, masih menganggap bahwa kawasan tersebut adalah Hutan Lindung yang bisa dikelola secara bebas, bahkan sebagian dari mereka ada yang mengetahui bahwa kawasan tersebut adalah Kawasan Tahura WAR, namun tidak mengetahui aturan yang berlaku di kawasan konservasi tersebut. Mereka tetap menganggap bahwa kawasan konservasi tetap dikelola secara bebas. Berdasarkan hasil pengamatan responden yang tidak mengetahui hal ini adalah responden yang telah berusia lanjut. Pada saat adanya penetapan HKm tahun 1998, pengetahuan Masyarakat Sumber Agung tentang perubahan peraturan ini meningkat menjadi 95.18 %, hanya 4.82 % responden saja yang tidak mengetahui adanya penetapan HKm. Pengetahuan responden yang meningkat pada saat penerapan HKm diduga karena penetapan HKm dinilai menguntungkan Masyarakat Sumber Agung dari segi legalitas pengelolaan. Menurut Masyarakat Sumber Agung dengan ditetapkannya HKm mereka dapat dengan bebas mengelola dan memanfaatkan lahan di dalam Kawasan Tahura WAR.

Masyarakat Sumber Agung yang mengetahui pencabutan HKm pada tahun 2001 dan Perda Pengelolaan Kolaboratif pada tahun 2012 menurun, masing-masing 25% dan 8.4% responden. Berdasarkan hasil analisis wawancara di lapangan diketahui bahwa penyampaian informasi tentang perubahan peraturan yang ada di Tahura WAR oleh Dinas Kehutanan tidak sampai merata kepada seluruh anggota kelompok tani. Kadir et al. (2013) dan Iskandar et al. (2013) bahwa salah satu faktor yang yang menjadi lambatnya implementasi suatu aturan adalah kurangnya penyampaian informasi kepada masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan yang mengefektifkan penyampaian informasi hanya pada ketua kelompok tani dan sebagian kecil anggota kelompok tani yang hadir. Komunikasi yang baik terjadi jika semua pihak memahami dan menerima dan memiliki kesempatan yang sama dalam menerima komunikasi (Ningsih 2008). Namun hal ini tidak terjadi pada semua Masyarakat Kelurahan Sumber Agung karena pada setiap pertemuan banyak anggota kelompok tani yang tidak menghadiri disebabkan adanya pekerjaan sampingan antara lain bertani, ternak, jualan, maupun kerja bangunan.

(37)

25 51.81 % responden yang merespon negatif terhadap penerapan Tahura WAR pada tahun 1992. Berdasarkan wawancara hal ini terjadi karena masyarakat berpendapat bahwa ketika kawasan Hutan Lindung ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi, maka mereka tidak dapat mengelolanya.

Sikap postif ditunjukkan sangat besar oleh responden yaitu sekitar 96.39% ketika ada penerapan HKm. Hal ini tentu direspon sangat baik karena HKm membuat Masyarakat Sumber Agung tidak harus sembunyi-sembunyi lagi dalam menggarap lahan di Tahura WAR. Namun sikap positif ini tidak berlanjut dalam perubahan peraturan selanjutnya, yaitu pada pencabutan HKm tahun 2001 dan Pengelolaan kolaboratif tahun 2012. Masyarakat Sumber Agung menilai pencabutan HKm tidak menguntungkan mereka, karena mereka tidak bisa mengelola Tahura WAR kembali. Sehingga ketika pencabutan HKm diberlakukan sikap mereka negatif dalam menanggapinya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Simanjuntak (2003) respon masyarakat negatif terhadap kelembagaan yang dikembangkan pengusahaan hutan karena kurang memperhatikan property right.

Pada tahap keputusan, individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak peraturan yang ada di Tahura WAR. Menerima perubahan peraturan yang ada di Tahura WAR berarti sepenuhnya akan menerapkanya, begitu juga sebaliknya apabila masyarakat menolaknya (Rogers 2003). Sebanyak 56.63 % responden menolak terhadap perubahan status Hutan Lindung menjadi Tahura WAR. Mereka beralasan bahwa perubahan status dari Hutan Lindung menjadi Tahura WAR akan menghambat akses mereka memasuki kawasan hutan. Penetapan HKm di Tahura WAR diterima responden sebanyak 95.18 % dan ada 4.82 % yang menolak adanya HKm di Tahura, sebenarnya bukan menolak peraturan HKm yang ada di Tahura, tetapi lebih tepatnya mereka berpendapat bahwa apapun peraturannya mereka tetap bisa mengelola lahan di Tahura WAR. Semua responden menolak adanya pencabutan HKm, karena HKm dinilai merupakan sistem yang tepat dalam mensinergikan antara hutan dengan masyarakat sekitar hutan. Pengetahuan, persuasi, keputusan dan implementasi Masyarakat Sumber Agung terhadap peraturan di Tahura WAR dapat dilihat pada Tabel 8

Tabel 8 Pengetahuan, persuasi, keputusan dan implementasi Masyarakat Sumber Agung terhadap peraturan di Tahura WAR

Satuan Tahura HKm Pencabutan HKm

Pengelolaan Kolaboratif

pengetahuan tahu tidak

tahu tahu

persuasi positif negatif positif negatif positif negatif positif negatif Orang 40 43 80 3 1 82 4 79 % 48.19 51.81 96.39 3.61 1.2 98,80 4.82 95.18 Keputusan menerima menolak menerima menolak menerima menolak Menerima menolak Orang 36 47 79 4 0 83 2 81 % 43.37 56.63 95.18 4.82 0 100 2.41 97.59

(38)

26

Sebanyak 2.41 % responden yang menerima perda kolaboratif, sisanya 97.59 % yang menolak perda kolaboratif. Sebagian besar masyarakat menolak perda kolaboratif dikarenakan mereka telah nyaman dengan pengelolaan Tahura WAR, karena sejak dicabutnya HKm, Dinas Kehutanan melalui UPTD Tahura WAR tetap melakukan pembinaan terhadap kelompok tani dengan mengembangkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Program PHBM ini merupakan program lanjutan dari HKm dengan prosedur yang sama dengan HKm. Hal ini dilakukan karena tidak semua kebijakan dapat menjamin kinerja yang baik jika kelembagaan yang diterapkan tidak sesuai dengan situasi yang ada (Nursidah et al. 2012)

Pada tahap implementasi aturan yang ada di Tahura WAR dicoba untuk dipraktekkan. Tahap implementasi dari proses keputusan inovasi terjadi apabila seseorang menerapkan peraturan yang ada di Tahura WAR yang dibuktikan dalam praktek. Pada umumnya impelementasi tentu mengikuti hasil keputusan inovasi. Tetapi dapat juga terjadi karena sesuatu hal sudah memutuskan menerima inovasi tidak diikuti implementasi. Biasanya hal ini terjadi karena fasilitas penerapan yang tidak tersedia (Rogers 2003). Implementasi tentang perubahan Hutan Lindung menjadi Tahura WAR 87.95 % responden menerapkan aturan yang ada di Tahura WAR, walaupun hal ini sedikit berbeda dengan keputusan yang hanya 43.74 % yang menerima perubahan aturan menjadi Tahura WAR. Hal ini terjadi karena adanya penegakan peraturan oleh Dinas Kehutanan yang menindak tegas semua pelanggaran yang terjadi di Tahura WAR dengan mengerahkan polisi kehutanan yang menjaga Tahura WAR.

Pada saat diterapkan HKm sebanyak 87.95 % responden melaksanakan aturan dengan mengkombinasikan MPTS dan tanaman kayu dalam mengelola lahan di Tahura. Ketika terjadi pencabutan HKm dan diterbitkannya perda kolaboratif, semua responden tidak menerapkan aturan yang berjalan, hal ini karena mereka menilai hutan tetap lestari dengan apa yang telah dilakukan dan dengan adanya aturan yang telah disepakati di GKPPH Sumber Agung. Pengelolaan hutan yang berkelanjutan dapat diwujudkan dengan pengakuan dan penggabungan lembaga lokal dalam perumusan kebijakan hutan (Nursidah et al. 2012). Hal ini seperti penelitian yang dilakukan oleh Sofyan (2006) bahwa masyarakat memiliki pengetahuan, kemampuan, motivasi dan tekad yang kuat dalam rangka pengelolaan kawasan konservasi.

(39)
(40)

27

Tabel9Pemenuhan prinsip desain Ostrom pada setiap perubahan aturan di Tahura WAR

Prinsip desain Tahura (1993– sekarang HKm (1998–2001) Pencabutan HKM (2001) Perda Kolaboratif (2012) Batasan wilayah yang jelas:

a. Sumber daya Batasan jelas, diketahui, ditetapkan pemerintah

Batasan jelas disepakati bersama masyarakat dan pemerintah

Batasan jelas, tidak ada perubahan

Batasan jelas, tidak ada perubahan

b. Pengguna tidak memiliki izin mengelola Memiliki izin mengelola dan terkoordinasi dalam GKPPH

Tidak ada izin tahun 2001– 2002, berlanjut ke PHBM yang dimulai tahun 2003 izin diteruskan melalui pemda

Izin pengelolaan tetap, tidak ada perubahan dari HKm

Kesesuaian aturan dengan kondisi:

a. Ekonomi Tidak ada hasil dari pemungutan liar Ada hasil dan iuran kelompok, dan retribusi tahunan

Ada hasil dan iuran kelompok Ada hasil dan iuran kelompok, tidak ada perubahan

b. Ekologi dan sosial Tidak dapat dilakukan pemanfaatan hutan

Dapat dilakukan pemanfaatan hutan Dapat dilakukan pemanfaatan hutan, tidak ada perubahan

Dapat dilakukan pemanfaatan hutan, tidak ada perubahan Monitoring Pengawasan aktif oleh Dinas

Kehutanan

Pengawasan aktif oleh Dinas Kehutanan dan masyarakat

Pengawasan aktif oleh Dinas Kehutanan dan masyarakat

Pengawasan aktif oleh Dinas Kehutanan dan masyarakat Pengaturan kolektif Peraturan di buat oleh pemerintah

pusat

Peraturan di buat oleh pemerintah pusat dan masyarakat

Peraturan di buat oleh pemda dan masyarakat

Peraturan di buat oleh pemda dan masyarakat

Penerapan sanksi Sanksi diterapkan oleh pemda Sanksi diterapkan oleh pemda dan masyarakat, lebih terorganisasi

Sanksi diterapkan oleh pemda dan masyarakat

Sanksi diterapkan oleh pemda dan masyarakat

Resolusi konflik Sanksi dalam aturan/legal formal Mekanisme sanksi secara bertingkat Mekanisme sanksi secara bertingkat

Mekanisme sanksi secara bertingkat

Pengakuan hak pengelolaan Tidak ada Kelompok tani Adanya Kelompok tani Ada kelompok tani Ada kelompok tani Bagian sistem pengelolaan:

a. Aturan operasional - penanaman tanaman berkayu sebagai perlindungan tata air - mempertahankan keanekaragaman

ekosistem flora dan fauna

- Menanam MPTS - Menanam tanaman batas - Menanam tanaman multi strata

- Menanam MPTS - Menanam tanaman multi strata

b. Aturan kolektif - Perlindungan proses ekologi. - Pelestarian keanekaragaman hayati - Pemanfaatan secara lestari sumber

daya

- Tidak mengubah status areal hutan, - Evaluasi secara bersama terhadap

kegiatan pengelolaan hutan

- Tidak mengubah status areal hutan,

- Evaluasi secara bersama terhadap kegiatan pengelolaan hutan

- Tidak mengubah status areal hutan,

- Evaluasi secara bersama terhadap kegiatan pengelolaan hutan

c. Aturan konstitusional - UU No 5 Tahun 199 Tentang konservasi SDA Hayati

- SK Menhut No. 408/Kpts-II/1993 tanggal 10 Agustus 1993

- SK Menhut No 677/Kpts-II/1998 tentang izin HKm

- SK Menhut No 31 tahun 2001 tentang pencabutan izin HKm

(41)

Gambar

Tabel 1 Variabel, indikator dan metode analisis data
Gambar 2 Plot Lingkaran
Gambar 3
Tabel 5 Property right Masyarakat Sumber Agung terhadap perubahan kelembagaan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Teknik bertanya merupakan cara yang digunakan oleh guru untuk memancing respon siswa untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat atau pemikiran siswa, bertanya juga

Kabar Harian Lokal. Berita yang disampaikan adalah jenis berita news atau.. informasi terkini dan disampaikan dengan sistem straight news atau apa

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan keragaman jenis tangkapan nelayan, perbedaan pendapatan nelayan, perbedaan kesempatan kerja dan berusaha nelayan sebelum

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan media pembelajaran konsep luas bidang datar berbasis perangkat lunak geogebra yang valid, praktis, dan mempunyai potensi efek

yang digunakan dalam penelitian ini adalah data numeric yaitu Total jumlah target dan realisasi penerimaan Tax Amnesty periode Juli-September Dan Periode Oktober - Desember 2016

2) Dengan menggunakan metode Fuzzy Logic modelSugeno robot dapat mengontrol sistem navigasinya dengan menghitung jarak robot dari dinding dengan fungsi keanggotaan kemudian

Jabatan Muzium Sarawak, pihak Arkib Negara Malaysia, Pustaka Negeri Sarawak, Majlis Adat Istiadat dilihat mampu untuk berganding bahu dalam usaha menyelamatkan tinggalan

Kemudian pada judul berita Ketum PSSI Diperiksa 11 Jam, Dicecar 45 ditemukan kata ganti pada kalimat “pria yang sangat lama menjadi pengurus PSSI itu dicecar