TESIS
OLEH
GITA MELISA
097011069/ M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
T E S I S
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
GITA MELISA
097011069/ M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
TERHADAP MASYARAKAT LHOKNGA PROVINSI ACEH
Nama Mahasiswa : Gita Melisa
Nomor Pokok : 097011069
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : GITA MELISA
NIM : 097011069
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Oleh PT. Lafarge Cement Indonesia Terhadap Masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungannya (TJSL) berdasarkan Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan Undang-Undang Nomor. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Walaupun terjadi perdebatan panjang tentang kedudukan CSR yang diatur dalam UUPT, akhirnya permasalahan tersebut dijawab dengan tegas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 dimana sifat sukarela dari CSR ditingkatkan menjadi kewajiban hukum lebih mempunyai kepastian hukum serta daya atur, daya ikat, dan daya dorong bagi perusahaan untuk melaksanakan TJSL Perusahaan.
Dalam penelitian ini permasalahan yang ingin dijawab adalah: (1) Bagaimanakah pengaturan TJSL Perusahaan pada Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh; (2) Bagaimanakah penerapan kebijakan TJSL Perusahaan pada PT LCI terhadap masyarakat Lhoknga provinsi Aceh; dan (3) Bagaimanakah dampak penerapan TJSL Perusahaan PT LCI terhadap masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh; Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian Yuridis Empiris yaitu mengumpulkan informasi data serta penemuan dari lapangan, baik informasi yang berasal responden maupun dari informan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekisruhan panjang yang terjadi antara PT LCI dan Masyarakat Lhoknga di sebabkan oleh tiga hal yaitu: isu PT LCI tidak memprioritaskan masyarakat lokal untuk bekerja di perusahaan, isu PT LCI ingkar janji sejak awal didirikannya perusahaan dan isu kerusakan lingkungan. Setelah negosiasi yang cukup panjang tercapailah empat kesepahaman antara PT LCI dan masyarakat Lhoknga: (1) Menempatkan kantor perwakilan bagi masalah-masalah kemasyarakatan di Plant Lhoknga, (2) Seleksi dan rekrutmen tenaga kerja dari masyarakat Loknga dan Leupung, (3) Komitmen Lingkungan Hidup, dan (4) Menyediakan dana Penguatan dan Pengembangan Masyarakat setiap tahunnya sebesar Rp.3.000.000.000,00 (Tiga Milyar Rupiah). Setelah dua tahun berjalannya program CSR yang dilaksanakan telah terlihat adanya dampak positif baik bagi masyarakat ataupun perusahaan. Walaupun sebagian masyarakatnya menganggap bahwa nilai bantuan yang diberikan PT LCI masih belum sepadan dengan kerusakan yang terjadi di lingkungannya. Untuk itu, Unsur pemerintah diharapkan harus secara tegas dan jelas mengatur Rancangan Qanun tentang tanggung jawab investor terhadap pelestarian lingkungan dan kewajiban CSR yang harus dilaksanakan, dan juga unsur perusahaan yang harus terus berupaya dalam mengoptimalkan kinerjanya agar lebih tepat guna, tepat sasaran serta unsur masyarakat yang juga harus mendukung untuk menciptakan suasana aman dan kondusif bagi kelancaran kinerja operasional perusahaan agar dampak akhirnya dapat menciptakan harmonisasi antara kedua belah pihak.
responsibilities in its environment, based on Law no. 40/2007 on Limited Corporation (UUPT) and on Law no. 11 on Aceh Government (UUPA). Although there has been long debates on the position of CSR which is stipulated in UUPT, is finally settled by The Constitutional Court’s Verdict no.53/PUU/VI/2008 in which the CSR’s voluntary action is increased to become the legal obligation so that in which its legal security, order, binding, and supporting forces enable it to carry out its social and environmental responsibilities.
The problems which will be answered in this research are as follows: 1). How is the regulation of the Corporate Social Responsibility in Law no. 40/2007 on limited corporation and in Law no. 11/2006 on Aceh Government; 2). How is the implementation of the Corporate Social Responsibility at PT Lafarge Cement Indonesia on Lhoknga community, in Aceh Province; 3). How is the impact of the implementation of the CSR at PT LCI on the Lhoknga community in Aceh Province. In order to answer these problems, a judicial empirical research method is used; namely; gathering data information from the field from respondents and informants.
The result of the research showed that the long debates which occurred between PT LCI and the Lhoknga community is caused by three things: The issue that PT LCI did not prioritize the local community to work in the company; the issue that PT LCI did not keep its promised from the beginning of its establishment, and the issue of the environmental damage. Finally, after the long negotiation between both parties, there are four mutual understandings between them about: 1). A branch office is appointed to settle the community problems in Plant Lhoknga, 2). The selection and the recruitment of new employees from Lhoknga and Leupung communities, 3). The commitment on environment, and 4). The company provided supporting and developing funds for the community each year in the amount of Rp. 3,000,000,000 (three billion rupiahs). After the CSR’s program done PT LCI had lasted in two years there was a positive impact on the community and the company itself although some of them still did not satisfied with what had been done by PT LCI, compared with the environmental damage. Therefore, it was recommended that the government should strictly and transparently regulate Qanun Plan on the investors and the CSR’s responsibility on the environment and the management of the company should optimize its performance efficiently and on target by preserving environment and community elements. The company should also create safe and conducive atmosphere in order that its operational performance could run smoothly which was eventually able to create a harmony between both parties.
dengan berkat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
dengan judul “Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility)Oleh PT Lafarge Cement Indonesia Terhadap Masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat
terpelajarBapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Humselaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum selaku anggota komisi pembimbing, juga Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum selaku para anggota penguji yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan
dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Juga semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang
konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada
dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang
telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat
selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.
6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama
Mahdani Musa yang telah memberikan data dan informasi berguna dalam
penelitian ini.
8. Seluruh warga masyarakat Kecamatan Lhoknga, Keuchik Desa Lamgaboh Bapak
Razali, Warga Desa Lamkruet Bapak Zuhri “arie-udin”, Keuchik Desa Lampaya
Bapak Nasruddin AR, Imum Mukin Lhoknga Bapak Tgk. M. Fauzi, Anggota
Komite Bersama Bapak Aidil Adhari serta terima kasih saya yang
sebesar-besarnya kepada Bapak M. Yulfan SH, dan Ibu Raihal Fajri sebagai Juru Bicara
dan Sekretaris Komite Masyarakat Bersatu Masyarakat Lhoknga-Leupung, yang
telah memberikan informasi yang sedalam-dalamnya mengenai dinamika
perkembangan penerapan CSR PT Lafarge Cement Indonesia dari tahun ke tahun
dan semoga segala usaha dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat Aceh
Khususnya warga Kecamatan Lhoknga telah dapat dirasakan manfaatnya saat ini.
9. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2009 dan Kelas
C yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam penyelesaian
memberikan dukungan immateril kepada Penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun
besar harapa Penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariatan
pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada Penulis mendapat balas yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada
kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin
Medan, Desember 2011
Penulis,
Nama : Gita Melisa
Tempat / Tanggal Lahir : Banda Aceh, 5 Januari 1988
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
PENDIDIKAN FORMAL :
1. MIN Seutui Banda Aceh Provinsi Aceh Lulus tahun 1999
2. SLTP Negeri.1 Sabang Provinsi Aceh Lulus tahun 2002
3. SLTA Negeri. 1 Sabang Provinsi Aceh Lulus tahun 2005
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh, Provinsi Aceh Lulus tahun 2009
5. S-2 Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Halaman
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Perumusan Masalah ... 20
C. Tujuan Penelitian ... 20
D. Manfaat Penelitian ... 21
E. Keaslian Penelitian……... 22
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 23
1. Kerangka Teori... 23
2. Kerangka Konsepsi ... 36
G. Metode Penelitian... 38
1. Sifat dan Metode Pendekatan... 38
2. Lokasi Penelitian... 39
3. Populasi dan Sampel ... 40
4. Teknik Pengumpulan Data... 40
a. Penelitian Kepustakan ... 40
b. Penelitian Lapangan ... 40
5. Alat Pengumpulan Data ... 41
TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006
TENTANG PEMERINTAHAN ACEH... 45 A. CSR pada undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ... 45
1. Tinjauan Umum Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perusahaan (Corporate Social Responsibility... 46 2. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perusahaan ... 57
3. Kewajiban Perusahaan dalam Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
(Corporate Social Responsibility)... 63 B. CSR pada undang-undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang ...
Pemerintahan Aceh ... 69
BAB III PENERAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY)OLEH
PT LAFARGE CEMENT INDONESIA TERHADAP
MASYARAKAT LHOKNGA PROVINSI ACEH... 75 A. Gambaran Umum PT Lafarge Cement Indonesia ... 75
B. Struktur Organisasi PT Lafarge Cement Indonesia ... 78
C. Analisis Sejarah Perkembangan Pelaksanaan CSR Oleh
PT Lafarge Cement Indonesia... 80
1. Respon Masyarakat Terhadap Keberadaan PT Lafarge Cement Indonesia ... 81
2. Latar Belakang Permasalahan CSR antara Masyarakat dan PT Lafarge Cement Indonesia... 81
3. Lahirnya Pertanggungjawaban Sementara... 94
4. Hasil Kesepakatan Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Antara Masyarakat dan PT Lafarge
Cement Indonesia………... 99
Tahun 2010 ... 111
BAB IV DAMPAK PENERAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) PT LAFARGE CEMENT INDONESIA TERHADAP MASYARAKAT LHOKNGA PROVINSI ACEH... 120
A. Dampak Bagi Perusahaan (Internal) ... 120
B. Dampak Bagi Masyarakat (Eksternal) ... 126
BAB V KESIMPULAN DAN DASAR... 134
A. Kesimpulan ... 134
B. Saran... 137
Gambar 1 : Struktur Organisasi PT Lafarge Cement Indonesia ... 78
Gambar 2 : Struktur Organisasi Departemen CSR
PT Lafarge Cement Indonesia ... 79
Gambar 3 : Diagram Persentase Karyawan PT Lafarge Cement Indonesia
2. Blasting: penghancuran atau peledakan.
3. Bargaining: menawar atau penawaran.
4. Charity : amal.
5. Community Development : pemberdayaan masyarakat, kegiatan pembangunan Komunitas yang dilakukan secara istematis terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses komunitas guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sosial sebelumnya.
6. Community Relation : memelihara hubungan baik dengan masyarakat sekitar yang sangat berpengaruh terhadap akitivitas perusahaan dan akan membawa keuntungan jangka panjang serta mendekatkan perusahaan dengan konsumen-konsumen potensial.
7. Corporate Social Responsibility : komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindakSeara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.
8. Corporate Citizenship : adalah sebagai salah satu cara untuk memperbaiki reputasi perusahaan, meningkatkan keunggulan kompetitif serta membantu memperbaiki kualitas hidup manusia dan mengacu pada peran perusahaan dalam menangani isu- isu yang memiliki dampak dramatis terhadap masa depan dunia, seperti perubahan iklim, kekurangan air, pendidikan, teknologi informasi dan kemiskinan.
9. Corporate Phylantrophy (filantropi korporasi) : bahwa perusahaan melakukan peranan jasa sosial dan Trusteeship principle (prinsip perwalian), dimana direksi bertindak sebagai wali bagi pemegang saham, kreditur, buruh, konsumen, dan komunitas yang lebih luas dengan memberikan kontribusi terhadap lingkungan hidup yang lebih bersih dan kehidupan masyarakat yang lebih baik melalui interaksi aktif dari semua pihak.
pajak dan penyedia barang/jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
13. Penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang.
14. Emergency Response : tanggap darurat
15. Good corporate citizen : warga negara yang baik.
16. Good oriented behaviour : perilaku atau tindakan adalah berorientasi tujuan
17. Impartial Spectator : Wasit atau tidak berpihak
18. Imeum Mukim :Mukimadalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapaGampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin olehImeum Mukim
19. Joint Community : komunitas bersama
20. Karst : dalah sebuah bentukan di permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase permukaan, dan gua.
21. Karikatif : bersifat member.
22. Keuchik : sebutan untuk seseorang yang mengepalai desa dalam bahasa Aceh.
23. License to operate : keleluasaan perusahaan untuk menjalankan roda bisnis di suatu wilayah.
24. Legal entity : subjek hukum
25. Memorandum of Understanding (MoU) : Nota kesepahaman atau kesepakatan awal/pendahuluan
30. Reward : hadiah.
31. Recovery : pemulihan.
32. Stakeholder : orang atau instansi yang berkepentingan (pihak yang berkepentingan) termasuk para karyawan, konsumen, masyarakat, pemerintah dan lingkungan hidup.
33. Shareholder : seseorang atau badan hukum yang secara sah memiliki satu atau lebih saham pada perusahaan
34. Society : masyarakat
35. Suistainability : kelangsungan usaha
36. Suistanable development : Pembangunan berkelanjutan
37. The greatest good for the greatest number : artinya bahwa hal ini benar didefinisikan sebagai hal yang memaksimalisasi apa yang baik dan meminimalisir apa yang berbahaya bagi kebanyakan orang, semakin bermanfaat pada semakin banyak orang, maka perbuatan itu semakin etis.
38. The only duty of the corporation is to make profit : Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis adalah meingkatkan keuntungan.
39. The Tripe Bottom Line : konsep yang dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997 yang mengembangkan konsep bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan harus memperhatikan “3P” (Profit,People, Planet) selain mengejar profit, juga memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat serta turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungannya (TJSL) berdasarkan Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan Undang-Undang Nomor. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Walaupun terjadi perdebatan panjang tentang kedudukan CSR yang diatur dalam UUPT, akhirnya permasalahan tersebut dijawab dengan tegas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 dimana sifat sukarela dari CSR ditingkatkan menjadi kewajiban hukum lebih mempunyai kepastian hukum serta daya atur, daya ikat, dan daya dorong bagi perusahaan untuk melaksanakan TJSL Perusahaan.
Dalam penelitian ini permasalahan yang ingin dijawab adalah: (1) Bagaimanakah pengaturan TJSL Perusahaan pada Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh; (2) Bagaimanakah penerapan kebijakan TJSL Perusahaan pada PT LCI terhadap masyarakat Lhoknga provinsi Aceh; dan (3) Bagaimanakah dampak penerapan TJSL Perusahaan PT LCI terhadap masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh; Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian Yuridis Empiris yaitu mengumpulkan informasi data serta penemuan dari lapangan, baik informasi yang berasal responden maupun dari informan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekisruhan panjang yang terjadi antara PT LCI dan Masyarakat Lhoknga di sebabkan oleh tiga hal yaitu: isu PT LCI tidak memprioritaskan masyarakat lokal untuk bekerja di perusahaan, isu PT LCI ingkar janji sejak awal didirikannya perusahaan dan isu kerusakan lingkungan. Setelah negosiasi yang cukup panjang tercapailah empat kesepahaman antara PT LCI dan masyarakat Lhoknga: (1) Menempatkan kantor perwakilan bagi masalah-masalah kemasyarakatan di Plant Lhoknga, (2) Seleksi dan rekrutmen tenaga kerja dari masyarakat Loknga dan Leupung, (3) Komitmen Lingkungan Hidup, dan (4) Menyediakan dana Penguatan dan Pengembangan Masyarakat setiap tahunnya sebesar Rp.3.000.000.000,00 (Tiga Milyar Rupiah). Setelah dua tahun berjalannya program CSR yang dilaksanakan telah terlihat adanya dampak positif baik bagi masyarakat ataupun perusahaan. Walaupun sebagian masyarakatnya menganggap bahwa nilai bantuan yang diberikan PT LCI masih belum sepadan dengan kerusakan yang terjadi di lingkungannya. Untuk itu, Unsur pemerintah diharapkan harus secara tegas dan jelas mengatur Rancangan Qanun tentang tanggung jawab investor terhadap pelestarian lingkungan dan kewajiban CSR yang harus dilaksanakan, dan juga unsur perusahaan yang harus terus berupaya dalam mengoptimalkan kinerjanya agar lebih tepat guna, tepat sasaran serta unsur masyarakat yang juga harus mendukung untuk menciptakan suasana aman dan kondusif bagi kelancaran kinerja operasional perusahaan agar dampak akhirnya dapat menciptakan harmonisasi antara kedua belah pihak.
responsibilities in its environment, based on Law no. 40/2007 on Limited Corporation (UUPT) and on Law no. 11 on Aceh Government (UUPA). Although there has been long debates on the position of CSR which is stipulated in UUPT, is finally settled by The Constitutional Court’s Verdict no.53/PUU/VI/2008 in which the CSR’s voluntary action is increased to become the legal obligation so that in which its legal security, order, binding, and supporting forces enable it to carry out its social and environmental responsibilities.
The problems which will be answered in this research are as follows: 1). How is the regulation of the Corporate Social Responsibility in Law no. 40/2007 on limited corporation and in Law no. 11/2006 on Aceh Government; 2). How is the implementation of the Corporate Social Responsibility at PT Lafarge Cement Indonesia on Lhoknga community, in Aceh Province; 3). How is the impact of the implementation of the CSR at PT LCI on the Lhoknga community in Aceh Province. In order to answer these problems, a judicial empirical research method is used; namely; gathering data information from the field from respondents and informants.
The result of the research showed that the long debates which occurred between PT LCI and the Lhoknga community is caused by three things: The issue that PT LCI did not prioritize the local community to work in the company; the issue that PT LCI did not keep its promised from the beginning of its establishment, and the issue of the environmental damage. Finally, after the long negotiation between both parties, there are four mutual understandings between them about: 1). A branch office is appointed to settle the community problems in Plant Lhoknga, 2). The selection and the recruitment of new employees from Lhoknga and Leupung communities, 3). The commitment on environment, and 4). The company provided supporting and developing funds for the community each year in the amount of Rp. 3,000,000,000 (three billion rupiahs). After the CSR’s program done PT LCI had lasted in two years there was a positive impact on the community and the company itself although some of them still did not satisfied with what had been done by PT LCI, compared with the environmental damage. Therefore, it was recommended that the government should strictly and transparently regulate Qanun Plan on the investors and the CSR’s responsibility on the environment and the management of the company should optimize its performance efficiently and on target by preserving environment and community elements. The company should also create safe and conducive atmosphere in order that its operational performance could run smoothly which was eventually able to create a harmony between both parties.
A. Latar Belakang
Kondisi iklim yang tidak menentu saat ini yang di tandai dengan menipisnya
ozon dan global warming telah menggerakkan pemerintah negara-negara maju dan berkembang untuk mengambil bagian dalam menciptakan regulasi yang ramah
lingkungan. Kemiskinan dan kerawanan sosial dianggap memiliki sumbangan yang
besar dalam pengrusakan sumber daya alam. Oleh sebab itu, isu lingkungan tidak
boleh dipisahkan dari isu sosial dan kemasyarakatan.
Dalam dunia bisnis, membicarakan masalah perilaku bisnis adalah sangat
relevan. Bisnis atau perusahaan sebagai institusi pencari laba, di samping menjunjung
tinggi kualitas produk dan layanan, perusahaan juga harus dituntut memperhatikan
segi moral. Hukum sebagai perangkat norma-norma kehidupan dalam bermasyarakat
merupakan salah satu instrumen atau alat terciptanya aktivitas bisnis yang lebih baik.
Para pelaku bisnis (perusahaan) dan masyarakat hendaknya harus menciptakan
hubungan yang harmonis. Untuk itulah perusahaan dan masyarakat harus dapat
bersinergi, dalam hal ini perusahaan harus mampu menghapus segala kemungkinan
kesenjangan yang terjadi. Perusahaan merupakan badan usaha yang berbadan hukum
yang merupakan subjek hukum, dengan demikian perusahaan mempunyai hak dan
tanggung jawab hukum dan juga mempunyai tanggung jawab moral, di mana
karena itu wajar apabila pelaku bisnis diharapkan agar berperilaku seperti yang
ditanamkan dan diharapkan olehstakeholder.1
Aktifitas bisnis merupakan masalah kompleks yang sedang hangat di
bicarakan ditengah-tengah usaha pemerintah untuk mengembalikan gairah dunia
perekonomian Indonesia. Roda bisnis tidak akan berjalan dengan baik apabila
dijalankan dengan kecurangan dan penipuan baik di lingkungan internal maupun eksternal perusahaan. Dalam lingkungan internal, perlu di perhatikan hubungan antara berbagai jenjang kedudukan yang ada, kultur perusahaan, peraturan dan sistem
di perusahaan, serta budaya keterbukaan informasi, sedangkan lingkungan eksternal merupakan hubungan perusahahaan dengan stakeholder serta masyarakat sekitar perusahaan.2
Dipandang dari segi moral hakikat manusia maupun hakikat kegiatan bisnis
itu sendiri, di yakini bahwa tidak benar jika para manajer perusahaan hanya punya
tanggung jawab dan kewajiban moral kepada pemegang saham. Para manajer
perusahaan sebagai manusia dan sekaligus mempunyai tanggung jawab dan
kewajiban moral kepada orang banyak dan pihak lain yang berkaitan dengan kegiatan
operasi bisnis perusahaan yang dipimpinnya. Para manajer perusahaan mempunyai
tanggung jawab dan kewajiban moral untuk memperhatikan hak dan kepentingan
karyawan, konsumen, pemasok, penyalur, masyarakat setempat dan seterusnya.
1
Soeharto Prawirokusumo,“Perilaku Bisnis Modern Tinjauan Pada Etika Bisnis-Tanggung Jawab Sosial”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 Nomor 4- Tahun 2003, hal 81.
2 I Nyoman Tjager, et al, “Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan Bagi
Singkatnya, tanggung jawab dan kewajiban moral para manajer perusahaan tidak
hanya tertuju pada shareholders(pemegang saham) tetapi juga kepadastakeholders. Salah satu isu penting yang masih terus menjadi perhatian dunia usaha hingga
saat ini adalah isu mengenai tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) yang selanjutnya dalam penulisan ini disingkat dengan CSR. CSR adalah merupakan suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya)
perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan,
pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional
perusahaan. Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi, komunitas dapat diartikan
sangat luas, namun secara singkat merupakan peningkatan partisipasi dan posisi
organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama
bagi organisasi dan komunitas.
CSR bukan hanya sekedar kegiatan amal, namun suatu perusahaan di
haruskan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh
memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup dan di sisi lain perusahaan juga di haruskan
untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan
eksternal dengan kepentingan internal. Sebagai bagian dari konfigurasi hubungan antara dunia bisnis dan masyarakat, persoalan mengenai tanggung jawab sosial
perusahaan mengalami rumusan konseptual yang terus berubah, sejalan dengan
waktu yang sangat panjang, dunia usaha mungkin tidak pernah berfikir mengenai
tanggung jawab sosial atas usaha yang dijalankannya. Hal ini karena proposi teori
klasik, sebagaimana dirumuskan oleh Adam Smith di mana tugas korporasi
diletakkan semata-mata hanya untuk mencari keuntungan “the only duty of the corporation is to make profit”.3 Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis adalah meingkatkan keuntungan.
Secara perlahan ideologi “the only duty of the corporation is to make profit" yang dianut oleh korporasi atau perusahaan telah berubah dengan munculnya
kesadaran kolektif bahwa keberlangsungan pertumbuhan dunia usaha tidak akan
terjadi tanpa dukungan yang memadai dari stakeholder dan yang melingkupinya seperti manajer, konsumen, buruh dan anggota masyarakat sehingga tidak heran jika
pembahasan mengenai CSR selalu mengarah pada suatu kondisi yang dilematis
antara shareholder’s value yang di hasilkan perusahaan dan upaya memaksimalkan kepentingan publik. Dengan kata lain, keterlibatan perusahaan dalam sebuah
tanggung jawab sosial selalu meningkatkan konflik mengenai fungsi direksi yang
harus mengabdi pada kepentingan yang terbaik bagi perusahaan dan di sisi lain juga
harus menjadikan perusahaan tersebut menjadi warga negara yang baik (good corporate citizen).4 Perilaku atau tindakan adalah berorientasi tujuan (good oriented behaviour). Artinya untuk memenuhi kebutuhannya, seseorang harus memiliki tujuan
3 Sofyan Djalil, “Kontek Teoritis dan Praktek Corporate Social Responsibility”, Jurnal Reformasi Ekonomi Volume 4 Nomor 1 Januari-Desember 2003, hal 4.
dan dalam tindakannya tujuannya adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.5
CSR yang kini marak dilaksanakan banyak perusahaan, berkembang setelah
terjadi revolusi industri, kebanyakan perusahaan memandang bahwa sumbangan
kepada masyarakat cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan kerja,
pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produk dan pembayaran pajak kepada
negara. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tidak sekedar menuntut
penyediaan barang dan jasa yang diperlukannya, melainkan juga menuntut untuk
bertanggung jawab secara sosial. Prinsip duty to act bonafide in the interest of company yang dikenal luas dalam hukum perseroan menuntut kewajiban seorang direksi agar mengelola perusahaan untuk kepentingan dan keuntungan perusahaan.6 Tentunya tujuan akhirnya adalah optimalisasi nilai (value) bagi para pemegang saham. Di sisi lain perusahaan sebagai sebuah legal entity (subjek hukum) yang memiliki legal personality ditengah-tengah masyarakat dan memiliki kewajiban terhadap subjek hukum lainnya atau anggota dalam pergaulan masyarakat secara
umum. Tuntutan ini merupakan wujud dari kewajiban perusahaan sebagai salah satu
subjek yang eksistensinya di pengaruhi oleh interaksi yang baik dengan subjek
lainnya di tengah pergaulan masyarakat. Sebelum menambah kemasyarakat yang
lebih luas, semestinya CSR dilakukan untuk lingkungan terdekat, yaitu
5Ujang Sumarwan,”Perilaku Konsumen”, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2004), hal 37.
masyarakatnya sendiri atau karyawannya. Bila tanggung jawab ini dipenuhi, tak
menutup kemungkinan, karyawannyapun ikut menyalurkan kepedulian sosial
terhadap lingkungannya seperti yang dilakukan oleh perusahaan tempat mereka
bekerja.
Secara perlahan di dalam dunia usaha di Indonesia mulai muncul masalah
baru berkaitan dengan pentingnya dunia usaha dalam mempertajam kesadaran mereka
tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Perusahaan harus memandang bahwa
tanggung jawab sosial perusahaan perlu di upayakan di lingkungan eksternal dan internal perusahaan. Dalam lingkup internal perusahaan, pelaksanaan CSR merupakan keputusan strategis perusahaan yang secara sadar di desain sejak awal
untuk menerapkan lingkungan kerja yang sehat, kesejahteraan karyawan, aspek bahan
baku dan limbah yang ramah lingkungan serta semua aspek dalam menjalankan
kegiatan usaha dan dijamin tidak menerapkan praktek-praktek yang merugikan
masyarakat di dalam dan sekitar perusahaan. Dalam lingkup eksternal, lingkungan sekitar perusahaan pada khususnya serta lingkungan masyarakat pada umumnya.
Tanggung jawabeksternalini menjadi kewajiban bersama antara entitas bisnis untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan yang berkelanjutan.
Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwaresponsible business is a good business.7 Pasal 1 angka 3 Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (untuk selanjutnya disebut UUPT) menjelaskan CSR adalah komitmen
perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi
perusahaan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Hal ini
dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan perusahaan yang serasi,
seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat
setempat. Berdasarkan Pasal 74 UUPT, sebuah perseroan yang menjalankan usahanya
di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan.
Yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang sumber daya alam” adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan
memanfaatkan sumber daya alam. Sedangkan yang dimaksud dengan “perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam”
adalah perusahaan yang tidak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, tetapi
kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.8 Diundangkannya UUPT ini mengisyaratkan bahwa CSR awalnya bersifat sukarela
dan untuk kemudian menjadi sebuah tanggung jawab yang diwajibkan. Namun,
UUPT secara eksplisit tidak mengatur berapa jumlah nominal dan atau berapa
besaran persen laba bersih dari suatu keuntungan perusahaan yang harus
disumbangkan. Karena pengaturan lebih lanjut merupakan domain daripada Peraturan
Pemerintah (PP), tetapi untuk saat ini menurut UUPT besaran sumbangan yang
disalurkan kepada masyarakat pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan
kepatutan dan kewajaran. Sedangkan bagi perusahaan yang tidak melaksanakan
kewajiban CSR ini dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
(yang disingkat dengan UUPM). Pasal 15 huruf (b) UUPM juga menetapkan
kewajiban bagi setiap perusahaan penanaman modal untuk melaksanakan tanggung
jawab sosial. Yang dimaksud tanggung jawab sosial perusahaan dalam UUPM adalah
tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap
menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai,
norma dan budaya masyarakat setempat. Jika tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai
dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha
dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
penanaman modal (Pasal 34 ayat (1) UUPM).
Pasal 74 UUPT yang telah disebutkan di atas mencoba mengakhiri perdebatan
mengenai CSR sebagai tindakan sukarela perusahaan atau sebuah kewajiban hukum
yangimperative(wajib dilksanakan), dengan menguraikan aturan sebagai berikut : (1) Perseroan yang menjalakan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.9
Dengan perkataan lain, TJSL-CSR merupakan komitmen perseroan terhadap
para pemangku kepentingan, dalam arti yang luas. Ketimbang hanya untuk
kepentingan perseroan atau perusahaan semata. Artinya, walaupun secara moral dan
etika adalah baik, boleh dan dibenarkan sebuah perseroan atau perusahaan mencari,
mengejar keuntungan sebesar-besarnya, tetapi tanpa mengenyampingkan dan
mengorbankan kepentingan-kepentingan pihak-pihak lain yang terkait. Misalnya
lingkungan budaya, sosial dan masyarakat pada umumnya: jika demikian halnya,
menurut pemberita adalah tepat jika CSR atau TJSL tidak lagi dimaknai sebagai
gerakan atau tuntutan moral, tetapi dapat berkembang menjadi kewajiban, obligasi,
obligation, atau mandatory perseroan yang harus dilaksanakan. Bahwa kesadaran perseroan atau perusahaan untuk melaksanakan kewajiban TJSL atau CSR dapat
memberikan makna bahwa perseroan bukan lagi sebagai kelompok atau entitas yang
mementingkan dirinya sendiri. Berperilaku dan bercirikan eksklusifitas dari
lingkungan masyarakatnya. Melainkan sebuah entitas yang wajib melakukan adaptasi
kultural dengan lingkungan sosialnya, sehingga dengan demikian menurut
pemerintah, merupakan hal yang tepat dan wajar jika TJSL atau CSR tidak lagi
dimanipulasi hanya sekedar responsibility yang bersifat voluntary , tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam pengertian liability. Dan karenanya jika
perseroan atau perusahaan tidak melaksanakan, wajib dikenakan Pasal 74 ayat (3)
Undang-Undang Perseroan Terbatas.10 Jadi berdasarkan UUPT, CSR kini menjadi tanggung jawab legal dan bersifat wajib. Tanggung jawab perusahaan yang
tinggi sangat diperlukan karena dengan mewajibkan perusahaan menyisihkan
sebagian keuntungannya untuk usaha sosial kemasyarakatan diharapkan dapat ikut
memberdayakan masyakarat secara sosial dan ekonomi.
Mengenai CSR ini, secara eksplisit juga disebutkan dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (yang untuk selanjutnya disebut
dengan UUPA). Dari historikanya, UUPA lahir sebagai semangat memelihara
perdamaian sekaligus rehab rekon Aceh pasca tsunami. Proses kelahirannya
melibatkan banyak pihak di Aceh, luar Aceh, bahkan di luar negeri sejak dirancang,
dibahas hingga diterapkan sebagai Undang-Undang, Dalam konteks mensejahterakan
rakyat Aceh, selain sebagai penunjang pendapatan di Aceh, seperti: tambahan bagi
hasil migas, dana otsus, dana istimewa, dana alokasi umum, dana tambahan
pendidikan, dan lainnya, terdapat satu sumber penting lainnya yang jarang
dibicarakan, yaitu sumber pendapatan yang berasal dari arus investasi dan kegiatan
bisnis di Aceh. Sebab di antara tolok ukur Aceh maju dan rakyatnya sejahtera, jika
pertumbuhan ekonomi Aceh secara positif dan signifikan meningkat yang disusul
meningkatnya daya beli masyarakat. Pilar utama pemicu pertumbuhan ekonomi yang
10Mahkamah Konstitusi,Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan Pengujian
dapat menimbulkan dampak multiplier bagi berbagai pihak adalah dunia usaha atau
kalangan bisnis. Setiap usaha, selalu memulai dengan telaah kelayakan. Telaah ini
meliputi berbagai aspek, antara lain, aspek keamanan, hukum, ekonomis, teknis,
sosial, lingkungan, dan lain-lain.
Dalam UUPA terdapat beberapa ketentuan pokok mengenai pengelolaan
sumber daya alam yang ada di Aceh yang juga berkaitan erat dengan pelaksanaan
tanggung jawab sosial perusahaan, hal ini sebagaimana yang di sebutkan dalam Pasal
156 UUPA, yaitu:
(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik didarat maupun dilaut Wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya. (2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi dan budidaya.
(3) Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan.
(4) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pemerintah Aceh dapat:
a. membentuk badan usaha milik daerah; dan
b. melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara.
(5) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta lokal, nasional, maupun asing.
(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berpedoman pada standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan Pemerintah. (7) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(5), pelaksana kegiatan usaha wajib mengikutsertakan sumber daya manusia setempat dan memanfaatkan sumber daya lain yang ada di Aceh.
Dalam Pasal 159 UUPA permasalahan mengenai CSR ini di tegaskan
pertambangan yang melakukan kegiatan usaha pertambangan di Aceh berkewajiban
menyiapkan dana pengembangan masyarakat, di mana dana pengembangan
masyarakat sebagaimana dimaksud tersebut di tetapkan berdasarkan kesepakatan
antara pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota, dan pelaku usaha yang
besarnya paling sedikit 1% (satu persen) dari harga total produksi yang dijual setiap
tahunnya. Mengenai rencana penggunaan dana pengembangan masyarakat ini,
tujuannya guna membiayai program yang disusun bersama dengan memperhatikan
kebutuhan masyarakat sekitar kegiatan usaha dan masyarakat di tempat lain serta
mengikutsertakan pelaku usaha yang bersangkutan diatur lebih lanjut dalam Qanun
Aceh.
Terkait dengan masalah tersebut, PT Semen Andalas Indonesia yang untuk
sekarang dinamakan PT Lafarge Cement Indonesia (atau disebut juga dengan PT
LCI) merupakan salah satu pabrik swasta yang menghasilkan dan memproduksi
semen di wilayah Kecamatan Lhoknga Provinsi Aceh. PT LCI Lhoknga merupakan
salah satu perusahaan semen bagian dari grup Lafarge Perancis. Saat ini, Lafarge baru
saja memperpanjang kerjasamanya empat tahun ke depan dengan PT LCI. Dalam
websitenya, Salah satu proyek yang dilakukan Lafarge adalah memiliki pabrik semen
di Indonesia, yaitu PT Lafarge Cement Indonesia di Aceh (PT LCI/Lafarge), di mana
sekitar 99 persen saham PT LCI dimiliki oleh grup perusahaan Lafarge, Pabrik
Pada tahun 2006, PT.LCI kembali melakukan rekonstruksi dan meningkatkan
produksinya dari 1 juta ton menjadi 1,6 juta ton pertahun.11
Dalam hal pelaksanaan CSR oleh perusahaan tersebut, PT LCI telah
melaksanakan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat setempat dan hal ini
diwujudkan dalam bentuk pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan
informasi kepada para pihak yang terkait. Pelaksanaan tanggung jawab sosial ini di
tandai dengan telah di tandatanganinya perjanjian bersama yang melibatkan PT. LCI
dengan masyarakat Lhoknga. Namun kemudian muncul permasalahan di kemudian
hari mengenai besaran dari tanggung jawab sosial yang di jalankan perusahaan
tersebut.
Hal ini lah yang kemudian memicu terjadinya kasus-kasus konflik terus
menerus antara PT. LCI dan masyarakat Kecamatan Lhoknga, utamanya yang terkait
dengan perilaku perusahaan, disebabkan karena silang pendapat antara PT. LCI
dengan masyarakat dalam hal implementasi CSR oleh perusahaan. Sesungguhnya
keberadaan CSR dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan telah pernah
ada sejak dulu melalui program pengembangan lingkungan yang pernah dilaksanakan
oleh PT. LCI sebelum penandatangannan perjanjian bersama, namun hal ini di rasa
masyarakat masih belum mengakomodir keinginan dan kebutuhan masyarakat
setempat.
11www. Google. com,“ CSR Oleh PT Semen Andalas Indonesia”, diakses pada tanggal 5
Berawal dari keinginan masyarakat yang tergabung dalam Komite Masyarakat
Bersatu (KMB) Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar, yang melakukan aksi
demo terhadap PT Lafarge Cement Indonesia untuk menuntut agar perusahaan semen
tersebut segera memenuhi tuntutan masyarakat sekitar perusahaan itu. PT LCI (pada
saat itu dinamakan dengan PT Semen Andalas Indonesia/PT SAI) dinilai ingkar janji
oleh masyarakat Lhoknga atau melanggar kesepakatan yang telah dibuat oleh PT SAI
pada tanggal 30 Mei tahun 1980 yang didalamnya termasuk permasalahan mengenai
penerimaan karyawan putra daerah dan pemberdayaan masyarakat setempat serta
pembangunan sarana pendidikan serta kesehatan bagi masyarakat Lhoknga.
Dalam perjanjian yang ditandatangani antara pimpinan PT SAI dengan Bupati
Aceh Besar pada tanggal 30 Mei 1980, salah satu poin dari perjanjian tersebut
menyebutkan bahwa pabrik akan memprioritaskan putra Lhoknga menjadi karyawan
sesuai syarat melalui pelatihan dan pendidikan dari pabrik. Pada poin dua PT SAI
akan memberikan prioritas kepada putra-putra Kecamatan Lhoknga yang memenuhi
persyaratan yang ditentukan untuk menjadi karyawan melalui program pendidikan
dan latihan yang akan dilaksanakan PT SAI bekerja sama dengan Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh. Sementara dalam poin tiga dari surat yang ditujukan oleh PT SAI
kepada Bupati Aceh Besar dengan nomor 073/RA/80 juga disebutkan, salah satu
rencana pembangunan lingkungan yang akan dilaksanakan dalam prioritas sesuai
Lhoknga, pembangunan tempat kesehatan rumah sakit/poliklinik dan pembangunan
sekolah-sekolah untuk masyarakat setempat.12
Setelah melakukan beberapa kali negosiasi antara PT. LCI dengan Otoritas
Pemerintahan Kecamatan Lhoknga beserta para Imum Mukim dalam Kecamatan
Lhoknga, maka lahirlah sebuah kesepakatan. Perjanjian bersama yang disepakati oleh
PT. LCI, dalam hal ini di wakili oleh Marc Jarrault selaku Presiden Direktur
berdasarkan Akta No. 21 tertanggal 14 November 2008 (pihak pertama). Dan
masyarakat Kecamatan Lhoknga, dalam hal ini di wakili oleh masing-masing Otoritas
Pemerintahan Kecamatan Lhoknga beserta para Imeum Mukim dalam Kecamatan
Lhoknga yang mewakili seluruh masyarakat dalam kecamatan Lhoknga (pihak
kedua).
Dari perjanjian bersama tersebut melahirkan 4 (empat) kesepahaman, yaitu
mengenai:
1. Kantor perwakilan bagi masalah-masalah kemasyarakatan di Plant Lhoknga.
2. Seleksi dan rekrutmen tenaga kerja dari masyarakat Loknga dan Leupung.
3. Komitmen Lingkungan Hidup, dan
4. Penguatan dan Pengembangan Masyarakat.
Selain melakukan penguatan dan pengembangan ekonomi masyarakat,
pendidikan, kebudayaan, keagamaan dan kesehatan yang dilakukan melalui
penyediaan dana pengembangan masyarakat serta pembangunan fasilitas umum, hasil
kesepakatan tahun 2008 antara PT LCI dan masyarakat Lhoknga melahirkan sebuah
perjanjian baru dimana PT LCI juga akan menyediakan dana pembangunan
masyarakat sebesar Rp.3.000.000.000 (tiga milyar rupiah) pertahun yang akan
dikelola oleh Departemen Pengembangan Komunitas, Plant Lhoknga PT Lafarge
Cement Indonesia yang berkoordinasi dengan Komite yang dibentuk oleh Otoritas
Kecamatan Lhoknga.13
Masyarakat Kecamatan Lhoknga melalui Komite yang dibentuk oleh Otoritas
Kecamatan Lhoknga bersama PT LCI akan mengatur penggunaan dana
pengembangan masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat kecamatan
Lhoknga dan komite yang dibentuk oleh Otoritas Kecamatan Lhoknga bersama PT
LCI yang akan memberikan laporan persemester (setiap enam bulan) kepada Kantor
Pemerintah Provinsi NAD dan manajeman PT LCI serta Otoritas kecamatan Lhoknga
mengenai pelaksanaan proyek dan dana pengembangan masyarakat.
Namun sejauh ini pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan tersebut
masih dipandang belum bisa berjalan dengan baik, hal itu disebabkan karena
perjanjian bersama yang telah ditandatangani tersebut tidak mencerminkan keinginan
masyarakat Kecamatan Lhoknga, melainkan hanya sebuah “perjanjian baku” yang
disodorkan oleh menejeman PT. LCI kepada otoritas masyarakat yang di wakili oleh
Imum Mukim dari setiap masing-masing kemukiman yang ada di Kecamatan
Lhoknga. Hal ini terlihat dari alokasi dana bantuan PT LCI yang di berikan kepada
masyarakat, dana CSR tersebut tidak langsung di distribusikan kepada masyarakat
melainkan masyarakat harus mengajukan permohonan proposal untuk dapat
menggunakan dana tersebut, dan umumnya proposal-proposal yang dikirim oleh
lapisan kelompok masyarakat itu berkenaan dengan permohonan modal untuk
menjalankan usaha dari kelompok tersebut. Sementara di sisi lain pihak, masyarakat
memandang cara pengalokasian dana seperti ini sama sekali tidak efektif sehingga
mengakibatkan masyarakat tidak dapat memanfaatkan dana CSR tersebut secara
langsung karena proposal-proposal tersebut tidak dapat di dukung secara langsung
tetapi akan di kembangkan menjadi program pengembangan ekonomi yang ruang
lingkupnya lebih besar, hal ini dikarenakan banyak diterima proposal yang sama, dan
di lain pihak PT LCI juga memerlukan waktu untuk menganalisa dan menyusun
sebuah program agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak sekaligus mampu
menjawab keinginan pemohon, dan hal ini di pandang masyarakat sebagai salah satu
penghambat penyaluran dana CSR kepada masyarakat sebagai hal yang tidak
terdistribusi secara baik dan efektif.
Oleh karena itu, di sisi lain perusahaan berusaha untuk tidak menyalurkan
bantuan CSR dengan pola CSR yang karitatif (memberikan layanan) dan paternalistik
karena pola karitatif tidak melibatkan proses yang partisipatif dan mencerahkan
komunitas. Pola karitatif hanya melihat komunitas sebagai pihak yang membutuhkan
bantuan. Permasalahannya adalah bantuan ini sering tidak melibatkan perubahan
ketertinggalan. Dengan mengabaikan proses yang partisipatif maka visi mulia CSR
sebagai pembangunan sulit untuk direalisasikan. Dari pola perusahaan dalam
melaksanakan CSR kepada komunitas. Pola sekedar memberikan donasi sosial atau
membentuk kegiatan ekonomi bagi lingkungan di sekitar perusahaan tidaklah cukup.
Maka sewajarnya perusahaan meninggalkan program dan kebijakan CSR yang
sekedar memberikan layanan sosial yang paternalistis. Layanan paternalistis,
walaupun diakui terkadang berguna dalam jangka pendek, pada akhirnya cenderung
menimbulkan sikap ketergantungan. Perlu dilakukan pembangunan kapasitas bagi
komunitas sehingga diharapkan masyarakat dapat mencari, menciptakan dan
memanfaatkan peluang yang ada saat ini dan masa depan, karena pembangunan
suatu daerah, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga
menjadi tanggung jawab bersama, dan CSR terkait dengan peran strategis dari
korporasi dalam menunjang pembangunan yang berbasis pada keberlanjutan ekonomi
dan keberlanjutan lingkungan.14
Setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Demikian halnya dengan sebuah
perusahaan, dalam sebuah program implementasi tanggung jawab sosial, dikenal
dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam
pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat
14 Bambang Rudito dan Melia Femiola, “Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan
beragam pemangku kepentinganeksternaldan kepentinganinternal.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat diambil sebuah kesimpulan
bahwa kegiatan yang menyangkut hubungan sosial antara perusahaan dan komunitas
lokal pada dasarnya merupakan kegiatan yang harus dilakukan pertama kali dalam
kaitannya hubungan perusahaan dengan komunitas lokal. Dari hubungan ini maka
dapat dirancang pengembangan hubungan yang lebih mendalam yang terkait dengan
bagaimana mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang ada di
komunitas lokal sehingga perusahaan dapat menerapkan program selanjutnya. Oleh
karena hal tersebutlah yang menjadi dasar pemikiran untuk melakukan analisis lebih
lanjut mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tanggung jawab
sosial perusahaan yang dilakukan oleh suatu perusahaan serta dampak-dampaknya
yang dirasakan oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat sekitar perusahaan. Dan
karenanya, dalam hal ini sangat menarik sekali untuk melakukan penelitian mengenai
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
(Corporate Social Responsibility) pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh?
2. Bagaimanakah penerapan kebijakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perusahaan (Corporate Social Responsibility) pada PT Lafarge Cement Indonesia terhadap masyarakat Lhoknga provinsi Aceh?
3. Bagaimanakah dampak penerapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perusahaan (Corporate Social Responsibility) PT Lafarge Cement Indonesia terhadap masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perusahaan (Corporate Social Responsibility) pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada Undang-Undang Nomor 11
2. Untuk mengetahui penerapan kebijakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Perusahaan (Corporate Social Responsibility) pada PT Lafarge Cement Indonesia terhadap masyarakat Lhoknga provinsi Aceh?
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan dampak penerapan Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) PT Lafarge Cement Indonesia terhadap masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh?
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi
maupun masyarakat umum dan dapat memberi manfaat guna menambah
khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum perusahaan secara khusus juga
diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat
peraturan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan
maupun regulasi dalam menyusun peraturan pelaksana lebih lanjut terkait
pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan oleh perseroan
b. Sebagai informasi bagi praktisi bisnis (para pelaku usaha, pemegang saham
dan komisaris) bahkan investor untuk memahami pengaturan tanggung
jawab sosial dan lingkungan perusahaan serta melaksanakannya sebagai
kepedulian dan komitmen dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan.
c. Memberikan pemahaman yang dianggap tepat bagi masyarakat agar
memahami peran dan tanggung jawabnya dalam pencapaian peran dan
pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan bagi
perusahaan perseroan terbatas.
d. Sebagai bahan kajian bagi para akademisi untuk pengembangan lebih lanjut
mengenai hal-hal tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan
ke arah yang lebih baik.
e. Sebagai informasi dan rujukan bagi aktivis LSM/NGO, masyarakat umum dan
stakeholders lainnya sehingga mampu bersikap sebagai informan, promotor sekaligus pengontrol perkembangan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan
lingkungan perusahaan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian tesis yang ada pada
Program Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
ditemukan sedikitnya 2 (dua) judul tesis terkait tentang tanggung jawab sosial dan
Impelemntasi Corporate Social Responsibility (CSR) pada masyarakat Lingkungan PTPN IV dan (2) Tesis atas nama Martono Anggusti dengan judul Hak Perseroan dan
Tanggung Jawab Masyarakat dalam Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Tesis ini berbeda dengan tesis tersebut diatas, tesis pertama, lebih mengarah
pada penerapan konsep CSR terhadap BUMN dalam Bentuk Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan di Lingkungan PT Perkebunan Nusantara IV (persero). Sementara
tesis yang kedua lebih menfokuskan pada Analisi Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perusahaan berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas serta
Manfaatnya bagi Pemerintah, Masyarakat dan Perusahaan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawabnya terhadap
masyarakat di luar tanggung jawab ekonomis. Tanggung jawab sosial perusahaan
dimaksudkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi
suatu tujuan sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi ekonomis.
Corporate Social Responsibility (CSR) pada prinsipnya merupakan bentuk kerjasama antara perusahaan (tidak hanya perseroan terbatas) dengan segala sesuatu
atau segala hal (stakeholders) yang secara langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan perusahaan tersebut untuk tetap menjamin keberadaan dan
lingkungan yang di definisikan sebagai komitmen perseroan untuk berperan serta
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan
dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat
maupun masyarakat pada umumnya.
Oleh karenanya, untuk melihat relevansi CSR dalam bisnis, sebuah teori atau
aliran etika yang punya relevansi kuat untuk dunia bisnis adalah teoriutilitarianisme. Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting sebagai sarana untuk
merangkum serta memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak
tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan di tunjuk kaitannya satu sama lain
secara bermakna. Teori memberikan penjelasan mengenai cara mengorganisasikan
dan mensistematisasikan masalah yang di bicarakannya.15
Kerangka teori tesis ini menggunakan teori utilitas (utilitarisme) yang di pelopori oleh Jeremy Bentham dan selanjutnya dikembangkan oleh John Stuart Mill.
Utilitarisme disebut lagi suatu teologis (dari kata Yunani telos=tujuan), sebab
menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan
perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan
apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik. Teori utilitas merupakan
pengambilan keputusan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak
pihak sebagai hasil akhirnya (The greatest good for the greatest number) artinya bahwa hal ini benar di definisikan sebagai hal yang memaksimalisasi apa yang baik
dan meminimalisir apa yang berbahaya bagi kebanyakan orang, semakin bermanfaat
pada semakin banyak orang, maka perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari
perbuatan hukum ini bertahan paling lama dan relatif paling banyak digunakan.
Utilitarianism (dari kata utilities berarti manfaat) sering disebut pula dengan aliran konsekuensialisme karena sangat berpotensi pada hasil perbuatan.16
Utilitarisme sangat menekankan pada pentingnya konsekuensi perbuatan
dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan baik buruknya
tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika suatu
perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan
kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah
baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian dari pada manfaat,
perbuatan itu harus dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan disini memang menentukan
seluruh kualitas moralnya.17 Prinsip ultiritarian menyatakan bahwa :”An action is right from an ethical point of view if and only if the sum total of utilities produced by the act is the greater than the sumtotal of utilities produced by any other act the agent could have performed in its place” (suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan
tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang dihasilkan dari tindakan lain yang
dilakukan).18
16
Erni R. Ermawan“Business Ethic”, (Bandung, CV Alfabeta, 2007), hal 28.
17K. Bertens,“Etika dan Etiket, Pentingya Sebuah Perbedan”, (YogyakartaKanisius, 1989), hal 93.
Dalam karya tulisnya yang berjudul “An Introduction To The Principles Of Morals and Legislation” Jeremy Bentham Menyebutkan:
Alam telah menempatkan umat manusia dibawah dua kendali kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya yang keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan dan menentukan apa yang kita lakukan. Standar benar dan salah di satu sisi, maupun rantai sebab akibat di sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam semua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan: setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata-kata seorang manusia mungkin akan berpura-pura menolak kekuasaan mereka. Azas manfaat (utilitas) mengakui ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem tersebut, dengan tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan nalar dan hukum. Sistem yang mencoba untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan kata-kata ketimbang maknanya dengan dorongan sesaat ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang terang.19
Bentham menjelaskan lebih jauh bahwa asas manfaat melandasi segala
kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi
kebahagiaan itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu.
Menurut teori ini sesuatu adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu harus
menyangkut bukan hanya satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Jadi, utilitarisme ini tidak boleh dimengerti secara egoistis. Dalam rangka pemikiran
ini kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan
terbesar dari jumlah orang terbesar perbuatan yang mengakibatkan paling banyak
orang yang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Mengapa
melestarikan lingkungan hidup merupakan tanggung jawab moril individu dan
korporasi? Utilitarisme menjawab : karena hal itu membawa manfaat paling besar
bagi umat manusia secara keseluruhan korporasi atau perusahaan tentu bisa meraih
banyak manfaat dengan menguras kekayaan alam melalui teknologi dan industri,
hingga sumber daya alam rusak atau habis sama sekali. Karena itu menurut
utilitarianisme upaya pembangunan berkelanjutan (suitainable development) menjadi tanggung jawab moral individu atau perusahaan.20
Secara lebih konkrit, dalam kerangka etika utilitarianisme dapat dirumuskan 3
(tiga) kriteria objektif sekaligus norma untuk menilai suatu kebijaksanaan atau
tindakan.
Kriteria Pertama, manfaat, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi kebijaksanaan atau tindakan yang
baik adalah menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau tindakan
yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.
Kriteria Kedua, manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat besar (atau dalam situasi tertentu lebih besar) di bandingkan
dengan kebijaksanaan atau alternatif lainnya atau kalau yang di pertimbangkan adalah
soal akibat baik atau akibat buruk dari suatu kebijaksanaan atau tindakan, maka suatu
kebijaksanaan atau tindakan di nilai baik secara moral kalau mendatangkan lebih
banyak manfaat di bandingkan dengan kerugian. Dalam situasi tertentu kerugian
tidak bisa dihindari, dapat di katakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang
menimbulkan kerugian terkecil (termasuk kalau di bandingkan dengan kerugian yang
ditimbulkan oleh kebijaksanaan atau tindakan alternatif).
Kriteria Ketiga, menyangkut pertanyaan manfaat terbesar untuk siapa, untuk saya atau kelompokku, atau juga untuk semua orang lain yang terkait, terpengaruh
dan terkena kebijaksanaan atau tindakan yang akan saya ambil? Dalam menjawab
pertanyaan ini, etika utilitarianisme lalu mengajukan kriteria ketiga berupa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Jadi, suatu kebijaksanaan atau tindakan
dinilai baik secara moral kalau tidak hanya mendatangkan manfaat terbesar,
melainkan kalau mendatangkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.
Sebaliknya, kalau ternyata suatu kebijaksanaan atau tindakan tidak bisa mengelak
dari suatu kerugian maka kebijaksanaan atau tindakan dinilai tidak baik dan
kebijaksanaan atau tindakan itu di nilai baik apabila membawa kerugian yang sekecil
mungkin bagi sedikit orang.21
Persoalannya adalah apakah perusahaan dengan sukarela atau dengan ikhlas
menciptakan perubahan dalam lingkungan masyarakat di tempat perusahaan itu
berada. Karena pada dasarnya dunia usaha memegang teguh adagium bahwa tugas
pebisnis adalah mencari untung sebesar-besarnya. Di sinilah pentingnya moralitas
dalam kegiatan ekonomi menurut Adam Smith dalam bukunya “Theory Of Moral Sentiments”, mengungkapkan bahwa kegiatan ekonomi yang bersinggungan dengan kepentingan masyarakat, maka perusahaan harus dapat mengimplementasikan nilai
keadilan dalam kebijakan perusahaan karena negara hanya berlaku sebagai “Impartial Spectator”.22
Keberadaan suatu perusahaan akan selalu berinteraksi dengan masyarakat
sekitar yang kemudian menimbulkan kepentingan-kepentingan yang kadang saling
bertentangan. Dalam konteks pertentangan kepentingan masyarakat ini akan
menimbulkan persoalan wajar dan tidak wajar, patut tidak patut yang pada akhirnya
pertentangan kepentingan ini dapat melanggar hak anggota masyarakat.23
Oleh karenanya, menjalankan suatu aktivitas bisnis tidak hanya cukup
bermodalkan dana, tetapi sebagai fondasi juga di perlukan moralitas dan etika bisnis.
Ukuran yang selalu digunakan dalam etika bisnis adalah ukuran moral, apakah suatu
keputusan dan kebijaksanaan yang diterapkan dalam suatu pengelolaan perusahaan
telah sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam
pengamatan para pakar, etika dan sukses bisnis atau kinerja etis dan kinerja ekonomis
sutu organisasi bisnis bukanlah dua kutub yang bertentangan dan saling mengurangi
atau meniadakan karena “good business, good ethic”.24 Apabila kehidupan bisnis ingin berlangsung dalam jangka waktu yang panjang maka bisnis itu harus memberi
jawaban kepada kebutuhan masyarakat itu mengenai apa saja yang di butuhkan oleh
masyarakat tersebut. Kesadaran sosial ini adalah suatu akibat dari suksesnya suatu
22Bismar Nasution, ”Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 17 April 2004, hal 11.
23 Bismar Nasution, “Diktat Hukum Perusahaan”, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, hal 1.