• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simulasi Curah Hujan Kalimantan Menggunakan Regional Climate Model 4 (RegCM4) saat El Nino Southern Oscillation (ENSO)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Simulasi Curah Hujan Kalimantan Menggunakan Regional Climate Model 4 (RegCM4) saat El Nino Southern Oscillation (ENSO)"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

SIMULASI CURAH HUJAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN

REGIONAL CLIMATE MODEL 4

(REGCM4) SAAT

EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

(ENSO)

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Simulasi Curah Hujan Kalimantan Menggunakan Regional Climate Model 4 (RegCM4) saat El Nino Southern Oscillation (ENSO) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

ENGGAR YUSTISI ARINI. Simulasi Curah Hujan di Kalimantan dengan Regional Climate Model 4 (RegCM4) saat El Nino Southern Oscillation (ENSO). Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT sebagai Pembimbing I, dan AKHMAD FAQIH sebagai Pembimbing II.

Kemampuan Regional Climate Model 4 (RegCM4) dalam mensimulasi curah hujan di Kalimantan dievaluasi dengan melakukan perbandingan antara data Asian Precipitation-Highly Resolved Observational Data Integration towards Evaluation (APHRODITE), Climate Research Unit (CRU), dan data keluaran RegCM4 dari tahun 1982-2000. Kemampuan RegCM4 yang dievaluasi yaitu kemampuan dalam mensimulasipola curah hujan dan karakteristik curah hujan saat kejadian ENSO. Perhitungan RMSE dan standar deviasi dilakukan untuk mengetahui error dan keragaman data model RegCM4. Selain itu, analisis wavelet juga dilakukan untuk mengetahui osilasi yang dominan dalam mempengaruhi curah hujan di Kalimantan. Analisis dilanjutkan dengan melakukan perhitungan Maximum Dry Spell Length (MDSL). Hasil evaluasi model menunjukkan nilai keluaran model lebih tinggi dari data observasi, namun dapat menghasilkan pola curah hujan yang sesuai data observasi. Osilasi yang dominan terjadi di Kalimantan yaitu Annual Oscillation dan ENSO. Kekurangan model adalah estimasi curah hujan yang sangat tinggi di dataran tinggi (>500 m). Dalam perhitungan MDSL, RegCM4 dapat mengangkap pola yang sesuai dengan data observasi, yaitu MDSL yang tinggi saat El Nino dan rendah saat La Nina.

(6)

ABSTRACT

ENGGAR YUSTISI ARINI. Rainfall Simulation using Regional Climate Model 4 (RegCM4) in Kalimantan during El Nino Southern Oscillation (ENSO). Supervised by RAHMAT HIDAYAT and AKHMAD FAQIH.

The skill of Regional Climate Model 4 (RegCM4) in simulating rainfall is evaluated through a comparison of observations, using Asian Precipitation-Highly Resolved Observational Data Integration towards Evaluation (APHRODITE), and Climate Research Unit (CRU), and 19-year simulation period of 1982-2000 in Kalimantan. The analysis includes how RegCM4 capture the rainfall type, the rainfall characteristics when ENSO, the error and the diversity of data, and dominant cycles in Kalimantan. The analysis is continued with a calculation of Maximum Dry Spell Length (MDSL). It is found that RegCM4 produces overestimated value, but it is capable in capturing rainfall type, rainfall characteristics when ENSO, and dominant cycles in Kalimantan. The dominant cycles in influencing Kalimantan rainfall are ENSO and Annual Oscillation. The main model weakness is an overestimation of precipitation in mountainous regions. It is proven by the value of Root Mean Square Error (RMSE) and standard deviation is higher in mountainous regions (>500 m). Furthermore, based on simple correlation, the model is better in simulating monthly resolution than daily resolution. It is evidenced by the correlation up to 0.8 in monthly resolution. In calculating MDSL, RegCM4 reproduces the same pattern (the higher MDSL when El Nino, and lower value when La Nina) with APHRODITE.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

SIMULASI CURAH HUJAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN

REGIONAL CLIMATE MODEL 4

(REGCM4) SAAT

EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

(ENSO)

ENGGAR YUSTISI ARINI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Simulasi Curah Hujan Kalimantan Menggunakan Regional Climate Model 4 (RegCM4) saat El Nino Southern Oscillation (ENSO)

Nama : Enggar Yustisi Arini

NIM : G24100033

Disetujui oleh

Dr Rahmat Hidayat, MSc Pembimbing I

Dr Akhmad Faqih Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul

“Simulasi Curah Hujan di Kalimantan dengan Regional Climate Model 4 (RegCM4) saat El Nino Southern Oscillation (ENSO)”. Karya ilmiah ini ditujukan untuk mendapatkan gelar sarjana sains pada program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyusunan karya ilmiah dan pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyamaikan rasa terima kasih kepada:

1. Ibuku tersayang, Khalimah, dan adikku Muhammad Syaiful Ulum atas doa, dan kasih sayang.

2. Dr Rahmat Hidayat, MSc dan Dr Akhmad Faqih selaku pembimbing atas ilmu dan kesabarannya dalam membimbing penulis.

3. Dr Rini Hidayati, MSc , dan Ir. Bregas Budianto, ass dpl atas masukannya. 4. Dr Tania June, MSc selaku Ketua Departemen

5. Dr Sobri Effendi, MSc selaku pembimbing akademik.

6. Seluruh staff CCROM-SEAP atas segala bentuk bantuan yang diberikan dalam kelancaran tugas akhir.

7. Pak Aziz, dan seluruh staff Departemen Geofisika dan Meteorologi atas bantuan dalam hal administrasi.

8. Tri Atmaja atas motivasi, dan semangat yang diberikan. 9. Em, Jenny, Himma yang juga selalu memberi dukungan.

10.Teman-teman Geofisika dan Meteorologi angkatan 47 yang telah berbagi ilmu dan pengetahuan selama menempuh pendidikan di IPB.

11.Teman-teman laboratorium meteorologi Uni, Resti, Shaila, Dety, Givo, dan yang lainnya yang telah memberi masukan dan saran untuk penelitian. 12.Senior-senior, Kak Rahmi, Kak Misna, Kak Faiz, dan Kak Syamsu, yang

juga telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.

13.Teman-teman TPB, Ulfi, Ofi, Ima, Acha, teman-teman kosan bunda lestari, Mbak Putri, Mbak Hilma, Mbak Novi, Mbak Tyas, Mbak Indri, dan teman-teman OMDA Lamongan, Riris, Gamma, dan yang lainnya.

14.Semua pihak yang telah membantu tersusunnya karya ilmiah ini.

Penulis menyadari karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.

Bogor, 3 Desember 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Alat dan Data 2

Prosedur Analisis Data 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Pola Curah Hujan dan Kondisi Klimatologi Kalimantan 6 Evaluasi RegCM4 dalam Mensimulasi Curah Hujan di Kalimantan saat

Periode ENSO 9

CDF (Cumulative Distribution Function) dan MDSL (Maximum Dry

Spell Length) di Kalimantan 18

SIMPULAN DAN SARAN 21

Simpulan 21

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 21

(12)

DAFTAR GAMBAR

1. Pembagian wilayah Kalimantan berdasarkan Analisis Cluster 4 2. Peta pola curah hujan di Indonesia. Sumber: Aldrian dan Susanto 2003. 7 3. Rataan bulanan curah hujan data CRU, APHRODITE, dan RegCM4 untuk

Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat (d), dan lima (e) tahun 1982-2000 8 4. Klimatologi curah hujan Kalimantan pada (a dan e) DJF, (b dan f) MAM, (c

dan g) JJA, dan (d dan h) SON dari data APHRODITE (atas) dan RegCM4

(bawah) tahun 1982-2000 dalam mm 9

5. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 1 periode Januari 1982-

Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4 10

6. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 2 periode Januari 1982-

Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4 10

7. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 3 periode Januari 1982-

Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4 11

8. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 4 periode Januari 1982-

Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4 11

9. Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 5 periode Januari 1982-

Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4 12

10.Moving average anomali curah hujan dan ONI di Cluster satu (a), dua (b), tiga

(c), empat (d), dan lima (e) tahun 1982-2000 13

11.Komposit anomali APHRODITE (atas) dan RegCM4 (bawah) saat periode (a dan d) El Nino, (b dan e) Normal dan (c dan f) La Nina tahun 1982-2000 14 12.Root Mean Square Error (RMSE) (mm) antara RegCM4 dengan

APHRODITE harian (atas) dan bulanan (bawah) saat periode (a dan d) El Nino, (b dan e) Normal dan (c dan f) La Nina tahun 1982 – 2000. 16 13.Standar Deviasi RegCM4 (bawah), dan APHRODITE (atas) dengan resulosi

temporal harian saat periode (a dan d) El Nino, (b dan e) Normal dan (c dan f)

La Nina tahun 1982 – 2000. 16

14.Peta topografi Pulau Kalimantan. Sumber: Badan Informasi Geospasial (BIG)

2009 17

15.Koefisien Korelasi antara RegCM4 dengan TRMM harian (atas) dan bulanan (bawah) saat periode (a dan d) El Nino, (b dan e) La Nina, dan (c dan f)

Normal tahun 1982 – 2000. 18

16.Cumulative Distribution Function (CDF) data RegCM4 (biru) dan APHRODITE (merah) pada Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat (d), dan

lima (e) tahun 1982-2000 19

17.Grafik rata-rata MDSL data APHRODITE (garis biru) dan RegCM4 (garis merah) pada Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat (d), dan lima (e) tahun

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Konfigurasi Regional Climate Model 4 (RegCM4) 25

2. Scripting language komposit anomali curah hujan saat ENSO 26

3. Scripting language analisis spektral wavelet 27

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan salah satu variabilitas iklim yang terjadi di wilayah tropis Samudera Pasifik. ENSO terdiri dari dua kejadian, yaitu El Nino dan La Nina. Fenomena El Nino diawali dengan perubahan suhu muka air laut di Pasifik Barat secara mendadak. Akibatnya warm pool region yang berada di Pasifik bagian barat bergerak ke timur, dekat Peru/Ekuador. Peningkatan konveksi di Peru/Ekuador menyebabkan meningkatnya jumlah awan kumulus yang mengakibatkan hujan lebat. Sebaliknya, di Indonesia justru terjadi kekeringan. Kebalikan dari peristiwa El Nino adalah La Nina. Dampak La Nina juga berlawanan, yaitu hujan lebat di Indonesia, sedangkan kemarau di wilayah Peru/Ekuador (Fox 2000).

Kajian mengenai ENSO menarik beberapa peneliti untuk menguji apakah fenomena tersebut berpengaruh pada curah hujan. Berbagai penelitian membuktikan bahwa ENSO mempengaruhi karakteristik curah hujan (Soerjadi 1984; USDA 1984; ADPC 2000; Yoshino et al. 2000; Kirono dan Partridge 2002). Selain penelitian tersebut, Tyasyono dan Bannu (2003) membuktikan bahwa ketika fenomena El Nino tahun 1997 curah hujan dasarian < 50 mm meningkat, sehingga terjadi bencana kekeringan yang paling parah di Indonesia. Akibat kekeringan tersebut, Indonesia mengalami kebakaran hutan terparah di seluruh dunia.

Kalimantan merupakan salah satu pulau dengan hutan terluas di Indonesia. Kejadian El Nino tahun 1997/98 membakar 9.75 juta hektar hutan di Indonesia dengan 6.5 juta hektar adalah hutan di Kalimantan (BAPPENAS-ADB 1999). Glover (2001) menilai bencana tersebut termasuk salah satu bencana lingkungan terburuk sepanjang abad, karena jumlah emisi yang dikeluarkan.

Fenomena El Nino 1997/98, menempatkan Kalimantan sebagai pulau yang rentan dengan ENSO. Salah satu langkah antisipatif yaitu dengan proyeksi dampak ENSO untuk mengetahui dampak ENSO di Kalimantan untuk masa yang akan datang. Global Climate Model (GCM) dan Regional Climate Model (RegCM) dapat digunakan untuk melakukan proyeksi, namun perlu diuji terlebih dahulu untuk melihat skill model tersebut (Fuentes-Franco et al. 2013). Kedua model tersebut memiliki perbedaan besar pada resolusi spasial model. Resolusi spasial Global Climate Model (GCM) yang bernilai ratusan kilometer kurang mampu merepresentasikan karakteristik topografi regional dan cuaca skala meso. Sedangkan RegCM memiliki teknik dynamical downscaling yang dapat meningkatkan resolusi spasial horizontal yang sesuai dengan GCM dengan memperhatikan proses fisik dan dinamika atmosfer (Giorgi et al. 2001).

(16)

2

Kalimantan dengan sebagian besar parameterisasi yang digunakan mengacu pada Diro et al. (2012) yang menguji sensitivitas model RegCM4 di Amerika. Parameterisasi ini juga digunakan oleh Fuentos-Franco et al. (2013). Penelitian Fuentos-Franco et al. (2013) menghasilkan nilai curah hujan RegCM4 yang terlalu tinggi di wilayah dataran tinggi. Curah hujan hasil keluaran RegCM4 dipengaruhi oleh skema konveksi RegCM4. Skema konveksi yang digunakan oleh Diro et al. (2012) dan Fuentos-Franco et al. (2013) adalah skema MIT-Emmanuel (1991) di bagian lautan, dan skema Grell (1993) di daratan. Penelitian tentang skema konveksi RegCM4 di Indonesia pernah dilakukan oleh Jadmiko (2011) dan Mufida (2012). Meraka menyatakan bahwa skema MIT–Emmanuel dianggap lebih sesuai dengan karakteristik topografi di Indonesia. Sehingga skema konveksi yang digunakan pada penelitian ini adalah skema MIT-Emmanuel.

Evaluasi model RegCM4 pada penelitian ini dilakukan dengan melakukan perhitungan RMSE, korelasi, dan standar deviasi. Selain itu dilakukan analisis wavelet untuk mengetahui osilasi paling dominan yang mempengaruhi curah hujan di Kalimantan, serta analisis Maximum Dry Spell Length (MDSL) yang bertujuan melihat rata-rata jumlah deret hari kering terpanjang di Kalimantan saat kejadian ENSO.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan RegCM4 dalam mensimulasi curah hujan di wilayah Kalimantan saat kejadian ENSO, dengan membandingkan hasil keluaran RegCM4 dengan data observasi dan mengetahui dampak ENSO terhadap Maximum Dry Spell Length (MDSL) di Kalimantan.

METODE

Waktu dan Tempat

Kegiatan penelitian ini berlangsung dari bulan Februari 2014 s.d Juli 2014. Tempat kegiatan diantaranya : Laboratorium Meteorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB Dramaga, dan Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP) IPB Baranangsiang.

Alat dan Data

(17)

3 Data yang digunakan di antaranya data masukan model RegCM4 tahun 1982 sampai 2009 berupa data Sea Surface Temperature (SST) Optimum Interpolation Weekly (SST oi_wk) dari NOAA (http://www.esrl.noaa. gov). Data ini memiliki resolusi 1° x 1° mencakup 89.5°LU–89.5°LS dan 0.5°BT–359.5°BT (Reynolds et al. 2002). Selain itu, data NCEP/NCAR Reanalysis Project Versi 1 (NNRP 1), yang juga diperoleh dari NOAA (http://www.esrl. noaa.gov) digunakan sebagai masukan model. Data NNRP1 berisi data kondisi udara, kelembaban relatif, kecepatan angin zonal, kecepatan angin meridional, dan kecepatan angin titik. Data NNRP1 mempunyai resolusi temporal per-6 jam dengan resolusi 2.5° x 2.5°, cakupan data antara 90° LU –90° LS dan 0° BT –357.5° BT (Kalnay et al.1996). Kemudian, data Oceanic Nino Index (ONI) dari NOAA yang digunakan untuk menentukan tahun-tahun ENSO. ONI dihitung dengan merata-ratakan anomali Sea Surface Temperature (SST) setiap 3 bulan di wilayah Nino 3.4 (5O N – 5O S, 120O – 170O W) (Todd et al 2011). El Nino terjadi jika nilai ONI lebih besar sama dengan 0.5 sedangkan La Nina terjadi jika nilai ONI lebih kecil sama dengan -0.5 (Todd et al 2011). Di samping itu, data observasi dibutuhkan sebagai pembanding data keluaran model RegCM4. Data observasi yang digunakan yaitu Asian Precipitation-Highly Resolved Observational Data Integration Towards Evaluation (APHRODITE; Xie et al.2007) tahun 1982-2000 yang dapat diakses melalui www.chikyu.ac.jp/precip/, dan data Climatic Research Unit (CRU) melalui website http://badc.nerc.ac.uk/ browse /badc/cru/data/cru_ts/ tahun 1982-2000.

APHODITE merupakan data curah hujan harian yang dihasilkan dari pengukuran rain gauge dengan resolusi 0.5o x 0.5o dan 0.25o x 0.25o (Wang et al. 2011). Data APHRODITE dianalisis dari Global Telecommunication System (GTS), koleksi data APHRODITE, serta kompilasi dari beberapa proyek dan organisasi (Yatagai et al. 2012). Data APHRODITE pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis dry spell yang membutuhkan data harian, sedangkan untuk analisis yang membutuhkan data bulanan digunakan CRU. Pada analisis spasial digunakan data bulanan APHRODITE karena resolusi data APHRODITE yang lebih tinggi dari pada data CRU. Perbandingan data APHRODITE dengan data curah hujan bulanan lain, di antaranya GPCC, Climate Research Unit (CRU; Mitchell and Jones 2005), the University of Delaware (UDE; Willmott and Matsuura 1995), dan Precipitation Reconstruction over Land (PREC/L; Chen et al. 2002), pernah dilakukan oleh Yatagai et al. (2005) dan Xie et al. (2007) yang menunjukkan bahwa data APHRODITE tidak menghasilkan perbedaan yang besar dalam estimasi nilai curah hujan khususnya di wilayah Asia.

Prosedur Analisis Data Simulasi RegCM4

(18)

4

diantaranya yaitu radiative transfer scheme (Kiehl et al. 1996), PBL (Planetary Boundary Layer) scheme (Holtslag et al. 1990), resolved scale precipitation scheme (Pal et al. 2000), dan Community Land Model (CLM; Steiner et al. 2009). Convection scheme yang digunakan pada penelitian ini menggunakan MIT-Emmanuel (1991) yang mengacu pada Jadmiko (2011) dan Mufida (2012). Mereka menyatakan bahwa MIT-Emmanuel adalah skema konveksi yang mendekati kondisi di Indonesia. Pada tahapan ini juga dilakukan pembuatan file domain, SST, dan Initial Condition Boundary Condition (ICBC).

Simulasi RegCM4 dilakukan dengan input dan konfigurasi yang sudah ditetapkan pada tahap sebelumnya. Keluaran dari proses ini terdiri dari lima jenis file data yaitu ATM, SRF, RAD, STS, dan SAV. Setiap file ATM memuat data yang berisi kondisi atmosfer seperti suhu, tekanan udara, cloud water, mixing ratio, kecepatan angin zonal dan meridional pada 18 ketinggian, mixing ratio uap air, dan lain sebagainya. File SRF memuat data per-3 jam selama sebulan dari 24 variabel meteorologi permukaan seperti suhu pada ketnggian 2 m, tekanan, kecepatan angin zonal dan meridional pada ketinggian 10 m, presipitasi dan evapotranspirasi total, dan kelembaban spesifik. File RAD memuat informasi fluks radiasi. File STS (daily statistical output) merupakan hasil data harian dari pengolahan statistik file-file lainnya, yaitu tekanan permukaan, suhu maksimum dan minimum permukaan, suhu maksimum, minimum, dan rata-rata pada ketinggian 2 m, presipitasi maksimum dan rata-rata. File SAV menyimpan riwayat simulasi sebelumnya untuk menjalankan kembali atau me-restart simulasi yang terhenti sebelum proses selesai. Penelitian ini menggunakan file STS sebagai data hasil keluaran model RegCM4 yaitu variabel Total Precipitation (TPR).

Proses yang terakhir adalah post-processing. Pada tahapan ini dilakukan pengolahan data keluaran RegCM4 dengan menggunakan tiga software di antaranya adalah NCO (NetCDF Operators), CDO (Climate Data Operators), dan Ferret. NCO digunakan untuk mengekstrak parameter curah hujan dari keluaran RegCM4. CDO berfungsi untuk menggabungkan data keluaran RegCM4 yang masih beresolusi per-3 jam. Sedangkan Ferret digunakan untuk mengkonversi koordinat RegCM4 yang berupa sistem koordinat X-Y menjadi koordinat lintang-bujur. Analisis Cluster

Analisis Cluster bertujuan untuk membagi Kalimantan berdasarkan curah hujan. Didapat 5 cluster wilayah yang memiliki pola curah hujan yang berbeda (Gambar 1).

(19)

5

Analisis Cluster dilakukan dengan data APHRODITE yang telah dikonversi menjadi .xlsx dan dirata-ratakan setiap bulan dari tahun 1982-2000. Data tersebut dianalisis dengan Minitab untuk menghasilkan jumlah cluster yang sesuai. Hasil dari Minitab kemudian dipetakan secara spasial dengan ArcGIS.

Analisis Kondisi Klimatologi Kalimantan

Klimatologi wilayah Kalimantan tahun 1998-2009 dibuat dengan membagi menjadi empat periode musim, yaitu Desember-Februari (DJF), Maret-Mei (MAM), Juli-Agustus (JJA), dan September-November (SON) dari data APHRODITE yang kemudian dipetakan secara spasial. Selain itu dihitung juga rataan curah hujan setiap bulan dari tahun 2001-2009 yang bertujuan untuk melihat pola curah hujan di Kalimantan.

Evaluasi Model RegCM4

Regional Climate Model 4 dievaluasi dengan tiga Persamaan statistik yaitu menghitung Koefisien Korelasi, Root Mean SquareError (RMSE), dan Standar Deviasi.

Analisis korelasi bertujuan untuk mengukur kekuatan hubungan linier antara dua variabel. Korelasi tidak menunjukkan hubungan fungsional atau dengan kata lain, analisis korelasi tidak membedakan antara variabel dependen dengan variabel independen. Korelasi menyatakan derajat hubungan antara dua variabel tanpa memperhatikan variabel mana yang menjadi peubah. Nilai positif menunjukkan hubungan searah, sedangkan nilai negatif menunjukkan hubungan tidak searah, dan semakin mendekati satu hubungan antar variabel semakin kuat (Walpole 2002). Perhitungan koefisien korelasi dapat dilakukan dengan Persamaan 1.

∑��= ��− �̅ ��− �̅̅̅

√∑��= ��− �̅ �√∑��= ��− �̅

… …

RMSE (Persamaan 2) adalah error dari hasil prediksi terhadap nilai yang sebenarnya. Semakin kecil nilai RMSE menunjukkan model yang semakin baik (Wilks 2006).

(20)

6

Di samping menggunakan Persamaan statistik yang telah dijelaskan, evaluasi model juga dilakukan dengan melakukan analisis spektral wavelet. Pengolahan data dengan analisis spektral wavelet dilakukan pada curah hujan bulanan untuk mengetahui periodisitas dominan curah hujan di wilayah kajian (Affandi et al. 2011).

Perhitungan Rataan Maximum Dry Spell Length (MDSL)

Dry spell diartikan dengan deret hari kering. Menurut Moron et al. (2008) salah satu syarat penentuan awal musim hujan adalah jika tidak terjadi 10 deret hari kering berturut-turut dengan jumlah curah hujan < 5mm. Jadi, penentuan dry spell pada penelitian ini yaitu hari dengan curah hujan < 0.5 mm. Sedangkan Maximum Dry Spell Length (MDSL) dihitung dengan mencari jumlah deret hari terpanjang yang memiliki curah hujan < 0.5 mm dalam setahun yang kemudian dirata-ratakan di setiap wilayah cluster (Gambar 1).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Curah Hujan dan Kondisi Klimatologi Kalimantan

Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang, ketinggian, pola angin, sebaran bentang darat dan perairan, serta pegunungan yang tinggi berpengaruh terhadap variasi dan tipe curah hujan di wilayah Indonesia. Berdasarkan pola umum terjadinya, terdapat tiga tipe curah hujan, yakni: tipe ekuatorial, tipe monsunal dan tipe lokal (Tukidi 2010). Menurut penelitian Aldrian dan Susanto (2003), dari tiga tipe curah hujan tersebut, Kalimantan memiliki dua tipe curah hujan yang berbeda yaitu tipe monsunal dan ekuatorial (Gambar 2).

(21)

7 Kalimantan bagian selatan (cluster 4 dan 5) memiliki pola curah hujan monsunal karena memiliki perairan yang luas dan dilewati angin monsun setiap tahunnya.

Pola curah hujan pada tiga cluster lainnya yang terlihat adalah pola curah hujan ekuatorial. Pola curah hujan ekuatorial ditandai dengan dua puncak curah hujan yang terjadi pada bulan April dan Oktober dalam satu tahun (Tukidi 2010). Pola ini berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi ke arah utara dan selatan mengikuti pergerakan semu matahari. Zona konvergensi merupakan pertemuan dua massa udara yang berasal dari dua belahan bumi, yang kemudian udara bergerak ke atas. Angin yang bergerak menuju satu titik dan kemudian bergerak ke atas disebut konvergensi. Posisinya relatif sempit dan berada pada lintang rendah dan dikenal dengan nama Intertropical Convergence Zone (ITCZ; Subarna 2002). Letak ITCZ akan mempengaruhi curah hujan pada tempat-tempat yang bertepatan dengan keberadaan ITCZ, dan kemungkinan besar akan menyebabkan hujan berhari-hari dengan cuaca mendung terus menerus. ITCZ berada tepat di garis ekuator dua kali dalam setahun, sekitar periode MAM dan SON, maka pada bulan-bulan tersebut di atas ekuator terjadi konvergensi yang berkontribusi terhadap meningkatnya curah hujan.

Perbandingan data APHRODITE, CRU, dan RegCM4 pada Gambar 3 menunjukkan bahwa APHRODITE dan CRU memiliki pola garis yang sama namun nilai APHRODITE lebih kecil dari pada CRU. Karena keduanya memiliki konsistensi yang sama, maka data APHRODTE dapat digunakan sebagai pengganti data CRU. Pada penelitian ini, data APHRODITE bulanan akan diggunakan sebagai pengganti CRU pada analisis spasial, karena resolusi APHRODITE yang lebih tinggi akan menghasilkan gambaran lebih detail. Di sisi lain, keluaran RegCM4 memiliki pola grafik yang tidak terlihat sama namun dapat menangkap tipe curah hujan ekuatorial maupun monsunal.

Gambar 2 Peta pola curah hujan di Indonesia. Sumber: Aldrian dan Susanto 2003.

(22)

8

terendahnya terjadi pada JJA khususnya di bagian setalan Kalimantan (Cluster 4 dan 5). Dua periode yang lain yaitu MAM dan SON sering disebut sebagai musim peralihan dengan kisaran curah hujan 100-260 mm/bulan. Kondisi klimatologi Kalimantan yang disimulasikan dengan RegCM4 pada Gambar 4e-4h, menunjukkan pola curah hujan musiman yang tidak jauh berbeda dengan APHRODITE, periode dengan curah hujan tinggi adalah DJF, sedangkan periode dengan curah hujan terendah adalah JJA. Namun, data RegCM4 terlihat terlalu tinggi di bagian tengah wilayah Kalimantan.

a) b)

Jan Mar May Jul Sep Nov

(23)

9

a) b) c) d)

e) f) g) h)

Gambar 4 Klimatologi curah hujan Kalimantan pada (a dan e) DJF, (b dan f) MAM, (c dan g) JJA, dan (d dan h) SON dari data APHRODITE (atas) dan RegCM4 (bawah) tahun 1982-2000 dalam mm

Evaluasi RegCM4 dalam Mensimulasi Curah Hujan di Kalimantan saat Periode ENSO

Regional Climate Model version 4 (RegCM4) merupakan versi terbaru dari Regional Climate Modelversion 3 (RegCM3) yang dikembangkan oleh International Centre for Theoretical Physics (ICTP) Italia. RegCM4 telah diaplikasikan oleh sebagian besar peneliti di bidang iklim untuk studi iklim regional berupa paleo-klimatologi maupun proyeksi iklim (Giorgi et al. 2011). Namun, menurut Fuentes-Franco et al. (2013) sebelum digunakan untuk keperluan proyeksi, RegCM4 perlu diuji atau dievaluasi terlebih dahulu. Evaluasi yang dilakukan di antaranya, analisis spektral wavelet, komposit anomali curah hujan, perhitungan RMSE, korelasi, dan standar deviasi.

(24)

10

pengaruh monsunal dan ENSO sama kuat. Analisis spektral wavelet dari data RegCM4 menunjukkan bahwa data keluaran RegCM4 dapat menghasilkan periodisitas yang mempengaruhi curah hujan di Kalimantan dengan baik meskipun dengan nilai kekuatan yang berbeda dengan CRU.

(a)

(b)

Gambar 5 Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 1 periode Januari 1982- Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4

(a)

(b)

(25)

11 (a)

(b)

Gambar 7 Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 3 periode Januari 1982- Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4

(a)

(b)

(26)

12

(a)

(b)

Gambar 9 Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 5 periode Januari 1982- Desember 2000 data a) CRU dan b) RegCM4

(27)
(28)

14

Hasil komposit anomali curah hujan pada Gambar 11 memperkuat dugaan bahwa RegCM4 dapat menangkap karakteristik curah hujan saat ENSO di wilayah Kalimantan dengan baik. Pada Gambar 11d, wilayah Kalimantan dalam kondisi El Nino, memiliki anomali yang negatif, sedangkan saat La Nina Kalimantan memiliki anomali yang positif (Gambar 11f). Kondisi tersebut sesuai dengan data observasi pada Gambar 11a dan 11c. Namun nilai estimasi RegCM4 lebih tinggi dibanding data observasi. Nilai anomali curah hujan dugaan RegCM4 saat El Nino berkisar antara -150 dan 20 mm/bulan, dan antara -50 sampai 100 mm/bulan, saat La Nina. Sedangkan nilai anomali curah hujan data observasi berkisar antara -50 dan 5 mm/bulan, dan antara -10 dan 50 mm/bulan saat La Nina. Pada kondisi normal, tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara model dan data observasi.

Nilai anomali curah hujan pada data observasi (Gambar 11a dan 11c) memiliki kecenderungan yang berbeda di setiap wilayah. Saat El Nino, anomali curah hujan semakin kecil di bagian utara, begitu juga saat La Nina, anomali curah hujan semakin besar di bagian utara. Hal tersebut, dikarenakan pada wilayah Kalimantan Utara, ENSO merupakan osilasi yang paling dominan (Gambar 5). Berbeda halnya dengan Kalimantan Barat dan Tengah saat La Nina. Kedua wilayah tersebut, justru mengalami curah hujan yang rendah saat La Nina. Artinya, pengaruh ENSO terhadap curah hujan di wilayah tersebut kecil. Karena osilasi yang mendominasi kedua wilayah itu adalah monsun.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(29)

15 Perhitungan RMSE dari dua resolusi temporal yang berbeda, pada Gambar 12, menunjukkan bahwa nilai RMSE lebih kecil pada resolusi harian, yang berkisar antara 0-50 mm/hari. Sedangkan pada resolusi bulanan RMSE berkisar antara 0-600. Hal tersebut wajar kerena data curah hujan harian lebih bernilai kecil dari pada data bulanan. Namun nilai tersebut terlalu tinggi karena rata-rata curah hujan harian di Kalimantan per tahun adalah 5-10 mm/hari dan kisaran rata-rata curah hujan bulanannya per tahun adalah 100-200 mm/bulan. Tidak ada perbedaan nilai RMSE yang signifikan saat El Nino, La Nina, dan Normal. Nilai RMSE menunjukkan error suatu model dengan data observasi. Model akan dianggap baik bila nilai RMSE mendekati nol (Wilks 2006). Jika rata-rata curah hujan lebih kecil dari RMSE menunjukkan model belum bisa merepresentasikan data observasi dengan baik. Nilai error yang semakin tinggi terlihat di bagian tengah Kalimantan (Gambar 12). Selain wilayah tersebut, nilai RMSE cenderung lebih kecil, yaitu 0-10 mm/hari pada data harian dan 0-150 mm/bulan pada data bulanan. Hal ini menunjukkan bahwa RegCM4 tidak dapat mensimulasi curah hujan dengan baik di bagian tengah Kalimantan.

Tidak hanya pada RMSE (Gambar 12), nilai standar deviasi data RegCM4 (Gambar 13) juga tinggi di Kalimantan bagian tengah. Standar deviasi menunjukkan variansi atau keragaman data. Semakin tinggi nilai standar deviasi maka data semakin beragam. Tidak terlihat perbedaan nilai standar deviasi yang signifikan saat El Nino, La Nina, dan Normal di kedua data. Standar deviasi data APHRODITE (Gambar 13a, 13b, dan 13c) berada pada selang 8-10 mm/hari. Sedangkan pada data RegCM4 (Gambar 13d, 13e, dan 13f) berada pada selang 0-20 mm/hari. Namun jika Kalimantan bagian tengah diabaikan, selang nilai standar deviasi RegCM4 sama dengan TRMM yaitu sekitar 8-10 mm/hari.

Nilai RegCM4 yang terlalu tinggi (Gambar 4), error yang tinggi (Gambar 12) dan data dengan variasi tinggi (Gambar 13) yang hanya terjadi pada bagian tengah Kalimantan, diduga berhubungan dengan topografi wilayah Kalimantan. Peta topografi pada Gambar 14 menunjukkan bagian tengah Kalimantan merupakan wilayah dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 1000 m. Hal ini menunjukkan RegCM4 tidak mampu mensimulasi dengan baik untuk wilayah dataran tinggi. Fentos-Franco et al. (2013) yang juga mengevaluasi RegCM4 di wilayah Mexico mendapatkan hasil bahwa RegCM4 memiliki bias dan standar deviasi tinggi untuk wilayah pegunungan atau dataran tinggi. Estimasi curah hujan yang terlalu tinggi di daerah pegunungan, diduga terkait dengan skema konveksi dan permukaan tanah yang digunakan (Fentos-Franco et al. 2013). Sebagain contoh, Diro et al. (2012) menunjukkan skema BATS menghasilkan curah hujan yang terlalu tinggi karena wilayah pegunungan sensitive terhadap skema fisik daratan dan fluks lautan.

(30)

16

(d) (e) (f)

Gambar 12 Root Mean Square Error (RMSE) (mm) antara RegCM4 dengan APHRODITE harian (atas) dan bulanan (bawah) saat periode (a dan d) El Nino, (b dan e) Normal dan (c dan f) La Nina tahun 1982 – 2000.

(a) (b) (c)

(d)

(e) (f)

(31)

17

Gambar 14 Peta topografi Pulau Kalimantan. Sumber: Badan Informasi Geospasial (BIG) 2009

Dengan metode korelasi, keeratan hubungan model dengan observasi juga dihitung (Gambar 15). Metode korelasi menggambarkan hubungan linier model dengan observasi. Semakin dekat dengan satu, model dianggap dapat merepresentasikan observasi dengan baik. Nilai negatif menunjukkan hubungan yang berlawanan, dan nilai positif menunjukkan hubungan yang searah (Walpole 1995). Sehingga, RegCM4 akan dinilai dapat mensimulasi curah hujan dengan baik, jika memiliki korelasi yang positif dan semakin dekat dengan satu. Pada Gambar 15, dapat dilihat bahwa RegCM4 tidak berkorelasi dengan observasi, karena memiliki nilai korelasi yang lebih kecil pada resolusi harian yaitu -0.1-0.1.Sedangkan pada resolusi bulanan, RegCM4 memiliki nilai korelasi yang cukup tinggi yaitu sampai dengan 0.8 khususnya saat El Nino. Saat Normal, korelasi berkisar antara 0.3-0.6. Sedangkan saat La Nina, berkisar antara -0.1-0.6. Pada perhitungan korelasi menunjukkan bahwa RegCM4 memiliki korelasi yang cukup tinggi saat kejadian El Nino. Kemampuan estimasi RegCM4 akan semakin mendekati nilai observasi jika disimulasikan pada curah hujan yang rendah (saat El Nino). Giorgi et al (2012) menjelaskan bahwa skema konveksi MIT-Emmanuel cenderung menghasilkan curah hujan yang terlalu tinggi di daratan khususnya, di daratan yang curah hujannya tinggi. Saat La Nina, curah hujan di Kalimantan cenderung meningkat sehingga kemampuaan estimasi RegCM4 kurang mendekati data observasi (korelasi lebih kecil.

(32)

18

(d) (e) (f)

Gambar 15 Koefisien Korelasi antara RegCM4 dengan TRMM harian (atas) dan bulanan (bawah) saat periode (a dan d) El Nino, (b dan e) La Nina, dan (c dan f) Normal tahun 1982 – 2000.

CDF (Cumulative Distribution Function) dan MDSL (Maximum Dry Spell Length) di Kalimantan

Penilaian RegCM4 dengan menggunakan Cumulative Distribution Function (CDF) dilakukan di seluruh cluster di Kalimantan. Meskipun sebelumnya telah disebutkan bahwa keluaran RegCM4 dengan resolusi harian memiliki korelasi yang kecil, Gambar 16 menunjukkan bahwa distribusi data RegCM4 sesuai dengan data observasi yaitu distribusi gamma dengan grafik CDF yang sama dengan APHRODITE, hanya saja nilai maksimumnya berbeda. Setiap cluster memiliki nilai kisaran curah hujan harian yang bervariasi. Berdasarkan Gambar 17, pada cluster 1, 2, dan 5 curah hujan yang sering terjadi berkisar antara 0-10 mm/hari. Sedangkan pada cluster 3 dan 4 berkisar antara 1-15 mm/hari.

Dry spell atau deret hari kering berhubungan erat dengan kekeringan. Bencana kekeringan dianggap mengancam banyak sektor, seperti pertanian, kehutanan, managemen pengelolaan air, dan lain sebagainya. Banyak fokus yang dapat dilakukan untuk menganilisis dry spell, di antaranya, intensitas, frekuensi, jumlah, dan panjang dry spell. Pada penelitian ini fokus analisis yang dilakukan yaitu panjang dry spell maksimum setiap tahun di Kalimantan.

(33)

19

(a) (b)

(c) (d)

(e)

Gambar 16 Cumulative Distribution Function (CDF) data RegCM4 (biru) dan APHRODITE (merah) pada Cluster satu (a), dua (b), tiga (c), empat (d), dan lima (e) tahun 1982-2000

(34)
(35)

21

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kalimantan memiliki dua tipe curah hujan yang berbeda yaitu ekuatorial dan monsunal. Pola ekuatorial terdapat pada wilayah Kalimantan bagian utara (Cluster 1, 2, dan 3), sedangkan wilayah lain cenderung bertipe curah hujan monsunal. Karena setengah wilayahnya bertipe monsunal, maka puncak curah hujan terjadi pada periode DJF, dan periode dengan curah hujan terendah adalah JJA khususnya bagian selatan Kalimantan (Cluster 4 dan 5).

Hasil evaluasi model menunjukkan bahwa model dapat menghasilkan periodisitas yang mempengaruhi curah hujan di Kalimantan dengan baik yang sesuai dengan data observasi. Dua osilasi yang dominan di Kalimantan yaitu Annual Oscillation, dan ENSO. RegCM4 juga dapat mengestimasi curah hujan dengan baik pada saat ENSO, yang ditandai dengan anomali curah hujan yang negatif saat El Nino, dan positif saat La Nina. Kelemahan model RegCM4 dari hasil penelitian ini yaitu nilai keluaran model yang jauh lebih tinggi di wilayah dataran tinggi atau pegunungan dibanding dengan wilayah sekitarnya. Hal tersebut diketahui dari nilai RMSE (hingga 50 mm/hari) dan standar deviasi tinggi (hingga 20) di wilayah dataran tinggi. RegCM4 tidak dapat menduga nilai curah hujan dengan baik di wiliyah dataran tinggi (sekitar 500-2000 m). Estimasi curah hujan yang terlalu tinggi di daerah pegunungan diduga terkait dengan skema konveksi dan permukaan tanah yang digunakan.

RegCM4 dapat menduga dampak ENSO terhadap dry spell yaitu MDSL yang tinggi saat El Nino dan MDSL yang rendah saat La Nina. Saat El Nino kuat, jumlah deret hari kering terpanjang di Kalimantan sampai dengan 50 hari berturut-turut, sedangkan saat La Nina kuat hanya mencapai 5 hari berturut-turut. Secara keseluruhan, konsistensi MDSL dari data keluaran RegCM4 dengan data observasi baik, meskipun dengan nilai yang lebih tinggi.

Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya, diharapkan untuk melakukan uji sensitivitas model yang bertujuan menentukan parameter dan skema yang tepat untuk diterapkan di Indonesia. Selain itu, data observasi yang dijadikan pembanding diharapkan data observasi langsung (stasiun) dengan panjang minimal 30 tahun, sehingga keakuratannya lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

[ADPC]. 2000. ENSO impact and potential forecast application in Indonesia. Extreme Climate Event Program, Asian Disaster Preparedness Centre, Bangkok, Thailand.

(36)

22

[NASDA]. 2001. TRMM Data Users Handbook. National Space Development Agency of Japan. Japan.

[USDA]. 1984. World indices of agriculture and food production, 1974–1983. Economic Research Service, U.S. Department of Agriculture, Washington, DC, USA (Statistical Bulletin 710).

Aldrian, Edvin , R. Dwi Susanto. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int. J. Climatol. (23) : 1435 – 1452. sea surface schemes in RegCM4. Clim Res (52): 31–48.

Emmanuel KA and Zivkovic RM. 1999.Development and evaluation of a convective scheme for use in climate models. Journal of Atmospheric Science (56):1766-1782.

Fadholi,Akhmad , Fitria Puspita Sari , Purwo Aji, dan Ristiana Dewi. 2014. Pemanfaatan model Weather Research and Forecasting(WRF) dalam analisis cuaca terkait hujan lebat Batam 30-31 Januari 2011. Jurnal Fisika dan Aplikasinya (10):24-30

Fox.J.J. 2000.The Impact of the 1997-1998 El Nino on Indonesia.In : R.H. Grove and J.Chappell (ed). El Nino – History and Crisis.Studies from the Asia-Pacific region.The White House Press. Cambridge, UK.

Fuentos-Franco, R., Erika Coppola, Filippo Giorgi, Federico Graef, Edgar G. Pavia.2013. Assessment of RegCM4 simulated inter-annual variability and daily-scale statistics of temperature and precipitation over Mexico. Clim Dyn (42): 629-647.

Giorgi F, Hewitson B, Christensen J, Fu C, Jones R, Hulme M, Mearns L, Storch HV, dan Whetton P. 2001. Regional Climate Information –Evaluation and Projections, in Climate Change 2001: The Scientific Basis, p.944pp, J.T. Houghton et al., Eds., Cambridge University Press.

Giorgi F, Elguindi N, Cozzini S, dan Giuliani G. 2011. Regional Climatic Model RegCM User Manual Version 4.2.International Centre for Theoretical Physics, Italia.

Giorgi et al. 2012. RegCM4: model description and preliminary tests over multiple CORDEX domains. Clim Res (52):7-29.

Glover, D. 2001. The Indonesian fires and haze of 1997: the economic toll. Dalam: P. Eaton dan M. Radojevic eds. Forest fires and regional haze in Southern Asia, 227-236. Nova Science Publishers, New York.

Grell, G. A., J. Dudhia, and D. R. Stauffer. 1994. Description of the fifth generation Penn State/NCAR Mesoscale Model (MM5), Tech. Rep. TN-398+STR, NCAR, Boulder, Colorado, pp. 121.

(37)

23 Temperatur over SEACLID/ CORDEX-SEA Domain. The 1st SEACLID/CORDEX-SEA Workshop

Gustari, Indra , Tri Wahyu Hadi , Safwan Hadi , dan Findy Renggono. 2012. Akurasi prediksi curah hujan harian operasional di Jabodetabek : Perbandingan dengan model WRF. Jurnal Meteorologi dan Geofisika (13):119-130.

Holtslag AAM, de Bruijn EIF, Pan HL. 1990. A high resulution air mass transformation model for short-rangeweather forecasting. Mon Weather Rev (118): 1561−1575.

Huffman GF, Adler RF, Bolvin DT, Gu Guojun, Nelkin EJ, Bowman KP, Hong Yang, Stocker EF, dan Wolf DB. 2007. The TRMM Multisatellite Precipitaion Analysis (TMPA) : Quasi-Global, Multiyear Combined-Sensor Precipitation Estimates at Fine Scales. Journal of Hydrometeorology (8):38-55.

Jadmiko, SD. 2011. Proyeksi Perubahan Iklim berdasarkan Hasil Keluaran Model Iklim Regional (Studi kasus: Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Pacitan). Skripsi.Departemen Geofisika dan Meteorologi.Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia.

Kalnay E, Kanamitsu M, Kistler R, Collins W, Deaven D, Gandin L, Iredell M, Saha S, White G, Woollen J, Zhu Y, Chelliah M, Ebisuzaki W, Higgins W, Janowiak J, MO KC, Ropelewski C, Wang J, Leetmaa A, Reynolds R, Jenne Roy, dan Dennis Joseph. 1996. The NCEP/NCAR 40-Year Reanalysis Project. Bulletin American Meteorological Society 77( 3).

Kiehl JT, Hack JJ, Bonan GB, Boville BA, Breigleb BP,Williamson DL, Rasch PJ. 1996. Description of the NCARcommunity climate model (CCM3). NCAR/TN-4201STR,152, NCAR, Boulder, CO.

Kirono D, Partridge IJ. 2002. Will it rain? : The effect of the Southern Oscillation

and El Niño in Indonesia. The climate and the SOI. In: Partridge IJ, Ma’shum

M (eds). Queensland Government, Department of Primary Industry, Australia, pp 17–24.

Mitchell, T. D., and P. D. Jones. 2005. An improved method of constructing a database of monthly climate observations and associated high-resolution grids. Int. J. Climatol (25):693–712.

Moron V, Robertson AW, Boer R. 2008.Spatial coherence and seasonal predictability of monsoon onset over Indonesia. J Climate (21):1-11

Mufida, SF. 2012. Evaluasi Skema Konveksi dalam Model Iklim Regional RegCM4 untuk Simulasi Keragaman Curah Hujan Musiman dan Intra Musiman di Indonesia.Skripsi.Departemen Geofisika dan Meteorologi.Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia.

(38)

24

Reynolds RW, Rayner NA, Smith TM, Stokes DC, dan Wang Wanqiu. 2002. An Improved In Situ and Satellite SST Analysis for Climate. Journal of Climae (15):1609-1625.

Ridwan, Mahally ,Kudsy. 2011. Parameterisasi model cuaca WRF-ARW untuk mendukung kegiatan teknologi modifikasi cuaca (TMC) di Sumatera, Sulawesi, dan Jawa. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca (12):1-8 Soerjadi, O. 1984. Study on weather and climate in Indonesia during 1982. In:

UNESCO (ed) TOGA Scientific Conference. UNESCO, Paris, France.

Steiner AL, Pal JS, Rauscher SA, Bell JL et al. 2009.Land surface coupling in regional climate simulations of The West Africa monsoon. Clim Dym (33):869-892.

Tjasyono, Bayong, Bannu. 2003. Dampak ENSO pada faktor hujan di Indonesia. Jurnal Matematika dan Sains (8) : 15-22.

Todd, Robert E., Daniel L. Rudnick, Russ E. Davis, dan Mark D. Ohman. 2011. Underwater gliders reveal rapid arrival of El Niño effects off California’s coast. Geophysical Research Letters (38) : 1-5.

Trenberth KE, Branstator GW, Karoly D, Kumar A, Lau N, Ropelewski C. 1998. Progress during TOGA in understanding and modeling global teleconnections associated with tropical sea surface temperatures. Journal of Geophysical Research (103): 14291–14324.

Tukidi. 2010. Karakter curah hujan di Indonesia. Jurnal Geografi (7):136-142. Walpole, RE.2002. Pengantar Statistika Edisi ke-3.Jakarta (ID) : Gramedia Pustaka. Wang, S Y, Robert Davies, Robert Gillies, and Jiming Jin. 2011. Changing

Monsoon Extremes and Dynamics: Example in Pakistan. 36th NOAA Annual Climate Diagnostics and Prediction Workshop Fort Worth, TX, (3-6 October 2011)

Wilks DS. 2006. Statistical Methods in The Atmospheric Science, 2nd Edition. USA: Elsevier Inc.

Willmott, C. J., and K. Matsuura. 1995. Smart interpolation of annually averaged air temperature in the United States. J. Appl. Meteor (34):2577–2586.

Xie, P., A. Yatagai, M. Chen, T. Hayasaka, Y. Fukushima, C. Liu, and S. Yang. 2007. A gauge-based analysis of daily precipitation over East Asia. J. Hydrometeor (8): 607–627.

Yatagai, Akiyo, Kenji Kamiguchi, Osamu Arakawa, Atsushi Hamada, NatsukoYasutomi, and AkioKitoh. 2012. APHRODITE. Bulletin American Meteorological Society Februari 2012.

(39)

25

LAMPIRAN

(40)

26

Lampiran 2 Scripting language komposit anomali curah hujan saat ENSO #GrADS

'reinit'

'sdfopen e:/Data/mon_trmm_2001-2009.nc’

'set t 1 12’

(41)

27 begin

in = addfile("mon_trmm_2001-2009.nc","r") PR = in->precipitation(:,:,:) adate = ut_calendar(PR&time,

cdate0 = asciiread("LaNina.txt",-1,"integer

system ("/bin/rm -f " + NCFILE) ncdf = addfile(NCFILE,"c")

ncdf->precipitation = normal end

Lampiran 3 Scripting language analisis spektral wavelet #Matlab

load'rcm_kalut.txt';

utaraRCM = rcm_kalut(:,:); variance = std(utaraRCM)^2;

utaraRCM = (utaraRCM-mean(utaraRCM))/sqrt(variance) ; n = length(utaraRCM);

% Global wavelet spectrum & significance levels: global_ws = variance*(sum(power')/n); dof= n - scale;

(42)

28

scale_avg = variance*dj*dt/Cdelta*sum(scale_avg(avg,:));

scaleavg_signif = wave_signif(variance,dt,scale,2,lag1,-1,[2,7.9],mother);

set(gca,'xtick',[1 61 121 181 241 301]);

set(gca,'xticklabel',{'Jan 1982' 'Jan 1987' 'Jan 1992' 'Jan 1997' 'Jan 2002' 'Jan 2007'});

title('a) Time Series Nino3.4 Periode Januari 1979 - Desember 2013','fontweight','bold','fontsize',16)

hold off

% Contour plot wavelet power spectrum subplot('position',[0.08 0.38 0.66 0.25]) set(gca,'xtick',[1 61 121 181 241 301]);

set(gca,'xticklabel',{'Jan 1982' 'Jan 1987' 'Jan 1992' 'Jan 1997' 'Jan 2002' 'Jan 2007'});

% cone-of-influence, anything "below" is dubious plot(time,log2(coi),'k')

(43)

29

% Plot global wavelet spectrum subplot('position',[0.78 0.37 0.2 0.25]) % Plot scale-average time series

subplot('position',[0.08 0.04 0.56 0.18])

set(gca,'xticklabel',{01' 02' 03' 04' 05' 06' 07' 'Jun-08' 'Jun-09'});

hold on

plot(xlim,scaleavg_signif+[0,0],'--') hold off

% end of code

Lampiran 4 Scripting language analisis korelasi antara TRMM dan RegCM4 #NCL

; Concepts illustrated:

; - Calculating a two-dimensional correlation in time ; - Reordering an array

; - Copying attributes from one variable to another

(44)

30

; open file and read in variable

;************************************************ in1 = addfile("normal_trmm_daily.nc","r")

in2 = addfile("normal_rcm_daily.nc","r") tmp1 = in1->precipitation

tmp2 = in2->precipitation

;************************************************ ; reorder to get time as right most dimension

;************************************************

res@cnLevelSelectionMode = "ManualLevels" res@cnMinLevelValF = -1.

(45)

31 function [dry_nb,dry_length,dry_sample,nb]=find_spell(X,thres,thres2,choice); %[NB,MEAN,SAMPLE,ECH]=find_spell(X,thres,thres2,choice);

% Function to find spell in sequences of rainy days. % Input

% 'X' : vector of real number containing the rain for each day at one % station. The column if any describes different years.

% 'thres' : any scalar to define the threshold from which a day is defined % as wet (day > 'thres' is wet and a day receiving less or equal

% rainfall than 'thres' is dry).

% 'thres2' : any scalar to efine the length of dry/wet spells for which the % user needs to know the umber

% 'choice' : character string be set as 'dry' or 'wet'. If choice = 'wet', % the results are about the wet sequences and if choice = 'dry', the % results are about the dry sequences.

% Output

% 'NB' : matrix/vector of number of dry/wet spells

% 'MEAN' : matrix/vector of mean length of dry/wet spells

% 'SAMPLE' : matrix/vector of the whole distribution of dry/wet spells % 'ECH' : matrix/vector of the number of wet/dry spells exceeding or equal % to 'thres2' consecutive days

% EXAMPLES

Y(find(X > thres))=ones(size(find(X > thres))); elseif strcmp(choice,'dry');

Y(find(X <= thres))=ones(size(find(X <= thres))); end

(46)

32

clear z zz zzz z2 dd

dry_day=find(Y(:,i) == 1); nb_dry_day=length(dry_day); z=diff(dry_day);

dry_nb(i)=nb_dry_day-length(find(z==1)); if dry_nb(i)==1

dry_sample(1,i)=(length(find(z==1))+1); elseif dry_nb(i) > 1

zz=find(z > 1); zzz=diff(zz);

z2=[zz(1);zzz(:)];

dry_sample(1:dry_nb(i),i)=sort([z2;sum(nb_dry_day)-sum(z2)]); end

dd=dry_sample(:,i); dd=dd(find(~isnan(dd)));

dry_length(i)=sum(dd)/dry_nb(i); nb(i)=length(find(dd >= thres2)); end

(47)

33

RIWAYAT HIDUP

(48)
(49)

Gambar

Gambar 2  Peta pola curah hujan di Indonesia. Sumber: Aldrian dan Susanto 2003.
Gambar 3 Rataan bulanan curah hujan data CRU, APHRODITE, dan RegCM4
Gambar 4  Klimatologi curah hujan Kalimantan pada (a dan e) DJF, (b dan f) MAM,
Gambar 5 Analisis Wavelet curah hujan bulanan Cluster 1 periode Januari 1982-
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dampak iklim regional baik IOD maupun ENSO terhadap penurunan curah hujan mulai terjadi pada SON baik pada wilayah tipe hujan di Pesisir Selatan (Equatorial) maupun di

Hasil penelitian pada Gambar 2, menunjukkan di wilayah bertipe hujan monsunal umumnya mengalami penurunan curah hujan dari normalnya di musim kemarau pada saat fenomena