• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Lengkuas (Alpinia Galanga) Dalam Mengawetkan Bakso

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemanfaatan Lengkuas (Alpinia Galanga) Dalam Mengawetkan Bakso"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN LENGKUAS (Alpinia galanga) DALAM MENGAWETKAN BAKSO

SKRIPSI

Oleh:

BUDI HARDIANSYAH SIREGAR NIM. 081000036

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PEMANFAATAN LENGKUAS (Alpinia galanga) DALAM MENGAWETKAN BAKSO

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

BUDI HARDIANSYAH SIREGAR NIM. 081000036

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

ABSTRAK

Bakso merupakan salah satu makanan favorit masyarakat Indonesia yang memiliki waktu simpan yang cukup singkat. Untuk mengatasi masalah tersebut, para produsen maupun pedagang bakso menggunakan bahan pengawet berbahaya yang memiliki dampak buruk bagi kesehatan masyarakat yang gemar makan bakso.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan lengkuas (Alpinia galanga) dalam memperpanjang waktu simpan bakso.

Jenis penelitian yang digunakan adalah Quasi Experiment dengan rancangan penelitian rancangan acak lengkap. Sampel bakso diberi perlakuan dengan menambahkan lengkuas pada proses perebusan bakso dengan konsentrasi 100 gr, 200 gr, dan 300 gr pada setiap 250 gr adonan bakso serta 0 gr sebagai kontrol dalam 3 air. Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak 5 kali pengulangan.

Adapun hasilnya menunjukkan rata-rata waktu simpan bakso pada konsentrasi lengkuas 0 gr (kontrol) yaitu 19 jam 12 menit, pada konsentrasi 100 gr yaitu 26 jam 24 menit, pada konsentrasi 200 gr yaitu 24 jam 48 menit, serta pada konsentrasi 300 gr yaitu 22 jam 24 menit. Berdasarkan hasil uji t Dependen menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara perlakuan berbagai konsentrasi lengkuas dalam memperpanjang waktu simpan bakso. Hasil uji BNT menunjukkan bahwa konsentrasi lengkuas yang dapat memperpanjang waktu simpan bakso paling lama adalah pada konsentrasi 100 gr lengkuas.

Dengan demikian, produsen dan pedagang dapat menggunakan lengkuas sebagai pengawet bakso yang aman bagi kesehatan. Sebaiknya penambahan lengkuas dilakukan saat air perebusan bakso tidak dalam keadaan mendidih (± 50-60 oC) dan menggunakan lengkuas muda.

(5)

ABSTRACT

Meatballs are one of Indonesian favorite foods who have short preserving time. Handling these problems, the meatball producers and traders using harmful preservatives which have bad effects on people’s health who love to eat meatballs.

The research’s purpose was to determine the ability of galangal (Alpinia galanga) in extending the meatballs preserving time.

The research type was Quasy Experiment with a completely randomized design. Meatball samples were treated by adding galangal to its boiling process with concentration of 100 grams, 200 grams, 300 grams on each 250 grams meatball’s dough and 0 gram as a control in 3 water. Each treatment performed 5 repetitions.

The result showed an average meatballs preserving time at concentration of galangal 0 gram (control) is 19 hours 12 minutes, at concentration of 100 grams is 26 hours 24 minutes, at concentration of 200 grams is 24 hours 48 minutes, at concentration of 300 grams is 22 hours 24 minutes. Based on dependent t results showed a significant difference between treatments with range of galangal concentrations in extending the meatballs preserving time. The LSD test results showed that the concentration of galangal who can have the longest meatballs preserving time is at concentration of 100 grams galangal.

Thus, producers and traders can use galangal as meatballs preservative which are safe for health. Addition of ginger should be done when meatballs boiling water is not in boiling condition (± 50-60 oC) and it is suggested to use young galangal.

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Budi Hardiansyah Siregar

Tempat/Tanggal Lahir : Pangkalan Berandan/16 Agustus 1991

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Anak ke : 1 dari 3 bersaudara

Status Perkawinan : Belum Menikah

Alamat Rumah : Jl. Tanjung Pura Gg. Umar Pelawi Dalam

Pangkalan Berandan

Riwayat Pendidikan Formal

Tahun 1996 – 2002 : SD Negeri 050750 Pelawi

Tahun 2002 – 2005 : SMP Negeri 2 Babalan

Tahun 2005 – 2008 : SMA Negeri 1 Babalan

Tahun 2008 – 2013 : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Medan

Riwayat Organisasi

1. HMI Komisariat FKM USU

(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Pemanfaatan Lengkuas (Alpinia galanga) Dalam Mengawetkan Bakso”.

Skripsi ini merupakan persembahan penulis bagi kedua orang tua yang luar

biasa, Ayahanda M. Syafi’i Siregar dan Ibunda Sugiharni. I do thank to Allah for giving u two be my parents. You are the best parents I ever have in my life. Terima

kasih untuk Cinta Kasih, Doa, Kepercayaan serta Dukungan untuk penulis.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari

berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH dan dr. Surya Dharma, MPH selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan sabar dan penuh perhatian membimbing

penulis mulai dari awal hingga berakhirnya penyusunan skripsi.

3. Ir. Evi Naria, MKes selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU yang telah memberikan motivasi dan saran yang sangat berarti bagi

penulis.

(8)

Ashar, MKM, selaku Dosen dan Dosen Penguji yang juga memberikan masukan dan saran bagi penulis.

5. Dr. Ir. Evawany Yunita Aritonang, MKes, selaku Dosen Penasehat Akademik yang selalu memberikan nasehat dan motivasi selama penulis

melaksanakan perkuliahan dan menyelesaikan skripsi.

6. Dian Afriyanti, AMd, selaku pegawai Departemen Kesehatan Lingkungan,

Marihot Oloan Samosir, ST dan Ajeng Pramita, AMd yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk membantu penulis.

7. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan staf di Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

8. Rina Khairija Siregar, M. Syafrizal Azmi Siregar dan Amalia Putri Siregar selaku kakak sepupu dan adik penulis. Terima kasih untuk cintanya. 9. Kepada Sahabatku Titan Amaliani, Syofia, Marina Aprina dan Fitrya

Pratiwi, Sri Wahyuni, Rikki Suhanda yang sama-sama berjuang dan terus bersama dalam kehidupan mahasiswa. Terima kasih.

10.Kepada Sahabatku, Frian Syahri Siregar, kak Ilma Sakinah Tamsil, bang Kurniawan Zebua, Sri Syahriani Ritonga, Kurniawan Putra dan “dia” yang secara bergantian terus menyokong penulis dalam berbagai kondisi.

Terima kasih.

(9)

12.Kepada Kakanda Juniyanti Puspita Sari Lubis, Nadya Ulfa Tanjung, Rina Hudaya, Fadilah Aini, Putra Apriadi Siregar, Deli Syaputri dan Febri Susanti, terima kasih untuk bimbingannya selama ini.

13.Teman-teman HMI Koms FKM USU 08 (Zul Salasa, Fauzi Ariansyah, Sari Rahmadani, Hilma Farhani, Winda Guma Yandri, Alista Simanjuntak, Novika) serta teman-teman lainnya yang telah memotivasi penulis. Danke. 14.Kepada teman-teman seperjuangan selama PBL dan LKP (Alm. Febrina

Anggraeni, Lennie Melisa, kak Irma Handayani, bang Zupriwidani, kak Romili, Vero, Eka, kak Yus, kak Vero, Jelen, Putri Marlinang, bang Pahotor, kak Imee, Yus, Mala, Dina, Melisah Pitri Siregar, bang DwiSyahputra Htg dan Dije), that’s an unforgetable memories, guys! Glad to know u all.

15.Kepada semua pihak yang tetap mengatakan “pasti bisa” sementara sebagian

besar lainnya mengatakan “tidak”, penulis ucapkan terima kasih.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan

sehingga diperlukan kritik dan saran yang membangun. Semoga Allah SWT

senantiasa melimpahkan karunia-Nya kepada kita semua dan semoga tulisan ini

bermanfaat bagi semua pihak. Amiin.

Medan, Juli 2013

(10)

DAFTAR ISI

2.4.1. Pengertian Bahan Pengawet Makanan ... 11

2.4.2. Manfaat Pengawetan Makanan ... 12

2.4.3. Teknik Pengawetan Makanan ... 13

2.5. Lengkuas... 18

2.6.5. Ciri-Ciri Bakso yang Rusak... 25

(11)

3.3. Objek Penelitian ... 27

4.1. Hasil Pengamatan Waktu Simpan Bakso Dengan Penam- bahan Lengkuas (Alpinia galanga) ... 35

4.2. Analisa Statistika Pengaruh Penambahan Lengkuas (Alpinia galanga) Terhadap Waktu Simpan Bakso ... 36

4.2.1. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov... 36

4.2.2. Hasil Uji Levene ... 37

4.2.3. Hasil Uji t Dependen (Paired t Test)... 37

4.2.4. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil ... 38

4.3. Hasil Pengamatan Perubahan Fisik Pada Bakso Dengan Dan Tanpa Penambahan Lengkuas (Alpinia galanga) Pada Proses Perebusan Bakso ... 39

BAB V PEMBAHASAN ... 48

5.1. Waktu Simpan Bakso ... 48

5.2. Pengaruh Penambahan Lengkuas (Alpinia galanga) De- ngan Menggunakan Berbagai Konsentrasi Terhadap Wak- tu Simpan Bakso ... 50

5.3. Pengujian Penambahan Lengkuas (Alpinia galanga) Yang Paling Efektif Dalam Menambah Waktu Simpan Bakso .. 52

(12)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 55

6.1. Kesimpulan ... 55 6.2. Saran ... 55

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Waktu Simpan Bakso Tanpa Penambahan Dan Dengan Penambahan Lengkuas (Alpinia galanga) Pada

Proses Perebusan Bakso ... 35 Tabel 4.2. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Waktu Simpan Bakso Pada

Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga) ... 36 Tabel 4.3. Hasil Uji Kesamaan Varians Waktu Simpan Bakso Pada

Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga) ... 37 Tabel 4.4. Hasil Uji t Dependen Waktu Simpan Bakso Pada Berbagai

Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga)... 37 Tabel 4.5. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Waktu Simpan Bakso

Pada Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga) ... 38 Tabel 4.6. Hasil Pengamatan 4 Jam Pertama Perubahan Fisik Bakso De- ngan Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga) ... 40 Tabel 4.7. Hasil Pengamatan 4 Jam Kedua Perubahan Fisik Bakso De-

ngan Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga) ... 41 Tabel 4.8. Hasil Pengamatan 4 Jam Ketiga Perubahan Fisik Bakso De-

ngan Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga) ... 42 Tabel 4.9. Hasil Pengamatan 4 Jam Keempat Perubahan Fisik Bakso De- ngan Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga) ... 43 Tabel 4.10. Hasil Pengamatan 4 Jam Kelima Perubahan Fisik Bakso De- ngan Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga) ... 44 Tabel 4.11. Hasil Pengamatan 4 Jam Keenam Perubahan Fisik Bakso De- ngan Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga) ... 45 Tabel 4.12. Hasil Pengamatan 4 Jam Ketujuh Perubahan Fisik Bakso De- ngan Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga) ... 46 Tabel 4.13. Hasil Pengamatan 4 Jam Kedelapan Perubahan Fisik Bakso

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Permohonan Izin Pemakaian Laboratorium

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian Lampiran 3. Hasil Analisa Statistik

a. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov (Normalitas) Waktu Simpan Bakso Pada Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga)

b. Hasil Uji Levene (Kesamaan Varians) Waktu Simpan Bakso Pada Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga)

c. Hasil Uji t Dependent Waktu Simpan Bakso Pada Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga)

d. Perhitungan Nilai Koefisien Keragaman (KK) Waktu Simpan Bakso

e. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) atau (LSD) Waktu Simpan Bakso Pada Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga)

(16)

ABSTRAK

Bakso merupakan salah satu makanan favorit masyarakat Indonesia yang memiliki waktu simpan yang cukup singkat. Untuk mengatasi masalah tersebut, para produsen maupun pedagang bakso menggunakan bahan pengawet berbahaya yang memiliki dampak buruk bagi kesehatan masyarakat yang gemar makan bakso.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan lengkuas (Alpinia galanga) dalam memperpanjang waktu simpan bakso.

Jenis penelitian yang digunakan adalah Quasi Experiment dengan rancangan penelitian rancangan acak lengkap. Sampel bakso diberi perlakuan dengan menambahkan lengkuas pada proses perebusan bakso dengan konsentrasi 100 gr, 200 gr, dan 300 gr pada setiap 250 gr adonan bakso serta 0 gr sebagai kontrol dalam 3 air. Masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak 5 kali pengulangan.

Adapun hasilnya menunjukkan rata-rata waktu simpan bakso pada konsentrasi lengkuas 0 gr (kontrol) yaitu 19 jam 12 menit, pada konsentrasi 100 gr yaitu 26 jam 24 menit, pada konsentrasi 200 gr yaitu 24 jam 48 menit, serta pada konsentrasi 300 gr yaitu 22 jam 24 menit. Berdasarkan hasil uji t Dependen menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara perlakuan berbagai konsentrasi lengkuas dalam memperpanjang waktu simpan bakso. Hasil uji BNT menunjukkan bahwa konsentrasi lengkuas yang dapat memperpanjang waktu simpan bakso paling lama adalah pada konsentrasi 100 gr lengkuas.

Dengan demikian, produsen dan pedagang dapat menggunakan lengkuas sebagai pengawet bakso yang aman bagi kesehatan. Sebaiknya penambahan lengkuas dilakukan saat air perebusan bakso tidak dalam keadaan mendidih (± 50-60 oC) dan menggunakan lengkuas muda.

(17)

ABSTRACT

Meatballs are one of Indonesian favorite foods who have short preserving time. Handling these problems, the meatball producers and traders using harmful preservatives which have bad effects on people’s health who love to eat meatballs.

The research’s purpose was to determine the ability of galangal (Alpinia galanga) in extending the meatballs preserving time.

The research type was Quasy Experiment with a completely randomized design. Meatball samples were treated by adding galangal to its boiling process with concentration of 100 grams, 200 grams, 300 grams on each 250 grams meatball’s dough and 0 gram as a control in 3 water. Each treatment performed 5 repetitions.

The result showed an average meatballs preserving time at concentration of galangal 0 gram (control) is 19 hours 12 minutes, at concentration of 100 grams is 26 hours 24 minutes, at concentration of 200 grams is 24 hours 48 minutes, at concentration of 300 grams is 22 hours 24 minutes. Based on dependent t results showed a significant difference between treatments with range of galangal concentrations in extending the meatballs preserving time. The LSD test results showed that the concentration of galangal who can have the longest meatballs preserving time is at concentration of 100 grams galangal.

Thus, producers and traders can use galangal as meatballs preservative which are safe for health. Addition of ginger should be done when meatballs boiling water is not in boiling condition (± 50-60 oC) and it is suggested to use young galangal.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Abraham Maslow membentuk suatu teori mengenai kebutuhan dasar manusia

yang dikenal dengan teori hierarki kebutuhan manusia. Teori ini terdiri dari lima

tingkat dimana pada tingkatan paling dasar yang harus dipenuhi adalah kebutuhan

fisiologis. Kebutuhan ini terdiri dari kebutuhan oksigen, makanan, air, dan suhu

tubuh relatif konstan. Hal ini menjelaskan mengapa makanan begitu penting bagi

kehidupan manusia (Maulana, 2009).

Berdasarkan definisi dari WHO, makanan adalah semua substansi yang

dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan, dan substansi-substansi lain

yang digunakan untuk pengobatan (Chandra, 2006). Makanan menjadi begitu penting

karena fungsi pokoknya bagi kehidupan manusia, yaitu : 1). Memelihara proses

tubuh dalam pertumbuhan/perkembangan serta mengganti jaringan tubuh yang rusak.

2). Memperoleh energi guna melakukan aktivitas sehari-hari. 3). Mengatur

metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral dan cairan tubuh yang

lain. 4). Berperan di dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit

(Notoatmodjo, 2003 dalam Mulia, 2005).

Menurut Mulia (2005), kualitas makanan harus diperhatikan agar makanan

dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kualitas tersebut mencakup ketersediaan

zat-zat (gizi) yang dibutuhkan dalam makanan dan pencegahan terjadinya kontaminasi

(19)

Makanan merupakan suatu produk yang mudah membusuk. Proses

pembusukan ini dipengaruhi oleh dua penyebab utama yaitu faktor kimia (enzim) dan

faktor biologi (mikroorganisme). Gangguan pada enzim yang terdapat di dalam

makanan dan kontaminasi oleh mikroorganisme dapat mengakibatkan kejadian

keracunan makanan pada individu yang mengkonsumsi makanan tersebut (Koren,

2003).

Demi mendapatkan makanan dengan bentuk dan aroma yang menarik, rasa

enak, warna dan konsistensinya baik serta awet, maka sering pada proses

pembuatannya dilakukan penambahan “bahan tambahan makanan” (BTM) yang

disebut zat adiktif kimia (food additiva) (Widyaningsih, 2006).

Bahan tambahan makanan adalah segala bahan atau campuran bahan di luar

bahan makanan pokok yang ditambahkan selama produksi, penyimpanan atau

pengemasan makanan. Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah untuk

mengawetkan, mengemulsi, memperkuat rasa, memperkuat warna dan meningkatkan

nilai gizi pada makanan (Koren, 2003).

Menurut Widyaningsih (2006), pemakaian bahan tambahan makanan ini

memberikan keuntungan besar bagi industri makanan sebab makanan jadi tidak cepat

rusak atau busuk karena makanan menjadi lebih awet. Secara garis besar zat

pengawet dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : 1). GRAS (Generally Recognized as

Safe) yang umumnya bersifat alami sehingga aman dikonsumsi. 2). ADI (Acceptable

Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya untuk melindungi

kesehatan konsumen. 3). Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi karena

(20)

Banyaknya penggunaan zat pengawet berbahaya saat ini menjadi masalah

kesehatan yang cukup serius yang sering kita temui. Pada tahun 2006, Badan POM

melakukan pengujian pada Jajanan Anak Sekolah di sekolah dasar di seluruh ibukota

provinsi di Indonesia. Hasilnya terdapat 5,76 % mi yang mengandung formalin (434

sampel per parameter) dan 2,53 % bakso yang mengandung formalin (474 sampel per

parameter) (Anonim, 2007 dalam Ginting, 2010). Hal serupa juga ditemukan oleh

Dinas Kesehatan Ciamis pada tahun 2012. Mereka menemukan formalin pada udang

laut sebanyak 0,1 mililiter, dan 0,25 mililiter pada mie. Selain itu mereka juga

menemukan kandungan boraks pada bakso sebanyak 0,50 mililiter.

Hasil pemeriksaan formalin yang dilakukan Ginting (2010) pada bakso yang

dijual di Sekolah Dasar di Kota Medan menunjukkan bahwa dari dua puluh satu

sampel yang dianalisis berasal dari dua puluh satu Sekolah Dasar yang tersebar di dua

puluh satu kecamatan di kota Medan terdapat tujuh sampel positif mengandung

formalin dengan kadar berkisar 20,71 mcg/g hingga 49,44 mcg/g.

Sementara itu pemeriksaan yang dilakukan Panjaitan (2010) pada bakso yang

dijual di Kota Medan menunjukkan bahwa dari sepuluh sampel yang dianalisis

berasal dari sepuluh tempat yang berbeda di kota Medan terdapat delapan sampel

yang mengandung boraks dengan kadar 0,08 % hingga 0,29 %.

Formalin yang berada di dalam makanan dapat menyebabkan keracunan pada

tubuh manusia, dengan gejala antara lain : sakit perut akut disertai muntah-muntah,

mencret berdarah, depresi susunan syaraf dan gangguan peredaran darah. Injeksi

(21)

waktu 3 jam. Penggunaan formalin dengan dosis tinggi dapat menyebabkan kanker

karena zat ini bersifat karsinogenik (Anonim, 2008).

Boraks merupakan antiseptik sehingga dapat dijadikan bahan pengawet

namun penggunaan dalam makanan dapat menimbulkan efek buruk pada manusia.

Bila mengkonsumsi boraks secara terus-menerus akan menimbulkan efek seperti

pusing, badan malas, depresi, delirium, muntah, diare, kram, kejang, koma, kollaps

dan sianosis (Khamid, 2006 dalam Panjaitan, 2010).

Peningkatan penggunaan bahan pengawet berbahaya pada makanan membuat

banyak pihak mulai mencari bahan altenatif pengganti bahan pengawet yang dapat

membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi makanan tersebut. Bahan

alternatif ini hendaknya merupakan bahan yang aman, bersifat alami, mudah

diperoleh, dan harganya terjangkau sehingga para produsen makanan tidak akan

menggunakan bahan berbahaya lagi bagi kesehatan. Bahan alternatif ini disesuaikan

dengan jenis makanannya. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai bahan

alternatif adalah Sodium Tri Poly Phosphate (STPP) maksimal sebanyak 0,3 % untuk

bakso dan mi basah, gliserin atau gliserol maksimal 1 % untuk mi basah, Carboxy

Methyl Cellolose (CMC) maksimal 0,5-1 % untuk mi basah, garam dapur maksimal

1 % untuk ikan asin dan perendam tahu. Cuka digunakan untuk perendam tahu

maksimal sebanyak 0,3 % dan bumbu dapur (bawang putih, kunyit, lengkuas, dan

ketumbar) untuk pengolahan ikan (Widyaningsih, 2006).

Lengkuas merupakan tumbuhan rempah-rempah yang sangat populer di

Indonesia dimana penggunaannya sudah menjadi resep turun temurun Nusantara.

(22)

tradisional. Penggunaan bubuk lengkuas sebagai bahan bumbu utama pada masakan

rendang yang berasal dari Padang membuat makanan ini memiliki daya tahan hingga

tiga sampai empat hari (Udjiana, 2008).

Di dalam lengkuas terdapat minyak atsiri yang bersifat antimikroba dan

antifungi. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan minyak atsiri pada rimpang

lengkuas mengandung senyawa eugenol, sineol, dan metil sinamat (Buchbaufr, 2003

dalam Luftana, 2009). Menurut Silvina (2006), senyawa eugenol dan diterpene pada

ekstrak rimpang lengkuas terbukti bersifat antifungi terhadap Candida albicans.

Minyak atsiri pada lengkuas dengan konsentrasi 100 ppm belum dapat

menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus, tapi mampu menghambat pertumbuhan

bakteri E. coli dengan diameter daerah hambatan 7 mm. Konsentrasi minyak atsiri

pada 1000 ppm dapat menghambat pertumbuhan kedua bakteri yang diuji yaitu

bakteri E. coli dan S. aureus dengan diameter daerah hambatan masing-masing 9 mm

dan 7 mm (Parwata, 2008).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (1999) menunjukkan bahwa

lengkuas merah yang muda memiliki aktivitas antimikroba yang tinggi dengan daya

hambat rata-rata 38,3 %. Penelitian terhadap ikan kembung terbukti dapat

memperpanjang masa simpan ikan tersebut pada suhu 4 oC dari 5 hari menjadi 7 hari

dengan menggunakan bubuk lengkuas 2,5 % yang dikombinasikan dengan

penambahan garam 5 %.

Pamungkas (2010) melakukan percobaan pada pengawetan ikan kembung

dengan melumuri ikan kembung tersebut dengan pati lengkuas yang berasal dari 200

(23)

Ketika dilakukan pengujian pada perubahan rasa didapatkan bahwa ikan yang

diawetkan memiliki rasa lengkuas agak getir pada bagian kulit namun saat diuji pada

bagian daging, rasa ikan kembung tersebut justru lebih gurih daripada ikan kembung

yang tidak dilumuri dengan pati lengkuas.

Oleh karena lengkuas mengandung senyawa yang antimikroba, maka penulis

melakukan penelitian mengenai pemanfaatan lengkuas (Alpinia galanga) dalam

mengawetkan bakso.

1.2. Rumusan Masalah

Bakso merupakan salah satu makanan favorit masyarakat Indonesia yang

memiliki waktu simpan yang cukup singkat. Untuk mengatasi masalah tersebut, para

produsen maupun pedagang bakso menggunakan bahan pengawet berbahaya yang

memiliki dampak buruk bagi kesehatan masyarakat yang gemar makan bakso. Oleh

sebab itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bahan pengawet makanan

yang berasal dari bahan alami. Lengkuas (Alpinia galanga) yang merupakan

tumbuhan rempah-rempah yang cukup populer di Indonesia mengandung senyawa

minyak atsiri yang terbukti bersifat antimikroba sehingga diduga dapat dijadikan

bahan alternatif sebagai bahan pengawet yang aman bagi makanan. Dengan demikian,

perlu dilakukan penelitian mengenai kemampuan lengkuas (Alpinia galanga) dalam

mengawetkan bakso.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui kemampuan lengkuas (Alpinia galanga) dalam

(24)

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui waktu simpan bakso yang direbus dengan 0 gr, 100 gr, 200 gr,

300 gr lengkuas terhadap 250 gr adonan bakso dalam 3 air dengan melihat ciri

fisik bakso yaitu tekstur, bau, warna dan rasa.

2. Untuk mengetahui penambahan lengkuas yang paling efektif pada proses

perebusan bakso dalam memperpanjang waktu simpan bakso.

3. Untuk mengetahui proses perubahan fisik pada bakso yang direbus dengan 0 gr,

100 gr, 200 gr, 300 gr lengkuas terhadap 250 gr adonan bakso dalam 3 air.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Sebagai bahan informasi bagi produsen dan pedagang makanan seperti bakso,

bahwa lengkuas dapat dijadikan sebagai pengawet alami yang dapat dijadikan

bahan alternatif pengganti formalin.

b. Sebagai bahan informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi civitas

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Makanan

Makanan adalah suatu produk yang mudah rusak yang terdiri dari protein,

karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, air dan serat yang digunakan oleh organisme

dalam memelihara pertumbuhan, perbaikan jaringan, mempertahankan proses-proses

penting dan menghasilkan energi (Koren, 2003). Menurut Chandra (2006), terdapat 2

faktor yang menyebabkan suatu makanan menjadi berbahaya bagi manusia, antara

lain :

1. Kontaminasi

Kontaminasi pada makanan dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti :

a. Parasit, misalnya cacing dan amuba.

b. Golongan mikroorganisme, misalnya Salmonella dan Shigella.

c. Zat kimia, misalnya bahan pengawet dan pewarna.

d. Bahan-bahan radioaktif, misalnya kobalt dan uranium.

e. Toksin atau racun yang dihasilkan oleh mikroorganisme, seperti Staphilococcus

dan Clostridium botulinum.

2. Makanan yang pada dasarnya telah mengandung zat berbahaya di dalamnya namun

tetap dikonsumsi manusia karena ketidaktahuan mereka dapat dibagi menjadi 3

golongan yaitu :

a. Secara alami makanan ini memang telah mengandung zat kimia beracun

(26)

unsur toksik tertentu (logam berat, misalnya Hg dan Cd) yang dapat melumpuhkan

sistem saraf dan napas.

b. Makanan dijadikan sebagai media perkembangbiakan sehingga dapat

menghasilkan toksin yang berbahaya bagi manusia, misalnya dalam kasus

keracunan makanan akibat bakteri (bacterial food poisoning).

c. Makanan sebagai perantara. Jika suatu makanan yang terkontaminasi

dikonsumsi manusia, di dalam tubuh manusia agen penyakit pada makanan itu

memerlukan masa inkubasi untuk berkembang biak dan setelah beberapa hari

dapat mengakibatkan munculnya gejala penyakit. Contoh penyakitnya antara lain

Typhoid abdominalis dan Disentri basiler.

2.2. Higiene dan Sanitasi Makanan

Di samping aspek-aspek biologis, teknologis, komersial dan hukum, setiap

produk pangan yang diproduksi dan diperdagangkan wajib pula memenuhi

persyaratan higienis agar produk itu tidak mengandung bahan yang akan

membahayakan kesehatan konsumen (Ilyas, 1993). Berdasarkan Kepmenkes RI

No.942/Menkes/SK/VII/2003, higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan

faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat

menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan.

Menurut Chandra (2006), sanitasi makanan adalah upaya-upaya yang

ditujukan untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak menimbulkan bahaya

keracunan dan penyakit pada manusia. Dengan demikian, tujuan sebenarnya dari

upaya sanitasi makanan, antara lain :

(27)

2. Mencegah penularan wabah penyakit.

3. Mencegah beredarnya produk makanan yang merugikan masyarakat.

4. Mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan pada makanan 2.3. Bahan Tambahan Pangan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33

Tahun 2012, bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahan ke dalam

pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Bahan tambahan pangan yang

digunakan dalam pangan hendaknya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1).

Tidak diperlakukan sebagai bahan baku pangan. 2). Dapat mempunyai atau tidak

mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan

teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan,

penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan

menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara

langsung atau tidak langsung. 3). tidak termasuk cemaran atau bahan yang

ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.

Beberapa bahan yang dilarang digunakan dalam makanan, menurut

Permenkes RI No. 33/MENKES/PER/VI/2012, sebagai berikut : 1). Asam borat dan

senyawanya (Boric acid). 2). Formalin (Formaldehyde). 3). Minyak nabati yang

dibrominasi (Brominated vegetable oils). 4). Kloramfenikol (Chloramphenicol). 5).

Kalium klorat (Potassium chlorate). 6). Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate,

DEPC). 7). Nitrofurazon (Nitrofurazone). 8). Dulkamara (Dulcamara). 9). Asam

salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its salt). 10). Dulsin (Dulcin). 11). Kalium

(28)

(Nitrobenzene). 14). Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate). 15). Dihidrosafrol

(Dihydrosafrole). 16). Biji tonka (Tonka bean). 17). Minyak kalamus (Calamus oil).

18). Minyak tansi (Tansy oil). 19). Minyak sasafras (Sasafras oil).

2.4. Bahan Pengawet

2.4.1. Pengertian Bahan Pengawet Makanan

Menurut Cahyadi (2006), bahan pengawet makanan adalah senyawa yang

mampu menghambat dan menghentikan proses fermentasi, pengasaman dan bentuk

kerusakan lainnya, atau bahan bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan

pangan dari pembusukan.

Pengawetan dan pengolahan bertujuan mengurangi kerugian fisik, gizi, dan

ekonomi, dengan mengurangi limbah dan memanfaatkannya, dan dengan

meningkatkan daya simpan dan nilai tambah (Ilyas, 1993). Jenis bahan pengawet

yang diperbolehkan menurut Permenkes RI No. 33/MENKES/PER/VI/2012

diantaranya Asam benzoat dan garamnya (Benzoic acid and its salts), Asam

Propionat dan garamnya (Propionic acid and its salts), Asam sorbat dan garamnya

(Sorbic acid and its salts), Nitrat (Nitrates), Nitrit (Nitrites), Sulfit (Sulphites), Nisin

(Nisin), Etil para-hidroksibenzoat (Ethyl para- hydroxybenzoate), Metil

para-hidroksibenzoat (Methyl para- hydroxybenzoate), Lisozim hidroklorida (Lysozyme

hydrochloride).

Menurut Widyaningsih (2006), terdapat beberapa bahan pengawet yang aman

digunakan sebagai alternatif pengganti bahan pengawet berbahaya yang biasa

(29)

Carboxy Methyl Cellolose (CMC) maksimal 0,5-1 % untuk mi basah, garam dapur

maksimal 1 % untuk ikan asin dan perendam tahu. Cuka dapat digunakan untuk

perendam tahu maksimal sebanyak 0,3 % dan bumbu dapur (bawang putih, kunyit,

lengkuas, dan ketumbar) untuk pengolahan ikan.

Berdasarkan Permenkes RI No. 33/MENKES/PER/VI/2012 bahan pengawet

yang tidak diizinkan digunakan sebagai bahan tambahan pangan adalah 1). Asam

borat dan senyawanya (Boric acid). 2). Formalin (Formaldehyde). 3). Kloramfenikol

(Chloramphenicol). 4). Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC). 5).

Nitrofurazon (Nitrofurazone). 6). Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its

salt).

2.4.2. Manfaat Pengawetan Makanan

Menurut Chandra (2006), manfaat yang dapat diperoleh dalam mengawetkan

makanan antara lain :

1. Segi ekonomi

Makanan yang diawetkan dapat didistribusikan ke daerah manapun tanpa

mengurangi kualitas makanan. Dengan begitu, penyaluran makanan ini dapat

berjalan maksimal tanpa harus mengkhawatirkan masalah waktu.

2. Mempermudah transportasi

Makanan mudah sekali membusuk di tempat yang memiliki iklim tropis seperti

Indonesia. Dengan adanya pengawetan, makanan dapat dipertahankan kualitasnya

sehingga dapat dibeli dengan mudah dan tidak berbahaya serta dapat menghemat

(30)

3. Mudah dihidangkan

Sebagian makanan yang telah diawetkan dapat langsung dihidangkan karena

bagian yang tidak diperlukan telah dibuang. Hal ini membuat hidup masyarakat

modern saat ini menjadi lebih praktis.

4. Bermanfaat dalam keadaan tertentu

Pada kondisi bencana alam, kelaparan, pengungsian dan kondisi darurat lainnya,

bantuan makanan yang telah diawetkan dari daerah lain dapat segera disalurkan ke

daerah tersebut.

2.4.3. Teknik Pengawetan Makanan

Menurut Potter (1986), pengawetan makanan dapat dibagi menjadi dua cara

berdasarkan lama waktu penyimpanan yaitu :

1. Pengawetan untuk waktu yang singkat

Cara pengawetan ini dapat dilakukan dengan menjaga bahan makanan agar

tetap segar, contohnya pada beberapa restoran seafood yang tetap menjaga bahan

makanannya tetap hidup pada akuarium dan akan diambil untuk diolah bila ada

pelanggan yang memesan. Hal ini juga dapat diaplikasikan pada ikan, hewan

ternak, buah-buahan dan sayur-sayuran pada kondisi yang memungkinkan.

Jika hal diatas tidak memungkinkan untuk dilaksanakan maka bahan makanan

dapat segera dibersihkan dan disimpan pada lemari pendingin. Cara ini hanya akan

menghambat sementara kerusakan pada bahan makanan karena mikroorganisme

dan enzim alami yang ada pada bahan makanan tidak akan mati atau tidak aktif

(31)

2. Pengawetan untuk waktu yang lama

Teknik pengawetan makanan untuk waktu yang lama dapat dibagi menjadi

dua cara yaitu dengan pengendalian pada mikroorganisme dan pengendalian enzim

beserta faktor-faktor lainnya.

a. Pengendalian pada Mikroorganisme

1) Pemanasan

Bakteri, ragi dan jamur akan tumbuh secara optimal pada suhu 16-38 oC.

Secara umum bakteri akan mati pada suhu 82-93 oC namun bakteri berspora

tidak akan mati pada air yang direbus dengan suhu 100 oC selama 30 menit.

Maka untuk benar-benar memastikan agar semua bakteri mati sebaiknya

bahan makanan disterilkan pada suhu 121 oC selama 15 menit atau lebih.

Teknik ini biasanya dilakukan pada proses pengalengan makanan dan

pasteurisasi pada susu.

2) Pendinginan

Pada suhu -10 oC, pertumbuhan bakteri akan melambat dan akan semakin

melambat dengan makin turunnya suhu ruangan. Saat air yang terkandung

dalam bahan makanan membeku, maka aktifitas multiplikasi bakteri pun

akan terhenti. Prinsipnya, semakin rendah suhu ruangan maka akan semakin

lambat aktifitas dan pertumbuhan bakteri sehingga proses pembusukan

makanan pun dapat dihindari.

3) Pengeringan

Pada bakteri yang tumbuh secara optimal terdapat kandungan 80 % air di

(32)

mereka tumbuh. Jika air yang terkandung dalam makanan dihilangkan, maka

air yang terkandung pada bakteri juga akan hilang dan proses multiplikasi

bakteri menjadi terhenti. Hal ini yang menjadi dasar dalam proses

pengeringan.

4) Pengasaman

Asam yang cukup kuat dapat merubah struktur protein bakteri seperti proses

denaturasi protein pada bahan makanan. Pada proses fermentasi, asam yang

dihasilkan satu bakteri dapat menghalangi proses kerja bakteri lainnya.

Asam yang ada di makanan dapat berasal dari kultur asam tertentu atau asam

yang langsung ditambahkan ke makanan contohnya asam sitrat yang

ditambahkan pada minuman ringan. Pengasaman yang dikombinasikan

dengan pemanasan dapat membuat pengawetan menjadi lebih efektif.

5) Pemanisan dan Pengasinan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bakteri mengandung 80 % air di

dalam tubuhnya. Aktifitas bakteri akan terganggu saat bahan makanan

dicelupkan ke dalam sirup gula atau air garam karena akan mengganggu

proses osmosis yang terjadi di dalam sel bakteri. Air akan bergerak ke luar

tubuh bakteri saat terjadi perbedaan kandungan air pada tubuh bakteri

dengan sirup gula atau air garam yang hanya mengandung 30-40 % air di

dalamnya.

6) Pengasapan

Proses pengawetan ini telah terlebih dahulu ada dibandingkan dengan teknik

(33)

mengawetkan makanan. Faktor pengawetan pertama berasal dari asap yang

merupakan hasil pembakaran dari kayu yang dibakar dimana di dalam asap

ini terkandung bahan pengawet kimia seperti formaldehid dalam jumlah

yang kecil dan bahan-bahan pengawet alami lainnya. Faktor pengawetan

lainnya dikaitkan dengan panas yang dapat membunuh mikroorganisme.

Pemanasan ini cenderung mengeringkan makanan yang kemudian

melahirkan teknik pengawetan lainnya. Pengasapan di atas api cukup efektif

untuk mengawetkan bahan makanan tertentu. Saat ini pengasapan umumnya

dilakukan dengan tujuan untuk menambah cita rasa pada bahan makanan.

7) Pengendalian Jumlah Udara

Mikroorganisme dibagi dua berdasarkan kebutuhannya akan oksigen yaitu

mikroorganisme aerob dan mikroorganisme anaerob. Untuk mikroorganisme

aerob diberi perlakukan penghilangan udara dan untuk mikroorganisme

anaerob diberi perlakuan pemberian udara dengan begitu mikroorganisme ini

tidak dapat bertahan untuk hidup.

8) Pemberian Bahan Kimia

Penggunaan bahan kimia pada bahan makanan bertujuan untuk membunuh

mikroorganisme dan menghentikan pertumbuhannya sehingga makanan

memiliki daya simpan yang lebih lama. Namun tidak semua bahan kimia

dapat ditambahkan ke dalam bahan makanan. Bahan kimia yang

diperbolehkan ditambahkan ke dalam bahan makanan memiliki takaran

(34)

9) Radiasi

Mikroorganisme akan tidak aktif bila mendapatkan penyinaran pada tingkat

tertentu. Sinar X, gelombang mikro, sinar ultraviolet, dan radiasi melalui

ionisasi adalah jenis-jenis radiasi elektromagnetik dengan panjang

gelombang berbeda yang digunakan untuk mengawetkan makanan. Namun

perlu diperhatikan jika terlalu lama melakukan penyinaran akan

mengakibatkan perubahan pada rasa, warna, tekstur dan nutrisi yang

terkandung pada bahan makanan.

b. Pengendalian pada Enzim dan Faktor Lainnya

Enzim merupakan penyebab rusaknya bahan makanan selain

mikroorganisme. Pengendalian terhadap enzim yang berada di dalam makanan

memiliki cara yang sama seperti halnya pengendalian pada mikroorganisme.

Contohnya, pendinginan yang dilakukan bertujuan untuk memperlambat

aktifitas mikroorganisme juga memperlambat aktifitas enzim alami yang ada di

dalam bahan makanan.

Namun, beberapa enzim ini mungkin resisten terhadap teknik di atas.

Pemanasan atau radiasi dapat menghancurkan bakteri secara efektif tapi tidak

mempengaruhi enzim ini dan akhirnya tetap akan mengakibatkan kerusakan

pada bahan makanan.

Pengemasan bahan makanan dengan baik dapat menghindarkan bahan

makanan dari kerusakan yang diakibatkan oleh serangga dan tikus. Selain itu,

bahan pencemar dari industri, pestisida dan residu radioaktif juga dapat

(35)

Selain teknik pengawetan makanan di atas, beberapa bahan alami juga

memiliki senyawa yang dapat dimanfaatkan untuk mengawetkan makanan antara lain

seperti bawang putih memiliki senyawa antimikroba yang disebut dengan allicin,

ekstrak inulin pada bawang merah, minyak atsiri pada jahe dan lengkuas, senyawa

kurkumin pada kunyit, dan senyawa kapsaisin pada cabai merah (Rosiana, 2011).

2.5. Lengkuas

Menurut Hsu (2010), lengkuas merupakan tanaman yang populer di Asia

Tenggara termasuk Indonesia. Masyarakat China dan Thailand menggunakan

lengkuas dalam bidang medis untuk menghilangkan rasa nyeri pada saluran

pencernaan dan mengobati penyakit yang disebabkan oleh jamur.

Lengkuas merupakan tumbuhan terna berumur panjang, tinggi sekitar 1

sampai 2 meter, bahkan dapat mencapai 3,5 meter. Rimpang tumbuhan ini berciri

besar dan tebal, berdaging, berbentuk silindris, diameter sekitar 2-4 cm, dan

bercabang-cabang. Bagian luar berwarna coklat agak kemerahan, mempunyai

sisik-sisik berwarna putih atau kemerahan, keras mengkilap, sedangkan bagian dalamnya

berwarna putih (Pamungkas, 2010).

Menurut Udjiana (2008), lengkuas yang memiliki nama lainnya laos dalam

bahasa Jawa dan Madura memiliki nama latin Alpinia pyramidata BI, Alpinia

galanga (L.) Swartz, Alpinia officinarum Hance, Languas galanga L. Merr, Languas

galanga Stunz, Languas vulgare Koenig, Maranta galanga L., Amomum galanga (L.)

lour dan Amomum medium Lour.

Menurut Sinaga (2002), selain laos, lengkuas memiliki nama daerah lainnya

(36)

(Simalungun), Lakuwe (Nias), Lengkuas (Melayu), Langkuweh (Minang), Laja

(Sunda), Langkuwas, Laus (Banjar), Laja, Kalawasan, Lahwas, Isem (Bali), Laja,

Langkuwasa (Makasar), Aliku (Bugis), Lingkuwas (Manado), Langkauas, Palia

(Filipina), Kom deng, Pras (Kamboja), Hong dou ku (Cina).

Berikut tata nama lengkuas berdasarkan ilmu taksonomi (Udjiana, 2008)

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Divisi : Magnoliophyta

Class : Liliopsida

Subclass : Zingiberidae

Ordo : Zingiberales

Family : Zingiberaceae

Genus : Alpinia

Spesies : Alpinia galanga

Penelitian mengenai minyak atsiri dan ekstrak lengkuas telah dilakukan secara

besar-besaran dan terbukti memiliki aktifitas antifungi, antigiardia, antiamuba,

antimikroba dan antioksidan (Hsu, 2010). Selain memiliki fungsi di atas, menurut

Chudiwal (2010), lengkuas juga memiliki aktivitas anti-inflamasi, analgesik,

hipoglikemik, antialergi, antivirus, antikanker, gastroprotective dan anti-platelet.

Efek hipolipidemik dan merangsang sistem imun juga ditemukan pada tumbuhan

rempah ini.

Rimpang lengkuas mengandung lebih kurang 1 % minyak atsiri berwarna

(37)

eugenol, kamfer 1 %, seskuiterpen, δ-pinen, galangin, dan lain-lain. Selain itu

rimpang juga mengandung resin yang disebut galangol, kristal berwarna kuning yang

disebut kaemferida dan galangin, kadinen, heksabidrokadalen hidrat, kuersetin,

amilum, beberapa senyawa flavonoid, dan lain-lain (Sinaga, 2002). Menurut

Pamungkas (2010), fenol dan alkohol yang terdapat pada rimpang lengkuas juga

berperan sebagai senyawa antimikroba.

Mekanisme kerja antimikroba antara lain dengan jalan merusak dinding sel,

merusak membran sitoplasma, mendenaturasi protein sel dan menghambat kerja

enzim dalam sel. Kandungan tanin dan terpenoid dalam rimpang lengkuas juga dapat

menjaga kualitas serta menambah cita rasa gurih bahan yang diawetkan (Pamungkas,

2010).

Sementara itu pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel

membran akan mengalami lisis. Seperti senyawa antimikroba lainnya, mekanisme

kerja fenol adalah menghambat pertumbuhan dan metabolisme bakteri dengan cara

merusak membran sitoplasma dan mendenaturasi protein sel. Sehingga senyawa

tersebut dapat bersifat bakterisidal atau bakteriostatis, bergantung dosis yang

digunakan (Parwata dan F. Feny, 2008).

2.6. Bakso

2.6.1. Pengertian Bakso

Menurut SNI 01-3818-1995, bakso merupakan produk makanan berbentuk

bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ternak, dengan kadar daging

tidak kurang dari 50 % dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan Bahan

(38)

(2006), selain daging, dalam pembuatan bakso juga ditambahkan garam dapur (NaCl),

tepung tapioka, dan bumbu kemudian bakso dibentuk bulat menyerupai kelereng

dengan berat 25-30 gr per butir. Tekstur bakso yang kenyal merupakan ciri spesifik

produk olahan ini. Variasi bakso terjadi karena perbedaan bahan baku dan bahan

tambahan yang digunakan, proporsi daging dengan tepung dan proses pembuatannya.

Kandungan bakso yang mengandung protein tinggi, kadar air yang tinggi dan

pH netral membuat bakso rentan terhadap kerusakan dan hanya akan bertahan selama

satu hari (Widyaningsih, 2006). Menurut Teddy (2007), industri bakso umumnya

memiliki target masa simpan selama 4 hari, yaitu 1 hari berada di pabrik, 1 hari

berada di pedagang grosir, 1 hari berada di pedagang menengah, dan 1 hari berada di

pedagang keliling.

Demi menjaga kualitas bakso agar tidak rusak, biasanya para produsen bakso

menggunakan bahan pengawet. Bahan pengawet ini memegang peranan penting

dalam melindungi dan memanipulasi sifat fisik dan organoleptik bahan pangan. Jenis

bahan pengawet yang sering digunakan oleh produsen bakso boraks dan formalin

karena harganya yang relatif murah dan memiliki daya awet yang tinggi (Sugiharti,

2009).

2.6.2. Macam-Macam Bakso

Menurut Sugiharti (2009), terdapat tiga jenis bakso, antara lain :

1. Bakso Daging

Bakso daging merupakan bakso yang terbuat dari daging yang sedikit mengandung

(39)

yang digunakan, sehingga menghasilkan permukaan bakso yang halus, ukuran

partikel daging kecil dan distribusi yang merata.

2. Bakso Urat

Bakso urat adalah bakso yang terbuat dari daging yang banyak mengandung urat

atau jaringan ikat dengan penambahan tepung lebih sedikit dari berat daging yang

digunakan. Bakso yang dihasilkan mempunyai permukaan kasar dengan ukuran

partikel lebih besar dan distribusi tidak merata.

3. Bakso Aci

Bakso aci adalah bakso yang jumlah penambahan tepungnya lebih banyak

dibanding dengan jumlah daging yang digunakan, sehingga bakso yang dihasilkan

memiliki permukaan yang halus, ukuran partikel daging kecil dan distribusinya

merata.

2.6.3. Proses Pembuatan Bakso

Menurut Widyaningsih (2006), tahapan proses dalam pembuatan bakso adalah

sebagai berikut :

1. Pemotongan daging

Daging segar yang telah dipilih dihilangkan lemak dan uratnya kemudian

dipotong-potong kecil untuk memudahkan proses penggilingan. Es batu

dimasukkan pada waktu penggilingan untuk menjaga elastisitas daging, sehingga

bakso yang dihasilkan akan lebih kenyal.

2. Penggilingan

Daging yang telah dipotong-potong dimasukkan ke dalam mesin penggilingan

(40)

waktu penggilingan. Fungsi es batu agar menghasilkan bakso yang lebih kenyal.

Semakin halus hasil penggilingan daging, tekstur bakso yang dihasilkan juga akan

semakin baik.

3. Pencampuran

Daging yang telah dilumat dicampur dengan tapioka dan bumbu-bumbu yang

telah dihaluskan. Bila perlu digiling kembali sehingga daging, tapioka, dan

bumbu-bumbu dapat tercampur homogen (rata) membentuk adonan yang halus.

4. Pencetakan

Adonan yang terbentuk dituang ke dalam wadah, siap untuk dicetak berbentuk

bulatan bola kecil. Cara mencetak dapat dilakukan dengan tangan, yaitu dengan

cara mengepal-ngepal adonan dan kemudian ditekan sehingga adonan yang telah

memadat akan keluar berupa bulatan atau dapat juga digunakan sendok kecil untuk

mencetaknya.

5. Perebusan

Bulatan-bulatan bakso yang telah terbentuk kemudian langsung direbus di

dalam panci yang berisi air mendidih. Perebusan dilakukan sampai bakso matang

yang ditandai dengan mengapungnya bakso ke permukaan.

6. Pendinginan

Bakso yang telah matang ditiriskan, setelah dingin dan tiris, bakso dapat

(41)

Gambar 2.1 Diagram Pembuatan Bakso

2.6.4. Ciri-Ciri Bakso yang Baik

Menurut Widyaningsih (2006), bakso yang baik adalah bakso yang terbuat

dari daging yang berkualitas dan biasanya memiliki komposisi 90 % daging dan 10 %

tepung tapioka. Selain itu, sebaiknya daging yang digunakan dalam pembuatan bakso

merupakan daging yang tidak berlemak karena bakso yang dibuat dengan daging

yang berkadar lemak tinggi akan menghasilkan tekstur bakso menjadi kasar (Cahyadi,

2006). Ciri-ciri bakso yang baik adalah :

1. Berbau khas bakso.

2. Memiliki tekstur yang agak kasar.

Daging Segar

Pemotongan

Perebusan

Penirisan

Bakso Pencetakan

Bumbu-bumbu telah halus Pencampuran

(42)

3. Tingkat kekenyalannya sedang.

4. Berwarna abu-abu segar merata di semua bagian (Widyaningsih, 2006).

2.6.5. Ciri-Ciri Bakso yang Rusak

Bakso memiliki sifat keasaman yang rendah sehingga bakso tidak dapat

bertahan lama dan rentan terhadap kerusakan, sehingga bakso memiliki masa simpan

maksimal satu hari pada suhu kamar (Widyaningsih, 2006). Ciri-ciri bakso yang

rusak adalah :

1. Tidak tercium aroma khas bakso.

2. Memiliki tekstur yang telah lembek dan basah berair.

3. Warna abu-abu segar tidak merata.

2.7. Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Lengkuas

0 gr, 100 gr, 200 gr, 300 gr

Adonan Bakso 250 gr

Waktu simpan, dilihat ciri fisik : Tekstur, bau, warna

dan rasa 3 air mendidih

(43)

Hipotesis sementara :

Ho : Tidak ada perbedaan waktu simpan pada bakso dengan dan tanpa penambahan

lengkuas pada proses perebusan bakso.

Ha : Ada perbedaan waktu simpan pada bakso dengan dan tanpa penambahan

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah Quasi Eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap

yaitu suatu kegiatan percobaan terhadap sampel untuk mengetahui pengaruh

penambahan lengkuas (Alpinia galanga) pada proses perebusan bakso untuk

memperpanjang masa simpan bakso dengan konsentrasi 100 gr, 200 gr dan 300 gr

lengkuas dibandingkan dengan kontrol (perlakuan tanpa penambahan lengkuas).

Percobaan dilakukan sebanyak 5 kali pengulangan sehingga jumlah sampel sebanyak

20 sampel.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Lingkungan Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan pertimbangan bahwa di

tempat ini terdapat bahan dan alat yang dibutuhkan oleh peneliti.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan November 2012 - April 2013.

3.3. Objek Penelitian

Objek penelitian adalah bakso daging yang dibuat langsung oleh peneliti

dengan tujuan agar objek penelitian ini murni bebas dari bahan pengawet. Sampel

bakso yang dibutuhkan untuk setiap perlakuan dalam penelitian adalah 250 gr adonan

(45)

sebelumnya telah ditambahkan lengkuas di dalamnya dengan konsentrasi lengkuas

masing-masing 0 gr (sebagai kontrol), 100 gr, 200 gr, 300 gr. Selanjutnya tunggu

beberapa saat sampai bakso matang yang ditandai dengan bakso yang mengambang

di air rebusan tersebut dan kemudian tiriskan. Amati perubahan yang terjadi pada

bakso baik tekstur, bau, warna dan rasanya serta hitung daya tahan bakso yang telah

direbus dengan lengkuas di dalamnya. Dari masing-masing perlakuan, dilihat bakso

dengan pemberian lengkuas pada konsentrasi berapa yang memiliki waktu lebih lama

tanpa ada perubahan tekstur, bau warna, dan rasa.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil pengamatan di Laboratorium Kesehatan

Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dan informasi berupa

data-data yang relevan dengan hasil penelitian.

3.5. Alat dan Bahan Penelitian 3.5.1. Alat Penelitian

- Alat tiris

- Baskom

- Kompor

- Meat chopper

- Panci perebusan

(46)

- Timbangan

- Wadah untuk pengamatan

3.5.2. Bahan Penelitian

- Aquadest

- Lengkuas

- Bakso

3.6. Cara Kerja Penelitian

3.6.1. Cara Membuat Adonan Bakso Daging

1. Pilih daging segar yang telah dihilangkan lemak dan uratnya dan kemudian

potong-potong kecil daging tersebut untuk memudahkan proses

penggilingan.

2. Masukkan es batu dan daging segar yang telah dipotong kecil ke dalam

mesin penggilingan.

3. Daging yang telah lumat kemudian dicampurkan dengan tapioka dan

bumbu-bumbu yang telah dihaluskan. Aduk hingga semua bahan tercampur

merata membentuk adonan yang halus.

3.6.2. Pengawetan Bakso Dengan Lengkuas

1. Adonan yang telah halus kemudian dibentuk menjadi bulatan bola kecil

dengan menggunakan tangan atau sendok kecil.

2. Siapkan air sebanyak 3 di dalam panci perebusan untuk merebus adonan

(47)

3. Siapkan lengkuas sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan.

Lengkuas dibersihkan, dicuci dan dimemarkan terlebih dahulu sebelum

dimasukkan ke dalam air yang digunakan untuk merebus adonan bakso.

4. Setelah air mendidih, masukkan bulatan bola kecil bakso dan lengkuas

yang telah disiapkan sebelumnya dan kemudian tutup panci perebusan

tersebut. Biarkan selama 20 menit kemudian tiriskan bakso.

5. Siapkan wadah untuk pengamatan yang dibedakan dengan pemberian kode.

Kode A untuk wadah bakso yang direbus dengan 0 gr lengkuas (kontrol),

kode B untuk wadah bakso yang direbus dengan 100 gr lengkuas, kode C

untuk wadah bakso yang direbus dengan 200 gr lengkuas, dan kode D

untuk wadah bakso yang direbus dengan 300 gr lengkuas.

6. Setiap wadah diisi dengan bakso sebanyak 3 butir. Perlakuan setiap

konsentrasi dilakukan 5 kali pengulangan, kecuali bakso dengan perebusan

0 gr lengkuas sebagai kontrol hanya sekali ulangan. Ulangan pertama

diberi kode A1, B1, C1, D1. Ulangan kedua diberi kode A2, B2, C2, D2.

Ulangan ketiga diberi kode A3, B3, C3, D3. Ulangan keempat diberi kode

A4, B4, C4, D4. Ulangan kelima diberi kode A5, B5, C5, D5.

7. Diamkan bakso dalam wadah dengan suhu kamar dan selanjutnya

dilakukan pengamatan setiap 4 jam untuk melihat perubahan fisik pada

bakso.

8. Tabulasi hasil data yang didapat kemudian dianalisa sesuai dengan metode

(48)

3.7. Definisi Operasional

1. Lengkuas adalah salah satu rempah-rempah yang mengandung senyawa

minyak atsiri yang merupakan bahan antimikroba yang berfungsi sebagai

pengawet.

2. Bakso adalah bahan makanan sumber protein hewani yang terbuat dari

daging dan tepung terigu, berbentuk bulat berwarna abu-abu cerah,

beraroma khas daging.

3. Waktu simpan bakso yaitu lamanya penyimpanan bakso yang masih dapat

diterima untuk dikonsumsi setelah dilakukan perebusan adonan bakso

dengan penambahan lengkuas dengan mengamati ciri fisik terdiri dari

tekstur (apakah terlihat baik dan tidak berlendir), bau (tercium aroma bakso

dan tidak berbau asam), warna (terlihat merata berwarna abu-abu cerah)

dan rasa (tidak terdapat rasa lengkuas pada bakso).

3.8. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil perlakuan dianalisis secara bivariat untuk

mengetahui efektivitas berbagai konsentrasi lengkuas (Alpinia galanga) 0 gr (sebagai

kontrol), 100 gr, 200 gr, dan 300 gr dalam memperpanjang waktu simpan bakso dan

akan dianalisis dengan :

3.8.1. Uji Kolmogorov-Smirnov

Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk mengetahui data berdistribusi

normal atau tidak. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah :

Ho : Distribusi populasi yang diwakili sampel berdistribusi normal

(49)

Dengan dasar pengambilan keputusan :

Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima.

Jika probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak.

3.8.2. Uji Levene

Uji Levene digunakan untuk mengetahui varians data homogen atau tidak.

Adapun hipotesis yang akan diuji adalah :

Ho : Varians data populasi darimana data sampel ditarik seragam (homogen)

Ha : Varians data populasi darimana data sampel ditarik tidak seragam (heterogen)

Dengan dasar pengambilan keputusan :

Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima

Jika probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak

3.8.3. Uji t Dependen (Paired t Test)

Uji t Dependen digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rata-rata

waktu simpan bakso dengan dan tanpa penambahan lengkuas pada proses perebusan

bakso dengan masing-masing konsentrasi yaitu 100 gr, 200 gr 300 gr dan 0 gr

(kontrol). Adapun hipotesis yang akan diuji adalah :

Ho : Tidak ada perbedaan waktu simpan bakso dengan dan tanpa penambahan

lengkuas pada proses perebusan bakso dengan masing-masing konsentrasi.

Ha : Ada perbedaan waktu simpan bakso dengan dan tanpa penambahan lengkuas

pada proses perebusan bakso dengan masing-masing konsentrasi.

Dengan dasar pengambilan keputusan :

Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima

(50)

Uji t Dependent digunakan apabila data berdistribusi normal. Apabila data

yang diolah berdistribusi tidak normal maka digunakan uji Wilcoxon.

3.8.4. Uji Anova One Way

Uji Anova One Way digunakan apabila sampel berdistribusi normal. Taraf

signifikan yang digunakan yaitu 5 % (α = 0,05). Uji ini digunakan untuk mengetahui

ada tidaknya perbedaan rata-rata waktu simpan bakso pada berbagai konsentrasi

lengkuas. Adapun hipotesis yang akan di uji adalah :

Ho : Tidak ada perbedaan waktu simpan bakso pada berbagai konsentrasi lengkuas.

Ha : Ada perbedaan waktu simpan bakso pada berbagai konsentrasi lengkuas.

Dasar pengambilan keputusan adalah :

Jika probabilitas > 0,05 maka Ho diterima

Jika probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak, atau

Jika FTabel > FHit maka Ho diterima

Jika FTabel < FHit maka Ho ditolak

Uji Anova One Way digunakan apabila data berdistribusi normal. Apabila data

yang diolah berdistribusi tidak normal maka digunakan uji Kruskal-Wallis.

3.8.5. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT)

Jika hasil uji t Dependen dan Anova One-Way menunjukkan adanya

perbedaan atau pengaruh pemberian lengkuas pada proses perebusan bakso terhadap

rata-rata waktu simpan bakso maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil

(BNT). Penggunaan uji BNT didasarkan pada besarnya nilai KK (koefisien

keragaman). Pada percobaan kondisi homogen, apabila nilai KK 5-10 %

(51)

Adapun KK ini dinyatakan sebagai persen rerata umum perlakuan sebagai

berikut :

KK = KTG x 100%

ŷ

Dimana : KTG = Kuadrat Tengah Galat

ŷ = Rerata seluruh data perlakuan

Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:

Ho :Perbandingan rata-rata waktu simpan bakso antar pasangan konsentrasi lengkuas

tidak berbeda nyata

Ha :Perbandingan rata-rata waktu simpan bakso antar pasangan konsentrasi lengkuas

berbeda nyata.

Dengan dasar pengambilan keputusan:

Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima.

(52)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Hasil Pengamatan Waktu Simpan Bakso Dengan Penambahan Lengkuas (Alpinia galanga)

Hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai penggunaan lengkuas untuk

memperpanjang waktu simpan bakso dengan 4 perlakuan perebusan bakso yang

ditambahkan lengkuas dengan konsentrasi (0 gr sebagai kontrol, 100 gr, 200 gr dan

300 gr) dan dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Waktu Simpan Bakso Tanpa Penambahan Dan Dengan Penambahan Lengkuas (Alpinia galanga) Pada Proses Perebusan Bakso

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa rata-rata waktu simpan bakso

yang tidak mendapatkan penambahan lengkuas adalah selama 19 jam 12 menit dan

waktu simpan bakso akan mengalami penambahan jika ditambahkan lengkuas. Pada

penambahan 100 gr, rata-rata waktu simpan bakso bertambah menjadi 26 jam 24

menit namun penambahan lengkuas pada penambahan lebih dari 100 gr akan

menurunkan rata-rata waktu simpan bakso yaitu pada penambahan 200 gr rata-rata

waktu simpan bakso akan menjadi 24 jam 48 menit. Pada penambahan 300 gr

rata-rata waktu simpan bakso akan menjadi lebih rendah lagi yaitu menjadi 22 jam 24

(53)

4.2. Analisa Statistik Pengaruh Penambahan Lengkuas (Alpinia galanga) Terhadap Waktu Simpan Bakso

Berdasarkan data hasil pengamatan waktu simpan bakso yang diperoleh, maka

selanjutnya dilakukan analisis data secara statistik untuk mengetahui ada tidaknya

penambahan waktu simpan bakso setelah ditambahkan berbagai konsentrasi lengkuas

pada proses perebusan bakso.

4.2.1. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov

Untuk mengetahui distribusi data waktu simpan bakso dengan menggunakan

berbagai konsentrasi lengkuas dalam proses perebusan bakso digunakan Uji

Kolmogorov-Smirnov.

Tabel 4.2. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Waktu Simpan Bakso Dengan Menggunakan Berbagai Konsentrasi Lengkuas (Alpinia galanga)

Pada tabel 4.2. diketahui bahwa dari jumlah data yang diperiksa sejumlah 20

data menunjukkan bahwa nilai rata-rata keseluruhannya yaitu sebesar 23,20 jam

dengan standar deviasi sebesar 3,334. Pada tabel tersebut diperoleh bahwa nilai

signifikansi atau probabilitas adalah 0,182 dimana p = (0,182) > 0,05 yang artinya Ho

(54)

ditambahkan berbagai konsentrasi lengkuas pada proses perebusan bakso

berdistribusi normal.

4.2.2. Hasil Uji Levene

Untuk mengetahui varians data waktu simpan bakso dengan penambahan

berbagai konsentrasi lengkuas dalam proses perebusan bakso digunakan Uji Levene.

Tabel 4.3. Hasil Uji Kesamaan Varians Waktu Simpan Bakso Dengan

Hal ini menunjukkan bahwa varians data populasi darimana data sampel ditarik

adalah seragam (homogen).

4.2.3. Hasil Uji t Dependen (Paired t Test)

Untuk menentukan ada tidaknya perbedaan rata-rata waktu simpan bakso

tanpa penambahan lengkuas dan dengan penambahan berbagai konsentrasi lengkuas

dalam proses perebusan bakso digunakan Uji t Dependen.

(55)

yang signifikan pada waktu simpan bakso dengan dan tanpa penambahan lengkuas

dalam proses perebusan bakso pada konsentrasi 100 gr dan 200 gr namun tidak ada

perbedaan signifikan yang terjadi pada waktu simpan bakso dengan dan tanpa

penambahan lengkuas pada konsentrasi 300 gr lengkuas. Hal ini dapat dilihat dari

nilai p yang lebih besar dari 0,05 sehingga Ho diterima.

4.2.4. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil

Setelah diketahui adanya perbedaan rata-rata dari hasil uji t Dependen, maka

dilanjutkan dengan uji beda nyata sesuai dengan nilai Koefisien Keragaman (KK).

Untuk pengujian waktu simpan bakso ini, hasil perhitungan nilai koefisien keragaman

(KK) yang diperoleh adalah 8,62 %. Nilai ini tergolong sedang (antara 5-10 % dari

kondisi homogen), maka hasil uji t Dependen di atas dilanjutkan dengan uji Beda

Nyata Terkecil (BNT) untuk mengetahui konsentrasi yang paling optimal dalam

memperpanjang waktu simpan bakso. Adapun hasil uji BNT tersebut dapat dilihat

(56)

Keterangan : Tanda (*) = Berbeda nyata (p < 0,05)

Tabel 4.5. menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata waktu simpan bakso

dengan lengkuas pada konsentrasi 0 gr (kontrol) berbeda nyata dibandingkan dengan

konsentrasi 100 gr, 200 gr dan 300 gr dengan masing-masing nilai p = (0,000), p =

(0,000), p = (0,022) < 0,05. Akan tetapi, perbedaan rata-rata waktu simpan bakso

pada konsentrasi 100 gr lengkuas tidak berbeda nyata dengan konsentrasi lengkuas

200 gr dimana nilai p = (0,224) > 0,05 dan begitu juga sebaliknya. Perbedaan

rata-rata waktu simpan bakso pada konsentrasi lengkuas 200 gr tidak berbeda nyata

dengan konsentrasi 300 gr lengkuas dimana nilai p = (0,076) > 0,05 dan begitu juga

sebaliknya.

4.3. Hasil Pengamatan Perubahan Fisik Pada Bakso Dengan Dan Tanpa Penambahan Lengkuas (Alpinia galanga) Pada Proses Perebusan Bakso

Pengamatan perubahan fisik pada bakso dengan dan tanpa penambahan

lengkuas pada proses perebusan dengan konsentrasi (0 gr sebagai kontrol, 100 gr, 200

Gambar

Gambar 2.1 Diagram Pembuatan Bakso
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Waktu Simpan Bakso Tanpa Penambahan Dan Alpinia galanga
Tabel 4.2. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Waktu Simpan Bakso Dengan Alpinia galanga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan Ekstrak etanol rimpang lengkuas (Alpinia galanga) berefek antidiare dengan mengurangi frekuensi defekasi, berefek mengurangi berat feses, dan memadatkan

rahmat yang dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Uji Efek Ekstrak Etanol 70% Lengkuas ( Alpinia galanga ) Terhadap Penurunan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “ STUDI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN IDENTIFIKASI FRAKSI TERAKTIF RIMPANG LENGKUAS ( Alpinia galanga

pengaruh yang ditunjukkan ekstrak rimpang lengkuas ( Alpinia galanga Linn) dalam menghambat pertumbuhan jamur patogen penyakit blast ( Pyricularia oryzae Cav.) dengan

Berdasarkan penelitian sebelumnya, kandungan flavanoid dalam ekstrak etanol rimpang lengkuas merah ( Alpinia galanga, Linn), dengan metode soxletasi dan fraksi air,

Pengaruh Penambahan Es Ekstrak Lengkuas (Alpinia galanga) dengan Konsentrasi yang Berbeda Terhadap Daya Awet Ikan Layang (Decapterus russelli) Selama Penyimpanan Suhu

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “STUDI AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN IDENTIFIKASI FRAKSI TERAKTIF RIMPANG LENGKUAS (Alpinia galanga (L.)

Tujuan penelitian ini untuk membuktikan pengaruh pemberian ekstrak etanol lengkuas (Alpinia galanga) terhadap aktivitas proliferasi sel adenokarsinoma mamma pada mencit