STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN TETENGKEK
(
Megalaspis cordyla
) DI PERAIRAN SELAT SUNDA
IRMA FADILLA
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Status Stok Sumberdaya Ikan Tetengkek (Megalaspis cordyla) di Perairan Selat Sunda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir penulisan ini.
Bogor, Mei 2015
Irma Fadilla
ABSTRAK
IRMA FADILLA. Status Stok Sumberdaya Ikan Tetengkek (Megalaspis cordyla) di Perairan Selat Sunda. Dibimbing oleh RAHMAT KURNIA dan NURLISA A BUTET.
Ikan tetengkek merupakan salah satu ikan pelagis yang memiliki nilai ekonomis penting. Ikan tetengkek tersebar dari Indo Pasifik hingga Pasifik Barat (Afrika Timur hingga Jepang dan Australia). Ikan ini merupakan ikan hasil tangkapan sampingan. Penelitian ilmiah mengenai ikan ini sudah banyak dilakukan di India dan Indonesia, sehingga untuk mengetahui status perikanannya, penelitian mengenai ikan ini harus dilakukan. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menentukan status stok ikan tetengkek di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Banten. Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni hingga bulan September 2014. Studi ini mencakup aspek pertumbuhan, hubungan panjang dan bobot, laju eksploitasi, dan model produksi surplus. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa pola pertumbuhan ikan tetengkek adalah isometrik, waktu pemijahan terjadi sekitar bulan Juni dan Agustus, ukuran pertama kali matang gonad sebesar 251,2526 mm, dan status stok ikan tetengkek telah mengalami eksploitasi dan tangkap lebih.
Kata kunci: Ikan tetengkek, laju eksploitasi, pertumbuhan, PPP Labuan, status stok.
ABSTRACT
IRMA FADILLA. Stock Status of Torpedo Scad (Megalaspis cordyla) in the Sunda Strait. Guided by RAHMAT KURNIA and NURLISA A BUTET.
Torpedo scad is one of the economic important pelagic species. Its distribution ranges from Indo – West Pasific (East Africa to Japan and Australia). It is accounted as by catch fisheries. It is well documented scientifically in India, in contrast to Indonesia, therefore to know the status of the fishery, a thorough study should be conducted. The objective of this study was to determine status of torpedo stock in Sunda Strait which landed in PPP Labuan, Banten. This research was implemented on June until September 2014. The study covered aspects of growth, relation of length and weight, exploitation rate, and surplus production model. The results of this study indicated that growth pattern was isometric, spawning time was around June and August, size at maturity was 251.2526 mm, and stock status of this species was overexploited and overfished.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN TETENGKEK
(
Megalaspis cordyla
) DI PERAIRAN SELAT SUNDA
IRMA FADILLA
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Status Stok Sumberdaya Ikan Tetengkek (Megalaspis cordyla) di Perairan Selat Sunda” ini dapat diselesaikan. Skripsi disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.
2. Beasiswa Bidik Misi yang telah memberikan bantuan dana perkuliahan. 3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), DIPA IPB Tahun Ajaran 2014, kode Mak:2013. 089. 521219, Penelitian Dasar untuk Bagian, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitan dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB dengan judul
“Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Sumberdaya Ikan Ekologis dan Ekonomis Penting di Perairan Selat Sunda, Provinsi Banten” yang
dilaksanakan oleh Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA (sebagai ketua peneliti) dan Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi (sebagai anggota peneliti).
4. Dr Ir Yonvitner, MSi sebagai dosen pembimbing akademik.
5. Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi dan Dr Ir Nurlisa A. Butet, MSi selaku dosen pembimbing.
6. Dr Ir Niken TM Pratiwi, MSi dan Ali Mashar SPi, MSi selaku Komisi Pendidikan Program S1, serta Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA selaku dosen penguji tamu, yang telah memberikan arahan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Seluruh dosen dan staf Tata Usaha Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.
8. Bapak Suminta, Bapak Una dan staf DKP Kabupaten Pandeglang.
9. Bapak, Ibu, Aa, Ismi, dan keluarga besar atas segala doa, semangat, dan kasih sayang kepada penulis.
10.MSP 48, Tim Penelitian BOPTN 2014, abang dan kakak MSP 47, seluruh asisten MOSI, adik-adik MSP 49 dan 50, teman-teman A3 Lorong 7, MAN 1 Bogor 2011, sahabat-sahabat: Rosita, Oky, Anes, Goran, Dini, Ira, Santi, Salis, Tyas, Nesia, Haqqul, Bayu, Amir, Ceppy, Sigit, Pedryn, Ridho, Septa dan seluruh sahabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas segala doa, semangat dan bantuannya selama ini.
Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.
Bogor, Mei 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE 2
Lokasi dan Waktu 2
Pengumpulan Data 3
Analisis Data 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Hasil 10
Pembahasan 19
SIMPULAN DAN SARAN 23
Simpulan 23
Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 25
LAMPIRAN 28
DAFTAR TABEL
1 TKG berdasarkan klasifikasi Cassie (1956) in Effendie (1979) 6 2 Rasio kelamin ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) pada setiap
(Megalaspis cordyla) di PPP Labuan 18
6 Perbandingan nilai b ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) dari berbagai
penelitian 20
7 Perbandingan parameter pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis
cordyla) dari berbagai penelitian 22
8 Perbandingan laju eksploitasi ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) dari
berbagai penelitian 22
DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian 3
2 Ikan Tetengkek (Megalaspis cordyla) 10
3 Komposisi hasil tangkapan ikan di PPP Labuan 11
4 Hubungan panjang bobot ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) betina 12 5 Hubungan panjang bobot ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) jantan 12 6 Hubungan panjang bobot ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) total 13 7 Faktor kondisi ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) 13 8 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) betina 14 9 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) jantan 14 10 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) total 14 11 Sebaran frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) 15 12 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis
cordyla) betina 15
13 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis
cordyla) jantan 16
14 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis
cordyla) total 16
15 Kurva pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) betina 17 16 Kurva pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) jantan 17 17 Kurva pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) total 17 18 Kurva model produksi surplus ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) di
DAFTAR LAMPIRAN
1 Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang dilinearkan
berdasarkan data panjang 28
2 Hubungan panjang bobot ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) 30 3 Faktor kondisi ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) 31 4 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) 31 5 Ukuran pertama kali matang gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) 32 6 Sebaran frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) 33 7 Pendugaan pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) 33 8 Pendugaan mortalitas ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) 35
9 Standarisasi alat tangkap 41
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perairan Selat Sunda merupakan salah satu perairan di Indonesia yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial. Kondisi alam Selat Sunda memberikan peluang terhadap berbagai jenis usaha perikanan yang dapat dilakukan (Dhenis 2010). Salah satu tempat pendaratan dan pelelangan ikan yang berasal dari perairan Selat Sunda adalah Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan yang terletak di Provinsi Banten. Menurut Irhamni (2009), PPP Labuan memiliki prospek yang cukup baik karena jumlah produksi ikan di PPP Labuan lebih besar daripada PPI lain di Kabupaten Pandeglang. Ikan tetengkek adalah salah satu kelompok ikan pelagis dan jenis ikan lepas pantai yang memiliki nilai ekonomis penting. Harga jual ikan tetengkek di PPP Labuan berkisar antara Rp 5 000,00 hingga Rp 15 000,00/Kg. Ikan tetengkek dipasarkan dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan.
Meningkatnya kebutuhan masyarakat menyebabkan permintaan ikan tetengkek bertambah karena ikan ini memiliki harga jual yang cukup terjangkau di berbagai kalangan masyarakat. Meskipun jenis ikan ini memiliki nilai ekonomis yang cukup terjangkau dan banyak dikonsumsi, ikan tetengkek tidak begitu dikenal oleh khalayak umum karena jenis ikan ini merupakan tangkapan sampingan ikan pelagis para nelayan. Pengelolaan sumberdaya ikan tetengkek yang berkelanjutan memerlukan data hasil tangkapan maupun informasi biologis ikan tetengkek. Permintaan pasar yang terus meningkat akibat jumlah konsumsi ikan tetengkek, serta rendahnya upaya pengelolaan akan menyebabkan peningkatan upaya penangkapan sehingga populasi ikan tetengkek di alam, khususnya perairan Selat Sunda menurun. Hal inilah yang mendasari penelitian mengenai status stok ikan tetengkek.
Perumusan Masalah
Ikan tetengkek merupakan salah satu jenis ikan pelagis yang memiliki nilai ekonomis penting. Kegiatan penangkapan ikan tetengkek yang tinggi setiap tahunnya di perairan Selat Sunda dapat mempengaruhi kelimpahan ikan tetengkek yang saat ini ukurannya semakin kecil sehingga menyebabkan penurunan stok ikan tetengkek. Selain berpengaruh pada kelestarian sumberdaya, ukuran panjang ikan yang semakin mengecil juga akan berdampak pada kesejahteraan nelayan (Izati 2013). Oleh karena itu, diperlukan informasi mengenai kondisi stok ikan tetengkek di PPP Labuan agar dapat dijadikan sumber informasi dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan tetengkek yang tepat dan berkelanjutan.
2
dugaan ukuran rata-rata mencapai matang gonad, tangkapan maksimum lestari atau maximum sustainable yield (MSY), dan upaya optimum penangkapan sumberdaya ikan tetengkek di perairan Selat Sunda. Berdasarkan peubah-peubah tersebut kemudian dapat ditentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Informasi tersebut berguna bagi rencana pengelolaan sumberdaya ikan tetengkek yang tepat dan berkelanjutan sehingga dapat menjamin kesejahteraan nelayan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menentukan status stok ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Banten.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan beberapa informasi terkait status stok sumberdaya ikan tetengkek sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam pengelolaan ikan tetengkek di perairan Selat Sunda yang tepat dan berkelanjutan serta mengurangi dampak overfishing. Selain itu hasil yang diperoleh dari penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi dasar kebijakan bagi dinas setempat terkait dalam upaya pengelolaan perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
METODE
Lokasi dan Waktu
3
Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari panjang total (mm), bobot basah (gr), dan jenis kelamin ikan tetengkek. Metode pengambilan ikan contoh yang digunakan adalah Penarikan Contoh Acak Sederhana (PCAS) pada ikan tetengkek yang memiliki
fishing ground dan tertangkap di sekitar perairan Selat Sunda serta didaratkan di PPP Labuan, Banten.
Pada pengumpulan data primer, ikan tetengkek diukur panjang totalnya menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm, kemudian ditimbang bobot basahnya menggunakan timbangan dengan ketelitian 10 gram. Setelah diukur dan timbang, ikan tetengkek kemudian dimasukkan ke dalam plastik klip dan diberi nomor. Ikan tetengkek dimasukkan ke dalam cool box untuk selanjutnya dilakukan pembedahan di laboratorium. Setelah itu ikan tetengkek dibedah menggunakan alat bedah untuk menentukan jenis kelamin dari ikan tersebut. Data ini digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan dengan analisis ELEFAN I pada software FISAT II. Data sekunder yang digunakan berupa data hasil produksi penangkapan dan upaya penangkapan ikan tetengkek yang didaratkan di PPP Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Analisis Data
Rasio kelamin
4
perbedaan tingkah laku jenis kelamin, kondisi lingkungan, dan penangkapan. Menurut Walpole (1993), konsep rasio adalah proporsi populasi tertentu terhadap total populasi.
p = (1)
p adalah proporsi kelamin (jantan atau betina), n adalah jumlah jenis ikan jantan atau betina, dan N adalah jumlah individu ikan jantan dan betina total. Keseimbangan hubungan antara populasi betina dengan populasi jantan dalam suatu populasi diperoleh melalui uji Chi square atau uji khi kuadrat:
χ² = oi - ei
ei (2)
χ² adalah nilai statistik Chi square untuk peubah acak yang sebaran penarikan contohnya mengikuti sebaran Chi square, oi adalah sebaran ikan betina dan jantan
yang diamati, dan ei adalah frekuensi harapan ikan betina dan jantan.
Hubungan panjang bobot
Pola pertumbuhan pada ikan dapat dilihat melalui hubungan panjang dan bobot. Rumus hubungan panjang bobot yaitu W = aLb,di mana W adalah bobot total (gram) dan L (mm) adalah panjang total. Menurut Effendie (2002), nilai a
dan b adalah konstanta. Nilai a dan b tersebut didapatkan dari perhitungan regresi. Korelasi parameter dari hubungan panjang dan berat dapat dilihat dari nilai konstanta b dengan hipotesis:
1. Bila H0 : β1 = 3, dikatakan hubungan isometrik (pertambahan panjang sama
dengan pertambahan bobot).
2. Bila H0 : β1≠ 3, dikatakan memiliki hubungan allometrik, yaitu:
a) Bila b > 3, allometrik positif (pertambahan berat lebih dominan) b) Bila b < 3, allometrik negatif (pertambahan panjang lebih dominan).
Selanjutnya untuk menguji hipotesis tersebut digunakan statistik uji sebagai berikut :
(3)
Sb adalah galat baku dugaan b yang dihitung dengan :
(4)
Selanjutnya nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang
kepercayaan 95%. Pengambilan keputusannya adalah jika thitung > ttabel maka
tolak hipotesis nol (H0) dan jika thitung < ttabel maka gagal tolak atau terima
5 Faktor kondisi
Menurut Lagler (1961) in Effendie (1979), faktor kondisi menunjukkan keadaan yang menyatakan kemontokan ikan atau dapat juga disebut dengan ponderal indeks. Pada pola pertumbuhan isometrik faktor kondisi (KTL) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
KTL = (5)
Pada pola pertumbuhan allometrik faktor kondisi relatif (Kn) dihitung dengan menggunakan rumus:
Kn =
(6)
W adalah berat tubuh ikan (gram), L adalah panjang ikan (mm), serta a dan b
adalah konstanta.
Tingkat kematangan gonad
Tingkat kematangan gonad (TKG) yaitu tahap-tahap tertentu dalam perkembangan gonad mulai dari sebelum sampai ikan memijah. Informasi TKG berperan untuk mengetahui perbandingan antara ikan yang telah matang gonad dengan yang belum matang gonad, apakah ikan telah memijah atau belum, waktu ikan memijah, lama waktu pemijahan, serta jumlah pemijahan dalam satu tahun. Faktor utama yang mempengaruhi tingkat kematangan gonad pada daerah bermusim empat adalah suhu dan makanan, namun untuk daerah yang beriklim tropis suhu relatif tidak berpengaruh (Effendie 2002). Tabel klasifikasi TKG dengan menggunakan klasifikasi Cassie (1956) in Effendie (1979) disajikan pada Tabel 1.
Ukuran pertama kali matang gonad
Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan tetengkek pertama kali matang gonad adalah metode Spearman-Karber yang menyatakan bahwa logaritma ukuran rata-rata pertama kali matang gonad adalah sebagai berikut (Udupa 1986):
m = (7)
sehingga
Lm = antilog m (8)
6
Tabel 1 TKG berdasarkan klasifikasi Cassie (1956) in Effendie (1979)
TKG Betina Jantan
I
Ovari seperti benang, panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, serta permukaannya licin.
Testes seperti benang,warna jernih, dan ujungnya terlihat di rongga tubuh.
II Ukuran ovari lebih besar. Warna ovari
kekuning-kuningan, dan telur belum terlihat jelas.
Ukuran testes lebih besar pewarnaan seperti susu.
III
Ovari berwarna kuning dan secara morfologi telur mulai terlihat.
Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih dan ukuran makin besar.
IV
Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga perut.
Dalam keadaan diawet mudah putus, testes semakin pejal.
V Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat di dekat pelepasan.
Testes bagian belakang kempis dan di bagian dekat pelepasan masih berisi.
Sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok umur
Sebaran frekuensi panjang diperoleh dari data panjang total ikan dan digunakan untuk menentukan kelompok umur ikan. Data panjang total ikan dikelompokkan ke dalam beberapa kelas panjang, sehingga kelas panjang ke-i memiliki frekuensi (fi).
Pendugaan kelompok umur diduga dengan analisis frekuensi panjang ikan menggunakan metode ELEFAN I dalam software FISAT II (FAO-ICLARM Stock (maximum likelihood function) :
(10)
7
-
-
(11)
qijadalah fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah µj dan simpangan baku σj, xi adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan
dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap µj, σj, pj sehingga diperoleh dugaan dan yang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.
Pendugaan parameter pertumbuhan
Menurut Sparre dan Venema (1999), pertumbuhan dapat diestimasi dengan menggunakan model pertumbuhan von Bertalanffy, yakni:
(12)
Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan (K) dan L dilakukan dengan menggunakan metode Ford Wallford. Menurut King (1995) in Izati (2013), metode Ford Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana untuk menduga parameter pertumbuhan dari persamaan von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang tetap. Untuk t sama dengan t+1, persamaannya menjadi:
(13)
Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L adalah panjang
maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), dan t0 adalah umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol. Kemudian kedua rumus di atas disubstitusikan dan diperoleh persamaan :
(14)
atau :
(15)
Berdasarkan persamaan di atas dapat diduga dengan persamaan regresi linier , jika Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y) sehingga terbentuk kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong dengan absis sama dengan L [1 – e-K]. Dengan demikian, nilai K dan L
diperoleh dengan cara:
(16)
8
Selanjutnya untuk menduga nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang sama
dengan nol) dapat diperoleh melalui persamaan Pauly (1983) in Sparre dan Venema (1999):
(18)
Mortalitas dan laju eksploitasi
Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang sedemikian sehingga diperoleh hubungan:
- (19)
Persamaan diatas diduga melalui persamaan regresi linear sederhana y = b0 + b1x
dengan y =
sebagai ordinat, x =
sebagai absis, dan Z = -b
(Lampiran 1).
Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut:
- - (20)
M adalah mortalitas alami, L adalah panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy (mm), K adalah koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, t0adalah umur ikan pada saat panjang nol, dan T adalah rata-rata suhu permukaan air (oC).
Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) menyarankan untuk memperhitungkan jenis ikan yang memiliki kebiasaan menggerombol ikan dikalikan dengan nilai 0,8 sehingga untuk spesies yang menggerombol seperti ikan tetengkek nilai dugaan menjadi 20% lebih rendah:
- - (21)
Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan:
- (22)
Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan antara laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984):
(23)
9 Standarisasi alat tangkap
Standarisasi alat tangkap digunakan untuk menyeragamkan upaya penangkapan yang ada, sehingga dapat diasumsikan upaya penangkapan suatu alat tangkap dapat menghasilkan tangkapan yang relatif sama dengan alat tangkap yang dijadikan standar. Alat tangkap yang digunakan sebagai alat tangkap standar adalah alat tangkap yang dominan menangkap jenis ikan tertentu dan memiliki nilai Fishing Power Index (FPI) sama dengan satu. Nilai FPI dari masing-masing alat tangkap lainnya dapat diketahui dengan membagi laju penangkapan rata-rata unit penangkapan yang dijadikan standar. Menurut Sparre dan Venema (1999), nilai FPI diketahui dengan rumus:
(24)
(25)
CPUEi adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan dari alat tangkap ke-i,
Ciadalah jumlah tangkapan jenis dari alat tangkap ke-i, fiadalah jumlah upaya
penangkapan jenis dari alat tangkap ke-i, CPUEsadalah hasil tangkapan per upaya penangkapan dari alat tangkap yang di jadikan standar, dan FPI adalah faktor upaya tangkap pada jenis alat tangkap ke-i.
Model produksi surplus
Model produksi surplus berguna untuk menganalisis hasil tangkapan (catch) dan upaya (effort) dalam pendugaan potensi pemanfaatan ikan tetengkek. Penentuan tingkat upaya penangkapan optimum (fMSY) dan hasil tangkapan
maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dapat ditentukan melalui model Schaefer (1954) dan model Fox (1970). Menurut Schaefer (1954) in Sparre dan Venema (1999), model tersebut diperoleh dari persamaan berikut:
Y = af + bf2 (26)
Sehingga diperoleh dugaan fMSY dan MSY : fMSY =
(27)
MSY =
(28)
Sedangkan menurut Fox (1970) in Sparre dan Venema (1999), persamaannya adalah:
Y = f (e a+bf) (29)
10
fMSY = (30)
MSY = e (a-1) (31)
Model yang dapat diduga sebagai model terbaik merupakan model yang memiliki nilai korelasi dan determinasi yang paling tinggi. Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau TAC adalah 80% dari tangkapan maksimum lestarinya (Pasisingi 2011). Menurut Syakila (2009), hal ini berdasarkan prinsip kehati-hatian dalam pendugaan stok sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan dapat terus lestari.
TAC = 80 % x MSY (32)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Identifikasi dan tata nama ikan
Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan tetengkek (Gambar 2) adalah sebagai berikut:
Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Perchomorphi Subordo : Perciformes Famili : Carangidae Genus : Megalaspis
Spesies : Megalaspis cordyla
Nama Umum : Torpedo scad, Finny scad, Hardtail scad Nama Lokal : Tetengkek
11 Menurut www.fishbase.org, ikan tetengkek hidup di perairan tropis dengan kedalaman 20-100 m, bergerombol dan berasosiasi dengan karang. Ikan ini memiliki panjang maksimum sebesar 80 cm. Ikan tetengkek memiliki dua sirip punggung dengan jari-jari keras berjumlah 9 buah dan jari-jari lemah sebanyak 18-20 buah, serta dua sirip anal dengan jari-jari keras berjumlah 3 buah dan jari-jari lemah sebanyak 16-17 buah. Menurut www.fao.org, ikan ini juga memiliki tubuh memanjang dan agak pipih. Tubuh bagian atas berwarna hijau keabuan, sedangkan tubuh bagian bawah berwarna putih keperakkan. Sirip dada ikan tetengkek berbentuk sabit, batang ekor kuat dan kaku, serta memiliki skut.
Komposisi hasil tangkapan ikan
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. PPP Labuan merupakan salah satu pelabuhan perikanan yang cukup berkembang di Kabupaten Pandeglang. Ikan yang didaratkan di PPP Labuan cukup beragam. Ikan tetengkek menjadi salah satu ikan hasil tangkapan sampingan nelayan di PPP Labuan. Sumberdaya ikan pelagis yang didaratkan di PPP Labuan di antaranya ikan selar, kembung, biji nangka, teri, tetengkek, kurisi, tembang, lemuru, dan layang. Komposisi hasil tangkapan ikan berdasarkan data yang diperoleh dari DKP Kabupaten Pandeglang 2013 disajikan pada Gambar 3.
Persentase hasil tangkapan ikan tetengkek sebesar 4% dari total hasil tangkapan ikan yang didaratkan di PPP Labuan. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tetengkek adalah purse seine atau pukat cincin. Harga ikan tetengkek di PPP Labuan Banten berkisar antara Rp 5 000,00 hingga Rp 15 000,00 per kg.
Gambar 3 Komposisi hasil tangkapan ikan di PPP Labuan
12
Rasio kelamin dan hubungan panjang bobot
Rasio kelamin merupakan perbandingan antara jenis kelamin jantan dan betina, dimana penentuan jenis kelamin dilakukan secara morfologi (Kusumawardani 2014). Rasio kelamin ikan tetengkek pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Tabel 2. Hubungan panjang bobot merupakan salah satu parameter yang penting dalam mengetahui pola pertumbuhan ikan. Hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan tetengkek betina, jantan dan total dapat dilihat pada Gambar 4, Gambar 5, Gambar 6, dan Lampiran 2.
Tabel 2 Rasio kelamin ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) pada setiap pengambilan contoh
Waktu Pengambilan Contoh n Jumlah Rasio (%) Betina Jantan Betina Jantan
27-Jun-14 68 28 40 41 59
23-Jul-14 169 6 163 4 96
24-Agust-14 98 29 69 30 70
23-Sep-14 75 24 51 32 68
Jumlah 410 87 323 21 79
Gambar 4 Hubungan panjang bobot ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) betina
13
Gambar 6 Hubungan panjang bobot ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) total
Faktor kondisi
Faktor kondisi menunjukkan keadaan yang menyatakan kemontokan ikan atau dapat juga disebut dengan ponderal indeks (Lagler 1961 in Effendie 1979). Faktor kondisi ikan tetengkek dapat dilihat pada Gambar 7 dan Lampiran 3.
Gambar 7 Faktor kondisi ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
Tingkat kematangan gonad
14
Gambar 8 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) betina
Gambar 9 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) jantan
15 Sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok umur
Total contoh ikan yang diambil pada penelitian ini sebanyak 410 individu, dengan proporsi betina dan jantan sebanyak 87 individu dan 323 individu. Sebaran frekuensi panjang ikan tetengkek disajikan dalam Gambar 11 dan Lampiran 6, serta sebaran kelompok umur disajikan dalam Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14.
Gambar 11 Sebaran frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
Gambar 12 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) betina
0 20 40 60 80 100 120
115-150 151-186 187-222 223-258 259-294 295-330
F
r
e
k
u
e
n
si
(i
n
d
)
Selang Kelas (mm)
betina
jantan Lm Betina = 251,2526 mm
16
Gambar 13 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) jantan
Gambar 14 Pergeseran modus frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) total
Parameter pertumbuhan
Hasil analisis mengenai parameter pertumbuhan berupa koefisien pertumbuhan (K), panjang asimtotik (L∞), dan umur teoritik ikan pada saat panjang ikan nol (t0) disajikan pada Tabel 3, Gambar 15, Gambar 16, Gambar 17,
dan Lampiran 7.
Tabel 3 Parameter pertumbuhan berdasarkan model von Bertalanffy (K, L∞, dan t0)
Parameter Pertumbuhan Betina Jantan Total
K (per tahun) 0,070 0,090 0,160
L ∞ 339,15 336,00 339,15
17
Gambar 15 Kurva pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) betina
Gambar 16 Kurva pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) jantan
Gambar 17 Kurva pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) total 0
Lt=336,00(1-e(-0,090(t+0,996)))
0
Lt=339,15(1-e(-0,070(t+1,289)))
18
Mortalitas dan laju eksploitasi
Parameter mortalitas terdiri dari mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F). Pendugaan laju mortalitas dan laju eksplotasi disajikan dalam Tabel 4 dan Lampiran 8.
Tabel 4 Mortalitas dan laju eksploitasi ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) di PPP Labuan
Parameter Betina Jantan Total Mortalitas total (Z) 0,9719 3,4101 6,3378 Mortalitas alami (M) 0,1315 0,1553 0,2258 Mortalitas tangkapan (F) 0,8405 3,2548 6,1120 Laju eksploitasi (E) 0,8648 0,9544 0,9644
Model produksi surplus
Data hasil tangkapan ikan tetengkek dan upaya penangkapan yang telah distandarisasi (Lampiran 9) disajikan pada Tabel 5, Gambar 18, dan Lampiran 10.
Tabel 5 Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) di PPP Labuan
Tahun Hasil Tangkapan (ton) Upaya (trip) CPUE
2007 382,0000 584,7479 0,6533
Gambar 18 Kurva model produksi surplus ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
19 Pembahasan
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan terletak di Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. PPP Labuan merupakan salah satu pelabuhan perikanan yang cukup berkembang dan memiliki potensi perikanan yang cukup besar (Kusumawardani 2014). Salah satu ikan hasil tangkapan yang didaratkan di PPP Labuan yaitu ikan tetengkek. Ikan tetengkek merupakan ikan pelagis yang tidak terlalu banyak ditangkap oleh nelayan, dan seringkali ikan tetengkek ini menjadi hasil tangkapan sampingan ikan pelagis (by catch). Hal ini terlihat dari rendahnya persentase ikan tetengkek dalam komposisi ikan hasil tangkapan di PPP Labuan, sehingga ikan tetengkek kurang dikenal di khalayak umum. Menurut Genisa (1999) in Izati (2013), ikan tetengkek merupakan ikan ekonomis penting dengan harga yang cukup mahal. Harga ikan tetengkek di PPP Labuan yakni berkisar antara Rp 5 000,00 hingga Rp 15 000,00 per kilogram.
Jumlah ikan tetengkek jantan lebih banyak daripada ikan tetengkek betina. Ikan tetengkek betina yang diamati sebanyak 87 individu dan ikan tetengkek jantan yang diamati sebanyak 323 individu. Perbandingan antara ikan tetengkek betina dan ikan tetengkek jantan sebesar 1 : 3,8. Sedangkan perbandingan antara ikan tetengkek betina dan ikan tetengkek jantan yang telah matang gonad sebesar 1 : 0,41. Secara keseluruhan hasil uji Chi square menunjukkan bahwa rasio kelamin ikan tetengkek betina dan jantan adalah tidak seimbang. Menurut Febianto (2007), keadaan tidak seimbangnya rasio kelamin diduga karena ikan betina dan ikan jantan tidak berada dalam daerah pemijahan yang sama sehingga peluang tertangkapnya berbeda. Selain itu menurut Bal dan Rao (1984) in
Febianto (2007), perbedaan jumlah ikan betina dan jantan disebabkan oleh perbedaan tingkah laku bergerombol antara ikan betina dan jantan, perbedaan laju pertumbuhan, dan laju mortalitas.
Pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau bobot dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah (Effendie 2002). Analisis hubungan panjang bobot digunakan untuk melihat pola pertumbuhan pada ikan. Berdasarkan hasil analisis diketahui pola pertumbuhan ikan tetengkek adalah isometrik (pertambahan panjang sama dengan pertambahan bobot). Perbedaan pola pertumbuhan dari berbagai penelitian pada Tabel 6 dapat disebabkan oleh perbedaan ukuran dan banyaknya jumlah yang diamati. Selain itu menurut Lawson dan Doseku (2013), perbedaan pola pertumbuhan juga dapat disebabkan oleh perbedaan musim, habitat, kematangan gonad, jenis kelamin, kepenuhan lambung, dan kesehatan ikan. Hubungan allometrik dan isometrik dapat berubah dari suatu populasi akibat faktor lingkungan yang berbeda (Suwarni 2009).
20
bahwa faktor kondisi ikan tetengkek betina cenderung lebih tinggi daripada faktor kondisi ikan tetengkek jantan. Faktor kondisi ikan tetengkek betina sebesar 1,0214 dan faktor kondisi ikan tetengkek jantan sebesar 0,9996. Menurut Manik (2009), faktor kondisi ikan bergantung pada faktor eksternal lingkungan dan faktor biologis ikan (kematangan gonad untuk reproduksi). Hal ini terlihat dari Tingkat Kematangan Gonad (TKG) III dan IV yang lebih banyak pada ikan tetengkek betina, sehingga ikan tetengkek betina memiliki faktor kondisi yang lebih tinggi daripada ikan tetengkek jantan.
Tabel 6 Perbandingan nilai b ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) dari berbagai penelitian
Peneliti Lokasi Spesies Jenis
Kelamin b
cordyla 3,0162 Isometrik
Izati (2013) Teluk Banten Megalaspis cordyla
Betina 1,8179 Allometrik negatif
Jantan 2,1265 Allometrik negatif
Betina 2,7700 Allometrik negatif
Jantan 2,6500 Allometrik negatif
Penelitian ini
(2015) Selat Sunda
Megalaspis cordyla
Betina 2,8461 Isometrik Jantan 3,0542 Isometrik Total 3,0441 Isometrik
21 tetengkek diduga mengalami pertumbuhan dari bulan Juli hingga bulan September. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa ikan tetengkek diduga memiliki lebih dari satu kelompok umur. Ukuran pertama kali matang gonad ikan tetengkek betina, jantan dan total masing-masing sebesar 251,2526 mm, 276,5943 mm dan 259,5538 mm (Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa banyak ikan yang tertangkap sebelum ukuran pertama kali matang gonad serta banyak pula ikan tertangkap yang berasal dari kelompok umur yang berbeda, artinya diduga telah terjadi recruitment overfishing terhadap ikan tetengkek di perairan Selat Sunda.
Parameter pertumbuhan ikan tetengkek diduga melalui metode ELEFAN I. Berdasarkan hasil analisis diketahui persamaan pertumbuhan von Bertalanffy ikan tetengkek betina yaitu Lt=339,15(1-e(-0,070(t+1,289))), ikan tetengkek jantan yaitu Lt=336,00(1-e(-0,090(t+0,996))), dan ikan tetengkek total yaitu Lt=339,15(1-e
(-0,160(t+0,547))
). Koefisien pertumbuhan ikan tetengkek jantan lebih besar dari ikan tetengkek betina. Menurut Sparre dan Venema (1999), semakin tinggi nilai koefisien pertumbuhan, maka semakin cepat pula waktu yang dibutuhkan untuk mendekati panjang asimtotik. Hal ini menunjukkan bahwa ikan tetengkek jantan lebih cepat mencapai panjang asimtotik dibandingkan dengan ikan tetengkek betina. Pendugaan parameter pertumbuhan ini menunjukkan hasil yang sama dengan hasil penelitian Izati (2013) yang menyatakan bahwa ikan yang lebih cepat mencapai panjang asimtotik adalah ikan tetengkek jantan.
Tabel 7 menunjukkan parameter pertumbuhan ikan dengan spesies yang sama memiliki nilai pertumbuhan yang berbeda. Hal ini terjadi karena lokasi perairan yang berbeda pula. Menurut Effendie (2002), faktor dalam yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain keturunan, jenis kelamin, ketahanan tubuh terhadap parasit dan penyakit, dan kemampuan memanfaatkan pakan, sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain ketersediaan pakan dan kondisi lingkungan perairan.
Laju mortalitas akibat penangkapan (F) pada ikan tetengkek lebih besar daripada laju mortalitas alami (M). Selain itu laju eksploitasi ikan tetengkek sudah melebihi 0,5 sehingga di duga sumberdaya ikan tetengkek sudah mengalami eksploitasi berlebih (over exploitation). Tabel 8 menunjukkan adanya perbedaan tingkat eksploitasi ikan tetengkek di perairan yang berbeda. Perbedaan hasil penelitian ini diduga karena perbedaan habitat dan waktu penelitian. Laju eksploitasi ikan tetengkek yang terindikasi tangkap lebih dapat juga disebabkan oleh banyaknya upaya penangkapan dan bervariasinya alat penangkapan yang digunakan.
22
dapat dianggap upaya penangkapan suatu jenis alat tangkap diasumsikan menghasilkan tangkapan yang sama dengan alat tangkap standar.
Tabel 7 Perbandingan parameter pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) dari berbagai penelitian
Peneliti Lokasi Nama Spesies Jenis Kelamin
Kasim (1999) Perairan India Megalaspis
cordyla 1,034 554,0 -0,008
Izati (2013) Teluk Banten Megalaspis cordyla
Tabel 8 Perbandingan laju eksploitasi ikan tetengkek (Megalaspis cordyla) dari berbagai penelitian
23 Data hasil tangkapan dan upaya penangkapan sumberdaya ikan tetengkek berfluktuatif dari tahun ke tahun. Hasil tangkapan ikan tetengkek tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 598,3 ton sedangkan upaya penangkapan tertinggi ikan tetengkek terjadi pada tahun 2009 sebesar 929 trip. Tabel 5 menunjukkan bahwa model produksi surplus yang paling tepat digunakan adalah model Schaefer dengan nilai koefisien determinasi sebesar 77,35%. Gambar 18 menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan sudah melebihi nilai fMSY, yakni sebesar 530 trip
dengan nilai MSY sebesar 661,7178 ton. Nilai jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau total allowable catch (TAC) yakni sebesar 529,3743 ton/tahun. Menurut Triyono (2013), tindakan pengelolaan perikanan (termasuk JTB) harus segera dilaksanakan tanpa harus menunggu informasi dan data yang sempurna, sehingga apabila tidak dilaksanakan sumberdaya ikan akan terancam punah. Berdasarkan Gambar 18 juga diketahui bahwa upaya di tahun terakhir sudah melebihi fMSY, maka dapat diduga bahwa sumberdaya ikan tetengkek di perairan
Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan Banten sudah mengalami tangkap lebih (over fishing). Nilai CPUE yang berfluktuasi selama tujuh tahun terakhir diduga karena banyaknya upaya penangkapan yang dilakukan, sehingga saran pengelolaan yang direkomendasikan yaitu perlu pengendalian upaya penangkapan yang optimal dan tidak melebihi fMSY serta perlu kajian mengenai alat tangkap yang
selektif untuk menangkap ikan tetengkek.
Saran pengelolaan lain yang dapat dilakukan dalam mengendalikan upaya penangkapan ikan tetengkek yaitu penentuan jumlah unit penangkapan ikan atau armada yang diperbolehkan melalui mekanisme perijinan serta pengaturan musim penangkapan. Pada bulan Juni dan Agustus saat ikan tetengkek sedang mengalami musim pemijahan maka kegiatan penangkapan juga harus dikurangi atau dihentikan sementara. Selain itu data hasil produksi ikan tetengkek diharapkan agar lebih teratur dan akurat guna mengetahui keberadaan stok ikan tetengkek sepanjang tahun. Menurut Hairunnisa (2013), data urutan waktu (time series) terhadap produksi ikan tetengkek yang akurat adalah kunci keberhasilan riset yang dilakukan oleh peneliti untuk merumuskan rencana pengelolaan stok ikan tetengkek yang lebih tepat agar sumberdaya ikan tetengkek dapat berlangsung secara tepat dan berkelanjutan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
24
Saran
Saran untuk pengelolaan sumberdaya ikan tetengkek yaitu dengan pengendalian upaya penangkapan, pengaturan mekanisme perijinan, pengaturan musim penangkapan, pengelolaan dengan pendekatan konsep MSY, fMSY, dan
25
DAFTAR PUSTAKA
Boer M. 1996. Pendugaan koefisien pertumbuhan (L , K, t0) berdasarkan data frekuensi panjang. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 4(1): 75-84.
Das SK, De M, Ghaffar MA. 2014. Length-weight relationship and trophic level of hard-tail scad Megalaspis cordyla. Science Asia. 40: 317–322.
Dhenis. 2010. Kajian pembentukan daerah penangkapan ikan tongkol di Selat Sunda [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Effendie MI. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Dewi
Febianto S. 2007. Aspek biologi reproduksi ikan lidah pasir (Cynoglossus lingua
Hamilton-Buchanan, 1822) di Perairan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hairunnisa N. 2013. Pengelolaan sumberdaya ikan tetengkek (Megalaspis cordyla, Linnaeus 1758) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu-Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Irhamni W. 2009. Potensi pengembangan usaha penangkapan ikan di Kabupaten Pandeglang dan dukungan PPP Labuan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Izati N. 2013. Kajian stok dan ketidakpastian sumberdaya ikan tetengkek (Megalaspis Cordyla, Linnaeus 1758) di PPN Karangantu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kasim HM. 1999. Carangid fishery of veraval coast with notes on the biology and population dynamics of Megalaspis cordyla (Linnaeus). The Fourth Indian Fisheries Forum Proceedings 1996 November 24-28; Kochi, India. (IN):
Asian Fisheries Society, Indian Branch. 377-380.
Kusumawardani NM. 2014. Kajian stok sumberdaya ikan tongkol (Euthynnus affinis) di Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Pandeglang, Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lawson EO, Doseku PA. 2013. Aspects of biology in round sardinella, Sardinella aurita (Valenciennes, 1847) from Majidun Creek, Lagos, Nigeria. World Journal of Fish and Marine Sciences. 5(5): 575-581.
Manik N. 2009. Hubungan panjang – berat dan faktor kondisi ikan layang (Decapterus russelli) dari Perairan sekitar Teluk Likupang Sulawesi Utara.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 35 (1): 65-74.
Panda D, Chakraborty SK, Jaiswar AK, Kumar T, Behera PK. 2011. Comparative length-weight relationship of two species of carangids Decapterus russelli
26
Panda D, Chakraborty Sk, Jaiswar AK, Sharma AP, Jha BC, Sawant BT, Bhagabati SK, Kumar T. 2012. Fishery and population dynamics of two species of carangids, Decapterus russelli (Ruppell, 1830) and Megalaspis cordyla (Linnaeus, 1758) from Mumbai waters. Indian J. Fish. 59(4): 53-60.
Pasisingi N. 2011. Model produksi surplus untuk pengelolaan sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pauly D. 1984. Fish population dynamics in tropical waters: a manual for use with programmable calculators. Manila: ICLARM.
Reuben S, Kasim HM, Sivakam S, Radhakrishnan PNN, Kurup KN, Sivadas M, Noble A, Somasekharan KVN, Raje SG. 1992. Fishery, biology and stock assessment of carangid resources from the Indian seas. Indian Journal of Fisheries. 39(3,4): 195-234.
Rosalina D. 2008. Pengembangan perikanan tangkap berbasis optimasi sumberdaya ikan pelagis di Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatera Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Saanin H.1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi I dan II. Bandung (ID): Binacipta.
Sari AP. 2013. Aspek reproduksi ikan tembang (Sardinella fimbriata Cuvier dan Valenciennes 1847) di Perairan Teluk Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Shelvinawati R. 2012. Reproduksi ikan tembang (Sardinella fimbriata Cuvier dan Valenciennes 1847) yang didaratkan di PPP Labuan, Kab. Pandeglang, Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sivakami S. 1995. Fishery and biology of the carangid fish Megalaspis cordyla (Linnaeus) off Cochin. J mar biol Ass India. 37(1&2): 237-248.
Sparre P. dan Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis Buku e-manual (Edisi Terjemahan). Jakarta: Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitiaan dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sreenivasan PV. 1978. Observations on the fishery and biology of Megalaspis cordyla (Linnaeus) at Vizhinjam. Indian Journal of Fisheries. 25(1&2): 122-140.
Suwarni. 2009. Hubungan panjang-bobot dan faktor kondisi ikan butana
Acanthurus mata (Cuvier, 1829) yang tertangkap di sekitar Perairan Pantai Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan). 19(3): 160 – 165. Syakila S. 2009. Studi dinamika stok ikan tembang (Sardinella fimbriata) di
Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Triyono H. 2013. Metode penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) untuk berbagai jenis sumberdaya ikan di WPP-NRI. Fisheries Resources Journal.
Udupa KS. 1986. Statistical method of estimating the size at first maturity of fishes. Fishbyte. 4(2):8-10.
28
LAMPIRAN
Lampiran 1 Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang dilinearkan berdasarkan data panjang
Berdasarkan persamaan tangkap atau persamaan Baranov (Baranov 1918 in
Sparre dan Venema 1999), tangkapan antara waktu t1 dan t2 sama dengan:
t1,t2 = N t1 - N t2 (1.1) N(t1) adalah banyaknya ikan pada saat t1, N(t2) adalah banyaknya ikan pada saat t2,
F adalah mortalitas penangkapan, dan Z adalah mortalitas total. Fraksi ikan yang mati akibat penangkapan, disebut laju eksploitasi. Oleh karena
N t2 = N t1 e- t2- t (1.2)
persamaan Baranov di atas dapat ditulis menjadi:
t1,t2 =N t1 1-e- t1- t2 (1.3)
N t1 = N r e- t1 - r (1.4)
sehingga
t1,t2 = N r e- t1 - r 1 - e- t2 - t1 (1.5) N (Tr) adalah rekrutmen. Selanjutnya dengan menggunakan logaritma di
kiri dan kanan persamaan (1.5) diperoleh:
ln t1,t2 =d- t1 ln 1 -e- t2 - t1 (1.6)
d=lnN r r ln (1.7)
Jika t2 - t1 = t3 - t2 = ... = suatu konstanta dengan satuan waktu diperoleh
konstanta baru
g = d ln 1 - e- t2 - t1 (1.8)
sehingga persamaan (1.8) dapat ditulis menjadi:
29 Lampiran 1(lanjutan)
atau
ln t, t = g - t (1.10)
Menurut van Sickle (1977) in Sparre dan Venema (1999) cara lain dapat ditempuh untuk menyelesaikan (1.6) melalui
ln 1 - e- ln
-2 (1.11)
untuk X yang bernilai kecil (X<1.0), sehingga
ln 1 - e- t2 - t1 = ln t
2 - t1 - t2 2- t1 (1.12) dan persamaan (1.6) dapat ditulis
ln t1,t2
t2 - t1 = h - t1
-1
2 t2 - t1 (1.13) atau
ln t,t t t =h- t 21 t (1.14) selanjutnya, bentuk konversi data panjang menjadi data umur dengan menggunakan persamaan von Bertalanffy
t =t - 1ln 1
-∞ (1.15)
Notasi tangkapan C(t1,t2) dapat diubah menjadi C(L1,L2)
atau
t,t t = 1, 2 (1.16)
dan
t=t 2 -t 1 = 1ln ∞∞-- 12 (1.17)
Bagian (t +
pada persamaan (1.14) dapat dikonversi kedalam notasi L1 dan L2 sehingga
30
Lampiran 1 (lanjutan) sehingga
ln 1, 2
t 1, 2 =h- t
1 2
2 (1.19)
yang membentuk persamaan linear dengan y = ln 1, 2
t 1, 2 sebagai ordinat dan
x = 1 2
2 sebagai absis, dengan koefisien kemiringan persamaan (1.19) yaitu Z.
Lampiran 2 Hubungan panjang bobot ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
1. Ikan Betina
Berdasarkan data panjang dan bobot ikan tetengkek betina selama pengambilan contoh diperoleh statistik sebagai berikut:
Parameter Nilai b 2,8461 sb 0,0902 thit 1,7058 ttab 2,2818
Pada taraf nyata 5% hipotesis yang menyatakan koefisien b sama dengan 3 (tiga) gagal diterima, dengan demikian pertumbuhan ikan tetengkek betina mengikuti pola isometrik.
2. Ikan Jantan
Berdasarkan data panjang dan bobot ikan tetengkek jantan selama pengambilan contoh diperoleh statistik sebagai berikut:
Parameter Nilai b 3,0542 sb 0,0324 thit 1,6752 ttab 2,2520
31 Lampiran 2 (lanjutan)
3. Ikan Total
Berdasarkan data panjang dan bobot ikan tetengkek total selama pengambilan contoh diperoleh statistik sebagai berikut:
Parameter Nilai b 3,0441 sb 0,0261 thit 1,6887 ttab 2,2497
Pada taraf nyata 5% hipotesis yang menyatakan koefisien b sama dengan 3 (tiga) gagal diterima, dengan demikian pertumbuhan ikan tetengkek total mengikuti pola isometrik.
Lampiran 3 Faktor kondisi ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
betina jantan
Pengambilan contoh fk rata2 stdev fk rata2 stdev
27 Jun 14 1,0520 0,1095 1,0590 0,0871
23 Jul 14 1,0790 0,1340 0,9959 0,1762
24 Ags 14 0,9811 0,0924 0,9893 0,1131
23 Sep 14 0,9734 0,1141 0,9543 0,0877
1,0214 0,1125 0,9996 0,1160
Lampiran 4 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
1. Ikan Betina
Pengambilan Contoh TKG JUMLAH FR (%)
I II III IV I II III IV
32
Lampiran 4 (lanjutan) 2. Ikan Jantan
Pengambilan Contoh TKG JUMLAH FR (%)
I II III IV I II III IV 27-Jun-14 13 18 3 6 40 33 45 8 15 23-Jul-14 158 5 0 0 163 97 3 0 0 24-Agust-14 48 8 3 10 69 70 12 4 14
23-Sep-14 44 5 1 1 51 86 10 2 2
3. Ikan Total
Pengambilan Contoh TKG JUMLAH FR (%)
I II III IV I II III IV 27-Jun-14 15 23 13 17 68 22 34 19 25 23-Jul-14 160 7 1 1 169 95 4 1 1 24-Agust-14 50 18 6 24 98 51 18 6 24
23-Sep-14 44 13 7 11 75 59 17 9 15
Lampiran 5 Ukuran pertama kali matang gonad ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
1. Ikan Betina
Log (M) = (2,51 + (0,01/2)) – (0,01 x 17,68)
M = 251,2526 mm
2. Ikan Jantan
Log (M) = (2,51 + (0,01/2)) – (0,01 x 10,47)
M = 276,5943 mm
3. Ikan Total
Log (M) = (2,51 + (0,01/2)) – (0,01 x 15,45)
33 Lampiran 6 Sebaran frekuensi panjang ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
skb-ska bkb-bka xi betina jantan
115-150 114,5-150,5 132,5 1 72
151-186 150,5-186,5 168,5 2 101
187-222 186,5-222,5 204,5 0 24
223-258 222,5-258,5 240,5 35 81
259-294 258,5-294,5 276,5 35 36
295-330 294,5-330,5 312,5 14 9
Lampiran 7 Pendugaan pertumbuhan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
1. Ikan Betina
L∞ = 339,15 mm
K = 0,070 per tahun
Log (t0) = -0.3922 – .2752 og ∞ – 1.0380 (Log K)
Log (t0) = -0.3922 – 0.2752 (Log 339,15) – 1.0380 (Log 0,070)
34
Lampiran 7 (lanjutan) 2. Ikan Jantan
L∞ = 336,00 mm
K = 0,090 per tahun
Log (t0) = -0.3922 – .2752 og ∞ – 1.0380 (Log K)
Log (t0) = -0.3922 – 0.2752 (Log 336,00) – 1.0380 (Log 0,090)
t0 = -0,9955 tahun
3. Ikan Total
L∞ = 339,15 mm
K = 0,160 per tahun
Log (t0) = -0.3922 – .2752 og ∞ – 1.0380 (Log K)
Log (t0) = -0.3922 – 0.2752 (Log 339,15) – 1.0380 (Log 0,160)
35 Lampiran 8 Pendugaan mortalitas ikan tetengkek (Megalaspis cordyla)
40
Lampiran 8 (lanjutan)
SB SA Xi C(L1,L2) t(L1) t t(L1/L2)/2 n 1, 2 / t (x) (y)
41 Lampiran 9 Standarisasi alat tangkap
tahun payang purse seine jaring insang
produksi (kg) upaya produksi upaya produksi upaya
2007 60,0 324 105,2 165 0
2008 162,0 867 172,3 191 23,0 98,0061
2009 150,0 1023 170,0 266 20,3 92,3824
2010 112,1 857 157,4 271 16,4 87
2011 111,7 876 138,9 242 14,7 73
2012 112,0 112 89,5 89 11,3 11
2013 13,6 102 88,6 184 9,4 52
jaring rampus bagan rakit C F CPUE lnCPUE
produksi upaya produksi upaya
83,7 332 133 1417 382,000 584,7479 0,6533 -0,4258 111,9 524 129 1485 598,300 862,6298 0,6936 -0,3659 91,5 473 124 1287 555,935 929,3037 0,5982 -0,5138 77,3 458 116 1123 479,270 856,7466 0,5594 -0,5809 77,2 471 107 990 449,260 811,1561 0,5539 -0,5909 77,2 77 118 118 408,290 166,9142 2,4461 0,8945 81,3 542 136 1613 329,360 661,7113 0,4977 -0,6977
alat tangkap Produksi (kg) Upaya CPUE FPI
payang 766,6 4.403,2 0,1741 0,2668
purse seine 1.015,3 1.556,0 0,6525 1,0000
jaring insang 95,1 413,9 0,2298 0,3521
jaring rampus 673,5 3.252,7 0,2071 0,3173
42
Lampiran 10 Model produksi surplus
Tahun C (ton) F (trip) CPUE ln CPUE
2007 382,0000 584,7479 0,6533 -0,4258 2008 598,3000 862,6298 0,6936 -0,3659 2009 555,9350 929,3037 0,5982 -0,5138 2010 479,2700 856,7466 0,5594 -0,5809 2011 449,2600 811,1561 0,5539 -0,5909 2012 408,2900 166,9142 2,4461 0,8945 2013 329,3600 661,7113 0,4977 -0,6977
tahun 07-13 schaefer
a 2,4958
b -0,00235
fMSY 530,2608
MSY 661,7178
PL 595,5460
TAC 529,3743
43
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 Juli 1993 dari pasangan Bapak Mumuh Muhamad dan Ibu Endang Purwanti (alm) sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal pernah dijalani penulis berawal dari TK Pertiwi III (1998-1999), SDN Polisi 1 Bogor (1999-2005), SMPN 6 Bogor (2005-2008), MAN 1 Bogor (2008-2011). Pada tahun 2011 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan, kemudian diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Imu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.