• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontinuitas Ketersediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Kayu Rakyat (Studi Kasus di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung Kabupaten Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kontinuitas Ketersediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Kayu Rakyat (Studi Kasus di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung Kabupaten Bogor)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

KONTINUITAS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU INDUSTRI

PENGOLAHAN KAYU RAKYAT

(Studi Kasus di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung

Kabupaten Bogor)

MENTARI MEDINAWATI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kontinuitas Ketersediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Kayu Rakyat (Studi Kasus di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung Kabupaten Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Mentari Medinawati

(4)

ABSTRAK

MENTARI MEDINAWATI. Kontinuitas Ketersediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Kayu Rakyat (Studi Kasus di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh HARDJANTO.

Berkembangnya hutan rakyat di Indonesia mendorong para pengusaha untuk mengembangkan usaha pengolahan kayu rakyat yaitu usaha penggergajian kayu, termasuk di Kabupaten Bogor. Studi kasus pada industri di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung menunjukkan industri penggergajian kayu rakyat umumnya tergolong dalam industri kecil sehingga sering mengalami kesulitan keuangan untuk membeli bahan baku kayu. Hal tersebut mengakibatkan industri tidak beroperasi selama beberapa bulan dalam 1 tahun. Semakin meningkatnya permintaan akan kayu gergajian menuntut industri untuk memenuhi kebutuhan baku yang diperoleh tidak hanya dari hutan rakyat sekitar, namun juga dari luar Kabupaten Bogor. Selama 2 tahun ke depan, hutan rakyat di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri sehingga industri tetap harus memasok bahan baku dari daerah lain agar produksi kayu gergajian tetap berlangsung.

Kata kunci: industri pengolahan kayu, bahan baku, hutan rakyat

ABSTRACT

MENTARI MEDINAWATI. Continuity of Raw Materials Availability of Private Owned Timber Processing Industry (Case Study in Leuwisadeng and Nanggung Sub-District, Bogor Regency). Supervised by HARDJANTO.

The development of private forest in Indonesia encourages entrepreneurs to develop timber processing business such as sawmill, including in Bogor Regency. Case study in Leuwisadeng and Nanggung Sub-District showed private owned timber processing industries are generally classified into a small industry that often having financial difficulty to buy raw materials. This resulted the industry cannot operate for several months in a year. The increasing demand of sawn timber has made industries to fulfill needs of raw material which is obtained not only from private forest around, but also from other areas outside Bogor Regency. For the next two years, private forest in Leuwisadeng and Nanggung Sub-District is unable to fulfill needs of industrial raw materials so that the industry still had to supply raw materials from other areas in order to continue the production of sawn timber.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Manajemen Hutan

KONTINUITAS KETERSEDIAAN BAHAN BAKU INDUSTRI

PENGOLAHAN KAYU RAKYAT

(Studi Kasus di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung

Kabupaten Bogor)

MENTARI MEDINAWATi

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Kontinuitas Ketersediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Kayu Rakyat (Studi Kasus di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung Kabupaten Bogor) berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Hardjanto, MS yang telah banyak memberi saran dan bimbingan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Edi Warman dari Desa Sadeng, Bapak Amir Hamzah dari Desa Sibanteng, Bapak Uju Juanda dari Desa Cisarua, Ibu Dedeh dari Desa Batutulis, serta teman-teman (Maulida Oktaviarini, Deny Putri Jana, Indah Tri Riantika, dan Syarifa Nurfadilah) yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua, kakak, dan adik-adik atas segala doa dan kasih sayangnya. Kepada teman-teman asrama TPB, Manajemen Hutan 47, dan seluruh anggota Rimpala khususnya R-XV (Mentari Purwakasiwi, Galuh Ajeng Septaria, Fajar Alif Sampangestu, Anxious Yoga Perdana, Puspa Diva Nur Aqmarina, Nurani Hardikananda, Nursinta Arifiani Rosdiana, Iqbal Nizar Arafat, Fitri Maharani, dan Anggi Gustiani) penulis sampaikan pula terima kasih atas motivasi dan kebersamaan yang telah diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

METODE 3

Alat 3

Pengolahan dan Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Karakteristik Industri 5

Analisis Kontinuitas dan Dinamika Ketersediaan Bahan Baku Industri 8 Analisis Kontribusi Hutan Rakyat Terdekat terhadap Pemenuhan Bahan Baku

Industri 17

SIMPULAN DAN SARAN 18

Simpulan 18

Saran 19

DAFTAR PUSTAKA 19

(10)

DAFTAR TABEL

1 Profil industri penggergajian (sawmill) 6

2 Produk kayu gergajian 7

3 Kebutuhan bahan baku industri dalam lima tahun terakhir 10 4 Jumlah responden menurut luas kelola hutan rakyat 13 5 Persentase responden berdasarkan jumlah jenis pohon yang ditanam 13

6 Jumlah pohon berdasarkan kelas diameter 14

DAFTAR GAMBAR

1 Kondisi industri pengolahan kayu rakyat 8

2 Grafik kebutuhan total bahan baku industri dalam lima tahun terakhir 9 3 Grafik dinamika kebutuhan bahan baku tahun 2013-1014 11 4 Diagram sebaran jumlah bahan baku berdasarkan wilayah asalnya 12 5 Grafik jumlah total pohon berdasarkan kelas diameter 15

6 Grafik volume pohon berdasarkan status lahan 16

7 Grafik perbandingan potensi standing stock dengan kebutuhan bahan

baku industri total 18

DAFTAR LAMPIRAN

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Semakin menurunnya kemampuan hutan alam untuk menghasilkan kayu menuntut adanya solusi melalui subtitusi pasokan kayu dengan menggunakan kayu yang berasal dari hutan rakyat. Kondisi ini kemudian dilihat sebagai peluang untuk mengembangkan usaha hasil hutan rakyat termasuk di Kabupaten Bogor yang memiliki luas hutan rakyat sebesar 139 087.12 ha (Sulaeli 2009, Kementrian Kehutanan 2013). Jumlah industri hasil hutan di Kabupaten Bogor pada tingkat kecil dan menengah terus meningkat setiap tahunnya. Pendataan terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor pada tahun 2013 jumlah industri pengolahan hasil hutan yaitu 121 unit pada tingkat menengah dan 202 unit pada tingkat industri kecil. Salah satu jenis industri yang berkembang tersebut diantaranya merupakan industri pengolahan kayu rakyat.

Usaha industri pengolahan kayu merupakan salah satu langkah strategis yang secara langsung ditujukan pada perluasan akses masyarakat dalam upaya pembangunan ekonomi kerakyatan (Ramli 2003). Darusman dan Hardjanto (2006) menyatakan bahwa industri pengolahan kayu rakyat saat ini masih terbatas pada industri primer atau industri penggergajian (sawmill). Pendataan dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor tahun 2008 menunjukkan terdapat sebanyak 146 unit industri primer hasil hutan berupa industri penggergajian. Industri yang berkembang ini tentunya diharapkan mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar.

Berdasarkan penelitian Rusmawan (1993) dalam Rufaidah (2009) industri pengolahan kayu rakyat tergolong dalam industri kecil. Industri kecil pada umumnya memiliki ciri-ciri: (1) pola kegiatan yang tidak teratur baik dari segi waktu, pemodalan, dan penerimaan; (2) kurang tersentuhnya peraturan pemerintah; (3) modal peralatan, perlengkapan, dan pendapatan umumnya kecil; (4) umumnya dilakukan oleh masyarakat pedesaan yang berpendapatan rendah; (5) tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus; (6) jumlah tenaga kerja yang sedikit dan umumnya berasal dari keluarga; (7) tidak mengenal sistem perbankan.

Ciri-ciri di atas menunjukkan kecenderungan industri pengolahan kayu rakyat belum mencapai pengelolaan yang baik untuk sebuah unit produksi sehingga dapat menimbulkan peluang munculnya permasalahan. Industri kayu rakyat memiliki beberapa masalah diantaranya yaitu ketersediaan bahan baku (Rufaidah 2009). Bahan baku adalah barang-barang berwujud yang merupakan faktor produksi penting yang dapat diperoleh dari alam atau dibeli dari supplier (Assauri 1978 dalam Sudirman 2001). Oleh karena itu, kontinuitas ketersediaan bahan baku sangat perlu diperhatikan.

(12)

2

pengolahan kayu di Sumatera Utara menunjukkan bahwa industri penggergajian harus mendatangkan bahan baku kayu bulat dari wilayah lain untuk menutupi kekurangan kebutuhan bahan baku dari wilayah setempat.

Industri penggergajian kayu rakyat menggunakan bahan baku kayu bulat yang berasal dari hutan dengan pengelolaan yang umumnya dilakukan oleh masyarakat secara individual (rumah tangga). Teknik pengelolaan yang diterapkan tergolong masih tradisional, yaitu cenderung dilakukan secara sederhana dan sekehendak petani pemilik atau penggarapnya. Petani umumnya menanam lebih dari satu jenis pohon dan bahkan digabung dengan tanaman lain yang lebih cepat menghasilkan keuntungan. Kayu sebagai komoditi hasil hutan rakyat masih menempati urutan yang kurang penting dibandingkan dengan jenis komoditi lainnya oleh sebagian besar petani (Hardjanto 2000). Sebagian besar petani masih berpikir keuntungan ekonomi jangka pendek. Selain itu, semakin diperlukannya tambahan pendapatan akan menyebabkan pemanenan yang berlebihan pada umur tebang dini (Lastini 2012).

Informasi mengenai ketersediaan bahan baku industri sangat diperlukan karena merupakan faktor yang mempengaruhi keberlanjutan industri mengingat peran industri pengolahan kayu rakyat sebagai salah satu kontributor perkembangan ekonomi daerah. Rufaidah (2009) menyatakan bahwa industri kayu berfungsi untuk meningkatkan nilai kayu serta dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat.

Perumusan Masalah

Pada Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung Kabupaten Bogor cukup banyak dijumpai industri penggergajian di pinggir jalan sepanjang jalan raya Bogor-Banten. Namun jika diperhatikan lebih seksama, terdapat beberapa industri yang tidak beroperasi. Berdasarkan penelitian Sulaeli (2009) menunjukkan bahwa terdapat 4 faktor yang mempengaruhi efektivitas pengelolaan industri penggergajian kayu rakyat di Kabupaten Bogor yaitu perizinan usaha, ketersediaan bahan baku, produksi dan operasi industri, serta sumberdaya manusia. Hal tersebut menimbulkan beberapa dugaan mengenai penyebab tidak beroperasinya industri dan pada penelitian ini analisis permasalahan ditujukan pada ketersediaan bahan baku.

Kecenderungan pengelolaan industri kecil yang kurang baik serta pengelolaan dan budidaya hutan rakyat yang sederhana dan dilakukan sekehendak petani dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap bahan baku industri pengolahan kayu rakyat. Menurut Lastini (2012), salah satu permasalahan dalam pengusahaan hutan rakyat adalah tidak adanya jaminan pasokan kayu bagi industri. Oleh sebab itu, dilakukan penelitian terhadap industri penggergajian kayu rakyat yang sedang beroperasi untuk menjawab beberapa pertanyaan yang menjadi masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana kontinuitas dan dinamika ketersediaan bahan baku pada industri pengolahan kayu rakyat di Kecamatan Leuwisadeng dan Kecamatan Nanggung?

(13)

3 3. Bagaimana kontribusi hutan rakyat terdekat terhadap penyediaan bahan baku industri pengolahan kayu rakyat di Kecamatan Leuwisadeng dan Kecamatan Nanggung?

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mengetahui kontinuitas dan dinamika ketersediaan bahan baku pada industri pengolahan kayu rakyat di Kecamatan Leuwisadeng dan Kecamatan Nanggung

2. Mengetahui asal bahan baku pada industri pengolahan kayu rakyat di Kecamatan Leuwisadeng dan Kecamatan Nanggung

3. Mengetahui kontribusi hutan rakyat terdekat terhadap penyediaan bahan baku industri pengolahan kayu rakyat di Kecamatan Leuwisadeng dan Kecamatan Nanggung.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Batutulis dan Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung serta Desa Sibanteng dan Desa Sadeng, Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pengambilan data di lapangan dilakukan pada bulan Juli-November 2014.

Alat

Alat yang digunakan di lapangan dalam penelitian ini yaitu kuesioner sebagai panduan wawancara disertai alat tulis dan alat rekam untuk wawancara, pita ukur, dan tally sheet untuk pengukuran volume pohon, serta kamera untuk keperluan dokumentasi.

Jenis Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer dihimpun melalui wawancara langsung di lapangan kepada pemilik atau tenaga kerja pada industri pengolahan kayu rakyat dan petani hutan rakyat serta pengukuran langsung potensi hutan rakyat yang dikelola petani. Data primer yang dihimpun terdiri atas:

1. Karakteristik industri pengolahan kayu rakyat yang meliputi:

 Identitas perusahaan, meliputi nama pemilik, tahun berdiri, investasi (jenis dan jumlah mesin yang dimiliki), dan kapasitas produksi

(14)

4

 Produk, meliputi jenis dan ukuran produk yang dihasilkan. 2. Karakteristik dan potensi hutan rakyat yang meliputi:

 Luas hutan rakyat yang dimiliki oleh responden

 Jenis pohon yang ditanam

 Jumlah pohon yang ditanam

 Umur tanaman

 Diameter pohon

 Tinggi bebas cabang.

Data sekunder yang digunakan yaitu data luas lahan kering Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung yang diperoleh dari masing-masing kantor kecamatan.

Metode Pengumpulan Data Industri Pengolahan Kayu Rakyat

Pemilihan industri sebagai responden dilakukan dengan teknik purposive sampling, dengan pertimbangan bahwa responden yang dipilih merupakan industri yang telah berdiri selama minimal 5 tahun dan masih beroperasi sampai saat ini. Jumlah responden industri yaitu sebanyak 6 industri dengan pembagian 4 industri pada Kecamatan Leuwisadeng dan 2 industri pada Kecamatan Nanggung. Teknik wawancara pada industri dilakukan dengan menggunakan metode

recalling.

Lokasi Hutan Rakyat

Hutan rakyat yang dipilih sebagai lokasi penelitian ditentukan menggunakan metode purposive sampling melalui survei pendahuluan. Contoh desa diperoleh berdasarkan faktor tenaga, waktu, dan biaya yang tersedia serta kemudahan akses ke lokasi dengan mempertimbangkan potensi hutan rakyat yang ada di wilayah tersebut, sehingga diperoleh 4 desa untuk dua kecamatan.

Petani Hutan Rakyat

Penentuan responden petani hutan rakyat dilakukan secara snowball sampling. Jumlah responden petani hutan rakyat yaitu sebanyak 60 orang dengan pembagian 15 orang pada masing-masing desa.

Pendugaan Potensi Hutan Rakyat

Potensi hutan rakyat diketahui dengan melakukan wawancara dengan masing-masing petani mengenai jenis, jumlah, serta umur pohon yang ditanam serta inventarisasi untuk mengetahui volume pada jenis pohon cepat tumbuh pada masing-masing hutan rakyat yang dimiliki oleh petani contoh. Inventarisasi potensi dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut.

a. Pengambilan contoh tegakan dengan plot ukur lingkaran seluas 0,1 ha dengan jari-jari 17,8 meter pada petani yang memiliki lahan ≥0,1 Ha

(15)

5 Pengolahan dan Analisis Data

Analisis Kontinuitas dan Dinamika Ketersediaan Bahan Baku Industri Pengolahan Kayu Rakyat

Kontinuitas ketersediaan bahan baku industri di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung dalam lima tahun terakhir diketahui melalui data jumlah kebutuhan bahan baku seluruh industri contoh yang terpenuhi (m3/tahun) yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Dinamika ketersediaan bahan baku dari masing-masing industri diketahui melalui data jumlah bahan baku yang terpenuhi setiap bulannya (m3/bulan) yang disajikan dalam bentuk grafik.

Data kebutuhan bahan baku tahunan yang disajikan merupakan data yang dihimpun dari bulan September sampai bulan Agustus pada tahun berikutnya. Hal ini dilakukan karena pengumpulan data industri di lapangan dilakukan pada bulan Agustus 2014.

Pendugaan Potensi Hutan Rakyat

Potensi total hutan rakyat disajikan dalam bentuk tabel dilakukan dengan melakukan taksiran potensi (volume kayu dan jumlah pohon) untuk mengetahui kondisi hutan rakyat di masing-masing kecamatan. Penghitungan volume dilakukan pada jenis pohon yang mendominasi yaitu sengon (Falcataria moluccana). Volume diperoleh dengan menggunakan tabel volume lokal sengon (Falcataria moluccana) di wilayah Bogor, Jawa Barat yang disusun oleh Bustomi

et al. (2002).

Analisis Kontribusi Hutan Rakyat Terdekat terhadap Pemenuhan Bahan Baku Industri Pengolahan Kayu Rakyat

Gambaran besarnya kontribusi hutan rakyat terdekat diketahui melalui perbandingan antara volume bahan baku per tahun yang akan dipasok dari hutan rakyat terdekat (m3/tahun) dengan kebutuhan rata-rata seluruh industri per tahun (m3/tahun). Data pasokan bahan baku merupakan data potensi kayu saat ini pada Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung. Data disajikan dalam bentuk grafik kesinambungan bahan baku.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Industri

Industri pengolahan kayu rakyat yang menjadi contoh dalam penelitian ini seluruhnya merupakan industri penggergajian (sawmill) yang telah beroperasi selama minimal lima tahun terakhir. Industri-industri ini berdiri antara tahun 1980–2008. Profil industri contoh dapat dilihat pada Tabel 1.

(16)

6

kerja. Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa industri penggergajian termasuk dalam industri kecil dan menengah.

Data yang diperoleh pada Tabel 1 menunjukan bahwa semakin banyak jumlah mesin gergaji yang dimiliki, semakin banyak pula kebutuhan bahan baku untuk diolah menjadi produk. Jenis mesin yang dimiliki seluruh industri yaitu mesin gergaji pita, sesuai dengan yang diungkapkan Djajapertjunda dan Djamhuri (2013) bahwa ciri industri penggergajian kayu rakyat yaitu hanya memiliki satu jenis mesin gergaji. Kapasitas produksi yang dihasilkan dengan menggunakan mesin gergaji pita pada masing-masing industri berkisar antara 7–11 m3/mesin/hari. Kapasitas merupakan kemampuan suatu pabrik atau industri untuk memproduksi atau mengolah suatu barang (input) menjadi barang baru (output) yang nilainya mencirikan besar atau kecilnya suatu pabrik dan tingkat efisiensi (Rachman dan Malik 2011). Jika terdapat lebih dari 1 mesin gergaji pita, maka semakin banyak pula volume kayu yang dapat dikerjakan menjadi kayu pertukangan berupa papan, balok, kaso, galar, dan palet kayu.

Hampir seluruh industri (Sinar Alam, Dalfa Kamila, Putera Mandiri, RND, dan Jaya Mandiri) memperoleh bahan baku dengan cara membeli dari tengkulak, sedangkan industri Sinar lestari memperoleh bahan baku dengan membeli langsung ke kebun petani. Pembelian bahan baku dari tengkulak dianggap lebih memudahkan karena pihak industri tidak perlu turun langsung ke kebun yang umumnya berjarak cukup jauh dari jalan raya. Penelitian Oktaviarini (2014) mengungkapkan bahwa industri lebih memilih membeli bahan baku dari tengkulak karena lebih efisien dan tidak membuang-buang waktu.

Tabel 1 Profil industri penggergajian (sawmill)

(17)

7 Tabel 2 Produk kayu gergajian

No Produk Ukuran

1 Papan 2cm x 20cm x 4m

2cm x 20cm x 3m

2 Kaso 4cm x 6cm x 4m

4cm x 6cm x 3m

3 Balok 6cm x 12cm x 4m

6cm x 12cm x 3m

4 Galar 5cm x 10cm x 4m

5cm x 10cm x 3m

5 Kayu palet 2cm x 10cm x 1,1m

4cm x 10cm x 1m

6 Kayu bakar -

Sumber: data primer

Harga jual produk kayu berkisar antara Rp 700 000–Rp 1 000 000/m3 dengan harga beli berkisar antara Rp 500 000–650 000/m3. Harga jual produk kayu merahan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan kayu putihan yaitu berkisar antara Rp 1 000 000–2 000 000/m3.Bahan baku untuk produk tersebut dibeli dengan kisaran yang dapat mencapai Rp 1 000 000/m3. Berdasarkan pengamatan Bramasto (2010) kayu buah-buahan memiliki kualitas yang lebih baik karena memiliki diameter kayu teras yang cukup besar. Produk kayu bakar yang dijual yaitu kayu-kayu sisa (limbah) produksi yang umumnya dijual per mobil

pick up seharga Rp 100 000.

Pada industri yang memiliki 2 atau lebih mesin gergaji biasanya lebih banyak menjual produknya dalam jumlah besar untuk proyek bangunan di sekitar jabodetabek. Industri yang hanya memiliki 1 mesin gergaji menghasilkan jumlah produk yang lebih sedikit sehingga penjualan hanya dilakukan di sekitar Bogor melalui perantara yang kemudian akan menjual kembali produk tersebut ke matrial. Disamping itu, seluruh industri ini juga melayani pembelian produk secara satuan (per lembar) untuk warga sekitar yang biasanya membutuhkan kayu bangunan dalam jumlah kecil.

(18)

8

(a) (b)

(c)

Gambar 1 Kondisi industri pengolahan kayu rakyat. (a) Lokasi industri (b) Stok bahan baku (c) Proses pengolahan kayu

Analisis Kontinuitas dan Dinamika Ketersediaan Bahan Baku Industri Keberlangsungan operasi dari suatu industri dipengaruhi oleh kontinuitas ketersediaan bahan baku. Candy dan Pamungkas (2013) mengungkapkan keberlangsungan suatu unit aktifitas baik ekonomi maupun sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bahan baku lokal, permintaan lokal, bahan baku yang dapat dipindahkan, dan permintaan luar. Sehingga dapat dikatakan bahan baku dan permintaan saling mempengaruhi dan semakin besar permintaan produk kayu, semakin besar pula bahan baku yang dibutuhkan suatu industri.

(19)

9

Gambar 2 Grafik kebutuhan total bahan baku industri dalam lima tahun terakhir Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa industri penggergajian terus beroperasi. Hal tersebut ditunjukkan oleh garis kontinyu pada grafik yang berarti bahan baku yang dibutuhkan selama lima tahun terakhir tetap tersedia. Grafik tersebut juga menunjukkan bahwa kebutuhan bahan baku total seluruh industri di Kecamatan Nanggung dan Leuwisadeng meningkat drastis antara tahun 2009– 2012. Kebutuhan bahan baku kemudian cukup stabil mulai tahun 2012–2014. Meningkatnya grafik antara tahun 2009–2014 disebabkan oleh beberapa industri yang menambah jumlah mesin gergajinya sehingga bahan baku yang dibutuhkan juga bertambah.

Jumlah kebutuhan bahan baku masing-masing industri dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar industri terus mengalami peningkatan jumlah bahan baku sampai tahun 2013 seiring dengan bertambahnya jumlah mesin gergaji. Kemudian dapat diketahui pula bahwa industri Sinar Alam merupakan penyumbang terbesar dalam kebutuhan bahan baku total seluruh industri. Pada tahun 2009–2010 Sinar Alam masih memiliki 2 mesin gergaji pita dengan kebutuhan rata-rata 19 m3/hari. Sinar Alam kemudian menambah jumlah mesin gergaji pada pertengahan tahun 2010 menjadi 6 sehingga kebutuhan bahan bakunya menjadi 38 m3/hari. Pada tahun 2011, Sinar Alam sudah memiliki mesin gergaji sebanyak 6 buah sehingga jumlah kebutuhan bakunya semakin bertambah menjadi 58 m3/hari.

Industri RND menjadi industri dengan kebutuhan terbesar kedua setelah Sinar Alam. Pada tahun 2009, RND masih memiliki 1 buah mesin gergaji dengan kebutuhan bahan baku sebesar 11 m3/hari. Kemudian RND menambah jumlah mesinnya selama 2 tahun berturut-turut sebanyak 1 mesin per tahunnya. Hingga saat ini, kebutuhan bahan baku RND yaitu sebanyak 33 m3/hari.

Jumlah kebutuhan bahan baku cukup fluktuatif pada industri Putera Mandiri. Pada tahun 2009–2011 Putera Mandiri masih memiliki 1 buah mesin gergaji dengan kebutuhan bahan baku 10 m3/hari. Putera Mandiri menambah mesin gergajinya sebanyak 1 buah pada pertengahan tahun 2011 sehingga kebutuhan bahan baku menjadi 20 m3/hari.

Industri Dalfa Kamila mengalami penurunan bahan baku hingga 50% antara tahun 2009–2010. Dalfa Kamila mengalami hal tersebut karena pengurangan

(20)

10

mesin gergaji yang disebabkan oleh adanya masalah internal dalam pengelolaan industri.

Tabel 3 Kebutuhan bahan baku industri dalam lima tahun terakhir

No Industri

Kebutuhan bahan baku tahunan (m3) 2009-tahun terakhir. Kebutuhan bahan baku industri Sinar Alam cenderung stabil setiap bulannya. Sinar Alam hanya mengalami penurunan produksi saat bulan-bulan hari raya Idul Fitri. Hal tersebut umumnya juga terjadi pada industri-industri lain karena industri biasanya meliburkan pegawainya sekitar 2 minggu saat hari raya tiba.

Pada tahun 2014 Putera Mandiri mengalami kesulitan ekonomi yang disebabkan tidak adanya order atau permintaan kayu. Hal tersebut mengakibatkan industri tutup selama 2 bulan dari Mei-Juni. Selain itu, Putera mandiri biasa menutup industrinya selama 2 bulan dalam 1 tahun saat bulan-bulan sekitar hari raya idul fitri. Hal tersebut dilakukan karena sedikitnya permintaan menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri sehingga uang yang dihasilkan tidak sebanyak biaya yang dikeluarkan. Namun pada tahun 2014 total Putera Mandiri tidak beroperasi yaitu 3 bulan karena industri mulai tutup dari bulan Mei. Industri kembali beroperasi pada minggu kedua bulan Agustus. Kesulitan keuangan tersebut juga terjadi pada industri Jaya Mandiri yang tidak beroperasi selama 6 bulan pada tahun 2014 yaitu pada bulan Januari-Juni. Jaya Mandiri baru beroperasi lagi pada bulan Juli dengan kebutuhan bahan baku per bulannya lebih sedikit dari biasanya.

Faktor yang mempengaruhi jumlah terpenuhinya kebutuhan bahan baku secara signifikan yaitu keuangan. Masalah keuangan seringkali menjadi penghambat bagi industri saat akan membeli bahan baku. Beberapa industri menjual produknya dengan cara memberikan utang kepada pembeli yang merupakan penjual perantara yang akan menjual kembali produk industri ke matrial. Sistem utang tersebut tidak memiliki jangka waktu pembayaran karena para pembeli biasanya merupakan pelanggan tetap dan sudah dikenal oleh pengelola industri. Tidak adanya jangka waktu pembayaran yang ditetapkan seringkali menyebabkan industri tidak mampu membeli bahan baku karena kehabisan modal. Walker (2006) dalam Nadeak (2009) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi perancangan penggergajian yaitu:

(21)

11 2. Permintaan pasar yang berkaitan dengan jenis, kualitas, dan jumlah produksi 3. Lokasi, pilihan lokasi paling baik dibangun dekat dengan sumber bahan baku

dimana hal ini akan mengurangi biaya pengangkutan

4. Modal, modal akan membatasi rancangan sebuah penggergajian berkaitan dengan kapasitas penggergajian, jenis gergaji yang dipakai, tingkat otomatisasi peralatan dan kelengkapan lainnya yang secara langsung akan mempengaruhi efisiensi penggergajian ini.

Faktor penentu lain dari keberlanjutan produksi industri yaitu cuaca. Pada industri yang memperoleh bahan baku dengan cara membeli pohon langsung ke kebun seperti Sinar Lestari, cuaca akan menjadi penghambat saat mulai memasuki musim hujan. Biasanya dalam 1 tahun Sinar Lestari akan tidak beroperasi sekitar 1 bulan selama musim hujan.

Gambar 3 Grafik dinamika kebutuhan bahan baku tahun 2013-1014

Dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku, industri penggergajian memperoleh pasokan dari berbagai daerah. Kebutuhan bahan baku industri berdasarkan wilayah asal bahan baku dapat dilihat pada Gambar 4.

Diagram pada Gambar 4 menunjukkan persentase pemenuhan kebutuhan bahan baku tahun 2013–2014 pada seluruh industri contoh di masing-masing kecamatan. Dapat diketahui pula bahwa selama 1 tahun terakhir hutan rakyat terdekat dalam masing-masing kecamatan merupakan pemasok bahan baku terkecil dari total kebutuhan, sedangkan pasokan bahan baku terbesar berasal dari luar Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil wawancara, kondisi ini terus terjadi setiap tahunnya.

Bahan baku kayu bulat yang berasal dari luar kecamatan dan luar Kabupaten Bogor seluruhnya diperoleh melalui tengkulak. Kayu-kayu bulat tersebut umumnya berasal dari hutan rakyat di Provinsi Banten. Penelitian Oktaviarini (2014) mengungkapkan bahwa industri penggergajian di Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga memperoleh bahan baku dari daerah lain selain Bogor, yaitu Banten, Ciamis, Tasik, dan Palembang. Menurut pengakuan responden, pemenuhan bahan baku dengan kayu bulat yang berasal dari luar Bogor dilakukan karena pasokan kayu dari dalam kecamatan sangat sedikit dan tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan bahan baku.

(22)

12

Presentase pasokan bahan baku dari luar Kabupaten Bogor pada industri di Kecamatan Leuwisadeng lebih besar dibandingkan dengan Kecamatan Nanggung. Pada Kecamatan Leuwisadeng, sebanyak 5 industri memperoleh bahan baku dari tengkulak yang membawa sebagian besar kayu bulat dari hutan rakyat Banten. Sedangkan 1 industri lainnya (Sinar Lestari) memperoleh seluruh bahan baku dari dalam Kecamatan Leuwisadeng. Industri tersebut merupakan industri yang membeli bahan bakunya langsung ke kebun petani. Pada Kecamatan Nanggung, industri RND juga memiliki bahan baku yang seluruhnya berasal dari tengkulak, sedangkan bahan baku pada industri Jaya Mandiri seluruhnya berasal dari dalam Kecamatan Nanggung. Bahan baku yang diperoleh industri Jaya Mandiri berasal dari tengkulak yang membawa kayu bulat dari hutan rakyat dalam Kecamatan Nanggung.

(a) (b)

Gambar 4 Diagram sebaran jumlah bahan baku berdasarkan wilayah asalnya. (a) Kecamatan Leuwisadeng (b) Kecamatan Nanggung

Potensi Hutan Rakyat

Greeneconomics (2004) menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri primer hasil hutan, harus diperhatikan kemampuan daya dukung hutan secara lestari. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui potensi hutan rakyat saat ini di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung. Hutan rakyat umumnya berada pada lahan-lahan kering seperti sawah, pekarangan, kebun, talun, serta ladang/tegakan (LP IPB 1990 dalam Hardjanto 2000). Pada Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung, hutan rakyat cenderung berada pada 1 hamparan luas dengan kepemilikan lahan terbagi-bagi.

Berdasarkan data monografi dari masing-masing kecamatan, Kecamatan Leuwisadeng memiliki luas lahan kering sebesar 1.095 ha atau 33,4% dari luas wilayah dan Kecamatan Nanggung memiliki luas lahan kering sebesar 3728 ha atau 27,6% dari luas wilayah. Seluruh responden dalam penelitian ini mengusahakan hutan rakyatnya pada jenis lahan berupa kebun atau tegalan. Besar luasan lahan yang dikelola oleh responden Kecamatan Leuwisadeng dan Kecamatan Nanggung untuk pengusahaan hutan rakyat dapat dilihat pada Tabel 4.

(23)

13 Rata-rata responden mengelola hutan rakyat seluas 0,425 ha. Sebagian besar lahan yang dikelola yaitu seluas 0,1–0,2 ha. Responden di Leuwisadeng lebih banyak mengelola lahan dengan luas di atas 0,5 ha dan sebagian besar masyarakat Nanggung mengelola lahan pada kisaran luasan 0,1–0,2 ha. Seluruh lahan yang dikelola tersebut tidak semuanya merupakan lahan milik pribadi responden yang umumnya terletak jauh dari tempat tinggal. Di Kecamatan Nanggung, sebanyak 13 responden mengelola lahan hak guna usaha (HGU) yang sampai akhir Desember 2013 merupakan areal konsesi PT. Hevea Indonesia (Hevindo).

Berdasarkan penjelasan salah satu warga Kecamatan Nanggung, lahan HGU PT. Hevindo mulai dikelola oleh beberapa masyarakat sejak tahun 1997 karena desakan ekonomi dan peluang lahan PT. Hevindo yang dianggap terlantar. Hal tersebut sempat menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan. Sampai saat ini sebanyak kurang lebih 100 petani mengelola lahan HGU seluas 310 ha tersebut.

Tabel 4 Jumlah responden menurut luas kelola hutan rakyat

No Kecamatan Desa

Lahan yang dikelola oleh masing-masing responden di 2 kecamatan umumnya ditanami lebih dari 1 jenis tanaman. Mile (2010) mengatakan bahwa hutan rakyat yang tumbuh di lahan milik pada umumnya sangat bervariasi baik jenis pohon utamanya, tanaman pencampur, maupun tanaman bawahnya. Berbagai pola tanam di lapangan sangat bervariasi tergantung keinginan petani dan ketersediaan bibit. Hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 5 yang membuktikan bahwa sebagian besar responden menanami hutan rakyatnya dengan lebih dari 1 jenis tanaman.

Tabel 5 Persentase responden berdasarkan jumlah jenis pohon yang ditanam Jumlah jenis Jumlah responden Persentase

(24)

14

Jenis pohon yang paling banyak diminati responden yaitu jenis sengon. Hampir setiap responden menanam sengon pada kebunnya baik yang hanya menanam 1 jenis pohon, maupun yang beragam jenis. Krisnawati et al. (2011) menjelaskan jenis sengon dipilih dalam pengusahaan hutan rakyat karena pertumbuhannya yang sangat cepat, mampu beradaptasi dengan berbagai jenis tanah, karakteristik silvikulturnya yang bagus, dan kualitas kayunya dapat diterima untuk industri panel dan kayu pertukangan. Jenis sengon ini kemudian menjadi tanaman yang mendominasi hutan rakyat di Leuwisadeng dan Nanggung yang kemudian diikuti oleh jenis kayu afrika.

Jenis lain yang ditanam umumnya merupakan tanaman dengan hasil utama buah-buahan. Pohon tidak akan ditebang sampai pada umur tertentu jumlah buah yang dihasilkan tidak lagi optimal. Kayu hasil tebangan dari pohon buah-buahan ini sebagian besar digunakan sendiri oleh para pemiliknya. Tanaman buah-buahan yang terbesar yaitu manggis yang cenderung lebih banyak ditanam oleh responden Leuwisadeng yang merupakan salah satu wilayah produsen manggis. Keragaman jenis dalam hutan rakyat ini menyebabkan adanya beberapa kelas umur dan kelas diameter dalam satu hamparan lahan.

Tabel 6 menunjukkan bahwa di Kecamatan Leuwisadeng jumlah pohon per hektar dengan diameter 0–5 cm dan 6–10 cm lebih besar yaitu masing-masing 350 dan 301 pohon dibandingkan dengan Kecamatan Nanggung yang hanya 251 dan 278 pohon/ha. Sedikitnya jumlah pohon dengan diameter besar di Kecamatan Leuwisadeng diduga dipengaruhi oleh banyaknya jumlah industri pengolahan kayu yang ada di Kecamatan tersebut. Banyaknya jumlah industri berpengaruh terhadap besarnya jumlah bahan baku kayu yang dibutuhkan untuk proses produksi kayu gergajian.

Tabel 6 Jumlah pohon berdasarkan kelas diameter No Kelas

(25)

15 Dari beragam tanaman pada hutan rakyat, jenis kayu yang umumnya digunakan sebagai bahan baku industri penggergajian yaitu kayu dari jenis cepat tumbuh atau kayu putihan seperti sengon sehingga dalam penjualan pohon, petani mengutamakan jenis di atas. Selain sengon, terdapat beberapa jenis kayu lainnya yang termasuk kayu putihan yaitu kayu afrika, jabon, dan mahoni. Namun, pada kondisi tertentu petani juga menjual pohon-pohon dari jenis lainnya ketika penjualan pohon dilakukan dengan sistem borongan (semua pohon di kebun dijual seluruhnya). Kayu-kayu tersebut merupakan kayu yang biasa disebut kayu merahan yang kemudian umumnya digunakan sebagai bahan baku kayu palet oleh industri penggergajian.

Pada penelitian ini pendugaan potensi pohon dilakukan pada jenis sengon. Hal ini dilakukan karena sengon merupakan jenis kayu yang memiliki permintaan tertinggi pada industri pengolahan kayu rakyat dan merupakan jenis yang mendominasi hutan rakyat. Pendugaan potensi pohon sengon pada saat ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Berdasarkan grafik kelas diameter, dapat diketahui sebagian besar pohon (61% atau 289 959 batang) di hutan rakyat Kecamatan Leuwisadeng terkonsentrasi ke dalam kelas diameter 0–5 cm. Sedangkan pada Kecamatan Nanggung sebagian besar pohon (73% atau 510.513 batang) berada pada kelas diameter 11–15 cm. Kemudian jumlah pohon dengan diameter ≥20 cm (layak tebang) pada masing-masing kecamatan merupakan jumlah yang tergolong paling kecil.

Grafik pada Gambar 5 juga menunjukkan bahwa di Kecamatan Nanggung sebaran jumlah pohon pada tiap-tiap kelas diameter tidak merata dan mengarah pada kecenderungan bahwa sebaran kelas diameter pohon di 2 kecamatan ini belum mencapai struktur tegakan hutan normal. Menurut Terry (2000) dalam Mile (2010) hutan rakyat pada umumnya belum dapat memberikan hasil yang lestari yang disebabkan oleh kelas umur yang terdapat pada areal hutan rakyat tidak menyebar secara merata dan tidak lengkap. Dimensi pohon terutama diameter dipengaruhi oleh umur dan bonita dari suatu tempat (Novendra 2008).

Gambar 5 Grafik jumlah total pohon berdasarkan kelas diameter

Jika dilihat sebaran seluruh jumlah pohon berdasarkan kelas diameter pada Kecamatan Leuwisadeng mendekati struktur tegakan hutan normal. Namun kenyataanya masing-masing hutan rakyat yang dimiliki petani belum mencapai

(26)

16

struktur tegakan hutan normal di dalamnya. Masing-masing petani cenderung menanam lahannya dengan pohon kayu-kayuan sejenis dan seumur. Menurut Mile (2010) untuk melestarikan hutan rakyat, perlu dimulai dengan teknik penanaman yang diarahkan untuk membentuk struktur tegakan yang mendekati hutan normal yang terdiri dari berbagai kelas umur. Tanpa adanya struktur tegakan, hutan rakyat tidak terjamin kelestariannya karena sewaktu-waktu bisa berubah peruntukannya.

Penyebab tidak meratanya jumlah pohon pada masing-masing kelas umur yaitu kurangnya penanaman kembali bibit-bibit tanaman baru pasca penebangan, perawatan tanaman yang kurang intensif, serta penebangan yang dilakukan pada pohon-pohon muda yang belum mencapai diameter layak tebang. Hal ini dapat menjadi kekhawatiran bagi pemenuhan bahan baku industri penggergajian di masa depan karena kayu yang dibutuhkan minimal berdiameter 20 cm.

Pada Gambar 6, jumlah pohon diklasifikasikan berdasarkan kelas diameter dan status lahan. Berdasarkan data di atas, terdapat sebanyak 1 115 522 batang pohon yang ditanam pada lahan milik di Kecamatan Leuwisadeng dan Nanggung serta 59 145 batang pohon yang ditanam pada lahan HGU Kecamatan Nanggung. Pengelompokkan berdasarkan status lahan ini penting dalam pendugaan potensi

growing stock di masa depan. Status hutan rakyat yang merupakan hutan milik pribadi, menyebabkan pemanenannya cenderung dilakukan sekehendak pemilik. Suprapto (2010) mengungkapkan bahwa keputusan teknis pengelolaan hutan seperti penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan bergantung pada kondisi ekonomi pemilik, bahkan sistem pemanenan hutan rakyat dikenal dengan sebutan

dengan ‘tebang butuh’. Oleh karena itu, kelestarian standing stock pada hutan

milik cenderung belum dapat dipastikan. Namun, kecenderungan ketidakpastian akan kelestarian standing stock pada lahan HGU lebih besar dibandingkan lahan milik. Hal tersebut dapat terjadi karena peruntukan fungsi lahan tidak hanya berdasarkan kehendak si penggarap, namun juga ditentukan oleh pemerintah setempat.

(27)

17 Analisis Kontribusi Hutan Rakyat Terdekat terhadap Pemenuhan Bahan

Baku Industri

Setelah mengetahui potensi hutan rakyat di masing-masing kecamatan dan sebaran pasokan bahan baku, dapat diketahui bahwa industri selama ini tetap beroperasi karena mendapatkan bahan baku dari luar daerah untuk memenuhi target produksinya. Sedikitnya jumlah kontribusi pasokan bahan baku dari dalam kecamatan menimbulkan pertanyaan atas stok kayu yang ada di kecamatan tersebut. Pendugaan perbandingan potensi standing stock dengan kebutuhan bahan baku industri dapat dilihat pada Gambar 7.

Pada grafik dapat dilihat bahwa dengan kebutuhan minimal industri pada satu tahun terakhir di Kecamatan Leuwisadeng yaitu sebesar 23 858 m3/tahun. Kebutuhan bahan baku ini diasumsikan konstan sampai 5 tahun ke depan. Namun pada dua tahun ke depan, stok kayu layak tebang hanya sebesar 2244 m3 pada tahun pertama, dan 2140 m3 pada tahun kedua. Hal ini berarti hutan rakyat Kecamatan Leuwisadeng tidak mampu memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Kondisi yang sama juga terjadi pada Kecamatan Nanggung dengan asumsi kebutuhan tahunan sebesar 9724 m3, sedangkan stok bahan baku di lapangan hanya sebesar 9513 m3 pada tahun pertama dan 3351 m3 pada tahun kedua. Pada kondisi tersebut, industri harus mencari bahan baku dari daerah lain untuk memenuhi target produksinya.

Jika industri hanya mengandalkan bahan baku dari hutan rakyat terdekat dengan kebutuhan rata-rata seluruh industri di Kecamatan Leuwisadeng 1988 m3/bulan, maka kontinuitas pasokan bahan baku dengan diameter di atas 20 cm hanya berlangsung selama 1 bulan, setelah itu akan terjadi kemacetan pasokan bahan baku sampai kelas diameter selanjutnya siap dipanen pada tahun berikutnya. Sedangkan pada Kecamatan Nanggung, dengan kebutuhan rata-rata bulanan bahan baku sebesar 810 m3/bulan, kontinuitas bahan baku masih akan tetap berlangsung selama 11 bulan. Kekurangan bahan baku akan terjadi pada bulan ke-12, namun setelah itu pasokan bahan baku akan kembali bertahan kontinyu selama 4 bulan dan kemudian juga akan terjadi kemacetan pasokan bahan baku.

Pada tahun ke 3, stok kayu layak tebang pada hutan rakyat di masing-masing kecamatan meningkat drastis yaitu sebesar 30 728 m3 di Kecamatan Leuwisadeng dan 51 607 m3 di Kecamatan Nanggung. Pada kondisi ini pasokan bahan baku bagi industri sangat melimpah. Jika kelebihan stok kayu pada tahun ketiga dipanen pada tahun berikutnya, hal tersebut dapat meningkatkan kualitas dan harga jual kayu yang tentunya menguntungkan bagi petani dan industri pengolahan kayu.

Apabila pemanenan kayu tetap dilakukan secara wajar yaitu penebangan hanya dilakukan pada pohon yang telah mencapai diameter layak tebang, maka kondisi ini akan terus berlangsung sampai beberapa tahun ke depan. Hal ini tentunya harus diiringi dengan penanaman kembali pasca pemanenan dan perawatan intensif. Jika hal-hal tersebut diwujudkan dan diterapkan, maka struktur tegakan hutan rakyat akan mendekati struktur tegakan hutan normal.

(28)

18

Gambar 7 Grafik perbandingan potensi kayu dengan kebutuhan bahan baku industri total

Perkembangan usaha hutan rakyat sangat berkaitan dengan kesinambungan usaha industri kayu. Keterkaitan yang tinggi diantara hutan dan usaha industri kayu akan mendorong meningkatnya jumlah lapangan usaha dan kesempatan kerja yang kemudian akan mendorong berkembangnya perekonomian wilayah kabupaten/kota dan propinsi, hingga perekonomian nasional (Abdullah 2007). Hal tersebut menuntut pengelolaan keduanya harus dilakukan secara lestari agar tidak terjadi kesenjangan antara kebutuhan bahan baku industri dengan stok kayu di hutan. Sulaeli (2009) menyatakan keberadaan industri yang tidak terkelola dengan baik akan menyebabkan tidak sejalannya laju penggunaan bahan baku industri dengan laju pembangunan hutan rakyat.

Dalam pengelolaannya, kegiatan pengusahaan hutan rakyat melibatkan banyak pihak. Menurut Darusman dan Hardjanto (2006) pengusahaan hutan rakyat adalah suatu usaha yang meliputi kegiatan produksi, pemasaran, dan kelembagaan sehingga usaha hutan rakyat memberikan kontribusi pendapatan kepada lebih banyak stakeholder di dalamnya. Semakin baik sistem pengusahaan hutan rakyat, maka kontribusi yang akan diberikan akan semakin besar. Dengan demikian, kelestarian hutan dan kelestarian usaha hutan rakyat akan terus terjaga.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Ketersediaan bahan baku industri pengolahan kayu rakyat cenderung kontinyu atau tetap terpenuhi selama 5 tahun terakhir. Rata-rata kebutuhan bahan baku tiap industri semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah mesin gergaji.

0 Kebutuhan bahan baku Kec. Leuwisadeng

(29)

19 Dinamika terpenuhinya kebutuhan bahan baku cenderung dipengaruhi oleh faktor internal industri yaitu keuangan.

2. Pemasok bahan baku terbesar berasal dari luar Kabupaten Bogor yaitu Propinsi Banten sekitar 62% dari total kebutuhan bahan baku seluruh industri. Pemasok bahan baku terbesar kedua berasal dari dalam Kecamatan Nanggung dan Leuwisadeng yaitu sekitar 23%.

3. Potensi kayu pada hutan rakyat dengan diameter layak tebang bagi kebutuhan industri (>20cm) di Kecamatan Leuwisadeng hanya dapat memenuhi kebutuhan bahan baku selama 1 bulan ke depan dan pada Kecamatan Nanggung stok kayu hutan rakyat dapat memenuhi selama 11 bulan ke depan. Ketidakmampuan hutan rakyat terdekat dalam memenuhi seluruh kebutuhan bahan baku akan berlangsung selama dua tahun ke depan, kemudian stok akan kembali berlimpah pada tahun ke tiga dan seterusnya apabila diiringi dengan penanaman kembali dan perawatan.

Saran

Perlu adanya penyuluhan dan arahan dari lembaga penyuluh kehutanan baik untuk pengelola industri pengolahan kayu rakyat khususnya penggergajian dan masyarakat yang mengusahakan hutan rakyat terkait kelestarian hutan dan kelestarian usaha hutan rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah MH. 2007. Analisis keterkaitan pusat industri pengolahan kayu dan wilayah pembangunan hutan tanaman rakyat (HTR) di Sulawesi Selatan.

Jurnal Hutan dan Masyarakat. 2(3):268-279.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Kabupaten Bogor dalam Angka [internet]. [diunduh 2015 Jan 5]. Tersedia pada: http://bogorkab.bps.go.id/publikasi/ kabupaten-bogor-dalam-angka-2014

Bramasto Y. 2010. Berbagai aspek yang mempengaruhi kualitas kayu dari hutan rakyat. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian; 2010 Okt 20; Bandung, Indonesia. Bogor (ID): Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Hlm 384-392.

Bustomi S, Wahjono D, Herbagung, Sumarna K. 2002. Tariff dan Tabel Volume Beberapa Jenis Pohon Hutan Tanaman. Bogor (ID): Badan Litbang Kehutanan. Candy NG, Pamungkas A. 2013. Penentuan alternative lokasi industri pengolahan

sorgum di Kabupaten Lamongan. Jurnal Teknik Pomitst. 2(2):211-214.

Darusman D, Hardjanto. 2006. Tinjauan ekonomi hutan rakyat. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Hasil Hutan 2006:4-13.

Djajapertjunda S, Djamhuri E. 2013. Hutan dan Kehutanan Indonesia dari Masa ke Masa. Bogor (ID): IPB Press.

Greeneconomics Indonesia. 2004. Industri Pengolahan Kayu. Jakarta (ID): Greeneconomics Indonesia.

(30)

20

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2013. Profil Kehutanan 33 Provinsi [internet]. [diunduh 2015 Jan 29] Tersedia pada: http://ppid.dephut.go.id/ informasi_kemenhut/browse/29

Krisnawati H, Varis E, Kallio M, Kanninen M. 2011. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen: Ekologi, Silvikultur, dan Produktivitas. Bogor (ID): CIFOR. Lastini T. 2012. Tipologi desa hutan rakyat: kasus di Kabupaten Ciamis [disertasi].

Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Mile MY. 2010. Kajian permasalahan teknis dalam pengelolaan hutan rakyat yang sesuai (studi kasus permasalahan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis). Di dalam: Rostiwati T, Nurhasby, Pramono AA, Baskorowati L, Mile MY, Achmad B, editor. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian; 2010 Okt 20; Bandung, Indonesia. Ciamis (ID): Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. hlm 277-283.

Nadeak GT. 2009. Analisis kelayakan financial dan ekonomi perusahaan kayu gergajian merbau dan woodworking terintegrasi di Papua ( studi kasus di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, dan Kabupaten Keerom) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Novendra IY. 2008. Karakteristik biometric pohon jati (Tectona grandis L.f) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Oktaviarini M. 2014. Analisis pemasaran kayu hutan rakyat di Kecamatan Leuwisadeng, Cigudeg, dan Jasinga [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rachman O, Malik J. 2011. Penggergajian dan Pemesinan Kayu: Untuk Industri Perkayuan Indonesia. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Ramli E. 2003. Peningkatan usaha industri kecil pengolahan kayu untuk menunjang ekonomi kerakyatan di Desa Bantan Tua Kecamatan Bantan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Risnasari I. 2001. Profil industri pengolahan kayu di Propinsi Sumatera Utara. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.

Rufaidah AH. 2009. Keragaan usaha industri pengolahan kayu rakyat di Kabupaten Cianjur (studi kasus di Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Tanggeung) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sudirman. 2001. Profil dan kinerja usaha industri pengolahan kayu rakyat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sulaeli JR. 2009. Strategi peningkatan efektivitas pengelolaan industri primer hasil hutan kayu dari hutan rakyat di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(31)

22

Lampiran 1 Jenis kayu yang ditanam responden

Kecamatan Nama Jenis Kayu

Leuwisadeng Edi Warman Sengon, Manggis, Suren, Nangka, Duren, Kayu Afrika Sukri Jabon, Manggis, Sengon, Kayu Afrika

Saaman Kayu Afrika, Manggis, Cengkeh

Aslam Kayu Afrika, Manggis, Mahoni, Petai, Durian, Nangka

Tatang Jabon, Sengon, Manggis, Kayu Afrika, Mahoni, Durian, Petai

Mainan Manggis, Durian, Pala, Sengon, Mahoni, Kayu Afrika, Petai, Nangka, Cengkeh

Dana Sengon, Manggis, Durian, Nangka, Kayu Afrika, Mahoni, Jabon, Petai

Saheli Manggis, Kayu Afrika, Sengon, Mahoni, Petai, Nangka, Durian

Edo Manggis, Pala, Durian, Sengon, Rambutan, Petai, Kupa

Sali Sengon, Manggis, Duku, Cempedak, Pala

Kosim Durian, Sengon, Kayu Afrika Sanusi Sengon, Kayu Afrika, Manggis

Marhadi Sengon, Kayu Afrika, Manggis Asipin Durian, Manggis, Nangka

Udin Sengon, Kayu Afrika, Manggis

Amir Hamzah Sengon, Kayu Afrika, Karet Dayat Sengon, Kayu Afrika, Mahoni

E. Suherman Jati

Ace Gmelina, Akasia, Sengon, Manggis Udin Sengon, Manggis

Arta Manggis, Sengon, Mahoni

Jumhari Durian, Manggis, Petai, Sengon, Kayu Afrika

Heri Sengon, Jabon, Manggis

Suganda Mangga, Sengon, Manggis, Kayu Afrika, Cengkeh, Petai

Saaman

Randu, Mahoni, Karet, Kayu Afrika, Pulai, Puspa, Kecapi, Kupa, Kanyerek, Belimbing, Kopi, Sengon, Cempedak, Angsana, Kemang

Jamhari Sengon, Kayu Afrika, Mahoni, Jabon, Manggis, Alpukat, Petai, Durian, Jati, Jeruk Limo

Asjaya Mangga, Petai, Rambutan, Sengon, Kayu Afrika, Mahoni, Manggis, Durian

Ogi Sengon, Kayu Afrika, Mahoni, Manggis, Durian, Petai

Jarkasih

Karet, Durian, Manggis, Kayu Afrika, Sengon, Kecapi, Petai,

Rambutan, Cempedak, Mangga, Suren

Abdul Azis

Cengkeh, Nangka, Rambutan, Durian, Sengon, Kayu Afrika, Mindi, Manggis, Petai, Puspa, Mangga

Nanggung Tati Sengon, Kayu Afrika Isak Sengon, Kayu Afrika, Akasia Karta Sengon

(32)

23 Sukra Sengon, Mahoni

Rohdi Sengon, Gmelina Siti H Sengon

Tuti Jabon, Sengon Bahri Kayu Afrika, Sengon

Saepul Jabon, Sengon

Marudin Sengon

M. Idris Sengon, Kayu Afrika

Momon Sengon

Wawan Sengon

Dedi Sengon

Uju Juanda Sengon, Kayu Afrika, Mahoni, Durian, Alpukat, Manggis, Puspa, Ki Sampang, Pinus, Sungkai

Yuyun Sengon, Kayu Afrika, Nangka, Rambutan, Mangga, Pepaya, Jengkol, Petai, Durian

Sukardi Sengon, Kayu Afrika, Jabon

Marlina Kayu Afrika, Nangka Mardi Kayu Afrika

Ajat Rohendi Kayu Afrika

Ahmad M Kayu Afrika, Sengon, Petai Atim Haetami Sengon, Kayu Afrika, Petai, Durian

Arsan Kayu Afrika, Sengon Uci Sengon, Kayu Afrika

Wawan Kayu Afrika

Unus Kayu Afrika, Sengon, Nangka, Rambutan Mada Kayu Afrika, Sengon

Dulpahir Kayu Afrika, Sengon

(33)

21

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 26 Mei 1993 sebagai anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Teteng Supriatna dan Iyoh Masruroh. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 2 Bekasi pada tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Talenta Mandiri IPB dan diterima di Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

Gambar

Grafik kebutuhan total bahan baku industri dalam lima tahun terakhir
Tabel 1  Profil industri penggergajian (sawmill)
Tabel 2  Produk kayu gergajian
Gambar 1 Kondisi industri pengolahan kayu rakyat. (a) Lokasi industri (b) Stok
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada menu File terdapat perintah-perintah yang digunakan untuk semua proses utama yang berhubungan dengan file data dan aplikasi, seperti melakukan pengiriman file dari linux

The result of testing hypothesis determine that the Alternative Hypothesis (Ha) stating that there was significant effect of using guided questions on writing

Memperhatikan Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta menindaklanjuti proses pengadaan untuk Paket Pekerjaan Pekerjaan Konsultan

Pada penelitian ini informan perlu dikembangkan lokus kontrol diri internal sehingga kecanduan game online dapat dikontrol dari diri sendiri. Sebagai lembaga

Orang lain baik anggota keluarga maupun teman orangtua atau guru dapat menimbulkan atau menambah ketegangan yang telah ada antara saudara kandung dengan

Selain itu, kita dapat mengatur pengetahuan ke dalam unit-unit yang lebih kompleks yang menggambarkan situasi atau obyek yang rumit dalarn domain. Unit-unit ini disebut

Untuk memperoleh data tentang prestasi belajar siswa di MTs Ma’arif Sikampuh Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap, peneliti menggunakan metode dokumentasi yaitu dengan

Dari percobaan pengukuran benda padat diatas, untuk mendapatkan nilai keakuratan massa jenis suatu benda bisa kita tempuh melalui dua cara, yaitu cara perhitungan