• Tidak ada hasil yang ditemukan

Precautionary Approach Dalam Pengelolaan Sumber Daya Ikan Tongkol (Euthynnus Affinis) Dan Ikan Tetengkek (Megalaspis Cordyla) Di Perairan Selat Sunda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Precautionary Approach Dalam Pengelolaan Sumber Daya Ikan Tongkol (Euthynnus Affinis) Dan Ikan Tetengkek (Megalaspis Cordyla) Di Perairan Selat Sunda"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

ol

VERA ARDELIA

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Precautionary Approach dalam Pengelolaan Sumber Daya Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dan Ikan Tetengkek (Megalaspis cordyla) di Perairan Selat Sunda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

(4)

Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dan Ikan Tetengkek (Megalaspis cordyla) di Perairan Selat Sunda. Dibimbing oleh YONVITNER DAN MENNOFATRIA BOER.

Ikan tongkol dan tetengkek merupakan ikan pelagis yang berperan penting dalam rantai makanan sebagai ikan karnivora dan berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem perairan. Kajian mengenai indikator biologi dan dinamika populasi diperlukan untuk mengatur populasi pemanfataan sumber daya tersebut. Hasil ini diharapkan berguna dalam rangka kebijakan pengelolaan perikanan tongkol dan tetengkek. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisis status sumber daya ikan tongkol dan tetengkek di perairan Selat Sunda. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2015 hingga Agustus 2016 yang berasal dari hasil tangkapan nelayan di perairan Selat Sunda yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan Pandeglang. Analisis data terdiri atas hubungan panjang berat, faktor kondisi, sebaran frekuensi panjang, pertumbuhan, ukuran pertama kali matang gonad, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), diameter telur dan fekunditas.

Aspek biologi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan tongkol memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, sedangkan ikan tetengkek memiliki pola pertumbuhan isometrik. Ikan tongkol dan tetengkek betina lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan jantan. Nisbah kelamin ikan tongkol dan tetengkek betina lebih kecil dibandingkan ikan tongkol dan tetengkek jantan. Ikan tongkol dan tetengkek didominasi TKG I dan II (belum matang gonad). Fekunditas ikan tongkol berada pada kisaran antara 17 814 – 560 792 butir dengan puncak ukuran diameter telur pada 0.0250 – 1.0750. Sedangkan, fekunditas Ikan tetengkek berkisar 1.401-103.825 butir dengan puncak ukuran diameter telur pada 0.2224-0.3210. Berdasarkan aspek dinamika populasi, dapat diketahui bahwa catch per unit effort (CPUE) ikan tongkol dan tetengkek mengalami kecenderungan penurunan. Model produksi surplus yang digunakan yaitu model Fox yang menghasilkan MSY sebesar 1 519 ton per tahun dengan upaya penangkapan maksimum 5 040 trip. laju eksploitasi ikan tongkol dan tetengkek sudah melebihi 0.5 sehingga diduga sumberdaya ikan tongkol dan tetengkek sudah mengalami eksploitasi berlebih (over exploitation). ikan tongkol telah mengalami overfishing. Sedangkan untuk hasil tangkapan ikan tetengkek belum melebihi tangkapan potensi lestari.

(5)

Eastern Little Tuna (Euthynnus affinis) and Torpedo Scad (Megalaspis cordyla) in the Sunda Strait. Supervised by YONVITNER and MENNOFATRIA BOER.

Eastern little tuna and torpedo scad is a pelagic fish and important in the food chain as carnivorous fish and affect the balance of aquatic ecosystems. The study of indicators of natural history and population dynamics is necessary to regulate the population of utilization of these resources. These results are expected to be useful in the context of fisheries management policy eastern little tuna and torpedo scad. The aim of this research was to determine the status of resources and eastern little tuna and torpedo scad in the Sunda Strait. This research carried out on April 2015 until August 2015 from the catch of fishery Sunda Strait which landed in PPP Labuan, Banten. The data analysis consisted of a long relationship weight, condition factor, the length frequency distribution, growth, the size of the first ripe gonads, sex ratio, gonad maturity level, gonad maturity index, the diameter of the eggs and fecundity.

The results showed of the biological aspects, the eastern littte tuna had a positive allometric growth patterns Meanwhile, torpedo scad has isometric growth pattern. Eastern little tuna and torpedo scad female gonads mature faster than males. Sex ratio eastern little tuna and torpedo scad females are smaller than males. Eastern little tuna and torpedo scad dominated gonad maturity level I and II (immature gonads). Fecundity of eastern little tuna in the range 17 814-560 792 grains with a diameter the size of an egg on the peak of 0.0250 - 1.0750. Meanwhile, torpedo scad fecundity ranges with peaks 1 401-103 825 grain diameter size eggs at 0.2224-0.3210. Based on the aspects of population dynamics, it can be seen that the catch per unit effort (CPUE) eastern little tuna and torpedo scad experienced a downward trend. Surplus production model used is the model Fox that produces MSY of 1 519 tons per year with a maximum of 5 040 trip fishing effort. The rate of exploitation of round scad had exceed the rate of exploitation which is 0.5. Eastern little tuna has been overfishing. As for the catches torpedo scad not exceed the sustainable catch potential.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(7)

DI PERAIRAN SELAT SUNDA

VERA ARDELIA

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : Vera Ardelia

NIM : C251140041

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Yonvitner, SPi MSi Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus :

(10)
(11)

Nya sehingga penulis dapat menyusun tesis dengan judul penelitian Precautionary Approach dalam Pengelolaan Sumber Daya Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dan Ikan Tetengkek (Megalaspis cordyla) di Perairan Selat Sunda. Tesis ini merupakan hasil penelitian dan menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan menempuh studi di program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan.

2. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), DIPA IPB Tahun Ajaran 2015 No. 544/IT3.11/PL/2015, Penelitian Dasar untuk Bagian, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitan dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB dengan judul “Dinamika Populasi dan Biologi Reproduksi Beberapa Ikan Ekologis dan Ekonomis Penting di Perairan Selat Sunda, Provinsi Banten” yang dilaksanakan oleh Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA (sebagai ketua peneliti) dan Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi (sebagai anggota peneliti).

3. Dr Yonvitner, SPi MSi dan Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan dalam penyelesaian tesis.

4. Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi, MSc selaku dosen penguji luar komisi. 5. Keluarga, papa (Arsil Syawal), mama (Nurmalis), uni (Rika Ardianni),

adik-adik (Nathania Alberta dan Kharomah Zikri) dan dua keponakanku (Imam Aidil Akbar dan Fathur Azta Auladi) serta mas Nurjati Solikhin atas kasih sayang, doa, dan dukungan baik secara moral ataupun material. 6. Teman-teman SDP 2014, atas kebersamaanya selama studi.

7. Staff Tata Usaha dan civitas SDP dan MSP.

8. Serta semua pihak yang telah mengambil bagian dalam pemberian masukan dan saran selama penyusunan tesis.

Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak sebagaimana mestinya.

(12)
(13)

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar belakang 1

Perumusan masalah 2

Tujuan penelitian 2

Manfaat penelitian 2

Hipotesis penelitian 3

2 METODE PENELITIAN 4

Lokasi dan waktu 4

Pengumpulan data 4

Analisis data

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Hasil 16

Pembahasan 31

4 SIMPULAN DAN SARAN 41

Simpulan 41

Saran 41

DAFTAR PUSTAKA 42

LAMPIRAN 47

(14)

2 Hubungan antar spesies berdasarkan ketergantungan ekologi 14

3 Pendekatan kehati-hatian dalam pengelolaan perikanan 15

4 Visualisasi model bendera untuk indikator precautionary approach 15

5 Rasio kelamin ikan tongkol (E. affinis) 16

6 Rasio kelamin ikan tetengkek (M. cordyla) 17

7 Hubungan panjang bobot ikan tongkol dan tetengkek 17

8 Sebaran kelompok ukuran ikan tongkol total 24

9 Sebaran kelompok ukuran ikan tetengkek total 25

10 Parameter pertumbuhan ikan tongkol dan tetengkek berdasarkan model Von Bertalanffy 26

11 Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan tongkol dan tetengkek 27

12 Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan tongkol 27

13 Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan tetengkek 28

14 Koefisien ketergantungan antar spesies 29

15 Pendekatan kehati-hatian ikan tongkol dan tetengkek 30

(15)

2 Peta Lokasi Penelitian di Perairan Selat Sunda 4 3 Komposisi jenis ikan yang didaratkan di PPP Labuan Pandeglang

Banten dengan alat tangkap purse seine 16

4 Hubungan panjang bobot ikan tongkol (E. affinis) gabungan 18 5 Hubungan panjang bobgot ikan tetengkek (M.cordyla) gabungan 18

6 Faktor kondisi ikan tongkol (E.affinis) 19

7 Faktor kondisi ikan tetengkek (M. cordyla) 19 8 Tingkat kematangan gonad ikan tongkol (E. affinis) gabungan 20 9 Tingkat kematangan gonad ikan tetengkek (M. cordyla) gabungan 20 10 Indeks kematangan gonad ikan tongkol (E. affinis) betina

dan jantan 21

11 Indeks kematangan gonad ikan tetengkek (M. cordyla) betina

dan jantan 21

12 Perbandingan fekunditas ikan tongkol dan tetengkek 22 13 Sebaran diameter telur ikan tongkol (E. affinis) betina 22 14 Sebaran diameter telur ikan tetengkek (M. cordyla) betina 23 15 Sebaran frekuensi panjang ikan tongkol (E. Affinis) 24 16 Sebaran frekuensi panjang ikan tetengkek (M. cordyla) 25 17 Kurva pertumbuhan ikan tongkol (E. Affinis) gabungan 26 18 Kurva pertumbuhan ikan tetengkek (M. cordyla) gabungan 26 19 Model produksi surplus ikan tongkol dengan pendekatan

model Fox 28

20 Model produksi surplus ikan tetengkek dengan pendekatan

model Fox 29

21 Perbandingan nilai b ikan tongkol (E. affinis) dari berbagai

Penelitian 29

22 Perbandingan nilai b ikan tetengkek (M. cordyla) dari

berbagai penelitian 31

23 Perbandingan laju eksploitasi ikan tongkol (E. affinis)

dari berbagai penelitian 36

24 Perbandingan laju eksploitasi ikan tetengkek (M. cordyla)

dari berbagai penelitian 37

25 Komposisi trophic level ikan yang didaratkan di PPP

(16)

1 Morfologi ikan tongkol dan tetengkek 47 2 Uji Chi-square terhadap nisbah kelamin jantan dan betina

pada ikan tongkol (E.affinis) dan tetengkek (M.cordyla) 48 3 Hubungan panjang bobot ikan tongkol (E.affinis) dan

tetengkek (M. cordyla) jantan,betina dan gabungan 48

4 Faktor kondisi ikan tongkol dan tetengkek 48

5 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan tongkol (E.affinis)

dan ikan tetengkek (M.cordylla) betina, jantan dan gabungan 51 6 Indeks kematangan gonad (IKG) ikan tongkol (E. affinis),

ikan tetengkek (M. cordyla) betina, jantan dan gabungan 54 7 Perhitungan nilai fekunditas ikan tongkol (E. affinis),

ikan tetengkek (M. cordyla) 54

8 Diameter telur ikan tongkol (E. affinis) dan ikan tetengkek

(M.cordyla) 55

9 Ukuran pertama kali matang gonad ikan tongkol (E. affinis),

ikan tetengkek (M. cordyla) 56

10 Ukuran pertama kali tertangkap ikan ikan tongkol (E.affinis),

ikan tetengkek (M.cordyla) 59

11 Sebaran frekuensi panjang ikan tongkol (E. affinis),

ikan tetengkek (M. cordyla) 61

12 Pendugaan pertumbuhan ikan tongkol (E.affinis) dan

tetengkek (M.cordyla ) 59

13 Mortalitas dan laju eksploitasi ikan ikan tongkol (E. affinis),

ikan tetengkek (M. cordyla) 69

14 Standarisasi alat tangkap 71

15 Model produksi surplus 72

16 Ketergantungan antar spesies 73

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar belakang

Beberapa spesies ikan yang ditangkap di perairan Selat Sunda termasuk ikan dengan nilai ekonomis penting seperti ikan tongkol dan tetengkek. Ikan tongkol dan tetengkek merupakan ikan pelagis yang berperan penting dalam rantai makanan sebagai ikan karnivora dan berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem perairan (Johnson et al. 2013). Ikan tongkol yang kecil cenderung bergerombol secara bersama (Williams 1963). Gerombolan campuran spesies ini diantaranya yaitu yellowfin tuna kecil (Thunnus albacares), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol mackarel (Auxis thazard) dan tetengkek (Megalaspis cordyla). Menurut Ahmed et al. (2014), tongkol (Euthynnus affinis) termasuk multispecies schools yang terdiri dari 100 sampai lebih dari 5000 individu.

Salah satu masalah terbesar dalam dunia perikanan adalah adanya krisis perikanan global yang mulai dirasakan sejak awal tahun 1990-an. Ketika permintaan ikan dunia meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia, maka intensitas penangkapan ikan dunia pun meningkat secara signifikan (Andrianto 2005). Dampaknya nelayan cenderung mengeksploitasi ikan dalam jumlah yang cukup besar, termasuk ikan tongkol dan tetengkek. Penangkapan tanpa memikirkan keberlanjutan dari stok ikan di laut, dapat mempengaruhi perkembangan populasi ikan. Kusumawardani (2014) menganalisis tangkapan ikan tongkol dan upaya penangkapan yang telah distandarisasi di perairan Selat Sunda tahun 2006-2013 mengalami fluktuasi setiap tahunnya.

Hasil tangkapan ikan tongkol tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 1 829.20 ton. Upaya penangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2012 sebesar 10 115 trip. Hasil tangkapan ikan tongkol pada tahun 2006 dan 2008 terlihat melebihi MSY sebesar 1 811 ton per tahun. Upaya penangkapan ikan tongkol selama delapan tahun terakhir juga melebihi upaya optimum diduga yaitu sebesar 7 180 trip. Hasil tersebut menunjukkan upaya rata-rata dan upaya aktual telah melebihi nilai upaya penangkapan optimum. Diduga bahwa ikan tongkol di Perairan Selat Sunda telah mengalami tangkap lebih. Hasil tangkapan dan upaya penangkapan sumber daya ikan tetengkek di perairan Selat Sunda tahun 2007-2013 juga berfluktuatif dari tahun ke tahun. Hasil tangkapan ikan tetengkek tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 598.3 ton dengan upaya penangkapan tertinggi ikan tetengkek terjadi pada tahun 2009 sebesar 929 trip. Upaya yang dilakukan pada tahun 2013 sudah melebihi nilai fMSY. Hal ini dapat diduga sumber daya ikan tetengkek di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan Banten juga sudah mengalami tangkap lebih (Fadilla 2015). Oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan sumber daya perikanan. Menurut FAO (2003) bahwa, pendekatan pengelolaan sumber daya perikanan menggunakan dua konsep utama yaitu, pengelolaan berdasarkan ekosistem (ecosystembased management) dan pendekatan kehati-hatian (the precautionary approach).

(18)

tongkol dan tetengkek yang dilakukan terus-menerus dapat mempengaruhi keberadaan stok sumber daya ikan tersebut. Ketersedian stok sangat ditentukan oleh indikator biologi, dinamika populasi dan indikator lingkungan. Kajian mengenai indikator biologi dan dinamika populasi diperlukan untuk mengatur populasi pemanfataan sumber daya tersebut. Hasil ini diharapkan berguna dalam rangka kebijakan pengelolaan perikanan tongkol dan tetengkek.

Perumusan masalah

Kegiatan penangkapan ikan tongkol dan tetengkek yang tinggi dengan volume produksi yang terus meningkat setiap tahunnya dapat mengakibatkan upaya tangkap lebih (overfishing), sehingga akan menyebabkan penurunan stok sumber daya ikan tongkol dan tetengkek di perairan Selat Sunda. Adanya indikasi tangkap lebih diduga mempengaruhi pertumbuhan dan reproduksi sumber daya ikan tersebut, dengan adanya threshold indikator maka dapat memastikan bahwa eksploitasi perikanan ke depan masih tetap memberikan keuntungan bagi generasi yang akan datang. Penelitian ini dilakukan dalam upaya memberikan masukan bagi pengelolaan sumber daya ikan tongkol dan tetengkek melalui dua pendekatan aspek dinamika populasi dan biologi reproduksi agar sumber daya ikan tongkol dan tetengkek dapat dimanfaatkan secara optimum, lestari dan berkelanjutan.

Tujuan penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisis status sumber daya ikan tongkol dan tetengkek di perairan Selat Sunda.

Manfaat penelitian

(19)

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Hipotesis penelitian

Hipotesis pada penelitian ini ialah diduga jika kondisi populasi baik, maka struktur populasi mendukung keberlanjutan stok dan memberikan manfaat terhadap keberlanjutan sumber daya perikanan.

Eksisting perikanan

Natural history

Pertumbuhan

Dinamika populasi

Analisis pemanfaatan

Pemanfaatan berkelanjutan Analisis potensi recruitment

Potensi recruitment

Laporan tahunan RPP Kajian penelitian

Rencana pengembangan sumber daya ikan

Makanan Reproduksi Kelompok

ukuran

Struktur ukuran

Mortalitas CPUE

Potensi pemanfaatan

Kemampuan recruitment

Kemampuan reproduksi

Tidak Threshold analysis Tidak

Strategi

(20)

2 METODE PENELITIAN

Lokasi dan waktu

Penelitian ini dilaksanakan di pelabuhan perikanan pantai (PPP) Labuan, Banten dan Institut Pertanian Bogor. Ikan contoh yang diperoleh merupakan hasil tangkapan nelayan di sekitar Selat Sunda. Pengambilan contoh dilakukan selama 5 bulan dari bulan April hingga Agustus 2015. Ikan yang diperoleh dianalisis di Laboratorium Biologi Perikanan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Gambar 1 menunjukkan lokasi penelitian dan daerah penangkapan ikan tongkol dan tetengkek yang didaratkan di PPP Labuan, Banten.

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian

Pengumpulan data Pengambilan ikan contoh

(21)

Panjang dan bobot

Ikan contoh yang telah diambil diukur panjang total dan tinggi serta ditimbang bobotnya di laboratorium. Pengukuran panjang total ikan dimulai dari mulut ikan terdepan hingga ujung ekor, sedangkan pengukuran tinggi ikan dimulai dari bagian bawah perut ikan hingga ke sirip dorsal. Pengukuran ini menggunakan penggaris dengan nilai satuan terkecil 1 mm. Penimbangan bobot ikan dilakukan dengan menggunakan timbangan dengan nilai satuan terkecil 1 gram dengan ketelitian alat 0.5 mm.

Tingkat kematangan gonad (TKG)

Ikan-ikan yang telah diukur panjang total, tinggi, dan bobot dibedah untuk diambil gonadnya, kemudian dianalisis jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG). Bobot gonad total ditimbang menggunakan timbangan dengan nilai satuan terkecil 0.0001 gram dengan ketelitian alat 0.00005 gram. Gonad betina yang telah masuk ke dalam kategori TKG III dan IV diawetkan menggunakan formalin 4% dan dimasukkan ke dalam botol sampel untuk pengamatan fekunditas dan diameter telur.

Penentuan TKG yang dilakukan di lapangan atau di laboratorium berdasarkan pengamatan morfologis serta ukuran gonad. Penentuan TKG bertujuan untuk mengetahui kondisi ikan yang diperoleh selama penelitian dalam keadaan tingkat kematangan gonad sehingga dapat diduga musim pemijahan ikan tersebut. TKG ditentukan secara morfologi menggunakan modifikasi Cassie in Effendie dan Sjafei (1976) yang didasarkan pada bentuk, warna, ukuran, dan bobot gonad disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Penentuan TKG secara morfologi (Cassie 1956 in Effendie 1976)

TKG Betina Jantan

I

Ovari seperti benang, panjang sampai ke depan rongga tubuh. Warna jernih. Permukaan licin.

Testis seperti benang, lebih pendek, terihat ujungnya dirongga tubuh. Warna jernih. Permukaan licin.

II

Ukuran ovari lebih besar. Pewarnaan lebih gelap kekuning-kuningan, telur belum jelas dilihat dengan mata.

Ukuran testis lebih besar. Pewarnaan lebih putih seperti susu. Bentuk lebih jelas daripada tingkat I.

III

Ovari berwarna kuning. Secara

morfologis telur mulai kelihatan

butirannya dengan mata.

Permukaan testis tampak lebih bergerigi. Warna makin putih, testis makin besar. Dalam keadaan diawetkan mudah putus.

IV

Ovari makin besar. Telur berwarna

kuning, mudah dipisahkan. Butir

minyak tidak tampak. Mengisi ½ - 2/3 rongga perut, usus terdesak.

Seperti pada tingkat III, tampak lebih jelas dan testis makin pejal.

Seperti pada tingkat III, tampak lebih jelas dan testis makin pejal.

V

Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat didekat pelepasan, banyak telur seperti pada tingkat II

Testes bagian belakang kempis dan dibagian dekat pelepasan masih berisi

Fekunditas

(22)

telur dalam cawan petri diambil sebanyak 1 ml menggunakan pipet tetes. Jumlah telur sebanyak 1 ml dihitung satu per satu dengan menggunakan hand counter. Metode tersebut merupakan metode gabungan dalam penentuan fekunditas. Fekunditas dapat dihitung melalui persamaan sebagai berikut (Effendie 2002).

F=G x V x XQ

F adalah fekunditas (butir), G adalah berat gonad total (gram), V adalah volume pengenceran (ml), X adalah rata-rata jumlah telur (butir), Q adalah rata-rata berat gonad contoh (gram)

Diameter telur

Penentuan diameter telur dilakukan pada telur yang telah mencapai TKG III dan TKG IV, dengan cara mengamati masing-masing 50 butir telur dari bagian anterior, tengah, dan posterior yang sudah ditambahkan air pada cawan petri. Telur-telur tersebut disusun pada kaca preparat dan dilakukan pengukuran diameter Telur-telur menggunakan mikroskop binokuler majemuk dengan perbesaran 4x10 yang telah dilengkapi dengan mikrometer okuler dan telah ditera. Diameter telur dihitung untuk mengetahui pola pemijahan ikan dengan mengkonversi satuan mikron menjadi milimeter. Mikrometer yang ditera dalam mikroskop dengan perbesaran 4x10 memiliki nilai satuan terkecil 25 µ.

D = d x 0,025 mm

D adalah diameter telur (mm), d adalah diameter yang terlihat di mikroskop, 0.025 adalah nilai konversi.

Analisis data Hubungan panjang bobot

Analisis hubungan panjang bobot dilakukan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan. Hubungan panjang dan bobot dijelaskan dalam bentuk persamaan eksponensial. Menurut Hile (1936) in Effendie (1979), rumus penentuan hubungan panjang bobot sebagai berikut.

W = α Lβ

W adalah bobot ikan (gram), L adalah panjang ikan (cm), nilai α dan β adalah koefisien pertumbuhan bobot. Nilai α dan β diduga dari bentuk linier persamaan diatas, yaitu:

Log w = log α+ β log L

Parameter penduga α dan β diperoleh dengan analisis regresi dengan log W sebagai y dan log L sebagai x, sehingga diperoleh persamaan regresi:

(23)

Sehingga b = b1 dan a = 10b0

Nilai β digunakan untuk menduga pola pertumbuhan yang didapat dari perhitungan panjang dan bobot melalui hipotesis. Adapun hipotesis yang digunakan sebagai berikut.

1. H0 : β=3

pola pertumbuhan bersifat isometrik (pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan bobot).

2. H1 : β≠3

pola pertumbuhan bersifat allometrik, yaitu:

a. Bila nilai β>3, bersifat allometrik positif (pertumbuhan bobot lebih dominan).

b. Bila nilai β<3, bersifat allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih dominan).

Hipotesis digunakan untuk melihat hasil yang diperoleh dari nilai β sama atau tidak dengan 3 kemudian dilakukan uji lanjut dengan thitung sebagai berikut:

thitung = |b-3S b|

Sb dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

Sb2 = s 2

∑n Xi2

i=1 - 1n(∑ni=1Xi) 2

Selanjutnya nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan

95%. Pengambilan keputusannya adalah jika thitung >ttabel maka tolak hipotesis nol (H0) dan jika thitung <ttabel maka terima hipotesis nol (Walpole 1995).

Faktor kondisi

Faktor kondisi menunjukan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan sistem metrik berdasarkan hubungan panjang berat ikan sampel. Jika pertumbuhan ikan isometrik (Effendie 2002):

K=105W L3

Apabila pertumbuhan bersifat allometrik:

K =aLWb

(24)

Nisbah kelamin

Nisbah kelamin digunakan untuk melihat perbandingan antara jenis kelamin ikan yang ada di perairan, hal ini dibutuhkan sebagai bahan pertimbangan dalam reproduksi, peremajaan, dan konservasi sumber daya ikan tersebut. Persamaan untuk menghitung nisbah kelamin:

NK=nBnJ

NK adalah nisbah kelamin, nJ adalah jumlah ikan jantan (individu), nB adalah jumlah ikan betina. Setelah didapatkan proporsi antara ikan betina dan jantan kemudian diuji kembali menggunakan uji Chi-square (χ2) sehingga dapat diketahui keseimbangan populasi (Steel dan Torrie 1980). Berikut persamaan untuk uji C hi-square. (individu). Nilai-nilai �2 yang diperoleh dibandingkan dengan 2 tabel pada taraf nyata 5% dan derajat bebas (n-1).

Indeks kematangan gonad (IKG)

Indeks kematangan gonad (IKG) merupakan suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dikalikan dengan 100% (Effendie 1979). Berikut persamaan untuk mencari indeks kematangan gonad.

IKG (%)= BGBT x100

IKG adalah indeks kematangan gonad, Bg adalah bobot gonad (gram) dan Bt adalah bobot tubuh ikan (gram).

Ukuran pertama kali matang gonad (Lm)

Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad dilakukan dengan menggunakan metode Spearman-Karber (Udupa 1986).

m=[xk+ xk]-(x ∑ pi)

Lm=antilog m ± 1.96 √x2 (pixqi

(ni-1)

(25)

pertambahan panjang pada nilai tengah, pi adalah proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i, ni adalah jumlah ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1 – pi, Lm adalah panjang ikan pertama kali matang gonad sebesar antilog m.

Ukuran pertama kali tertangkap (Lc)

Ukuran pertama kali tertangkap (Lc) dihitung dengan metode kantung berlapis (covered conden method). Hasil dari perhitungan tersebut membentuk kurva ogif yang berbentuk sigmoid. Ukuran pertama kali tertangkap diduga melalui metode Beverton dan Holt (1957) in Sparre dan Venema (1999) :

SL = a + exp (a-bL)1

SL adalah nilai estimasi, L adalah nilai tengah panjang kelas (mm), a dan b adalah konstanta. Sedemikian sehingga, a dan b dapat dihitung melalui dugaan regresi linear :

ln(SL1

c-1) =a-bL

SLc adalah frekuensi kumulatif relatif, L adalah nilai tengah panjang kelas (mm). Adapun Lc dapat dihitung melalui :

Lc=-ab

Lc adalah panjang ikan pertama kali tertangkap (mm), a dan b adalah konstanta.

Sebaran frekuensi panjang dan identifikasi kelompok umur

Sebaran frekuensi panjang diperoleh dari data panjang total ikan dan digunakan untuk menentukan kelompok umur ikan. Data panjang total ikan dikelompokkan ke dalam beberapa kelas panjang, sehingga kelas panjang ke-i memiliki frekuensi (fi).

Pendugaan kelompok umur diduga dengan analisis frekuensi panjang ikan menggunakan metode ELEFAN I dalam software FISAT II (FAO-ICLARM Stock

Assesment Tool). Menurut Boer (1996), jika fi merupakan frekuensi ikan dalam

(26)

Frekuensi ikan pada kelas panjang ke-i (i = 1, 2, ...,N) merupakan fi, μj adalah

rata-Fungsi di atas merupakan fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah μj, simpangan baku σj, dan xi merupakan titik tengah kelas panjang ke-i yang merupakan fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah μj dan simpangan baku σj. xi adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap μj, σj dan pj sehingga diperoleh dugaan �̂�, ��, �̂� yang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.

Parameter pertumbuhan (L∞, K) dan t0

Pertumbuhan ikan merupakan perubahan dimensi (panjang, berat, volume, dan ukuran) per satuan waktu baik individu maupun komunitas, sehingga pertumbuhan ini banyak dipengaruhi faktor lingkungan seperti jumlah ikan, jenis makanan, dan kondisi ikan. Tujuannya untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan ikan dimana pertumbuhan yang cepat dapat mengindikasikan kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan yang sesuai (Malafeyev dan Grib 1994). Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam menduga persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (King 1995) :

Lt=L∞ (1- e-K(t-t0)

Lt adalah ukuran ikan pada umur t satuan waktu (mm), ∞ adalah panjang maksimum atau panjang asimptotik (mm), K adalah koefisien pertumbuhan (bulan -1) dan t

0 adalah umur hipotesis ikan pada panjang nol (bulan).

Penurunan persamaan Ford-Walford didasarkan pada persamaan Von Bertalanffy dengan t0 = 0, maka persamaan:

persamaan (2) disubtitusikan ke persamaan (3) maka diperoleh:

Lt+1-Lt=(L-Lt 1-e-K )

(27)

Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan panjang ikan yang dipisahkan interval waktu yang konstan (1 = tahun, bulan atau minggu) (Pauly 1984). Persamaan (10) merupakan persamaan linier dan jika Lt (sumbu X) diplotkan dengan Lt+1 (sumbu Y) maka garis lurus yang dibentuk akan memiliki kemiringan (slope) b = �− dan titik potong dengan sumbu X(a) = L∞ (1 –�− ). Umur teoritis ikan pada saat panjang = 0 dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1984) yaitu:

Log -t0 =0.3922-0.2575 ( log L∞)-1.038 (Log K)

Mortalitas dan laju eksploitasi

Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M). Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bertalanffy K dan L∞. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre dan Venema 1999). Mortalitas alami dipengaruhi oleh predator, penyakit dan usia. Selain itu menurut Pauly (1980) in Sparre danVenema (1999) bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi laju mortalitas alami yaitu suhu rata-rata perairan, panjang maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan (K).

Laju eksploitasi (E) merupakan bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Selain itu, laju eksploitasi juga dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alam maupun faktor penangkapan (Pauly 1984). Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang. Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999) dengan langkah-langkah : mengkonversikan data panjang ke data umur dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy.

t L =t0- K x Ln 1 (1-LL ∞)

Selanjutnya menghitung waktu yang diperlukan ikan untuk tumbuh dari L1 hingga ke L2 (Δt).

∆t=t L2 -t L1 = K x Ln1 (1-LL∞-L1 ∞-L2)

Langkah ketiga adalah menghitung � + ∆� yakni melalui persamaan:

t L1+L2 2 =t0- K x Ln1 (1-L2L1+L2

∞ )

(28)

Ln∆t(LC(L1,L2) menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1991) dengan persamaan:

Ln M=0.152- 0.279 x Ln L∞ + 0.6543 x Ln K +(0.463 x Ln T)

M adalah mortalitas alami, L∞ panjang asimptotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, T adalah rata-rata suhu permukaan tahunan (oC). Laju mortalitas penangkapan (F) dapat diduga dengan menggunakan persamaan:

F = Z – M

Laju ekspkoitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) terhadap laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984):

E=F+M =F FZ

Menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum adalah:

Foptimum = M dan Eoptimum = 0.5

Standarisasi alat tangkap

Standarisasi alat tangkap digunakan untuk menyeragamkan upaya penangkapan yang ada, sehingga dapat diasumsikan upaya penangkapan suatu alat tangkap dapat menghasilkan tangkapan yang relatif sama dengan alat tangkap yang dijadikan standar. Alat tangkap yang digunakan sebagai alat tangkap standar adalah alat tangkap yang dominan menangkap jenis ikan tertentu dan memiliki nilai Fishing Power Index (FPI) sama dengan satu. Nilai FPI dari masing-masing alat tangkap lainnya dapat diketahui dengan membagi laju penangkapan rata-rata unit penangkapan yang dijadikan standar. Menurut Sparre dan Venema (1999), nilai FPI diketahui dengan rumus:

CPUEi=cfi i

FPIi= CPUECPUEi s

(29)

penangkapan dari alat tangkap yang dijadikan standar, dan FPI adalah faktor upaya tangkap pada jenis alat tangkap ke-i.

Catch per unit effort (CPUE)

Kelimpahan ikan tongkol dan tetengkek dapat diduga dengan CPUE (Catch Per Unit effort). Nilai ini merupakan produksi per satuan usaha penangkapan yang dirumuskan sebagai berikut :

CPUE= CatchEffort (y) (f)

Catch adalah produksi Ikan Tongkol dan Tetengkek (ton) dan effort adalah upaya penangkapan (trip).

Model produksi surplus

Model Produksi Surplus menganalisis hasil tangkapan (catch) dan upaya (effort) dalam pendugaan potensi ikan tetengkek dan tongkol. Model Produksi Surplus dikembangkan oleh Schaefer dan Fox. Model ini dapat diterapkan apabila diketahui dengan baik hasil tangkapan per unit upaya tangkap (CPUE) atau berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup. Tujuan dari penggunaan Model Produksi Surplus adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang yang biasa disebut MSY (Maximum Sustainable Yield) (Sparre dan Venema 1999). Tingkat upaya penangkapan optimum (fMSY) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schaefer (1954) in Sparre dan Venema (1999) dapat diketahui melalui persamaan berikut:

Y= af + bf2

Persamaan diatas menggambarkan hubungan antara hasil tangkapan (Y) dengan upaya penangkapan (f). Upaya penangkapan optimum (fMSY) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama hasil tangkapan (Y) terhadap upaya penangkapan (f) yakni dy/df = 0

dY

df =a+2bf=0 a=-2bf fMSY= 2b-a

MSY=4ba2

Tidak semua populasi ikan mengikuti model linear seperti model Schaefer, maka Garrod (1969) dan Fox (1970) in Sparre dan Venema (1999) mengajukan model alternatif dengan rumusan:

(30)

fMSY dapat diperoleh pada saat dy/df = 0, sehingga:

fMSY=1b

MSY=1b e a-1

Hubungan ketergantungan antar spesies

Terdapat beberapa hubungan timbal balik antar spesies atau ketergantungan antar spesies yaitu hubungan kompetisi (competition), mangsa-pemangsa ( prey-predor), dan hubungan bebas (independent). Spesies ikan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu ikan tongkol dan tetengkek. Hubungan antar spesies dalam kegiatan penangkapan secara matematis dapat ditulis melalui:

dx1 adalah daya dukung lingkungan spesies ke-n. Setelah nilai adan b diketahui, maka jenis hubungan antar spesies dapat diputuskan melalui Tabel 2.

Tabel 2 Hubungan antar spesies berdasarkan ketergantungan ekologi

Ketergantungan ekologi Spesies 1 Spesies 2

Kompetisi �� / �� < �� / �� <

Predator-prey (x1 = predator dan x2 = prey) �� / �� > �� / �� <

Mutualisme �� / �� > �� / �� >

Komensalisme (x1 = komensal) �� / �� > �� / �� =

Amensalisme (x1 = amensal) �� / �� < �� / �� =

Sumber : Anderson dan Seijo 2010

Precautionary approach

Precautionary approach atau pendekatan kehati-hatian dalam konteks pengelolaan perikanan memberlakukan pendekatan yang bersifat kehati-hatian secara luas demi pengelolaan sumber daya perikanan. Indeks potensi keberlanjutan populasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

Indeks potensi keberlanjutan = √(∑skor)n

(31)

Tabel 3 Pendekatan kehati-hatian dalam pengelolaan perikanan

No Indikator Pendekatan kehati-hatian

1 Komposisi Ikan Komposisi ikan beradasarkan siklus hidup dapat dikatakan cukup

memadai apabila struktur populasi larva > individu > dewasa berdasarkan jumlah.

2 Rasio kelamin Rasio kelamin untuk populasi ikan dianggap baik jika 1 : 1.

3 Hubungan panjang

bobot

Hubungan panjang dan bobot dikatakan proposional apabila, nilai b = 3.

4 Faktor Kondisi Nilai faktor kondisi yang besar menunjukkan kondisi (>1) ikan dalam

keadaan baik dan di lingkungan yang mendukung.

5 TKG Dalam kondisi ideal proporsi TKG seharusnya seimbang

(25:25:25:25).

6 IKG Bobot gonad yang besar menjadi dugaan reproduksi yang tinggi dan

rendah pada pendekatan kehati-hatian.

7 Fekunditas Trend fekunditas yang rendah dari rata-rata memiliki potensi tidak

berkelanjutan. 0.5- sb < F < 0.5 + sb

8 Diameter telur Semakin kecil diameter telur maka perlu kehati-hatian dan cendrung

memiliki potensi keberhasilan pemijahan rendah

9 Kelompok umur Modus kelompok umur yang baik ialah yang berada diatas range Lm.

Jika populasi yang terbanyak (modus) kecil dari Lm, maka ikan dikelompok tersebut sudah menurun.

10 Lm dan Lc Kehati-hatian yang beresiko rendah adalah Lm < Lc, sehingga masih

ada ruang untuk bereproduksi

11 K Laju pertumbuhan tinggi jika nilai K melebihi 0.3.

12 M Rasio

MLc

Kehati-hatian ditekan pada rasio nilai �

� harus lebih besar dari 1.

13 Laju mortalitas Jika F > M maka akan memiliki potensial risiko untuk sustainability

rendah.

14 Ep Ep > 0.5 jika lebih besar maka akan potensial tidak sustain dan

tekanan tinggi.

15 Fopt Jika Faktual > Fopt maka perlu pengendalian dan hati-hati

16 Produksi Aktual

MSY/JTB

Jika produksi aktual lebih besar dari MSY/JTB, maka stok masih bisa sustainable.

17 Ketergantungan

antar spesies <0 Spesies 1 =0 >0

Spesies 2

<0 Kompetisi Amensalisme Prey-predator

=0 Amensalisme Tidak ada

interaksi Komensalisme

>0 Prey-predator Komensalisme Mutualisme

Dari tiap indikator yang dinilai, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis komposit sederhana berbasis rataan aritmetik yang kemudian ditampilkan dalam bentuk model bendera (flag model) dengan kriteria seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini :

Tabel 4 Visualisasi model bendera untuk indikator precautionary approach

Nilai skor komposit Model bendera Deskripsi Hasil analisis keberlanjutan

1 Buruk 1 = sustainibility rendah

2 Sedang 2 = potensi keberlanjutan sedang

(32)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Komposisi hasil tangkapan ikan

Sumber daya hasil tangkapan yang didaratkan di PPP Labuan Banten cukup beragam seperti, ikan peperek, ikan selar, ikan tetengkek ikan tembang, ikan kurisi, ikan kembung, ikan tenggiri, ikan layur, ikan tongkol dan ikan lainnya. Ikan tongkol (E. affinis) yang didaratkan di PPP Labuan (11%) dari keseluruhan ikan hasil tangkapan. Ikan tetengkek (M. cordyla) merupakan salah satu ikan hasil tangkapan sampingan nelayan, persentase sebesar 5% (Gambar 3). Alat tangkap dominan yang digunakan untuk menangkap ikan tongkol dan tetengkek adalah pukat cincin. Rata-rata komposisi jenis ikan dari tahun 2008-2014 disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Komposisi jenis ikan yang didaratkan di PPP Labuan Pandeglang Banten dengan alat tangkap pukat cincin (DKP Kabupaten Pandeglang 2014).

Rasio kelamin dan hubungan panjang bobot

Rasio kelamin merupakan perbandingan antara jenis kelamin jantan dan betina dalam suatu populasi, dimana penentuan jenis kelamin ini dilakukan secara morfologi. Pada setiap pengambilan contoh dapat terlihat bahwa jumlah ikan tongkol jantan lebih besar daripada ikan betina. Ikan tongkol yang diamati adalah 334 ekor untuk ikan betina dan 409 ekor untuk ikan jantan. Perbandingan antara ikan tongkol jantan dan betina sebesar 1.22 : 1. Secara keseluruhan dari hasil uji Chi square ikan tongkol jantan dan betina menunjukkan bahwa rasio dalam keadaan seimbang kecuali bulan Mei. Rasio kelamin ikan tongkol pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Tabel 5 dan lampiran 2.

Tabel 5 Rasio kelamin ikan tongkol (E. affinis)

Pengambilan Contoh n

(individu)

Jumlah (n) Nisbah Kelamin 2

hitung

Jantan Betina Jantan : Betina

(33)

Ikan tetengkek yang diamati dari nilai rata-rata adalah 491 ekor untuk ikan jantan dan 362 untuk ikan betina. Jumlah ikan tetengkek jantan juga lebih banyak daripada ikan tetengkek betina. Perbandingan antara ikan tetengkek jantan dan betina sebesar 1.35 : 1. Secara keseluruhan dari hasil uji Chi square ikan tetengkek jantan dan betina menunjukkan bahwa rasio dalam keadaan tidak seimbang. Rasio kelamin ikan tetengkek pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Tabel 6 dan lampiran 2.

Tabel 6 Rasio kelamin ikan tetengkek (M. cordyla) Pengambilan

Contoh

n (individu)

Jumlah (n) Nisbah Kelamin

ᵡ2 hitung

Jantan Betina Jantan : Betina

16-Apr-15 212 146 66 2.21 : 1 30.18*

Persamaan yang diperoleh berdasarkan analisis hubungan panjang bobot untuk ikan tongkol betina adalah W = 5x10-6 L 3.1531 dengan koefisien determinasi 95.8%, untuk ikan tongkol jantan = 3 x 10-6 L 3.2773 dengan koefisien determinasi 96.5% dan persamaan untuk ikan tongkol total adalah W = 1 x 10-5 L 3.2131 dengan koefisen determinasi sebesar 97.39%. Persamaan yang diperoleh untuk ikan tetengkek betina W = 2 x 10-5 L 2.9183 dengan koefisien determinasi sebesar 96.56%, untuk ikan tetengkek jantan W = 1 x 10-5 L 2.9955 dengan koefisien determinasi sebesar 97.85% dan persamaan untuk ikan tetengkek total adalah W = 1 x 10-5 L 2.966 dengan koefisien determinasi sebesar 97.39%.

Hasil analisis hubungan panjang bobot diperoleh nilai b ikan tongkol betina sebesar 3.1531 dan ikan tongkol jantan sebesar 3.2773. Hasil nilai b untuk hubungan panjang bobot ikan tetengkek betina sebesar 2.9183 dan untuk ikan tetengkek jantan sebesar 2.9955. Berdasarkan hasil uji–t terhadap parameter b pada ikan tongkol dengan selang kepercayaan 95% (α= 0.05), diperoleh thitung > ttabel, yang artinya b tidak sama dengan 3, sehingga hubungan panjang berat ikan tongkol baik betina ataupun jantan pola pertumbuhannya bersifat allometrik positif. Uji t (α = 0.05) terhadap nilai b pada pola pertumbuhan ikan tetengkek betina diperoleh pola pertumbuhanya adalah allometrik negatif, sedangkan ikan tetengkek jantan adalah isometrik. Hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan tongkol dan tetengkek disajikan pada Tabel 7 dan Lampiran 3.

Tabel 7 Hubungan panjang bobot ikan tongkol dan tetengkek

(34)

Hasil analisis hubungan panjang dan bobot keseluruhan ikan tongkol dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Hubungan panjang bobot ikan tongkol (E. affinis) total Hasil analisis hubungan panjang dan bobot keseluruhan ikan tetengkek dapat dilihat pada Gambar 5.

(35)

Faktor kondisi

Salah satu hal yang penting dari pertumbuhan ialah faktor kondisi atau sering disebut pula sebagai faktor K. Faktor kondisi ini menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. faktor kondisi ikan tongkol jantan, cenderung lebih tinggi daripada faktor kondisi ikan tongkol betina. Faktor kondisi ikan tongkol jantan adalah 1.4450, sedangkan untuk ikan tongkol betina sebesar 1.2728. Faktor kondisi ikan tongkol disajikan pada Gambar 6 dan Lampiran 4.

Gambar 6 Faktor kondisi ikan tongkol (E.affinis)

Faktor kondisi ikan tetengkek jantan juga cenderung lebih tinggi daripada faktor kondisi ikan tetengkek betina. Faktor kondisi ikan tetengkek jantan adalah 1.1463, sedangkan untuk ikan tetengkek betina sebesar 1.1860. Faktor kondisi ikan tetengkek disajikan pada Gambar 7 dan Lampiran 4.

Gambar 7 Faktor kondisi ikan tetengkek (M. cordyla)

(36)

Tingkat kematangan gonad

Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan tahap perkembangan gonad sejak, sebelum, sampai setelah ikan memijah. Sebaran TKG ikan tongkol menunjukkan TKG IV banyak ditemukan pada bulan Juni dan Agustus. Hal ini mengindikasikan bahwa musim pemijahan ikan tongkol terjadi pada berapa jumlah TKG IV dari populasi pada bulan tersebut. Sebaran tingkat kematangan gonad ikan tongkol total pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Gambar 8 dan Lampiran 5.

Gambar 8 Tingkat kematangan gonad ikan tongkol (E. affinis) total

TKG IV dari ikan tetengkek tertinggi terjadi pada bulan Mei dan Juni, sehingga dapat diduga ikan tetengkek mengalami musim pemijahan pada bulan Mei dan Juni. Sebaran tingkat kematangan gonad ikan tetengkek total pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Gambar 9 dan Lampiran 5

(37)

Indeks kematangan gonad

Indeks Kematangan Gonad (IKG), yaitu nilai dalam persen yang menunjukkan perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan. Ikan tongkol jantan memiliki nilai IKG rata-rata lebih kecil dibandingkan nilai IKG rata-rata ikan tongkol betina berdasarkan waktu pengamatan. Nilai IKG ikan tongkol betina berkisar antara 0.0769-0.6879, sedangkan nilai IKG tongkol jantan berkisar antara 0.1913-0.3000. Nilai IKG tertinggi, pada ikan betina terdapat pada bulan Juni, sedangkan nilai tertinggi untuk ikan jantan terdapat pada bulan Agustus. Indeks kematangan gonad ikan tongkol betina dan jantan pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Gambar 10 Lampiran 6.

Gambar 10 Indeks kematangan gonad ikan tongkol (E. affinis) betina dan jantan Nilai IKG ikan tetengkek betina berkisar antara 0.8343-2.1444, sedangkan nilai IKG tetengkek jantan berkisar antara 0.3619-1.7939. Nilai IKG tertinggi baik pada ikan tetengkek betina dan jantan terdapat pada bulan Juli. Indeks kematangan gonad ikan tetengkek betina dan jantan pada setiap pengambilan contoh disajikan pada Gambar 11 Lampiran 6.

Gambar 11 Indeks kematangan gonad ikan tetengkek (M. cordyla) betina dan jantan Fekunditas

Nilai fekunditas pada ikan tongkol betina dan tetengkek dihitung berdasarkan perhitungan dengan metode gabungan. Fekunditas ikan tongkol berada pada kisaran 17 814-560 792 butir telur dengan rata-rata 10 9807 butir pada kisaran

(38)

panjang 285-630 mm. Nilai Fekunditas pada ikan tetengkek berada pada kisaran 1 401-103 825 butir telur dengan rata-rata 14 293 butir pada kisaran panjang 195-446 mm. Perhitungan nilai fekunditas ikan tongkol dan tetengkek disajikan pada Gambar 12 dan Lampiran

Gambar 12 Perbandingan fekunditas ikan tongkol dan tetengkek

Diameter telur

Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang dari suatu telur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera. Perkembangan diameter telur semakin meningkat dengan meningkatnya tingkat kematangan gonad karena semakin mendekati waktu pemijahan (Jonson 1971 in Effendie 2002). Ikan tongkol memiliki kisaran diameter telur yang bervariasi, berkisar antara 0.0250-1.0750 mm. Diameter telur dengan frekuensi tertinggi terdapat pada selang kelas 0.4741-0.5491 mm, sedangkan frekuensi terendah terdapat pada selang kelas 1.073-1.148 mm. Sebaran diameter telur ikan tongkol betina disajikan pada Gambar 13 dan Lampiran 8.

Gambar 13 Sebaran diameter telur ikan tongkol (E. affinis) betina

Ikan tetengkek memiliki kisaran diamater telur yang juga bervariasi, berkisar antara 0.0250-1.4250 mm. Diameter telur dengan frekuensi tertinggi terdapat pada selang kelas 0.2224-0.3210 mm, sedangkan frekuensi terendah

(39)

terdapat pada selang kelas 0.2224-0.321 mm. Sebaran diameter telur ikan tetengkek betina disajikan pada Gambar 14 dan Lampiran 8.

Gambar 14 Sebaran diameter telur ikan tetengkek (M. cordyla) betina Ukuran pertama kali matang gonad dan pertama kali tertangkap

Metode yang digunakan untuk mengetahui ukuran pertama kali matang gonad pada ikan tongkol adalah metode Spearman-Karber. Ukuran pertama kali matang gonad ikan tongkol betina berkisar antara 523-527 mm, sedangkan ikan tongkol jantan matang gonad memiliki panjang berkisar antara 543-546 mm dan ikan tongkol total memiiki ukuran pertama kali matang gonad berkisar 507-511. Ikan tetengkek betina memiliki ukuran pertama kali matang gonad berkisar antara 383-387 mm dan untuk ikan tetengkek jantan memiliki ukuran pertama kali matang gonad berkisar antara 404-407 mm, sedangkan untuk ikan tetengkek total memiliki ukuran matang gonad berkisar 369-373 (Lampiran 9).

Panjang pertama kali tertangkap adalah panjang ikan yang ke-50% dari ikan tertangkap disuatu perairan. Ukuran pertama kali tertangkap dihitung menggunakan data frekuensi dan selang kelas panjang. Analisis panjang pertama kali tertangkap untuk ikan tongkol betina, jantan dan total masing-masing adalah 307.92 mm, 281.56 dan 300.70 mm. Analisis panjang pertama kali tertangkap untuk ikan tetengkek betina, jantan dan total masing-masing adalah 241.62 mm, 221.31 mm dan 231.31 mm (lampiran 10)

Sebaran Frekuensi Panjang dan Kelompok Umur

Sebaran frekuensi panjang diperlukan untuk mengetahui sebaran kelompok umur. Frekuensi tertinggi ikan tongkol betina berada pada selang kelas 206-210 mm dan 141-145 mm. Frekuensi tertinggi ikan tongkol jantan maupun total memiliki nilai yang sama yaitu berada pada selang kelas 211-215 mm. Sebaran frekuensi panjang ikan tongkol tersaji pada Gambar 15 dan Lampiran 11.

(40)

Gambar 15 Sebaran frekuensi panjang ikan tongkol (E. Affinis) Pada ikan tongkol mengalami pertumbuhan dalam tiga siklus. Pertumbuhan tersebut terjadi pada bulan April sampai Mei 2015. Selanjutnya dilakukan analisis untuk menduga parameter pertumbuhan ikan tongkl. Sebaran kelompok ukuran ikan tongkol total disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran kelompok ukuran ikan tongkol total

No Bulan Kelompok ukuran Nilai tengah Standar

deviasi

Frekuensi tertinggi ikan tetengkek betina berada pada selang kelas 206-210 141-145 mm. Frekuensi tertinggi ikan tetengkek baik jantan maupun total memiliki nilai yang sama yaitu berada pada selang kelas 146-150 mm.Sebaran diameter telur ikan tetengkek betina disajikan pada Gambar 16, Lampiran 11.

(41)

Gambar 16 Sebaran frekuensi panjang ikan tetengkek (M. cordyla)

Pada ikan tetengkek mengalami pertumbuhan dalam tiga siklus. Pertumbuhan tersebut terjadi pada bulan April sampai Juni 2015. Selanjutnya dilakukan analisis untuk menduga parameter pertumbuhan ikan tongkl. Sebaran kelompok ukuran ikan tongkol total disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sebaran kelompok ukuran ikan tetengkek total

No Bulan Kelompok

Parameter Pertumbuhan (L∞, K dam t0)

Berdasarkan hasil analisis parameter pertumbuhan (L∞ dan K) dengan menggunakan metode ELEFAN 1 dalam program FISAT II serta perhitungan secara langsung terhadap nilai t0, maka dapat diketahui persamaan Von Bertalanffy untuk ikan tongkol betina yaitu Lt = 675.0 (1- e (-0.05 (t+1.5123)) ), untuk ikan tongkol jantan adalah Lt = 698.0 (1- e (-0.03 (t+2.5464)) ) dan untuk ikan tongkol total adalah Lt = 691.8 (1- e (-0.04 (t+1.8936))). Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy untuk ikan tetengkek betina adalah Lt = 465.15 (1- e (-0.12(t+0.6753)) ), untuk ikan tetengkek jantan adalah Lt = 598.4 (1- e (-0.08 (t+0.9597)) ) dan untuk ikan tetengkek total adalah Lt =

113,5 149,5 185,5 221,5 257,5 293,5 329,5 365,5 401,5 437,5

(42)

L∞

L∞ Hasil analisis mengenai parameter pertumbuhan berupa koefisien pertumbuhan (K), panjang asimtotik (L∞), dan umur teoritik ikan pada saat panjang ikan nol (t0) disajikan pada Tabel 10 dan Lampiran 12.

Tabel 10 Parameter pertumbuhan (L∞, K dan t0) ikan tongkol dan tetengkek berdasarkan model Von Bertalanffy

Kurva pertumbuhan ikan tongkol total disajikan pada Gambar 17

Gambar 17 Kurva pertumbuhan ikan tongkol (E. Affinis) tota Kurva pertumbuhan ikan tetengkek total disajikan pada Gambar 18

Gambar 18 Kurva pertumbuhan ikan tetengkek (M. cordyla) total

Mortalitas dan laju eksploitasi

Pendugaaan mortalitas total (Z) ikan tongkol diperoleh dari kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang. Parameter mortalitas terdiri dari

(43)

mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F). Laju eksploitasi ikan tongkol dan tetengkek jantan memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan laju eksploitasi ikan tongkol tetengkek betina, masing-masing sebesar 0.9176 dan 0.9560, serta 0.9238 dan 0.9872. Hal ini berarti 91.76% kematian ikan tongkol betina dan 92.38% kematian ikan tetengkek betina dari mortalitas total keseluruhan disebabkan oleh aktivitas penangkapan. laju eksploitasi ikan tongkol dan tetengkek pada penelitian ini sudah melebihi 0.5 sehingga diduga sumberdaya ikan tongkol dan tetengkek sudah mengalami eksploitasi berlebih (over exploitation). Pendugaan laju mortalitas dan laju eksplotasi disajikan dalam Tabel 11 dan Lampiran 13.

Tabel 11 Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan tongkol dan tetengkek

Spesies Jenis kelamin Parameter

M (tahun-1) F(tahun-1) Z (tahun-1) E(tahun-1)

Pada Tabel 11 dapat terlihat bahwa ikan tetengkek memiliki nilai mortalitas alami, mortalitas penangkapan, mortalitas total dan laju eksploitasi lebih tinggi dibandingkan dengan ikan tongkol.

Model produksi surplus

Model surplus produksi dapat diterapkan bila data hasil tangkapan total berdasarkan spesies per unit upaya tercatat baik (Sparre dan Venema 1999). Hasil tangkapan serta upaya penangkapan ikan tongkol yang dianalisis diperoleh dari Kementrian Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten selama tahun 2008-2014, sedangkan untuk ikan tetengkek selama tahun 2011-2014 (DKP 2014). Hasil dan upaya tangkapan ikan tongkol tertinggi terjadi pada tahun 2014 sebesar 2 314.08 ton dan 5 566 kali trip. Hasil dan upaya tangkapan ikan tetengkek tertinggi terjadi pada tahun 2014 sebesar 623 ton dengan upaya sebesar 1 096 trip.

Data hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan tongkol dengan menggunakan alat tangkap payang, dogol, pukat cincin, gillnet, jaring rampus, bagan rakit dan pancing yang telah distandarisasi. Dimana yang menjadi upaya standar adalah trip yang menggunakan alat tangkap pukat cincin. Hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan tongkol disajikan pada Tabel 12 dan Lampiran 14.

Tabel 12 Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan tongkol

Tahun Hasil tangkapan (ton) Upaya (trip) CPUE

(44)

Data hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan tetengkek dengan menggunakan alat tangkap gillnet, dogol, bagan rakit, bagan tancap, jaring payang, pancing, pukat cincin dan jaring rampus yang telah distandarisasi. Dimana yang menjadi upaya standar adalah trip yang menggunakan alat tangkap pukat cincin. Hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan tongkol disajikan pada Tabel 13 dan Lampiran 14.

Tabel 13 Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan tetengkek

Tahun Hasil tangkapan (ton) Upaya (trip) CPUE

2011 566 996 0.5684

2012 524 969 0.5409

2013 444 830 0.5346

2014 623 1096 0.5685

Analisis potensi sumber daya ikan tongkol dan tetengkek menggunakan model Schaefer atau model Fox. Berdasarkan nilai koefisien determinasi R2 yang diperoleh, model Fox ikan tongkol (94.16%), ikan tetengkek (75.45%) lebih tepat digunakan daripada model Schaefer ikan tongkol (84.07%), ikan tetengkek (75.19%). Nilai upaya optimum (fMSY) dan Maximum Sustainable Yield (MSY) yang di peroleh dari model Fox untuk ikan tongkol sebesar 5 040 trip dan 1 518 ton. Sedangkan ikan tetengkek sebesar 2 693 trip dan 385.50 ton. Upaya dan hasil penangkapan ikan tongkol dan tetengkek tertinggi terjadi pada tahun 2014. Hasil tangkapan ikan tongkol dan tetengkek di PPP Labuan, Banten pada tahun 2014 telah melebihi MSY.

Kurva model produksi surplus ikan tongkol dengan pendekatan model Fox disajikan pada Gambar 19.

Gambar 19 Model produksi surplus ikan tongkol dengan pendekatan model Fox 0

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000

(45)

Kurva model produksi surplus ikan tetengkek dengan pendekatan model Fox disajikan pada Gambar 20

Gambar 20 Model produksi surplus ikan tetengkek dengan pendekatan model Fox

Hubungan ketergantungan antar spesies

Ikan tongkol dan tetengkek merupakan salah satu dari banyak spesies yang tertangkap pada alat tangkap purse seine atau pukat cincin. Menurut Octoriani (2015), bahwa hubungan ketergantungan antar multispesies sumber daya perikanan perlu diketahui agar pengelolaannya tidak terfokus pada spesies tunggal. Parameter fungsi produksi surplus dan koefisien ketergantungan antar spesies disajikan pada Tabel 14 dan Lampiran 15.

Tabel 14 Koefisien ketergantungan antar spesies

Parameter Nilai

Koefisien ketergantungan

Ikan tongkol -0.00037

Ikan tetengkek -0.00450

Koefisien ketergantungan spesies seluruhnya bernilai negatif, artinya hubungan antar spesies tersebut adalah saling berkompetisi. Hal ini dapat disebabkan karena ikan tongkol dan tetengkek cendrung memakan makanan yang sama.

Precautionary approach

Precautionary approach atau pendekatan kehati-hatian dalam konteks pengelolaan perikanan memberlakukan pendekatan yang bersifat kehati-hatian secara luas demi pengelolaan sumber daya perikanan. Hasil analisis precautionary approach pada ikan tongkol dan tetengkek di perairan selat sunda disajikan pada Tabel 15.

0 5000 10000 15000 20000 25000

(46)

Tabel 15 Pendekatan kehati-hatian ikan tongkol dan tetengkek

No Indikator Tongkol Tetengkek

Nilai Flag Skor Nilai Flag Skor

antar spesies Berkompetisi

2

Berkompetisi 2

Keterangan :

Dari hasil analisis yang telah dilakukan untuk setiap aspek pendekatan kehati-hatian dalam pengelolaan perikanan, tahapan selanjutnya adalah mengestimasi analisis keberlanjutan dari sumber daya ikan tongkol dan tetengkek. Hasil analisis yang didapat baik untuk ikan tongkol dan tetengkek bernilai 1.41 untuk ikan tongkol dan 1.48 untuk ikan tetengkek. Hal in berarti bahwa, ikan tongkol dan tetengkek mempunyai tingkat keberlanjutan yang sedang sampai tinggi.

(47)

Pembahasan

Rasio kelamin dan hubungan panjang bobot

Secara keseluruhan dari hasil uji Chi square ikan tongkol dan tetengkek baik jantan maupun betina menunjukkan bahwa rasio dalam keadaan tidak seimbang. Hal ini dapat disebabkan karena ikan betina dan ikan jantan tidak berada dalam daerah pemijahan yang sama sehingga peluang tertangkapnya dapat berbeda (Febianto, 2007). Selain itu juga perbedaan jumlah ikan betina dan jantan dapat disebabkan oleh perbedaan tingkah laku bergerombol antara ikan betina dan jantan, perbedaan laju pertumbuhan, dan laju mortalitas (Bal dan Rao 1984 in Febianto 2007). Hasil analisis hubungan panjang bobot diperoleh nilai b ikan tongkol betina sebesar 3.1531 dan ikan tongkol jantan sebesar 3.2773. Hasil nilai b untuk hubungan panjang bobot ikan tetengkek betina sebesar 2.9183 dan untuk ikan tetengkek jantan sebesar 2.9955. Uji t (α = 0.05) terhadap nilai b ikan tongkol jantan, betina dan total diperoleh pola pertumbuhan allometrik positif. Uji t (α = 0.05) terhadap nilai b pada pola pertumbuhan ikan tetengkek betina diperoleh pola pertumbuhanya adalah allometrik negatif, sedangkan ikan tetengkek jantan dan total adalah isometrik.

Perbedaan pola pertumbuhan ikan tongkol dan tetengkek dari berbagai penelitian pada Gambar 22 dan 23, dapat disebabkan oleh perbedaan ukuran dan banyaknya jumlah ikan yang diamati. Menurut Lawson (2013) menyatakan bahwa perbedaan nilai b dapat disebabkan musim, habitat, kematangan gonad, jenis kelamin, kepenuhan lambung, dan kesehatan ikan. Perbedaan nilai b juga disebabkan perbedaan jumlah dan variasi ukuran yang diamati. Semakin besar jumlah ikan yang diamati, dugaan yang diperoleh diharapkan akan lebih mewakili keadaan yang sebenarnya di alam (Moutopoulus dan Stergiuo 2002 in Kharat et al. 2008). Sehingga, secara tidak langsung faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ukuran tubuh ikan akan mempengaruhi pola variasi dari nilai b. (Blueweis 1978 in Tresnati 2001) menyatakan bahwa hubungan antara parameter panjang dan bobot dapat menggambarkan beberapa fenomena ekologis. Hubungan allometrik dan isometrik dapat berubah dari suatu populasi akibat faktor lingkungan yang berbeda (Suwarni 2009).

Gambar 22 Perbandingan nilai b ikan tongkol (E. affinis) dari berbagai penelitian

2,87

2011 2012 2013 2014 2015 2016

Nilai

b

Tahun

(48)

Gambar 23 Perbandingan nilai b ikan tetengkek (M. cordyla) dari berbagai penelitian Faktor kondisi

Faktor kondisi memiliki hubungan dengan keadaan lingkungan dan faktor biologis ikan (Sari 2013). Tujuan dari penentuan faktor kondisi yaitu apabila di dalam suatu perairan terjadi perubahan yang mendadak dari kondisi ikan, situasi tersebut dapat dengan cepat dideteksi dan diselidiki. Berdasarkan Gambar 7 dan Gambar 8 dari faktor kondisi, ikan tongkol dan tetengkek jantan cenderung lebih tinggi daripada faktor kondisi ikan tongkol dan tetengkek betina. Hal ini berarti bahwa selama proses reproduksi, sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Umumnya berat gonad pada ikan betina adalah 10-25% dan pada ikan jantan 5-10% dari berat tubuh. Perkembangan ovarium sering menyebabkan pertumbuhan ikan terhambat atau menjadi kurus pada fase reproduksi, bahkan karena ingin mempertahankan populasinya, kematangan gonadnya yang pertama terpaksa dipercepat, sehingga ukuran ikan menjadi kecil (Kordi 2010). Menurut Manik (2009), faktor kondisi ikan bergantung pada faktor eksternal lingkungan dan faktor biologis ikan (kematangan gonad untuk reproduksi).

Faktor kondisi ikan tongkol betina mengalami penurunan pada bulan Juni, sedangkan ikan jantan mengalami peningkatan. Ikan tetengkek betina mengalami peningkatan pada bulan Juni, sedangkan ikan jantan pada bulan Juli. Semakin tinggi nilai faktor kondisi menunjukkan adanya kecocokan antara ikan dengan lingkungannya. Berdasarkan penelitian Pertiwi (2015) dapat diduga bahwa ikan tongkol di perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Banten mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam mempertahankan hidupnya dan memanfaatkan makanan di perairan. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya fluktuasi dan variasi nilai faktor kondisi ikan adalah perbedaan ukuran ikan (Enchina dan Lorencio 1997); selama musim pemijahan ikan tidak melakukan aktifitas makan, tetapi menggunakan cadangan lemak dalam tubuhnya untuk suplai energi (Tzikas et al. 2007); dan tekanan parasit (Neff dan Cargnelli 2004).

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Nilai

b

Tahun

(49)

Tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad

TKG dapat digunakan untuk menduga waktu pemijahan pada ikan. Musim pemijahan ikan tongkol diduga terjadi pada bulan Juni dan Agustus. Pada bulan juni dan Agustus TKG ikan tongkol betina sebesar 12.50% dan 16.86%, sementara untuk ikan tongkol jantan sebesar 4.44% dan 6.84%. Musim pemijahan ikan tetengkek diduga terjadi pada bulan Mei dan Juni. Pada bulan Mei dan Juni TKG ikan tongkol betina sebesar 15.79% dan 5.54%, sementara untuk ikan tongkol jantan sebesar 2.60% dan 4.83%. Ikan tetengkek pada bulan Juli dan Agustus tidak ditemukan TKG 4, hal ini dapat diindikasikan pada bulan tersebut ikan tetengkek sedang berada di spawnig ground. Khan (2004) menyatakan bahwa terdapat dua musim puncak pemijahan E. affinis di Maharashtra, yaitu Oktober-November dan April-Mei, musim pemijahan ikan tongkol di Seychelles memiliki periode yang panjang, yakni Oktober atau November sampai dengan April atau Mei (Wheeler dan Ommanney 1953 in Williams 1963), dan pemijahan E. affinis di Madagaskar terjadi pada bulan November dan Desember (Fourmanoir 1957 in Williams 1963). Jadhav dan Mohite (2013) menyatakan bahwa di sepanjang pantai Ratnagiri tahap kematangan gonad ikan tetengkek menunjukkan bahwa musim pemijahan pada bulan Mei - Januari dengan puncak pemijahan selama Mei - Oktober.

Ikan tongkol dan tetengkek jantan memiliki nilai indeks kematangan gonad (IKG) rata-rata lebih kecil dibandingkan nilai IKG rata-rata ikan tongkol betina berdasarkan waktu pengamatan. Nilai IKG tertinggi, pada ikan tongkol betina terdapat pada bulan Juni, sedangkan nilai tertinggi untuk ikan jantan terdapat pada bulan Agustus. Nilai IKG tertinggi baik pada ikan tetengkek betina dan jantan terdapat pada bulan Juli, sedangkan pada bulan Juli ikan tetengkek baik betina dan jantan tidak ditemukan TKG IV. Hal ini dikarenakan bahwa, ikan tetengkek pada bulan Juli memiliki bobot tubuh yang besar.

Faktor utama yang mempengaruhi indeks kematangan gonad suatu ikan adalah suhu dan makanan. Secara umum indeks kematangan gonad sangat bervariasi menurut panjang tubuh maupun tingkat kematangan gonadnya, tetapi terdapat kecenderungan hubungan yang positif antara indeks kematangan gonad dengan tingkat kematangannya (Suwarso dan Hariati 1988 in Sari 1999). Pada ikan betina nilai IKG lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Adakalanya IKG dihubungkan dengan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) yang pengamatannya berdasarkan ciri-ciri morfologi kematangan gonad. Dengan merperbandingkan demikian akan tampak hubungan antara perkembangan di dalam dan di luar gonad, atau nilai-nilai morfologi yang kuantitatif. Bergantung pada macam dan pola pemijahannya, maka akan didapatkan nilai indeks yang sangat bervariasi setiap saat (Kordi 2010).

Fekunditas

Gambar

Tabel 3 Pendekatan kehati-hatian dalam pengelolaan perikanan
Tabel 5 Rasio kelamin ikan tongkol (E. affinis)
Tabel 6 Rasio kelamin ikan tetengkek (M. cordyla)
Gambar 6 dan Lampiran 4.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dasar hukum yang digunakan hakim dalam memutuskan perkara tentang cerai gugat nomor 1718/Pdt.G/2017/PA.Mdn dalam menggunakan hak ex officio, hakim menggunakan hak

Di pihak lain, dengan tidak memberikan kewenangan kepada Daerah untuk menetapkan jenis pajak baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan tentang perancangan media interaktif Logika Pemograman untuk menarik minat belajar siswa menggunakan aplikasi Adobe

Meski kebijakan target inflasi ini cukup menjanjikan, namun sebenarnya terdapat banyak hambatan yang berkaitan dengan banyaknya prasyarat yang harus dipenuhi dalampelaksanaannya

Untuk mencegah terjadi kerusakan atau hal yang tidak diinginkan yang dapat menyebabkan potensi wisata hilang, perencanaan pengembangan dermaga yang dirancang dengan tepat

Materi kuliah ini menggunakan metode Kuliah interaktif yang dipadu dengan Collaborative learning untuk menjelaskan/menguraikan tentang perpindahan panas konveksi paksa dan bebas

Penelitian ini diharapkan dapat membantu siswa korban bullying untuk meningkatkan self esteem mereka sehingga dengan perubahan tersebut mereka dapat memiliki identitas diri

[r]