• Tidak ada hasil yang ditemukan

Knowledge and Knowledge Changes on the Community Forest Farmers in Achieving Sustainable Forest Management

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Knowledge and Knowledge Changes on the Community Forest Farmers in Achieving Sustainable Forest Management"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

PENGETAHUAN DAN PERUBAHAN PENGETAHUAN

PETANI HUTAN RAKYAT DALAM MENCAPAI

PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

MARIA ULFA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengetahuan dan Perubahan Pengetahuan Petani Hutan Rakyat dalam Mencapai Pengelolaan Hutan Lestari adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014

Maria Ulfa

(4)

RINGKASAN

MARIA ULFA. Pengetahuan dan Perubahan Pengetahuan Petani Hutan Rakyat dalam Mencapai Pengelolaan Hutan Lestari. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO dan PRIJANTO PAMOENGKAS.

Pengetahuan petani dalam mengelola hutan rakyat menjadi aspek penting dalam keberhasilan pengelolaan hutan rakyat lestari. Sistem pengetahuan yang mendasari pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat telah dipelajari selama bertahun-tahun. Penelitian ini difokuskan pada pengetahuan dalam pengelolaan hutan rakyat, perubahan-perubahan pengetahuan yang terjadi, serta sumber pemerolehan pengetahuan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengetahuan petani hutan rakyat serta sumber mendapatkan pengetahuan tersebut. Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan pada Bulan April dan Mei 2013. Penelitian ini mengambil tempat di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah yang telah mendapatkan sertifikat hutan rakyat lestari dengan skema Forest Stewardship Council (FSC). Responden berjumlah 108 orang yang berasal dari KTH Tani Makmur, KTH Rindang Jaya, KTH Wana Mukti, KTH Margo Makmur, KTH Karya Sari, dan KTH Rimba Lestari. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dan observasi. Data sekunder dikumpulkan melalui pencatatan dokumen.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan lokal petani dalam pengelolaan hutan mengalami perubahan. Perubahan terjadi pada kegiatan persiapan bibit, penanaman, dan pemeliharaan. Pengetahuan petani bersumber dari warisan; pengalaman bertani; dari petani lainnya serta pendampingan dan penyuluhan. Sumber pengetahuan yang paling dominan pada perubahan pengetahuan petani adalah pendampingan dari TFT (61,11%).

Kata kunci:

(5)

SUMMARY

MARIA ULFA. Knowledge and Knowledge Changes on the Community Forest Farmers in Achieving Sustainable Forest Management. Supervised by DIDIK SUHARJITO and PRIJANTO PAMOENGKAS.

Knowledge of farmers in managing community forests becomes an important in the success of sustainable community forest management. Knowledge of the underlying system management of natural resources by the communities has been studied for many years. This study focused on farmers knowledge in forest management, knowledge changes that occur, as well as the source of knowledge acquisition. This study aims to explain the sources in obtaining the knowledges and the farmers knowledge changes.

This research was carried out for 2 months from April to May 2013. This study took place in Kebumen, Central Java, which has been certified by Forest Stewardship Council (FSC) scheme. Respondents totaled 108 people whose came from KTH Tani Makmur, KTH Rindang Jaya, KTH Wana Mukti, KTH Margo Makmur, KTH Karya Sari, and KTH Rimba Lestari. Primary data were collected through interview and observation and recording of documents.

This study showed that the local knowledge of farmers in forest management changes. Changes occured in the seed preparation, planting, and maintenance activities. Farmers knowledge derived from inheritance; farming experience; from other farmers, coaching and counseling. The most dominant knowledge source on the farmers knowledge changes is coaching from TFT (61.11%).

Keywords:

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

PENGETAHUAN DAN PERUBAHAN PENGETAHUAN

PETANI HUTAN RAKYAT DALAM MENCAPAI

PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Pengetahuan dan Perubahan Pengetahuan Petani Hutan Rakyat dalam Mencapai Pengelolaan Hutan Lestari

Nama : Maria Ulfa NIM : E151110151

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS Ketua

Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, MSc.F.Trop Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi S2 Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini adalah pengetahuan lokal, dengan judul Pengetahuan dan Perubahan Pengetahuan Petani Hutan Rakyat dalam Mencapai Pengelolaan Hutan Lestari. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian dalam rangka penulisan Tesis untuk memperoleh gelar Master Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS dan Bapak Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, MSc.F.Trop selaku pembimbing atas bimbingan dan arahan dalam penulisan karya ilmiah, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Di samping itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Pengurus dan anggota Koperasi Serba Usaha Taman Wijaya Rasa (Kostajasa) Kabupaten Kebumen yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya serta teman-teman Ilmu Pengelolaan Hutan 2011.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR AKRONIM

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Pengetahuan 3

Pengetahuan Lokal 3

Pengelolaan Hutan Lestari 4

Hutan Rakyat 6

Sertifikasi Hutan Rakyat 7

3 METODE 8

Kerangka Pikir Penelitian 8

Definisi Operasional Pengelolaan Hutan 9

Waktu dan Tempat Pelaksanaan 11

Alat dan Objek Penelitian 11

Metode Penelitian 11

Jenis Data 12

Metode Pengumpulan Data 13

Pengolahan Dan Analisis Data 13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Kondisi Umum Kabupaten Kebumen 13

Koperasi Serba Usaha Taman Wijaya Rasa (KOSTAJASA) 14

Karakteristik Responden 16

Sumber Pengetahuan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat 18

Perubahan Pengetahuan Petani Hutan Rakyat 21

Pengelolaan Hutan Lestari 29

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Pengetahuan 32

5 SIMPULAN DAN SARAN 33

Simpulan 33

Saran 34

DAFTAR PUSTAKA 34

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Kelompok Tani Hutan yang Tergabung di Bawah Kostajasa 15

Tabel 2. Kategori Umur Responden 16

Tabel 3. Tingkat Pendidikan Responden 16

Tabel 4. Lama Mengelola Hutan Rakyat 17

Tabel 5. Pekerjaan Utama Responden 17

Tabel 6. Sumber Perubahan Pengetahuan Paling Dominan 21 Tabel 7. Persiapan Lahan yang Baik dan Buruk Menurut Petani 22 Tabel 8. Ciri-ciri Biji yang Baik dan Buruk Menurut Petani 23 Tabel 9. Kegiatan Penanaman yang Baik dan Buruk Menurut Petani 25 Tabel 10.Persentase yang Memberikan Pupuk Urea dan yang Tidak 26 Memberikan Pupuk

Tabel 11.Persentase yang Memberikan Pestisida dan yang Tidak 27 Memberikan Pestisida

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Terasering dari batu di lahan hutan rakyat. 22

Gambar 2 Anakan mahoni di bawah tegakan. 24

Gambar 3 Bibit bantuan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan 26

Gambar 4 Kayu yang dijual ke pembeli lokal. 28

Gambar 5 Label kegiatan inventarisasi tegakan. 31

DAFTAR AKRONIM

PHL : Pengelolaan Hutan Lestari

UNCED : United Nations Conference on Environment and Development

TFK : Traditional Forest Knowledge

TEK : Traditional Ecological Knowledge

ITTO : International Tropical Timber Organization

C& I : Criteria and Indicator

SFM : Sustainable Forest Management

RIL : Reduce Impact Logging

PHBM : Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat LEI : Lembaga Ekolabel Indonesia

SLIMF : Small and Low Intensity Managed Forest

FSC : Forest Stewardship Council

KTH : Kelompok Tani Hutan

Kostajasa : Koperasi Taman Wijaya Rasa

MCPFE : Ministerial Conference on the Protection of Forests in Europe

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengetahuan petani dalam mengelola hutan rakyat menjadi aspek penting dalam keberhasilan pengelolaan hutan rakyat lestari. Organisasi hutan internasional telah mengakui kontribusi pengetahuan tradisional terhadap hutan dalam pencapaian pengelolaan hutan lestari (PHL) (Sun dan Youn 2012). Parotta

et al. (2009) juga mengungkapkan mengenai peran pengetahuan tradisional dalam pengelolaan hutan. Saat ini, PHL menjadi tujuan utama dari lembaga kehutanan di seluruh dunia setelah adanya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) yang diadakan di Rio de Jeneiro tahun 1992.

Sistem pengetahuan yang mendasari pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat telah dipelajari selama bertahun-tahun dalam upaya untuk menemukan cara untuk mengelola sumber daya alam. Adapun penelitian mengenai pengetahuan yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain Kustiari (2003) tentang faktor-faktor penentu tingkat kemampuan petani dalam mengelola lahan marginal, tentang potensi dan pengembangan kompetensi agribisnis petani berlahan sempit (Harijati 2007), tentang model pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari (Yumi 2011), dan mengenai manajemen simpukng oleh masyarakat Dayak dalam keberlangsungan sumber daya alam (Mulyoutami et al. 2009).

Penelitian tentang pengetahuan lokal juga telah banyak dilakukan di luar Indonesia diantaranya penelitian mengenai budaya hutan adat di Timor Asia seperti feng shui di China yang telah ditinjau kembali sebagai sarana untuk melindungi dan melestarikan lanskap hutan yang masih sensitif terhadap nilai-nilai budaya dan spiritual setempat (Yuan dan Liu 2009). Dari perspektif sosial, dibangun sebuah lembaga sosial yang berperan mempromosikan penggunaan hutan lokal berkelanjutan dengan warga lokal di Dinasti Chosun dari Korea (Chun dan Tak 2009). Pemanfaatan dan pengelolaan hutan berdasarkan pengetahuan tradisional juga dinilai melalui pendekatan etnobotani (Pei et al. 2009). Pengetahuan tradisional dan pengelolaan hutan dalam mengelola perlebahan asli sebagai kegiatan tradisional yang telah memanfaatkan sumber daya hutan sejak zaman kuno di semenanjung Korea (Sun & Youn 2012), serta penelitian-penelitian mengenai deskripsi pengetahuan tradisional tentang hutan dan peran utama dalam manajemen hutan dan implikasi politik untuk menjaga pengetahuan tradisional tentang hutan terhadap pengelolaan hutan lestari.

(14)

2

pemanenan, sedangkan sumber-sumber pengetahuan yang akan dijelaskan adalah sumber-sumber pemerolehan pengetahuan petani dan sumber-sumber yang paling dominan menyebabkan perubahan pada pengetahuan petani.

Perumusan Masalah

Berkes dan Truner (2006) mengungkapkan bahwa praktek pengelolaan dan penggunaan sumber daya dapat berkembang dari waktu ke waktu dengan belajar adaptif, berdasarkan uraian pemahaman bertahap lingkungan serta pada pelajaran dari kesalahan.

Penelitian ini hendak menjelaskan tentang pengetahuan petani hutan rakyat, perubahan-perubahan pengetahuan, serta sumber-sumber pengetahuan. Pengetahuan dan perubahan pengetahuan petani hutan rakyat yang akan dijelaskan adalah pengetahuan dalam teknis pengelolaan hutan yaitu kegiatan persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan, sedangkan sumber-sumber pengetahuan yang akan dijelaskan adalah sumber-sumber pemerolehan pengetahuan petani dan sumber-sumber yang paling dominan menyebabkan perubahan pada pengetahuan petani.

Hutan rakyat di Kabupaten Kebumen merupakan salah satu hutan rakyat yang mendapatkan sertifikasi pengelolaan hutan rakyat lestari. Hutan rakyat di Kebumen merupakan teladan keberhasilan suatu proses pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan secara lestari. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba menganalisis dan menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1 Darimana sumber-sumber pemerolehan pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat?

2 Bagaimana penggunaan pengetahuan petani dalam teknis pengelolaan hutan rakyat?

3 Bagaimana perubahan pengetahuan yang terjadi pada petani dalam pengelolaan hutan rakyat?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

1 Menjelaskan sumber-sumber pemerolehan pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat.

2 Menjelaskan penggunaan pengetahuan petani dalam teknis pengelolaan hutan rakyat.

3 Menjelaskan perubahan pengetahuan yang terjadi pada petani dalam pengelolaan hutan rakyat.

Manfaat Penelitian

(15)

3 dalam upaya peningkatan pengetahuan petani hutan rakyat dan pengembangan pengelolaan hutan rakyat lestari. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi informasi awalan bagi penelitian lanjutan mengenai pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pengetahuan

Koentjaraningrat (1990) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seseorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan berhubungan dengan jumlah informasi yang diterima seseorang. Beberapa pengertian yang berhubungan dengan pengetahuan sebagaimana yang disebutkan Ban & Hawkins (1999):

1 Pengetahuan dianggap keterangan dari dunia yang dihuni, relatif dalam pengertian bahwa pandangan bisa berbeda antar orang yang dikarenakan perbedaan pengalaman.

2 Pengetahuan khas setempat yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan yang biasanya berdasarkan pengalaman dari generasi ke generasi, meliputi keanekaragaman dan kompleksitas lokal daripada pengetahuan yang didapat secara ilmiah.

3 Pengetahuan sebagai suatu sistem dan informasi pertanian. Terjadi pemanfaatan pengetahuan dan informasi untuk meningkatkan kesesuaian antara pengetahuan, lingkungan, dan teknologi pertanian.

4 Tingkat pengetahuan adalah pengetahuan seseorang mengenai suatu keadaan yang dinilai atas dasar jumlah pandangan yang diinginkan.

Pengetahuan Lokal

Beckford dan Barker (2007) mengungkapkan bahwa pengetahuan lokal dapat didefinisikan sebagai badan dinamis dan kompleks pengetahuan, praktik dan keterampilan yang dikembangkan dan dipertahankan oleh masyarakat/komunitas dengan sejarah dan berbagi pengalaman. Pengetahuan ini menyediakan kerangka kerja untuk pengambilan keputusan dalam sejumlah kegiatan sosial, ekonomi dan lingkungan dan mata pencaharian antara masyarakat pedesaan. Pengetahuan lokal ini adalah pengetahuan yang dikembangkan dan digunakan dari waktu ke waktu oleh masyarakat setempat dan dipengaruhi oleh realitas lingkungan dan sosial-ekonomi.

(16)

4

sambil membantu untuk mempertahankan produksi barang dan jasa yang meningkatkan keamanan penghidupan dan kualitas hidup. Pengetahuan hutan adat merupakan komponen integral dari jaringan keterkaitan dan hubungan, didukung oleh kerangka keseluruhan tanda dan makna. Hal ini sering didasarkan pada pengalaman sejarah panjang dan wawasan yang mendalam mengenai dinamika ekosistem hutan, dan perilaku dan karakteristik spesies hewan dan tumbuhan yang memiliki signifikansi ekonomi, sosial, budaya, dan spiritual khusus bagi masyarakat. Pengetahuan ini sangat penting untuk kelangsungan hidup dan masa depan kesejahteraan masyarakat lokal, dan terutama, masyarakat adat ketika mereka mencoba untuk mempertahankan identitas budaya khas mereka, mata pencaharian, integritas dan kesehatan hutan ekosistem tempat mereka bergantung. Berkes (1993) mengungkapkan sebuah istilah lain yaitu pengetahuan ekologi tradisional (TEK). TEK merupakan pengalaman yang diperoleh selama ribuan tahun kontak langsung manusia dengan lingkungan. Meskipun istilah TEK mulai digunakan secara luas pada 1980-an, praktek TEK adalah setua pemburu-pengumpul kebudayaan kuno. Namun, tidak ada definisi yang diterima secara universal mengenai pengetahuan ekologi tradisional (TEK) dalam literatur. Istilah ini, menjadi ambigu dikarenakan kata-kata tradisional dan pengetahuan ekologi itu sendiri ambigu. Dalam kamus, tradisional biasanya mengacu pada kelanjutan budaya ditransmisikan dalam bentuk sikap sosial, keyakinan, prinsip-prinsip dan konvensi yang berasal dari perilaku dan praktek yang berasal dari pengalaman sejarah. Namun, masyarakat berubah melalui waktu, terus-menerus mengadopsi praktik dan teknologi baru, dan membuatnya sulit untuk menentukan berapa banyak dan apa jenis perubahan akan mempengaruhi label praktek sebagai tradisional.

Pengetahuan ekologi menimbulkan masalah definisi sendiri. Jika ekologi didefinisikan sempit sebagai cabang biologi dalam domain ilmu barat, maka tegasnya tidak ada TEK. Jika pengetahuan ekologi didefinisikan secara luas untuk merujuk pada pengetahuan, bagaimana pengetahuan itu diperoleh, hubungan makhluk hidup dengan satu sama lain dan dengan lingkungan mereka, maka istilah TEK menjadi dipertahankan. Dalam konteks ini, pengetahuan ekologi bukanlah preferensi istilah untuk masyarakat tradisional atau adat itu sendiri. Untuk sampai pada definisi TEK, perlu untuk menyaring melalui berbagai makna dan unsur TEK sebagaimana ditegaskan dalam karya-karya besar, hal ini kemudian dapat membuat istilah TEK merujuk pada sebuah defenisi yaitu TEK adalah badan pengetahuan dan keyakinan komulatif, turun temurun oleh transmisi budaya, tentang hubungan makhluk hidup (termasuk manusia) dengan satu sama lain dan dengan lingkungan. Selanjutnya, TEK adalah atribut dari masyarakat dengan kontinuitas sejarah dalam praktek penggunaan sumber daya; oleh dan besar, ini adalah masyarakat berteknologi maju non-industri atau kurang, banyak dari mereka pribumi atau suku.

Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)

(17)

5 itu, ITTO (1992) mendefinisikan pengelolaan hutan lestari sebagai proses pengelolaan lahan hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan yang secara jelas ditetapkan yang menyangkut produksi berkesinambungan dari hasil hutan yang diinginkan dan jasa tanpa dampak yang tidak diinginkan baik terhadap lingkungan maupun sosial, atau pengurangan nilai yang terkandung di dalamnya dan potensinya pada masa mendatang. Expert panel ITTO menganggap bahwa definisi operasional mengenai PHL perlu mencakup unsur-unsur berikut:

1 Hasil yang berkesinambungan berupa kayu dan hasil hutan lainnya serta jasa. 2 Mempertahankan tingkat biodiversitas yang tinggi dalam konteks

perencanaan tataguna lahan yang intergratif yang mencakup jaringan kerja kawasan lindung dan kawasan konservasi.

3 Menjaga stabilitas fungsi dan ekosistem hutan dengan penekanan pada pemeliharaan produktivitas tempat tumbuh (site productivity), menjaga sumber benih dan unsur biodiversitas hutan yang diperlukan untuk regenerasi dan pemeliharaan hutan.

4 Meningkatkan dampak positif pada areal di sekitar dan sekaligus mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan dampak yang merugikan.

5 Proses untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan menyelesaikan perbedaan pendapat yang timbul.

Kesepakatan dasar yang telah dicapai rnengenai konsep PHL terfokus pada terjaminnya keberlanjutan fungsi hutan ditinjau dari 3 hal pokok, yaitu fungsi produksi, fungsi lingkungan/ekologi dan fungsi sosial budaya.

Selanjutnya, MCPFE, 1993 dalam Wolfslehner B, Vacik H, and Lexer MJ 2005 Mendefinisikan PHL sebagai pengelolaan dan penggunaan hutan dan lahan hutan dengan cara dan pada tingkat untuk mempertahankan keanekaragaman hayati, produktivitas, kapasitas generasi, vitalitas, dan potensi hutan untuk memenuhi kebutuhan sekarang dan di masa depan, terkait fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial di tingkat lokal, nasional, dan global.

Lanly (1995) dalam Varma VK, Ferguson I, Wild I (2000), menyatakan bahwa konsensus mengenai karakterisasi pengelolaan hutan lestari melalui enam criteria yaitu: (1) tingkat luas sumber daya hutan, (2) konservasi keanekaragaman hayati, (3) kesehatan dan vitalitas hutan, (4) fungsi produktif hutan, (5) perlindungan fungsi hutan, dan (6) berkaitan dengan ekonomi dan kebutuhan sosial. ITTO 1992; Helsinki 1995; Montreal 1995 dalam Varma VK, Ferguson I, Wild I 2000, menjelaskan kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari sebagai berikut:

1 Sumber daya hutan negara: distribusi daerah hutan menurut tipe hutan, dengan spesies asli atau spesies eksotis, dan pada kelas usia.

2 Konservasi keanekaragaman hayati: distribusi luas hutan yang dikelola khusus untuk konservasi dan pemanfaatan sumber daya hutan genetik, distribusi jumlah spesies endemik, dan distribusi jumlah spesies sesuai dengan status perlindungan (terancam punah, terancam, langka, punah). 3 Kesehatan hutan, vitalitas dan integritas: distribusi daerah yang terkena

penyakit, serangga, kebakaran, persaingan dari spesies eksotis dan unregener diciptakan bagian dari ekosistem.

(18)

6

produksi kayu dan hasil hutan non kayu, distribusi daerah yang didedikasikan untuk produksi berkelanjutan dari kayu dan hasil hutan Non kayu.

5 Perlindungan tanah dan air: distribusi daerah hutan yang dikelola secara khusus untuk tujuan konservasi tanah dan air, distribusi daerah yang tunduk pada konten organik miskin, dan tanah yang dipadatkan.

6 Fungsi sosial-ekonomi: distribusi kawasan hutan yang dikelola terutama untuk bersantai dan pariwisata, nilai-nilai budaya, untuk lanskap dan untuk memenuhi kebutuhan yang bergantung pada populasi hutan.

Sustainable forest management (SFM) dapat dicapai dengan menerapkan pemanenan hutan terbaik (misalnya reduce impact logging/RIL) dan keterlibatan lebih besar dengan skema sertifikasi hutan. Rametsteiner E dan Simula M (2003) menyebutkan bahwa untuk mempromosikan pengelolaan hutan lestari (SFM) digunakan instrumen sertifikasi. Sertifikasi hutan diperkenalkan pada awal 1990-an untuk mengatasi masalah deforestasi d1990-an degradasi hut1990-an d1990-an untuk mempromosikan pemeliharaan keanekaragaman hayati, terutama di daerah tropis. Sampai saat ini sekitar 124 juta ha atau 3,2% dari hutan dunia telah disertifikasi oleh skema sertifikasi yang berbeda dibuat selama dekade terakhir. Sertifikasi hutan bertujuan untuk mempromosikan pengelolaan hutan lestari dengan alat lain, yaitu dengan menggunakan kriteria dan indikator (C & I) untuk SFM. Kriteria dan indikator terutama dikembangkan untuk tingkat nasional untuk menggambarkan dan memonitor status dan tren di hutan dan pengelolaan hutan.

Hutan Rakyat

Hutan rakyat di Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam penjelasan Undang-undang No.41 tahun 1999 pasal 5 ayat 1 adalah hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik. Hal ini selaras dengan kemudian diperjelas oleh Peraturan Menteri Kehutanan P.03/Menhut-V/2004 dimana hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%.

(19)

7 terlihat bahwa diameter maksimum hanya mencapai sekitar 35 cm; dan (9) pola penanaman lain yang khas terdapat di Gunung Kidul, ada tiga pola, yaitu (1) penanaman pohon di sepanjang batas lahan milik, (2) penanaman pohon di teras bangku, dan (3) penanaman pohon di seluruh lahan milik.

Cahyono et al. (2002) mengungkapkan bahwa hutan rakyat di Indonesia dikembangkan oleh rumah tangga dengan alasan untuk mendapatkan keuntungan finansial. Namun, alasan terkuat dikembangkannya hutan rakyat oleh rumah tangga adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau sebagai tabungan. Pengelola hutan rakyat atau yang juga biasa disebut petani hutan rakyat umumnya melakukan proses pemanenan kayu dengan menggunakan istilah ‘tebang butuh’.

Mereka akan menebang kayu apabila membutuhkan sesuatu yang diharapkan dapat dipenuhi dengan melakukan kegiatan penebangan dan penjualan kayu hasil tebangan. Mereka memperlakukan hutan sebagai aset jangka panjang seperti rekening bank yang bisa diuangkan sewaktu-waktu.

Ada empat pola hutan rakyat yang ditemukan oleh Donie (1996) yaitu (1) pola murni kayu-kayuan yang tumbuh lambat, (2) pola campuran kayu-kayuan dan tanaman buah-buahan, (3) pola campuran tanaman kayu-kayuan dan tanaman semusim, dan (4) pola campuran tanaman kayu-kayuan, buah-buahan, dan tanaman semusim. sementara itu, Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (1995b) membagi tipologi hutan rakyat menjadi 3, yaitu (1) murni/monokultur, (2) campuran seperti kebun rakyat dan (3) agroforestri.

Sertifikasi Hutan Rakyat

Maryudi (2005) mengungkapkan bahwa karakteristik hutan rakyat Indonesia yang unik, menimbulkan beberapa kendala dalam pencapaian sertifikasi bagi hutan rakyat Indonesia. Adapun kendala dalam pencapaian sertifikasi yang seharusnya diketahui oleh petani hutan rakyat yaitu kendala dari dalam (Internal contraints) yang berkaitan langsung dengan kharakteristik hutan rakyat maupun dari dalam diri pengelolanya (petani hutan) sendiri serta kendala dari luar (External Constraints), merupakan kendala yang tidak berkaitan langsung dengan pengelolaan hutan maupun petani hutan, namun mungkin bisa berperan penting dalam mendukung keberhasilan promosi sertifikasi hutan rakyat. Akan tetapi, kesangsian berbagai pihak terhadap kemungkinan pelaksanaan sertifikasi di lahan hutan milik rakyat selanjutnya dapat ditepis dengan adanya skema sertifikasi yang dikembangkan untuk hutan yang dikelola oleh masyarakat. Selanjutnya Maryudi (2010) mengungkapan bahwa hutan rakyat memiliki beberapa kekuatan untuk sertifikasi hutan antara lain bahwa hutan rakyat mempunyai potensi yang besar untuk mendukung industri perkayuan nasional dan di beberapa daerah telah mampu memberikan/menumbuhkan berbagai manfaat, baik manfaat ekonomis bagi petani hutan, maupun manfaat sosial dan lingkungan. Pengelolaan hutan rakyat secara garis besar bebas dari tenurial conflicts, salah satu indikator kelestarian yang dirumuskan beberapa lembaga sertifikasi. Hal ini membuka peluang bagi hutan rakyat untuk mendapatkan sertifikasi pengelolaan hutan.

Hinrich, Muhtaman, dan Irianto (2008) mengatakan bahwa sertifikasi hutan yang dikelola masyarakat Indonesia mengikuti 2 skema sertifikasi yang berbeda dari 2 lembaga yang berbeda, yaitu

(20)

8

2 Skema sertifikasi hutan yang dikelola dengan intensitas rendah dan kecil (small and low intensity managed forest – SLIMF) oleh FSC.

Skema sertifikasi PHBM LEI berlandaskan pada perluasan sistematis hutan rakyat yang ada di Indonesia yang disebut tipologi. Tipologi tersebut disusun oleh LEI dengan mengelompokkan kawasan hutan rakyat berdasarkan: (1) klasifikasi lahan (hutan/bukan hutan/kawasan dilindungi), (2) orientasi manajemen (untuk kebutuhan sendiri/komersial), (3) tipe produk (kayu/non kayu), dan (4) status kepemilikan lahan (lahan milik negara/lahan masyarakat (perorangan dan komunal)/lahan hak milik pribadi).

3

METODE

Kerangka Pikir Penelitian

Berkes (1993) mengungkapkan bahwa Pengetahuan ekologi tradisional (TEK) merupakan pengalaman yang diperoleh selama ribuan tahun kontak langsung manusia dengan lingkungan. Pengetahuan tradisional digambarkan sebagai sesuatu yang diturunkan dalam masyarakat sebagai bagian dari warisan budaya (Lejano et. al 2013). Sementara itu, Konvensi Keanekaragaman Hayati mendefinisikan pengetahuan tradisional sebagai: pengetahuan, inovasi dan praktek-praktek masyarakat adat dan lokal yang berasal dari penggunaan sumber daya alam hayati dan praktik budaya yang terkait dan tradisi, pengetahuan tradisional merupakan tubuh pengetahuan dan keyakinan ditularkan melalui tradisi lisan dan tangan pertama, pengamatan tentang lingkungan setempat, dan sebagai sistem manajemen diri yang mengatur penggunaan sumber daya, dan memainkan peran penting dalam pembangunan berkelanjutan di dunia saat ini (Pei et al. 2009).

Pengetahuan ekologi tradisional berkembang dari waktu ke waktu. Dimulai dari tahap pemburu-pengumpul yang merupakan mata pencaharian subsisten manusia yang hidup di kawasan hutan. Dilanjutkan dengan penanaman tanaman pangan di sekitar hutan dan kemudian dilanjutkan dengan fase perladangan berpindah, sehingga pada akhirnya masyarakat mampu memanipulasi keanekaragaman hayati dalam berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan mata pencaharian mereka. Masyarakat tradisional ini memiliki berbagai macam sistem pertanian tradisional menetap yang terintegrasi dengan baik dalam lanskap hutan (Ramakrishnan 2007).

(21)

9 sosial, atau pengurangan nilai yang terkandung di dalamnya dan potensinya pada masa mendatang.

Pada penelitian ini, fokus kajian adalah untuk mengkaji pengetahuan petani hutan rakyat, perubahan-perubahan pengetahuan, serta sumber-sumber pemerolehan pengetahuan. Pengetahuan dan perubahan pengetahuan petani hutan rakyat yang akan dijelaskan adalah pengetahuan dalam teknik silvikultur pengelolaan hutan rakyat yang terdiri dari kegiatan persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan, sedangkan sumber-sumber pengetahuan yang akan dijelaskan adalah sumber-sumber pemerolehan pengetahuan petani dan sumber-sumber yang paling dominan menyebabkan perubahan pada pengetahuan petani.dari kajian aspek-aspek ini diharapkan dapat melengkapi data-data yang diperlukan dalam melakukan analisis permasalahan sehingga dapat menjawab tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini.

Definisi Operasional Pengelolaan Hutan

Pengetahuan petani hutan rakyat dalam pengelolaan hutan secara lestari dapat dilihat dari teknik silvikultur pengelolaan hutan rakyat. Teknik yang digunakan dalam pengelolaan hutan rakyat dapat dikatakan lestari apabila sesuai dengan teknik pengelolaan hutan secara ilmiah dan berdasarkan standar dari masing-masing lembaga yang memberikan sertifikasi pengelolaan hutan lestari. Standar tersebut dapat dilihat dari kriteria dan indikator. Adapun teknis pengelolaan hutan secara ilmiah adalah sebagai berikut:

1 Persiapan lahan ialah suatu upaya yang dilakukan oleh petani hutan dalam rangka mempersiapkan lahan yang akan ditanami, agar lahan tersebut terhindar dari berbagai hama dan penyakit. Kegiatan yang dilakukan dalam persiapan lahan berupa pembersihan lahan dan pengolahan tanah. Pengolahan lahan dilakukan pada saat musim kemarau.

a Pembersihan lahan ialah suatu tindakan yang dilakukan agar tanah siap untuk ditanami dan menghindarkan tanaman dari gangguan gulma yang akan menghambat tanaman pokok. Pembersihan lahan dilakukan baik secara manual maupun semi mekanis.

b Pengolahan tanah ialah suatu tindakan yang dilakukan untuk memudahkan dalam proses penanaman. Pengolahan tanah dilakukan dengan ukuran kedalaman 20−50 cm dan tidak boleh terlalu dangkal ataupun terlalu dalam.

2 Persiapan bibit yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memproduksi bibit yang berkualitas baik untuk memperoleh hasil yang menguntungkan secara ekonomi dan ekologis. Kegiatan persiapan bibit terdiri dari berbagai kegiatan yaitu pengadaan benih dan pembuatan persemaian.

a Pengadaan benih yang meliputi kegiatan pengumpulan benih, ekstraksi benih, dan penyimpanan benih ialah suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh benih yang berkualitas yaitu yang hasilnya banyak dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Pengadaan benih dapat dilakukan dengan membeli benih dari areal produksi benih dan atau melalui kegiatan pengunduhan.

(22)

10

penataan yang rapi dan teratur. Persemaian dilakukan dengan mengatur drainase tanah dengan membuat parit, mencampur top soil dan kompos untuk membantu menyuburkan lahan, pembuatan bedengan pada daerah miring ditimbun dengan tanah dan diratakan, pengaturan tata ruang dengan berpedoman pada denah persemaian yang telah dibuat.

3 Penanaman terdiri dari berbagai kegiatan, antara lain penentuan jarak tanam, pembuatan lubang tanam, dan pemasukan bibit ke lubang tanam.

a Penentuan jarak tanam ialah suatu tindakan untuk menentukan jarak antar satu tanaman dengan tanaman yang lain sehingga diperoleh ruang tumbuh yang baik.

b Pembuatan lubang tanam ialah suatu tindakan yang bertujuan agar tanaman lebih baik pertumbuhannya. Lubang tanam dibuat dengan jarak tanam tertentu sehingga pertumbuhannya lurus. Pembuatan lubang tanam dilakukan dengan mencangkul tanah.

c Penanaman ialah suatu tindakan memasukkan bibit ke dalam lubang tanam agar aman dari gangguan hewan dan dapat tumbuh dengan baik. Pemasukan bibit dilakukan dengan memasukkan bibit ke dalam tanah sesui dengan lubang yang telah dibuat.

4 Pemeliharaan yaitu kegiatan yang dilakukan untuk menjaga dan memelihara tanaman agar tidak mudah terserang hama dan penyakit sehingga pertumbuhannya baik. Pemeliharaan terdiri dari berbagai kegiatan berupa penyulaman, penanggulangan hama dan penyakit serta perlindungan lahan dan tanaman.

a Penyulaman ialah suatu tindakan yang bertujuan untuk mengantisipasi tanaman yang mati dengan mempersiapkan tanaman pengganti. Penyulaman dilakukan dengan mempersiapkan bibit cadangan dilahan lainnya untuk mengantisipasi ketidakberhasilan tanaman yang ditanam sebelumnya.

b Penyiangan ialah kegiatan yang dilakukan untuk membebaskan tanaman pokok dari tanaman pengganggu dengan cara membersihkan gulma yang tumbuh liar di sekeliling tanaman, agar kemampuan kerja akar dalam menyerap unsur hara dapat berjalan secara optimal. Disamping itu, tindakan penyiangan juga dimaksudkan untuk mencegah datangnya hama dan penyakit yang biasanya menjadikan rumput atau gulma lain sebagai tempat persembunyiannya, sekaligus untuk memutus daur hidupnya. c Pendangiran ialah kegiatan mengemburkan tanah di sekitar tanaman

dengan maksud untuk memperbaiki aerasi dan drainase tanah yang berguna bagi pertumbuhan tanaman.

d Penanggulan hama dan penyakit ialah suatu tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan tanaman yang baik pertumbuhannya dan lingkungan sekitar tanaman dapat mendukung pertumbuhan tanaman. penanggulan hama dan penyakit dilakukan dengan mengumpulkan berbagai bahan untuk dibuat ramuan obat pembasmi hama dan penyakit, menyemprotkan pestisida ataupun obat kimia lainnya, memberikan musuh alami bagi hama dan penyakit dengan melakukan penjagaan agar musuh alami tidak menyebar ke lokasi lainnya.

(23)

11 menjaga lahan dari serangan hama dan hewan pengganggu. Perlindungan lahan dan tanaman dilakukan dengan mencangkul tanah dan membuat tangga-tangga, penanaman tanaman secang, pembuatan jadwal ronda. 5 Pemanenan yaitu kegiatan pengambilan hasil dari tanaman yang diusahakan

baik berupa kayu, getah, buah dan daun. Pemanenan terdiri dari berbagai kegiatan berupa penebangan dan penyaradan.

a Penebangan ialah suatu tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil dari tanaman dengan meminimalisir dampak yang akan ditimbulkan sesudahnya, arah rebah dibuat dengan pertimbangan ekonomi, ekologi dan keselamatan kerja. Penebangan dilakukan dengan memotong batang sesuai tanda yang telah dibuat sebelumnya, mengukur batang dengan menggunakan meteran dan menguliti kayu yang sudah ditebang.

b Penyaradan ialah suatu tindakan yang dilakukan untuk mengangkut kayu hasil tebangan menuju alat pengangkut dengan mana dan tidak merusak kayu dan lingkungan sekitarnya dan tidak melewati situs kebudayaan, tempat keramat maupun kuburan. Penyadaran dilakukan dengan memperhatikan peta lokasi yang dibuat (Arafah, 2002).

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan dari Bulan April sampai Mei 2013 di di enam Kelompok Tani Hutan (KTH) di lima kecamatan yang tergabung di bawah Koperasi Taman Wijaya Rasa (Kostajasa) Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan Kabupaten Kebumen merupakan kabupaten yang terdapat petani hutan rakyat yang telah mendapatkan sertifikasi hutan rakyat lestari dengan skema

Forest Stewardship Council (FSC) pada tahun 2009. Adapun keenam KTH yang dijadikan sampel yaitu KTH Tani Makmur Desa Wonoharjo Kecamatan Rowokele, KTH Rindang Jaya Desa Arjomulyo dan KTH Wana Mukti Desa Sidomukti Kecamatan Adimulyo, KTH Margo Makmur Desa Pohkumbang Kecamatan Karanganyar, KTH Karya Sari Desa Sikayu Kecamatan Buayan, dan KTH Rimba Lestari Desa Kalibening Kecamatan Karanggayam.

Alat dan Objek Penelitian

Penelitian ini memerlukan beberapa alat bantu seperti kuisioner, alat tulis, kamera, alat perekam serta personal computer, sedangkan objek penelitian yaitu 108 orang perwakilan petani dari 910 petani yang memiliki lahan hutan rakyat yang tergabung dalam Kostajasa yang telah mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan rakyat lestari.

Metode Penelitian

(24)

12

1 Pemilihan lokasi penelitian

Lokasi dipilih secara sengaja (purposive), yaitu wilayah pengelolaan hutan rakyat Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah yang telah mendapatkan sertifikat hutan rakyat lestari.

2 Pemilihan responden

Kelompok yang dipilih menjadi responden merupakan kelompok yang telah mendapatkan sertifikat dan kelompok yang belum mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan rakyat lestari. Berdasarkan data per 31 Desember tahun 2011, ada 910 orang di Kabupaten Kebumen yang merupakan petani hutan rakyat yang tergabung dalam KTH di bawah naungan Kostajasa dalam pengelolaan hutan rakyat lestari. Pemilihan responden dilakukan secara acak. Jumlah responden ditentukan berdasarkan rumus Slovin (Nazir 2009).

dimana:

n = Ukuran sampel (responden) N = Ukuran populasi

e = Tingkat kesalahan yang ditolerir (9%)

Dari perhitungan menggunakan rumus, maka diperoleh jumlah responden yang akan diwawancara sebanyak 108 orang petani hutan rakyat yang telah tersertifikasi.

Jenis Data

Data yang dikumpulkan di dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian yang dikumpulkan melalui wawancara dengan responden menggunakan kuisioner dan observasi lapangan. Data primer yang dikumpulkan, antara lain: 1. Teknik pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani (kegiatan persiapan

lahan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan).

2. Sumber yang membentuk pengetahuan petani dalam mengelola hutan rakyat. 3. Sumber yang mempengaruhi perubahan pengetahuan petani.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari institusi atau lembaga tertentu. Data sekunder diperoleh dengan melakukan pencatatan terhadap data-data dan studi literatur yang mendukung tercapainya tujuan penelitian. Data sekunder yang dicatat dapat berasal dari hasil penelitian, data instansi terkait, lembaga informal dan sebagainya. Data sekunder yang dikumpulkan, antara lain: 1 Kondisi umum lokasi penelitian meliputi: letak dan keadaan fisik lingkungan. 2 Data umum masyarakat di lokasi penelitian meliputi: monografi masing-masing desa, jumlah penduduk, struktur umur, tingkat pendidikan masyarakat dan mata pencaharian.

(25)

13 Metode Pengumpulan Data

Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan 3 teknik, yaitu

1 Teknik wawancara, dilakukan untuk mendapatkan berbagai informasi terkait masalah yang diajukan dalam penelitian. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuisioner. Wawancara dilakukan oleh peneliti yang kemudian akan mendapatkan tanggapan dan respon dari 108 orang responden terpilih yang berupa penjelasan atau jawaban dari pertanyaan yang dilakukan.

2 Teknik observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap lokasi pengelolaan hutan rakyat serta terhadap objek penelitian. Observasi langsung di lapangan dilakukan untuk memperbandingkan hasil wawancara dengan kenyataan di lapangan, atau bahkan dapat mempertajam hasil wawancara.

Dengan metode ini diharapkan peneliti mampu melihat, merasakan dan memaknai gejala sosial yang diteliti dan bersama-sama membentuk dan mendapatkan pengetahuan dari objek penelitian peneliti.

3 Pencatatan data sekunder dari berbagai sumber/instansi dan hasil penelitian terdahulu.

Pengolahan dan Analisis Data

Data-data yang dikumpulkan berdasarkan hasil wawancara, survei lapang, dan pencatatan data sekunder kemudian dipadukan dan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Data yang didapat kemudian dipilih berdasarkan pada pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstarakan, dan transformasi data yang didapatkan dari kegiatan penelitian di lapangan. Selanjutnya dilakukan penyajian data dalam bentuk tabel, grafik, atau bagan. Dan langkah selanjutnya adalah penarikan kesimpulan, yang merupakan proses menghubungkan keterkaitan antar data secara kualitatif dengan merujuk pada literatur-literatur yang mendukung.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Kabupaten Kebumen

Berdasarkan data dari buku Kebumen Dalam Angka 2011, Kabupaten Kebumen merupakan Kabupaten yang masuk ke dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah. Secara administrasi pemerintahan wilayah Kabupaten Kebumen dibagi menjadi 26 kecamatan, 11 kelurahan, dan 449 desa. Kabupaten Kebumen memiliki luas wilayah 128.111,50 ha. Kabupaten Kebumen secara geografis terletak pada 7°27'−7°50' Lintang Selatan dan 109°22'−109°50' Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Kebumen berbatasan dengan:

Sebelah Utara : Kabupaten Banjarnegara Sebelah Selatan : Samudera Hindia

(26)

14

Pegunungan Serayu. Di selatan daerah Gombong, terdapat rangkaian pegunungan kapur, yang membujur hingga pantai selatan. Daerah ini terdapat sejumlah gua dengan stalagtit dan stalagmit. Dari luas wilayah Kabupaten Kebumen, pada tahun 2011 tercatat 39.768,00 hektar (31,04%) merupakan lahan sawah dan 88.343,50 hektar (68,96%) merupakan lahan kering (bukan sawah).

Penduduk Kabupaten Kebumen pada tahun 2011 tercatat 1.163.591 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 581.947 jiwa dan perempuan sebanyak 581.644 jiwa. Terdapat 312.646 rumah tangga sehingga rata-rata jumlah jiwa per rumah tangga sebesar 4 jiwa. Kepadatan rata-rata penduduk Kabupaten Kebumen sebesar 908 jiwa/km². Menurut kelompok umur, penduduk dibawah 15 tahun sebesar 27,50% (319.947 jiwa) dan penduduk 65 tahun keatas sebesar 8,73% (101.637 jiwa), sedang penduduk 15–64 tahun sebesar 63,77% (742.007 jiwa). Dari keadaan tenaga kerja (penduduk 15 tahun keatas) yang pada tahun 2011 berjumlah 845.264 jiwa terlihat angkatan kerja sebesar 69,91% dan bukan angkatan kerja sebesar 30,09%. Dari penduduk angkatan kerja yang bekerja sebanyak 97,91% dan yang 2,09% merupakan pencari kerja. Dari jumlah penduduk yang bekerja, 43,82% diantaranya bekerja di sektor pertanian, 16,62% bekerja di sektor industri pengolahan, 16,64% bekerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran, 12,87% bekerja di sektor jasa-jasa, serta sisanya di sektor konstruksi, angkutan dan komunikasi, dan sektor lainnya.

Koperasi Serba Usaha Taman Wijaya Rasa (KOSTAJASA)

Kostajasa dibentuk pada tanggal 27 Agustus tahun 2007. Koperasi ini dibentuk atas tindak lanjut atau perkembangan dari proses pembentukan Kelompok Tani Mahoni (KTM) di Kabupaten Kebumen yang difasilitasi oleh

Tropical Forest Trust (TFT). Kostajasa menawarkan dibentuknya kelompok tani hutan setelah melihat potensi hutan rakyat yang ada di desa tersebut. Kostajasa mengunjungi pemuka masyarakat (kepada desa, ketua RT, dan ketua kelompok tani) di setiap desa lokasi penelitian. Setelah ada kesepakatan antara Kostajasa dan pemuka masyarakat, kemudian diadakan pertemuan guna mensosialisasikan pengelolaan hutan rakyat lestari. Hasil dari sosialisasi ini membuahkan hasil yaitu adanya persetujuan dari pihak petani untuk membentuk dan bergabung ke dalam kelompok tani hutan di bawah bimbingan Kostajasa.

(27)

15 Tabel 1. Daftar Kelompok Tani Hutan yang Tergabung di Bawah Kostajasa

No. Nama

Kostajasa mengusung visi untuk menciptakan suatu usaha pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang memberikan manfaat bagi masyarakat di Kabupaten Kebumen, meningkatkan kapasitas anggota dalam pengelolaan hutan untuk menghasilkan kualitas hasil hutan yang terbaik, dengan tetap memelihara kelestarian lingkungan. Dengan misi untuk Meningkatkan tingkat kesejahteraan para anggota Kostajasa melalui penyediaan akses yang lebih baik ke pasar nasional dan internasional untuk hasil hutan kayu, peningkatan kualitas dan kuantitas tegakan hutan melalui penanaman kembali dan pemberian pelatihan dalam pengelolaan hutan secara lestari; dan Melindungi sumberdaya hutan rakyat di Kabupaten Kebumen dan mengelolaanya secara berkelanjutan sehingga lingkungan hidup tetap terpelihara dan memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya.

(28)

16

Karakteristik Responden

Umur Responden

Petani hutan rakyat sertifikasi lokasi penelitian sebagian besar tergolong berusia lanjut/tua (Tabel 2) dengan rataan usia 40−60 tahun (60,19%). Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar penduduk berusia muda (20−40 tahun) di Kabupaten Kebumen tersebut bekerja di luar desa atau merantau ke luar kabupaten. Kondisi ini dikhawatirkan akan menjadi permasalahan dalam pengembangan hutan rakyat lestari di masa mendatang, karena hanya petani lanjut usia yang masih tinggal di desa dan mengelola hutan rakyat. Bila tidak ada generasi penerus, dikhawatirkan usaha Hutan Rakyat Lestari di masa mendatang akan redup bahkan menghilang.

Tabel 2. Kategori Umur Responden

Umur (Tahun) Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)

<21 1 0,93

21−30 3 2,78

31−40 13 12,04

41−50 33 30,56

51−60 32 29,63

61−70 23 21,30

>71 3 2,78

Total 108 100

Tingkat Pendidikan Responden

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pendidikan responden, diketahui bahwa pendidikan responden masuk ke dalam kategori rendah karena sebagian besar responden hanya tamat SD. Distribusi persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan terlihat dalam Tabel 3.

Tabel 3. Tingkat Pendidikan Responden

Tingkat Pendidikan Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)

SD 85 78,70

SMP 10 9,26

SMA 10 9,26

D1/D2/D3 1 0,93

S1 2 1,85

Total 108 100

(29)

17 ini karena jarak Desa Sidomukti ke pusat kecamatan dan ke pusat kabupaten yang berjarak lebih dekat dibandingkan desa lainnya yang dijadikan lokasi penelitian. Tahun Awal Pengelolaan Hutan Rakyat

Sebagian besar petani hutan rakyat sudah cukup lama mengelola hutan rakyat (Tabel 4). Sebanyak 24,07% responden telah mengelola hutan rakyat selama lebih dari 39 tahun. Diikuti oleh responden yang telah mengelola hutan rakyat selama 33 tahun (18,52%), selama 38 tahun (16,67%), selama 28 tahun (15,74%), selama 18 tahun (13,89%), selama 23 tahun (9,26%), dan selama 13 tahun (1,85%).

Pengelolaan hutan rakyat diperkenalkan kepada responden sebagian besar ketika masih berusia remaja, bahkan anak-anak. Pengenalan pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian didapatkan responden dari orangtua mereka yang juga melakukan pengelolaan hutan rakyat. Pada waktu itu orang tua telah mengajari untuk menanami lahan yang gersang dengan pohon-pohonan, walaupun bukan dengan teknik penanaman yang benar, karena kondisi lahan yang tidak memungkinkan untuk menerapkan jarak tanam ideal. Semakin mereka merasakan manfaatnya, semakin mereka gemar menanam, sehingga telah membudaya bagi masyarakat. Walaupun tidak semua responden adalah petani, tetapi menanam pohon-pohonan juga dilakukan oleh anggota kelompok tani yang bukan petani, seperti guru, karyawan, PNS dan lainnya.

Tabel 4 Tahun Awal Pengelolaan Hutan Rakyat

Tahun Jumlah Responden (Orang) Persentase (%)

<1975 26 24,07

1976−1980 18 16,67

1981−1985 20 18,52

1986−1990 17 15,74

1991−1995 10 9,26

1996−2000 15 13,89

2001−2005 2 1,85

Total 108 100

Pekerjaan Utama Responden

Sebagian besar responden di lokasi penelitian bermata pencaharian utama sebagai petani. Hanya sebagian kecil petani yang memiliki mata pencaharian selain petani. Adapun mata pencaharian utama lainnya adalah sebagai guru, pengurus desa, dan pedagang (Tabel 5).

Tabel 5. Pekerjaan Utama Responden

Pekerjaan Jumlah (Orang) Persentase (%)

Petani 83 76,85

Guru 2 1,85

Pengurus Desa 15 13,89

Pedagang 8 7,41

(30)

18

Sumber Pengetahuan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat

Adapun sumber pengetahuan petani hutan rakyat Kabupaten Kebumen dalam mengelola hutan rakyat adalah sebagai berikut:

Pengetahuan Warisan

Sebagian besar lahan yang dikelola oleh petani hutan rakyat di lokasi penelitian merupakan lahan milik keluarga yang sebelumnya dikelola oleh orang tua petani. Hal ini menunjukkan bahwa menanam pohon sudah menjadi tradisi masyarakat pedesaan, artinya sudah dipraktikkan dan terlembaga dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat yang diturunkan dari generasi ke generasi (Suharjito 2011). Para petani diajak oleh orangtua mereka untuk ikut membantu kegiatan di lahan. Selanjutnya para orang tua petani memberikan pengajaran kepada petani tentang bagaimana cara menanam dengan cara mencontohkan terlebih dahulu yang kemudian diikuti oleh para petani. Hal ini diakui oleh petani di lokasi penelitian sebagai pengajaran yang paling tidak bisa dilupakan dan paling mudah diterapkan.

Para petani yang telah memulai mengelola hutan rakyat sejak usia remaja mengakui bahwa cara mengelola hutan rakyat yang dipraktikkan oleh orangtua mereka adalah cara yang masih mereka gunakan dalam mengelola hutan rakyat yang mereka miliki saat ini. Pengetahuan warisan yang sampai saat ini masih diterapkan petani di lahan hutan rakyat milik mereka adalah pembuatan terasering dari batu serta kegiatan penyulaman. Kegiatan membuat terasering ini masih diterapkan petani dikarenakan topografi lahan yang menuntut petani untuk tetap membuat terasering, sedangkan untuk kegiatan penyulaman merupakan kegiatan yang harus selalu dilakukan petani untuk mempertahankan kuantitas tanaman sesuai dengan yang direncanakan.

Pengalaman Bertani Petani

(31)

19 Selain itu, di KTH Desa Pohkumbang, akasia ditebang karena menurut pengalaman petani, dengan budidaya tanaman akasia sumber mata air menjadi kering dan tanaman bawah yang ditanam untuk tumpangsari tidak dapat tumbuh dengan baik. Kemudian, tanaman sengon yang ditanam petani lebih sering digantikan ke tanaman jati apabila tanaman sengon yang ditanam diserang hama. Hal ini dikarenakan berdasarkan pengalaman para petani, tanaman jati merupakan tanaman yang tidak mudah terserang hama meskipun masa tumbuhnya lama. Dari Petani ke Petani

Sebagian besar responden bermata pencaharian utama sebagai petani (76,85%). Baik itu petani hutan maupun petani sawah. Kesamaan latar belakang mata pencaharian ini membuat para petani saling bertukar informasi ataupun bertanya kepada petani lain yang dianggap mampu memecahkan masalah terkait tanaman yang mereka hadapi. Hubungan yang baik antar petani, baik yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari maupun yang berkaitan dengan pengelolaan usahatani, ditunjang oleh masih kuatnya hubungan persaudaraan pada masyarakat di lokasi penelitian.

Interaksi yang baik antar petani, dan masih kentalnya hubungan persaudaraan membuat situasi yang aman dalam berusahatani, tidak ada konflik berkaitan dengan batas lahan, hampir tidak ada kasus pencurian di ladang, saling menghormati dan ikut menjaga lahan usaha tetangganya dengan menjaga jarak tanam di perbatasan lahannya. Para petani di lokasi penelitian yang tergabung di dalam KTH rutin mengadakan arisan yang dimaksudkan untuk dapat mengikat antar sesama anggota KTH. Di Jawa, kelompok-kelompok tanitelah ada semenjak lama. Secara tradisional, bertani tak pernah merupakan aktivitas perorangan; sekelompok orang biasanya bekerja sama secara informal hampir sepanjang waktu dalam mengolah tanah, menanam, merawat dan memanen tanaman (Hinrich et al. 2008). Selain itu, budaya gotong royong masih berkembang baik di lokasi penelitian.

Hubungan sosial pada masyarakat ini menjadi kekuatan yang sangat mendukung proses pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Akan tetapi, wadah pertemuan ini belum dimanfaatkan secara khusus oleh petani sebagai media pembelajaran dan pembentukan perilaku petani, khususnya dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Padahal keberadaan kelompok sosial masyarakat seperti ini bila dikembangkan dan difasilitasi dengan baik dapat menjadi kapital sosial masyarakat yang sangat potensial untuk peningkatan perilaku positif bagi petani hutan rakyat sertifikasi.

Pihak Luar

Pendamping (Koperasi Taman Wijaya Rasa dan Tropical Forest Trust) Petani hutan rakyat di lokasi penelitian mendapatkan pendampingan dari

Tropical Forest Trust (TFT). TFT merupakan lembaga yang bekerjasama dengan FSC untuk memberikan semacam pendampingan agar suatu pengelolaan hutan layak disertifikasi (Maryudi 2005). Petani mendapatkan pendampingan terkait dengan:

(32)

20

2 Kelembagaan yang mencakup kegiatan: peningkatan berorganisasi anggota, peningkatan kapasitas anggota, meningkatkan kebersamaan antar anggota/KTH, dan mengadakan pertemuan regular KTH.

3 Produksi kayu: sebelumnya, petani hanya memproduksi kayu mahoni namun sejak tahun 2009 mulai melakukan produksi kayu untuk jenis komersial yang lain seperti jati, sonokeling, sengon, dan akasia.

4 Pengelolaan lingkungan yang mencakup kegiatan: perlindungan situs ekologi dan budaya, pengelolaan mata air masyarakat, pencegahan erosi lahan, perlindungan flora dan fauna dilindungi, dan pengendalian hama.

TFT rutin setiap 1 bulan 1 kali mengadakan pertemuan dengan para petani yang tergabung di dalam Kostajasa. Petani banyak mendapatkan informasi baru dari pertemuan ini. Melalui pertemuan ini petani juga dapat mengajukan pertanyaan atas permasalahan yang mereka temui di lapangan. Tidak hanya mengadakan pertemuan rutin dengan anggota kelompok, TFT juga melibatkan petani dalam kegiatan di lapangan.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan menyebutkan bahwa penyuluhan merupakan bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum yang merupakan hak azazi warga negara Republik Indonesia. Petani pernah mendapatkan penyuluhan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan mengenai kegiatan persiapan persemaian, persiapan lahan, pemeliharaan tanaman, dan pemupukan. Penyuluhan kehutanan diharapkan dapat mewujudkan hutan lestari, masyarakat sejahtera yang berkeadilan dan bekelanjutan (Mashur 2012). Akan tetapi, petani hanya merasakan kehadiran penyuluh beberapa tahun yang lalu saat ada program penghijauan dari pemerintah. Selain itu, dalam proses penyampaian materi penyuluhan, petani merasa kurang dilibatkan oleh penyuluh dimana penyuluh hanya menyampaikan informasi dalam bentuk sosialisasi, sedangkan diskusi mendapatkan porsi yang sedikit. Hal ini berdampak pada kecilnya pengaruh kegiatan penyuluhan yang dirasakan petani dalam menambah pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat.

Ada beberapa kendala yang menyebabkan penyuluh sulit untuk melakukan kegiatan penyuluhan dengan optimal, diantaranya yaitu

1 Penyuluh tidak mendapatkan fasilitas khusus untuk melakukan kegiatan penyuluhan;

2 Penyuluh tidak tinggal di wilayah binaan sehingga mengalami kesulitan untuk menjangkau petani binaan karena biaya dan fasilitasi yang kurang memadai; dan

(33)

21 Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, diketahui bahwa pendampingan TFT merupakan sumber yang dominan dalam perubahan pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat (Tabel 6).

Tabel 6. Sumber Perubahan Pengetahuan Paling Dominan

Sumber Jumlah (Orang) Persentase (%)

Pengetahuan Warisan 0 0

Pengalaman Bertani 35 32,41

Dari Petani ke Petani 0 0

TFT 66 61,11

Dinas Kehutanan dan Perkebunan 7 6,48

Total 108 100

Sebanyak 66 orang dari 108 orang responden (61,11%) menyatakan bahwa pendampingan dari TFT merupakan sumber yang memberikan banyak pengaruh dalam terjadinya perubahan pengetahuan petani hutan rakyat dalam mengelola hutan rakyat yang mereka miliki. Selanjutnya sebanyak 35 orang responden (32,41%) menyatakan bahwa yang memberikan pengaruh paling besar terhadap perubahan pengetahuan dalam mengelola hutan rakyat adalah pengalaman yang dimiliki oleh petani setelah menjalani praktik pengelolaan hutan rakyat selama bertahun-tahun. Kemudian, sebanyak 7 orang responden (6,48%) menyatakan bahwa penyuluhan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan ditahun 1971 yang memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan pengetahuan petani dalam mengelola hutan rakyat. Sementara itu, pengetahuan warisan dan sumber dari petani lain tidak dinyatakan petani sebagai sumber yang memberikan pengaruh paling besar terhadap perubahan pengetahuan petani dalam mengelola hutan rakyat. TFT dinyatakan petani sebagai sumber yang memberikan pengaruh dalam perubahan pengetahuan petani karena TFT memberikan pendampingan yang intensif kepada petani yang kemudian disertai dengan praktik atau implementasi di lapangan.

Perubahan Pengetahuan Petani Hutan Rakyat

Pengetahuan seseorang berkaitan dengan kemampuan mengingat, berfikir, dan memberikan komentar atau mengevaluasi terhadap suatu objek atau kejadian yang dihadapinya. Pengetahuan petani dapat berubah karena mengalami proses sosial seperti interaksi sosial dan sosialisasi. Vakkari et. al (2003) menyatakan bahwa pikiran kognitif berubah seiring dengan proses pencarian. Hal ini menunjukkan perubahan pengetahuan pengguna terjadi selama seluruh proses. Seperti perubahan pengetahuan yang terjadi pada petani hutan rakyat di Kabupaten Kebumen.

Persiapan Lahan

(34)

22

dengan melakukan penggemburan tanah maka tanah menjadi tidak padat dan akar dapat menembus tanah dengan baik (Rusdiana et al. 2000). Pendapat petani ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Indriyanto (2008), bahwa pembersihan lahan bertujuan untuk membersihkan tanaman lain yang dapat menjadi pesaing bagi tanaman inti.

Tabel 7 Persiapan Lahan yang Baik dan Buruk Menurut Petani

Nama Kegiatan Baik Buruk

Pembersihan lahan Areal tanam bersih semua dari rumput dan tanaman

Masih banyak rumput dan tanaman di areal tanam Pengolahan tanah Tanah dibuat terasering,

tanah gembur tidak padat

Tanah tidak dibuat terasering, tanah padat

Meskipun petani mengetahui persiapan lahan yang sebaiknya dilakukan, petani tetap tidak melakukan kegiatan pembersihan lahan dan pengolahan tanah sebelum kegiatan penanaman (100%). Ada beberapa alasan mengapa petani tidak melakukan persiapan lahan. Adapun alasan-alasan tersebut adalah

1 Menurut petani tanpa melakukan persiapan lahan pun, tanaman tetap tumbuh. 2 Kondisi lahan yang berbatu, sehingga sulit untuk melakukan kegiatan

pembersihan lahan dan pengolahan tanah. 3 Memerlukan banyak waktu dan tenaga.

Petani hanya membuat terasering pada lahan (Gambar 1), menggunakan batu yang tersedia berlimpah di sekitarnya. Petani mengumpulkan batu-batu, memecah, dan menyusun menjadi penguat dinding teras bangku. Menurut petani, dengan membuat terasering maka dapat menghindari lahan dari erosi.

Gambar 1 Terasering dari batu di lahan hutan rakyat. Persiapan Bibit

(35)

23 langsung menawarkan bibit ke desa (16,67%). Akan tetapi, petani mengalami perubahan pengetahuan setelah mendapatkan pendampingan dari TFT tentang persiapan bibit. Petani tidak hanya menggunakan bibit akan tetapi juga menggunakan benih sebagai bahan tanam (100%).

Petani mendapatkan benih melalui tiga cara, yaitu

1 Melalui pengunduhan langsung dari tegakan. Petani mengetahui, jika hendak mengambil benih harus diambil dari pohon yang memiliki ciri fisik batang tegak lurus dan tidak menjadi inang dari hama dan penyakit, sehingga benih yang didapatkan diharapkan akan memiliki sifat yang sama dengan pohon asal benih diambil.

2 Mendapatkan bantuan benih dari Dinas Pertanian dan Kehutanan. 3 Mendapatkan bantuan benih dari dari Kostajasa.

Setelah benih didapatkan oleh petani, maka petani akan melakukan penyeleksian benih yang akan digunakan sebagai bahan tanam. Petani dapat membedakan antara benih yang baik dan buruk untuk digunakan (Tabel 8). Benih-benih yang telah diseleksi ini kemudian akan ditanam di areal persemaian. Lokasi persemaian dibuat sementara, hanya beberapa bulan sebelum masa penanaman. Petani memilih lokasi yang mendapatkan sinar matahari yang cukup dan yang dekat dengan sumber mata air, sehingga memudahkan dalam kegiatan penyiraman rutin. Melalui kegiatan persemaian ini, petani menyatakan bahwa mereka dapat memilih benih yang baik untuk ditanam, sehingga persen tumbuh tanaman lebih besar jika dibandingkan dengan bibit hasil cabutan yang langsung ditanam (Indriyanto 2008). Pembuatan persemaian dan pemilihan lokasi persemaian yang dilakukan petani ini juga merupakan pengetahuan petani yang didapatkan setelah pendampingan dari TFT.

Tabel 8. Ciri-ciri Biji yang Baik dan Buruk Menurut Petani

Nama Tanaman Baik Buruk

Mahoni Biji yang berwarna coklat mengkilap

Biji yang berwarna coklat kusam

Jati Biji yang berasal dari pohon yang besar dan berdaun halus

Biji yang berasal dari pohon yang kecil dan berdaun kasar Sengon Biji berwarna coklat tua dan

berukuran besar

Biji berwarna coklat muda dan berukuran kecil

Gmelina Biji berwarna kecoklatan dan

berukuran besar ≥ 2 cm Biji berwarna kekuningan dan berukuran < 2 cm Sebelum benih ditanam di areal persemaian, terlebih dahulu dilakukan persiapan persemaian. Persiapan persemaian yang dilakukan meliputi kegiatan: 1 Menyiapkan media tanah yang kemudian dicampur dengan kompos organik. 2 Memasukkan media semai yang telah siap ke dalam polybag.

3 Memasukkan benih yang telah dipilih ke dalam polybag.

4 Menyiram benih yang telah ditanam di polibag setiap pagi dan sore hari. 5 Memindahkan polibag yang berisi tanaman setiap 1 bulan 1 kali yang berguna

(36)

24

setelah tanaman berumur 4 bulan, tanaman siap untuk di tanam di lahan. Saat berumur 4 bulan, tinggi tanaman telah mencapai sekitar 30 cm.

Bahan tanam dalam bentuk bibit didapatkan petani melalui 3 cara yaitu 1 Pengumpulan langsung dari bawah tegakan dengan menggunakan teknik

cabutan. Petani hanya mengambil bibit yang berasal dari pohon induk dengan ciri fisik batang tegak lurus, memiliki banyak daun, tidak menjadi inang dari hama ataupun penyakit, dan memiliki tinggi lebih dari 30 cm (Gambar 2).

Gambar 2 Anakan mahoni di bawah tegakan.

2 Bantuan dari Dinas Pertanian dan Kehutanan dan Koperasi Taman Wijaya Rasa.

3 Pembelian langsung ke pedagang bibit. Petani biasanya membeli bibit langsung dari pedangan bibit di pasaran namun ada juga yang membeli bibit ke pedagang bibit yang menjajakan bibit ke desa. Pedagang bibit ini masuk ke satu desa lokasi penelitian yaitu Desa Wonoharjo Kecamatan Rowokele, sedangkan desa lokasi penelitian lainnya diakui petani tidak pernah didatangi penjaual bibit langsung ke desa mereka. Petani di Desa Wonoharjo yang membeli bibit dari pedagang bibit yang menjajakan bibit langsung ke desa mengakui jika pembelian dengan cara itu lebih praktis dan lebih menghemat waktu, biaya, dan tenaga dibandingkan harus pergi ke penjual bibit di pasaran yang jaraknya jauh dari desa.

Dari ketiga cara pemerolehan bibit ini, petani lebih sering menggunakan bibit yang dikumpulkan langsung dari bawah tegakan. Hal ini karena petani tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan bibit tersebut.

Penanaman

(37)

25 yang masih memungkinkan untuk ditanam tanpa memperhatikan jarak tanam antar tanaman sehingga jarak antar tanaman tidak merata (Jariyah dan Wahyuningrum 2008). Ukuran lubang tanam yang dibuat petani hanya berdasarkan pada ukuran bibit yang akan ditanam. Bahkan ada petani yang tidak memindahkan anakan muda yang ada di bawah tegakan. Petani membiarkan anakan muda tersebut tumbuh tanpa memperhatikan jarak antar anakan muda. Akan tetapi, setelah mendapatkan penyuluhan dari Dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta pendampingan dari TFT, petani menjadi tahu tentang kegiatan penanaman yang sebaiknya dilakukan (Tabel 9).

Tabel 9. Kegiatan Penanaman yang Baik dan Buruk Menurut Petani

Nama Kegiatan Baik Buruk

ditentukan dan tinggi ajir < 1 m Pembuatan

Lubang Tanam

Ukuran lubang tanam 30 x 30 cm dengan kedalaman ± 30 cm

Ukuran lubang tidak

menyesuaikan dengan ukuran bibit

Penanaman Dilakukan di musim atau bulan-bulan penghujan

Dilakukan di musim atau bulan-bulan kemarau

Tidak semua teknis penanaman yang baik diterapkan oleh petani. Petani hanya menerapkan teknis penanaman dari segi waktu tanam, penggunaan ajir tanam, pembuatan ukuran lubang tanam, dan pemberian pupuk pada awal masa penanaman. Kecilnya luasan lahan (Lastini et al. 2006) dan topografi lahan yang berbukit dan berbatu menjadi faktor penyebab petani tidak membuat jalur tanam dan menerapkan jarak tanam yang dianjurkan. Selain itu, jumlah bibit yang tersedia sangat banyak baik itu bibit buah-buahan yang merupakan bantuan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Gambar 3), maupun bibit tanaman hutan hasil persemaian membuat petani merasa rugi jika tidak menanam bibit yang ada. Hal ini membuat petani akan menanam di area yang memungkinkan meskipun jarak tanam antar tanaman yang ada sudah sempit.

Pupuk yang digunakan petani adalah pupuk kompos yang dibuat petani dengan pendampingan dari TFT. Adapun langkah untuk membuat pupuk kompos ini adalah

1 Menyiapkan dedak atau bekatul, cacahan daun pisang atau daun padi, gula jawa, dan air.

2 Mencampurkan bahan yang telah disiapkan. 3 Menumbuk bahan yang telah dicampur. 4 Meremas-remas bahan yang telah ditumbuk.

(38)

26

Gambar 3 Bibit bantuan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pemeliharaan

Sebelum mendapatkan pendampingan dari TFT, mengacu pada kegiatan pemeliharaan menurut Baker et al. (1979) dalam Indriyanto (2008), cukup banyak kegiatan pemeliharaan yang tidak dilakukan petani di lokasi penelitian, diantaranya adalah kegiatan pendangiran, pemangkasan cabang, dan penjarangan tanaman. Selain itu, tidak semua kegiatan pemeliharaan rutin dilakukan petani kecuali kegiatan penyulaman. Kegiatan penyulaman rutin dilakukan petani karena tidak khawatir dengan ketersediaan bibit yang diperlukan karena selalu tersedia. Kegiatan penyulaman dilakukan oleh petani setelah melakukan pemeriksaan setiap 1 bulan 1 kali dimulai sejak penanaman sampai tanaman berusia sekitar 3 bulan. Penyulaman terus dilakukan sampai jumlah tanaman muda sesuai dengan rencana awal penenaman.

Sebelum mendapatkan pendampingan dari TFT, kegiatan pemupukan dilakukan oleh sebagian besar petani (65,74%) dengan menggunakan pupuk urea sedangkan sebagian kecil petani (34,26%) lainnya tidak melakukan kegiatan pemupukan karena tidak memiliki cukup biaya (Tabel 10). Petani yang tidak memberikan pupuk menyatakan bahwa tanpa diberikan pupuk tanaman akan tetap tumbuh.

Tabel 10. Persentase yang Memberikan Pupuk Urea dan yang Tidak Memberikan Pupuk

Nama Jumlah (Orang) Persentase (%)

Memberikan pupuk urea 71 65,74

Tidak memberikan pupuk 37 34,26

Total 108 100

Gambar

Tabel 1. Daftar Kelompok Tani Hutan yang Tergabung di Bawah Kostajasa
Tabel 7 Persiapan Lahan yang Baik dan Buruk Menurut Petani
Tabel 8. Ciri-ciri Biji yang Baik dan Buruk Menurut Petani
Tabel 9. Kegiatan Penanaman yang Baik dan Buruk Menurut Petani
+3

Referensi

Dokumen terkait

Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk memaparkan tingkat penerapan inovasi sistem budidaya tanaman mangrove yang dilakukan oleh masyarakat atau petani mangrove di Pulau

Rumusan daripada analisis keseluruhan menunjukkan bahawa faktor tertinggi yang mendorong masyarakat Baba dan Nyonya di Bandar Melaka menceburi bidang keusahawanan

akhirnya skripsi dengan judul “ Pengaruh Kinerja Likuiditas, Kualitas Aktiva, Sensitifitas, Efisiensi, dan Profitabilitas Terhadap Return On Asset (ROA) Pada Bank

Dari berbagai pengungkapan ini, Allah ingin memperlihatkan betapa kebesaran-Nya bisa diketahui dengan memperhatikan hamparan di alam semesta ini, bintang juga

Berdasarkan perumusan diatas, maka tujuan penelitian adalah untuk menganalisis pencapaian rasio likuiditas, rasio solvabilitas, rasio aktivitas dan rasio rentabilitas

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi 212 PENGHASILAN KOMPREHENSIF LAIN TAHUN BERJALAN - NET PAJAK PENGHASILAN TERKAIT (1,058). TOTAL LABA

Dalam penelitian ini penulis ingin merancang sebuah sistem yang baru dalan mendiagnosa awal penyakit kanker lidah berbasis web sehingga dapat membantu masyarakat

kembali seluruh Dokumen Pengampunan Pajak ke dalam amplop bersegel yang sudah diberikan barcode. 3) Subtim Penerima dan Peneliti di Tempat Tertentu menyimpan Dokumen