• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resirkulasi Untuk Meningkatkan Produksi Benih Kepiting Bakau Scylla Serrata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Resirkulasi Untuk Meningkatkan Produksi Benih Kepiting Bakau Scylla Serrata"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

FREKUENSI PENAMBAHAN KALSIUM DAN MAGNESIUM

YANG BERBEDA PADA SISTEM RESIRKULASI UNTUK

MENINGKATKAN PRODUKSI BENIH KEPITING BAKAU

(

Scylla serrata

)

WILDAN NURUSSALAM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Frekuensi Penambahan Kalsium dan Magnesium yang Berbeda pada Sistem Resirkulasi untuk Meningkatkan Produksi Benih Kepiting Bakau Scylla serrata adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

WILDAN NURUSSALAM Frekuensi Penambahan Kalsium dan Magnesium yang Berbeda pada Sistem Resirkulasi untuk Meningkatkan Produksi Benih Kepiting Bakau Scylla serrata. Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan EDDY SUPRIYONO.

FAO (2013) menyatakan jumlah produksi kepiting bakau di dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu 246.534 ton (2009), 254.378 ton (2010), 270.087 ton (2011), dan 289.949 ton pada tahun 2012. Kepiting yang ada sebagian besar berasal dari hasil tangkapan, sedangkan saat ini terjadi pembatasan penangkapan kepiting bertelur dan ukuran kecil dengan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan nomor 1/PERMEN-KP/2015 (KKP 2015). Peraturan ini memberikan peluang budidaya benih hasil tangkapan yang berukuran kecil. Benih yang dibudidayakan ketika sudah mencapai ukuran yang diperbolehkan akan dijual ke pasaran.

Teknologi yang dapat digunakan dalam budidaya kepiting bakau untuk menghemat penggunaan air adalah sistem resirkulasi. Penggunaan sistem resirkulasi memungkinkan tidak dilakukan pergantian air sampai akhir pemeliharaan kepiting. Sistem resirkulasi juga memiliki kekurangan yaitu berkurangnya ion-ion yang ada pada air selama proses pemeliharaan. Hal ini disebabkan terjadi penyerapan oleh biota untuk menunjang pertumbuhan. Penambahan ion-ion pada budidaya kepiting dengan sistem resirkulasi, sering dilupakan oleh pembudidaya.

Ion kalsium diperlukan oleh kepiting dalam pembentukan karapaks. Karapaks merupakan bagian terbesar dalam tubuh kepiting. Jumlah kalsium yang tinggi tidak dapat dipenuhi hanya dari lingkungan tempat hidup kepiting dan pakan saja dalam sistem resirkulasi. Penambahan dari luar diperlukan untuk menambah jumlah kalsium yang ada di lingkungan. Kalsium penting untuk pembentukan tulang dan pembentukan kerangka luar dari krustasea. Kalsium merupakan mineral esensial yang diperlukan dalam jumlah yang cukup banyak (Boyd 1982). Kebutuhan Kalsium dapat dicukupi dari makanan dan dari lingkungan, namun peran kalsium lingkungan sangat dominan dalam proses pengerasan kulit krustasea (Greenway 1974). Kalsium tidak dapat berdiri sendiri tetapi memerlukan bantuan dari unsur lain yaitu magnesium. Magnesium dalam tubuh mampu meningkatkan penyerapan kalsium (Rubin 1982) Dikarenakan hubungan antara kalsium dan magnesium inilah, maka digunakan magnesium juga untuk meningkatkan penyerapan kalsium pada saat pembentukan cangkang kepiting bakau. Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan dosis terbaik pemeliharaan kepiting serta frekuensi optimum penambahan kalsium dan magnesium pada sistem resirkulasi dalam meningkatkan produksi dan pembentukan cangkang kepiting bakau Scylla serrata.

(5)

4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan penambahan Ca dan Mg dengan dosis masing-masing 30 mg L-1, frekuensi penambahan yang dibedakan A (tanpa penambahan Ca dan Mg), B (5 hari sekali), C ( 10 hari sekali), dan D (15 hari sekali).

Benih yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 30 ekor untuk setiap perlakuan dengan kepadatan 10 ekor setiap wadah pemeliharaan (plastic box berukuran 35 x 55 x 40 cm3). Adaptasi dilakukan selama 7 hari sebelum penelitian dimulai. Setiap perlakuan dilengkapi dengan wadah filter dan sistem aerasi. Media pemeliharaan kepiting adalah air dengan salinitas 25 ppt. Sumber kalsium berasal dari kalsium oksida (CaO), sedangkan magnesium berasal dari magnesium sulfat (MgSO4). Volume air untuk masing-masing wadah adalah 38,5 L.

Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah benih kepiting bakau Scylla serrata ukuran 54,856±2,195 gram sebanyak 120 ekor untuk semua perlakuan dan ulangan yang berasal dari petani pengumpul Demak, Jawa Tengah. Sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu kepiting diadaptasikan selama 7 hari. Pakan yang digunakan adalah ikan rucah (ikan selar ekor kuning). Pakan ikan rucah didapatkan dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke. Pakan diberikan dengan frekuensi empat kali sehari pada pukul 08.00 WIB, 12.00 WIB, 16.00 WIB dan 21.00 WIB dengan metode pemberian pakan secara restricted yaitu jumlah pakan yang diberikan 10 % dari biomassa.

Parameter uji dibedakan menjadi dua yaitu untuk penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan diuji parameter tingkat kelangsungan hidup dan perubahan nilai pH air. Pada penelitian utama diuji beberapa parameter yang meliputi parameter jumlah Ca dan Mg (air, kepiting, dan pakan), parameter kualitas air, parameter respons fisiologi, dan parameter produksi.

Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan dosis terbaik yang mampu menunjang kehidupan kepiting sebanyak 30 mg L-1 Ca dan 30 mg L-1 Mg. Hasil penelitian utama menunjukkan bahwa nilai terbaik untuk parameter utama sebagai berikut gradien osmotik 0,263±0,008 mOsm L-1 H2O, tingkat konsumsi oksigen 0.0065±0,0004 mgO2 g-1 jam-1, kadar glukosa 14,0667±0,4233 µmol L-1, pH hemolim 7,233±0,058, total hemosit count 6,33±0,462 103 sel mL-1, jumlah molting 18,67±1,15 cangkang, tingkat kelangsungan hidup 86,67±5,77%, dan total biomassa 1.054,41±73,54 gram. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan D (penambahan 15 hari sekali dengan konsentrasi Ca dan Mg masing-masing 30 mg L-1). Hasil ini berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0,05). Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan frekuensi optimum penambahan kalsium dan magnesium pada sistem resirkulasi dalam meningkatkan produksi dan pembentukan cangkang kepiting bakau Scylla serrata adalah setiap 15 hari sekali dengan konsentrasi masing-masing sebesar 30 mg L-1.

(6)

SUMMARY

WILDAN NURUSSALAM. The Different Addition Frequency of Calcium and Magnesium in Recirculation System to Improve The Seed Production of Mud Crab Scylla serrata. Supervised by KUKUH NIRMALA and EDDY SUPRIYONO.

FAO (2013) reported that the world total production of mud crab was increased year by year, that were 246,534 tons (2009), 254,378 tons (2010), 270,087 tons (2011), 289,949 tons in 2012. Most of crab were obtained from the catch activity, while there were restriction to catch spawning and small size crab by the Minister of Marine Fisheries regulation No.1/PERMEN-KP/2015 (KKP 2015). These regulation gave opportunities to culture small seed size from catch. Seeds were reared till it reach an allowed market size.

The technology to cultivate mud crab and minimize the water usage is recirculation system. The use of recirculation systems do not need water changes. The disadvantage of resirculation system was reduced water ions during the maintenance process due to it were absorbed by the organisms to growth. The ion addition in crab culture using recirculation system is often forgotten by farmers.

The calcium ions needed by the crab in the shell formation. The major part of the crab body is carapace. The high calcium requirement of the crab can not be fulfilled only by environment and feed in the recirculation system. The additions from the outside to increase the amount of calcium in the environment is necessary. Calcium is important for bone carapace formation of the crustacean. Calcium is an essential mineral that needed in considerable amounts (Boyd 1982). The calcium requirement can be fulfilled from food and the environment, but it have very dominant role of skin hardening process in custacean (Greenway 1974). Calcium can not stand alone but requires the assistance of other elements, namely magnesium. Due to the relationship between calcium and magnesium, the magnesium was also used to enhance the absorption of calcium during the mangrove crab shells formation. The purpose of this study was to determine the optimum dose and frequency of calcium and magnesium addition in a recirculation system to increase the production and accelerate the shell formation of mud crab (Scylla serrata).

The research was conducted from January to October 2015 in Aquaculture Environmental Laboratory, Department of Aquaculture, Faculty of Fisheries and Marine Science, Bogor Agricultural University. The research was consisted of preliminary and main study. The preliminary study used completely randomized design (CRD) with 5 treatments and 3 replications. It was conducted to test the best calcium dose for crab. The main study used completely randomized design (CRD) with of 4 treatments and 3 replications. The treatments addition of Ca and Mg with each dose was 30 mg L-1, the additions frequency were A (without the addition of Ca and Mg), B (once in 5 days), C (once in 10 days), and D (once in 15 days).

(7)

water salinity. The source of calcium and magnesium were calcium oxide and magnesium sulphate respectively. The water volume for each container was 38.5 L.

This study used 120 seeds of mud crab (Scylla serrata) sized 54.856 ±2.195 gram obtained from collector farmers in Demak, Central Java. Prior to this research mud crab were adapted for 7 days. The feed was yellow tail trevally fish derived from Muara Angke fish auction place (TPI). Feed had given four times daily at 08.00 am, 12.00 am, 16.00 pm and 21.00 pm by restricted feeding method with feding rate 10% of the biomass.

Test parameters are divided into two, for the preliminary and the main study. The preliminary study tested survival rate parameter and the change of water pH. While the main study tested several parameters, among others, number of Ca and Mg (in water, crab and feed), water quality parameters, physiological responses parameters and production parameters.

The results for preliminary study, showed the best dose for capable of supported life mud crab used 30 mg L-1 Ca dan 30 mg L-1 Mg. The results of main study showed that the best value for following key parameters, were 0.263±0.008 mOsm L-1 H2O for osmotic gradients, 0.0065±0.0004 mgO2 g-1 h-1 for oxygen consumption rate, 14.0667±0.4233 µmol L-1 for glucose, 7.233±0.058 for pH hemolymph, 6.33±0,462 103 cells mL-1 for total hemocytes counts, 18.67±1.15 shells for number of moulting, 86.67±5.77% for survival rate, and 1054.41±73.54 grams for total biomass. The best results were obtained in D treatment (15 days with the addition of 30 mg L-1 Ca and 30 mg L-1 Mg). It were significantly different from other treatments (p<0.05). It can be concluded that optimum frequency of Ca and Mg addition in a recirculation system to increase the production and accelerate the shell formation of mud crab (Scylla serrata) was every 15 days with 30 mg L-1 for each concentration.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

FREKUENSI PENAMBAHAN KALSIUM DAN MAGNESIUM

YANG BERBEDA PADA SISTEM RESIRKULASI UNTUK

MENINGKATKAN PRODUKSI BENIH KEPITING BAKAU

(

Scylla serrata

)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)

Judul Tesis : Frekuensi Penambahan Kalsium dan Magnesium yang Berbeda pada Sistem Resirkulasi untuk Meningkatkan Produksi Benih Kepiting Bakau Scylla serrata

Nama : Wildan Nurussalam NIM : C151130061

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc Ketua

Dr Ir Eddy Supriyono, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Dr Ir Widanarni, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Alhamdulillah segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Dengan judul penelitian Frekuensi Penambahan Kalsium dan Magnesium yang Berbeda pada Sistem Resirkulasi untuk Meningkatkan Produksi Benih Kepiting Bakau Scylla serrata, yang dilaksanakan pada bulan Januari sampai Oktober 2015.

Terima kasih penulis ucapkan dengan hormat kepada Bapak Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc dan Dr Ir Eddy Supriyono, MSc selaku pembimbing atas segala pengarahan dan ilmu yang diberikan sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada ayahanda M. Taslim dan ibunda Alhikmah Nurul Hidayati beserta keluarga besar atas segala kesabaran, pengertian, dukungan, doa dan kasih sayangnya selama penulis menyelesaikan studi.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada dosen Ibu Yuni Puji Hastuti, SPi, MSi, yang ikut serta membantu dalam memberikan motivasi selama penelitian dan penulisan. Rekan seperjuangan selama studi dan penelitian Kurnia Faturrohman. Terima kasih kepada teman-teman akuakultur 2013, BDP S1 serta teman-teman Pascasarjana Akuakultur lainnya yang telah ikut serta memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung sehingga karya ini dapat diselesaikan.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Serta memberikan manfaat kepada masyarakat secara luas.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Hipotesis 3

2 METODE 3

Tempat dan Waktu Penelitian 3

Rancangan Penlitian 4

Penelitian Pendahuluan 4

Penelitian Utama 4

Persiapan Hewan Uji 5

Persiapan Media Uji 5

Persiapan Wadah 6

Pengelolaan Kualitas Air 6

Pemberian Pakan 6

Pengambilan Contoh 6

Parameter Uji 7

Analisis Data 12

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Hasil 12

Penelitian Pendahuluan 12

Penelitian Utama 13

Pembahasan 20

4 SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN 29

(14)

DAFTAR TABEL

1 Alat dan metode yang digunakan untuk mengukur kualitas air 9

2 Nilai Kalsium di Air, Kepiting dan Pakan 13

3 Nilai Magnesium di Air, Kepiting dan Pakan 13

4 Nilai kualitas air selama pemeliharaan 14

DAFTAR GAMBAR

1 Skema perumusan masalah peran Ca dan Mg dalam meningkatkan kinerja produksi pemeliharaan benih kepiting bakau dalam sistem resirkulasi 3

2 Nilai pH selama pemeliharaan 12

3 Tingkat Kelangsungan Hidup selama pemeliharaan 12 4 Nilai pH air selama pemeliharaan kepiting bakau 14 5 Tingkat kerja osmotik kepiting. Huruf yang berbeda menunjukkan

perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan) 15 6 Tingkat konsumsi oksigen kepiting bakau. Huruf yang berbeda

menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan) 15 7 Kadar glukosa hemolim kepiting bakau. Huruf yang berbeda menunjukkan

perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan) 16 8 Nilai pH hemolim kepiting bakau. Huruf yang berbeda menunjukkan

perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan) 16 9 Nilai Total Haemocyte Count pada awal dan akhir pemeliharaan kepiting

bakau. Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf

uji 5 % (uji Duncan) 17

10 Nilai konversi pakan pada akhir pemeliharaan kepiting bakau. Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan) 17 11 Nilai Laju Pertumbuhan Bobot Harian pada kepiting bakau. Huruf yang

berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan) 18 12 Nilai Laju Pertumbuhan Bobot Harian pada kepiting bakau. Huruf yang

berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan) 18 13 Jumlah molting kepiting bakau selama pemeliharaan. Huruf yang berbeda

menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan) 19 14 Nilai tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau selama pemeliharaan.

Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 %

(uji Duncan) 19

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kandungan Kalsium dan

Magnesium di air 29

2 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kandungan Kalsium dan

Magnesium di Tubuh Kepiting 29

3 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Gradien Osmotik selama

pemeliharaan kepiting bakau 30

4 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Tingkat Konsumsi Oksigen

diakhir pemeliharaan kepiting bakau 31

5 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Kadar Glukosa Hemolim

diakhir pemeliharaan kepiting bakau 31

6 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap pH Hemolim diakhir

pemeliharaan kepiting bakau 31

7 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Total Hemocyte Count

diakhir pemeliharaan kepiting bakau 32

8 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Konversi Pakan selama

pemeliharaan kepiting bakau 32

9 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Laju Pertumbuhan Bobot

Harian selama pemeliharaan kepiting bakau 33

10 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Panjang Mutlak diakhir

pemeliharaan kepiting bakau 33

11 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Jumlah Molting selama

pemeliharaan kepiting bakau 34

12 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup

diakhir pemeliharaan kepiting bakau 34

13 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap Jumlah Total Biomassa

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki target peningkatan produksi kepiting sebesar 188% hingga tahun 2014. Produksi kepiting bakau di Indonesia 7.516 ton (2009), 9.558 ton (2010), 8.152 ton (2011) dan meningkat kembali pada tahun 2012 menjadi 14.164 ton (KKP 2012). FAO (2013) menyatakan jumlah produksi kepiting bakau di dunia juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu 246.534 ton (2009), 254.378 ton (2010), 270.087 ton (2011), dan 289.949 ton pada tahun. Harga kepiting bakau sampai saat ini masih tergolong tinggi, yaitu Rp 30.000 -50.000/kg di pasar lokal dan mencapai 170.000/kg di pasar ekspor. Negara tujuan ekspor kepiting bakau diantaranya yaitu Amerika, Tiongkok, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah Negara di kawasan Eropa (Fujaya 2007). Kepiting ini sebagian besar berasal dari hasil tangkapan, sedangkan saat ini terjadi pembatasan penangkapan kepiting bertelur dan ukuran kecil dengan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan nomor 1/PERMEN-KP/2015 (KKP 2015). Peraturan ini memberikan peluang budidaya benih hasil tangkapan yang berukuran kecil. Benih yang dibudidayakan ketika sudah mencapai ukuran yang diperbolehkan akan dijual kepasaran.

Konsumen kepiting bakau masih didominasi kalangan menengah keatas. Proses budidaya kepiting bakau saat ini hanya berada di kawasan dekat sumber air laut. Sistem resirkulasi merupakan alternatif teknologi pada masyarakat perkotaan untuk melakukan budidaya kepiting bakau, sehingga dapat meminimalkan penggunaan air laut. Teknologi ini juga dapat dimanfaatkan oleh pembudidaya di daerah pesisir untuk mengurangi pergantian air selama proses budidaya. Sistem resirkulasi adalah pemeliharaan ikan yang menggunakan sistem perputaran air, yang mengalirkan air dari wadah pemeliharaan ikan ke wadah filter (treatment), lalu dialirkan kembali ke wadah pemeliharaan (Timmons dan Losordo 1994). Sistem ini digunakan pada budidaya ikan dalam kondisi lingkungan terkontrol. Nilai tambah dari penggunaan sistem resirkulasi yaitu peningkatan produksi pada lahan dan air yang terbatas serta tidak bergantung pada musim (Tetzlaff dan Heidinger 1990).

Penelitian mengenai budidaya kepiting bakau dengan menggunakan sistem resirkulasi sudah banyak dilakukan. Penelitian tersebut diantaranya penelitian tentang salinitas terbaik bagi pertumbuhan dan sintasan kepiting adalah 25 ppt karena salinitas tersebut memberi dampak tingkat pertumbuhan dan sintasan tertinggi (Hastuti et al. 2015). Penelitian mengenai pH untuk budidaya kepiting bakau menghasilkan pH terbaik dengan nilai 7 (Hastuti et al. 2016) Sistem resirkulasi juga memiliki kekurangan yaitu berkurangnya ion-ion yang ada pada air selama proses pemeliharaan. Hal ini disebabkan terjadinya penyerapan oleh biota untuk menunjang pertumbuhan.

(18)

2

jumlah kalsium yang ada di lingkungan. Kalsium penting untuk pembentukan tulang dan pembentukan kerangka luar dari krustasea. Kalsium merupakan mineral esensial yang diperlukan dalam jumlah yang cukup banyak (Boyd 1982). Pada krustasea tahap postmolt terjadi proses pengerasan kulit melalui pengendapan kalsium di kulit. Kebutuhan kalsium dapat dicukupi dari makanan dan dari lingkungan, namun peran kalsium lingkungan sangat dominan dalam proses pengerasan kulit krustasea (Greenway 1974). Kalsium sangat diperlukan oleh krustasea pada saat pembentukan cangkang. Pada saat kondisi normal kandungan kalsium sebesar 10,75 g/100 g sedangkan pada saat terjadi pembentukan cangkang kandungan kalsium meningkat menjadi 29,14 g/100 g keptitng (Marzuki et al. 2013). Kebutuhan kalsium pada krustasea dapat dipenuhi dengan penambahan kapur. Jenis kapur yang sering digunakan untuk pertanian yaitu CaCO3 (kalsit), CaMg (CO3)2 (dolomit), dan jenis kapur lainnya seperti Ca(OH)2 dan CaO. Kandungan kapur yang tersedia di kapur tohor (CaO) (71%), kapur padam (Ca(OH)2) (54%), dan kapur pertanian (CaCO3) (40%) (Wester 2001).

Kalsium tidak dapat berdiri sendiri tetapi memerlukan bantuan dari unsur lain yaitu magnesium yang dalam tubuh mampu meningkatkan penyerapan kalsium (Rubin 1982). Dikarenakan hubungan antara kalsium dan magnesium inilah, maka digunakan magnesium juga untuk meningkatkan penyerapan kalsium pada saat pembentukan cangkang kepiting bakau. Periode molting untuk benih kepiting yang dibudidayakan belum diketahui, serta waktu molting pada kepiting yang tidak serempak. Pada penelitan ini digunakan frekuensi penambahan yang berbeda, diharapkan ketika kepiting molting, kalsium yang ada di perairan mencukupi kebutuhan pada saat molting.

Perumusan Masalah

Permasalahan budidaya kepiting bakau dalam sistem resirkulasi adalah sering terjadi kegagalan pada waktu molting, sehingga mengakibatkan produksinya rendah. Kegagalan molting ini sering diikuti kematian karena sifat kepiting bakau yang agresif dan cenderung teritorial menyebabkan sering terjadi penyerangan terhadap kepiting yang lebih kecil atau saat ganti kulit/molting (kanibalisme).

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan pengaturan kondisi media pemeliharaan. Penambahan unsur diperlukan terutama yang berhubungan langsung dengan proses pertumbuhan, perkembangan, dan percepatan pembentukan karapaks kepiting bakau serta berperan dalam berbagai proses fisiologis tubuh organisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penambahan makro mineral.

Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) merupakan makro mineral yang berhubungan langsung dengan perkembangan dan pemeliharaan sistem eksoskeleton serta berpartisipasi dalam berbagai proses fisiologis tubuh organisme. Kandungan makro mineral terbesar penyusun karapaks kepiting adalah kalsium dan magnesium (Benjakul dan Nuntapol 2009)

(19)

3

Gambar 1 Skema perumusan masalah peran Ca dan Mg dalam meningkatkan kinerja produksi pemeliharaan benih kepiting bakau dalam sistem resirkulasi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis terbaik untuk pemeliharaan kepiting serta frekuensi optimum penambahan kalsium dan magnesium pada sistem resirkulasi dalam meningkatkan produksi kepiting bakau Scylla serrata.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan diterapkan pada kegiatan budidaya kepiting bakau skala massal yang dilakukan oleh pembudidaya di Indonesia, serta menjadi bahan acuan untuk penelitian mengenai kepiting bakau selanjutnya.

Hipotesis

Jika lingkungan baik dan pakan yang diberikan cukup, maka respons fisiologi akan memberikan hasil yang baik sehingga kelangsungan hidup dan pertumbuhan akan menghasilkan kinerja produksi budidaya kepiting bakau yang maksimal.

2

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari 2015 hingga bulan Oktober 2015 bertempat di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kualitas air di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan IPB. Analisis Kandungan kalsium dan magnesium dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, IPB. Serta

(20)

4

analisis lain dilakukan di Laboratorium Embriologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.

Rancangan Penlitian

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan konsentrasi kalsium dan magnesium yang akan digunakan dalam penelitian utama.

 Pemeliharaan kepiting pada media dengan penambahan konsentrasi kalsium dan magnesium yang berbeda dengan perbandingan 1:1 selama tujuh hari.

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas lima perlakuan dan masing-masing tiga ulangan. Perlakuan yang digunakan terdiri atas:

Perlakuan 1: Kepiting dipelihara pada media tanpa penambahan kalsium dan magnesium.

Perlakuan 2: Kepiting dipelihara pada media dengan penambahan sebanyak 5 mg L-1 kalsium dan 5 mg L-1 magnesium. Perlakuan 3: Kepiting dipelihara pada media dengan penambahan

sebanyak 15 mg L-1 kalsium dan 15 mg L-1 magnesium. Perlakuan 4: Kepiting dipelihara pada media dengan penambahan

sebanyak 30 mg L-1 kalsium dan 30 mg L-1 magnesium. Perlakuan 5: Kepiting dipelihara pada media dengan penambahan

sebanyak 50 mg L-1 kalsium dan 50 mg L-1 magnesium. Kepiting dipelihara pada akuarium berukuran 30 x 30 x 30 cm3 dengan kepadatan masing-masing akuarium sebanyak 2 ekor. Hewan uji yang digunakan pada penelitian pendahuluan berupa benih kepiting berukuran 54,856±2,195 g sebanyak 30 ekor untuk semua perlakuan dan ulangan yang berasal dari petani Demak, Jawa Tengah. Pemeliharaan dilakukan selama 7 hari dengan pemberian aerasi pada masing-masing akuarium.

Pada penelitian pendahuluan ini data yang diambil adalah data tingkat kelangsungan hidup (SR) dan data derajat keasaman (pH). Pengukuran pH dilakukan, karena kepiting sangat rentan dengan nilai pH yang tinggi. Kepiting mengalami hambatan pertumbuhan bahkan kematian ketika kepiting dipelihara pada media dengan nilai pH yang tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan dosis kalsium dan magnesium terbaik yang akan ditambahkan pada penelitian utama.

Penelitian Utama

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas empat perlakuan dan masing-masing tiga ulangan. Perlakuan yang digunakan terdiri atas :

Perlakuan A: Kepiting dipelihara pada media tanpa penambahan kalsium dan magnesium dengan menggunakan sistem resirkulasi

(21)

5 Perlakuan C: Kepiting dipelihara pada media dengan penambahan konsentrasi kalsium dan magnesium dengan konsentrasi masing-masing 30 mg L-1 dengan waktu penambahan setiap 10 hari, dengan menggunakan sistem resirkulasi.

Perlakuan D: Kepiting dipelihara pada media dengan penambahan konsentrasi kalsium dan magnesium dengan konsentrasi masing-masing 30 mg L-1 dengan waktu penambahan setiap 15 hari, dengan menggunakan sistem resirkulasi.

Persiapan Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah benih kepiting bakau Scylla serrata ukuran 54,856±2,195 g sebanyak 120 ekor untuk semua perlakuan dan ulangan yang berasal dari petani pengumpul Demak, Jawa Tengah. Pengangkutan kepiting dari Demak ke lokasi penelitian di Bogor membutuhkan waktu 10 jam. Pengangkutan dilakukan dengan menggunakan wadah sterofoam berukuran 30 x 40 x 100 cm3 yang diberi lubang untuk sirkulasi udara. Kepiting dalam keadaan masih terikat, ditata dan di atasnya diberi kain basah untuk menjaga kelembaban. Kepiting ditempatkan dalam wadah penampungan selama 3 hari setelah sampai di tempat penelitian. Wadah penampungan berupa plastic box berukuran 30 x 40 x 50 cm3 sebanyak 6 buah yang telah diisi air bersalinitas 25 ppt.

Benih yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 30 ekor untuk setiap perlakuan dengan kepadatan 10 ekor setiap wadah pemeliharaan (plastic box berukuran 35 x 55 x 40 cm3). Adaptasi dilakukan selama 7 hari sebelum penelitian dimulai.

Persiapan Media Uji

Air yang digunakan pada penelitian berasal dari air laut dan air tawar. Air laut didatangkan dari kawasan Ancol, Jawa Barat yang memiliki salinitas 30 ppt. Pengangkutan air laut menggunakan truk pengangkut air berkapasitas 8 ton. Air laut yang telah ditransportasikan dari Ancol menuju Bogor kemudian ditampung dalam tandon bulat yang bervolume 500 liter sebanyak 3 buah. Air tawar yang digunakan berasal dari air PAM Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Air PAM yang akan dipakai, terlebih dahulu disterilisasi agar terhindar dari mikroorganisme patogen serta bahan-bahan kimia yang membahayakan hewan uji dan diaerasi untuk menaikkan nilai oksigen terlarut. Salinitas yang digunakan pada penelitian ini adalah salinitas 25 ppt.

Untuk mendapatkan salinitas yang diinginkan sesuai dengan perlakuan yang dirancang maka dilakukan pengenceran dengan rumus

� =� � �� + �

Keterangan

S1 : Salinitas air laut yang akan diencerkan (ppt) S2 : Salinitas yang diinginkan (ppt)

a : Volume air laut yang diencerkan (L)

(22)

6

Persiapan Wadah

Sebelum digunakan, wadah dibersihkan dan disterilkan terlebih dahulu agar bebas dari kotoran atau mikroorganisme yang merugikan. Desinfeksi menggunakan kaporit dosis 30 ppm, selanjutnya dibilas dengan air bersih dan didiamkan selama 24 jam untuk menetralisir kaporit.

Tahap persiapan wadah dilakukan dengan membuat sistem resirkulasi untuk setiap perlakuan. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas media pemeliharaan agar tetap dalam kondisi yang diharapkan serta mengurangi penumpukan feses dan sisa pakan di wadah pemeliharaan. wadah yang dipersiapkan sebanyak 12 buah untuk 4 perlakuan. Masing-masing perlakuan terdapat tiga wadah plastic box, satu tandon, dan satu pompa air yang disusun untuk setiap resirkulasi. Setiap wadah pemeliharaan dipasang dua aerasi untuk menjaga kestabilan oksigen. Debit air inlet juga disamakan sebesar 50 ml s-1.

Selama pemeliharaan berlangsung, air dialirkan dari wadah pemeliharaan menuju talang melalui selongsong, untuk kemudian dialirkan ke tandon dengan melalui beberapa treatment filter, yaitu filter fisik berupa kapas filter dan pasir malang, kemudian filter kimia berupa zeolit dan yang terakhir yaitu filter biologi menggunakan bioball. Air yang telah melewati treatment pada tandon, kemudian dipompa dan dialirkan kembali menuju wadah pemeliharaan.

Pengelolaan Kualitas Air

Kualitas air selama penelitian perlu diperhatikan agar tetap baik. Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan cara penyifonan sisa pakan dan feses setiap hari untuk dialirkan menuju bak filter tanpa dilakukan pembuangan air keluar sistem. Penambahan air dilakukan ketika terjadi penurunan volume wadah pemeliharaan. Pengecekan volume air dilakukan setiap hari. Penambahan dilakukan dengan menggunakan air tawar. Pengukuran suhu, pH, dan DO dilakukan setiap hari, sedangkan pengukuran amonia, nitrit, nitrat, salinitas dan alkalinitas air dilakukan setiap 7 hari sekali.

Pemberian Pakan

Pakan yang digunakan adalah ikan selar ekor kuning. Pakan didapatkan dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke. Pakan diberikan dengan frekuensi empat kali sehari pada pukul 08.00 WIB, 12.00 WIB, 16.00 WIB dan 21.00 WIB dengan metode pemberian pakan secara restricted yaitu jumlah pakan yang diberikan 10 % dari biomassa. Sebelum pemberian pakan, benih kepiting dipuasakan selama satu hari terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan benih kepiting masih berada pada tingkat stres yang tinggi akibat transportasi.

Pengambilan Contoh

(23)

7

Parameter Uji 1. Kadar Ca dan Mg

A.Kadar Ca Kadar Ca di Air

Metode pengujian kadar kalsium di air dilakukan dengan menggunakan alat atomic absorption spectrophotometer (AAS) berdasarkan SNI 06-6989.12-2005. Cara uji ini digunakan untuk menentukan kadar kalsium di air secara spektrofotometri serapan atom nyala (SSA) pada kisaran kadar 0.2 mg L-1 sampai dengan 4.0 mg L-1 pada panjang gelombang 422.7 nm.

Kadar Ca di air dihitung dengan rumus :

Kadar Ca di air ppm = a − b x V x FP x VS

Keterangan:

a = Konsentrasi larutan sampel (ppm) b = Konsentrasi larutan blanko (ppm) V = Volume ekstrak

FP = Faktor pengenceran VS = Volume sampel (L)

Kadar Ca di Kepiting dan Pakan

Pengukuran kalsium tubuh dilakukan menggunakan alatAAS. Sampel sebanyak 1 g ditimbang lalu dimasukkan ke dalam erlemenyer 100 ml dan ditambahkan 5 ml HNO3, didiamkan selama satu jam pada suhu ruang dan dalam ruang asam dibiarkan semalaman. Larutan sampel kemudian ditambahkan 2-3 tetes HClO4 dan HNO3 pekat dengan perbandingan 2:1 sambil terus dipanaskan sampai terjadi perubahan warna dari coklat menjadi kuning muda dan larutan berwarna jernih. Sampel didinginkan lalu ditambahkan 2 ml akuades dan 0.6 ml HCl pekat, kemudian dipanaskan kembali selama 15 menit agar sampel larut lalu dimasukkan kedalam labu takar 100 ml.

Sampel hasil destruksi disaring dengan kertas saring Whatman nomor 42 kemudian diambil 1 ml dan diencerkan sampai 100 ml. Hasil pengenceran diambil 0.1 ml kemudian ditambahkan 4.9 ml akuades dan 0.05 ml larutan klorida. Sampel dicampur dengan alat vortex kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit dan pengukuran menggunakan AAS pada panjang gelombang 422.7 nm. Absorbansi yang terbaca kemudian dikonversi pada kurva standar sehingga didapatkan konsentrasi kalsium sampel. Kalsium di tubuh dihitung berdasarkan formula sebagai berikut :

Kadar Ca ppm = a − b x V x FP x W

Keterangan:

a = Konsentrasi larutan sampel (ppm) b = Konsentrasi larutan blanko (ppm) V = Volume ekstrak

(24)

8

B.Kadar Mg Kadar Mg di Air

Metode pengujian kadar magnesium di air dilakukan dengan menggunakan alat Spektrofotometer berdasarkan metode Taussky. Cara uji ini digunakan untuk menentukan kadar magnesium di air secara spektrofotometri pada kisaran larutan standar P 2 mg L-1 sampai dengan 5 mg L-1 pada panjang gelombang 285,2 nm.

Kadar Mg di air dihitung dengan rumus :

Kadar Mg di air ppm = a − b x V x FP x VS

Keterangan:

a = Konsentrasi larutan sampel (ppm) b = Konsentrasi larutan blanko (ppm) V = Volume ekstrak

FP = Faktor pengenceran VS = Volume sampel (L)

Kadar Mg di Kepiting dan Pakan

Metode pengujian kadar kalsium di air dilakukan dengan menggunakan alat spektrofotometer. Dengan membuat larutan A sebanyak 100 ml (ammonium molibdat 10%), larutan B sebanyak 100 ml (10 ml larutan A + 60 ml aquadest + 5 gram FeSO4.7H2O), larutan Mg (konsentrasi Mg 1000 ppm).

Kemudian dibuat larutan standar Mg dengan kosentrasi 2,3,4 dan 5 ppm dalam 5 ml, masing–masing volume larutan standar tersebut ditambah 2 ml larutan B dan aquadest sampai volume akhir 5 ml. Filtrat contoh hasil pengabuan basah atau kering, dipipet kedalam tabung (ukuran volume sampel yang dipipet tergantung kadar Mg pada sampel, sebelumnya dilakukan pemipetan berbagai volume, ditetapkan apabila warna sampel ada didalam kisaran warna standar), kemudian ditambah 2 ml larutan B. Baca segera (5 menit -2 jam) pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 285,2 nm.

Kadar Mg di tubuh dihitung berdasarkan formula sebagai berikut :

Kadar Ca ppm = a − b x V x FP x W

Keterangan:

a = Konsentrasi larutan sampel (ppm) b = Konsentrasi larutan blanko (ppm) V = Volume ekstrak

FP = Faktor pengenceran W = Bobot sampel (g)

2. . Fisika-kimia Air

(25)

9 faktor utama yang menunjang dalam budidaya kepiting bakau. Berbagai parameter tersebut disajikan pada tabel 1.

Tabel 1 Alat dan metode yang digunakan untuk mengukur kualitas air

Parameter Satuan Metode/Alat Waktu Pengukuran

pH - pH-meter Setiap hari

DO mg L-1 DO-meter Setiap hari

Suhu oC Termometer Setiap hari

Salinitas (‰) Salinometer Setiap tujuh hari Amonia mg L-1 Spektrofotometer Setiap tujuh hari

Nitrit mg L-1 Spektrofotometer Setiap tujuh hari

Nitrat mg L-1 Spektrofotometer Setiap tujuh hari

Alkalinitas mg L-1 CaCO

3 Titrasi Setiap tujuh hari

3. Gradien Osmotik

Gradien osmotik merupakan salah satu parameter pendukung pertumbuhan. Gradien Osmotik dihitung berdasarkan rumus yang digunakan Anggoro (1992): Gradien Osmotik = [ Osmolaritas hemolim kepiting (mOsm L-1 H2O) – Osmolaritas media (mOsm L-1 H2O) ]

4. Tingkat Konsumsi Oksigen

Tingkat konsumsi oksigen merupakan parameter untuk menentukan laju metabolisme yang berkaitan erat dengan pertumbuhan. Pengujian ini menggunakan botol yang diisi air dengan volume 3 liter ditutup dengan sterofoam untuk mencegah terjadinya difusi oksigen dari luar, ukur kandungan oksigen dengan memasukkan DO meter. Kadar oksigen awal dicatat (tercapai pada saat nilai yang tertera pada DO meter tidak berubah lagi. Ditimbang 2 ekor kepitng yang telah dipuasakan dan dimasukkan ke dalam toples tersebut (dilakukan dengan secepatnya). Dicatat nilai yang tertera pada DO meter setelah tiga jam kemudian untuk mengukur konsumsi oksigen akhir kepiting. Tingkat konsumsi oksigen dihitung dengan menggunakan rumus (Liao dan Huang 1975)

TKO =V x DOto − DOmW x T

Keterangan :

TKO = Tingkat konsumsi oksigen (mgO2 g-1 jam-1) V = Volume air dalam wadah (L)

DOto = Konsentrasi oksigen terlarut pada awal pengamatan (mg L-1) DOtn = Konsentrasi oksigen terlarut pada waktu t (mg L-1)

W = Bobot kepiting uji (g) T = Periode pengamatan (jam)

5. Kadar Glukosa hemolim

Kadar glukosa hemolim dihitung dengan menggunakan rumus (Wedemeyer dan Yasutake 1977) :

(26)

10

Pengukuran pH Hemolim mengguanakan alat pH meter darah. Alat ini sistem kerjanya sama seperti alat ukur pH air, tetapi sampel yang digunakan lebih sedikit sehingga kebutuhan hemolim sedikit.

7. Perhitungan Total hemosit

Perhitungan total hemosit (THC) kepiting dilakukan pada akhir percobaan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Perhitungan ini mengacu pada metode Blaxhall dan Daishley (1973).

THC = Rataan∑sel terhitung xV 1 e x F Pe ge e1

8. Konversi Pakan

Untuk mengetahui seberapa besar kepitng mampu mengkonsumsi pakan dan mencernanya. Kepiting uji pada awal penelitian ditimbang dan dicatat. Pada akhir penelitian kepiting uji ditimbang kembali dan dicatat. Jumlah kepiting yang mati selama penelitian ditimbang dan dicatat. Bobot pakan yang diberikan dari mulai penelitian hingga akhir ditimbang dan dicatat. Hasil pengukuran dihitung dengan menggunakan rumus Huisman (1976) :

FCR = Bt + Bd − BoF

Keterangan :

FCR = Konversi Pakan

Bt = Biomassa mutlak kepiting pada akhir penelitian (g) Bd = Biomassa mutlak kepiting yang mati selama penelitian (g) Bo = Biomassa mutlak kepiting pada awal penelitian (g)

F = Jumlah pakan yang dikonsumsi oleh kepiting selama penelitian (g)

9. Pertumbuhan

Pada awal penelitian, kepiting uji ditimbang dan diukur panjang kemudian pada akhir pelaksanaan penelitian kepiting uji ditimbang dan diukur kembali dan dicatat. Hasil penimbangan bobot kemudian dihitung dengan menggunakan rumus NRC (1977). Pertumbuhan terdiri tiga parameter yaitu laju pertumbuhan bobot spesifik, pertumbuhan panjang mutlak dan pertumbuhan lebar mutlak.

A.Laju pertumbuhan bobot spesifik

α = √��

��

(27)

11 Keterangan :

α = Laju pertumbuhan bobot spesifik (%) Wt = Bobot rata-rata individu pada waktu t (g) Wo = Bobot rata-rata individu pada waktu 0 (g) t = Lama percobaan (hari)

B.Pertumbuhan panjang mutlak

Pertambahan panjang mutlak dapat dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1979) yaitu:

Pm = Lt⃗⃗⃗ − Lo⃗⃗⃗⃗ Keterangan :

Lm = Pertumbuhan panjang mutlak (cm) Lt = Panjang akhir (cm)

Lo = Panjang awal (cm)

C.Lebar karapaks

Pertambahan panjang mutlak dapat dihitung dengan menggunakan rumus Effendie (1979) yaitu:

Lm = Wt⃗⃗⃗⃗⃗ − Wo⃗⃗⃗⃗⃗⃗ Keterangan :

Lm = Pertumbuhan panjang mutlak (cm) Wt = Lebar akhir (cm)

Wo = Lebar awal (cm)

10. Jumlah Molting

Perhitungan jumlah molting dilakukan dengan mencatat jumlah kepiting yang molting pada wadah pemeliharaan. Pengecekan jumlah kepiting yang molting dilakukan setiap hari. Hal ini untuk melihat apakah frekuensi yang berbeda mempengaruhi jumlah kepiting yang molting.

11. Tingkat Kelangsungan Hidup

Seluruh kepiting uji dihitung pada saat awal penelitian akan dimulai, diakhir penelitian kepiting uji yang masih hidup dihitung dan dikurangi dengan kepiting yang mati kemudian dicatat. Hasil perhitungan kepiting pada awal dan akhir dihitung dengan menggunakan rumus Huisman (1976) :

SR = No x Nt

Keterangan :

(28)

12

Analisis Data

Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis rmengunakan Microsoft Excel 2013 dan SPSS versi 17.0. Analisis ragam pada selang kepercayaan 95%, dan apabila berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan Torrie 1993). Data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Parameter fisika dan kimia air dianalisis secara desktriptif.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Penelitian Pendahuluan

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan diperoleh hasil nilai pH (Gambar 2) antara perlakuan 3 dan 4 masih mampu ditoleransi oleh benih kepiting bakau. Hal ini dibuktikan dengan nilai tingkat kelangsungan hidup kedua perlakuan sampai akhir pemeliharaan yang bernilai 100% (Gambar 3). Hasil dari penelitian pendahuluan dapat dilihat pada gambar 2 dan 3 :

Gambar 2 Nilai pH selama pemeliharaan

(29)

13 Hasil terbaik yang dipilih adalah dosis Ca dan Mg sebanyak 30 mg L-1. Hal ini disebabkan kebutuhan kalsium pada saat kepiting mengalami molting sangat tinggi, terutama untuk pembentukan karapaks. Perlakuan terbaik ini dijadikan dasar jumlah kalsium dan magnesium yang ditambahkan pada penelitian utama.

Penelitian Utama

Jumlah Kalsium di Air, Kepiting, dan Pakan

Hasil analisis kandungan kalsium di air, kepiting dan pakan (Tabel 2) menunjukkan bahwa nilai tertinggi kalsium pada air akhir terdapat pada perlakuan A sebesar 649.86±2.63 ppm, dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0,05). Nilai terendah terdapat pada perlakuan B sebesar 466.19±2.99 ppm. Jumlah kalsium kepiting tertinggi terdapat pada perlakuan C sebesar 49,244.52±206.08 ppm dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0,05). Nilai terendah terdapat pada perlakuan A sebesar 16,154.43±134.27 ppm. Nilai kalsium yang terdapat pada pakan sebesar 19,685.05±47.21 ppm.

Tabel 2 Nilai kalsium di air, kepiting dan pakan

Perlakuan Kalsium Air (ppm) Kalsium Kepiting (ppm)

awal Akhir awal Akhir

(A) Kontrol 381.72±2.21 649.86±2.63 A 47,792.29±98.41 16,154.43±134.27 D (B) 5 Hari Sekali 381.72±2.22 466.19±2.99 D 47,792.29±98.42 44,611.03±151.93 B (C) 10 Hari Sekali 381.72±2.23 613.16±0.18 B 47,792.29±98.43 49,244.52±206.08 A (D) 15 Hari Sekali 381.72±2.24 602.81±4.46 C 47,792.29±98.44 35,201.51±99.4 C

Pakan 19,685.05±47.21

Huruf dibelakang angka menunjukkan hasil uji lanjut Duncan. Huruf yang berbeda menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0,05).

Hasil pengukuran kadar magnesium di air, kepiting dan pakan (Tabel 3) diketahui bahwa nilai tertinggi Mg di air terdapat pada perlakuan C sebesar 1,022.99±8.6 ppm. Serta berbeda nyata dengan perlakuan B dan C (P<0,05). Sedangkan nilai Mg di air terendah terdapat pada perlakuan B sebesar 924.41±2.84 ppm. Jumlah Mg tertinggi pada kepiting diakhir pemeliharaan terdapat pada perlakuan A sebesar 6,800.67±200.38 ppm, serta berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0,05). Jumlah kandungan Mg kepiting terendah terdapat pada perlakuan C sebesar 3,251.12±10.41 ppm. Jumlah Mg pada pakan yaitu sebesar 864.75±13.35 ppm

Tabel 3 Nilai magnesium di air, kepiting dan pakan

Perlakuan Magnesium Air (ppm) Magnesium Kepiting (ppm)

awal Akhir Awal Akhir

(30)

14

Parameter Kualitas Air

Penambahan Ca dan Mg dalam air selain mempengaruhi Ca dan Mg di air dan kepiting juga mempengaruhi kualitas air. Kualitas air yang paling dipengaruhi oleh penambahan Ca dan Mg yaitu pH air dan Alkalinitas. Hasil pengukuran kualitas air ditampilkan pada Tabel 4 dan Gambar 4.

Tabel 4 Nilai kualitas air selama pemeliharaan

Perlakuan

Kontrol 5 Hari Sekali 10 Hari Sekali 15 Hari Sekali

Suhu (oC) 27.35±0.16 27.44±0.14 27.54±0.14 27.54±0.15

DO (mg L-1) 6.56±0.09 6.73±0.12 6.66±0.09 6.64±0.07

Amonia (mg L-1) 0.0343±0.003 0.591±0.59 0.315±0.06 0.213±0.02

Nitrit (mg L-1) 1.138±0.034 0.595±0.036 0.651±0.039 0.632±0.039

Nitrat (mg L-1) 0.382±0.018 0.339±0.019 0.343±0.023 0.416±0.018

Salinitas (mg L-1) 23.25±0.11 22.86±0.22 22.72±0.12 23.49±0.09

Alkalinitas (mg L-1

CaCO3) 108.69±14.14 143.19±17.93 139.74±20.92 169.07±14.94

Gambar 4 Nilai pH air selama pemeliharaan kepiting bakau.

Respons Fisiologi Gradien Osmotik

(31)

15

Gambar 5 Gradien osmotik kepiting. [Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan)]

Tingkat Konsumsi Oksigen

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap tingkat konsumsi oksigen kepiting bakau (P<0,05). Tingkat konsumsi oksigen akhir paling rendah diperoleh pada perlakuan D yaitu sebesar 0.0065±0.0004 mgO2 g-1 jam-1, sedangkan paling tinggi pada perlakuan A yaitu 0.0113±0.0002 mgO2 g-1 jam-1. Hasil pengukuran tingkat konsumsi oksigen ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Tingkat konsumsi oksigen kepiting bakau. [Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan)]

Kadar Glukosa Hemolim

(32)

16

Gambar 7 Kadar glukosa hemolim kepiting bakau. [Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan)]

Nilai pH Darah

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap nilai pH hemolim kepiting bakau (P<0,05). Nilai pH hemolim akhir paling tinggi diperoleh pada perlakuan D yakni 7.233±0.058, sedangkan paling rendah pada perlakuan A, yakni 6.833±0.058. Hasil pengukuran nilai pH hemolim ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8 Nilai pH hemolim kepiting bakau. [Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan)]

Total Haemocyte Count

(33)

17

Gambar 9. Nilai Total Haemocyte Count pada awal dan akhir pemeliharaan kepiting bakau. [Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan)]

Parameter Produksi Konversi Pakan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap nilai konversi pakan kepiting bakau (P<0,05). Nilai konversi pakan akhir paling rendah diperoleh pada perlakuan C yakni 8.18±0.45, sedangkan paling tinggi terdapat pada perlakuan A, yakni 10.65±0.85. Hasil untuk perlakuan C dan D tidak berbeda nyata secara statistik (P>0,05). Hasil pengukuran nilai konversi pakan ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10 Nilai konversi pakan pada akhir pemeliharaan kepiting bakau. [Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan)]

Laju Pertumbuhan Bobot Harian

(34)

18

yakni 1.733±0.06%, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan A, yakni 1.136±0.04. Nilai laju pertumbuhan bobot harian perlakuan C berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0,05).

Gambar 11 Nilai laju pertumbuhan bobot harian pada kepiting bakau. [Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan)]

Panjang Mutlak

Hasil perhitungan nilai panjang mutlak diakhir pemeliharaan diketahui bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap panjang mutlak (P<0,05). Berdasarkan perhitungan panjang mutlak (Gambar 12) menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan C sebesar 2.149±0.03 cm, sedangkan nilai terendah terdapat pada perlakuan A sebesar 1.701±0.041 cm. Nilai panjang mutlak perlakuan C berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0,05).

(35)

19

Jumlah Molting

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah molting kepiting bakau selama pemeliharaan (P<0,05). Hasil perhitungan jumlah molting (Gambar 13) selama pemeliharaan diketahui jumlah paling banyak diperoleh pada perlakuan D yaitu 18.67±1.15 cangkang, sedangkan yang paling sedikit diperoleh pada perlakuan A yaitu 10±1.73 cangkang.

Gambar 13 Jumlah molting kepiting bakau selama pemeliharaan. [Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan)]

Tingkat Kelangsungan Hidup

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup kepiting (P<0,05). Hasil perhitungan tingkat kelangsungan hidup (Gambar 14) diakhir pemeliharaan diketahui bahwa nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan D yaitu 86.67±5.77%, sedangkan yang terendah diperoleh pada perlakuan A yaitu 40±5%.

(36)

20

Total Biomassa

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup kepiting (P<0,05). Biomassa akhir merupakan nilai bobot rata-rata yang dikalikan dengan nilai kelangsungan hidup. Jumlah biomassa akhir tertinggi diperoleh pada perlakuan D (1,054.41±73.54 gram) dan ini berbeda nyata dengan semua perlakuan (P<0,05). Nilai terendah terdapat pada perlakuan A (376.99±86.16 gram). Hasil perhitungan biomassa akhir ditampilkan pada gambar 15.

Gambar 15 Jumlah biomassa kepiting bakau pada akhir pemeliharaan. [Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf uji 5 % (uji Duncan)]

Pembahasan

Kepiting bakau memerlukan kalsium dan magnesium yang tinggi untuk pembentukan karapaks. Berdasarkan susunan mineral yang terkandung dalam karapaks kepiting bakau, ditemukan bahwa kalsium dan magnesium menempati urutan paling atas dibanding mineral lainnya (Benjakul dan Nuntapol 2009). Keperluan kalsium dan magnesium dalam jumlah besar harus diambil dari pakan dan air untuk pembentukan karapaks. Kalsium dan magnesium yang ada di air jumlahnya terbatas maka diperlukan penambahan dari luar. Penambahan yang dilakukan harus memperhatikan parameter pH air karena nilai pH sangat berpengaruh terhadap kondisi fisiologi kepiting bakau. Penambahan kalsium dan magnesium dapat meningkatkan nilai pH dalam waktu singkat dan signifikan nilainya (Zaidy et al. 2008).

(37)

21 ditambahkan lebih besar dibandingkan perlakuan 3, dan dosis tersebut masih dapat ditoleransi oleh kepiting bakau. Pada saat pembentukan karapaks kepiting bakau memerlukan kalsium dalam jumlah yang besar, yaitu bisa mencapai 29.14/100 g kepiting (Marzuki et al. 2013).

Penambahan kalsium dan magnesium dapat merubah komposisi dari kandungan kalsium dan magnesium yang ada di air dan tubuh kepiting. Pengujian jumlah kalsium di air, kepiting, dan pakan diperlukan untuk mengetahui kondisi kalsium dan magnesium sebelum dan sesudah penambahan. Nilai kandungan kalsium dan magnesium menunjukkan bahwa nilai kalsium air yang tinggi pada perlakuan A diduga karena kepiting tidak dapat menyerap kalsium yang ada di media (Tabel 2). Hal ini disebabkan kalsium di air, sudah berikatan dengan unsur yang lain. Nilai kalsium akhir pada kepiting tanpa penambahan Ca dan Mg yang paling rendah mendukung pernyataan tersebut. Pada perlakuan penambahan kalsium dan magnesium ketika diakhir pemeliharaan nilai Ca pada tubuh kepiting jumlahnya lebih besar dibandingkan kontrol. Hasil ini membuktikan bahwa kalsium diserap oleh kepiting. Kepiting membutuhkan kalsium untuk pembentukan karapaks tetapi penyerapannya terganggu dengan sedikitnya jumlah kalsium bebas yang ada pada media. Kalsium dalam air laut berikatan dengan CO2 membentuk CaCO3 (Bogart 2016).

Hasil pengukuran Mg di air menunjukkan jumlah yang tidak berbeda antara awal dan akhir (Tabel 3). Meskipun pada akhir pemeliharaan jumlah Mg terjadi perbedaan antar perlakuan (P<0,05). Hal ini juga terjadi pada pengukuran kalsium. Kemungkinan hal ini terjadi karena kelarutan kalsium dan magnesium dalam air memiliki nilai maksimum kelarutan. Ketika air laut ditambahkan Ca dan Mg maka dalam beberapa waktu ion tersebut akan berikatan dengan unsur lain. Hasil pengukuran Ca dan Mg di kepiting menunjukkan bahwa, ketika jumlah Ca di perairan banyak maka Ca akan lebih dahulu diserap oleh kepiting dibandingkan ion Mg. Pada air ketika ion Ca rendah maka Mg diserap dalam jumlah yang lebih banyak, disebabkan jumlah Mg di air laut lebih tinggi dibandingkan dengan Ca (Wurts dan Robert 1989). Hal ini membuktikan bahwa ketika ion Ca rendah maka ion lain akan diserap oleh kepiting. Kurangnya jumlah Ca yang tersedia di perairan mengakibatkan kandungan Ca di kepiting rendah sehingga dapat mengakibatkan kepiting mengalami kegagalan molting.

Pada penelitian ini digunakan penambahan Ca dan Mg maka parameter kualitas air yang paling terpengaruh adalah pH air dan alkalinitas. Nilai alkalinitas menunjukkan bahwa perlakuan A (tanpa penambahan Ca dan Mg) memiliki nilai yang paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan penyusun alkalinitas adalah CaCO3. Menurut Bogart et al. (2016) alkalinitas tersusun dari banyak mineral-mineral yang dapat mempengaruhi alkalinitas dan kesadahan. Ketika kalsium diserap oleh kepiting menyebabkan nilai alkalinitas menurun. Berbeda dengan perlakuan penambahan Ca dan Mg (B,C, dan D) nilai alkalinitasnya relatif stabil.

(38)

22

dalam darah menuju lingkungan yang mengakibatkan pH lingkungan menjadi asam. Kondisi pH yang rendah dapat dinaikkan dengan penambahan Ca dan Mg. Alkalinitas merupakan gambaran mengenai kapasitas air untuk dapat menetralkan asam. Alkalinitas juga dapat diartikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH perairan (Mandal dan Boyd 1980)

Penambahan Ca dan Mg karena mempengaruhi proses molting tentu akan mengakibatkan perubahan respons fisiologis pada kepiting. Pengukuran gradien osmotik pada perlakuan D (frekuensi penambahan 15 hari 30 mg L-1 Ca dan 30 mg L-1 Mg) dibanding dengan perlakuan lain menunjukkan bahwa pada perlakuan ini cairan osmotik tubuh dengan cairan osmotik media cenderung berada pada kondisi yang seimbang atau mendekati isoosmotik. Dengan demikian, fungsi fisiologis kepiting akan berjalan dengan normal karena energi yang digunakan untuk osmoregulasi tidak terlalu besar. Pada perlakuan ini, proses kerja osmoregulasi yang terjadi karena keadaan hiperosmotik kepiting bakau terhadap lingkungan akan berkurang dengan adanya penambahan 30 mg L-1 Ca dan 30 mg L-1 Mg setiap 15 hari sekali, sehingga cenderung menjadi lebih isoosmotik dan menyebabkan nilai gradien osmotiknya lebih rendah dibanding perlakuan lain. Kalsium berperan melindungi biota air tawar terhadap perubahan osmotik, kekurangan ion dan perubahan lingkungan (Calta 2000).

Perbedaan gradien osmotik ini mengiindikasikan bahwa kepiting mempunyai kemampuan untuk mengatur osmolaritas hemolimnya. Dalam osmoregulasi, keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dan air media sangat penting. Ion-ion secara aktif diserap tubuh melalui insang ketika terjadi proses penyerapan air. Kebutuhan energetik untuk pengaturan ion secara umum akan lebih rendah pada lingkungan yang isoosmotik, dengan demikian energi yang disimpan dapat cukup substansial untuk meningkatkan pertumbuhan (Imsland et al. 2003).

Tingginya nilai gradien osmotik perlakuan lain menunjukkan bahwa pada perlakuan ini cairan osmotik tubuh dengan cairan osmotik media cenderung berada pada kondisi hiperosmotik atau hipoosmotik, sehingga banyak energi yang dibutuhkan untuk osmoregulasi guna mencegah kehilangan garam-garam dalam tubuh. Carrion et al. (2005) mengemukakan bahwa pada kondisi hiperosmotik atau hipoosmotik, gradien osmotik akan semakin besar yang akan menyebabkan energi yang digunakan untuk proses osmoregulasi juga akan semakin besar.

(39)

23 pula. Kondisi ini diekspresikan dari laju konsumsi oksigen paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Tingkat konsumsi oksigen dapat digunakan sebagai parameter untuk mengetahui laju metabolisme organisme air. Faktor lingkungan yang mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen diantaranya adalah salinitas, suhu, dan tingkatan aktifitas (Chittleborough 1975). Makin rendah tingkat konsumsi oksigen maka makin sedikit energi yang digunakan untuk metabolisme dan diharapkan makin banyak energi yang tersedia untuk pertumbuhan.

Hasil pada akhir penelitian kadar glukosa hemolim tertinggi terdapat pada perlakuan A yaitu sebesar 28.427±0.656 µmol L-1 dan terendah pada perlakuan D sebesar 14.067±0.423 µmol L-1. Secara umum tidak adanya penambahan Ca dan Mg serta penambahan Ca dan Mg yang terlalu tinggi dapat meningkatkan stres. Hal ini terbukti dengan meningkatnya kadar glukosa darah pada akhir pemeliharaan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan D yang merupakan penambahan Ca dan Mg setiap 15 hari yang memiliki jumlah penambahan paling rendah. Bila ikan mengalami stres akibat terjadinya perubahan lingkungan maka tubuh ikan akan merespons dengan mensekresikan hormon glukokortikoid (kortisol) dan katekolamin yang mengontrol tubuh untuk mengatasi terjadinya stres (Barton et al. 1980).

Menurut Piliang (2005) bahwa fungsi utama kalsium selain sebagai pembentuk struktur tubuh, kalsium dalam jaringan secara fisiologis akan mempertahankan homeostasi. Homeostasi adalah keadaan stabil yang dipertahankan melalui proses aktif yang melawan perubahan kondisi lingkungan. Dalam kondisi stres biasa, glukosa akan ditingkatkan untuk mengakomodir keperluan energi yang digunakan untuk kestabilan homeostatis aktivitas untuk memperbaiki homeostasi, seperti respirasi, pergerakan, regulasi hidromineral dan perbaikan jaringan. Kebutuhan energi untuk memperbaiki homeostasiselama stres dipenuhi oleh proses glikogenolisis dan glukoneogenesis yang menghasilkan glukosa (Hastuti et al. 2004).

Menurut Hastuti et al. (2003) stres menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglisemia), dimana mekanisme terjadinya adalah sebagai berikut: (1) pemecahan glikogen hati dan otot melalui jalur glikogenolisis yang menghasilkan glukosa dan merupakan efek metabolisme katekolamin; (2) pemecahan protein dan lipid melalui jalur gluko-neogenesis yang merupakan efek metabolisme kortisol; (3) inaktifasi insulin sebagai efek metabolisme hormon stres sehingga menutup penggunaan glukosa oleh sel.

(40)

24

Pemecahan glikogen melalui jalur metabolisme anaerob menyebabkan produksi asam laktat meningkat dan lepasnya CO2 ke dalam darah. Keberadaan asam laktat dan CO2 menyebabkan pH darah menurun sehingga terjadi asidosis. Asidosis menyebabkan afinitas hemosianin mengikat oksigen menjadi berkurang (Bohr effect) dan menurunkan kapasitas hemolim dalam mengangkut oksigen (Root effect) (Delince et al. 1987).

Jumlah THC sangat berpengaruh terhadap kemampuan kepiting dalam merespons serangan penyakit. Nilai THC yang tinggi pada perlakuan D menunjukkan bahwa sistem imun berada pada kondisi maksimal dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sistem imun yang baik akan mempengaruhi jumlah kelangsungan hidup selama pemeliharaan. Cook et al. (2003) menjelaskan bahwa terbentuknya sel-sel fagositik memiliki peluang lebih tinggi dalam meningkatkan sistem imun.

Parameter nilai konversi pakan dengan laju pertumbuhan bobot harian dan panjang mutlak dalam penelitian ini sangat berhubungan. Karena konversi pakan yang rendah akan mengakibatkan pertumbuhan bobot panjang mutlak yang lebih tinggi. Nilai konversi pakan merupakan perbandingan antara pertambahan bobot kepiting dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Hasil penelitian ini menunjukkan pada perlakuan C dan D nilai konversi pakan tidak berbeda nyata (P>0,05). Nilai yang tidak berbeda nyata ini menyebabkan pertumbuhan juga tidak bebeda Tingginya laju pertumbuhan ditandai dengan proses ganti kulit yang lebih banyak. Proses transfer kalsium dan magnesium dari hemolim ke karapaks melalui mekanisme transport aktif yang membutuhkan energi. Transfer Ca dan Mg ke karapaks berjalan lebih cepat yang ditandai oleh laju pengendapan kalsium dan magnesium karapaks yang tinggi akan membutuhkan energi yang tinggi pula. Kebutuhan energi yang besar ini diperoleh dari pakan yang dikonsumsi, sebagaimana Steffens (1989) menyatakan bahwa defisiensi terhadap Ca tidak hanya mengakibatkan pertumbuhan yang terhambat tetapi konversi pakan juga tinggi serta jangka panjang ikan akan mengalami malformation.

Konversi pakan tertinggi terdapat pada perlakuan A sebesar 10.65±0.85 (Gambar 4). Nilai laju pertumbuhan bobot paling rendah juga terdapat pada perlakuan A sebesar 1.136±0.04% dan panjang mutlak sebesar 1.701±0.041 cm. Nilai konversi pakan yang tinggi mengindikasikan bahwa banyak energi yang terbuang untuk proses osmoregulasi pada kepiting yang dipelihara. Jika kondisi lingkungan optimal yang ditandai dengan gradien osmotik dan konsumsi oksigen yang rendah maka energi yang diperoleh dari pakan akan dimanfaatkan secara maksimal untuk pertumbuhan. Kondisi hiperosmotik atau hipoosmotik menyebabkan pakan yang diberikan tidak bermanfaat untuk pertumbuhan kepiting. Tetapi energinya akan dihabiskan untuk menyamakan kondisi garam-garaman dilusr dan di dalam tubuh. Partridge et al. (2001) mengemukakan bahwa proses pencernaan pada organisme air akan lebih efisien jika dipelihara pada media yang mendekati kondisi isoosmotik. Wickins dan Lee (2002) mengemukakan bahwa adanya kandungan mineral Ca dan mineral utama lainnya di perairan juga dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan karena ikan dapat memanfaatkan mineral terlarut dalam air. Menurut Ling et al. (2013), kalsium berperan dalam pembentukan jaringan tubuh terutama tulang atau eksoskeleton.

(41)

25 cangkang dan berbeda nyata dibandingkan perlakuan lainnya (P<0,05). Molting adalah proses pergantian cangkang pada hewan golongan krustasea. Hal ini terjadi ketika ukuran daging kepiting bertambah besar sementara eksoskeleton tidak bertambah besar karena eksoskeleton bersifat kaku, sehingga untuk menyesuaikan hewan ini akan melepaskan eksoskeleton lama dan membentuk eksoskeleton baru dengan bantuan kalsium (Salaenoi et al. 2006). Kepiting muda dengan laju pertumbuhan yang tinggi mempunyai jumlah frekuensi ganti kulit yang lebih sering dibanding kepiting dewasa. Molting juga dipengaruhi oleh jenis kelamin kondisi fisiologis, suhu, kimia air serta kualitas dan kuantitas makanan. Siklus molting selain dipengaruhi oleh sistem hormon, biota dan pakan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan perairan (Zaidy et al. 2008).

Jumlah molting kepiting mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup. Hal ini disebabkan ketika molting berhasil, kemungkinan kepiting tersebut untuk hidup dan tumbuh lebih besar. Pada saat molting juga merupakan fase kritis kepiting terhadap sifat kanibalisme. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan D dan berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan lainnya. Tingkat kelangsungan hidup yang tinggi menunjukkan bahwa media budidaya paling optimum dibanding perlakuan lain, sehingga gradien osmotik minimal karena lebih seimbang antara cairan tubuh dengan cairan air (Gambar 6). Perbedaan yang rendah menyebabkan kepiting berada kondisi paling optimal untuk menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Hal ini disebabkan fungsi fisiologis berjalan dengan baik dan normal termasuk dalam metabolisme glukosa lebih stabil atau kadar glukosa hemolim minimal dibanding perlakuan lainnya. Affandi dan Tang (2002) menyatakan bahwa dalam rangka meyesuaikan diri dengan lingkungan ikan memiliki toleransi dan resistensi perubahan lingkungan pada kisaran tertentu dari variasi lingkungan. Jumlah kepiting yang hidup akan mempengaruhi jumlah biomassa akhir.

Berbagai faktor lingkungan dan fisiologis berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup akan sangat menentukan hasil akhir dari proses produksi yang berupa jumlah total biomassa. Total biomassa tertinggi pada penelitian ini terdapat pada perlakuan D sebesar 1,054.41±73.54 gram, serta biomassa total terendah terdapat pada perlakuan A sebesar 376.99±86.16 gram. Total biomassa perlakuan D juga berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (P<0.05). Total biomassa akhir akan mempengaruhi keuntugan yang diperoleh dalam kegiatan budidaya.

4

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Gambar

Gambar 1 Skema perumusan masalah peran Ca dan Mg dalam meningkatkan
Tabel 1 Alat dan metode yang digunakan untuk mengukur kualitas air
Gambar 2 Nilai pH selama pemeliharaan
Tabel 2 Nilai kalsium di air, kepiting dan pakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

oleh pemerintah dalam meningkatkan kinerja Pegawai Negeri Sipil agar lebih efektif dan efesien sesuai dengan Budaya organisasi yang telah di rangkum sedemikian

Praktek jual beli sistem online yang dilakukan mahasiswa Universitas Al Asyariah Mandar, Kabupaten Polewali Mandar, sudah sesuai dengan hukum Islam terlihat pada praktek

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Rancang Bangun Apikasi Ujian Saringan Masuk Online Perguruan Tinggi Dengan Sattolo Shuffle Algorithm Studi Kasus Universitas

Saya mengesahkan bahawa satu Jawatankuasa Peperiksaan Tesis telah berjumpa pada untuk menjalankan peperiksaan akhir bagi Farah Hanan binti Aminallah bagi menilai tesis beliau

Kualitas ilmiah dengan cara menggunakan mata adalah, senantiasa manusia dapat mengaktifkan dan mengkreatifkan potensi-potensi matanya untuk berintidzar (menalar),

Jumlah Kasus Penyakit yang dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) menurut Jenis Kelamin, Kecamatan dan Puskesmas.. Jumlah Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Menurut Jenis

pengendalian internal pada penggajian yang diterapkan oleh PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan dalam melaksanakan setiap proses transaksi pembayaran gaji

mampu memahami dan menjelaskan konsep-konsep dasar ekosistem perairan, tipe-tipe ekosistem perairan, beserta komponen biotik dan abiotiknya, proses interaksi yang terlibat