• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Oleh PT. Lafarge Cement Indonesia Terhadap Masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Oleh PT. Lafarge Cement Indonesia Terhadap Masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

OLEH

GITA MELISA

097011069/ M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

T E S I S

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

GITA MELISA

097011069/ M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

TERHADAP MASYARAKAT LHOKNGA PROVINSI ACEH

Nama Mahasiswa : Gita Melisa

Nomor Pokok : 097011069

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum

(5)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : GITA MELISA

NIM : 097011069

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Oleh PT. Lafarge Cement Indonesia Terhadap Masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri

bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena

kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi

Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas

perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan

sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

(6)

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungannya (TJSL) berdasarkan Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan Undang-Undang Nomor. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Walaupun terjadi perdebatan panjang tentang kedudukan CSR yang diatur dalam UUPT, akhirnya permasalahan tersebut dijawab dengan tegas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 dimana sifat sukarela dari CSR ditingkatkan menjadi kewajiban hukum lebih mempunyai kepastian hukum serta daya atur, daya ikat, dan daya dorong bagi perusahaan untuk melaksanakan TJSL Perusahaan.

Dalam penelitian ini permasalahan yang ingin dijawab adalah: (1) Bagaimanakah pengaturan TJSL Perusahaan pada Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh; (2) Bagaimanakah penerapan kebijakan TJSL Perusahaan pada PT LCI terhadap masyarakat Lhoknga provinsi Aceh; dan (3) Bagaimanakah dampak penerapan TJSL Perusahaan PT LCI terhadap masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh; Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian Yuridis Empiris yaitu mengumpulkan informasi data serta penemuan dari lapangan, baik informasi yang berasal responden maupun dari informan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekisruhan panjang yang terjadi antara PT LCI dan Masyarakat Lhoknga di sebabkan oleh tiga hal yaitu: isu PT LCI tidak memprioritaskan masyarakat lokal untuk bekerja di perusahaan, isu PT LCI ingkar janji sejak awal didirikannya perusahaan dan isu kerusakan lingkungan. Setelah negosiasi yang cukup panjang tercapailah empat kesepahaman antara PT LCI dan masyarakat Lhoknga: (1) Menempatkan kantor perwakilan bagi masalah-masalah kemasyarakatan di Plant Lhoknga, (2) Seleksi dan rekrutmen tenaga kerja dari masyarakat Loknga dan Leupung, (3) Komitmen Lingkungan Hidup, dan (4) Menyediakan dana Penguatan dan Pengembangan Masyarakat setiap tahunnya sebesar Rp.3.000.000.000,00 (Tiga Milyar Rupiah). Setelah dua tahun berjalannya program CSR yang dilaksanakan telah terlihat adanya dampak positif baik bagi masyarakat ataupun perusahaan. Walaupun sebagian masyarakatnya menganggap bahwa nilai bantuan yang diberikan PT LCI masih belum sepadan dengan kerusakan yang terjadi di lingkungannya. Untuk itu, Unsur pemerintah diharapkan harus secara tegas dan jelas mengatur Rancangan Qanun tentang tanggung jawab investor terhadap pelestarian lingkungan dan kewajiban CSR yang harus dilaksanakan, dan juga unsur perusahaan yang harus terus berupaya dalam mengoptimalkan kinerjanya agar lebih tepat guna, tepat sasaran serta unsur masyarakat yang juga harus mendukung untuk menciptakan suasana aman dan kondusif bagi kelancaran kinerja operasional perusahaan agar dampak akhirnya dapat menciptakan harmonisasi antara kedua belah pihak.

(7)

responsibilities in its environment, based on Law no. 40/2007 on Limited Corporation (UUPT) and on Law no. 11 on Aceh Government (UUPA). Although there has been long debates on the position of CSR which is stipulated in UUPT, is finally settled by The Constitutional Court’s Verdict no.53/PUU/VI/2008 in which the CSR’s voluntary action is increased to become the legal obligation so that in which its legal security, order, binding, and supporting forces enable it to carry out its social and environmental responsibilities.

The problems which will be answered in this research are as follows: 1). How is the regulation of the Corporate Social Responsibility in Law no. 40/2007 on limited corporation and in Law no. 11/2006 on Aceh Government; 2). How is the implementation of the Corporate Social Responsibility at PT Lafarge Cement Indonesia on Lhoknga community, in Aceh Province; 3). How is the impact of the implementation of the CSR at PT LCI on the Lhoknga community in Aceh Province. In order to answer these problems, a judicial empirical research method is used; namely; gathering data information from the field from respondents and informants.

The result of the research showed that the long debates which occurred between PT LCI and the Lhoknga community is caused by three things: The issue that PT LCI did not prioritize the local community to work in the company; the issue that PT LCI did not keep its promised from the beginning of its establishment, and the issue of the environmental damage. Finally, after the long negotiation between both parties, there are four mutual understandings between them about: 1). A branch office is appointed to settle the community problems in Plant Lhoknga, 2). The selection and the recruitment of new employees from Lhoknga and Leupung communities, 3). The commitment on environment, and 4). The company provided supporting and developing funds for the community each year in the amount of Rp. 3,000,000,000 (three billion rupiahs). After the CSR’s program done PT LCI had lasted in two years there was a positive impact on the community and the company itself although some of them still did not satisfied with what had been done by PT LCI, compared with the environmental damage. Therefore, it was recommended that the government should strictly and transparently regulate Qanun Plan on the investors and the CSR’s responsibility on the environment and the management of the company should optimize its performance efficiently and on target by preserving environment and community elements. The company should also create safe and conducive atmosphere in order that its operational performance could run smoothly which was eventually able to create a harmony between both parties.

(8)

dengan berkat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini

dengan judul “Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility)Oleh PT Lafarge Cement Indonesia Terhadap Masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan

dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang

mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat

terpelajarBapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Humselaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum selaku anggota komisi pembimbing, juga Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum selaku para anggota penguji yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan

dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Juga semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang

konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada

(9)

dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan

tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan

tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang

telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat

selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama

(10)

Mahdani Musa yang telah memberikan data dan informasi berguna dalam

penelitian ini.

8. Seluruh warga masyarakat Kecamatan Lhoknga, Keuchik Desa Lamgaboh Bapak

Razali, Warga Desa Lamkruet Bapak Zuhri “arie-udin”, Keuchik Desa Lampaya

Bapak Nasruddin AR, Imum Mukin Lhoknga Bapak Tgk. M. Fauzi, Anggota

Komite Bersama Bapak Aidil Adhari serta terima kasih saya yang

sebesar-besarnya kepada Bapak M. Yulfan SH, dan Ibu Raihal Fajri sebagai Juru Bicara

dan Sekretaris Komite Masyarakat Bersatu Masyarakat Lhoknga-Leupung, yang

telah memberikan informasi yang sedalam-dalamnya mengenai dinamika

perkembangan penerapan CSR PT Lafarge Cement Indonesia dari tahun ke tahun

dan semoga segala usaha dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat Aceh

Khususnya warga Kecamatan Lhoknga telah dapat dirasakan manfaatnya saat ini.

9. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2009 dan Kelas

C yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam penyelesaian

(11)

memberikan dukungan immateril kepada Penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun

besar harapa Penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua

pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariatan

pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan

kepada Penulis mendapat balas yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu

dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada

kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Desember 2011

Penulis,

(12)

Nama : Gita Melisa

Tempat / Tanggal Lahir : Banda Aceh, 5 Januari 1988

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : PNS

Agama : Islam

PENDIDIKAN FORMAL :

1. MIN Seutui Banda Aceh Provinsi Aceh Lulus tahun 1999

2. SLTP Negeri.1 Sabang Provinsi Aceh Lulus tahun 2002

3. SLTA Negeri. 1 Sabang Provinsi Aceh Lulus tahun 2005

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Banda Aceh, Provinsi Aceh Lulus tahun 2009

5. S-2 Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

(13)

Halaman

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 20

C. Tujuan Penelitian ... 20

D. Manfaat Penelitian ... 21

E. Keaslian Penelitian……... 22

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 23

1. Kerangka Teori... 23

2. Kerangka Konsepsi ... 36

G. Metode Penelitian... 38

1. Sifat dan Metode Pendekatan... 38

2. Lokasi Penelitian... 39

3. Populasi dan Sampel ... 40

4. Teknik Pengumpulan Data... 40

a. Penelitian Kepustakan ... 40

b. Penelitian Lapangan ... 40

5. Alat Pengumpulan Data ... 41

(14)

TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006

TENTANG PEMERINTAHAN ACEH... 45 A. CSR pada undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ... 45

1. Tinjauan Umum Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Perusahaan (Corporate Social Responsibility... 46 2. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan Perusahaan ... 57

3. Kewajiban Perusahaan dalam Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan

(Corporate Social Responsibility)... 63 B. CSR pada undang-undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang ...

Pemerintahan Aceh ... 69

BAB III PENERAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY)OLEH

PT LAFARGE CEMENT INDONESIA TERHADAP

MASYARAKAT LHOKNGA PROVINSI ACEH... 75 A. Gambaran Umum PT Lafarge Cement Indonesia ... 75

B. Struktur Organisasi PT Lafarge Cement Indonesia ... 78

C. Analisis Sejarah Perkembangan Pelaksanaan CSR Oleh

PT Lafarge Cement Indonesia... 80

1. Respon Masyarakat Terhadap Keberadaan PT Lafarge Cement Indonesia ... 81

2. Latar Belakang Permasalahan CSR antara Masyarakat dan PT Lafarge Cement Indonesia... 81

3. Lahirnya Pertanggungjawaban Sementara... 94

4. Hasil Kesepakatan Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Antara Masyarakat dan PT Lafarge

Cement Indonesia………... 99

(15)

Tahun 2010 ... 111

BAB IV DAMPAK PENERAPAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) PT LAFARGE CEMENT INDONESIA TERHADAP MASYARAKAT LHOKNGA PROVINSI ACEH... 120

A. Dampak Bagi Perusahaan (Internal) ... 120

B. Dampak Bagi Masyarakat (Eksternal) ... 126

BAB V KESIMPULAN DAN DASAR... 134

A. Kesimpulan ... 134

B. Saran... 137

(16)

Gambar 1 : Struktur Organisasi PT Lafarge Cement Indonesia ... 78

Gambar 2 : Struktur Organisasi Departemen CSR

PT Lafarge Cement Indonesia ... 79

Gambar 3 : Diagram Persentase Karyawan PT Lafarge Cement Indonesia

(17)

2. Blasting: penghancuran atau peledakan.

3. Bargaining: menawar atau penawaran.

4. Charity : amal.

5. Community Development : pemberdayaan masyarakat, kegiatan pembangunan Komunitas yang dilakukan secara istematis terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses komunitas guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sosial sebelumnya.

6. Community Relation : memelihara hubungan baik dengan masyarakat sekitar yang sangat berpengaruh terhadap akitivitas perusahaan dan akan membawa keuntungan jangka panjang serta mendekatkan perusahaan dengan konsumen-konsumen potensial.

7. Corporate Social Responsibility : komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindakSeara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.

8. Corporate Citizenship : adalah sebagai salah satu cara untuk memperbaiki reputasi perusahaan, meningkatkan keunggulan kompetitif serta membantu memperbaiki kualitas hidup manusia dan mengacu pada peran perusahaan dalam menangani isu- isu yang memiliki dampak dramatis terhadap masa depan dunia, seperti perubahan iklim, kekurangan air, pendidikan, teknologi informasi dan kemiskinan.

9. Corporate Phylantrophy (filantropi korporasi) : bahwa perusahaan melakukan peranan jasa sosial dan Trusteeship principle (prinsip perwalian), dimana direksi bertindak sebagai wali bagi pemegang saham, kreditur, buruh, konsumen, dan komunitas yang lebih luas dengan memberikan kontribusi terhadap lingkungan hidup yang lebih bersih dan kehidupan masyarakat yang lebih baik melalui interaksi aktif dari semua pihak.

(18)

pajak dan penyedia barang/jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

13. Penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang.

14. Emergency Response : tanggap darurat

15. Good corporate citizen : warga negara yang baik.

16. Good oriented behaviour : perilaku atau tindakan adalah berorientasi tujuan

17. Impartial Spectator : Wasit atau tidak berpihak

18. Imeum Mukim :Mukimadalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapaGampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin olehImeum Mukim

19. Joint Community : komunitas bersama

20. Karst : dalah sebuah bentukan di permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase permukaan, dan gua.

21. Karikatif : bersifat member.

22. Keuchik : sebutan untuk seseorang yang mengepalai desa dalam bahasa Aceh.

23. License to operate : keleluasaan perusahaan untuk menjalankan roda bisnis di suatu wilayah.

24. Legal entity : subjek hukum

25. Memorandum of Understanding (MoU) : Nota kesepahaman atau kesepakatan awal/pendahuluan

(19)

30. Reward : hadiah.

31. Recovery : pemulihan.

32. Stakeholder : orang atau instansi yang berkepentingan (pihak yang berkepentingan) termasuk para karyawan, konsumen, masyarakat, pemerintah dan lingkungan hidup.

33. Shareholder : seseorang atau badan hukum yang secara sah memiliki satu atau lebih saham pada perusahaan

34. Society : masyarakat

35. Suistainability : kelangsungan usaha

36. Suistanable development : Pembangunan berkelanjutan

37. The greatest good for the greatest number : artinya bahwa hal ini benar didefinisikan sebagai hal yang memaksimalisasi apa yang baik dan meminimalisir apa yang berbahaya bagi kebanyakan orang, semakin bermanfaat pada semakin banyak orang, maka perbuatan itu semakin etis.

38. The only duty of the corporation is to make profit : Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis adalah meingkatkan keuntungan.

39. The Tripe Bottom Line : konsep yang dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997 yang mengembangkan konsep bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan harus memperhatikan “3P” (Profit,People, Planet) selain mengejar profit, juga memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat serta turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan.

(20)

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungannya (TJSL) berdasarkan Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan Undang-Undang Nomor. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Walaupun terjadi perdebatan panjang tentang kedudukan CSR yang diatur dalam UUPT, akhirnya permasalahan tersebut dijawab dengan tegas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 dimana sifat sukarela dari CSR ditingkatkan menjadi kewajiban hukum lebih mempunyai kepastian hukum serta daya atur, daya ikat, dan daya dorong bagi perusahaan untuk melaksanakan TJSL Perusahaan.

Dalam penelitian ini permasalahan yang ingin dijawab adalah: (1) Bagaimanakah pengaturan TJSL Perusahaan pada Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh; (2) Bagaimanakah penerapan kebijakan TJSL Perusahaan pada PT LCI terhadap masyarakat Lhoknga provinsi Aceh; dan (3) Bagaimanakah dampak penerapan TJSL Perusahaan PT LCI terhadap masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh; Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian Yuridis Empiris yaitu mengumpulkan informasi data serta penemuan dari lapangan, baik informasi yang berasal responden maupun dari informan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekisruhan panjang yang terjadi antara PT LCI dan Masyarakat Lhoknga di sebabkan oleh tiga hal yaitu: isu PT LCI tidak memprioritaskan masyarakat lokal untuk bekerja di perusahaan, isu PT LCI ingkar janji sejak awal didirikannya perusahaan dan isu kerusakan lingkungan. Setelah negosiasi yang cukup panjang tercapailah empat kesepahaman antara PT LCI dan masyarakat Lhoknga: (1) Menempatkan kantor perwakilan bagi masalah-masalah kemasyarakatan di Plant Lhoknga, (2) Seleksi dan rekrutmen tenaga kerja dari masyarakat Loknga dan Leupung, (3) Komitmen Lingkungan Hidup, dan (4) Menyediakan dana Penguatan dan Pengembangan Masyarakat setiap tahunnya sebesar Rp.3.000.000.000,00 (Tiga Milyar Rupiah). Setelah dua tahun berjalannya program CSR yang dilaksanakan telah terlihat adanya dampak positif baik bagi masyarakat ataupun perusahaan. Walaupun sebagian masyarakatnya menganggap bahwa nilai bantuan yang diberikan PT LCI masih belum sepadan dengan kerusakan yang terjadi di lingkungannya. Untuk itu, Unsur pemerintah diharapkan harus secara tegas dan jelas mengatur Rancangan Qanun tentang tanggung jawab investor terhadap pelestarian lingkungan dan kewajiban CSR yang harus dilaksanakan, dan juga unsur perusahaan yang harus terus berupaya dalam mengoptimalkan kinerjanya agar lebih tepat guna, tepat sasaran serta unsur masyarakat yang juga harus mendukung untuk menciptakan suasana aman dan kondusif bagi kelancaran kinerja operasional perusahaan agar dampak akhirnya dapat menciptakan harmonisasi antara kedua belah pihak.

(21)

responsibilities in its environment, based on Law no. 40/2007 on Limited Corporation (UUPT) and on Law no. 11 on Aceh Government (UUPA). Although there has been long debates on the position of CSR which is stipulated in UUPT, is finally settled by The Constitutional Court’s Verdict no.53/PUU/VI/2008 in which the CSR’s voluntary action is increased to become the legal obligation so that in which its legal security, order, binding, and supporting forces enable it to carry out its social and environmental responsibilities.

The problems which will be answered in this research are as follows: 1). How is the regulation of the Corporate Social Responsibility in Law no. 40/2007 on limited corporation and in Law no. 11/2006 on Aceh Government; 2). How is the implementation of the Corporate Social Responsibility at PT Lafarge Cement Indonesia on Lhoknga community, in Aceh Province; 3). How is the impact of the implementation of the CSR at PT LCI on the Lhoknga community in Aceh Province. In order to answer these problems, a judicial empirical research method is used; namely; gathering data information from the field from respondents and informants.

The result of the research showed that the long debates which occurred between PT LCI and the Lhoknga community is caused by three things: The issue that PT LCI did not prioritize the local community to work in the company; the issue that PT LCI did not keep its promised from the beginning of its establishment, and the issue of the environmental damage. Finally, after the long negotiation between both parties, there are four mutual understandings between them about: 1). A branch office is appointed to settle the community problems in Plant Lhoknga, 2). The selection and the recruitment of new employees from Lhoknga and Leupung communities, 3). The commitment on environment, and 4). The company provided supporting and developing funds for the community each year in the amount of Rp. 3,000,000,000 (three billion rupiahs). After the CSR’s program done PT LCI had lasted in two years there was a positive impact on the community and the company itself although some of them still did not satisfied with what had been done by PT LCI, compared with the environmental damage. Therefore, it was recommended that the government should strictly and transparently regulate Qanun Plan on the investors and the CSR’s responsibility on the environment and the management of the company should optimize its performance efficiently and on target by preserving environment and community elements. The company should also create safe and conducive atmosphere in order that its operational performance could run smoothly which was eventually able to create a harmony between both parties.

(22)

A. Latar Belakang

Kondisi iklim yang tidak menentu saat ini yang di tandai dengan menipisnya

ozon dan global warming telah menggerakkan pemerintah negara-negara maju dan berkembang untuk mengambil bagian dalam menciptakan regulasi yang ramah

lingkungan. Kemiskinan dan kerawanan sosial dianggap memiliki sumbangan yang

besar dalam pengrusakan sumber daya alam. Oleh sebab itu, isu lingkungan tidak

boleh dipisahkan dari isu sosial dan kemasyarakatan.

Dalam dunia bisnis, membicarakan masalah perilaku bisnis adalah sangat

relevan. Bisnis atau perusahaan sebagai institusi pencari laba, di samping menjunjung

tinggi kualitas produk dan layanan, perusahaan juga harus dituntut memperhatikan

segi moral. Hukum sebagai perangkat norma-norma kehidupan dalam bermasyarakat

merupakan salah satu instrumen atau alat terciptanya aktivitas bisnis yang lebih baik.

Para pelaku bisnis (perusahaan) dan masyarakat hendaknya harus menciptakan

hubungan yang harmonis. Untuk itulah perusahaan dan masyarakat harus dapat

bersinergi, dalam hal ini perusahaan harus mampu menghapus segala kemungkinan

kesenjangan yang terjadi. Perusahaan merupakan badan usaha yang berbadan hukum

yang merupakan subjek hukum, dengan demikian perusahaan mempunyai hak dan

tanggung jawab hukum dan juga mempunyai tanggung jawab moral, di mana

(23)

karena itu wajar apabila pelaku bisnis diharapkan agar berperilaku seperti yang

ditanamkan dan diharapkan olehstakeholder.1

Aktifitas bisnis merupakan masalah kompleks yang sedang hangat di

bicarakan ditengah-tengah usaha pemerintah untuk mengembalikan gairah dunia

perekonomian Indonesia. Roda bisnis tidak akan berjalan dengan baik apabila

dijalankan dengan kecurangan dan penipuan baik di lingkungan internal maupun eksternal perusahaan. Dalam lingkungan internal, perlu di perhatikan hubungan antara berbagai jenjang kedudukan yang ada, kultur perusahaan, peraturan dan sistem

di perusahaan, serta budaya keterbukaan informasi, sedangkan lingkungan eksternal merupakan hubungan perusahahaan dengan stakeholder serta masyarakat sekitar perusahaan.2

Dipandang dari segi moral hakikat manusia maupun hakikat kegiatan bisnis

itu sendiri, di yakini bahwa tidak benar jika para manajer perusahaan hanya punya

tanggung jawab dan kewajiban moral kepada pemegang saham. Para manajer

perusahaan sebagai manusia dan sekaligus mempunyai tanggung jawab dan

kewajiban moral kepada orang banyak dan pihak lain yang berkaitan dengan kegiatan

operasi bisnis perusahaan yang dipimpinnya. Para manajer perusahaan mempunyai

tanggung jawab dan kewajiban moral untuk memperhatikan hak dan kepentingan

karyawan, konsumen, pemasok, penyalur, masyarakat setempat dan seterusnya.

1

Soeharto Prawirokusumo,“Perilaku Bisnis Modern Tinjauan Pada Etika Bisnis-Tanggung Jawab Sosial”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 Nomor 4- Tahun 2003, hal 81.

2 I Nyoman Tjager, et al, “Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan Bagi

(24)

Singkatnya, tanggung jawab dan kewajiban moral para manajer perusahaan tidak

hanya tertuju pada shareholders(pemegang saham) tetapi juga kepadastakeholders. Salah satu isu penting yang masih terus menjadi perhatian dunia usaha hingga

saat ini adalah isu mengenai tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) yang selanjutnya dalam penulisan ini disingkat dengan CSR. CSR adalah merupakan suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya)

perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan,

pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional

perusahaan. Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi, komunitas dapat diartikan

sangat luas, namun secara singkat merupakan peningkatan partisipasi dan posisi

organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama

bagi organisasi dan komunitas.

CSR bukan hanya sekedar kegiatan amal, namun suatu perusahaan di

haruskan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh

memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup dan di sisi lain perusahaan juga di haruskan

untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan

eksternal dengan kepentingan internal. Sebagai bagian dari konfigurasi hubungan antara dunia bisnis dan masyarakat, persoalan mengenai tanggung jawab sosial

perusahaan mengalami rumusan konseptual yang terus berubah, sejalan dengan

(25)

waktu yang sangat panjang, dunia usaha mungkin tidak pernah berfikir mengenai

tanggung jawab sosial atas usaha yang dijalankannya. Hal ini karena proposi teori

klasik, sebagaimana dirumuskan oleh Adam Smith di mana tugas korporasi

diletakkan semata-mata hanya untuk mencari keuntungan “the only duty of the corporation is to make profit”.3 Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis adalah meingkatkan keuntungan.

Secara perlahan ideologi “the only duty of the corporation is to make profit" yang dianut oleh korporasi atau perusahaan telah berubah dengan munculnya

kesadaran kolektif bahwa keberlangsungan pertumbuhan dunia usaha tidak akan

terjadi tanpa dukungan yang memadai dari stakeholder dan yang melingkupinya seperti manajer, konsumen, buruh dan anggota masyarakat sehingga tidak heran jika

pembahasan mengenai CSR selalu mengarah pada suatu kondisi yang dilematis

antara shareholder’s value yang di hasilkan perusahaan dan upaya memaksimalkan kepentingan publik. Dengan kata lain, keterlibatan perusahaan dalam sebuah

tanggung jawab sosial selalu meningkatkan konflik mengenai fungsi direksi yang

harus mengabdi pada kepentingan yang terbaik bagi perusahaan dan di sisi lain juga

harus menjadikan perusahaan tersebut menjadi warga negara yang baik (good corporate citizen).4 Perilaku atau tindakan adalah berorientasi tujuan (good oriented behaviour). Artinya untuk memenuhi kebutuhannya, seseorang harus memiliki tujuan

3 Sofyan Djalil, “Kontek Teoritis dan Praktek Corporate Social Responsibility”, Jurnal Reformasi Ekonomi Volume 4 Nomor 1 Januari-Desember 2003, hal 4.

(26)

dan dalam tindakannya tujuannya adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan

tersebut.5

CSR yang kini marak dilaksanakan banyak perusahaan, berkembang setelah

terjadi revolusi industri, kebanyakan perusahaan memandang bahwa sumbangan

kepada masyarakat cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan kerja,

pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produk dan pembayaran pajak kepada

negara. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tidak sekedar menuntut

penyediaan barang dan jasa yang diperlukannya, melainkan juga menuntut untuk

bertanggung jawab secara sosial. Prinsip duty to act bonafide in the interest of company yang dikenal luas dalam hukum perseroan menuntut kewajiban seorang direksi agar mengelola perusahaan untuk kepentingan dan keuntungan perusahaan.6 Tentunya tujuan akhirnya adalah optimalisasi nilai (value) bagi para pemegang saham. Di sisi lain perusahaan sebagai sebuah legal entity (subjek hukum) yang memiliki legal personality ditengah-tengah masyarakat dan memiliki kewajiban terhadap subjek hukum lainnya atau anggota dalam pergaulan masyarakat secara

umum. Tuntutan ini merupakan wujud dari kewajiban perusahaan sebagai salah satu

subjek yang eksistensinya di pengaruhi oleh interaksi yang baik dengan subjek

lainnya di tengah pergaulan masyarakat. Sebelum menambah kemasyarakat yang

lebih luas, semestinya CSR dilakukan untuk lingkungan terdekat, yaitu

5Ujang Sumarwan,”Perilaku Konsumen”, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2004), hal 37.

(27)

masyarakatnya sendiri atau karyawannya. Bila tanggung jawab ini dipenuhi, tak

menutup kemungkinan, karyawannyapun ikut menyalurkan kepedulian sosial

terhadap lingkungannya seperti yang dilakukan oleh perusahaan tempat mereka

bekerja.

Secara perlahan di dalam dunia usaha di Indonesia mulai muncul masalah

baru berkaitan dengan pentingnya dunia usaha dalam mempertajam kesadaran mereka

tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Perusahaan harus memandang bahwa

tanggung jawab sosial perusahaan perlu di upayakan di lingkungan eksternal dan internal perusahaan. Dalam lingkup internal perusahaan, pelaksanaan CSR merupakan keputusan strategis perusahaan yang secara sadar di desain sejak awal

untuk menerapkan lingkungan kerja yang sehat, kesejahteraan karyawan, aspek bahan

baku dan limbah yang ramah lingkungan serta semua aspek dalam menjalankan

kegiatan usaha dan dijamin tidak menerapkan praktek-praktek yang merugikan

masyarakat di dalam dan sekitar perusahaan. Dalam lingkup eksternal, lingkungan sekitar perusahaan pada khususnya serta lingkungan masyarakat pada umumnya.

Tanggung jawabeksternalini menjadi kewajiban bersama antara entitas bisnis untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan yang berkelanjutan.

Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwaresponsible business is a good business.7 Pasal 1 angka 3 Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas (untuk selanjutnya disebut UUPT) menjelaskan CSR adalah komitmen

(28)

perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna

meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi

perusahaan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Hal ini

dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan perusahaan yang serasi,

seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat

setempat. Berdasarkan Pasal 74 UUPT, sebuah perseroan yang menjalankan usahanya

di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung

jawab sosial dan lingkungan.

Yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di

bidang sumber daya alam” adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan

memanfaatkan sumber daya alam. Sedangkan yang dimaksud dengan “perseroan

yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam”

adalah perusahaan yang tidak mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, tetapi

kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.8 Diundangkannya UUPT ini mengisyaratkan bahwa CSR awalnya bersifat sukarela

dan untuk kemudian menjadi sebuah tanggung jawab yang diwajibkan. Namun,

UUPT secara eksplisit tidak mengatur berapa jumlah nominal dan atau berapa

besaran persen laba bersih dari suatu keuntungan perusahaan yang harus

disumbangkan. Karena pengaturan lebih lanjut merupakan domain daripada Peraturan

Pemerintah (PP), tetapi untuk saat ini menurut UUPT besaran sumbangan yang

(29)

disalurkan kepada masyarakat pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan

kepatutan dan kewajaran. Sedangkan bagi perusahaan yang tidak melaksanakan

kewajiban CSR ini dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Dalam undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal

(yang disingkat dengan UUPM). Pasal 15 huruf (b) UUPM juga menetapkan

kewajiban bagi setiap perusahaan penanaman modal untuk melaksanakan tanggung

jawab sosial. Yang dimaksud tanggung jawab sosial perusahaan dalam UUPM adalah

tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap

menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai,

norma dan budaya masyarakat setempat. Jika tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai

dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha

dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas

penanaman modal (Pasal 34 ayat (1) UUPM).

Pasal 74 UUPT yang telah disebutkan di atas mencoba mengakhiri perdebatan

mengenai CSR sebagai tindakan sukarela perusahaan atau sebuah kewajiban hukum

yangimperative(wajib dilksanakan), dengan menguraikan aturan sebagai berikut : (1) Perseroan yang menjalakan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan

dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

(30)

(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.9

Dengan perkataan lain, TJSL-CSR merupakan komitmen perseroan terhadap

para pemangku kepentingan, dalam arti yang luas. Ketimbang hanya untuk

kepentingan perseroan atau perusahaan semata. Artinya, walaupun secara moral dan

etika adalah baik, boleh dan dibenarkan sebuah perseroan atau perusahaan mencari,

mengejar keuntungan sebesar-besarnya, tetapi tanpa mengenyampingkan dan

mengorbankan kepentingan-kepentingan pihak-pihak lain yang terkait. Misalnya

lingkungan budaya, sosial dan masyarakat pada umumnya: jika demikian halnya,

menurut pemberita adalah tepat jika CSR atau TJSL tidak lagi dimaknai sebagai

gerakan atau tuntutan moral, tetapi dapat berkembang menjadi kewajiban, obligasi,

obligation, atau mandatory perseroan yang harus dilaksanakan. Bahwa kesadaran perseroan atau perusahaan untuk melaksanakan kewajiban TJSL atau CSR dapat

memberikan makna bahwa perseroan bukan lagi sebagai kelompok atau entitas yang

mementingkan dirinya sendiri. Berperilaku dan bercirikan eksklusifitas dari

lingkungan masyarakatnya. Melainkan sebuah entitas yang wajib melakukan adaptasi

kultural dengan lingkungan sosialnya, sehingga dengan demikian menurut

pemerintah, merupakan hal yang tepat dan wajar jika TJSL atau CSR tidak lagi

dimanipulasi hanya sekedar responsibility yang bersifat voluntary , tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam pengertian liability. Dan karenanya jika

(31)

perseroan atau perusahaan tidak melaksanakan, wajib dikenakan Pasal 74 ayat (3)

Undang-Undang Perseroan Terbatas.10 Jadi berdasarkan UUPT, CSR kini menjadi tanggung jawab legal dan bersifat wajib. Tanggung jawab perusahaan yang

tinggi sangat diperlukan karena dengan mewajibkan perusahaan menyisihkan

sebagian keuntungannya untuk usaha sosial kemasyarakatan diharapkan dapat ikut

memberdayakan masyakarat secara sosial dan ekonomi.

Mengenai CSR ini, secara eksplisit juga disebutkan dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (yang untuk selanjutnya disebut

dengan UUPA). Dari historikanya, UUPA lahir sebagai semangat memelihara

perdamaian sekaligus rehab rekon Aceh pasca tsunami. Proses kelahirannya

melibatkan banyak pihak di Aceh, luar Aceh, bahkan di luar negeri sejak dirancang,

dibahas hingga diterapkan sebagai Undang-Undang, Dalam konteks mensejahterakan

rakyat Aceh, selain sebagai penunjang pendapatan di Aceh, seperti: tambahan bagi

hasil migas, dana otsus, dana istimewa, dana alokasi umum, dana tambahan

pendidikan, dan lainnya, terdapat satu sumber penting lainnya yang jarang

dibicarakan, yaitu sumber pendapatan yang berasal dari arus investasi dan kegiatan

bisnis di Aceh. Sebab di antara tolok ukur Aceh maju dan rakyatnya sejahtera, jika

pertumbuhan ekonomi Aceh secara positif dan signifikan meningkat yang disusul

meningkatnya daya beli masyarakat. Pilar utama pemicu pertumbuhan ekonomi yang

10Mahkamah Konstitusi,Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008, Perkara Permohonan Pengujian

(32)

dapat menimbulkan dampak multiplier bagi berbagai pihak adalah dunia usaha atau

kalangan bisnis. Setiap usaha, selalu memulai dengan telaah kelayakan. Telaah ini

meliputi berbagai aspek, antara lain, aspek keamanan, hukum, ekonomis, teknis,

sosial, lingkungan, dan lain-lain.

Dalam UUPA terdapat beberapa ketentuan pokok mengenai pengelolaan

sumber daya alam yang ada di Aceh yang juga berkaitan erat dengan pelaksanaan

tanggung jawab sosial perusahaan, hal ini sebagaimana yang di sebutkan dalam Pasal

156 UUPA, yaitu:

(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik didarat maupun dilaut Wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya. (2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi dan budidaya.

(3) Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan.

(4) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pemerintah Aceh dapat:

a. membentuk badan usaha milik daerah; dan

b. melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara.

(5) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta lokal, nasional, maupun asing.

(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berpedoman pada standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan Pemerintah. (7) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat

(5), pelaksana kegiatan usaha wajib mengikutsertakan sumber daya manusia setempat dan memanfaatkan sumber daya lain yang ada di Aceh.

Dalam Pasal 159 UUPA permasalahan mengenai CSR ini di tegaskan

(33)

pertambangan yang melakukan kegiatan usaha pertambangan di Aceh berkewajiban

menyiapkan dana pengembangan masyarakat, di mana dana pengembangan

masyarakat sebagaimana dimaksud tersebut di tetapkan berdasarkan kesepakatan

antara pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota, dan pelaku usaha yang

besarnya paling sedikit 1% (satu persen) dari harga total produksi yang dijual setiap

tahunnya. Mengenai rencana penggunaan dana pengembangan masyarakat ini,

tujuannya guna membiayai program yang disusun bersama dengan memperhatikan

kebutuhan masyarakat sekitar kegiatan usaha dan masyarakat di tempat lain serta

mengikutsertakan pelaku usaha yang bersangkutan diatur lebih lanjut dalam Qanun

Aceh.

Terkait dengan masalah tersebut, PT Semen Andalas Indonesia yang untuk

sekarang dinamakan PT Lafarge Cement Indonesia (atau disebut juga dengan PT

LCI) merupakan salah satu pabrik swasta yang menghasilkan dan memproduksi

semen di wilayah Kecamatan Lhoknga Provinsi Aceh. PT LCI Lhoknga merupakan

salah satu perusahaan semen bagian dari grup Lafarge Perancis. Saat ini, Lafarge baru

saja memperpanjang kerjasamanya empat tahun ke depan dengan PT LCI. Dalam

websitenya, Salah satu proyek yang dilakukan Lafarge adalah memiliki pabrik semen

di Indonesia, yaitu PT Lafarge Cement Indonesia di Aceh (PT LCI/Lafarge), di mana

sekitar 99 persen saham PT LCI dimiliki oleh grup perusahaan Lafarge, Pabrik

(34)

Pada tahun 2006, PT.LCI kembali melakukan rekonstruksi dan meningkatkan

produksinya dari 1 juta ton menjadi 1,6 juta ton pertahun.11

Dalam hal pelaksanaan CSR oleh perusahaan tersebut, PT LCI telah

melaksanakan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat setempat dan hal ini

diwujudkan dalam bentuk pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan

informasi kepada para pihak yang terkait. Pelaksanaan tanggung jawab sosial ini di

tandai dengan telah di tandatanganinya perjanjian bersama yang melibatkan PT. LCI

dengan masyarakat Lhoknga. Namun kemudian muncul permasalahan di kemudian

hari mengenai besaran dari tanggung jawab sosial yang di jalankan perusahaan

tersebut.

Hal ini lah yang kemudian memicu terjadinya kasus-kasus konflik terus

menerus antara PT. LCI dan masyarakat Kecamatan Lhoknga, utamanya yang terkait

dengan perilaku perusahaan, disebabkan karena silang pendapat antara PT. LCI

dengan masyarakat dalam hal implementasi CSR oleh perusahaan. Sesungguhnya

keberadaan CSR dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan telah pernah

ada sejak dulu melalui program pengembangan lingkungan yang pernah dilaksanakan

oleh PT. LCI sebelum penandatangannan perjanjian bersama, namun hal ini di rasa

masyarakat masih belum mengakomodir keinginan dan kebutuhan masyarakat

setempat.

11www. Google. com,“ CSR Oleh PT Semen Andalas Indonesia”, diakses pada tanggal 5

(35)

Berawal dari keinginan masyarakat yang tergabung dalam Komite Masyarakat

Bersatu (KMB) Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar, yang melakukan aksi

demo terhadap PT Lafarge Cement Indonesia untuk menuntut agar perusahaan semen

tersebut segera memenuhi tuntutan masyarakat sekitar perusahaan itu. PT LCI (pada

saat itu dinamakan dengan PT Semen Andalas Indonesia/PT SAI) dinilai ingkar janji

oleh masyarakat Lhoknga atau melanggar kesepakatan yang telah dibuat oleh PT SAI

pada tanggal 30 Mei tahun 1980 yang didalamnya termasuk permasalahan mengenai

penerimaan karyawan putra daerah dan pemberdayaan masyarakat setempat serta

pembangunan sarana pendidikan serta kesehatan bagi masyarakat Lhoknga.

Dalam perjanjian yang ditandatangani antara pimpinan PT SAI dengan Bupati

Aceh Besar pada tanggal 30 Mei 1980, salah satu poin dari perjanjian tersebut

menyebutkan bahwa pabrik akan memprioritaskan putra Lhoknga menjadi karyawan

sesuai syarat melalui pelatihan dan pendidikan dari pabrik. Pada poin dua PT SAI

akan memberikan prioritas kepada putra-putra Kecamatan Lhoknga yang memenuhi

persyaratan yang ditentukan untuk menjadi karyawan melalui program pendidikan

dan latihan yang akan dilaksanakan PT SAI bekerja sama dengan Universitas Syiah

Kuala Banda Aceh. Sementara dalam poin tiga dari surat yang ditujukan oleh PT SAI

kepada Bupati Aceh Besar dengan nomor 073/RA/80 juga disebutkan, salah satu

rencana pembangunan lingkungan yang akan dilaksanakan dalam prioritas sesuai

(36)

Lhoknga, pembangunan tempat kesehatan rumah sakit/poliklinik dan pembangunan

sekolah-sekolah untuk masyarakat setempat.12

Setelah melakukan beberapa kali negosiasi antara PT. LCI dengan Otoritas

Pemerintahan Kecamatan Lhoknga beserta para Imum Mukim dalam Kecamatan

Lhoknga, maka lahirlah sebuah kesepakatan. Perjanjian bersama yang disepakati oleh

PT. LCI, dalam hal ini di wakili oleh Marc Jarrault selaku Presiden Direktur

berdasarkan Akta No. 21 tertanggal 14 November 2008 (pihak pertama). Dan

masyarakat Kecamatan Lhoknga, dalam hal ini di wakili oleh masing-masing Otoritas

Pemerintahan Kecamatan Lhoknga beserta para Imeum Mukim dalam Kecamatan

Lhoknga yang mewakili seluruh masyarakat dalam kecamatan Lhoknga (pihak

kedua).

Dari perjanjian bersama tersebut melahirkan 4 (empat) kesepahaman, yaitu

mengenai:

1. Kantor perwakilan bagi masalah-masalah kemasyarakatan di Plant Lhoknga.

2. Seleksi dan rekrutmen tenaga kerja dari masyarakat Loknga dan Leupung.

3. Komitmen Lingkungan Hidup, dan

4. Penguatan dan Pengembangan Masyarakat.

Selain melakukan penguatan dan pengembangan ekonomi masyarakat,

pendidikan, kebudayaan, keagamaan dan kesehatan yang dilakukan melalui

penyediaan dana pengembangan masyarakat serta pembangunan fasilitas umum, hasil

(37)

kesepakatan tahun 2008 antara PT LCI dan masyarakat Lhoknga melahirkan sebuah

perjanjian baru dimana PT LCI juga akan menyediakan dana pembangunan

masyarakat sebesar Rp.3.000.000.000 (tiga milyar rupiah) pertahun yang akan

dikelola oleh Departemen Pengembangan Komunitas, Plant Lhoknga PT Lafarge

Cement Indonesia yang berkoordinasi dengan Komite yang dibentuk oleh Otoritas

Kecamatan Lhoknga.13

Masyarakat Kecamatan Lhoknga melalui Komite yang dibentuk oleh Otoritas

Kecamatan Lhoknga bersama PT LCI akan mengatur penggunaan dana

pengembangan masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat kecamatan

Lhoknga dan komite yang dibentuk oleh Otoritas Kecamatan Lhoknga bersama PT

LCI yang akan memberikan laporan persemester (setiap enam bulan) kepada Kantor

Pemerintah Provinsi NAD dan manajeman PT LCI serta Otoritas kecamatan Lhoknga

mengenai pelaksanaan proyek dan dana pengembangan masyarakat.

Namun sejauh ini pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan tersebut

masih dipandang belum bisa berjalan dengan baik, hal itu disebabkan karena

perjanjian bersama yang telah ditandatangani tersebut tidak mencerminkan keinginan

masyarakat Kecamatan Lhoknga, melainkan hanya sebuah “perjanjian baku” yang

disodorkan oleh menejeman PT. LCI kepada otoritas masyarakat yang di wakili oleh

Imum Mukim dari setiap masing-masing kemukiman yang ada di Kecamatan

Lhoknga. Hal ini terlihat dari alokasi dana bantuan PT LCI yang di berikan kepada

(38)

masyarakat, dana CSR tersebut tidak langsung di distribusikan kepada masyarakat

melainkan masyarakat harus mengajukan permohonan proposal untuk dapat

menggunakan dana tersebut, dan umumnya proposal-proposal yang dikirim oleh

lapisan kelompok masyarakat itu berkenaan dengan permohonan modal untuk

menjalankan usaha dari kelompok tersebut. Sementara di sisi lain pihak, masyarakat

memandang cara pengalokasian dana seperti ini sama sekali tidak efektif sehingga

mengakibatkan masyarakat tidak dapat memanfaatkan dana CSR tersebut secara

langsung karena proposal-proposal tersebut tidak dapat di dukung secara langsung

tetapi akan di kembangkan menjadi program pengembangan ekonomi yang ruang

lingkupnya lebih besar, hal ini dikarenakan banyak diterima proposal yang sama, dan

di lain pihak PT LCI juga memerlukan waktu untuk menganalisa dan menyusun

sebuah program agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak sekaligus mampu

menjawab keinginan pemohon, dan hal ini di pandang masyarakat sebagai salah satu

penghambat penyaluran dana CSR kepada masyarakat sebagai hal yang tidak

terdistribusi secara baik dan efektif.

Oleh karena itu, di sisi lain perusahaan berusaha untuk tidak menyalurkan

bantuan CSR dengan pola CSR yang karitatif (memberikan layanan) dan paternalistik

karena pola karitatif tidak melibatkan proses yang partisipatif dan mencerahkan

komunitas. Pola karitatif hanya melihat komunitas sebagai pihak yang membutuhkan

bantuan. Permasalahannya adalah bantuan ini sering tidak melibatkan perubahan

(39)

ketertinggalan. Dengan mengabaikan proses yang partisipatif maka visi mulia CSR

sebagai pembangunan sulit untuk direalisasikan. Dari pola perusahaan dalam

melaksanakan CSR kepada komunitas. Pola sekedar memberikan donasi sosial atau

membentuk kegiatan ekonomi bagi lingkungan di sekitar perusahaan tidaklah cukup.

Maka sewajarnya perusahaan meninggalkan program dan kebijakan CSR yang

sekedar memberikan layanan sosial yang paternalistis. Layanan paternalistis,

walaupun diakui terkadang berguna dalam jangka pendek, pada akhirnya cenderung

menimbulkan sikap ketergantungan. Perlu dilakukan pembangunan kapasitas bagi

komunitas sehingga diharapkan masyarakat dapat mencari, menciptakan dan

memanfaatkan peluang yang ada saat ini dan masa depan, karena pembangunan

suatu daerah, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga

menjadi tanggung jawab bersama, dan CSR terkait dengan peran strategis dari

korporasi dalam menunjang pembangunan yang berbasis pada keberlanjutan ekonomi

dan keberlanjutan lingkungan.14

Setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan

peningkatan kualitas hidup masyarakat. Demikian halnya dengan sebuah

perusahaan, dalam sebuah program implementasi tanggung jawab sosial, dikenal

dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam

pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat

14 Bambang Rudito dan Melia Femiola, “Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial

(40)

terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan

beragam pemangku kepentinganeksternaldan kepentinganinternal.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat diambil sebuah kesimpulan

bahwa kegiatan yang menyangkut hubungan sosial antara perusahaan dan komunitas

lokal pada dasarnya merupakan kegiatan yang harus dilakukan pertama kali dalam

kaitannya hubungan perusahaan dengan komunitas lokal. Dari hubungan ini maka

dapat dirancang pengembangan hubungan yang lebih mendalam yang terkait dengan

bagaimana mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang ada di

komunitas lokal sehingga perusahaan dapat menerapkan program selanjutnya. Oleh

karena hal tersebutlah yang menjadi dasar pemikiran untuk melakukan analisis lebih

lanjut mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tanggung jawab

sosial perusahaan yang dilakukan oleh suatu perusahaan serta dampak-dampaknya

yang dirasakan oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat sekitar perusahaan. Dan

karenanya, dalam hal ini sangat menarik sekali untuk melakukan penelitian mengenai

(41)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan

(Corporate Social Responsibility) pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh?

2. Bagaimanakah penerapan kebijakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Perusahaan (Corporate Social Responsibility) pada PT Lafarge Cement Indonesia terhadap masyarakat Lhoknga provinsi Aceh?

3. Bagaimanakah dampak penerapan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Perusahaan (Corporate Social Responsibility) PT Lafarge Cement Indonesia terhadap masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Perusahaan (Corporate Social Responsibility) pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada Undang-Undang Nomor 11

(42)

2. Untuk mengetahui penerapan kebijakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Perusahaan (Corporate Social Responsibility) pada PT Lafarge Cement Indonesia terhadap masyarakat Lhoknga provinsi Aceh?

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan dampak penerapan Tanggung Jawab Sosial

dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility) PT Lafarge Cement Indonesia terhadap masyarakat Lhoknga Provinsi Aceh?

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi

maupun masyarakat umum dan dapat memberi manfaat guna menambah

khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum perusahaan secara khusus juga

diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat

peraturan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan

maupun regulasi dalam menyusun peraturan pelaksana lebih lanjut terkait

pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan oleh perseroan

(43)

b. Sebagai informasi bagi praktisi bisnis (para pelaku usaha, pemegang saham

dan komisaris) bahkan investor untuk memahami pengaturan tanggung

jawab sosial dan lingkungan perusahaan serta melaksanakannya sebagai

kepedulian dan komitmen dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial dan

lingkungan perusahaan.

c. Memberikan pemahaman yang dianggap tepat bagi masyarakat agar

memahami peran dan tanggung jawabnya dalam pencapaian peran dan

pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan bagi

perusahaan perseroan terbatas.

d. Sebagai bahan kajian bagi para akademisi untuk pengembangan lebih lanjut

mengenai hal-hal tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan

ke arah yang lebih baik.

e. Sebagai informasi dan rujukan bagi aktivis LSM/NGO, masyarakat umum dan

stakeholders lainnya sehingga mampu bersikap sebagai informan, promotor sekaligus pengontrol perkembangan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan

lingkungan perusahaan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian tesis yang ada pada

Program Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

ditemukan sedikitnya 2 (dua) judul tesis terkait tentang tanggung jawab sosial dan

(44)

Impelemntasi Corporate Social Responsibility (CSR) pada masyarakat Lingkungan PTPN IV dan (2) Tesis atas nama Martono Anggusti dengan judul Hak Perseroan dan

Tanggung Jawab Masyarakat dalam Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.

Tesis ini berbeda dengan tesis tersebut diatas, tesis pertama, lebih mengarah

pada penerapan konsep CSR terhadap BUMN dalam Bentuk Program Kemitraan dan

Bina Lingkungan di Lingkungan PT Perkebunan Nusantara IV (persero). Sementara

tesis yang kedua lebih menfokuskan pada Analisi Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan Perusahaan berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas serta

Manfaatnya bagi Pemerintah, Masyarakat dan Perusahaan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawabnya terhadap

masyarakat di luar tanggung jawab ekonomis. Tanggung jawab sosial perusahaan

dimaksudkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi

suatu tujuan sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi ekonomis.

Corporate Social Responsibility (CSR) pada prinsipnya merupakan bentuk kerjasama antara perusahaan (tidak hanya perseroan terbatas) dengan segala sesuatu

atau segala hal (stakeholders) yang secara langsung maupun tidak langsung berinteraksi dengan perusahaan tersebut untuk tetap menjamin keberadaan dan

(45)

lingkungan yang di definisikan sebagai komitmen perseroan untuk berperan serta

dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan

dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat

maupun masyarakat pada umumnya.

Oleh karenanya, untuk melihat relevansi CSR dalam bisnis, sebuah teori atau

aliran etika yang punya relevansi kuat untuk dunia bisnis adalah teoriutilitarianisme. Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting sebagai sarana untuk

merangkum serta memahami masalah secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak

tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan dan di tunjuk kaitannya satu sama lain

secara bermakna. Teori memberikan penjelasan mengenai cara mengorganisasikan

dan mensistematisasikan masalah yang di bicarakannya.15

Kerangka teori tesis ini menggunakan teori utilitas (utilitarisme) yang di pelopori oleh Jeremy Bentham dan selanjutnya dikembangkan oleh John Stuart Mill.

Utilitarisme disebut lagi suatu teologis (dari kata Yunani telos=tujuan), sebab

menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan

perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan

apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik. Teori utilitas merupakan

pengambilan keputusan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak

pihak sebagai hasil akhirnya (The greatest good for the greatest number) artinya bahwa hal ini benar di definisikan sebagai hal yang memaksimalisasi apa yang baik

(46)

dan meminimalisir apa yang berbahaya bagi kebanyakan orang, semakin bermanfaat

pada semakin banyak orang, maka perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari

perbuatan hukum ini bertahan paling lama dan relatif paling banyak digunakan.

Utilitarianism (dari kata utilities berarti manfaat) sering disebut pula dengan aliran konsekuensialisme karena sangat berpotensi pada hasil perbuatan.16

Utilitarisme sangat menekankan pada pentingnya konsekuensi perbuatan

dalam menilai baik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan baik buruknya

tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika suatu

perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan

kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah

baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian dari pada manfaat,

perbuatan itu harus dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan disini memang menentukan

seluruh kualitas moralnya.17 Prinsip ultiritarian menyatakan bahwa :”An action is right from an ethical point of view if and only if the sum total of utilities produced by the act is the greater than the sumtotal of utilities produced by any other act the agent could have performed in its place” (suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari tindakan

tersebut lebih besar dari jumlah utilitas total yang dihasilkan dari tindakan lain yang

dilakukan).18

16

Erni R. Ermawan“Business Ethic”, (Bandung, CV Alfabeta, 2007), hal 28.

17K. Bertens,“Etika dan Etiket, Pentingya Sebuah Perbedan, (YogyakartaKanisius, 1989), hal 93.

(47)

Dalam karya tulisnya yang berjudul “An Introduction To The Principles Of Morals and Legislation” Jeremy Bentham Menyebutkan:

Alam telah menempatkan umat manusia dibawah dua kendali kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya yang keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan dan menentukan apa yang kita lakukan. Standar benar dan salah di satu sisi, maupun rantai sebab akibat di sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam semua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan: setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya. Dalam kata-kata seorang manusia mungkin akan berpura-pura menolak kekuasaan mereka. Azas manfaat (utilitas) mengakui ketidakmampuan ini dan menganggapnya sebagai landasan sistem tersebut, dengan tujuan merajut kebahagiaan melalui tangan nalar dan hukum. Sistem yang mencoba untuk mempertanyakannya hanya berurusan dengan kata-kata ketimbang maknanya dengan dorongan sesaat ketimbang nalar, dengan kegelapan ketimbang terang.19

Bentham menjelaskan lebih jauh bahwa asas manfaat melandasi segala

kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi

kebahagiaan itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu.

Menurut teori ini sesuatu adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu harus

menyangkut bukan hanya satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.

Jadi, utilitarisme ini tidak boleh dimengerti secara egoistis. Dalam rangka pemikiran

ini kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan

terbesar dari jumlah orang terbesar perbuatan yang mengakibatkan paling banyak

orang yang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Mengapa

melestarikan lingkungan hidup merupakan tanggung jawab moril individu dan

(48)

korporasi? Utilitarisme menjawab : karena hal itu membawa manfaat paling besar

bagi umat manusia secara keseluruhan korporasi atau perusahaan tentu bisa meraih

banyak manfaat dengan menguras kekayaan alam melalui teknologi dan industri,

hingga sumber daya alam rusak atau habis sama sekali. Karena itu menurut

utilitarianisme upaya pembangunan berkelanjutan (suitainable development) menjadi tanggung jawab moral individu atau perusahaan.20

Secara lebih konkrit, dalam kerangka etika utilitarianisme dapat dirumuskan 3

(tiga) kriteria objektif sekaligus norma untuk menilai suatu kebijaksanaan atau

tindakan.

Kriteria Pertama, manfaat, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi kebijaksanaan atau tindakan yang

baik adalah menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau tindakan

yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.

Kriteria Kedua, manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat besar (atau dalam situasi tertentu lebih besar) di bandingkan

dengan kebijaksanaan atau alternatif lainnya atau kalau yang di pertimbangkan adalah

soal akibat baik atau akibat buruk dari suatu kebijaksanaan atau tindakan, maka suatu

kebijaksanaan atau tindakan di nilai baik secara moral kalau mendatangkan lebih

banyak manfaat di bandingkan dengan kerugian. Dalam situasi tertentu kerugian

tidak bisa dihindari, dapat di katakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang

(49)

menimbulkan kerugian terkecil (termasuk kalau di bandingkan dengan kerugian yang

ditimbulkan oleh kebijaksanaan atau tindakan alternatif).

Kriteria Ketiga, menyangkut pertanyaan manfaat terbesar untuk siapa, untuk saya atau kelompokku, atau juga untuk semua orang lain yang terkait, terpengaruh

dan terkena kebijaksanaan atau tindakan yang akan saya ambil? Dalam menjawab

pertanyaan ini, etika utilitarianisme lalu mengajukan kriteria ketiga berupa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Jadi, suatu kebijaksanaan atau tindakan

dinilai baik secara moral kalau tidak hanya mendatangkan manfaat terbesar,

melainkan kalau mendatangkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.

Sebaliknya, kalau ternyata suatu kebijaksanaan atau tindakan tidak bisa mengelak

dari suatu kerugian maka kebijaksanaan atau tindakan dinilai tidak baik dan

kebijaksanaan atau tindakan itu di nilai baik apabila membawa kerugian yang sekecil

mungkin bagi sedikit orang.21

Persoalannya adalah apakah perusahaan dengan sukarela atau dengan ikhlas

menciptakan perubahan dalam lingkungan masyarakat di tempat perusahaan itu

berada. Karena pada dasarnya dunia usaha memegang teguh adagium bahwa tugas

pebisnis adalah mencari untung sebesar-besarnya. Di sinilah pentingnya moralitas

dalam kegiatan ekonomi menurut Adam Smith dalam bukunya “Theory Of Moral Sentiments”, mengungkapkan bahwa kegiatan ekonomi yang bersinggungan dengan kepentingan masyarakat, maka perusahaan harus dapat mengimplementasikan nilai

(50)

keadilan dalam kebijakan perusahaan karena negara hanya berlaku sebagai “Impartial Spectator”.22

Keberadaan suatu perusahaan akan selalu berinteraksi dengan masyarakat

sekitar yang kemudian menimbulkan kepentingan-kepentingan yang kadang saling

bertentangan. Dalam konteks pertentangan kepentingan masyarakat ini akan

menimbulkan persoalan wajar dan tidak wajar, patut tidak patut yang pada akhirnya

pertentangan kepentingan ini dapat melanggar hak anggota masyarakat.23

Oleh karenanya, menjalankan suatu aktivitas bisnis tidak hanya cukup

bermodalkan dana, tetapi sebagai fondasi juga di perlukan moralitas dan etika bisnis.

Ukuran yang selalu digunakan dalam etika bisnis adalah ukuran moral, apakah suatu

keputusan dan kebijaksanaan yang diterapkan dalam suatu pengelolaan perusahaan

telah sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam

pengamatan para pakar, etika dan sukses bisnis atau kinerja etis dan kinerja ekonomis

sutu organisasi bisnis bukanlah dua kutub yang bertentangan dan saling mengurangi

atau meniadakan karena “good business, good ethic”.24 Apabila kehidupan bisnis ingin berlangsung dalam jangka waktu yang panjang maka bisnis itu harus memberi

jawaban kepada kebutuhan masyarakat itu mengenai apa saja yang di butuhkan oleh

masyarakat tersebut. Kesadaran sosial ini adalah suatu akibat dari suksesnya suatu

22Bismar Nasution, ”Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 17 April 2004, hal 11.

23 Bismar Nasution, “Diktat Hukum Perusahaan”, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, hal 1.

Gambar

Gambar 1. Struktur Organisasi PT Lafarge Cement Indonesia
Gambar 2. Struktur Organisasi Departemen CSR PT Lafarge Cement Indonesia
Gambar 3. Diagram Persentase Karyawan PT LCI Tahun 2009

Referensi

Dokumen terkait

PAKAIAN ADAT BATAK KARO... RUMAH ADAT

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Simetrisitas Kondilus

Why are mathematics and science the most important subject in the space field. They are essential to

Serta guru juga membantu dan mengarahkan siswa dalam memecahkan masalah baik didapatkan melalui informasi yang ada atau yang baru ia dapatkan seperti teori

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara simetrisitas kondilus dan pola pertumbuhan vertikal wajah pada pasien ortodonsia di RSGMP FKG USU.. Jenis penelitian

Sekolah kami perlu berkordinasi dengan dewan pendidikan dan dinas pendidikan kabupaten dalam penyusunan dan pengesahan EDS Pelaksanaan Rencana Kerja Sekolah menjalin kemitraan

Dengan demikian untuk mengatasi permasalahan di atas maka akan dilakukan penelitian dengan menggunakan model Contextual Teaching and Learning (CTL) pada materi perubahan

Hasil identifikasi (Lampiran 5) menggunakan Vitek 2 Compact menunjukkan bahwa bakteri yang didapat yaitu jenis bakteri Kocuria kristinae dan Stenotrophomonas maltophilia