• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja Pemenuhan Hasil Produksi Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Perjanjian Antara Karyawan Dengan Ptpn Iv Perkebunan Pabatu)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja Pemenuhan Hasil Produksi Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Perjanjian Antara Karyawan Dengan Ptpn Iv Perkebunan Pabatu)"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

1

TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA PEMENUHAN HASIL PRODUKSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(STUDI PERJANJIAN ANTARA KARYAWAN DENGAN PTPN IV PERKEBUNAN PABATU)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

CYNDI FRANSISCA ULINA HUTAGALUNG

110200399

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

2

TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA PEMENUHAN HASIL PRODUKSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (STUDI PERJANJIAN ANTARA KARYAWAN DENGAN PTPN IV

PERKEBUNAN PABATU)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

CYNDI FRANSISCA ULINA HUTAGALUNG

110200399

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM DAGANG

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen hukum Keperdataan

Dr. HASIM PURBA, SH., M.Hum NIP.196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

DR. HASIM PURBA SH., M.Hum AFLAH, SH., M.Hum

NIP.196603031985081001 NIP.197005192002212001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

3

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun judul skripsi ini adalah “Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja Pemenuhan Hasil Produksi Kelapa Sawit (Studi Perjanjian antara

Karyawan Dengan PTPN IV Perkebunan Pabatu)”.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam proses penyusunan dan penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat di selesaikan dengan baik.

Untuk itu, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK Saidin, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

4

6. Ibu Aflah, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak meluangkan waktunya dalam proses penulisan skripsi ini.

7. Bapak Malem Ginting SH, M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik penulis.

8. Ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya dan juga penghargaan yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada kedua orang tua penulis tercinta, Ir. Hembang Hutagalung dan Shinta Rita Elfrida Manurung,S.H yang telah membesarkan, mendidik, membimbing serta memberikan kasih sayang yang tak terhingga nilainya serta juga selalu memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

9. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada abang, dan adik penulis tersayang Yans Michael dan Yori Elfrado yang telah menjadi motivator dan memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10.Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Ir. Nurmala Dewi Hasibuan, MM.. selaku Kepala Bagian SDM PTPN IV.

11.Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Lukman Silalahi selaku Assisten SDM dan Umum PT. Perkebunan

Nusantara 4 Pabatu yang telah meluangkan waktunya pada penulis dalam proses wawancara guna mendapatkan informasi sehingga skripsi ini selesai. 12.Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman spesial penulis Merico

(5)

5

13.Terima kasih juga penulis ucapkan kepada para sahabat seperjuangan stambuk 2011 FH USU penulis Syahnaz Miyagi Munira,S.H, Nur Aqmarina,S.H, Mila Lailyana,S.H, Kathy Carissa Bangun,S.H , Fikri Rizki, Merico Sitorus, M. Fauzan akmal, Abdurrahman Harits Ketaren,S,H, Calvin Benyamin, Michael Benhard, Yogi Ar-Chaniago, Naomi Manurung, Stevany Claudia, Pocut Mutia, Boy, Patuan, Abraham Joe, Wahyu, Cinthia Febrilla, Azri Mulia, Wanfitri Marissa, Ria Angelina, Putri Husna, Siti Khairunisa, Oktafia Sitanggang. 14.Dan semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan

namanya satu per satu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan dan ketidak sempurnaan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik, dan saran serta sumbangan pemikiran yang bersifat membangun, agar bisa lebih baik lagi di kesempatan yang akan datang.

Besar harapan penulis bahwa skripsi ini nantinya dapat bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk memperluas cakrawala dan pengetahuan kita semua.

Medan, April 2015 Penulis,

(6)

6 DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 9

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Metodologi Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA A. Pengaturan Hukum Perjanjian ... 15

B. Syarat Sahnya Perjanjian ... 18

C. Hapusnya Suatu Perjanjian ... 28

D. Pengertian Perjanjian Kerja ... 32

E. Bentuk-bentuk Perjanjian Kerja ... 35

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA ANTARA KARYAWAN DENGAN PERUSAHAAN A. Prosedur Pembuatan Perjanjian Kerja antara Karyawan dengan Perusahaan ... 43

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerja pada Perusahaan ... 49

(7)

7

BAB IV TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM

PERJANJIAN KERJA PEMENUHAN HASIL

PRODUKSI KELAPA SAWIT ANTARA KARYAWAN

DENGAN PTPN IV PERKEBUNAN PABATU

A. Mekanisme Pelaksanaan Perjanjian Kerja antara Serikat Pekerja dengan PTPN IV ... 58 B. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian

Kerja Pemenuhan Hasil Produksi Kelapa Sawit pada PTPN

IV Perkebunan Pabatu ... 70 C. Hambatan Pelaksanaan Perjanjian Kerja dalam Pemenuhan

Hasil Produksi Kelapa Sawit pada PTPN IV Perkebunan Pabatu ... 74 D. Penyelesaian Sengketa Pelaksanaan Perjanjian Kerja

Pemenuhan Hasil Produksi Kelapa Sawit pada PTPN IV Perkebunan Pabatu ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 80 B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84 LAMPIRAN

a. Surat Riset dari PTPN IV

b. Wawancara (Question of Interview)

(8)

8 ABSTRAK

Cyndi Fransisca Ulina Hutagalung1

Hasim Purba**

Aflah***

Kata Kunci : Perjanjian Kerja, Produksi Kelapa Sawit

Penulisan Skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis tentang Perjanjian Kerja yang berlaku terhadap Pemenuhan Hasil Produksi pada PTPN IV Perkebunan Pabatu. Dalam sebuah pekerjaan tercipta adanya hubungan kerja. Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Di dalam perjanjian kerja diatur apa saja yang menjadi hak dan kewajiban pekerja dan juga perusahaan terutama dalam pemenuhan hasil produksi perusahaan. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mekanisme pelaksanaan Perjanjian Kerja antara Serikat Pekerja dengan PTPN IV, bagaimana tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja pemenuhan hasil produksi kelapa sawit pada PTPN IV Perkebunan Pabatu, apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja dalam pemenuhan hasil produksi kelapa sawit pada PTPN IV Perkebunan Pabatu, dan bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi pada pelaksanaan Perjanjian Kerja pemenuhan hasil produksi kelapa sawit pada PTPN IV Perkebunan Pabatu.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum Normatif dan Empiris. Penelitian hukum normatif adalah membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum dimana penelitian ini bertujuan untuk menemukan asas hukum positif yang berlaku. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian yang merujuk langsung pada keadaan di lapangan (Field Research) sehingga mendapatkan data langsung dimana dalam skripsi ini melakukan penelitian lapangan ke PTPN IV Perkebunan Pabatu

Hasil penelitian dalam skripsi ini yaitu yang berlaku pada PTPN Perkebunan Pabatu adalah Perjanjian Kerja Bersama yang secara prosedur diberlakukan oleh perusahaan bekerja sama dengan SP.BUN PTPN IV mensosialisasikan PKB yang terbaru kepada para pekerja. Dimana didalam PKB tersebut disebutkan bahwa para pihak bertanggung jawab atas terpenuhinya serta ditaatinya semua kewajiban. Dalam hal tanggung jawab yang dilaksanakan oleh para pihak dalam pemenuhan hasil produksi, perusahaan berwenang menentukan basis borong yang harus dicapai oleh pekerja begitu pula perihal sanksi berupa teguran, peringatan bahkan melakukan denda yang diberikan bila pekerja tidak dapat meraih basis borong tersebut. Faktor penghambat yang paling menonjol pada PTPN IV Perkebunan Pabatu adalah penggabungan beberapa PTPN menjadi satu yang menyebabkan semakin rampingnya pendapatan karyawan dan timbul ketidak jelasan status pekerja. Terhadap sengketa yang terjadi maka langkah yang harus ditempuh adalah melakukan pertemuan secara bipartit.

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

(9)

8 ABSTRAK

Cyndi Fransisca Ulina Hutagalung1

Hasim Purba**

Aflah***

Kata Kunci : Perjanjian Kerja, Produksi Kelapa Sawit

Penulisan Skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis tentang Perjanjian Kerja yang berlaku terhadap Pemenuhan Hasil Produksi pada PTPN IV Perkebunan Pabatu. Dalam sebuah pekerjaan tercipta adanya hubungan kerja. Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Di dalam perjanjian kerja diatur apa saja yang menjadi hak dan kewajiban pekerja dan juga perusahaan terutama dalam pemenuhan hasil produksi perusahaan. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mekanisme pelaksanaan Perjanjian Kerja antara Serikat Pekerja dengan PTPN IV, bagaimana tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja pemenuhan hasil produksi kelapa sawit pada PTPN IV Perkebunan Pabatu, apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja dalam pemenuhan hasil produksi kelapa sawit pada PTPN IV Perkebunan Pabatu, dan bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi pada pelaksanaan Perjanjian Kerja pemenuhan hasil produksi kelapa sawit pada PTPN IV Perkebunan Pabatu.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum Normatif dan Empiris. Penelitian hukum normatif adalah membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum dimana penelitian ini bertujuan untuk menemukan asas hukum positif yang berlaku. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian yang merujuk langsung pada keadaan di lapangan (Field Research) sehingga mendapatkan data langsung dimana dalam skripsi ini melakukan penelitian lapangan ke PTPN IV Perkebunan Pabatu

Hasil penelitian dalam skripsi ini yaitu yang berlaku pada PTPN Perkebunan Pabatu adalah Perjanjian Kerja Bersama yang secara prosedur diberlakukan oleh perusahaan bekerja sama dengan SP.BUN PTPN IV mensosialisasikan PKB yang terbaru kepada para pekerja. Dimana didalam PKB tersebut disebutkan bahwa para pihak bertanggung jawab atas terpenuhinya serta ditaatinya semua kewajiban. Dalam hal tanggung jawab yang dilaksanakan oleh para pihak dalam pemenuhan hasil produksi, perusahaan berwenang menentukan basis borong yang harus dicapai oleh pekerja begitu pula perihal sanksi berupa teguran, peringatan bahkan melakukan denda yang diberikan bila pekerja tidak dapat meraih basis borong tersebut. Faktor penghambat yang paling menonjol pada PTPN IV Perkebunan Pabatu adalah penggabungan beberapa PTPN menjadi satu yang menyebabkan semakin rampingnya pendapatan karyawan dan timbul ketidak jelasan status pekerja. Terhadap sengketa yang terjadi maka langkah yang harus ditempuh adalah melakukan pertemuan secara bipartit.

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***

(10)

9 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan kehidupan manusia merupakan kelangsungan hidup yang berkaitan dengan kebutuhan hidup yang layak. Melihat tuntutan untuk hidup yang layak tersebut manusia berupaya dan berdaya cipta untuk memenuhinya. Wujud nyata yang dapat dilihat adalah bahwa manusia akan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan bekerja tersebut manusia terikat maupun tidak terikat dengan pihak lainya maupun dengan lingkungan pekerjaannya.2

Bentuk kerja maupun pekerjaan yang ada yaitu dapat berupa bekerja secara individual maupun secara kolektif. Bekerja secara individual dalam artian bahwa dalam menjalankan pekerjaannya tidak terikat oleh kondisi diluar dirinya yang dapat mempengaruhi hak dan kewajibannya. Sedangkan menjalankan pekerjaan secara kolektif berarti bahwa dalam dirinya terdapat ikatan yang dapat mempengaruhi hak dan kewajibannya. Sebagai seorang warga negara yang melakukan pekerjaan tentunya mempunyai hak yang sama dalam hukum maupun menikmati manfaat secara ekonomis. Dimana negara menjamin kepada warga negaranya untuk dapat berusaha dan mendapatkan penghidupan yang layak. Salah satu hal yang menjadi tujuan dan menjadi kewajiban negara adalah memberikan penghidupan yang layak bagi warga negaranya. Hal tersebut berarti bahwa negara

2

(11)

10

akan memberikan kesempatan kepada warga negara untuk menikmati dan merasakan kemakmuran bagi hidupnya.3

Dalam sebuah pekerjaan tercipta adanya hubungan kerja, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja atau buruh.

4

Menurut Pasal 1601 a KUHPerdata, Perjanjian Kerja merupakan suatu perjanjian dimana pihak kesatu (siburuh), mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Perjanjian Kerja juga diartikan sebagai perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Perjanjian kerja tidak mensyaratkan bentuk tertentu, bisa dibuat secara tertulis yang ditandatangani kedua pihak atau dilakukan secara lisan. Dalam hal perjanjian kerja dibuat secara tertulis, maka harus dibuat sesuai peraturan perundangan yang berlaku, misalnya perjanjian yang mengatur perjanjian kerja waktu tertentu, antar kerja antar daerah, antar kerja antar negara, dan perjanjian kerja dilaut. Biaya yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian kerja menjadi tanggung jawab pengusaha.5

3 ibid

4

Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika, 2014, hal.36

5

Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Jakarta, PT. Pradnya Paramitha, 2007, hal.41-43

(12)

11

a. Surat perjanjian dapat memberikan batasan yang jelas antara hak dan kewajiban untuk kedua belah pihak. Kedua belah pihak harus melaksanakan hak dan kewajibanya seperti tercantum dalam surat perjanjian yang telah dibuat.

b. Karena kedua belah pihak tahu hak dan kewajibanya, maka kedua belah pihak akan merasa tenang dan nyaman.

c. Surat perjanjian juga bisa di jadikan bahan referensi apabila ada masalah yang timbul di kemudian hari. Untuk itu di dalam surat perjanjian biasanya juga di sebutkan cara dan dimana apabila terjadi perselisihan di kemudian hari.6

Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:7

Unsur pertama dan kedua merupakan syarat subjektif dari sahnya suatu perjanjian kerja yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek perjanjian. Apabila 1. Kesepakatan kedua belah pihak;

2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;

4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundangan yang berlaku.

6

diakses Kamis, 26 Februari 2015 pukul 20:50

7

(13)

12

syarat subjektif tidak terpenuhi, maka dapat dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan (vernietigbaar). Pekerja atau buruh dan pengusaha dalam suatu perjanjian kerja harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dalam perjanjian kerja. Kemauan yang bebas untuk membuat kesepakatan dianggap tidak ada apabila dalam pembuatan perjanjian kerja terdapat unsur paksaan, kekhilafan, dan penipuan. Unsur kedua adalah kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum baik bagi pekerja atau buruh maupun pengusaha. Pada dasarnya setiap orang adalah mampu dan cakap melakukan perbuatan hukum kecuali oleh undang-undang ditentukan lain. Bagi pekerja atau buruh anak yang oleh undang-undang dinyatakan belum cakap melakukan perbuatan hukum, maka yang menandatangani perjanjian kerja adalah orang tua atau walinya. Unsur ketiga dan keempat dalam perjanjian kerja, yaitu adanya pekerjaan yang diperjanjikan dimana pekerjaan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan syarat objektif dari sahnya suatu perjanjian kerja yaitu syarat yang berkaitan dengan objek perjanjian. Apabila syarat objektif ini tidak dipenuhi, maka perjanjian kerja tersebut sudah batal demi hukum yang artinya dari semula perjanjian kerja tersebut sudah batal dan oleh hukum dianggap tidak pernah ada (nietigbaar). Hakim Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial karena jabatannya berwenang mengucapkan pembatalan tersebut meskipun tidak diminta atau dituntut oleh salah satu pihak.8

Adanya pekerjaan yang diperjanjikan merupakan hal pokok atau esensial dari perjanjian kerja. Pasal 54 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

8

(14)

13

Ketenagakerjaan mensyaratkan bahwa jabatan atau jenis pekerjaan dan tempat pekerjaan harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Pekerjaan yang diperjanjikan tersebut harus dikerjakan sendiri oleh pekerja atau buruh dan tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain tanpa seizin pengusaha. Pekerjaan yang dilakukan pekerja atau buruh bersifat sangat pribadi karena menyangkut pengetahuan, keahlian, dan keterampilan kerja. Oleh sebab itu jika pekerja atau buruh meninggal dunia maka perjanjian kerja putus demi hukum.9

Bahwa sesungguhnya untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menuntut partisipasi dan peran aktif Direksi dan Karyawan dalam upaya menuju perbaikan taraf hidup bangsa khususnya Karyawan melalui peningkatan produksi dan produktivitas kerja. Untuk dapat meningkatkan produktivitas dan hubungan yang harmonis, dinamis dan berkeadilan antara Direksi dan Karyawan, sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dan makna Hubungan Industrial, maka PT. Perkebunan Nusantara IV, dalam lingkup BUMN Perkebunan memandang perlu menyusun suatu perjanjian yang dibentuk dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang rumusnya memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban antara Direksi dan Karyawan. Menyadari pentingnya suatu rumusan PKB yang merupakan pedoman kerja sama antara pekerja dan perusahaan dimana PKB akan membantu kedua belah pihak menyelesaikan masalah atau perselisihan dalam kerja maka Perusahaan dan Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (SP.BUN) perlu menetapkan PKB dalam Mewujudkan Hubungan Industrial. Sehingga Direksi dan Karyawan secara bersama bertanggung jawab untuk kelancaraan proses produksi

(15)

14

serta kepastian terhadap kelangsungan hidup perusahaan dan kesejahteraan karyawan serta keluarganya. Baik Perusahaan maupun Serikat pekerja bertanggung jawab atas terlaksananya hak dan kewajiban yang telah disepakati dalam Perjanjian Kerja Bersama yang telah ditetapkan didalamnya.10

Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja atau serikat buruh atau beberapa serikat pekerja atau serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.11 Serikat pekerja atau serikat buruh yang dimaksud disini adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja atau buruh yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja atau buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja atau buruh dan keluarganya.12

10

Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) Dengan Serikat Pekerja Perkebunan PT Perkebunan Nusantara IV

11

Hidayat Muharam, Hukum Ketenagakerjaan serta Pelaksanaannya di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hal.85

12

Maimun, Op.Cit., hal.27

(16)

15

Tujuan dari pembuatan Perjanjian Kerja Bersama adalah untuk mempertegas dan memperjelas hak-hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha, memperteguh dan menciptakan hubungan industrial yang harmonis dalam perusahaan, menetapkan secara bersama syarat-syarat kerja keadaan industrial yang harmonis dan atau hubungan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam peraturan perundang–undangan.13

4. Pengusaha dapat menganggarkan biaya tenaga kerja (labour cost) yang perlu dicadangkan atau disesuaikan dengan masa berlakunya PKB.

Manfaat dari Perjanjian Kerja Bersama:

1. Baik pekerja maupun pengusaha akan lebih memahami tentang hak dan kewajiban masing-masing.

2. Mengurangi timbulnya perselisihan hubungan industrial atau hubungan ketenagakerjaan sehingga dapat menjamin kelancaran proses produksi dan peningkatan usaha.

3. Membantu ketenangan kerja pekerja serta mendorong semangat dan kegiatan bekerja yang lebih tekun dan rajin.

14

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

diakses Kamis, 26 Februari 2015 pukul 21:00

(17)

16

1. Bagaimana Mekanisme Pelaksanaan Perjanjian Kerja antara Serikat Pekerja dengan PTPN IV?

2. Bagaimana Tanggungjawab Para Pihak dalam Perjanjian Kerja Pemenuhan Hasil Produksi Perkebunan Kelapa Sawit pada PTPN IV Perkebunan Pabatu ?

3. Apa yang menjadi Hambatan dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerja Pemenuhan Hasil Produksi Perkebunan Kelapa Sawit pada PTPN IV Perkebunan Pabatu ?

4. Bagaimana Penyelesaian Sengketa yang terjadi pada Pelaksanaan Perjanjian Kerja Pemenuhan Hasil Produksi Kelapa Sawit pada PTPN IV Perkebunan Pabatu?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam Skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui prosedur dan pelaksanaan Perjanjian Kerja terhadap Pemenuhan Hasil Produksi pada PTPN IV Perkebunan Pabatu.

2. Untuk mengetahui tanggungjawab para pihak terhadap Perjanjian Kerja Pemenuhan Hasil Produksi pada PTPN IV Perkebunan Pabatu.

(18)

17

4. Untuk mengetahui sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat di dalam penulisan skripsi ini antara lain:

1. Dari segi teoritis

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum pada umumnya, serta untuk mengetahui secara konkrit sejauh mana pelaksanaan Perjanjian Kerja terhadap Pemenuhan Hasil Produksi pada PTPN IV Perkebunan Pabatu.

2. Dari segi praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis, masyarakat, pembuat kebijakan dan pihak-pihak yang berkaitan dengan bidang ilmu hukum khususnya dalam pelaksanaan perjanjian kerja terhadap pemenuhan hasil produksi pada PTPN IV Perkebunan Pabatu.

E. Keaslian Penulisan

(19)

18

sama dengan judul ini, akan tetapi substansi pembahasannya berbeda. Dan skripsi ini juga merupakan hasil karya penelitian sendiri sehingga secara substansi dapat dipertanggung jawabkan.

Pengambilan atau pengutipan karya orang lain dilakukan dengan menyebutkan sumbernya seperti yang tercantum dalam Daftar Kepustakaan.

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh kebenaran yang dapat dipercaya keabsahannya, suatu penelitian harus menggunakan suatu metode yang tepat dengan tujuan yang hendak dicapai sebelumnya. Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang cara-cara seseorang mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya.

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, serta dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas, penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

(20)

19

adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.

2. Sifat Penelitian

Penelitian di dalam skripsi ini bersifat deskriptif, yang menyajikan, menggambarkan dan memaparkan mengenai gejala-gejala dan fakta-fakta yang terjadi di masyarakat.

3. Jenis dan Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini jenis data yang digunakan adalah data sekunder (secondarydata), yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang mencakup berbagai buku, peraturan perundang-undangan, bahan-bahan kepustakaan lain serta internet yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti serta didukung oleh data yang diperoleh dari studi lapangan di PTPN IV Perkebunan Pabatu.

Adapun sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

(21)

20 b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti: buku-buku hasil karangan ilmiah dari kalangan-kalangan hukum, doktrin atau pendapat para sarjana serta hal-hal yang berkaitan dengan pokok bahasan skripsi ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti: kamus hukum,dan sebagainya.

d. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam mengkaji permasalahan skripsi ini adalah melalui studi kepustakaan atau studi dokumen, yaitu suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis, serta didukung dengan data yang diperoleh melalui studi lapangan yaitu dengan cara melakukan penelitian pada PTPN IV Pabatu melalui pengamatan dan wawancara. Adapun penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengkaji bahan pustaka atau studi dokumen dengan cara mengunjungi perpustakaan, membaca, dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, mengakses internet untuk mengumpulkan data dan sebagai penunjang bahan penelitian.

e. Analisis Data

(22)

21

diperoleh disusun secara sistematis sehingga didapat gambaran yang komprehensif. Selanjutnya ditarik satu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang berasal dari studi kepustakaan dan didukung dengan studi lapangan sehingga diperoleh penelitian yang bersifat deskriptif.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan dalam skripsi ini merupakan suatu rangkaian yang saling berkaitan satu sama lainnya untuk dapat memudahkan dalam penyelesaiannya sehingga merupakan satu kesatuan yang sistematis. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bagian pendahuluan menjelaskan secara singkat tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA

Dalam bab ini diuraikan tentang pengaturan hukum perjanjian, syarat sahnya perjanjian, hapusnya suatu perjanjian, pengertian perjanjian kerja, serta bentuk-bentuk perjanjian kerja.

(23)

22

Dalam bab ini dibahas hal-hal yang menguatkan topik permasalahan dalam skripsi ini yaitu Deskripsi Perjanjian Kerja Pemenuhan Hasil Produksi Perkebunan Kelapa Sawit PTPN IV Pabatu.

BAB IV : TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJA PEMENUHAN HASIL PRODUKSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT ANTARA KARYAWAN DENGAN PTPN IV PERKEBUNAN PABATU

Bab ini menyajikan data yang diperoleh melalui hasil penelitian/studi lapangan yang berisikan tentang Mekanisme pelaksanaan perjanjian kerja antara serikat pekerja dengan PTPN IV, Tanggungjawab para pihak dalam Perjanjian Kerja Pemenuhan Hasil Produksi Perkebunan Kelapa Sawit PTPN IV Pabatu, Hambatan Pelaksanaan Perjanjian Kerja dalam Pemenuhan Hasil Produksi Kelapa Sawit, serta Penyelesaian sengketa Pelaksanaan perjanjian kerja pemenuhan hasil produksi kelapa sawit pada PTPN IV perkebunan pabatu.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran sesuai dengan topik penelitian yang dikaji dalam skripsi ini.

DAFTAR PUSTAKA

(24)

23 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA

A. Pengaturan Hukum Perjanjian

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313, disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Seorang atau lebih berjanji kepada seorang lain atau lebih atau saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Ini merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan satu hubungan hukum antara orang-orang yang membuatnya, yang disebut perikatan. 15

Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan defenisi mengenai perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata yang didefenisikan sebagai suatu perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Sekalipun dalam KUHPerdata defenisi dari perikatan tidak dipaparkan secara tegas, akan tetapi dalam Pasal 1233 KUHPerdata ditegaskan bahwa perikatan selain dari Undang-Undang, perikatan juga dilahirkan dari perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu

15

(25)

24

merupakan perjanjian sedangkan perjanjian merupakan perikatan, karena perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri.16

Menurut para ahli hukum, ketentuan pasal 1313 KUH Perdata memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak jelas karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, tidak terlihat asas konsensualisme, dan bersifat dualisme. Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan di mana dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.17 Sedangkan menurut Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian menurut Communis Opinio Doctorum (pendapat para ahli) adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum.18 Menurut Prof. R. Subekti menulis bahwa suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.19

Yang menjadi Subjek dari suatu Perjanjian adalah:

Sedangkan perjanjian didefenisikan sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

20

1. Manusia Biasa

diakses Kamis, 05 Maret 2015 pukul 21:55

17

Abdulkadir Muhamad, Hukum Perjanjian, Bandung, PT. Alumni, 2013, hal.93

18

diakses Selasa,

10 Maret 2015 pukul 22:20

19

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT. Intermasa, 2001, hal.122

20

(26)

25

Manusia biasa (natuurlijke persoon), manusia sebagai subyek hukum telah mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya dan dijamin oleh hukum yang berlaku dalam hal itu menurut pasal 1 KUH Perdata menyatakan bahwa menikmati hak perdata tidak tergantung pada hak kenegaraan. Setiap manusia pribadi (natuurlijke persoon) sesuai dengan hukum dianggap cakap bertindak sebagai subyek hukum kecuali dalam Undang-Undang dinyatakan tidak cakap seperti halnya dalam hukum telah dibedakan dari segi perbuatan-perbuatan hukum adalah sebagai berikut :

a. Cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang dewasa menurut hukum (telah berusia 21 tahun dan berakal sehat).

b. Tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan pasal 1330 KUH perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah :

- orang yang belum dewasa ;

- mereka yang ditaruh dibawah pengampuan ;

- orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

2. Badan Hukum

(27)

26

berjiwa dapat melalukan sebagai pembawa hak manusia seperti dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya, oleh karena itu badan hukum dapat bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.

Objek dari perjanjian , Hak dan kewajiban untuk memenuhi sesuatu yang dimaksudkan disebut prestasi, yang menurut undang-undang bisa berupa menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. 21

Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.22

Secara umum kontrak atau perjanjian lahir pada saat tercapainya kesepakatan para pihak mengenai hal yang pokok atau unsur esensial dari perjanjian tersebut. Walaupun dikatakan bahwa perjanjian lahir pada saat terjadinya kesepakatan mengenai hal pokok dalam kontrak tersebut, namun masih

Setelah subjek hukum dala perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati.

B. Syarat Sahnya Perjanjian

21ibid

22

(28)

27

ada hal lain yang harus diperhatikan, yaitu syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:23

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu perjanjian.

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. suatu hal tertentu; dan

d. suatu sebab yang halal.

Keempat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut diatas akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Kesepakatan

24

Tidak mungkin ada suatu kesepakatan apabila tidak ada pihak yang saling berkomunikasi, menawarkan sesuatu yang kemudian diterima oleh pihak lainnya. Artinya, tawar-menawar merupakan proses awal yang terjadi sebelum terwujud kata sepakat diantara para pihak yang berjanji. Selama perundingan, setiap pihak bebas menarik diri tanpa sanksi, setelah persetujuan itu dicapai penarikan diri dapat menjadi pelanggaran perjanjian.25

23Ibid

, hal.13

24Ibid

, hal.14

25

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal.108

(29)

28

Sesungguhnya yang dijumpai disini bukanlah suatu kesamaan kepentingan para pihak, melainkan keinginan yang satu justru sebaliknya dari keinginan yang lain. Namun “keberlawanan” itu menghasilkan kesepakatan.26 Dengan adanya keterbalikan atau keberlawanan itu, maka terjadilah pertemuan kehendak yang saling setuju mengenai barang dan harga serta syarat-syaratnya sehingga terjadilah kesepakatan. Sebagai hal mendasar yang harus diketahui adalah bahwa suatu kesepakatan itu harus diberikan secara bebas. Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 1321 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu sah apabila siberikan tidak karena kekhilafan, atau tidak dengan paksaan, ataupun tidak karena penipuan. Dengan kata lain, suatu kesepakatan harus diberikan bebas dari kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Apabila sebaliknya yang terjadi kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjian yang dibuat menjadi perjanjian yang cacat (defective agreement).27

26

I.G. Rai Widjaya, Op.Cit., hal.46

27 Ibid

, hal.47

Ketidaksahan yang disebabkan karena kesepakatan yang diberikan secara tidak bebas, mengakibatkan perjanjian itu dibatalkan. Sebenarnya ada dua kemungkinan yang terjadi dalam hal syarat perjanjian tidak dipenuhi yaitu:

a. Kemungkinan pertama adalah, pembatalan atas perjanjian tersebut yang pembatalannya dimintakan kepada hakim atau melalui pengadilan. Ini yang disebut dapat dibatalkan.

(30)

29

Kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis, yang mana kesepakatan yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa kesepakatan lisan, symbol-simbol tertentu, atau diam-diam.

Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan dengan baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta dibawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu. Berbeda dari akta dibawah tangan yang tidak melibatkan pihak berwenang dalam pembuatan akta, akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.28

Perbedaan prinsip antara akta dibawah tangan dengan akta autentik adalah karena jika pihak lawan mengingkari akta tersebut, akta dibawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta autentik selalu dianggap asli kecuali terbukti kepalsuannya. Artinya, jika suatu akta dibawah tangan disangkali oleh pihak lain, pemegang akta dibawah tangan dibebani untuk membuktikan keaslian tersebut, sedangkan kalau suatu akta autentik disangkali, pemegang akta autentik tersebut tidak perlu membuktikan keaslian akta tersebut tetapi pihak yang menyangkalilah yang harus membuktikan bahwa akta autentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta dibawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta autentik adalah pembuktian kepalsuan.

29

28

Ahmadi Miru, Op.Cit., hal.15

(31)

30

Kesepakatan secara lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak terjadi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya menjual satu macam jualan pokok, contoh kecilnya yaitu seperti pada penjual soto, pembeli hanya mengacungkan jari telunjuknya saja. Maka penjual soto tersebut akan mengantarkan satu mangkok soto. Cara terjadinya kesepakatan dengan simbol-simbol tertentu mungkin juga banyak terjadi pada perjanjian-perjanjian yang terlarang, seperti jual beli narkoba dan hal-hal terlarang lainnya.30

Kesepakatan dapat pula terjadi dengan hanya berdiam diri, seperti halnya dalam perjanjian pengangkutan. Jika kita mengetahui jurusan mobil-mobil penumpang umum, kita biasanya tanpa bertanya mau kemana tujuan mobil tersebut dan berapa biayanya, tetapi kita hanya langsung naik dan bila sampai ditujuan kita pun turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya sehingga tidak mengucapkan sepatah katapun kepada supir mobil tersebut, namun pada dasarnya sudah terjadi perjanjian pengangkutan.31

Berdasarkan syarat sahnya perjanjian, khususnya syarat kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak maka tidak terjadi kontrak. Akan tetapi, walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh

30Ibid

, hal.16

(32)

31

perjanjian tersebut. Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena hal-hal diantaranya:32

a. kekhilafan atau kesesatan (dwaling);

b. ancaman atau paksaan (bedreiging, dwang);

c. penipuan (bedrog);

d. penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).

Tiga cacat kehendak yang pertama diatur dalam BW sedangkan cacat kehendak yang terakhir tidak diatur di dalam BW, namun lahir kemudian dalam perkembangan hukum kontrak. Ketiga cacat kehendak yang diatur dalam BW dapat dilihat dalam Pasal 1321 dan Pasal 1449 BW yang masing-masing menentukan sebagai berikut.

Pasal 1321 BW:

“Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

Pasal 1449 BW:

“Perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya”.

Secara sederhana keempat hal yang menyebabkan terjadinya cacat pada kesepakatan tersebut secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:

Rabu, 11

(33)

32

Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru.

Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan kesepakatannya karena ditekan (dipaksa secara psikologis), jadi yang dimaksud dengan paksaan bukan paksaan fisik karena jika yang terjadi adalah paksaan fisik pada dasarnya tidak ada kesepakatan.

Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif mempengaruhi pihak lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu.

Penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang kuat (posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan keadaan sehingga pihak lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya. Penyalahgunaan keadaan ini disebut juga cacat kehendak yang keempat karena tidak diatur dalam BW, sedangkan tiga lainnya yaitu penipuan, kekhilafan, dan paksaan telah diatur didalam BW. 33

Cakap atau bekwaam menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur 21 tahun (Pasal 1330 BW). Dalam hal ini undang-undang beranggapan bahwa pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan atau perjanjian apabila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Jadi, pada prinsipnya semua orang adalah cakap untuk membuat perjanjian 2. Kecakapan

33

(34)

33

kecuali ia dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang, ini merupakan general legal presumption (Pasal 1329 BW).

Mengenai ketidakcakapan ini, pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah “Orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang-orang yang telah dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu”.34 Khusus mengenai perempuan dalam hal yang telah ditetapkan dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki-laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian sedangkan untuk orang-orang yang dilarang oleh perjanjian untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya tidak berwenang membuat perjanjian tertentu.35

Pada dasarnya seseorang yang mengadakan perjanjian mempunyai niat serius untuk mengikatkan diri (niat kontraktual), mengerti aka nisi dan persyaratan perjanjian, sadar akan tanggung jawab yang dipikulkan dipundaknya serta akibatnya sehingga orang tersebut haruslah cakap menurut hukum.36

Secara sederhana dapat dipahami bahwa apabila ada orang yang pemikirannya belum matang, sakit ingatan atau gila, atau dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh obat-obat terlarang dapat diperkirakan orang yang bersangkutan tidak cukup mampu (onbevoegd) untuk memahami situasi yang dihadapi atau tanggung jawab yang dipikul serta akibatnya. Orang tersebut

34 ibid

, hal.30

35

I.G. Rai Widjaya, Op.Cit., hal.48

(35)

34

digolongkan tidak pantas sehingga tidak cakap (onbekwaam) untuk melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu, untuk melakukan tindakan hukum, orang belum dewasa (minderjarig atau underage) diwakili oleh walinya sedangkan untuk orang yang tidak sehat pikirannya (mental incompetent) diwakili oleh pengampunya karena dianggap tidak mampu untuk bertindak sendiri.37

Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. Selanjutnya barang tersebut harus suatu barang yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya atau een bepaalde onderwerp.

3. Suatu Hal Tertentu

38

Jadi, satu hal tertentu yang dimaksudkan adalah paling sedikit ditentukan jenisnya, atau asalkan kemudian jumlahnya dapat ditentukan atau dapat dihitung. Sebab apabila suatu objek perjanjian tidak tertentu, yaitu tidak jelas jenisnya dan tidak tentu jumlahnya, perjanjian yang demikian adalah tidak sah.

37ibid

38ibid

(36)

35 4. Suatu Sebab Yang Halal

Istilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum islam, tetapi yang dimaksud sebab yang hal adalah bahwa isi kontrak atau perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.39

Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Suatu sebab dikatakan halal apabila:

40

Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena menyangkut subyek. Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena menyangkut obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.

a. Tidak bertentangan dengan undang-undang b. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum c. Tidak bertentangan dengan kesusilaan

41

39

Ahmadi Miru, Op.Cit., hal.31

40

diakses Jumat, 13 Maret 2015 pukul 20:50

41

(37)

36 C. Hapusnya Suatu Perjanjian

Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:42

1. Pembayaran

Pembayaran adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri

Penawaran adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang

42

(38)

37

yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.43

3. Pembaharuan utang atau novasi

Pembaharuan utang atau novasi adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.44

4. Perjumpaan utang atau Kompensasi

Perjumpaan utang atau Kompensasi adalah suatu cara penghapusan atau pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya. Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali:

i. Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.

ii. Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.

43ibid

(39)

38

iii. Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).45

5. Percampuran utang

Percampuran utang adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.

6. Pembebasan utang

Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.46

7. Musnahnya barang yang terutang

Musnahnya barang yang terutang adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

45ibid

(40)

39 8. Batal atau Pembatalan

Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian. Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:47

i. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim; ii. Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di

depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.

9. Berlakunya suatu syarat batal

Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.

10.Lewat waktu

Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam pasal 1967 KUH Perdata

(41)

40

disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.48

Sebelum lahirnya Undang-Undang Ketenagakerjaan, ketentuan mengenai perjanjian kerja tunduk pada Pasal 1601 a KUHPerdata yang memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai berikut, “Perjanjian kerja adalah perjanjian dengan mana pihak yang kesatu, buruh, mengikatkan untuk di bawah pimpinan pihak yang lain, majikan, untuk waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.

D. Pengertian Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai berikut, “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.

49

Imam Soepomo mengkritisi perumusan ini, karena dianggapnya tidak lengkap. Hal ini disebabkan dalam pengertian diatas yang mengikatkan diri hanyalah pihak buruh saja, tidak pihak lainnya yaitu majikan. Padahal pada tiap

48ibid

49

(42)

41

perjanjian, ada 2 pihak timbal balik yang mengikatkan diri adalah kedua belah pihak yang bersangkutan.

Sarjana lain memberikan pengertian perjanjian kerja dengan lebih tegas, merangkum pendapat dari Imam Soepomo, antara lain oleh Aloysius Uwiyono sebagai berikut, “Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara buruh atau pekerja dengan pengusaha, dimana buruh mengikatkan diri untuk bekerja pada pengusaha, dilain pihak pengusaha mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah”.50

Perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha menimbulkan hubungan hukum, yaitu hubungan kerja dan mengandung 3 ciri khas, yaitu adanya pekerjaan, adanya perintah, adanya upah.51

Hubungan kerja dilakukan oleh pekerja atau buruh dalam rangka untuk mendapatkan upah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.52

Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, Perjanjian kerja dibuat secara terrtulis atau lisan. Perjanjian kerja

50 ibid

51 ibid

52

(43)

42

yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat-syarat perjanjian kerja pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil.

Syarat materiil dari perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, dibuat atas dasar:

a. kesepakatan kedua belah pihak

b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum

c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan

d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila dikaji lebih jauh sebenarnya ketentuan Pasal 52 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 itu mengadopsi ketentuan Pasal 1320 BW. Perjanjian kerja adalah salah satu bentuk perjanjian, sehingga harus memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1320 BW yaitu adanya kesepakatan, kecakapan berbuat hukum, hal tertentu, dan sebab yang halal.53

Selanjutnya suatu perjanjian kerja harus memenuhi syarat formil. Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang No.13 Tahun 2003, yaitu:54

a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:

53Ibid

, hal.42-43

54Ibid

(44)

43

b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja atau buruh; c. jabatan atau pekerjaan;

d. tempat pekerjaan;

e. besarnya upah dan cara pembayarannya;

f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja atau buruh;

g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;

i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yan berlaku.

(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap dua, yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja atau buruh dan pengusaha masing-masing mendapat satu perjanjian kerja.

Selain itu, masih terdapat beberapa ketentuan mengenai perjanjian kerja yang diatur didalam Pasal 55 UU No. 13 Tahun 2003, yaitu perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau dirubah, kecuali atas persetujuan para pihak.

E. Bentuk-bentuk Perjanjian Kerja

Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan dan tertulis. 55

55

(45)

44 1. Bentuk Perjanjian Kerja secara Lisan

Menurut ketentuan Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 syarat sahnya perjanjian kerja dibuat atas dasar:

a. kesepakatan kedua belah pihak

b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum

c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan

d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kata-kata sepakat mengikatkan diri pada Pasal 52 ayat (a) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ini adalah asas konsensualisme yang menentukan adanya perjanjian. Artinya, pada dasarnya perjanjian dan perikatan itu telah dilahirkan sejak tercapainya kata sepakat. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan tidak memerlukan bentuk yang formil (tertulis).56

Pasal 52 ayat (b) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, mempersyaratkan para pihak yakni pengusaha sebagai pemberi kerja dan pekerja sebagai penerima kerja mempunyai kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum. Dalam memori penjelasan Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat

56Ibid,

(46)

45

perjanjian, sedangkan bagi tenaga kerja anak, yang menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya.

Berdasarkan Pasal 1320, 1329, dan 1330 KUHPerdata, subjek hukum yang membuat perjanjian harus cakap untuk melakukan tindakan hukum menurut hukum. Hakikat subjek hukum dibedakan antara pribadi kodrati (natuurlijk person), yaitu manusia tanpa terkecuali, pribadi hukum (recht person), dan badan hukum seperti perseroan terbatas.

Mengenai syarat subjektif, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa pihak dalam perjanjian kerja adalah subjek hukum dan tidak membatasi hanya untuk subjek hukum menurut hukum perdata tetapi juga termasuk subjek hukum publik, yakni badan hukum yang mengemban kepentingan publik yang dikelola atau ditangani oleh negara.57

Berdasarkan Pasal 52 ayat (d) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, Pasal 1320 KUHPerdata, 1335-1337 KUHPerdata, suatu perjanjian kerja harus berdasarkan suatu sebab yang halal. Maksud sebab disini adalah tujuan atau maksud yang dikehendaki dari suatu perjanjian kerja. Adapun yang dimaksud Berdasarkan Pasal 52 ayat (c) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, suatu perjanjian kerja harus mempunyai pekerjaan yang diperjanjikan. Hal tersebut mengandung makna bahwa yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian kerja harus mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

(47)

46

dengan halal adalah isi perjanjian kerja tersebut tidak boleh melanggar undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.58

Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang No.13 Tahun 2003, ditentukan hal-hal yang harus terdapat dalam suatu perjanjian kerja tertulis, yaitu:

2. Bentuk Perjanjian Kerja secara Tertulis

Beberapa bentuk perjanjian kerja mengecualikan asas konsensualitas, yakni untuk perjanjian-perjanjian yang memerlukan atau dipersyaratkan oleh undang-undang harus diadakan secara tertulis. Dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ditentukan bilamana peraturan perundang-undangan menentukan bahwa suatu bentuk perjanjian harus tertulis, harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti halnya ketentuan mengenai perjanjian kerja waktu yang dipersyaratkan dalam Pasal 57 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 harus tertulis.

59

58ibid,

hal.4

59ibid

a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja atau buruh; c. jabatan atau pekerjaan;

d. tempat pekerjaan;

e. besarnya upah dan cara pembayarannya;

(48)

47

g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;

i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Perjanjian kerja yang dibuat tidak memenuhi syarat-syarat awal sahnya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 butir (a) dan (b), yakni jika tidak ada kesepakatan dari pihak pekerja dan pihak pengusaha atas suatu perjanjian kerja, serta bila ada dari para pihak, baik itu pihak pekerja ataupun pengusaha tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan (Pasal 52 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).

Berdasarkan jangka waktu (sementara atau terus menerus) dan jenis suatu pekerjaan (berulang-ulang atau selesainya suatu pekerjaan tertentu), hubungan kerja dapat dibuat dalam suatu perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (Pasal 56 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Sebagaimana ketentuan yang mengatur masalah ketenagakerjaan sebelumnya, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga mengatur hubungan kerja untuk waktu tertentu yaitu hubungan kerja yang didasarkan pada perjanjian kerja untuk waktu terrtentu (PKWT).60

60

(49)

48

Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yang dimaksud dengan perjanjian waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.61

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat dalam bentuk tertulis dengan huruf latin dan tidak menggunakan bahasa Indonesia maka dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu sejak terjadinya hubungan Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat didasarkan pada:

a. Jangka waktu tertentu;

b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dalam huruf latin dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kewajiban menuangkan perjanjian kerja jenis ini kedalam bentuk tertulis adalah untuk melindungi salah satu pihak apabila ada tuntutan dari pihak lain setelah selesainya perjanjian kerja. Bukan tidak mungkin jika salah pihak misalnya pekerja atau buruh tetap minta dipekerjakan setelah selesainya perjanjian kerja waktu tertentu yang diperjanjikan. Apabila tidak ada perjanjian tertulis yang dibuat sebelumnya maka pihak pengusaha dapat dituntut untuk terus mempekerjakan pekerja atau buruh sehingga hubungan kerja berubah menjadi hubungan kerja untuk waktu tidak tentu (PWKTT) yang biasa disebut pekerja atau buruh tetap.

61

(50)

49

kerja. Perjanjian kerja waktu tertentu dilarang mensyaratkan adanya masa percobaan. Apabila syarat masa percobaan tersebut dicantumkan, maka syarat tersebut batal demi hukum. Perjanjian kerja jenis ini hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat, dan kegiatan pekerjaan akan selesai dalam waktu tertentu, jadi bukan pekerjaan yang bersifat tetap.

Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan pada jangka waktu tertentu dapat diandalkan untuk paling lama 2(dua) tahun dan hanya dapat diperpanjang 1(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1(satu) tahun.62

Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap (Pasal 1 angka 2 Kep. 100/Men/VI/2004).

2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

63

62

Maimun, Op.Cit., hal.44-46

63

Hidayat Muhamaram, Op. Cit., hal.10

(51)

50

Dalam memori penjelasan Pasal 60 ayat (1) ditentukan bahwa syarat masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dapat dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara lisan, apabila pekerja telah selesai melalui masa percobaan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan (Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003). Surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat (Pasal 63 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003):64

64ibid

a. nama dan alamat pekerja;

b. tanggal mulai bekerja;

c. jenis pekerjaan; dan

(52)

51 BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA

ANTARA KARYAWAN DENGAN PERUSAHAAN

A. Prosedur Pembuatan Perjanjian Kerja antara Karyawan dengan

Perusahaan

Perjanjian kerja yang terjadi antara karyawan atau pekerja atau serikat buruh dengan perusahaan adalah Perjanjian Kerja Bersama. Menurut Pasal 1 Angka 21 Undang-Undang No.13 Tahun 2003, Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja atau serikat buruh atau beberapa serikat pekerja atau serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.65

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama menyatakan bahwa Perjanjian Kerja Bersama dirundingkan oleh serikat pekerja atau serikat buruh atau beberapa serikat pekerja atau serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. Perundingan PKB harus didasari itikad baik dan kemauan bebas kedua belah pihak dan dilakukan dengan musyawarah untuk

65

(53)

52

mufakat.66 Lamanya perundingan ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak dan dituangkan dalam tata tertib perundingan. Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) PKB yang berlaku bagi seluruh pekerja atau buruh di perusahaan yang bersangkutan. Dalam hal perusahaan yang bersangkutan memiliki cabang, dibuat PKB induk yang berlaku di semua cabang perusahaan serta dapat dibuat PKB turunan yang berlaku di masing-masing cabang perusahaan. Pengusaha harus melayani serikat pekerja atau serikat buruh yang mengajukan permintaan secara tertulis untuk merundingkan PKB dengan ketentuan apabila:67

Dalam hal di perusahaan terdapat 1 (satu) serikat pekerja atau serikat buruh, tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja atau buruh di perusahaan, maka serikat pekerja atau serikat buruh dapat mewakili pekerja atau buruh dalam perundingan pembuatan PKB dengan pengusaha apabila serikat pekerja atau serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja atau buruh di perusahaan melalui pemungutan suara. Pemungutan suara diselenggarakan oleh panitia yang terdiri dari pengurus serikat pekerja atau serikat buruh dan wakil-wakil dari pekerja atau buruh yang bukan anggota serikat pekerja atau serikat buruh. Dalam waktu 30 hari setelah 1. Serikat pekerja atau serikat buruh telah tercatat berdasarkan Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh; dan

2. Memenuhi persyaratan pembuatan PKB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

(54)

53

pembentukannya, panitia akan mengumumkan hasil pemungutan suara. Pemungutan suara dapat dilakukan paling cepat 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan pemungutan suara oleh panitia. Panitia harus memberi kesempatan kepada serikat pekerja atau serikat buruh untuk menjelaskan program kerjanya kepada pekerja atau buruh di perusahaan untuk mendapatkan dukungan dalam pembuatan PKB. Penjelasan program kerja tersebut dilakukan di luar jam kerja pada tempat-tempat yang disepakati oleh panitia pemungutan suara dan pengusaha. Tempat dan waktu pemungutan suara ditetapkan oleh panitia dengan mempertimbangkan jadwal kerja pekerja atau buruh agar tidak mengganggu proses produksi dan mengenai penghitungan suara disaksikan oleh perwakilan dari pengusaha.68

Perun

Referensi

Dokumen terkait

Tidak ada hubungan asupan energi terhadap perubahan berat badan, tidak ada hubungan antara lama hari rawat inap terhadap perubahan berat badan pada pasien anak

Untuk pembelajaran sendiri dapat di artikan sebagai proses interaksi yang dilakukan oleh beberapa orang, sumber belajar maupun alat bantu belajar untuk

Dengan melihat dari dasar tersebut, maka akan memudahkan hasil dari program test IQ yang lebih canggih dengan memperhatikan sistem dan cara pembuatan yang baik juga

Kelas hutan bukan untuk produksi adalah kawasan hutan yang karena berbagai-bagai sebab tidak dapat disediakan untuk penghasilan kayu dan/atau hasil hutan lainnya, yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja staff marketing, faktor- faktor yang dapat mempengaruhi kinerja staff marketing dan bagaimana metode penilaian

This study then attempted to explore the antioxidant activity of those oyster mushroom and taurine on the kidneys exposed by paraquat with parameters of study were oxidative

Daripada kajian yang telah dilakukan oleh beberapa orang pengkaji akademik jelas menunjukkan bahawa penggunaan komputer dan bahan bantu belajar multimedia seperti cakera

Pengendalian hama dengan pengelolaan agroekosistem pada dasarnya adalah teknik pengendalian hayati dengan mengoptimalkan peran musuh alami sebagai faktor pembatas