• Tidak ada hasil yang ditemukan

Effect of Anthropogenic Activities on Ephemeroptera Nymph Community and The Potential for Develope Local Biocriteria of River (Case Study High Gradient Segment of Ciliwung River)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Effect of Anthropogenic Activities on Ephemeroptera Nymph Community and The Potential for Develope Local Biocriteria of River (Case Study High Gradient Segment of Ciliwung River)"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus Segmen Sungai Ciliwung Gradient Tinggi)

R O B I N

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis pengaruh aktivitas antropogenik terhadap komunitas larva ephemeroptera dan potensi penyusunan biokriteria lokal untuk perairan sungai(studi kasus sungai ciliwung) adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing danbelum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruam tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

R o b i n

(3)

Community and The Potential for Develope Local Biocriteria of River (Case Study: High Gradient Segment of Ciliwung River). Under Direction of ISDRADJAD SETYOBUDIANDI and YUSLI WARDIATNO.

In this study organic pollution will allegedly using ephemeroptera larvae. The purpose of this study was to analyze the status of the environmental quality of Ciliwung river waters based on responses of Ephemeroptera nimph and to develope local biocriteria in the form of biotic indices for Ciliwung river by using the concept of multimetric. Purpossive sampling was done with five replicates for six months starting from December 2010 until May 2011. The result of measurements of several parameter of chemical physics at the Ciliwung river then obtained the range of values of this parameter were: temperature (18.0 °C 28.9 °C), DO (6.2 mg / l8.3 mg / l), turbidity (3.87 NTU - 34.72 NTU), pH (6 - 7.6), COD (4.04 mg/l - 51.36 mg/l), ammonium (0.001 mg/l - 0.93 mg/l), nitrate (0.23 mg/l - 20.58 mg/l), nitrite (0.001 mg/l - 0.26 mg/l) and orthophosphate (0.01 mg/l - 20.58 mg/l). These parameters include nitrate, nitrite, orthoposfat and COD have reached the level of interference by organic pollution. Using the Kirchoff chemical index showed gunung mas station did not disturbed by organic pollution (91.75 – 91.017), kampung pensiunan station and kampung jog-jogan station in light polluted condition (89.25 – 74.258) and cibinong station have medium polluted (58.39 – 68.75). Using multimetric approach can be generated a Ephemeroptera Biotic Index (EBI) wich score 24 - 28 categorized minimal or not disturbed (gunung mas station), 18-20 mild impairment (Kampung Pensiunan), score of 10 - 17 was medium impairment and score 4 - 9 severe impairment category (Cibinong).

(4)

dan Potensi Penyusunan Biokriteria Lokal untuk Perairan Sungai (Studi Kasus Sungai Ciliwung). Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI DAN YUSLI WARDIATNO.

Berdasarkan kajian ekologis yang dilakukan oleh BPLHD Jawa Barat tahun 2006 menunjukkan kualitas sungai Ciliwung di bagian hulu (Cisarua) hingga hilir (Ancol) telah mengalami pencemaran organik yang relatif tinggi (DO dari 0,2 mg/l - 8 mg/l, TOM dari 0,02 mg/l - 0,1 mg/l, TSS dari 0,01 - 0,6 mg/l). Penelitian Kido et al. (2009) menunjukkan sungai tersebut juga tercemar oleh logam merkuri (0,23 - 0,30 ppb), bisphenol A (0,46 - 0,83 µg/l) dan alkil fenol (33,2 - 191,4 µg/l) yang cukup tinggi. Sumber pencemar yang berpotensi menurunkan kualitas air sungai Ciliwung berasal dari sistem drainase dari masukan limbah rumah tangga, pertanian/sawah, peternakan, dan industri (Kido et al. 2009). Adanya pencemaran yang terjadi di Sungai Ciliwung diduga akan mengganggu keseimbangan ekologi dari nimfa Ephemeroptera dan berpotensi menurunkan integritas ekologi sungai tersebut secara keseluruhan. Oleh sebab itu diperlukan penelitian yang bertujuan untuk mengungkap pengaruh aktivitas antropogenik pada sungai Ciliwung terhadap struktur komunitas dari nimfa Ephemeroptera sebagai dasar penentuan status kualitas lingkungan sungai Ciliwung menjadi fokus dari penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan struktur komunitas Ephemeroptera sebagai akibat pengaruh aktivitas antropogenik pada setiap stasiun pengamatan dan untuk menduga status kualitas lingkungan perairan sungai Ciliwung berdasarkan respon dari larva Ephemeroptera serta membuat biokriteria lokal dalam bentuk indeks biotik Ephemeroptera untuk sungai Ciliwung. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai penggunaan makroinvertebrata khususnya nimfa Ephemeroptera dalam penentuan kualitas suatu lingkungan perairan.

Sampling penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember – Mei 2011 dan mengambil lokasi di beberapa ruas sungai Ciliwung Jawa Barat. Sortir organisme serta pengolahan datanya dilakukan di Laboratorium Ekotoksikologi dan Hidrokimia, Pusat Penelitian Limnologi LIPI Cibinong, Jawa Barat. Analisis data meliputi parameter fisika kimia perairan dan analisis pengelompokan komunitas dan habitat larva Ephemeroptera dan keterkaitannya dengan parameter fisika kimia perairan. Penggunaan indeks Kirchoff, indeks pencemaran, dan indeks Habitat dilakukan untuk mengetahui adanya pengaruh aktivitas antropogenik disungai Ciliwung dan konsep multi metric dilakukan untuk membuat kisaran indeks biotic Ephemeroptera di sungai Ciliwung.

Hasil pengukuran beberapa parameter fisika kimia di sungai Ciliwung maka didapatkan kisaran nilai dari parameter-parameter tersebut yaitu: Suhu (18,0 oC - 28,9 o

(5)

stasiun 1 gunung mas masih dalam kategori optimal/minim gangguan (176 - 184), stasiun kampung Pensiunan, kampung Jog-jogan dan Cibinong berada dalam kondisi marginal (65 - 90), akan tetapi pada kampung Jog-jogan dan Cibinong nilai indeks habitatnya sudah sangat mendekati kondisi gangguan berat (<60)..Tingkat gangguan oleh pencemaran organik dengan menggunakan indeks kimia Kirchoff menunjukan stasiun 1 (gunung mas) belum mengalami pencemaran organik (91,75 - 91,017), kampung Pensiunan dan Jog-jogan dalam kondisi tercemar ringan (89,25 - 74,258) sedangkan stasiun Cibinong sudah mengalami pencemaran tingkat sedang (58,39 - 68,75). Dari nilai indeks pencemaran (IP) masing-masing stasiun pengamatan dapat diketahui bahwa pada stasiun gunung mas nilai IP masih dalam kisaran kategori tidak tercemar (0,86). Pada stasiun kampung Pensiunan nilai IP adalah 2,54; stasiun kampong Jog-jogan 3,39; stasiun Cibinong 4,09.

Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa famili Heptagenidae merupakan famili yang paling banyak dijumpai selama penelitian sedangkan untuk komposisi jenis yang ditemukan pada masing-masing stasiun; pada stasiun I Komposisi terbesar adalah jenis Baetis sp., 39 %, Callibaetis sp., 36 % dan Drunella sp., 36%; stasiun II Komposisi Genus Ephemeroptera terbesar adalah pada genus Baetis sp., 43 % dan Caenis sp., 26 %; stasiun III Komposisi terbesar yaitu genus Caenis sp., 54 % dan Drunella sp., 14 %, dan terakhir untuk stasiun IV yang komposisinya paling besar adalah genus Baetis sp., 62 %, Callibaetis sp., 16 % dan Hermanella sp., 13 %. Perhitungan indeks keanekaragaman Shanon-Wiener menunjukan pada Stasiun I (Gunung Mas) indeks keanekaragaman (H’) berkisar antara 1,08-1,81; stasiun II berkisar antara 0,39 - 0,94; stasiun III berkisar antara 1,21 - 1,61; stasiun IV berkisar antara 1,09 - 1,65. Nilai keseragaman (E), stasiun I berkisar antara 0,671-0,87; stasiun II berkisar antara 0,34 - 0,67; stasiun III berkisar antara 0,67 - 0,89; stasiun IV berkisar antara 0,60 - 0,95. Nilai dominasi (C), stasiun I berkisar antara 0,16 - 0,41; stasiun II berkisar antara 0,46 - 0,82; stasiun III berkisar antara 0,21 - 0,37; stasiun IV berkisar antara 0,23 - 0,47. Kisaran indeks biotik Ephemeroptera pada sungai Ciliwung yaitu: 24 - 28 kategori belum mengalami gangguan, 18 - 20 kategori gangguan ringan, 10 - 17 kategori gangguan sedang, dan skor 4 - 9 kategori tercemar berat.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tujuan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

(Studi Kasus Segmen Sungai Ciliwung Gradient Tinggi)

R O B I N

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)

Gradient Tinggi)

Nama : R o b i n

NIM : C251100061

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

(9)

yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, serta shalawat dan salam tetap tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad Sallalahu Alaihi Wasallam beserta para sahabatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “Pengaruh Aktivitas Antropogenik Terhadap Komunitas Nimfa Ephemeroptera dan Potensi Penyusunan Biokriteria Lokal untuk Perairan Sungai (Studi Kasus Sungai Ciliwung)”. Dalam penyelesaian tesis ini, berbagai pihak telah membantu dari awal penelitian hingga penulisan. Oleh karena itu, perkenankan pada kesempatan ini penulis mengaturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada:

1. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc sekalu anggota komisi pembimbing yang telah mencurahkan banyak waktu dan tenaganya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

2. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan yang selalu memberikan nasehat dan perhatiannya serta kemudahan selama menempuh perkuliahan.

3. Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si selaku penguji luar komisi atas semua saran dan masukannya demi penyempurnaan penulisan tesis ini.

4.Terkhusus rekan-rekan di laboratorium Ekotoksikologi dan Hidrofisika Puslit Limnologi LIPI Cibinong (Pak Jojok Sudarso, Pak Gunawan Pratama Yoga, dan Pak Tri Suryono) atas semua ilmu, saran-saran, bimbingan dan nasehatnya.

5. Rekan-rekan mahasiswa SDP angkatan 2010 (Anti Landu, Aliati Iswantari, Darwin Syah Putra, Munirah Tuli, , Haiatus Shohihah, Gema Wahyu Dewantoro, Dyah Muji Rahayu, dan Sri Wahyuni) atas dukungan semangat dan rasa kekeluargaanya.

6. Rekan-rekan Wacana Sultra (Ibu H. Husna, Yoyo, Arsal, Tezza, Asis , Aslin dan masih banyak lagi) yang bersama-sama berjuang menggapai cita-cita di bogor semoga kompak selalu.

7. Teman-Teman Seperjuangan (Pak Bahtiar, Pak La Ode Afa, Pak La Ode Alwi, dan Pak Taswin Munier) yang banyak memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis 8. Terkhusus Kedua orang tua yang selalu memberikan semangat dan doa kepada

penulis untuk tetap berjuang menempuh pendidikan tinggi sehingga dapat berbakti pada agama dan tanah airnya.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tulisan ini.

(10)
(11)

Latar Belakang ...1

Rumusan Masalah ...3

Tujuan dan Manfaat Penelitian ...4

KERANGKA TEORI ...5

Ekosistem Sungai...5

Pencemaran Antopogenik...8

Kepekaan Jenis Makrozoobentos...10

Ekobiologi Ephemeroptera ...12

Klasifikasi Ephemeroptera...12

Habitat dan Penyebaran...14

Siklus Hidup...15

Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Komunitas Ephemeroptera...17

Kerangka Pemikiran ...19

METODE PENELITIAN ...22

Waktu dan Lokasi Penelitian ...22

Alat dan Bahan...23

Variabel (yang ditera dan kerja)...23

Teknik Pengumpulan Data...24

Sampel Larva Ephemeroptera...24

Metode Pengukuran...25

Analisis Data...26

Analisis Parameter Fisika Kimia Perairan...26

Indeks Kimia Kirchoff...26

Indeks Habitat...27

Indeks Pencemaran...28

Analisis Struktur Kominitas Nimfa Ephemeroptera...29

(12)

Karasteristik Parameter Fisika dan Kimia Sungai Ciliwung...35

Suhu...35

Oksigen Terlarut...36

Kekeruhan...37

Derajad Keasaman (pH)...38

Chemical Oxigen Demand (COD)...39

Kesadahan...41

Senyawa Nitrogen (Nitrat, Nitrit, Amoniak dan total Nitrogen)...41

Total Fosafat dan Orthoposfat...48

Struktur Komunitas Ephemeroptera...50

Jumlah Famili...50

Kepadatan Ephemeroptera...52

Komposisi Ephemeroptera...54

Indeks Keanekaragaman, keseragaman dan Dominasi...56

Kualitas Lingkungan Perairan...59

Pengelompokan Komunitas dan Habitat Ephemeroptera...63

Peran Ephemeroptera sebagai bioindikator kualitas perairan...65

Pengelolaan Sungai Ciliwung dengan Penyusunan Biokriteria lokal...68

KESIMPULAN DAN SARAN...74

Kesimpulan...74

Saran...74

(13)

2. Parameter Lingkungan yang Diukur dalam Penelitian...26 3. Kriteria Indeks Kimia Kirchoff (1991) guna Menggolongkan Status Pencemaran

Organik...27 4. Kriteria Penilaian Gangguan Terhadap Habitat yang Diadopsi dari Protokol

US-EPA (1999)...28 5. Kriteria Penilaian Gangguan Menurut Indeks Pencemaran...28 6. Kandidat Metrik yang Digunakan untuk Diskriminasi Tingkat Gangguan pada Ekosistem Sungai...34 7. Tahap Scoring dalam Penyusunan Biokriteria...71 8. Nilai Korelasi Pearson Antara Indeks Kimia Kirchoff, Indeks Habitat dan

(14)

2. Pembagian Sungai Berdasarkan Ordo Sungai...6

3. Epeorus aculeatus: 1, head; 2, foreleg, dorsal; 3, abdomen, dorsal; 4, gi1l 1 ; 5, gi1l 3; 6, gin 7 (Nguyen & Bae, 2004)...13

4. Metamorfosis Tidak Lengkap Pada Ephemeroptera...16

5. 6. Lokasi pengambilan sampel di Sungai Ciliwung...22

Diagram Alir Penelitian...21

7.Sketsa Surber (Manan, 2010)...25

8. Evaluasi sensitifitas metrik. Kotak kecil merupakan nilai median, sedangkan- kotak besar merupakan kisaran IQ (persentil ke 25 hingga 75). a) tidak ada IQ- yang overlap, b). IQ overlap tetapi kedua nilai median tidak ada yang overlap, c).- IQ overlap dengan satu nilai median yang overlap, d). IQ sebagian besar overlap- atau kedua nilai median overlap...32

9. Sebaran Suhu Perairan Sungai Ciliwung Selama Pengamatan...36

10. Sebaran Konsentrasi Oksigen Terlarut Pada Stasiun Pengamatan...37

11. Sebaran Nilai Kekeruhan Perairan Pada Stasiun Pengamatan...38

12. Sebaran Nilai pH pada Stasiun Pengamatan...39

13. Sebaran Nilai COD pada Stasiun Pengamatan...40

14. Sebaran Nilai Kesadahan pada Stasiun Pengamatan...41

15. Sebaran Nilai Total N pada Stasiun Pengamatan...42

16. Sebaran Nilai Amonium Pada Stasiun Pengamatan...43

17. Sebaran Nilai Konsentrasi Nitrat pada Stasiun Pengamatan...45

(15)

21. Rata-rata Kepadatan Ephemeroptera Tiap Stasiun Pengamatan...53

22. Jumlah Taxa Ephemeroptera Selama Penelitian...55

23. Grafik Box & Whisker Plot untuk Indeks Keanekaragaman (a) dan Indeks Keseragaman (b) dan Dominasi (c)...57

24. Grafik Nilai Indeks Habitat pada Stasiun Pengamatan...60

25. Grafik Nilai Indeks Pencemaran pada Stasiun Pengamatan...61

26. Grafik Nilai Indeks Kirchoff pada Stasiun Pengamatan...62

27. Hasil Analisis Faktorial Korespondens Pengelompokkan Ephemeroptera...63

28. Ordinasi Parameter Lingkungan dengan Menggunakan Principal Component Analysis....64

29. Categ. Box dan Whisker Plot Uji Sensitivitas Jumlah Indeks SIGNAL dan Skor SIGNAL...69

(16)

2. Stasiun Pengamatan...80

3. Beberapa Jenis Larva Ephemeroptera...82

4. Nilai Toleransi Indeks SIGNAL...83

5. Nilai Toleransi Biological Working Party (BMWP)...87

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pencemaran perairan merupakan salah satu isu lingkungan yang menjadi permasalahan utama pada beberapa negara berkembang. Pencemaran dapat timbul sebagai akibat kegiatan manusia (antropogenik) ataupun dapat terjadi secara alamiah. Adanya kegiatan manusia yang tidak terkendali telah memicu terjadinya pencemaran lingkungan yang tidak terkendali pula. Aktivitas antropogenik secara dramatik mengubah regim dari input bahan organik, nutrien, maupun logam berat ke dalam ekosistem sungai melalui perubahan penggunaan lahan maupun urbanisasi (Singer & Battin, 2007). Adanya pencemaran organik dan kontaminasi logam berat ke ekosistem sungai telah diketahui dapat memberikan dampak negatif bagi kestabilan komunitas makroinvertebrata di perairan. Pengaruh bahan polutan tersebut mungkin mengurangi keanekaragaman spesies, kepadatan, dan hilangnya spesies yang tergolong sensitif (Timm et al., 2001; Chakrabarty & Das, 2006).

Monitoring biologi merupakan merupakan sebuah alat monitoring yang sangat efiektif untuk menduga kualitas ekologi suatu lingkungan perairan. Menggunakan monitoring secara kimia juga merupakan alat monitoring yang efektif akan tetapi membutuhkan biaya yang mahal dan biasanya hanya memberikan informasi yang terbatas mengenai keadaan suatu lingkungan perairan secara detail. Parameter biologi juga dapat memberikan informasi mengenai keadaan sebelumnya dari kondisi suatu lingkungan perairan. Metode perhitungan biologi ini juga menawarkan keuntungan jika diaplikasikan pada lingkungan lotic neotropikal. Metode ini menawarkan penggabungan metode survey fisika kimia karena merupakan efek akhir yang ditimbulkan oleh kedua faktor tersebut. Keuntungan lain menggunakan bentik makroinvertebrata adalah proses identifikasinya saat ini dinilai lebih baik jika dibandingkan dengan organisme bentik lainnya seperti alga ataupun mesofauna.

(18)

produksi hewan, dimana perannya sebagai pengumpul (Colectors), pengerik (scrapers), Grazer dan sebagai pemakan detritus dan alga serta pemakan makrofita dan beberapa berperan sebagai pengurai (Epele et al., 2011). Organisme ini juga merupakan bagian dari bahan makanan seperti ikan, hewan amphibi dan burung. Hal ini menunjukan bahwa organisme ini juga merupakan salah satu faktor penting penyusun jaring-jaring makanan di perairan. Ephemeroptera dapat digunakan dalam studi pendugaan ekologi dalam hal sebagai indikator terjadinya tekanan pada lingkungan perairan. Selanjutnya organisme ini juga dapat digunakan untuk melihat dampak perubahan iklim. Menggunakan serangga makroinvertebrata khususnya larva Ephemeroptera telah banyak digunakan dalam penentuan status pencemaran suatu perairan khususnya perairan mengalir yang selama ini di Indonesia masih belum banyak dikenal dalam penentuan status kualitas suatu perairan.

(19)

menurunkan kualitas air sungai Ciliwung berasal dari sistem drainase dari masukan limbah rumah tangga, pertanian/sawah, peternakan, dan industri (Kido et al., 2009). Adanya pencemaran yang terjadi di sungai Ciliwung diduga akan mengganggu keseimbangan ekologi dari larva Ephemeroptera dan berpotensi menurunkan integritas ekologi sungai tersebut secara keseluruhan. Oleh sebab itu diperlukan penelitian yang bertujuan untuk mengungkap pengaruh aktivitas antropogenik pada sungai Ciliwung terhadap struktur komunitas dari larva Ephemeroptera sebagai dasar penentuan status kualitas lingkungan sungai Ciliwung menjadi fokus dari penelitian ini.

Rumusan Masaalah

Pengelolaan sungai secara terpadu dan berkelanjutan seharusnya menjadi prioritas utama, hal ini dikarenakan pentingnya ekosistem tersebut bagi kesejahteraan manusia. sungai Ciliwung adalah sungai yang memiliki peran yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat yang ada disekitarnya. Tingginya pemanfaatan terhadap sungai Ciliwung mendorong rusaknya ekosistem ini sehingga diperlukan upaya-upaya dalam hal pemantauan terhadap status kualitas perairannya. Selama ini proses pemantauannya hanya didasarkan pada faktor fisik kimia saja, namun belum memperhitungkan faktor biologinya. Oleh sebab itu diperlukan suatu upaya untuk menggabungkan ketiga faktor tersebut dalam upaya pemantauan dan perkiraan status kualitas lingkungan suatu perairan. Selain itu umumnya penentuan status kualitas lingkungan dengan menggunakan makroinvertebrata secara umum memerlukan waktu yang cukup lama, ditambah lagi kesulitan dalam identifikasi, sehingga diperlukan metode alternatif dengan menggunakan satu Taxa makroinvertebrata dalam monitoringnya (contohnya nimfa Ephemeroptera) sehingga pelaksanaannya dapat lebih efisien, baik dalam masalah waktu ataupun pembiayaannya.

(20)

lain seperti logam berat di sungai Ciliwung antara lain rendahnya jumlah taksa dan kepadatan dari hewan tersebut yang tergolong sensitif, dan adanya dominansi oleh taksa tertentu seperti famili Baetidae.

Untuk mengkaji permasalahan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang peran masukan bahan organik dari kegiatan antropogenik beserta beberapa variabel lingkungan penting lainnya dalam mempengaruhi struktur komunitas dari nimfa Ephemeroptera di perairan. Dari karakteristik dan sensitifitas masing-masing metrik biologi (kekayaan taksa dan komposisi, toleransi terhadap polutan, atribut populasi, nimfa Ephemeroptera pada berbagai tingkatan pencemaran organik maka kondisi perairan sungai Ciliwung.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan struktur komunitas Ephemeroptera sebagai akibat pengaruh aktivitas antropogenik pada setiap stasiun pengamatan dan untuk menduga status kualitas lingkungan perairan sungai Ciliwung berdasarkan respon dari nimfa Ephemeroptera serta membuat biokriteria lokal dalam bentuk indeks biotik Ephemeroptera untuk sungai Ciliwung.

(21)

KERANGKA TEORI

Ekosistem Sungai

Sungai sebagai salah satu jenis badan air memiliki karakteristik yang khas diantaranya adalah alirannya yang unidireksional, yaitu hanya satu arah dari hulu ke hilir dan tidak dapat berbalik. Ciri lain adalah laju alirannya yang berfluktuasi, biasanya tergantung musim dan curah hujan. Akibat adanya aliran yang berfluktuasi biasanya bagian dasar dan garis pantainya relatif tidak stabil, pada musim penghujan garis pantai meningkat karena debit air semakin besar. Aliran sungai melewati berbagai macam penggunaan lahan di sepanjang daerah tangkapan airnya (catchment area) sehingga masukan nutrien ke dalam sungai sangat berbeda sesuai tata guna lahan di tepinya. Sungai juga turut menyumbang nutrien bagi daratan di tepi sungai terutama daratan di tepi sungai yang tadinya tergenang pada saat fluktuasi air meningkat di musim hujan.

(22)

Gambar 1. Struktur Sungai

Secara vertikal wilayah sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian permukaan, kolom air dan bagian dasar (bentic zone) pembagian sungai juga dapat dilakukan berdasarkan sistem jaringan aliran sungai (drainage network) atau yang dikenal dengan ordo sungai.

Gambar 2. Pembagian Sungai Berdasarkan Ordo Sungai

Sungai menurut kejadiannya (order) dapat diklasifikasikan menjadi; order satu merupakan sungai yang tidak memiliki anak sungai; order dua merupakan sungai yang terbentuk dari pertemuan antara dua tipe order satu; orde tiga merupakan sungai yang terbentuk dari pertemuan dua tipe sungai order dua (Suwignyo, 2003). Tipologi sungai dan perairan mengalir lainnya memiliki ciri

(23)

ini maka apa yang terjadi didaerah hulu dampaknya akan terbawa ke daerah hilir, tetapi tidak sebaliknya.

Illies (1953) in Hawkes (1975), mengelompokan pembagian sungai menjadi dua zona utama yaitu zona rithron dan zona potamon, yang kemudian dijadikan dasar pembagian sungai di seluruh dunia. Zona rithron dicirikan oleh aliran air yang deras karena pengaruh kemiringan yang tinggi, cepat dan bergolak. Ada selang antara aliran dan genangan, adanya air terjun dan riam jeram. Tempat yang dangkal mempunyai batuan besar, kecil atau kerikil. Tempat yang dalam (pool) mempunyai dasar yang halus dari pasir atau pasir berlumpur dan kandungan oksigen terlarutnya selalu tinggi. Pembagian zona rithron lebih jauh dibagi menjadi tiga bagian yaitu epirithron adalah bagian yang didominasi oleh aliran air yang lebih deras, air terjun dan jeram; hyporithron adalah bagian aliran sungai yang mempunyai kelok-kelokan dan genangan air dasarnya berupa lumpur atau detritus; dan merithron bagian dari cirri-ciri epirithron dan hyporithron. Zona potamon adalah daerah yang dicirikan dengan aliran air yang pelan, berkelok-kelok dan dasar perairannya didominasi oleh lumpur. Pada bagian yang dalam kandungan oksigen terlarut berfluktuasi dan terkadang sangat rendah, penetrasi cahaya terbatas dan merupakan daerah deposit.

(24)

Pencemaran Antropogenik

Bahan organik dalam ekosistem perairan dapat dibedakan kedalam beberapa jenis. Metcalf & Eddy (1974) membedakan bahan organik berdasarkan sumbernya menjadi tiga macam, yaitu (1) bahan organik yang berasal dari limbah domestik, terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak, dan surfaktan; (2) bahan organik yang berasal dari limbah industri yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, fenol dan surfaktan lainnya; (3) bahan organik yang berasal dari limbah pertanian, selain nutrient juga terdapat bahan toksik seperti perstisida dan insektisida.

Bahan organik secara umum mengandung 40-60 % protein, 25-50 % karbohidrat dan 10 % minyak/lemak (Metcalf & Eddy, 1974; APHA, 1989). Menurut Sugiharto (1987), bahan-bahan organik yang terdapat dalam air limbah umumnya terdiri dari senyawa-senyawa antara lain: bahan organik yang mudah terurai seperti protein, karbohidrat, lemak, dan minyak; bahan organik sukar terurai seperti fenol, pestisida, insektisida, dan detergen/surfaktan. Kandungan organik dalam perairan akan mengalami peningkatan, antara lain sebagai akibat limbah rumah tangga, pertanian, industri hujan dan aliran permukaan. Peningkatan kandungan bahan organik sering diikuti oleh meningkatnya unsur hara, bentuk-bentuk koloni fitoplankton melimpah dan karena kegiatan biologis lebih intensif maka hasil dekomposisi berupa detritus dan bakteri juga tersedia (Morgan 1980).

(25)

meningkatkan produktivitas organisme aquatik, namun apabila masukan tersebut melebihi kemampuan organisme aquatik untuk memanfaatkannya, maka akan timbul permasalahan yang cukup serius. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain degradasi habitat dan hilangnya biodiversitas (Dahl et al., 2004). Penggunaan Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Perairan

Pemantauan kualitas air yang hanya didasarkan pada parameter fisika dan kimia perairan sudah mulai diseimbangkan dengan parameter biologi. Parameter fisika dan kimia diketahui memerlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan parameter biologi. Selain itu indikator biologi lebih dapat diandalkan karena dapat memperlihatkan efek kumulatif pencemaran dari kondisi yang telah lalu sampai saat dilakukan pengamatan. Beberapa kelompok organisme biasa digunakan sebagai indikator pencemaran dalam pengukuran kualitas lingkungan perairan, di antaranya adalah algae, bakteri, protozoa, makrozoobentos, dan ikan (Wilhm, 1975).

Ekosistem yang stabil dicirikan oleh keanekaragaman komunitas yang tinggi, tidak ada dominansi jenis serta jumlah individu per jenis terbagi dengan merata. Selanjutnya dikatakan pula bahwa komunitas pada lingkungan tercemar dicirikan oleh keanekaragaman yang rendah dan adanya perubahan struktur komunitas dari yang baik menjadi tidak stabil. Khusus untuk bentos, keberadaannya sering digunakan sebagai indikator dalam menentukan adanya tekanan ekologis dalam suatu perairan. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah organisme penyusun bentos memiliki kepekaan yang berbeda-beda terhadap berbagai jenis bahan pencemar dan memberikan reaksi yang cepat terhadap perubahan yang terjadi; seperti memiliki mobilitas yang rendah sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya atau mudah ditangkap untuk diidentifikasi.

(26)

dideteksi untuk menduga tingkat pencemaran di suatu kawasan ekosistem perairan.

Kepekaan Jenis-Jenis Makrozoobentos

Wilhm (1975) menjelaskan bahwa perubahan-perubahan kualitas air sangat mempengaruhi kehidupan makrozoobentos, baik komposisi maupun ukuran populasinya. Di samping itu kemampuan mobilitasnya rendah dan beberapa jenis organisme makrozoobentos yang mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kondisi kualitas air yang buruk menjadikan makrozoobentos sebagai salah satu indikator biologi yang baik.

Tingkat keanekaragaman bentos pada perairan tertentu merupakan cerminan variasi dari toleransinya terhadap kisaran parameter lingkungan. Adanya kelompok bentos yang hidup menetap (sessile) dan daya adaptasi yang bervariasi terhadap kondisi lingkungan membuat bentos seringkali digunakan sebagai petunjuk bagi penilaian kualitas air. Keberadaan makrozoobentos berkaitan erat dengan kondisi fisika, kimia, dan biologi dari substrat tempat hidupnya yang saling berinteraksi dengan proses atau pun komponen yang ada dalam air terdekatnya. Dengan demikian apabila suatu sungai mendapat masukan limbah, yang dengan dinamikanya terdistribusi ke dalam seluruh badan air, maka komponen-komponen di bagian dasar sungai pun akan menerima akibatnya.

Kepekaan jenis makrozoobentos terhadap limbah organik dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok intoleran atau sensitif, fakultatif atau moderat, dan toleran. Keberadaan kelompok biota tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan keadaan suatu aliran sungai. Dengan kata lain kehadiran kelompok toleran dan ketidak hadiran kelompok intoleran dapat digunakan sebagai petunjuk adanya pencemaran dalam perairan (Wilhm 1975). Namun terdapat pula jenis-jenis makrozoobetos yang dapat dijumpai atau tersebar di berbagai kondisi perairan sehingga tidak dapat digunakan sebagai petunjuk adanya pencemaran dalam perairan dan digolongkan sebagai kelompok non indikator dan yang termasuk dalam kelompok ini antara lain Malacostraea dan beberapa Coleoptera (Mason, 1993).

(27)

perairan berkualitas buruk. Pada umumnya kelompok organisme ini tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya tinggi di perairan (sungai) yang telah tercemar bahan organik, termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah cacing tibificida.

Organisme fakultatif atau intermediat adalah organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran perubahan kondisi lingkungan yang tidak terlalu lebar. Kelompok ini dapat bertahan hidup pada perairan yang banyak mengandung bahan organik. Meskipun demikian kelompok ini tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan dan cukup peka terhadap penurunan kualitas perairan. Kelompok yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain, sebagian jenis dari Odonata, Gastropoda, Diptera, dan Crustacea.

Organisme intoleran adalah organisme yang hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran perubahan kondisi lingkungan yang sempit. Organisme ini jarang ditemui di perairan yang kaya akan bahan organik serta sangat peka terhadap penurunan kualitas perairan. Yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain sebagian jenis dari Ephemeroptera, Trichoptera, Coleoptera, and Plecoptera (Wilhm, 1975).

Wilhm (1975) menguraikan bahwa perairan yang tidak tercemar atau bersih memperlihatkan keseimbangan komunitas makrozoobentos. Di dalamnya hidup jenis dari kelompok intoleran diselingi jenis dari kelompok fakultatif dan tidak ada jenis dari kelompok tertentu yang mendominasi. Perairan yang tercemar sedang memperlihatkan adanya pengurangan atau hilangnya jenis dari kelompok intoleran dan bertambahnya jenis dari kelompok fakultatif serta dari kelompok toleran yang mulai mendominasi. Pada perairan tercemar terlihat adanya pembatasan jumlah jenis dalam komunitas makrozoobentos. Kelompok fakultatif dan intoleran mulai hilang digantikan oleh kelompok toleran. Hilangnya semua jenis makrozoobentos kecuali oligochaeta dan organisme yang bisa mengambil oksigen dari udara menandakan perairan tercemar berat.

(28)

merupakan faktor utama yang signifikan dalam membatasi pola mikrodistribusi dari makrozoobentos (Cummins, 1975). Menurut Pond (2009) faktor fisika, kimia, dan biologi yang dapat mempengaruhi keadaan dan penyebaran makrozoobentos antara lain adalah kecepatan arus, suhu, kekeruhan, substrat dasar, kedalaman, TSS, pH, DO, kandungan padatan tersuspensi (TSS), amonia (NH3-N), makanan, kompetisi hubungan pemangsaan, dan penyakit.

Ekobiologi Ephemeroptera

Ephemeroptera atau lalat sehari merupakan organisme yang merupakan garis keturunan dari kelompok serangga (Insecta) yang diperkirakan muncul pertama kali pada akhir masa carboniferous atau pada saat periode permian 290 juta tahun lalu. Organisme ini diperkirakan mencapai keragaman tertingginya selama masa mesozoic dan merupakan kelompok yang paling kuno yang masih ada dari kelompok serangga. Dulu Ephemeroptera dan Ordonata ditempatkan pada kelompok Palaeoptera dengan pertimbangan merupakan bagian dari kelompok serangga bersayap walaupun belum diketahui secara pasti mengenai hubungan antara keduanya (para peneliti masih berbeda pendapat). Saat ini Ephemeroptera merupakan sub kelompok dari Ordonata + Neoptera. Hal ini berdasarkan organisme ini memiliki bentuk morfologi yang unik begitu juga apabila dilihat secara philogenetik (James et al., 2008).

Klasifikasi Ephemeroptera

(29)

tetapi organisme ini pada jenis-jenis tertentu juga dapat bertahan hidup sampai beberapa hari. Ephemeroptera merupakan serangga unik yang memiliki dua tahap dewasa bersayap, yaitu subimago dan imago. Ephemeroptera dewasa tidak dapat makan, mereka mengandalkan cadangan makanan selama hidup sebagai nimfa. Ephemeroptera dewasa umumnya hidup selama 1-2 jam sampai beberapa hari dan pula yang mencapai 14 hari pada beberapa jenis ovoviviparous. Nimfa Ephemeroptera menghabiskan sebagian besar hidup mereka di lingkungan perairan, baik sebagai telur atau sebagai nimfa. Rentang kehidupan nimfa Ephemeroptera bervariasi dari 3-4 minggu sampai sekitar 2 tahun (Brittain, 1982).

Ephemeroptera dewasa tidak memiliki mulut fungsional, satu-satunya tujuan mereka adalah bereproduksi dan menyebar. Pada beberapa wilayah Eropa organisme ini banyak ditemukan pada bulan Mei sedangkan di Australia organisme ini muncul kebanyakan muncul diantara musim semi ke musim panas. Seperti sebagian bangsa serangga, Ephemeroptera hanya dua kali melakukan metamorfosis setelah memperoleh sayap. Pertama yakni mulai dari nimfa menuju bersayap berwarna agak kusam (tidak mengkilap), kedua organisme ini melucuti seluruh kulitnya untuk membuka kulit yang lebih mengkilap (Brittain, 1982).

Gambar 3. Epeorus aculeatus: 1, head; 2, foreleg, dorsal; 3, abdomen, dorsal; 4, gi1l 1; 5, gi1l 3; 6, gin 7 (Nguyen & Bae, 2004)

(30)

Class : Insecta (Insects)

Order: Ephemeroptera (Mayflies) Famili: Heptagenidae

Genus: Epeourus Species: E. aculeatus

Subimagoes (pra-dewasa) dan dewasa (imagoes) memiliki sayap yang besar depan berbentuk segitiga dengan urat silang yang banyak pada sayap yang posisinya tegak dan sejajar atas dada. Subimagoes memiliki sayap berwarna kelabu sedang imagoes memiliki sayap yang berwarna terang (jelas). Beberapa spesies mungkin memiliki sayap bermotif. Ukuran sayap belakang jauh lebih kecil dari sayap depan dan bahkan mungkin untuk beberapa spesies tidak ditemukan. Toraks dan perut lalat capung terlihat jelas dan biasanya mengkilap. Ukuran kakinya bervariasi, dengan kaki depan terpanjang. Warna tubuh bervariasi tergantung spesies, misalnya kuning, hijau, putih dan hitam. Bentuk dewasanya umumnya pipih atau berbentuk silinder. Nimfa Ephemeroptera yang belum tua (naiads) memiliki kaki panjang yang dilengkapi dengan insang di sisi perut, Ephemeroptera biasanya memiliki tiga buah ekor panjang tipis (cerci) tetapi pada beberapa spesies hanya memiliki dua buah ekor. Mereka memiliki antena pendek. Warna tubuh organisme ini mungkin menjadi hijau atau coklat, tetapi dapat bervariasi tergantung makanan yang dimakan. Bentuk pipih, berlindung pada bebatuan atau substrat lainnya di sungai. Salah satu contohnya adalah Nimfa Ephemeroptera bentuk silinder yang merupakan perenang yang baik (Triplehorn & Johnson, 2005).

Habitat dan Penyebaran

(31)

organisme ini membuat mereka subyek yang berguna untuk analisis biogeografis. Sebagai contoh famili Ephemeridae hidupnya hampir kosmopolitan dalam distribusi di perairan. Tercatat Ada 96 spesies dalam tujuh genera di Republik Korea (ROK) (Shin et al., 2008) dan sekitar 3000 spesies dari 375 genera di seluruh dunia. Salah satu fungsi nimfa Ephemeroptera adalah terletak pada fungsi mereka sebagai makanan bagi ikan air tawar dan binatang lain. Sebagian besar spesies Ephemeroptera dibatasi oleh jenis dan habitat hidup pada saat fase nimfa Oleh karena itu, nimfa Ephemeroptera di habitat air dapat berfungsi sebagai indikator karakteristik ekologis habitat pada suatu ekosistem.

Ephemeroptera tersebar sangat luas pada habitat air mengalir, meskipun keragaman terbesar terdapat pada areal aliran air berbatu orde rendah. Dalam lingkungan tersebut, Ephemeroptera menunjukkan kelimpahannya tinggi dan juga merupakan bagian penting dari produksi hewan. Nimfa Ephemeroptera kebanyakan bersifat collector, pencakar atau grazers dan memakan berbagai detritus dan alga, dan beberapa bahan macrophyta serta hewan (Dominguez et al, 2009 in Epele, 2011). Ephemeroptera juga merupakan bagian dari makanan bagi organisme lain seperti ikan, amfibi atau burung. Untuk alasan ini lalat capung dianggap salah satu link utama dalam jaring makanan sungai. Nimfa Ephemeroptera jenis Caenis luctuosa penyebarannya meliputi daerah lotik dan lentik dengan arus yang tidak begitu deras, suhu air yang cenderung hangat dan banyaknya detritus lebih disukai oleh orgnisme ini. C. Luctuosa juga sangat toleran terhadap pencemaran bahan organik. Pada beberapa wilayah di Eropa kepadatan C. Luctuosa ditemukan sangat tinggi pada musim hangat lalu mengalami penurunan dalam jumlah besar pada musim gugur. Puncak kepadatan organisme ini terjadi pada bulan mei sampai juli dan kepadatan terendahnya terjadi pada bulan september saat musim hujan tiba (Velasco & Millan, 1999). Siklus Hidup

(32)

bertelur ke dalam air dan sering mati di permukaan air. Tahap belum matang (immature) berkembang melalui beberapa tahapan (instar) dengan molting selama pengembangan. Jumlah molting bervariasi tergantung pada jenis spesies, kondisi suhu dan dan keadaan air. Ketika memasuki tahap matang (mature) organisme ini kemudian berenang ke permukaan air atau merangkak pada batu atau tanaman, kemudian dengan sayap organisme ini terbang dengan cepat dari air ke tanaman terdekat dimana organisme ini berubah fase menjadi dewasa (imagoes). Lalat capung adalah satu-satunya kelompok serangga yang meranggas setelah mereka memiliki sayap. Dalam satu kali siklus hidup organisme ini akan berlangsung satu tahun dengan masa nimfa kurang lebih 8-11 bulan.

Gambar 4. Metamorfosis Tidak Lengkap Pada Ephemeroptera (Voshell & J. Reese, 2002)

Sumber makanan tahap immature (naiads) memiliki mulut mengunyah; Ephemeroptera dewasa tidak dapat makan karena memiliki mulut non-fungsional. Pada fase nimfa, makanan Ephemeroptera (naiads) berupa makanan yang bersumber dari potongan-potongan kecil materi organik seperti bahan tanaman atau ganggang dan kotoran yang menumpuk pada batu atau substrat lainnya di sungai. Sebagian besar spesies di Texas lebih banyak menempati daerah air yang mengalir atau kondisi perairan dengan kondisi oksigen yang baik, selain itu terdapat beberapa spesies berkembang di danau atau kolam dan distribusi mereka di air biasanya dibatasi oleh kandungan oksigen dari air.

(33)

mulai muncul pada bulan Februari dengan puncak kepadatan pada bulan April. Awal kondisi instar pada organsime ini berlangsung pada musim gugur (Juni sampai September) akan tetapi fase akhir instar belum ditemukan. A torrents mengalami pertumbuhan yang sangat cepat pada bulan November – Maret yang didominasi oleh ukuran medium sampai ukuran besar. Fase instar terakhir telah diketahui terjadi pada akhir musim panas (Februari dan Maret). Nimfa A. Torrent membutuhkan waktu 12 bulan untuk menyelesaikan siklus hidupnya (Epele et al., 2011). Faktor-faktor lingkungan dapat mempengaruhi proses instar organisme Ephemeroptera khususnya faktor suhu perairan dan makanan. Informasi mengenai proses instar merupakan fenomena yang sangat penting utnuk mengetahui sejarah hidup dari Ephemeroptera (Ruflieux et al., 1996).

Siklus hidup Ephemeroptera jenis C. Luctuosa merupakan siklus multivoltin dengan empat cohort yang tumpang tindih. Jangka waktu hidup larvanya yaitu selama 3-7 bulan tergantung suhu perairan. Pada musim dingin laju perkembangan nimfa mengalami pelambatan yaitu selama 7 bulan perkembangan, kemudian perkembangan yang agak lambat juga terjadi pada musim semi dengan lama perkembangan 4 bulan. Pada musim panas organisme ini memiliki perkembangan yang sangat cepat yaitu selama 3 bulan begitu juga pada musim gugur lama perkembangannya 4 bulan (Velasco & Millan, 1999).

Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Komunitas Ephemeroptera

(34)

misalnya seperti diatom ataupun alga. Selain itu organisme ini sangat sensitif terhadap pengaruh perubahan faktor lingkungan baik itu faktor biotik ataupun abiotik. Keunggulan inilah yang menyebabkan penggunaan makroinvetebrata sebagai bioindikator perairan sangat tepat. Penggunaan organisme makroinvertebrata sebagai bioindikator telah mengalami peningkatan yang sangat signifikan di negara-negara benua Amerika, misalnya di Kosta Rika organsime aquatik entomofauna dan struktur komunitas makroinvertebrata telah banyak dipelajari. Selanjutnya perbandingan antara daerah yang mengalami gangguan dan belum mengalami gangguan telah dapat dipetakan menggunakan sebuah indeks keragaman spesies (Fenoglio et al., 2002).

Komunitas makroinvertebrata tersusun oleh berbagai macam organisme dasar yang menempati bagian dasar sedimen yang membentuk bagian dari makrofauna. Organsime bentik ini dicirikan dengan organisme yang tidak memiliki jarak ruaya yang jauh, misalnya seperti cacing yang menempati hampir seluruh fase kehidupannya berada di sedimen sehingga perubahan kondisi geokimia yaitu interaksi antara badan air dengan sedimen terjadi dekomposisi yang dilakukan umumnya oleh organisme ini sehingga akan mempengaruhi siklus nutrien. Organisme makroinvetebrata merupakan merupakan komponen penting dalam jaring-jaring makanan. Organisme makroinvertebrata cenderung merespon pengaruh gangguan antropogenik seperti limbah rumah tangga atau kontaminasi logam di perairan melalui bertahannya spesies-spesies toleran dan oportunistik serta berkurangnya jumlah dan keragaman setiap spesies, berkurangnya keragaman tropik dan hilangnya organsime yang sensitif terhadap polusi (Dobberstine et al., 1997).

(35)

seperti Amonia kompleks, Nitrat kompleks, dan Nitrit kompleks memiliki efek racun yang tujuh kali lebih tinggi dibandingkan dengan anomia tunggal (Beketov, 2004). Kegiatan rumah tangga dan pertambangan merupakan input dari beberapa bahan pencemar lain seperti logam berat seperti Cadmium (Cd), Timbal (Pb), dan Merkuri (Hg).

Bahan pencemar ini umumnya akan memiliki konsentrasi sangat tinggi di badan air, terlebih lagi pada sedimen. Masuknya bahan-bahan pencemar ini akan menimbulkan beberapa respon terhadap organisme Ephemeroptera seperti penurunan keanekaragaman, kepadatan dan siklus hidup nimfa yang singkat (Gosselin & Hare, 2003). Nimfa Ephemeroptera juga sangat sensitif terhadap pestisida yang masuk ke perairan. Masuknya beberapa jenis pestisida menyebabkan kematian hampir 100% pada organisme Ephemeroptera jenis Epeorus latifolium dan Ecdyonurus yoshidae pada beberapa sungai di jepang. Banyaknya penggunaan pestisida pada pertanian intensif menyebabkan perairan akan tercemar, terlebih lagi pada musim hujan dimana terjadi pembilasan oleh air hujan sehingga sisa pestisida akan memasuki perairan dan menyebabkan menurunnya keragaman organisme bentik khususnya nimfa Ephemeroptera (Hatakeyama et al., 1996)

Kerangka Pemikiran

(36)
(37)
(38)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Sampling penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember – Mei 2011 mengambil lokasi di beberapa ruas sungai Ciliwung Jawa Barat dan sortir organisme serta pengolahan datanya dilakukan di Laboratorium Ekotoksikologi dan Hidrokimia, Pusat Penelitian Limnologi LIPI Cibinong, Jawa Barat. Titik lokasi sampling ditetapkan secara purposive yang didasarkan pada pertimbangan besarnya beban dan sumber pencemaran yang masuk pada masing-masing stasiun pengamatan, mulai dari reference site (gunung mas hingga situs yang sudah diduga terkena gangguan sedang atau berat). Selain itu dalam pemilihan lokasi sampling juga didasarkan pada kesamaan ecoregion yang masih masuk gradien tinggi dan banyaknya substrat batuan pada bagian dasar sungai. Menurut Mitchael T. Barbour, 2004 in Sudarso (2011 komunikasi pribadi) menetapkan bahwa yang masih termasuk dalam gradien tinggi dinyatakan dengan masih terdapatnya batuan Cobble (64-256 mm) di dasar sungai lebih dari 30 % dan kecepatan arus lebih dari 0,5 m/detik.

(39)

Lokasi yang digunakan selama penelitian dalam menyusun biokriteria maupun menghitung keanekaragaman nimfa Ephemeroptera adalah:

1. Stasiun Gunung Mas yang terdiri dari dua situs pengamatan (St 1) yang berfungsi sebagai situs rujukan pada bagian hulu dengan kondisi habitat yang masih terjaga dengan baik/minim gangguan aktivitas antropogenik

2. Stasiun Kampung Pensiunan (St.3) mewakili daerah yang sudah mengalami gangguan oleh aktifitas perkebunan teh.

3. Stasiun Kampung Jog-jogan (St.4) mewakili daerah dari adanya aktivitas pertanian, pemukinan penduduk, dan perkebunan.

4. Stasiun Cibinong (St.6) mewakili daerah dengan sumber pencemar yang relatif lebih kompleks (limbah domestik, perkotaan dan industri).

Titik koordinat lokasi pengambilan sampel secara rinci telah disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 1 .

Tabel 1. Titik koordinat lokasi pengambilan sampel di Sungai Ciliwung.

No Nama Lokasi Titik koordinat

1 Gunung Mas 1 6042’4,38” LS, 106058’12,49”BT 2 Kampung Pensiunan 6042’05,11” LS, 106058’26,75”BT 3 Kampung Jog-jogan 6040’41,47” LS, 106055’58,17”BT 4 Cibinong (PDAM) 6028’58,55” LS, 106048’53,05”BT Alat dan Bahan

Alat yang digunakan selama penelitian meliputi alat untuk pengukuran kualitas air yaitu current meter, water quality checker, spektrofotometer. Alat untuk mengambil dan preparasi sampel biologi (nimfa Ephemeroptera) yaitu timbangan, saringan bertingkat, jala surber, dan mikroskop.

Bahan kimia yang digunakan meliputi: larutan alkohol, formalin teknis, dan bahan kimia untuk analisis parameter amonium, COD, nitrat, ortofosfat, dan alkalinitas,

Variabel (yang ditera dan kerja)

Variabel tera yang diamati pada penelitian ini meliputi :

(40)

2. Kualitas kimia perairan meliputi: oksigen terlarut (DO), amonium (N-NH4), nitrat (N-NO3), ortofosfat (O-PO4), bahan organik total (TOM), dan kebutuhan oksigen kimiawi (COD).

3. Kualitas biologi dari komunitas larva Ephemeroptera yaitu: struktur komunitas meliputi kepadatan, jumlah taksa, dan keragaman.

Variabel kerja yang diamati pada penelitian ini meliputi:

1. Kualitas habitat dengan menggunakan indeks habitat (US-EPA 1999).

2. Status pencemaran organik di air dengan menggunakan indeks kimia Kirchoff (1991) indeks habitat dan indeks pencemaran

3. Penilaian kualitas biologi dari Sungai Ciliwung diprediksi dengan menggunakan indeks Stream Invertebrate Grade Number-Average level/SIGNAL (Gooderham & Tysrlin, 2002), indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks keseragaman (Clarke & Warwick, 2001), indeks biological monitoring working party/BMWP (Armitage et al., 1983).

Teknik Pengumpulan Data Sampel Nimfa Ephemeroptera

(41)

Gambar 7. Sketsa Surber (Manan, 2010)

Masing-masing stasiun pengamatan dilakukan pengulangan sebanyak lima kali dan digabung menjadi satu sampel. Alasan pengambilan lima sampel tersebut didasarkan pada pendapat Carter & Resh (2001) yang menyebutkan penggunaan alat jala surber di Negara Amerika umumnya berkisar dari 3-8 sampel (ulangan) dengan rata-rata 4,7 sampel. Serasah yang tertahan dalam saringan dimasukkan dalam wadah plastik dan diberi larutan pengawet formalin 10 % guna meminimalkan perubahan dalam biomassa (Jin & Ward, 2007) dan dimasukkan dalam toples plastik. Di laboratorium, sampel yang telah diawetkan dalam formalin 10 % diletakkan dalam saringan yang berpori 0,2 mm dan dibilas dengan menggunakan air kran. Sortir dari nimfa Ephemeroptera dilakukan di bawah mikroskop stereo dengan pembesaran 10-45 kali. Hewan yang telah tersortir dimasukkan dalam botol flakon yang sudah ditambah dengan larutan pengawet alkohol 70%.

Metode pengukuran

(42)

Tabel 2. Parameter lingkungan yang diukur dalam penelitian

No. Parameter Satuan Alat/Metode

Pengukuran

Parameter fisik-kimia perairan yang terukur dianalisis secara dekskriptif yaitu membandingkan parameter kualitas air dengan baku mutu air menurut PP RI No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemar air kelas I, II, III dan IV. Dimana kelas I adalah untuk air minum; kelas II untuk bahan baku air minum; kelas III untuk pariwisata dan kegiatan perikanan dan pertanian. Analisis parameter kualitas air dikaji dengan pola perbandingan. Data yang sudah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk grafik dan tabel.

Tahapan analisa kualitas air secara dekskriptif adalah sebagai berikut:

1. Mencari rata-rata dari masing-masing parameter perstasiun pengamatan. 2. Menyajikan data dalam bentuk grafik untuk distribusi secara spasial 3. Membandingkan data baku mutu kualitas perairan dan literatur yang ada

untuk melihat kualitas perairan. Indeks Kimia Kirchoff

(43)

menghitung indeks kimia Kirchoff meliputi: DO, pH, suhu, amonium, nitrat, ortofosfat, dan konduktivitas. Hasil analisis parameter kimia di atas selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai indeks kimia dengan menggunakan rumus Kirchoff (1991) sebagai berikut:

Dengan:

CI = adalah Nilai Indeks Kimia pada setiap titik sampling n = adalah banyaknya jumlah parameter

q = adalah parameter sub-indeks diperoleh dari pengurangan anggota parameter diantara skala 0 sampai 100

w = nilai bobot kepentingan dari setiap parameter, nilainya dari 0-1. Kriteria pencemaran organik menurut indeks kimia Kirchoff secara rinci dapat dilihat dalam Tabel 3. Kandidat daerah yang akan ditetapkan sebagai situs rujukan diharapkan yang memiliki nilai skor indeks 84 ke atas.

Tabel 3: Kriteria indeks kimia Kirchoff (1991) guna menggolongkan status pencemaran organik.

Skor indeks kimia Status/kondisi 0 – 27

Prediksi gangguan yang terjadi pada habitat di sekitar lokasi sampling dilakukan dengan menggunakan sistem scoring yang mengadopsi dari US-EPA (1999). Komponen dari penilaian habitat yang dilakukan scoring meliputi: substrat epifaunal atau ketersediaan vegetasi penutup, embeddedness (banyaknya batuan yang tertanam di dasar sungai), banyaknya kombinasi antara kecepatan aliran dan kedalaman, endapan sedimen, status aliran dari saluran basin, perubahan saluran, frekuensi dari jeram dan kelokan sungai, stabilitas pinggir sungai, perlindungan pinggir sungai oleh vegetasi, dan lebar zona vegetasi riparian. Masing-masing skor metrik dilakukan penjumlahan, sehingga diperoleh nilai skor total dari indeks habitat. Kriteria gangguan pada habitat sungai disajikan

(44)

dalam Tabel 4. Daerah yang mempunyai nilai skor habitat tertinggi atau dalam kategori optimal diharapkan dapat dijadikan sebagai kandidat situs rujukan.

Tabel 4 Kriteria penilaian gangguan terhadap habitat yang diadopsi dari protokol US-EPA (1999).

Kriteria Habitat Skor Penilaian Habitat pada Gradien Tinggi dan Rendah

Optimal 160 – 200

Sub-Optimal 110 – 159

Marginal 60 - 109

Buruk < 60

Indeks Pencemaran

Sumitomo dan Nemerow (1970) in Kep-MENLH No. 115 tahun 2003, Universitas Texas, A.S., mengusulkan suatu indeks yang berkaitan dengan senyawa pencemar yang bermakna untuk suatu peruntukan. Indeks ini dinyatakan sebagai Indeks Pencemaran (Pollution Index) yang digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan Indeks ini memiliki konsep yang berlainan dengan Indeks Kualitas Air (Water Quality Index). Indeks Pencemaran (IP) ditentukan untuk suatu peruntukan, kemudian dapat dikembangkan untuk beberapa peruntukan bagi seluruh bagian badan air atau sebagian dari suatu sungai. Criteria gangguan menurut indeks pencemaran disajikan pada Tabel 5.

Table 5. Kriteria Penilaian Gangguan Menurut Indeks Pencemaran Ketentuan evaluasi nilai PI, jika: Kriteria

0 ≤ PIj ≤ 1,0 → memenuhi baku mutu ( kondisi baik) 1,0 ≤ PIj ≤ 5,0 → tercemar ringan

5,0 ≤ PIj ≤ 10 → tercemar sedang

≥ 10 → tercemar berat

(45)

Analisis struktur komunitas Nimfa Ephemeroptera

Kepadatan Ephemeroptera didefinisikan sebagai jumlah individu jenis perstasiun, biasanya dalam satuan meter persegi. Dapat dihitung dari persamaan sebagai berikut :

Ki = (ai/b) x 10.000 Dimana :

K : Kepadatan Ephemeroptera ke-i (Ind/m2)

a : Jumlah individu Ephemeroptera pada setiap bukaan surber b : Luas Bukaan surber (30 cm x 30 cm)

10.000 : Nilai konversi cm2 ke m2

Keanekaragaman jenis dari masing-masing stasiun pengamatan ditentukan dengan menggunakan rumus index keanekaragaman dari Shanon-Wiener (Cairns & Dickson 1971) sebagai berikut:

N n N

n

H i i

2

log '

Dengan,

H’= index keanekaragaman (bits per individu) ni = Jumlah individu dalam satu spesies N = Jumlah total individu spesies.

Penghitungan indeks tersebut dilakukan dengan menggunakan software Spesies Diversity and Richness versi 2.65 dari Pisces Conservation.

Keseragaman dari komunitas larva Ephemeroptera diprediksi dengan menggunakan Indeks keseragaman sebagai berikut:

E’= H’/ Hmaks.

Dengan,

Hmaks = Keragaman jenis maksimum = log2 S S = jumlah jenis dalam sampel yang ditemukan.

(46)

Analisis Pengelompokan Komunitas dan Habitat Makrozoobentos

Analisis statistik multivariat Correspondence Analysis (CA) disebut juga dengan analisis faktorial koresponden diterapkan guna mengetahui adanya pengelompokkan komunitas Ephemeroptera pada setiap stasiun pengamatan. Analisis faktorial koresponden adalah suatu metode statistik yang bertujuan untuk mencari hubungan yang erat antara modalitas dari dua karakter /variable pada variable matriks data kontigensi serta mencari hubungan yang erat antara seluruh modalitas karakter dan kemiripan antar individu berdasarkan konfigurasi jawabannya pada matriks data (Bengen, 2000). Untuk membandingkan dua objek, maka perlu diberikan suatu pengukuran yang dapat mencirikan kemiripan atau ketidak miripan. Dalam hal ini analisis faktorial koresponden menggunakan jarak khi-kuadrat.

Jarak khi-kuadrat difirmulasikan sebagai berikut:

Dimana:

Xi : Jumlah baris I untuk semua kolom Xij : Jumlah kolom j untuk semua baris

Pada matriks data, terdiri dari baris-i (genera Ephemeroptera) dan kolom- j (stasiun pengamatan), dimana pada baris ke-I dan kolom ke-j ditemukan kelimpahan ephemeroptera.

(47)

pandang kemiripan antara individu (stasiun) dan hubungannya dengan variabel lingkungan serta menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan interpretasi (Bengen, 2000). Persamaan analisis ini dapat dilihat pada persamaan dibawah ini:

2

Dimana :

d2(i,i’) = 2 baris

i & i’ = Indeks untuk baris, dari baris ke-i sampai ke-i’ j = Indeks untuk kolom

Semakin kecil jarak Euclidean antar stasiun pengamatan, maka semakin mirip karasteristik antara stasiun tersebut. Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Multivariate Statistical Package (MVSP) versi 3.1 Penyusunan Biokriteria Dengan Konsep Multimetrik

Atribut biologi/metrik yang digunakan untuk melihat tingkat gangguan ekologis di setiap lokasi sampling secara rinci telah tercantum pada Tabel 6. Penilaian kualitas biologi dari Sungai Ciliwung diprediksi dengan menggunakan indeks Stream Invertebrate Grade Number-Average level (SIGNAL), indeks biological monitoring working party (BMWP). Penghitungan dengan indeks biologi (SIGNAL dan BMWP) digunakan untuk melihat besarnya nilai toleransi dari setiap jenis larva Ephemeroptera yang ditemukan pada masing-masing stasiun pengamatan. Taksa (genus) larva Ephemeroptera yang tergolong sensitif atau toleran didasarkan pada nilai toleransi terhadap polutan (pollution tolerance value/PTV) yang secara rinci dapat dilihat dalam Lenat (1993) dan US-EPA (1999). Penghitungan indeks SIGNAL dilakukan menurut Gooderham & Tysrlin (2002) dengan menggunakan rumus:

Dengan,

ISIGNAL = Indeks SIGNAL,

(48)

Untuk menguji kekuatan diskriminasi masing-masing metrik biologi, maka pada penelitian ini mengadopsi dari metode Barbour et al. (1996). Kekuatan diskriminasi (discriminatory power) masing-masing metrik biologi dievaluasi dengan menggunakan grafik Box-Whisker Plot. Definisi dari kekuatan diskriminasi disini adalah kemampuan metrik dalam membedakan antara sungai yang berfungsi sebagai situs rujukan dengan sungai yang telah mengalami gangguan (situs uji). Tingkatan overlap antara kisaran interquartile/ IQ (persentil 25 hingga 75) pada daerah situs rujukan dengan situs uji dilakukan scoring sebagai sinyal kemampuan diskriminasi dari masing-masing metrik. Jika kisaran IQ tidak ada yang overlap antara situs rujukan dan situs uji maka diberi skor 3. Skor 2 diberikan jika IQ overlap tetapi kedua median terletak diluar dari kisaran IQ yang overlap. Skor 1 jika banyaknya IQ yang overlap tetapi paling sedikit satu median diluar kisaran IQ yang overlap. Skor 0 diberikan ketika IQ hampir keseluruan overlap atau kedua median terjadi overlap. Skor metrik 2 atau 3 menunjukkan kemampuan diskriminasi antara situs rujukan dan situs uji, dan metrik tersebut akan di analisis lebih lanjut. Penjelasan bobot scoring secara rinci dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Evaluasi sensitifitas metrik. Kotak kecil merupakan nilai median, sedangkan kotak besar merupakan kisaran IQ (persentil ke 25 hingga 75). a) tidak ada IQ yang overlap, b). IQ overlap tetapi kedua nilai median tidak ada yang overlap, c).IQ overlap dengan satu nilai median yang overlap, d). IQ sebagian besar overlap atau kedua nilai median overlap.

Pengujian variabilitas data dari situs rujukan dengan daerah uji yang sudah mengalami gangguan dilakukan dengan menggunakan analisis statistik non parametrik Mann-Whitney U-test. Pengerjaan statistik non parametrik dilakukan dengan menggunakan software STATISTICA versi 6 (Stat soft Inc.). Jika metrik biologi yang digunakan menunjukkan adanya overlap dan perbedaan tidak

signifikan pada α = 5% antara stasiun yang berfungsi sebagai situs rujukan dengan

(49)

gangguan dan bukan merupakan kandidat yang baik untuk dijadikan sebagai komponen penyusun dari indeks multimetrik.

Dari atribut biologi/metrik terpilih tersebut kemudian dilakukan tahap normalisasi guna menghasilkan sebuah Indeks Biotik Ephemeroptera Kumulatif (IBEK). Tahap normalisasi dilakukan dengan cara menghitung percentile dari setiap atribut biologi di atas. Selanjutnya dilakukan tahap scoring trisection yaitu (1, 3, 5) pada masing-masing atribut biologi di atas. Secara umum jika metrik yang diharapkan meningkat dengan adanya peningkatan gangguan/stress (contoh: % dominansi 3), maka nilai metrik terendah sampai percentile ke 25% diberi skor 5, percentile ke 25 sampai 75% diberi skor 3, sedangkan di atas skor 75 percentile diberi skor 1. Begitu juga sebaliknya, jika metrik yang diharapkan adanya penurunan dari gangguan menunjukkan ketinggian kualitas dari metrik maka skor dibalik dengan yang di atas (Barbour, 1996). Setelah melalui tahap scoring maka dilakukan penjumlahan dari lima atribut biologi ke dalam indeks tunggal atau IBEK. Jika diasumsikan sembilan metrik tersebut sensitif dalam mendeteksi tingkat gangguan ekologi pada masing-masing stasiun pengamatan, maka nilai skor yang terendah adalah delapan dan skor tertinggi adalah 40.

(50)

Tabel 6: Kandidat metrik yang digunakan untuk diskriminasi tingkat gangguan pada ekosistem sungai.

Pengelompokan

Atribut Biologi Metrik/Atribut Biologi

Respon yang Diprediksi dari Adanya Gangguan

Kekayaan taksa dan komposisi

- Jumlah kekayaan taksa Ephemeroptera

- Jumlah taksa famili

Menurun

Menurun

Toleransi/sensitive - Jumlah taksa sensitif

- Jumlah taksa toleran

- Persentase jumlah individu taksa sensitif

- Indeks BMWP - Indeks SIGNAL

Menurun Meningkat

Menurun

Menurun Menurun

Atribut populasi - % dominansi 3

- Indeks Shannon-Wiener

- % Kepadatan larva

Meningkat Menurun Meningkat

(51)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karasteristik Parameter Fisika dan Kimia Perairan Sungai Ciliwung

Parameter fisika kimia merupakan parameter-parameter penting yang dapat menujang kehidupan organisme di perairan termasuk didalamnya organisme Ephemeroptera. Nilai rataan hasil pengukuran parameter fisika kimia perairan sungai Ciliwung dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada pengukuran parameter fisika kimia perairan sugai Ciliwung beberapa parameter kualitas air menunjukan adanya peningkatan konsentrasi yang cukup tinggi, khususnya konsentrasi bahan organik atau dengan kata lain telah mendekati batas ataupun telah melewati baku mutu yang diperbolehkan dalam PP RI No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Suhu

Setiap organsime dalam suatu ekosistem memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap fluktuasi parameter fisika kimia di lingkungan perairan. Secara umum suhu merupakan salah satu parameter yang paling berpengaruh terhadap metabolisme suatu mahluk hidup baik itu organisme terestrial maupun organisme aquatik (Nontji, 1987). Pada makroinvertebrata juga terdapat faktor-faktor fisika kimia lain yang sangat berpengaruh, misalnya ketinggian lokasi dan jenis substrat. Kondisi suhu pada saat pengukuran dilapangan memiliki kisaran antara 18 oC – 29 o

C.

(52)

Gambar 9. Sebaran Suhu Perairan pada Stasiun Pengamatan

Rendahnya suhu pada stasiun I itu lebih disebabkan karena lokasi stasiun tersebut yang berada di tengah hutan dan terlindungi dari cahaya matahari serta ketinggiannya lokasinya yang mencapai 1.289 m di atas permukaan laut. Kisaran nilai suhu ini jika dibandingkan dengan PP 20 tahun 1990 golongan C yang disalin dalam Kep-MENLH no. 11 tahun 2003 tentang pedoman penetapan status mutu air maka kisaran suhu di lokasi penelitian lebih luas, dimana dalam Kep-MENLH no. 11 tahun 2003 kisaran suhu yang ditentukan untuk suhu minimum adalah 20,5 oC sedangkan suhu maksimumnya adalah 25,13 oC dengan rata-rata 22,06 oC.

Oksigen Terlarut

(53)

Gambar 10. Sebaran nilai Oksigen Terlarut Pada Stasiun Pengamatan

Sebaran nilai oksigen terlarut di sungai Ciliwung umumnya masih mendukung kehidupan Ephemeroptera di perairan. Nilai oksigen terlarut bervariasi menurut stasiunnya, dimana pada stasiun I nilai DO terbilang cukup tinggi, hal ini disebabkan karena pada stasiun I kondisi perairan yang memiliki kecepatan arus tinggi. Selain itu rendahnya bahan organik pada stasiun tersebut juga memberikan pengaruh nyata terhadap tingginya oksigen terlarut. Pada stasiun II dan III kondisi oksigen terlarutnya relatif sama sedangkan pada stasiun IV memiliki kadar oksigen terlarut yang paling rendah, hal ini disebabkan kondisi kecepatan arus yang relatif lambat dan kandungan bahan organik yang semakin tinggi.

Kekeruhan

(54)

Gambar 11. Sebaran Nilai Kekeruhan Pada Stasiun Pengamatan

Pada stasiun I nilai kekeruhan adalah 3,87 NTU – 5,02 NTU; Stasiun II nilai kekeruhannya adalah 12,72 NTU – 15,60 NTU; stasiun III 24,32 NTU – 26,72 NTU; stasiun IV 28,60 NTU – 34,72 NTU. Sebaran nilai kekeruhan di setiap stasiun pengamatan tersebut mengalami peningkatan konsentrasi sebagai akibat banyaknya gangguan pada masing-masing stasiun, dimana pada stasiun I (situs rujukan) memiliki konsentrasi kekeruhan yang sangat rendah dan konsentrasi ini terus mengalami peningkatan pada stasiun-stasiun lain dibawahnya. Stasiun IV (Cibinong) merupakan stasiun yang memiliki kekeruhan paling tinggi, hal ini disebabkan pada stasiun IV banyak mendapatkan masukan sedimentasi dari proyek-proyek pembangunan ruko, pemukiman penduduk dan inustri di bagian tepi sungai.

Derajad Keasaman (pH)

(55)

sumber-sumber asam dari luar perairan seperti gunung berapi dan limbah dari industri. Nilai pH yang berhasil diukur selama penelitian menunjukan kisaran yang tidak begitu bervariasi seperti terlihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Sebaran Nilai Derajad Keasaman (pH) Stasiun Pengamatan

Dari Gambar 12. dapat diketahui bahwa nilai pH pada stasiun I berkisar antara 6,5 – 7; stasiun II berkisar antara 6 – 6,5; stasiun III berkisar antara 6 – 6,5; stasiun IV berkisar antara 6 – 7,6. Dari nilai pH tersebut bila dibandingkan dengan persyaratan baku mutu untuk golongan I, II, III dan IV dalam PP RI No. 82 tahun 2001 maka kisaran nilai pH pada masing-masing stasiun pengamatan masih memenuhi kriteria untuk masing golongan diatas. Selain itu menurut Jacobus & McCafferty (2006) bahwa nilai keasaman perairan mencapai 7,3 masih mendukung untuk kehidupan famili Baetidae di perairan.

Chemical Oxigen Demand (COD)

(56)

Pada Gambar 13 dapat diketahui bahwa nilai COD selama pengamatan mengalami fluktuasi yang cukup besar dimana nilai COD stasiun I berkisar antara 4,04 mg/l – 5,23 mg/l; stasiun II 14,37 mg/l – 16,34 mlg/l; stasiun III berkisar antara 15,53 mg/l – 20,31; stasiun IV berkisar antara 30,27 mlg/l – 51,36 mg/l. sebaran nilai-nilai tersebut apabila dibandingkan dengan PP RI No. 82 tahun 2001 maka nilai COD untuk stasiun I memiliki nilai COD paling bagus dan pada stasiun IV merupakan stasiun dengan nilai COD paling buruk. Nilai COD pada stasiun I masih memenuhi criteria untuk air minum (Kelas I); untuk stasiun II, stasiun III dan stasiun IV tidak lagi memenuhi kriteria untuk air munum (kelas I) melainkan hanya untuk pemanfaatan sumberdaya air kelas II (Bahan baku air minum) dan kelas III (untuk pariwisata) Namun semua nilai COD pada masing-masing stasiun tersebut masih layak untuk kegiatan perikanan dan pertanian (golongan IV).

Gambar 13. Sebaran Nilai COD pada Stasiun Pengamatan

Gambar

Gambar 4. Metamorfosis Tidak Lengkap Pada Ephemeroptera
Gambar 5. Diagram alir Penelitian
Gambar 6. Lokasi pengambilan sampel di Sungai Ciliwung
Gambar 7.  Sketsa Surber (Manan, 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman siswa pada materi luas. bidang

tinggi.Seorang yg memiliki kreativitas dan jiwa inovator tentu berfikir untuk mencari dan menciptakan peluang yg baru agar lebih baik dari sebelumnya...

Adapun aspek yang dievaluasi oleh para siswa adalah aspek materi, bahasa, ilustrasi dan sikap dengan nilai rata-rata untuk masing-masing evaluasi adalah, 3,9 ; 3,97 ;

Dari pengukuran DO pada setiap stasiun penelitian di Perairan Pelabuhan Benteng dengan nilai DO berkisar antara 7,29-7,72 mg/L dapat diketahui bahwa kadar DO perairan pelabuhan

[r]

berkilauan bermain dengan sosok mu yang naif), mengandung makna wanita bermain sendirian dengan air ombak yang terhempas.. Matahari oranye), mengandung makna matahari

8-10 Mampu mengaplikasikan desain multimedia melalui software Adobe After Effect Komputer Multimedia software Adobe After Effect ceramah dan diskusi Mampu Merancang Digital