• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. ketrampilan dan moral. Lingkungan pendidikan seharusnya dapat menjadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. ketrampilan dan moral. Lingkungan pendidikan seharusnya dapat menjadi"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah salah satu lembaga formal yang ditempuh oleh sebagian besar individu untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan moral. Lingkungan pendidikan seharusnya dapat menjadi sebuah wadah yang sehat, kondusif dan aman agar individu dapat bereksplorasi dan mengembangkan diri di dalamnya. Akan tetapi akhir-akhir ini kerap terjadi berbagai perilaku dan aksi kekerasan yang mengkhawatirkan di lingkungan pendidikan, baik yang dilakukan guru terhadap siswa maupun antar siswa. Salah satu fenomena yang cukup banyak beredar di media adalah kasus kekerasan antar siswa yang terjadi di lingkungan sekolah yang dikenal dengan istilah bullying. Bullying merupakan tindakan intimidasi yang dilakukan secara berulang-ulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk melukai korbannya secara fisik maupun emosional (Coloroso, 2007).

Menurut Rigby (dalam Astuti, 2008), bullying merupakan perilaku agresi yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus, terdapat kekuatan yang tidak seimbang antara pelaku dan korbannya, serta bertujuan untuk menyakiti dan menimbulkan rasa tertekan bagi korbannya. Coloroso (2007) menyatakan bahwa bullying dapat terjadi dalam tiga bentuk yaitu bullying secara fisik, verbal dan relasional. Bullying secara fisik dapat berupa perilaku menyakiti seperti memukul, mencekik, meninju, menyikut, menendang,

(2)

menggigit, memiting, meludahi, merusak pakaian dan barang-barang korbannya. Bullying secara verbal dapat berupa memberikan nama julukan, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan, e-mail yang mengintimidasi, mengirimkan pesan singkat atau surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan, gosip, telepon yang kasar, dan pernyataan-pernyataan yang bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual. Sementara bullying secara relasional dapat berupa pelemahan harga diri korbannya secara sistematis melalui mengabaian, pengucilan, pengecualian, atau penghindaran serta digunakan untuk mengasingkan atau menolak korban secara sengaja dan merusak persahabatan. Bullying secara relasional dapat juga berupa sikap tersembunyi seperti pandangan yang agresif, helaan nafas, cibiran, tawa mengejek, lirikan mata dan bahasa tubuh yang kasar.

Studi yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa persentase siswa yang mengalami bullying meningkat dan bervariasi setiap harinya (Duncan dalam Aluedse, 2006). Bullying akan mencapai puncaknya pada kelompok usia remaja awal (Zeigler & Manner dalam Coloroso, 2003) dan telah marak terjadi dalam institusi pendidikan di berbagai belahan negara (Kenny et.al; McEachern dkk. dalam Aluedse, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nansel dkk. (dalam Fleming dan Towey, 2002) terhadap 15.600 siswa tingkat 6 sampai 10 di Amerika pada tahun 2001 menunjukkan bahwa sekitar 17% dari siswa pernah menjadi korban bullying dengan frekuensi kadang-kadang dan sering selama masa sekolah, 19% melakukan bullying pada orang lain dengan frekuensi kadang-kadang dan sering, dan 6% dari seluruh sampel menjadi pelaku dan korban bullying.

(3)

Bullying juga menjadi masalah umum di Kanada, 8% dari siswa di Kanada menjadi korban bullying, biasanya sekali per minggu bahkan lebih. Selain itu survei di Ontario selama tahun ajaran 2001 menunjukkan bahwa sebanyak sepertiga sampai seperempat dari sekitar 225.000 siswa terlibat dalam beberapa bentuk bullying, baik sebagai korban atau sebagai pelaku (McEachhern, et al. dalam Aluedse, 2006). Survei yang dilakukan oleh Galea dkk. (2010) di Rumania pada 264 siswa (141 perempuan dan 123 laki-laki; 112 siswa dari kelas 5-6 dan 152 siswa dari kelas 7-8) dengan rentang usia antara 10 dan 14 tahun menunjukkan bahwa 3,8% dari siswa mengalami bullying sekali seminggu atau lebih dalam 3 bulan terakhir, dan 40,5% dari siswa mengalami bullying lebih sering dari seminggu sekali dalam 3 bulan terakhir. Selain itu penelitian juga dilakukan oleh Wang dkk. (2009) yang menguji bentuk-bentuk perilaku bullying pada 7.508 remaja di Amerika dan hubungannya dengan karakterisitik demografik, dukungan orangtua dan teman. Salah satu hasilnya diperoleh bahwa sebesar 20,8% remaja mengalami bullying secara fisik, 53,6% secara verbal, 51,4% secara sosial, dan 13,6% melalui elektronik, paling tidak sekali dalam dua bulan terakhir.

Bullying tidak hanya terjadi di luar negeri saja, tetapi juga telah marak terjadi di Indonesia. Meskipun belum ada survey secara keseluruhan yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar presentasi kasus bullying di seluruh Indonesia, akan tetapi sudah cukup banyak terjadi kasus bullying di lingkungan sekolah dan cukup marak diberitakan di media. Misalnya kasus bullying yang cukup menggemparkan di Indonesia adalah kasus remaja berusia 13 tahun yang bernama Fifi Kusrini yang mengakhiri nyawanya

(4)

dengan menggantung diri di dalam kamar mandi. Kematian siswi sekolah dasar ini dipicu oleh rasa minder dan frustrasi karena sering diejek sebagai anak tukang bubur oleh teman-teman sekolahnya. Selain itu Linda Utami yang merupakan remaja berusia 15 tahun dan berdomisili di Jakarta juga mengalami bullying berupa ejekan dari temannya karena tidak naik kelas sehingga membuatnya depresi (dalam Suryanto, 2007).

Kasus bullying di atas hanya beberapa dari sekian kasus yang terjadi dalam institusi pendidikan di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Yayasan Sejiwa, dan LSM PLAN Indonesia pada tahun 2008 terhadap remaja di tiga kota besar, yakni di Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta, menemukan sekitar 67% dari 1500 remaja yang dijadikan responden, pernah mengalami bullying di sekolahnya. Selain itu bullying juga terjadi di beberapa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota Medan. Berdasarkan hasil penelitian Sonia (2009) mengenai perbedaan depresi ditinjau dari kategori bullying dan jenis kelamin siswa pada beberapa Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Medan Petisah, diketahui bahwa dari 214 remaja, 83 orang dikategorikan sebagai pelaku bullying (bully), 63 orang sebagai korban (victim), 68 orang sebagai bully-victim (pelaku dan korban), dan 186 orang tergolong neutral yaitu yang melakukan atau mengalami bullying satu sampai dua kali dalam beberapa bulan terakhir.

Penelitian di Medan juga dilakukan oleh Tampubolon (2010) tentang hubungan persepsi terhadap budaya sekolah dengan perilaku bullying pada siswa Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Medan Petisah. Salah satu hasilnya menunjukkan bahwa dari 79 orang siswa-siswi SMP, sekitar 13,9%

(5)

(11 siswa) dikategorikan terlibat perilaku bullying tinggi, 67,1% (53 siswa) dikategorikan terlibat perilaku bullying sedang, dan 19% (15 siswa) dikategorikan terlibat perilaku bullying rendah. Bentuk perilaku bullying yang paling sering dilakukan siswa adalah physical bullying (41,44%), menyusul verbal bullying (31,19%), dan relational bullying (28,47%).

Banyaknya fenomena bullying yang terjadi dalam institusi pendidikan karena ada beberapa karakteristik siswa yang membuatnya rentan menjadi korban bullying. Siswa yang umumnya menjadi korban bullying adalah siswa yang lemah, pemalu, pendiam dan spesial (cacat, tertutup, pandai, cantik, atau memiliki ciri fisik tertentu) yang dapat menjadi bahan ejekan (Astuti, 2008). Selanjutnya Coloroso (2007) menyatakan bahwa siswa yang termuda di sekolah, siswa yang memasuki lingkungan baru, cerdas, berbakat, memiliki kelebihan, memiliki postur tubuh yang gemuk atau kurus, memiliki ciri fisik yang berbeda, mengalami ketidakcakapan mental atau fisik, pernah mengalami trauma, penurut, perilakunya dianggap mengganggu, tidak suka berkelahi tetapi lebih suka menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, pemalu, miskin atau kaya, serta siswa yang dipandang memiliki ras etnis, orientasi gender dan agama yang inferior akan lebih rentan menjadi korban bullying.

Sementara menurut Coloroso (2007), karakteristik yang dimiliki pelaku bullying antara lain suka mendominasi orang lain, suka memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, sulit melihat situasi dari sudut pandang orang lain, hanya peduli dengan kebutuhan dan kesenangan mereka sendiri, cenderung melukai remaja lain ketika tidak ada orang dewasa di sekitar mereka, memandang teman yang lebih lemah untuk dijadikan

(6)

korban, menggunakan kesalahan, kritikan dan tuduhan yang keliru untuk memproyeksikan ketidakcakapan mereka kepada targetnya, tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya, tidak memiliki pandangan terhadap masa depan, dan haus pada perhatian. Hal tersebut juga sejalan dengan yang dikemukakan Olweus (2003) bahwa siswa yang memiliki sikap positif terhadap kekerasan memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan bullying. Selain itu pelaku bullying memiliki tingkah laku yang cenderung impulsif, memiliki keinginan untuk mendominasi orang lain, kurang atau tidak berempati kepada korban dan cenderung memandang positif diri sendiri.

Hasil survey yang dilakukan Smith pada 21 negara yang ada di benua Amerika, Eropa, Afrika, Asia, dan Australia menunjukkan bahwa fenomena bullying merupakan masalah yang harus segera ditangani secara serius (dalam Rigby, 2004) karena bullying akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi pelakunya (Craig & Pepler, 2007). Menurut Coloroso (2006) pelaku bullying akan terperangkap dalam peran sebagai pelaku bullying, mereka tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap dalam memandang sesuatu dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang. Sementara dampak negatif bagi korbannya adalah akan timbul perasaan depresi dan marah. Mereka marah terhadap diri sendiri, pelaku bullying, orang dewasa dan orang-orang di sekitarnya karena tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut kemudian mulai mempengaruhi prestasi

(7)

akademik para korbannya. Mereka mungkin akan mundur lebih jauh lagi ke dalam pengasingan karena tidak mampu mengontrol hidupnya dengan cara-cara yang konstruktif.

Menurut Peterson (dalam Berthold dan Hoover, 2000), bullying akan mempengaruhi self esteem korbannya dan hal tersebut merupakan pengaruh yang ditimbulkan dari pengaruh jangka panjang. Demikian pula Olweus (dalam Berthold dan Hoover, 2000) menyatakan bahwa bullying memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan korbannya hingga dewasa. Saat masa sekolah akan menimbulkan depresi dan perasaan tidak bahagia untuk mengikuti sekolah, karena dihantui oleh perasaan cemas dan ketakutan. Selain itu menurut Swearer, dkk. (2010) korban bullying juga merasa sakit, menjauhi sekolah, prestasi akademik menurun, rasa takut dan kecemasan meningkat, adanya keinginan bunuh diri, serta dalam jangka panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan internal yang meliputi rendahnya self esteem, kecemasan, dan depresi.

Korban bullying cenderung merasa takut, cemas, dan memiliki self esteem yang lebih rendah dibandingkan anak yang tidak menjadi korban bullying (Olweus, Rigby, & Slee, dalam Aluedse, 2006). Duncan (dalam Aluedse, 2006) juga menyatakan bila dibandingkan dengan anak yang tidak menjadi korban bullying, korban bullying akan memiliki self esteem yang rendah, kepercayaan diri rendah, penilaian diri yang buruk, tingginya tingkat depresi, kecemasan, ketidakmampuan, hipersensitivitas, merasa tidak aman, panik dan gugup di sekolah, konsentrasi terganggu, penolakan oleh rekan atau teman,

(8)

menghindari interaksi sosial, lebih tertutup, memiliki sedikit teman, terisolasi, dan merasa kesepian.

Penelitian yang dilakukan di Swedia mengenai dampak bullying terhadap korbannya menunjukkan bahwa remaja yang saat berusia 16 tahun pernah mengalami bullying akan mengalami penurunan self esteem dan peningkatan kadar depresi (Olweus dalam Arseneault, dkk., 2009). Demikian pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hawker dan Boulton yang menunjukkan bahwa korban bullying cenderung merasa kesepian, depresi dan memiliki self esteem yang rendah (dalam Beran & Shapiro, 2005). Korban bullying cenderung menunjukkan gejala peningkatan kecemasan dan depresi (Hodges & Perry dalam Arseneault dkk., 2009), self esteem yang rendah dan keterampilan sosial yang buruk (Egan & Perry, dalam Arseneault, dkk., 2009). Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Craig; Nansel dkk.; Slee; Rigby; dan Tehrani juga menemukan bahwa bullying memiliki dampak negatif bagi korbannya antara lain korbannya merasakan kecemasan, kesepian, depresi, stres, melakukan tindakan bunuh diri dan absen dari sekolah (dalam Schoen & Schoen, 2010). Selain itu self esteem korbannya juga menjadi rendah (Hodges & Perry dalam Schoen & Schoen, 2010). Akibat kejadian bullying yang dialami korban, korban yang pada awalnya memiliki self esteem yang rendah (Collins & Bell, dalam Moutappa, 2004) akan semakin mengalami penurunan self esteem (Bjorkqvist dkk.; Boulton & Smith; Callaghan & Joseph; Olweus; Rigby & Slee, dalam Pontzer, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Riauskina dkk. (2005), juga menemukan bahwa korban merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal,

(9)

tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam) ketika mengalami bullying, namun tidak berdaya menghadapi kejadian bullying yang menimpa mereka. Dalam jangka panjang emosi-emosi tersebut dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri dan merasa bahwa dirinya tidak berharga.

Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa salah satu dampak yang dialami korban bullying adalah perubahan self esteem menjadi lebih rendah. Self esteem merupakan penilaian sesorang terhadap gambaran dirinya dalam berbagai aspek kehidupan (Pintrich & Schunk dalam Woolfolk, 2004). Self esteem merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu berdasarkan pada seberapa mampu mereka dalam menjalankan tugas, seberapa baik mereka memenuhi standart etis atau agama, seberapa besar mereka merasa dicintai dan merasa diterima oleh lingkungannya, dan seberapa besar pengaruh yang mereka miliki (Coopersmih dalam Mruk, 2006).

Remaja dengan self esteem tinggi lebih sering merasa senang dan bahagia, memandang hidup secara positif, dapat mengambil sisi positif dari kejadian yang dialaminya serta dapat berpikir secara konstruktif. Sementara remaja dengan self esteem rendah lebih sering mengalami emosi yang negatif (stress, sedih, marah), memandang hidup dan berbagai kejadian dalam hidup sebagai hal yang negatif, sulit berinteraksi, berhubungan dekat dan percaya pada orang lain, serta berpikir dengan kurang konstruktif (Rosenberg & Owens dalam Guindon, 2010). Hal yang senada juga dinyatakan oleh Branden (1994) bahwa remaja dengan self esteem rendah memiliki pikiran irasional mengenai dirinya, tidak berani mencari tantangan baru, memiliki perasaan tidak berguna, kurang

(10)

memiliki aspirasi dan usaha untuk mencapai tujuannya, serta membatasi diri saat berhubungan dengan orang lain.

Self esteem penting bagi remaja karena dapat membantu remaja dalam pencarian identitas dirinya, yang merupakan salah satu tugas perkembangan yang krusial pada masa remaja (Ericson dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2001). Melalui self esteem, seorang remaja dapat mengevaluasi dirinya sendiri berdasarkan pada perasaan keberhargaan dirinya yang bisa berupa perasaan-perasaan positif atau negatif (Rosenberg dalam Mruk, 2006).

Adanya masalah self esteem pada seorang remaja dapat mempengaruhi perkembangannya. Remaja membutuhkan self esteem yang positif agar dapat mencapai keberhasilan dalam berbagai aspek. Apabila tidak mendapatkan perhatian yang serius, masalah rendahnya self esteem ini dapat menimbulkan efek yang jauh lebih negatif (Santrock, 2007). Penelitian yang dilakukan Redden pada tahun 2000 menemukan bahwa self esteem yang cenderung tinggi memiliki hubungan yang erat dengan motivasi instrinsik dan prestasi akademis yang lebih baik (dalam Patil, dkk., 2009). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Mann dkk. menemukan bahwa individu dengan self esteem rendah menunjukkan keberhasilan yang rendah di sekolah (dalam Bos, Murris, Mulkens & Schaalma, 2006). Dari segi hubungan sosial, penelitian yang dilakukan Donders dan Verschueren menemukan bahwa individu dengan self esteem rendah biasanya kurang diterima oleh teman-temannya (dalam Bos, Murris, Mulkens & Schaalma, 2006).

Robson (dalam Coetzee, 2009) menyatakan remaja yang memiliki masalah self esteem cenderung memiliki masalah interpersonal, mengalami kegagalan

(11)

akademis, ketergantungan, perlawanan terselubung, dan merasa depresi. Selain itu mereka juga mengalami kecemasan, merasa terasing, tidak dicintai, menarik diri dari situasi sosial, kurang mampu memecahkan masalah dan sulit mengambil keputusan, cenderung menerima umpan balik negatif sebagai sesuatu yang benar, serta berkurangnya kepuasan terhadap penyelesaian kerja.

Berdasarkan uraian sebelumnya diketahui bahwa dampak bullying bagi remaja yang menjadi korbannya dapat membuat self esteem korbannya menjadi rendah. Padahal self esteem bagi remaja sangat penting karena berpengaruh dalam menentukan kesuksesan dan kegagalan diberbagai tugas kehidupan remaja (Andrews; Harter dalam Boden, Ferfusson & Horwood, 2008). Semakin muda usia individu, maka perubahan self esteem yang dialami akan dapat bertahan lebih lama (Koniak-Griffin dalam Coetzee, 2009). Oleh sebab itu, peneliti berpendapat perlu segera dilakukan usaha untuk meningkatkan self esteem korban bullying yaitu melalui intervensi rational emotive behavior therapy (REBT).

Self esteem yang rendah pada korban bullying ditunjukkan oleh adanya pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan irasional yaitu mereka berpikir kalau mereka lebih bodoh dan lebih lemah dibandingkan pelaku bullying, serta merasa kalau mereka memang pantas mengalami bullying. Hal ini senada dengan penuturan oleh salah satu remaja (siswa SMP) korban bullying.

“Aku memang ngerasa aku lemah kak dibandingkan dia. Trus aku memang bodoh dari dia, makanya dia suka ngejek-ngejak aku. Pernah kemarin aku salah ngerjain tugas di papan tulis, lansunglah dia ngejek aku. Kurasa pun aku ya memang bodoh lah.”

(12)

“Aku rasa aku memang gak akan sanggup ngelawan mereka kak. Aku ini apa lah. Gak kuat, badanku kecil. Mereka besar-besar. Makanya aku yang suka disuruh-suruh dan dipukul kalau gak mau nurutin kata-kata mereka.” (Komunikasi Personal, 20 April 2013)

Korban bullying juga takut untuk datang ke sekolah karena mereka berpikir akan mengalami bullying bila mereka tiba di sekolah. Mereka merasa kalau semua orang memandang mereka secara negatif dan merasa tidak mampu meraih kesuksesan dalam hidupnya (Elliott, 2002).

“Aku malas datang ke sekolah, kalau aku datang, mereka setiap hari ngejek-ngejek aku, ngetawain aku. Apapun mereka lakukan biar aku sedih.”

(Komunikasi Personal, 20 April 2013)

Ngapain ke sekolah, kawanku jahat-jahat. Bisanya cuma jahatin aku. Aku diejek, didorong-dorong, ditokok kepalaku, malas aku. Bagusan di rumah, tenang. Aku pun pernah bilang sama orangtuaku, aku gak mau lagi sekolah, tapi orangtuaku gak bolehin kak.”

(Komunikasi Personal, 20 April 2013)

Gak tau juga aku kenapa mereka gitu. Mungkin aku bodoh, nilaiku jelek, aku gak pande bergaya kayak mereka.”

(Komunikasi Personal, 20 April 2013)

Self esteem yang rendah pada korban bullying diharapkan dapat ditingkatkan karena REBT merupakan salah satu intervensi psikologis yang dapat memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, pikiran, keyakinan serta pandangan-pandangan seseorang yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar individu dapat mengembangkan diri (Ellis, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Bhandari & Reddy (dalam Ravichandra dkk., 2007) menunjukkan bahwa dalam 6 sesi terapi dengan durasi persesi selama 1 jam, REBT telah berhasil dalam meningkatkan self esteem remaja perempuan yang berusia 19 tahun dan membantu mengurangi pikiran-pikiran

(13)

dan perasaan-perasaan irasional yang mengarah pada penurunan self esteem. DiGiuseppe (dalam Ollendick & Schroeder, 2003) juga menyatakan bahwa REBT telah berhasil dalam mengatasi masalah self esteem yang rendah, depresi, kecemasan, ketakutan, dan fobia pada sesuatu hal, serta mengatasi bullying, vandalism, underachievement, agresi, obesitas, dan isolasi sosial.

Beberapa tokoh menyatakan bahwa REBT dapat mengatasi self esteem yang rendah. Selain itu juga dapat mengatasi masalah seperti fobia, kemarahan, depresi, underachievement, motivasi yang rendah, masalah hubungan interpersonal, kecemasan, impulsif, perilaku menyontek, agresi, dan perfoma kerja (Bernard, Ellis & Tafrate, Wilde, Yankura dalam Vernon, 2002). Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan Rieckert (2000) terhadap 28 orang wanita yang mempunyai riwayat kekerasan seksual pada masa kanak-kanak, menunjukkan bahwa REBT secara signifikan dapat meningkatkan self esteem mereka. Selain itu REBT juga dapat mengurangi depresi, kemarahan, perasaan bersalah, dan kecemasan pada mereka.

Dalam penelitian ini REBT akan disajikan dalam kelompok yang dikenal dengan rational emotive behavior group therapy (REBGT). Ellis telah berhasil menggunakan REBGT sejak tahun 1959 dan biasanya REBGT lebih efektif daripada REBT individu dalam menangani suatu masalah psikologis (Ellis & Bernard, 2006), karena anggota kelompok akan menyadari bahwa mereka tidak hanya sendiri dalam menghadapi masalahnya, tetapi anggota lain juga mengalami permasalahan yang sama dengan dirinya, dan setiap anggota dapat saling memberikan dukungan dan menjadi sumber inspirasi yang sangat baik bagi anggota lainnya. Selain itu anggota dalam REGBT juga dapat saling

(14)

memberi dan menerima saran, pendapat serta umpan balik dari anggota lainnya, yang tentunya tidak terdapat pada REBT yang disajikan secara individual (Corey & Corey dalam Ellis & Bernard, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Ford (dalam Ellis & Bernard, 2006) menunjukkan bahwa REBGT telah sukses digunakan untuk membantu meningkatkan self esteem dan mengatasi berbagai gangguan seperti masalah kecemasan, gangguan penyesuaian, dan ketidakmampuan belajar. Disamping itu Dryden (dalam Christner, Jessica & Freeman, 2007) menyatakan bahwa REBGT telah digunakan untuk menangani berbagai masalah seperti self esteem, depresi, kecemasan interpersonal, bulimia, ADHD, dan masalah perkawinan.

Berdasarkan pertimbangan dari penelitian sebelumnya bahwa REBT cukup efektif dalam meningkatkan self esteem, dapat merubah perasaan maupun pemikiran irasional dan proses berfikir yang salah, serta dengan pertimbangan bahwa REBT lebih efektif digunakan dalam kelompok (REBGT), maka peneliti tertarik untuk menggunakan REBT yang disajikan dalm kelompok sebagai cara untuk meningkatkan self esteem siswa korban bullying.

Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada siswa korban bullying yang berusia 12-15 tahun yang tergolong dalam kategori remaja awal (Monks, 2004). Menurut Sulaeman (1995), siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) secara kronologis berusia antara 12-15 tahun. Oleh sebab itu, penelitian ini berfokus pada siswa SMP yang berusia 12-15 tahun dan tergolong dalam kategori remaja awal.

(15)

Berfokus pada siswa SMP yang berada pada tahap remaja awal dilakukan dengan pertimbangan bahwa puncak terjadinya bullying berada pada kelompok usia remaja awal (Zeigler & Manner, dalam Coloroso, 2003), dan Banks (1997) mengatakan bahwa direct bullying akan meningkat pada masa Sekolah Dasar dan mencapai puncaknya pada masa SMP (pada usia remaja awal), sehingga diperkirakan akan berpeluang lebih memberikan dampak buruk pada self esteem remaja siswa SMP. Sementara self esteem sangat penting bagi seorang remaja karena berpengaruh dalam menentukan kesuksesan dan kegagalan diberbagai tugas kehidupan remaja. Bahkan dapat menimbulkan dampak yang lebih serius dalam waktu jangka panjang. Dengan demikian, peneliti memandang masalah self esteem pada remaja siswa SMP perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana efektivitas rational emotive behavior therapy (REBT) dalam meningkatkan self esteem pada siswa SMP korban bullying.

C. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang bullying telah banyak dilakukan, baik untuk melihat epidemiologi, etiologi, maupun efektivitas intervensi. Penelitian tentang etiologi bullying misalnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Pandiangan (2011), yang meneliti tentang hubungan antara pengaruh dukungan sosial

(16)

terhadap depresi pada remaja awal korban bullying. Penelitian tentang treatmen misalnya penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2005) tentang pembentukan jaringan orangtua siswa untuk mengatasi bullying di SMA di Jakarta, Widyaatmaja (2006) tentang strategi reeducative untuk mengurangi perilaku bullying verbal pada siswa SMA, Khairani (2006) tentang pencegahan perilaku bullying di sekolah dasar menggunakan modul program pendidikan, Gultom (2006) tentang upaya pengurangan kasus bullying dengan menanamkan pemahaman dan awareness mengenai bullying pada guru-guru SMA di Jakarta, dan Warouw (2007) tentang memberdayakan guru dalam upaya mengurangi bullying dengan Appreciative Inquiry. Akan tetapi belum ada penelitian lain yang menggunakan treatmen REBT dalam kelompok untuk mengatasi self esteem pada korban bullying.

Penelitian tentang rational emotive behavior therapy (REBT), juga telah banyak dilakukan pada anak-anak maupun remaja dan orang dewasa untuk mengatasi berbagai masalah selain self esteem, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Siburian dkk. (2010) tentang pengaruh rational emotive behavioral therapy (REBT) dalam menurunkan kecemasan menghadapi masa depan pada penyalahguna NAPZA di panti rehabilitasi, penelitian Hartanto (2009) tentang penggunaan REBT untuk mereduksi perilaku mencontek pada siswa SMP, dan penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2012) tentang penggunaan REBT dalam mereduksi perilaku mencontek pada siswa SMA. Selain itu juga terdapat penelitian yang dilakukan oleh Wairata (1998) mengenai efektivitas pelatihan REBT terhadap peningkatan self efficacy pada underachiever, dan penelitian Weliangan dan Taganing (2009) tentang

(17)

efektivitas terapi rasional emotif dalam mengurangi pikiran tidak rasional dan stres pada perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Peneliti menemukan beberapa penelitian tentang self esteem di Universitas Sumatera Utara, namun kebanyakan lebih melihat hubungan antara self esteem dengan aspek lainnya, sedangkan penelitian tentang upaya peningkatan/ mengubah self esteem menjadi lebih tinggi belum pernah dilakukan. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Simbolon (2008) tentang hubungan self esteem dengan asertifitas pada remaja, Oktario (2008) tentang self esteem remaja panti asuhan. Selain itu peneliti juga menemukan beberapa penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan self esteem tetapi dengan menggunakan intervensi selain REBT, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Indraswari (2012) tentang teknik restrukturisasi kognitif, visualisasi dan memperbaiki penampilan diri untuk meningkatkan self esteem, penelitian Hutahaehan (2012) tentang pelatihan untuk peningkatan self esteem pada mahasiswa Universitas Indonesia yang mengalami distress psikologi, dan penelitian Larasati (2012) tentang meningkatkan self esteem dengan metode self instruction.

Berdasarkan pertimbangan masih belum adanya penelitian tentang efektivitas rational emotive behavior therapy (REBT) untuk meningkatkan self esteem pada siswa SMP korban bullying, peneliti menganggap perlu dilakukan penelitian untuk melihat apakah rational emotive behavior therapy (REBT) efektif untuk meningkatkan self esteem pada siswa SMP korban bullying sehingga dapat membantu meningkatkan prestasinya di sekolah.

(18)

Dengan demikian, sepengetahuan peneliti, penelitian ini dapat dianggap orisinil.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah rational emotive behavior therapy (REBT) efektif untuk meningkatkan self esteem pada siswa SMP korban bullying.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis penelitian

a. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu psikologi terutama di bidang psikologi pendidikan, khususnya mengenai gambaran efektivitas rational emotive behavior therapy pada remaja dan memberikan gambaran kasus bullying yang terjadi pada siswa di sekolah.

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan dasar pengetahuan dan masukan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan mengenai rational emotive behavior therapy dan bullying serta bagi peneliti yang ingin meneliti mengenai jenis masalah perilaku lainnya.

(19)

2. Manfaat praktis penelitian

a. Penelitian ini diharapkan dapat membantu siswa korban bullying untuk meningkatkan self esteem mereka sehingga dengan perubahan tersebut mereka dapat memiliki identitas diri yang positif dan pada akhirnya dapat mengoptimalkan proses belajar di sekolah dan mengembangkan hubungan interpersonal yang lebih baik dengan teman-temannya maupun orang-orang disekitarnya.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi pada orangtua dan sekolah mengenai fenomena bullying yang dapat membuat self esteem dari korbannya menjadi rendah dan penggunaan rational emotive behavior therapy sebagai salah satu intervensi dan sarana memahami self esteem siswa korban bullying.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi atau bahan pertimbangan bagi para terapis yang ingin menerapkan rational emotive behavior therapy pada siswa korban bullying.

F. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari lima bagian, yang terdiri dari sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

(20)

Bab II : Landasan teori

Bab ini berisi dasar-dasar teori yang digunakan untuk mendukung penelitian yang dilakukan. Teori yang digunakan merupakan teori yang terkait degan bullying, self esteem, remaja dan siswa SMP, rational emotive behavior therapy (REBT). Bab III : Metode penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai variabel penelitian, defenisi operasional, subjek penelitian, metode pengumpulan data, prosedur penelitian dan metode analisa data.

Bab IV : Hasil penelitian dan pembahasan

Bab ini berisi mengenai hasil pelaksanaan intervensi serta pembahasan.

Bab V : Kesimpulan dan saran

Bab ini berisi kesimpulan penelitian dan saran baik untuk penelitian selanjutnya maupun saran praktis untuk subjek.

Referensi

Dokumen terkait

Namun meski demikian yang telah dijelaskan, yang menjadikan fokus pembahasan penulis apakah dalam pelaksanaan proses belajar mengajar (PBM) di Brainy Bunch

Teman-teman FK angkatan 2010, 2011, 2012, 2015 yang selalu memberikan motivasi dan semangat pada penulis selama menempuh studi di Fakultas Kedokteran Universitas

Rekaman arsip merupakan teknik pengumpulan data baik data historis maupun data saat ini. Dalam penelitian ini dapat berupa data statsitik Kecamatan dalam Angka

juga mencakup seleksi atas tenaga konsultan baik konsultan perorangan (individual consultant) maupun perusahaan konsultan (firm consultant) sesuai dengan prosedur

Pemberian Nomor Cara Seri Unit (Serial Unit Numbering System) Pemberian nomor cara seri unit atau dikenal dengan Serial Unit Numbering System (SUNS) adalah suatu

Analisis regresi dimaksudkan untuk mengungkapkan adanya pengaruh antara variabel X (Partisipasi dalam Kegiatan MGMP) dan variabel Y (Kompetensi Profesional Guru

“Program iNews SulSel merangkum semua berita sampai ke pelosok, jadi uniknya di iNews Sulsel ini beda dengan televisi lokal ataupun televisi jaringan lain