• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respons Fisiologis Juvenil Ikan Gabus Channa Striata Pada Transportasi Sistem Tertutup

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respons Fisiologis Juvenil Ikan Gabus Channa Striata Pada Transportasi Sistem Tertutup"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

RESPONS FISIOLOGIS JUVENIL IKAN GABUS

Channa striata

PADA TRANSPORTASI SISTEM TERTUTUP

WAHYU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Respons Fisiologis Juvenil Ikan Gabus Channa striata pada Transportasi Sistem Tertutup” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

WAHYU. Respons Fisiologis Juvenil Ikan Gabus Channa striata pada Transportasi Sistem Tertutup. Dibimbing oleh EDDY SUPRIYONO, KUKUH NIRMALA dan ENANG HARRIS.

Ikan gabus Channa striata merupakan ikan komoditas penting yang memiliki permintaan tinggi di Indonesia. Ikan ini diminati karena banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan olahan dan dagingnya berkhasiat untuk penyembuhan. Saat ini kegiatan pembesaran ikan gabus telah banyak dilakukan di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, benih ikan gabus yang digunakan umumnya didatangkan dari daerah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Perbedaan jarak antara lokasi kegiatan pembesaran dengan lokasi penghasil benih menyebabkan butuhnya kegiatan transportasi untuk menunjang kegiatan produksi. Namun, kegiatan transportasi dapat menyebabkan ikan mengalami stres dan berakibat kematian.

Kegiatan transportasi bertujuan menghasilkan jumlah ikan sehat tertinggi yang ditransportasikan dengan kepadatan ikan yang efisien. Saat ini metode transportasi benih ikan gabus masih mengacu pada metode yang digunakan untuk ikan jenis lain atau dilakukan hanya berdasarkan pengalaman penjual benih. Akibatnya metode yang digunakan para penjual benih menjadi beragam. Contohnya, jumlah kepadatan ikan yang digunakan untuk transportasi benih berkisar dari 40 sampai 100 ekor L-1. Kondisi ini menyebabkan rendahnya keberhasilan transportasi benih ikan gabus. Kegiatan transportasi benih selama 24 jam mengakibatkan kematian lebih dari 15% saat sampai di lokasi tujuan dan kematian sebesar 60% saat pemeliharaan pascatransportasi. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengevaluasi pengaruh kepadatan ikan saat transportasi terhadap kerberhasilan transportasi benih ikan gabus dengan mengamati respons fisiologis sebagai indikator stres. Penelitian ini diharapkan menghasilkan metode transportasi benih ikan gabus yang lebih baik.

(5)

Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan ikan uji mampu bertahan hidup selama tujuh hari tanpa diberikan pakan dengan TKH sebesar 98,3%. Pengujian pengaruh lama pemberokan menunjukkan pemberokan selama 48 jam memiliki nilai TKO sebesar 0,249 mgg-1 jam-1, laju ekskresi TAN sebesar 0,043 mg L-1, TKH transportasi sebesar 100%, dan TKH pascatransportasi sebesar 96,7%. Nilai TKH pascatransportasi tersebut merupakan nilai tertinggi diantara perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil tersebut, pemberokan selama 48 jam digunakan sebagai lama pemberokan sebelum transportasi pada penelitian utama.

Hasil penelitian utama menunjukkan perlakuan 30 ekor L-1 memberikan hasil terbaik dengan nilai TKH saat transportasi sebesar 98% dan TKH saat pemeliharaan pascatransportasi sebesar 90%. Pengamatan respons fisiologis pada jam ke-0 pascatransportasi menunjukkan perlakuan 30 ekor L-1 mengalami stres paling ringan dengan nilai pH darah sebesar 7,59, total sel darah merah sebesar 2,96 × 106 sel mm-3, total sel darah putih sebesar 1,95 × 106 sel mm-3, kadar hemoglobin sebesar 10,3 g%, dan nilai hematokrit sebesar 25,81%. Pengamatan LPH pada akhir masa pemeliharaan pascatransportasi menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan. Hasil perhitungan analisis kerugian menunjukkan hanya kepadatan 30 sampai 45 ekor L-1 yang dapat menghindari kerugian ekonomi akibat kegiatan transportasi.

(6)

SUMMARY

WAHYU. Physiological Response of Juvenile Snakeheads Channa striata in Closed System Transportation. Supervised by EDDY SUPRIYONO, KUKUH NIRMALA, and ENANG HARRIS.

Snakehead fish Channa striata is an important commodity and its demand is constantly increasing in Indonesia. Demand for this fish continues to increase because it is commonly used as an ingredient of processed food and the meat has good effects on healing processes. Currently, the snakehead grow up activities have been carried out in the West Java and Central Java. The seed which is used is generally imported from South Kalimantan and East Kalimantan. The difference between seed producers location and grow up location is leading to the need for transportation activities to support the production. However, transport activities may cause stress in fish and can result in fish mortality.

Fish transportation is aimed to transport the highest number of healthy fish at efficient transport density. Currently the method of transport for juvenile snakeheads among sellers varies because they use same methods for different species and work according to their own experiences. For example the range of transport density is between 40 to up to 100 fish per liter. This condition results in a low success of fish transportation which is shown by 15% mortality at arrival and a delayed mortality of up to 60% after 24 hours transportation. This research is on the effect of transport density on transportation success by observing physiological responses that are stress indicators in fish. This research is expected to produce a good method of transport for juvenile snakeheads.

The research was conducted from November 2014 to February 2015 at Production Technique and Aquaculture Management Laboratory, Department of Aquaculture, Faculty of Fisheries and Marine Science, Bogor Agricultural University. The test fish used weighed 2,5±0,2 g and had a size of 6,8±0,2 cm. The research was performed in two stages, which are preliminary research and the main research. Preliminary research consists of fish starving capability and the effect of different starving times on oxygen consumption rate, total ammonia nitrogen excretion rate and fish survival rate in transportation. The main research is the 24 hours closed system transportation with four different loading densities, which are 30, 45, 60 and 75 fish L-1. Every treatment has five replicates but different response variables were observed. In three replicates the survival rate at transportation, survival rate after transportation rearing period, specific growth rate and changes in water quality parameters were observed. In the other two replicates physiological responses were observed. Physiological responses were recorded before transportation for normal value and at 0, 24, 96, and 168 hours after transportation.

(7)

The results of the main research showed that the lowest transport density of 30 fish L-1 gave the best results with a survival rate of 98% after transportation and 90% after rearing period. Physiological response at 0 hour after transportation also showed that in the lowest transport density the fish suffered lowest stress with blood pH value 7,59, total erythrocyte count 2,96 × 106 cell mm-3, total leukocyte count 1,95 × 106 cell mm-3, hemoglobin 10,3 gr%, and hematocrit 25,81%. There was no significant difference in the growth rate in all densities at the end of the rearing period. Loss analysis calculation showed that the transport density between 30 to 45 fish L-1 can prevent economic losses because transport activities.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

RESPONS FISIOLOGIS JUVENIL IKAN GABUS

Channa striata

PADA TRANSPORTASI SISTEM TERTUTUP

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

Judul Tesis : Respons Fisiologis Juvenil Ikan Gabus Channa striata pada Transportasi Sistem Tertutup

Nama : Wahyu

NIM : C151130391

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Eddy Supriyono, MSc Ketua

Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc Anggota

Prof Dr Ir Enang Harris, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Dr Ir Widanarni, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 hingga Februari 2015 ini adalah transportasi benih ikan, dengan judul Respons Fisiologis Juvenil Ikan Gabus Channa striata pada Transportasi Sistem Tertutup.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Eddy Supriyono, MSc Bapak Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc dan Bapak Prof Dr Ir Enang Harris, MS selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah (Alm), Ibu, dan Keluarga atas segala doa dan motivasinya. Selain itu ucapan terima kasih juga disampaikan untuk seluruh rekan-rekan yang telah memberi bantuan berupa saran dan pemikiran.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Hipotesis 3

2 METODE 3

Waktu dan Tempat 3

Persiapan Penelitian 3

Rancangan Penelitian 4

Penelitian Pendahuluan 4

Penelitian Utama 5

Prosedur Analisis Data 7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Penelitian Pendahuluan 7

Penelitian Utama 8

4 SIMPULAN DAN SARAN 21

Simpulan 21

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 26

(14)

DAFTAR TABEL

1. Parameter uji penelitian 6

2. Tingkat kelangsungan hidup benih ikan gabus Channa striata selama

pengujian kemampuan puasa 7

3. Pengaruh lama pemberokan terhadap benih ikan gabus Channa striata 8

DAFTAR GAMBAR

1. Tingkat kelangsungan hidup (TKH) benih ikan gabus Channa striata;

(a) transportasi; dan (b) pascatransportasi. 9

2. Laju pertumbuhan harian (LPH) benih ikan gabus Channa striata saat

pemeliharaan pascatransportasi. 10

3. Parameter kualitas air 11

4. Nilai pH darah benih ikan gabus Channa striata 14 5. Total sel darah merah benih ikan gabus Channa striata 15 6. Total sel darah putih benih ikan gabus Channa striata 17 7. Kadar hemoglobin benih ikan gabus Channa striata 18 8. Kadar hematokrit benih ikan gabus Channa striata 19

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lama waktu pengiriman benih ikan gabus 26

2. Prosedur transportasi penelitian 28

3. Analisis sidik ragam satu jalur tingkat kelangsungan hidup benih ikan

gabus 29

4. Analisis sidik ragam satu jalur laju pertumbuhan harian benih ikan

gabus 33

5. Analisis sidik ragam satu jalur nilai pH darah benih ikan gabus 35 6. Analisis sidik ragam satu jalur total sel darah merah benih ikan gabus 36 7. Analisis sidik ragam satu jalur total sel darah putih benih ikan gabus 38 8. Analisis sidik ragam satu jalur kadar hemoglobin benih ikan gabus 39 9. Analisis sidik ragam satu jalur nilai hematokrit benih ikan gabus 41

(15)

1

PENDAHULUAN

Ikan gabus Channa striata termasuk kelompok ikan Channidae yang tersebar luas dari wilayah tropis Afrika hingga Asia Tenggara. Ikan ini memiliki bentuk kepala menyerupai kepala ular sehingga dikenal dengan nama Snakeheads (Berra 2001). Permintaan ikan ini terus meningkat karena banyak dimanfaatkan untuk bahan makanan olahan seperti ikan asin, ikan asap, kerupuk, dan pempek (Makmur et al. 2003; Muthmainah 2013). Daging ikan gabus juga berkhasiat untuk mempercepat proses penyembuhan (Muntaziana et al. 2003). Data hasil tangkapan perairan umum menunjukkan ikan gabus merupakan hasil tangkapan utama dengan produksi 34.017 ton dan nilai ekonominya Rp. 567 miliar (KKP 2011a). Kegiatan budidaya hanya mampu memproduksi sekitar 5.400 ton dengan nilai ekonominya sekitar Rp. 110 miliar (KKP 2011b). Tingginya permintaan pasar memunculkan ancaman eksploitasi yang berlebihan. Kegiatan budidaya merupakan solusi untuk mengatasi dan mencegah hal tersebut.

Produksi ikan dalam kegiatan budidaya dimulai dari kegiatan penebaran benih, baik dari hasil tangkapan alam maupun hasil pembenihan (Delince et al. 1987). Sumber benih utama pada kegiatan budidaya ikan gabus adalah dari hasil tangkapan alam (Muslim 2007). Saat ini kegiatan pembesaran ikan gabus telah banyak dilakukan di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, benih ikan gabus yang digunakan umumnya didatangkan dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang merupakan daerah penghasil utama ikan gabus. Perbedaan jarak antara lokasi penghasil benih dengan lokasi pembesaran menyebabkan butuhnya transportasi benih untuk menunjang kegiatan produksi (Wedemeyer 1996a). Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi benih tersebut berkisar 16-24 jam. Kegiatan transportasi beresiko menimbulkan stres dan berakibat kematian pada ikan.

Prinsip dari kegiatan transportasi ikan adalah menghasilkan jumlah ikan sehat tertinggi yang ditransportasikan dengan kepadatan ikan yang efisien. Metode transportasi benih ikan gabus yang digunakan oleh penjual benih umumnya masih mengacu pada metode untuk ikan jenis lain atau dilakukan hanya berdasarkan pengalaman penjual benih. Akibatnya metode yang digunakan di antara penjual benih menjadi beragam. Contohnya, seperti jumlah kepadatan ikan selama kegiatan transportasi berkisar dari 40 sampai 100 ekor L-1. Kondisi tersebut menyebabkan keberhasilan dari transportasi benih ikan gabus yang dilakukan penjual benih menjadi rendah. Kegiatan transportasi benih ikan gabus selama 24 jam mengakibatkan kematian lebih dari 15% saat sampai di lokasi tujuan dan kematian sebesar 60% pada pemeliharaan pascatransportasi.

(16)

2

Keberhasilan transportasi ikan ditentukan oleh jumlah kematian yang terjadi akibat kegiatan transportasi tersebut. Kematian ikan dipicu oleh penurunan kualitas air dan penanganan transportasi yang buruk (Delince et al. 1987; Hammond 2009). Kedua hal ini menyebabkan ikan mengalami stres. Stres menyebabkan ikan mengalami perubahan fisiologis di dalam tubuhnya, yaitu perubahan biokimia darah. Perubahan biokimia darah yang terjadi seperti perubahan nilai pH darah (Wood et al. 1977) dan perubahan gambaran darah (Supriyono et al. 2010; Supriyono et al. 2011; Witeska 2005; Witeska 2013). Kegagalan ikan dalam beradaptasi dan mengatasi kondisi stres yang dialami dapat menyebabkan terjadinya kematian. Oleh karena itu, perlu penelitian untuk mengevaluasi pengaruh kepadatan ikan saat transportasi terhadap keberhasilan transportasi benih ikan gabus dengan mengamati respons fisiologis sebagai indikator stres. Penelitian ini diharapkan menghasilkan metode transportasi yang lebih baik.

Perumusan Masalah

Rendahnya keberhasilan kegiatan transportasi benih ikan gabus disebabkan oleh metode yang digunakan tidak mempertimbangkan kondisi fisiologis dan sifat dari ikan gabus tersebut. Metode yang digunakan oleh penjual benih umumnya masih mengacu pada metode untuk ikan jenis lain atau hanya berdasarkan pengalaman. Oleh karena itu, diperlukan sebuah penelitian terkait kegiatan transportasi benih ikan gabus. Hal utama yang harus diperhatikan adalah jumlah kepadatan ikan yang digunakan saat transportasi dilakukan. Penelitian ini diharapkan menghasilkan metode transportasi yang lebih baik. Metode yang lebih baik dapat meningkatkan keberhasilan transportasi dan mengurangi jumlah kematian pada masa pemeliharaan pascatransportasi. Kematian pascatransportasi merupakan permasalahan transportasi benih ikan gabus yang sering terjadi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pengaruh kepadatan ikan saat transportasi terhadap keberhasilan transportasi benih ikan gabus Channa striata dengan mengamati respons fisiologis sebagai indikator stres.

Manfaat Penelitian

(17)

3

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah kepadatan ikan yang digunakan saat transportasi sistem tertutup berpengaruh terhadap keberhasilan transportasi benih ikan gabus.

2

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan selama empat bulan terhitung dari bulan November 2014 hingga Februari 2015 yang berlangsung di Laboratorium Teknik Produksi dan Manajemen Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Persiapan Penelitian

Media Air

Air yang digunakan adalah air tawar. Nilai parameter kualitas air yang digunakan adalah; suhu air 28±1 °C, kisaran pH 7-8, konsentrasi oksigen terlarut >5 mg L-1, konsentrasi total ammonia nitrogen (TAN) <0,2 mg L-1, konsentrasi CO

2 <4 mg L-1, alkalinitas total 200-220 mg L-1 CaCO3, dan kesadahan total 150-180 mg L-1 CaCO3. Nilai parameter tersebut telah sesuai untuk pemeliharaan ikan gabus (Vivekandan 1976; Natarajan 1983; Lefevre et al. 2012). Sterilisasi air dilakukan menggunakan klorin dengan dosis 10 mg L-1. Air tersebut digunakan untuk semua tahapan penelitian dan juga sebagai parameter kualitas air kontrol.

Ikan Uji

Ikan uji yang digunakan adalah benih ikan gabus dengan bobot 2,5±0,2 g dan panjang 6,8±0,2 cm. Benih yang digunakan adalah ikan yang sehat, bugar, dan tidak cacat. Benih didapat dari penjual benih ikan secara tradisional atau pengepul di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Adaptasi ikan uji dilakukan selama ±7 hari sebelum penelitian dengan menggunakan wadah bak fiber bervolume 1000 L.

Wadah

(18)

4

Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari pengujian kemampuan puasa ikan dan pengaruh lama pemberokan terhadap ikan. Penelitian utama adalah transportasi sistem tertutup benih ikan gabus dengan kepadatan ikan yang berbeda. Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian utama adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan kepadatan ikan saat transportasi sistem tertutup benih ikan gabus. Kepadatan ikan yang digunakan adalah 30, 45, 60, dan 75 ekor L-1. Setiap perlakuan mempunyai ulangan sebanyak 5 kali berupa kantong transportasi. Tiga ulangan untuk pengamatan perubahan kualitas air dan performa ikan. Dua ulangan untuk pengamatan perubahan respons fisiologis. Model linear dari rancangan penelitian utama adalah sebagai berikut:

= + � + �

Keterangan :

: Pengamatan Perlakuan ke-i ulangan ke-j : Nilai rata-rata

� : Pengaruh Perlakuan ke-i

� : Kesalahan Perlakuan ke-i dengan ulangan ke-j

Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilaksanakan dengan menggunakan dua kondisi ikan uji yang berbeda. Pengujian kemampuan puasa menggunakan ikan uji yang tidak mengalami pemberokan. Pengujian pengaruh lama pemberokan menggunakan ikan uji yang diberikan perlakuan pemberokan. Perlakuan yang diberikan adalah pemberokan selama 0, 24, 48, dan 72 jam.

Kemampuan Puasa Ikan

Pengujian kemampuan puasa ikan bertujuan mengetahui kemampuan ikan ketika tidak mengonsumsi pakan saat proses transportasi dilakukan. Metode yang digunakan merupakan modifikasi dari Nirmala et al. (2012). Pengujian dilakukan dengan memelihara 30 ekor ikan uji selama tujuh hari tanpa pemberian pakan. Wadah pengujian berupa akuarium bervolume 30 liter yang dilengkapi aerasi dan thermostat. Pergantian air dilakukan sebanyak 20-30% setiap hari. Pengukuran kualitas air yang dilakukan berupa suhu, pH, konsentrasi oksigen terlarut, dan konsentrasi amoniak. Pengamatan pola renang ikan juga dilakukan.

Pengaruh Lama Pemberokan Terhadap Ikan

Pengujian pengaruh lama pemberokan terhadap ikan terdiri dari pengujian tingkat konsumsi oksigen (TKO), pengujian laju ekskresi total ammonia nitrogen (TAN), dan pengujian lama pemberokan terbaik.

(19)

5 pengujian adalah akuarium ukuran 15 cm × 15 cm × 20 cm (panjang × lebar × tinggi). Akuarium diisi air berkonsentrasi oksigen terlarut yang jenuh sebanyak ±3 L. Ikan uji dimasukan ke wadah pengujian kemudian ditutup rapat dengan tutup styrofoam. Konsentrasi oksigen terlarut diukur menggunakan alat DO-meter setiap satu jam sekali selama enam jam pengujian dan dihitung menggunakan rumus oleh Liao & Huang (1975).

Pengujian laju ekskresi TAN bertujuan mengetahui jumlah buangan TAN ikan saat transportasi berlangsung. Pengujian dilakukan menggunakan enam ekor ikan dari tiap perlakuan lama pemberokan. Setiap ikan ditimbang terlebih dahulu. Wadah pengujian berupa akuarium ukuran 15 cm × 20 cm × 20 cm (panjang × lebar × tinggi). Akuarium diisi air sebanyak ±3,3 L dan diberikan aerasi selama pengujian. Air sampel diambil sebanyak 30 mL setiap enam jam sekali selama 24 jam pengujian. Pengukuran kualitas air yang dilakukan berupa suhu, pH, konsentrasi oksigen terlarut dan konsentrasi TAN.

Pengujian lama pemberokan terbaik bertujuan mengetahui pengaruh lama pemberokan terhadap nilai tingkat kelangsungan hidup (TKH) ikan yang ditransportasikan. Sebanyak 30 ekor ikan dari setiap perlakuan lama pemberokan dikemas ke kantong plastik PE yang diisi air sebanyak 1,3 L. Setiap kantong diinjeksi oksigen murni dengan perbandingan 1:3 (air:oksigen). Kantong plastik dimasukan ke boks styrofoam untuk ditransportasikan selama 24 jam.Transportasi dilakukan dengan metode simulasi. Boks Styrofoam diguncang pada wadah bak air untuk menyimulasikan guncangan pada transportasi sesungguhnya. Guncangan diberikan selama ±15 menit setiap satu jam sekali selama transportasi. Pengamatan TKH dilakukan akhir transportasi dan hari ke-7 pascatransportasi. Perlakuan dengan nilai tertinggi dijadikan acuan lama waktu pemberokan pada penelitian utama.

Penelitian Utama

Kepadatan Transportasi Terbaik

(20)

6

Pemeliharaan Pascatransportasi

Pemeliharaan pascatransportasi dilakukan pada wadah drum HDPE berkapasitas ±100 L. Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan pergantian air sebanyak ±50% setiap 3 hari sekali. Pemberian pakan dilakukan dengan metode ad satiation pada pagi dan sore hari. Pakan yang diberikan adalah pakan komersil dengan kandungan protein ±30%. Parameter yang diamati selama masa pemeliharaan terdiri dari parameter kualitas air dan performa ikan. Pengamatan jumlah kematian ikan dilakukan setiap hari. Pengamatan kualitas air dan pertumbuhan ikan dilakukan setiap 7 hari sekali.

Parameter Uji

Parameter uji yang digunakan pada penelitian utama terdiri dari parameter performa ikan, parameter kualitas air, dan parameter respons fisiologis. Parameter uji yang digunakan diuraikan pada Tabel 1.

Pengamatan respons fisiologis dilakukan melalui pengujian pada sampel darah ikan. Pengambilan sampel darah dilakukan menggunakan syringe 1 mL pada vena caudalis. Metode ini disebut puncture of caudal vessel (Congleton & LaVoie 2001). Pengamatan respons fisiologis dilakukan pada ikan normal sebelum ditransportasikan kemudian pada saat pemeliharaan pascatransportasi jam ke-0, 24, 96, dan 168.

Tabel 1 Parameter uji penelitian

Parameter uji Satuan Metode

Performa ikan

Tingkat kelangsungan hidup % Huisman (1987) Laju pertumbuhan harian % Huisman (1987) Kualitas air

Suhu oC Termometer

pH Unit pH-meter

Oksigen terlarut mg L-1 DO-meter

Karbon dioksida mg L-1 APHA (1999)

Amoniak mg L-1 APHA (1999)

Nitrit mg L-1 APHA (1999)

Alkalinitas mg L-1 CaCO

3 APHA (1999)

Kesadahan mg L-1 CaCO3 APHA (1999)

Respon fisiologis

Nilai pH darah Unit pH-meter darah

(21)

7

Prosedur Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan statistik. Secara statistik data dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam Satu Jalur dengan uji F pada selang kepercayaan 95%. Perangkat lunak yang digunakan adalah SPSS 20. Apabila perlakuan berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Pendahuluan

Hasil penelitian pendahuluan terdiri dari kemampuan puasa ikan dan pengaruh lama pemberokan terhadap ikan.

Kemampuan Puasa Ikan

Hasil pengamatan pengujian kemampuan puasa menunjukkan benih ikan gabus dapat bertahan hidup tanpa mengonsumsi pakan hingga akhir pengujian selama 7 hari (Tabel 2). Nilai tingkat kelangsungan hidup pada akhir pengujian sebesar 98,3%. Ikan menunjukkan pola renang aktif sampai hari ke-4, namun pada hari ke-5 sampai akhir pengujian pola renang ikan menjadi pasif. Konsentrasi amoniak dapat dijaga <0,05 mg L-1 selama pengujian dilakukan.

Hasil pengamatan menunjukkan benih ikan gabus dapat bertahan hidup saat kegiatan transportasi dilakukan, mulai dari proses pemberokan hingga sampai di lokasi tujuan (Nirmala et al. 2012). Aktivitas ikan semakin menurun dengan semakin lamanya ikan tidak mengonsumsi pakan. Saat kekurangan pakan ikan menurunkan aktivitasnya seperti frekuensi ventilasi insang, frekuensi naik ke permukaan air, dan aktivitas renang (Lefevre et al. 2012; Pandian & Vivekanandan 1976). Penurunan tersebut disebabkan laju metabolisme ikan yang menurun ketika tidak mendapatkan asupan nutrisi untuk kebutuhan hidupnya. Hal tersebut menyebabkan ikan berada pada kondisi laju metabolisme standar. Kondisi ini bertujuan menjaga ketersediaan energi di dalam tubuh, sehingga meningkatkan peluang untuk bertahan hidup saat kekurangan pakan (Magnoni et al. 2013).

Tabel 2 Tingkat kelangsungan hidup benih ikan gabus Channa striata selama pengujian kemampuan puasa

Hari-ke Tingkat kelangsungan hidup (%) Amoniak (mg L-1) Pola renang

1 100±0,0 0,017±0,003 aktif

2 100±0,0 0,016±0,009 aktif

3 100±0,0 0,023±0,003 aktif

4 100±0,0 0,009±0,003 aktif

5 100±0,0 0,011±0,004 pasif

6 100±0,0 0,025±0,010 pasif

(22)

8

Pengaruh Lama Pemberokan Terhadap Ikan

Hasil pengamatan pengujian pengaruh lama pemberokan menunjukkan pemberokan memberikan pengaruh terhadap nilai TKO, laju ekskresi TAN, dan TKH benih ikan gabus (Tabel 3). Nilai TKO terendah ditemukan pada pemberokan 72 jam sebesar 0,212 mg g-1jam dan nilai tertinggi pada pemberokan 0 jam sebesar 0,275 mg g-1 jam-1. Nilai laju ekskresi TAN terendah ditemukan pada pemberokan 72 jam sebesar 0,040 mg L-1 dan nilai tertinggi pada pemberokan 0 jam sebesar 0,065 mg L-1. Nilai TKH terbaik ditemukan pada pemberokan 48 jam, dengan TKH akhir transportasi sebesar 100% dan TKH akhir pemeliharaan pascatransportasi sebesar 96,7%. Nilai TKH terendah ditemukan pada pemberokan 0 jam dengan TKH akhir transportasi sebesar 93% dan TKH akhir pemeliharaan pascatransportasi sebesar 75%.

Hasil pengamatan menunjukkan benih ikan gabus mengalami penurunan nilai TKO dan laju ekskresi TAN dengan semakin bertambahnya lama pemberokan. Penurunan tersebut menandakan ikan gabus mengalami penurunan aktivitas dan laju metabolisme ketika tidak mengonsumsi pakan selama 24 jam atau lebih. Laju metabolisme yang menurun menyebabkan konsumsi oksigen dan ekskresi buangan TAN oleh ikan ikut menurun (Pandian & Vivekanandan 1976; Woo & Cheung 1980). Nilai TKH akhir transportasi yang rendah pada pemberokan 0 jam disebabkan tingkat stres yang dialami saat transportasi lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Nilai TKH akhir pemeliharaan pascatransportasi pemberokan 72 jam yang lebih rendah dibandingkan pemberokan selama 48 dan 24 jam disebabkan pemberokan yang terlalu lama membuat ikan rentan terhadap stres (Roberts 2010). Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, lama pemberokan yang digunakan pada penelitian utama adalah selama 48 jam. Keputusan ini diambil karena nilai TKH yang dicapai pemberokan selama 48 jam merupakan nilai tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya.

Penelitian Utama

Hasil penelitian utama terdiri dari tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan harian (LPH), perubahan parameter kualitas air saat transportasi dan Tabel 3 Pengaruh lama pemberokan terhadap benih ikan gabus Channa striata

Pengujian Satuan Lama pemberokan (jam)

0 24 48 72

TKO mgg-1 jam-1 0,275 0,248 0,249 0,212

Laju ekskresi TAN mg L-1 0,065 0,045 0,043 0,040 TKH

Akhir transportasi % 93 100 100 100

Akhir pemeliharaan

pascatransportasi % 75 90 96,7 83,3

(23)

9 perubahan respons fisiologis ikan. Respons fisiologis yang diamati terdiri dari nilai pH darah, total sel darah merah, total sel darah putih, kadar hemoglobin, dan nilai heamatokrit

Tingkat Kelangsungan Hidup (TKH)

Hasil pengamatan menunjukkan kepadatan ikan saat transportasi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai tingkat kelangsungan hidup (TKH) saat transportasi dan saat pemeliharaan pascatransportasi (Lampiran 3). Pengamatan nilai TKH pada akhir transportasi menunjukkan peningkatan kepadatan ikan menyebabkan nilai TKH semakin menurun. Nilai tertinggi ditemukan pada perlakuan 30 ekor L-1 sebesar 98%, kemudian diikuti perlakuan 45 ekor L-1 sebesar 92%, perlakuan 65 ekor L-1 sebesar 73%. Nilai terendah ditemukan pada perlakuan 75 ekor L-1 sebesar 69% (Gambar 1a).

Pengamatan nilai TKH pada akhir pemeliharaan pascatransportasi menunjukkan peningkatan kepadatan ikan menyebabkan nilai TKH semakin rendah.

(a)

(b)

Gambar 1 Tingkat kelangsungan hidup (TKH) benih ikan gabus Channa striata; (a) transportasi; dan (b) pascatransportasi. Huruf yang berbeda setiap waktu pengamatan menunjukkan beda nyata (p<0.05)

(24)

10

Nilai tertinggi ditemukan pada perlakuan 30 ekor L-1 sebesar 90%, kemudian diikuti perlakuan 45 ekor L-1 sebesar 79%. Nilai terendah ditemukan pada perlakuan 60 ekor L-1 sebesar 59%. Kematian total ditemukan pada perlakuan 75 ekor L-1 yang merupakan kepadatan ikan tertinggi saat transportasi (Gambar 1b).

Kematian saat transportasi disebabkan ikan gagal mengatasi dan beradaptasi terhadap stres akibat memburuknya kualitas air. Kematian saat pascatransportasi merupakan pengaruh lanjutan dari stres saat transportasi. Stres yang terlalu tinggi menyebabkan ikan sulit memulihkan keseimbangan fisiologis di dalam tubuhnya, kemudian berakibat kematian saat pemeliharaan pascatransportasi. Kematian saat pascatransportasi disebut juga dengan delayed mortality atau hauling loss (Wedemeyer 1996a). Kematian ini sangat merugikan pada kegiatan transportasi ikan. Meningkatnya kematian ikan seiring peningkatan kepadatan ikan saat transportasi juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Gomes et al. (2006).

Laju Pertumbuhan Harian (LPH)

Hasil pengamatan menunjukkan kepadatan ikan saat transportasi tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap nilai laju pertumbuhan harian (LPH) pada pemeliharaan pascatransportasi (Lampiran 4). Nilai tertinggi ditemukan pada perlakuan 30 ekor L-1 sebesar 1,99%, kemudian perlakuan 45 ekor L-1 sebesar 1,94%, dan nilai terendah ditemukan pada perlakuan 60 ekor L-1sebesar 1,93% (Gambar 2).

Hasil pengamatan menunjukkan laju pertumbuhan harian (LPH) tidak terpengaruh oleh kepadatan ikan saat transportasi. Hal tersebut disebabkan ikan yang bertahan hidup telah mampu mengatasi stres saat transportasi dan beradaptasi dengan kondisi wadah pemeliharaan. Hasil penelitian oleh Procarione et al. (1999) pada ikan Rainbow trout juga menunjukkan kondisi stres tidak selalu menyebabkan laju pertumbuhan ikan menjadi menurun. Menurunnya laju pertumbuhan akibat stres dan tekanan lainnya tidak berlaku secara umum pada seluruh ikan (McCormick 1998).

Gambar 2 Laju pertumbuhan harian (LPH) benih ikan gabus Channa striata saat pemeliharaan pascatransportasi. Huruf yang berbeda setiap waktu pengamatan menunjukkan beda nyata (p<0.05)

(25)

11

Parameter Kualitas Air

Hasil pengamatan menunjukkan peningkatan kepadatan ikan saat transportasi menyebabkan parameter kualitas air semakin memburuk (Gambar 3).

(26)

12

Konsentrasi oksigen terlarut saat transportasi berkisar 4,3-6,2 mgL-1 (Gambar 6a). Nilai tersebut masih pada kisaran yang baik yaitu 3,6-3,7 mgL-1 (Muntaziana et al. 2013). Ikan gabus memiliki alat pernapasan tambahan berupa sepasang ruang suprabranchial yang terbaring pada bagian pharynx dorsal hingga lengkungan insang (Banerjee 2007). Keberadaan organ tersebut menyebabkan oksigen bukan faktor pembatas keberhasilan transportasi benih ikan gabus. Suhu air selama transportasi berkisar 24-25 oC (Gambar 6b). Nilai tersebut masih pada kisaran suhu yang baik untuk ikan gabus yaitu 20-35,9 oC (Qin et al. 1997a; Wang et al. 2012). Menurunnya suhu air secara perlahan disebabkan penggunaan es batu di dalam boks styrofoam (Emu 2010). Suhu merupakan parameter penting dalam kegiatan transportasi ikan karena mempengaruhi laju metabolisme ikan, proses biologis, proses kimia, dan parameter kualitas air lainnya. (Berka 1986; Boyd 2012). Nilai pH air selama transportasi berkisar 7,1-7,3 (Gambar 6c). Nilai tersebut masih pada kisaran yang baik bagi ikan gabus yaitu 6-8,6 (Vivekanandan 1976; Muntaziana et al.2013). Nilai pH menunjukkan nilai intensitas keasaman atau kebasaan dari air (Boyd 1998). Penurunan nilai pH air disebabkan peningkatan konsentrasi CO2 pada media air transportasi. Senyawa CO2 merupakan buangan dari proses respirasi ikan yang bersifat asam.

Konsentrasi CO2 semakin meningkat dengan bertambahnya kepadatan ikan serta waktu transportasi (Gambar 6d). Konsentrasi CO2 yang tertinggi ditemukan pada perlakuan 75 ekor L-1 sebesar 42,6 mgL-1dan perlakuan 60 ekor L-1 sebesar 41,3 mgL-1. Konsentrasi tersebut jauh melewati batas yang direkomendasikan untuk benih ikan, yaitu <10 mg L-1 (Nirmala et al. 2012). Tingginya konsentrasi CO2 pada kedua perlakuan tersebut disebabkan kuantitas buangan CO2 semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah ikan. Karbon dioksida (CO2) merupakan produk samping dari proses metabolisme ikan. Laju produksi CO2 dipengaruhi oleh aktivitas metabolisme anaerob ikan dalam memproduksi energi (Tufts & Perry 1998). Senyawa ini memiliki sifat mudah larut di dalam air dan aktif secara biologis. Paparan terhadap konsentrasi tinggi menyebabkan laju ventilasi insang meningkat dan mengurangi laju ekskresi CO2 di insang (Nirmala et al. 2012). Akibatnya CO2 di dalam darah terakumulasi dan menyebabkan ikan mengalami asidosis. Asidosis mengurangi afinitas hemoglobin terhadap oksigen (Bohr effect) dan menurunkan kandungan oksigen di dalam darah (Root effect) (Boyd 1998). Konsentrasi tinggi CO2 menyebabkan stres dan mengurangi toleransi ikan terhadap rendahnya kandungan oksigen terlarut. Kondisi tersebut dapat memicu kematian ikan saat transportasi.

Konsentrasi amoniak dan nitrit meningkat dengan bertambahnya kepadatan ikan yang digunakan. Konsentrasi amoniak tertinggi ditemukan pada perlakuan 75 ekor L-1 sebesar 0,066 mgL-1 dan perlakuan 60 ekor L-1 sebesar 0,055 mgL-1. Konsentrasi nitrit tertinggi ditemukan pada perlakuan 75 ekor L-1 sebesar 0,145 mg L-1 dan perlakuan 60 ekor L-1 sebesar 0,124 mgL-1. Amoniak (NH

(27)

13 menurun. Hal tersebut memungkinkan konsentrasi yang rendah dari LC bisa menyebabkan mematikan. Konsentrasi tinggi amoniak di dalam air menyebabkan ekskresi amoniak di insang terhambat. Hambatan tersebut membuat amoniak di dalam darah terakumulasi sehingga mengurangi afinitas hemoglobin mengikat oksigen (Nirmala et al. 2012). Kondisi tersebut dapat memicu kematian ikan saat transportasi.

Nilai alkalinitas saat transportasi berkisar 160-185 mgL-1CaCO3 (Gambar 6g). Nilai kesadahan saat transportasi berkisar 94-138 mgL-1 CaCO

3 (Gambar 6h). Ikan gabus tumbuh baik pada alkalinitas 56 mg L-1 CaCO3 (Yi et al. 2004), sedangkan untuk nilai kesadahan tidak ditentukan secara spesifik pada ikan. Nilai kesadahan yang baik berada pada nilai kisaran alkalinitas baik bagi ikan (Boyd 1990). Alkalinitas berfungsi sebagai senyawa penyangga (buffer) untuk menjaga perubahan pH air secara tiba-tiba. Nilai alkalinitas >50 mg L-1 CaCO3 mampu menjaga kestabilan pH air dengan baik. Ion kalsium (Ca2+) memberikan kontribusi terbesar untuk nilai kesadahan pada air tawar. Kalsium bermanfaat pada proses osmoregulasi ikan (Boyd 1998).

Hasil pengamatan menunjukkan perlakuan 60 dan 75 ekor L-1 mengalami penurunan parameter kualitas air yang buruk. Kedua perlakuan tersebut menerima paparan tinggi oleh karbon dioksida, amoniak dan nitrit. Ketiga senyawa ini sangat toksik bagi benih ikan dan sering menjadi faktor pembatas keberhasilan kegiatan transportasi ikan (Berka 1986). Memburuknya kualitas air memicu ikan mengalami stres dan menyebabkan kematian (Nirmala et al. 2012). Hal tersebutlah penyebab perlakuan 60 dan 75 ekor L-1 mempunyai nilai TKH yang rendah pada akhir transportasi.

Nilai pH Darah

Hasil pengamatan menunjukkan kepadatan ikan saat transportasi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai pH darah pascatransportasi (Lampiran 5). Kegiatan transportasi menyebabkan penurunan nilai pH darah pada semua perlakuan (Gambar 4). Ikan normal sebelum transportasi memiliki nilai pH darah sebesar 7,82. Pengamatan jam ke-0 pascatransportasi menunjukkan bahwa kepadatan ikan saat transportasi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai pH darah ikan. Nilai terendah ditemukan pada perlakuan 75 ekor L-1 sebesar 7,34 dan beda nyata (p<0,05) dengan perlakuan 30 ekor L-1. Kemudian diikuti perlakuan 60 ekor L-1 sebesar 7,39, dan perlakuan 45 ekor L-1 sebesar 7,44. Nilai tertinggi ditemukan pada perlakuan 30 ekor L-1 sebesar 7,59. Pengamatan selanjutnya menunjukkan nilai pH darah semua perlakuan perlahan meningkat dan mendekati nilai ikan normal. Namun, tidak terdapat beda nyata (p>0,05) antar perlakuan hingga akhir pengamatan jam ke-168 pascatransportasi.

(28)

14

berkurang (Bohr effect) dan menurunkan kapasitas darah dalam mengangkut oksigen (Root effect) (Delince et al. 1987).

Nilai pH darah ikan normal pada umumnya berkisar 7,8-7,6 (Wedemeyer 1996b). Saat nilai pH darah berada pada kisaran 7,5 hingga 6,5 kandungan oksigen di dalam darah menurun dengan cepat seiring terjadinya asidosis (Berenbrink 2011). Penurunan nilai pH darah sebesar satu unit menyebabkan afinitas hemoglobin mengikat oksigen tereduksi hampir sebesar 50% (Wedemeyer 1996b). Kondisi tersebut menyebabkan ikan mengalami kekurangan oksigen di dalam tubuh atau hipoksia, sehingga menyebabkan suplai oksigen untuk proses metabolisme energi berkurang. Menurunnya konsentrasi oksigen terlarut dan meningkatnya konsentrasi CO2 dalam media air saat transportasi menyebabkan laju ventilasi insang menjadi meningkat, namun CO2 darah sulit untuk berdifusi keluar dari insang karena tingginya konsentrasi CO2 di dalam media air transportasi. Proses difusi dipengaruhi perbedaan tekanan antara CO2 dalam darah dengan CO2 yang ada pada media air transportasi (Wedemeyer 1996b). Kondisi tersebut menyebabkan konsentrasi CO2 di dalam darah semakin meningkat (hypercapnia) sehingga memperburuk asidosis yang terjadi dan semakin menurunkan afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Akibatnya ikan sulit memenuhi energi untuk mengatasi stres dan terjadi kematian (Delince et al. 1987). Hal tersebutlah yang diduga menyebabkan perlakuan 60 dan 75 ekor L-1 memiliki nilai TKH yang rendah pada akhir transportasi.

Pengamatan pada jam ke-168 pascatransportasi menunjukkan pH darah perlakuan 60 dan 75 ekor L-1 kembali mengalami penurunan hingga 7,59. Kondisi kualitas air saat transportasi pada perlakuan 60 dan 75 ekor L-1 lebih buruk dibandingkan dua perlakuan lainnya, yaitu 30 dan 45 ekor L-1. Terutama pada perlakuan 75 ekor L-1 yang memiliki konsentrasi oksigen terlarut hanya sebesar 4,3 mg L-1 dan konsentrasi CO

2 hingga sebesar 42,6 mg L-1pada akhir transportasi. Selain itu, asidosis yang dialami oleh perlakuan 75 ekor L-1 merupakan kondisi Gambar 4 Nilai pH darah benih ikan gabus Channa striata. Huruf yang berbeda

(29)

15 yang paling buruk, sesuai hasil pengamatan nilai pH darah pada jam ke-0 pascatransportasi. Kedua hal tersebut diduga menyebabkan ikan perlakuan 75 ekor L-1 mengalami hipoksia atau kekurangan oksigen di dalam jaringan tubuh hingga melewati titik kritis bagi ikan gabus. Kondisi tersebut menyebabkan ikan mengalami gangguan fisiologis yang sulit untuk dipulihkan, meskipun telah berada pada media pemeliharaan yang memiliki kondisi kualitas air yang baik setelah transportasi berakhir. Gangguan fisiologis tersebut selanjutnya menyebabkan jaringan tubuh dan proses metabolisme di dalam tubuh menjadi terganggu (Delince et al. 1986). Gangguan tersebut diduga menyebabkan ikan berada dalam kondisi asidosis selama masa pemeliharaan, terbukti dengan nilai pH darah yang mampu dicapai oleh perlakuan 75 ekor L-1 hampir selalu dibawah nilai pH darah ikan dari perlakuan lainnya pada waktu pengamatan yang sama. Kondisi tersebut diduga menjadi penyebab ikan perlakuan 75 ekor L-1 mengalami kematian total pada masa pemeliharaan pascatransportasi atau delayed mortality (Wedemeyer 1996a).

Total Sel Darah Merah

Hasil pengamatan menunjukkan kepadatan ikan saat transportasi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap total sel darah merah (SDM) ikan pascatransportasi (Lampiran 6). Kegiatan transportasi menyebabkan peningkatan total SDM pada semua perlakuan (Gambar 5). Ikan normal sebelum transportasi memiliki total SDM sebesar 1,98 × 106 sel mm-3. Pengamatan pada jam ke-0 pascatransportasi menunjukkan kepadatan ikan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap total SDM. Nilai tertinggi ditemukan pada perlakuan 60 dan 75 ekor L-1, sebesar 3,15 × 106 sel mm-3, kemudian diikuti perlakuan 30 ekor L-1 sebesar 2,94 × 106 sel mm-3, dan perlakuan 45 ekor L-1 sebesar 2,90 × 106 sel mm-3.

Peningkatan jumlah sel darah merah menunjukkan ikan mengalami stres saat transportasi (Abreu et al. 2008; Supriyono et al. 2010; Supriyono et al. 2011). Stres menyebabkan ikan membutuhkan jumlah energi yang besar untuk mempertahankan Gambar 5 Total sel darah merah benih ikan gabus Channa striata. Huruf yang

berbeda setiap waktu pengamatan menunjukkan beda nyata (p<0.05)

(30)

16

keseimbangan homeostasis di dalam tubuhnya (Iwama 1998). Energi tersebut dihasilkan dari pemecahan glikogen pada proses metabolisme anaerob yang diatur oleh hormon kortisol (Mommsen et al. 1999). Metabolisme tersebut menyebabkan kebutuhan oksigen menjadi meningkat dan memicu ikan mengalami hipoksia (Delince et al. 1987). Pemecahan glikogen juga meningkatkan produksi CO2 di dalam tubuh. Kedua hal tersebut menyebabkan ikan harus mengoptimalkan fungsi sistem sirkulasi. Kondisi ini menyebabkan sel kromafin merilis hormon katekolamin sebagai respons primer stres ke dalam darah (Bonga 1997). Meningkatnya hormon katekolamin menyebabkan total SDM menjadi meningkat untuk meningkatkan afinitas dan kapasitas darah dalam mengangkut oksigen (Bonga 1997; Pankhurst 2011). Peningkatan total SDM berfungsi untuk menutupi kekurangan suplai oksigen dan mempercepat proses ekskresi CO2 keluar dari tubuh. Peningkatan total SDM yang lebih tinggi menunjukkan tingkat stres yang lebih tinggi dialami oleh ikan.

Pengamatan selanjutnya menunjukkan total SDM perlakuan 30 dan 45 ekor L-1 mengalami penurunan dan mendekati nilai normal hingga akhir pengamatan jam ke-168 pascatransportasi. Perlakuan 60 dan 75 ekor L-1 mengalami perubahan nilai total SDM yang fluktuasi hingga akhir pengamatan. Pengamatan jam ke-168 pascatransportasi menunjukkan bahwa total SDM perlakuan 75 ekor L-1 menurun hingga sebesar 1,24 × 106 sel mm-3, nilai tersebut beda nyata (p<0,05) dengan perlakuan 30 dan 45 ekor L-1. Kemudian diikuti perlakuan 60 ekor L-1 sebesar 1,47 × 106 sel mm-3 dan beda nyata (p<0,05) dengan perlakuan 30 ekor L-1. Perlakuan 30 dan 45 ekor L-1 memiliki nilai total SDM paling mendekati ikan normal pada jam ke-168 pascatransportasi, yaitu sebesar 1,77 × 106 sel mm-3 dan 1,84 × 106 sel mm-3. Hasil pengamatan saat pemeliharaan pascatransportasi menunjukkan ikan perlakuan 60 dan 75 ekor L-1 kurang responsif terhadap pakan, bahkan ikan perlakuan 75 ekor L-1 sering tidak mengonsumsi pakan. Kondisi tersebut menyebabkan ikan tidak mendapatkan asupan nutrisi yang cukup sehingga total SDM menurun, kondisi tersebut juga dijumpai pada ikan traira Hoplias malabaricus yang dipuasakan dalam jangka waktu lama (Rios et al. 2005).

Total Sel Darah Putih

(31)

17 Peningkatan total SDP menunjukkan bahwa ikan mengalami stres saat transportasi (Supriyono et al. 2010; Supriyono et al. 2011). Peningkatan tersebut diduga berhubungan dengan respons imunitas ikan yang terpengaruh oleh peningkatan hormon kortikosteron saat ikan mengalami stres (Davis et al. 2008). Hasil pengamatan pada jam ke-0 pascatransportasi menunjukkan bahwa tingkat stres tertinggi dialami oleh perlakuan 60 dan 75 ekor L-1. Hal tersebut menyebabkan total SDP kedua perlakuan mengalami perubahan tertinggi dan menjelaskan tingginya kematian pada kedua perlakuan tersebut. Pengamatan selanjutnya menunjukkan bahwa total SDP kedua perlakuan berangsur menurun mendekati nilai ikan normal, hal ini menandakan ikan telah beradaptasi terhadap stres.

Peningkatan total SDP yang terjadi kembali pada perlakuan 75 ekor L-1 saat jam ke-168 pascatransportasi dan beda nyata (p<0,05) dengan perlakuan lainnya, hal ini disebabkan oleh stres yang dialami saat transportasi memberikan tekanan pada fungsi sistem imun ikan (Bonga 1997). Tekanan pada fungsi sistem imun memudahkan patogen yang pada saat kondisi ikan normal tidak menyebabkan penyakit mampu menyerang ikan pada masa pemeliharaan pascatransportasi. Kondisi tersebut menyebabkan sel darah putih menjadi meningkat yang merupakan respons terhadap serangan patogen yang terjadi (Blaxhall 1972).

Kadar Hemoglobin

Hasil pengamatan menunjukkan kepadatan ikan saat transportasi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar hemoglobin ikan pascatransportasi (Lampiran 8). Kegiatan transportasi menyebabkan peningkatan kadar hemoglobin pada semua perlakuan (Gambar 7). Ikan normal sebelum transportasi memiliki kadar hemoglobin sebesar 9,05 g%. Pengamatan jam ke-0 pascatransportasi menunjukkan kepadatan ikan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kadar hemoglobin darah ikan. Nilai tertinggi ditemukan pada perlakuan 75 ekor L-1 sebesar 12,3 g%, kemudian diikuti perlakuan 60 ekor L-1 sebesar 11,8 g%, Gambar 6 Total sel darah putih benih ikan gabus Channa striata. Huruf yang

(32)

18

perlakuan 45 ekor L-1 sebesar 10,9 g%, dan terendah ditemukan pada perlakuan 30 ekor L-1 sebesar 10,3 gr%. Pengamatan selanjutnya menunjukkan nilai kadar hemoglobin semua perlakuan perlahan menurun dan mendekati nilai ikan normal. Tidak terdapat beda nyata (p>0,05) antar perlakuan pada akhir pengamatan jam ke-168 pascatransportasi.

Peningkatan kadar hemoglobin menunjukkan ikan mengalami stres saat transportasi (Supriyono et al. 2010). Hemoglobin merupakan komponen dari sel darah merah yang untuk berfungsi mengangkut oksigen dari lingkungan ke sel di dalam tubuh dan mengangkut karbon dioksida hasil metabolisme dengan arah sebaliknya (Jensen et al. 1998). Sekresi hormon katekolamin saat ikan stres berfungsi untuk meningkatkan afinitas dan kapasitas darah dalam mengangkut oksigen (Pankhurst 2011). Sekresi tersebut juga meningkatkan kadar hemoglobin ikan, karena sintesis hemoglobin dilakukan bersamaan dengan produksi sel darah merah (Bonga 1997; Olver et al. 2011). Pengamatan selanjutnya menunjukkan kadar hemoglobin perlakuan 75 ekor L-1 pulih pada jam ke-24 pascatransportasi. Kadar hemoglobin perlakuan 60 ekor L-1 pulih pada jam ke-96 pascatransportasi. Tingginya kadar hemoglobin setelah transportasi dan waktu yang dibutuhkan untuk memulihkannya menunjukkan tingkat stres saat transportasi. Tingkat stres yang tinggi menyebabkan perlakukan 60 dan 75 ekor L-1 memiliki nilai TKH yang rendah pada akhir transportasi.

Nilai Hematokrit

Hasil pengamatan menunjukkan kepadatan ikan saat transportasi tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap nilai hematokrit ikan pascatransportasi (Lampiran 9). Kegiatan transportasi menyebabkan nilai hematokrit semua perlakuan mengalami peningkatan (Gambar 8). Ikan normal sebelum transportasi memiliki nilai hematokrit sebesar 21,2%. Pengamatan pada jam ke-0 pascatransportasi menunjukkan nilai tertinggi ditemukan pada perlakuan 75 ekor L-1 sebesar 29,6%, kemudian diikuti perlakuan 45 ekor L-1 sebesar 28,4%, Gambar 7 Kadar hemoglobin benih ikan gabus Channa striata. Huruf yang

(33)

19 perlakuan 60 ekor L-1 sebesar 27,9%. Nilai terendah ditemukan pada perlakuan 30 ekor L-1 sebesar 25,8%. Pengamatan selanjutnya menunjukkan nilai hematokrit semua perlakuan perlahan mengalami penuruan dan mendekati nilai ikan normal.

Perubahan nilai hematokrit merupakan salah satu indikator stres pada ikan (Witeska 2005). Hormon katekolamin menyebabkan pembengkakan sel darah merah dan meningkatkan jumlah sel yang beredar. Sebagai hasilnya jumlah sel darah merah, hematokrit dan hemoglobin menjadi meningkat (Bonga 1997). Sekresi hormon kortisol saat ikan mengalami stres juga berpengaruh meningkatkan kadar hematokrit (Mommsen et al. 1999). Tingginya kadar hematokrit setelah transportasi menunjukkan tingkat stres saat transportasi. Tingkat stres yang tinggi menyebabkan perlakukan 60 dan 75 ekor L-1 memiliki nilai TKH yang rendah pada akhir transportasi.

Hasil pengamatan respons fisiologis menunjukkan kepadatan ikan saat transportasi memberikan pengaruh kepada kondisi fisiologis dan selanjutnya mempengaruhi keberhasilan transportasi benih ikan gabus. Kepadatan ikan saat transportasi yang semakin tinggi menyebabkan nilai TKH yang mampu dicapai pada akhir transportasi dan akhir pemeliharaan pascatransportasi semakin rendah. Transportasi dengan kepadatan ikan sebanyak 30 dan 45 ekor L-1mampu mencapai nilai TKH pada akhir transportasi sebesar >90%. Pengamatan nilai TKH pada akhir pemeliharaan pascatransportasi perlakuan kepadatan ikan 30 ekor L-1 mampu menghasilkan TKH sebesar 90% dan kepadatan ikan 45 ekor L-1 menghasilkan TKH sebesar 79%. Hasil tersebut dapat dicapai karena kepadatan ikan sebanyak 30 hingga 45 ekor L-1 tidak menyebabkan penurunan kualitas air saat transportasi yang drastis dan hanya mengalami tingkat stres yang ringan, sehingga jumlah kematian dapat ditekan.

Transportasi dengan kepadatan ikan sebanyak 60 dan 75 ekor L-1 hanya mampu mencapai nilai TKH pada akhir transportasi sebesar <75%. Pengamatan nilai TKH pada akhir pemeliharaan pascatransportasi perlakuan kepadatan ikan 60 Gambar 8 Kadar hematokrit benih ikan gabus Channa striata. Huruf yang berbeda

setiap waktu pengamatan menunjukkan beda nyata (p<0.05)

(34)

20

ekor L-1 hanya mampu mencapai nilai sebesar 59%, bahkan kepadatan ikan 75 ekor L-1 mengalami kematian total pada masa pemeliharaan pascatrasportasi. Hal ini disebabkan kualitas air saat transportasi pada kedua perlakuan tersebut menurun drastis jika dibandingkan dua perlakuan lainnya, yaitu kepadatan ikan 30 dan 45 ekor L-1. Penurunan kualitas air yang buruk menyebabkan tingginya tingkat stres yang dialami oleh ikan perlakuan 60 dan 75 ekor L-1, hal tersebut terbukti pada pengamatan parameter respons fisiologis. Pemulihan kondisi fisiologis kedua perlakuan tersebut juga membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan perlakuan 30 dan 45 ekor L-1. Kematian total pascatransportasi pada perlakuan 75 ekor L-1 disebabkan stres yang dialami merupakan tingkat stres paling tinggi sehingga ikan tidak mampu memulihkan keseimbangan homeostasis di dalam tubuhnya. Berdasarkan hasil pengamatan, tingkat stres tertinggi terjadi pada perlakuan 75 ekor L-1, kemudian diikuti perlakuan 60 ekor L-1, perlakuan 45 ekor L-1, dan terendah pada perlakuan 30 ekor L-1.

Analisis Potensi Penurunan Kerugian

Transportasi ikan hidup pada kegiatan budidaya ikan pada umumnya terdiri dari tiga jenis kegiatan, yaitu; a) transportasi calon indukan sebagai masukan kegiatan pembenihan; b) transportasi benih atau juvenil sebagai masukan kegiatan pembesaran; dan c) transportasi ikan ukuran pasar untuk diperjualbelikan ataupun konsumsi masyarakat. Kegiatan transportasi benih ikan memiliki perbedaan dengan kegiatan transportasi ikan hidup untuk tujuan konsumsi. Perbedaan tersebut yaitu penjual benih umumnya memberikan jaminan selama beberapa hari (3 hingga 7 hari) kepada pembeli benih terkait kelangsungan hidup benih ikan yang diperjualbelikan. Tujuan dari hal tersebut adalah mengatasi kerugian karena kematian saat pascatransportasi atau hauling loss.

Perhitungan analisis potensi penurunan kerugian dilakukan untuk mengetahui jumlah kerugian yang dapat dihindari saat pelaksanaan kegiatan transportasi benih ikan gabus dengan menggunakan kepadatan ikan saat penelitian. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan informasi yang didapatkan dari kegiatan penelitian dan kegiatan pembelian benih ikan gabus yang dilakukan. Hasil perhitungan yang dilakukan diharapkan menjadi masukan kepada pelaku usaha budidaya ikan gabus baik penjual benih maupun pembudidaya ikan gabus terkait metode transportasi benih yang baik.

(35)

21 sehingga nilai TKH yang dicapai tidak dapat menghindari kerugian jika digunakan pada kegiatan transportasi benih.

4

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan respons fisiologis, yaitu nilai pH darah, total sel darah merah, total sel darah putih, kadar hemoglobin, dan nilai hematokrit maka transportasi benih ikan gabus Channa striata sebaiknya dilakukan dengan kisaran kepadatan ikan sebanyak 30 hingga 45 ekor L-1.

Saran

Transportasi benih ikan gabus selama 24 jam sebaiknya dilakukan dengan kepadatan ikan sebanyak 30 hingga 45 ekor L-1. Keberhasilan transportasi dengan kepadatan lebih tinggi dari 45 ekor L-1 mungkin dapat ditingkatkan dengan penerapan teknologi transportasi ikan seperti penggunaan bahan anestesi berupa minyak cengkeh, penambahan garam pada media air, penambahan zeolite dan arang aktif untuk penyerapan amoniak.

DAFTAR PUSTAKA

Abreu JS, Sanabaria-Ochoa AI, Goncalves FD, Urbinati EC. 2008.Stress responses of juvenile matrinxã (Brycon amazonicus) after transport in a closed system under different loading densities. Cienc. Rural. 38(5): 1413-1417.

[APHA] American Public Health Association. 1999. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. 20th edition. Washington (US): APHA. Arfah H, Supriyono E. 2002. Penggunaan MS-222 pada pengankutan benih ikan

patin (Pangasius sucthi). J Akuak Indones. 1(3): 119-122.

Azambuja CR, Mattiazzi J, Riffel APK, Finamor IA, Garcia LO, Heldweinn CG, Heinzmann BM, Baldisserotto B, Pavanato MA, Llesuy SF. 2011. Effect of the essential oil of Lippia alba on oxidative stress parameters in silver catfish (Rhamdia quelen) subjected to transport. Aquaculture. 319(1): 156-161.

Banerjee TK. 2007. Histopathology of respiratory organs of certain air-breathing

fishes of India. Fish Physiol Biochem. 33(4): 441-454.

Becker AG, Da Cunha MA, Garcia LO, Zeppenfeld CC, Parodi TV, Maldaner G, Morel AF, Baldiserrottto B. 2013. Efficacy of eugenol and methanolic extract of Condolia buxifolia during the transport of the sivel catfish Rhamdia quelen. Neotrop Ichthyol. 11(3): 675-681.

(36)

22

Berka R. 1986. The Transport of Live Fish: A Review. Rome (IT): Food and Agriculture Organization. 52 p.

Berra TM. 2001. Freshwater Fish Distribution. San Diego (US): Academic Press. pp. 492-495.

Blaxhall PC. 1972. The haematological assessment of the health of freshwater fish. J Fish Biol. 4(4): 593-604.

Blaxhall PC, Daisley KW. 1973. Routine haematological methods for use with fish blood. J Fish Biol. 5(6): 771-781.

Bonga SW. 1997. The stress response in fish. Physiol Rev. 77(3): 591-625.

Boyd CE. 1990. Water Quality for Pond Aquaculture. Birmingham (US): Birmingham Publishing.

Boyd CE. 1998. Pond Aquaculture Water Quality Management. Massachusetts (US): Kluwer Academic Publisher.

Boyd CE. 2012. Water quality. Lucas JS, Southgate PC. editor. Aquaculture: Farming Aquatic Animals and Plants.2nd edition. Oxford (UK): John Wiley & Sons. pp. 52-82.

Congleton JL, LaVoie WJ. 2001. Comparison of blood chemistry values for samples collected from juvenile chinook salmon by three methods. J Aquat Anim Health. 13(2): 168-172.

Davis AK, Maney DL, Maerz JC. 2008. The use of leukocyte profiles to measure stress in vertebrates: a review for ecologists. Funct Ecol. 22(5): 760-772. Delince GA, Campbell D, Janssen JAL, Kutty MN. 1987. Seed production:

Establishment of African regional aquaculture centre. Rome (IT): Food and Agriculture Organization of the United Nations. 118 p.

Deriggi GF, Inoue LAKA, Moraes G. 2006. Stress responses to handling in nile tilapia (Oreochromis niloticus Linnaeus): assessment of eugenol as an alternative anesteshic. Acta Sci Biol Sci. 28(3): 269-274.

Dobsikova R, Svobodova Z, Blahova J, Modra H, Velisek J. 2006. Stress response to long distance transportation of common carp (Cyprinus carpio L.). Acta Vet Brno. 75: 437-448.

Dobsikova R, Svobodova Z, Blahova J, Modra H, Velisek J. 2009. The effect of transport on biochemical and haematological indices of common carp (Cyprinus carpio L.). Czech J Anim Sci. 54(11): 510-518.

Emmanuel BE, Fayinka DO, Aladetohun NF. 2013. Transportation and the effect of stocking density on survival and growth of Nile tilapia, Orechromis niloticus (Linnaeus). World J Agric Sci. 1(1): 001-007.

Emu S. 2010. Pemanfaatan garam pada pengangkutan sistem tertutup benih ikan patin Pangasius sp berkepadatan tinggi dalam media yang mengandung zeolit dan arang aktif. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Golombieski JJ, Silva LVF, Baldisserotto B, Da Silva JHS. 2003. Transport of silver catfish (Rhamdia quelen) fingerlings at different times, load densities, and suhues. Aquaculture. 216(1): 95-102.

Gomes LC, Chagas EC, Brinn RP, Roubach R, Coppati CE, Baldiserrotto B. 2006. Use of salt during transportation of air breathing pirarucu juveniles (Arapaima gigas) in plastic bags. Aquaculture. 256(1): 521-528.

(37)

23 Huisman EA. 1987. Principles of Fish Culture and Fisheries: Wageningen (NL):

Wageningen Agiculture University.

Iwama GK. 1998. Stress in fish. Ann N Y Acad Sci. 851(1): 304-310.

Jensen FB, Fago A, Weber RE. 1998. 1 Hemoglobin structure and function. Perry SF, Tufts BL, editor. Fish Physiology. Volume 17. San Diego (US): Academic Press. pp. 1-32.

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2011a. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2010. Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. Jakarta (ID): KKP. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2011b. Statistik Perikanan Budidaya

Indonesia 2010. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Jakarta (ID): KKP. Lefevre S, Phuong NT, Wang T, Bayley M. 2012. Effects of hypoxia on the

partitioning of oxygen uptake and the rise in metabolism during digestion in the air-breathing fish Channa striata. Aquaculture. 364: 137-142.

Liao IC, Huang HJ. 1975. Studies on the respiration of economic prawn in Taiwan. I. Oxygen consumption and lethal dissolved oxygen of egg up to young prawn of Penaeus monodon Fabricius. J Fish Soc Taiwan. 4(1): 33–50.

Magnoni LJ, Felip O, Blasco J, Planas JV. 2013. Metabolic fuel utilization during swimming: Optimizing nutritional requirement for enchanced performance: Palstra AP, Planas JV editor. Swimming Physiology of Fish. Berlin (DE): Springer Berlin Heidelberg. pp. 203-237.

Makmur S, Rahardjo MF, Sukimin, S. 2003. Biologi reproduksi ikan gabus (Channa striata Bloch) di daerah banjiran sungai Musi Sumatera Selatan. J Iktio Indones. 3(2): 57-62.

McCormick SD, Shrimpton JM , Carey JB, O'dea MF, Sloan KE, Moriyama S, Björnsson BT. 1998. Repeated acute stress reduces growth rate of Atlantic salmon parr and alters plasma levels of growth hormone, insulin-like growth factor I and cortisol. Aquaculture. 168(1): 221-235.

Mommsen TP, Vijayan MM, Moon TW. 1999. Cortisol in teleosts: dynamics, mechanisms of action, and metabolic regulation. Rev Fish Biol Fish. 9(3): 211-268.

Muntaziana MPA, Amin SMN, Rahman MA, Rahim AA, Marimuthu K. 2013. Present culture status of the endangered snakehead, Channa striatus (Bloch, 1793). Asian J Anim Vet Adv. 8(2): 369-375.

Muslim M. 2007. Potensi, peluang dan tantangan budidaya ikan gabus (Channa striatus) di propinsi Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Forum Perairan Umum Indonesia IV; 2007 Nov 30; Palembang, Indonesia. Depok (ID): Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Pusat Riset Perikanan Tangkap.

Muthmainah D. 2013. Growout of striped snakehead Channa Striata in swamp water system using fences and cages. Int Proc Chem Biol Environ. 58: 52-55. Natarajan GM. 1984. Effect of sublethal concentration of metasystox on selected

oxidative enzymes, tissue respiration, and hematology of the freshwater air-breathing fish, Channa striatus (Bleeker). Pest Biochem Physiol. 21(2): 194-198. Nirmala K, Hadiroseyani Y, Widiasto RP. 2012. Penambahan garam dalam air

media yang berisi zeolit dan arang aktif pada transportasi sistem tertutup benih ikan gurami Osphronemus goramy Lac. J Akuak Indones. 11(2): 190-201. Olver CS, Andrews GA, Smith JE, Kaneko JJ. 2011. Erythrocyte structure and

(38)

24

Pandian TJ, Vivekanandan E. 1976. Effects of feeding and starvation on growth and swimming activity in an obligatory air-breathimg fish. Hydrobiologia. 49(1): 33-39.

Pankhurst NW. 2011. The endocrinology of stress in fish: an environmental perspective. Gen Comp Endocr. 170(2): 265-275.

Procarione LS, Barry TP, Malison JA. 1999. Effects of high rearing densities and loading rates on the growth and stress responses of juvenile rainbow trout. N Am J Aquac. 61(2): 91-96.

Qin J, Fast AW, DeAnda D, Weidenbach RP. 1997a. Growth and survival of larval snakehead (Channa striatus) fed different diets. Aquaculture. 148(2): 105-113. Qin J, Fast AW, Kai AT. 1997b. Tolerance of snakehead Channa striatus to

ammonia at different pH. J World Aquac Soc. 28(1):87-96.

Rios FS, Oba ET, Fernandes MN, Kalinin AL, Rantin FT. 2005. Erythrocyte senescence and haematological changes induced by starvation in the neotropical fish traíra, Hoplias malabaricus (Characiformes, Erythrinidae). Comp Biochem Physiol A Mol Integr Physiol. 140(3): 281-287.

Roberts HE. 2010. Transport and hospitalization of the fish patient. Roberts HE, editor. Fundamentals of Ornamental Fish Health. Kuala Lumpur (MY): John Wiley & Sons. pp. 153-157.

Sulmartiwi L, Darmanto W, Alamsjah MA. 2014. Stress reducing substance of Ageratum conyzoides and its application to koi carp (Cyprinus carpio) transportation. J Nat Sci Res. 4(19): 67-85.

Supriyono E, Budiyanti, Budiardi T. 2010. Respon fisiologi benih ikan kerapu macan Ephinephelus fuscoguttatus terhadap penggunaan minyak sereh dalam transportasi tertutup dengan kepadatan tinggi. IJMS. 15(2): 103-112.

Supriyono E, Syahputra R, Ghozali MFR, Wahjuningrum D, Nirmala K, Kristanto AH. 2011. Efektivitas pemberian zeolit, arang aktif, dan minyak cengkeh terhadap hormone kortisol dan gambaran darah benih ikan patin Pangasionodon hypopthalamus pada pengangkutan dengan kepadatan tinggi. J Iktio Indones. 11(1): 67-75.

Tufts B, Perry SF. 1998. 7 Carbon dioxide transport and excretion. Perry SF, Tufts BL, editor. Fish Physiology. Volume 17. San Diego (US): Academic Press. pp. 229-273.

Vivekanandan E. 1976. Effects of feeding on the swimming activity and growth of Ophiocephalus striatus. J Fish Biol. 8(4): 321-33.

Wang Q, Wang W, Huang Q, Zhang Y, Luo Y.2012. Effect of meal size on the specific dynamic action of the juvenile snakehead (Channa argus). Comp Biochem Physiol A Mol Integr Physiol. 161(4): 401-405.

Wedemeyer GA. 1996a. Transportation and handling: Pennel W, Barton BA, editor. Principles of Salmonid Culture. Amsterdam (NL): Elsevier Inc. pp. 727-755. Wedemeyer GA. 1996b. Physiology of fish in intensive culture systems.New York

(US): Chapman & Hall. 232 p.

Witeska M. 2005. Stress in fish: hematological and immunological effects of heavy metals. Electronic J Ichthyol. 1: 35-41.

Witeska M. 2013. Erythrocytes in teleost fishes: a review. Zool Ecol. 23(4): 275-281.

(39)

25 Wood CM, McMahon BR, McDonald DG. 1977. An analysis of changes in blood pH following exhausting activity in the starry flounder, Platichthys stellatus. J Exp Biol. 69(1):173-185.

Yi Y, Diana JS, Shrestha MK, Lin CK. 2004. Culture of mixed-sex Nile tilapia with predatory snakehead. In: Bolivar R, Mair G, Fitzsimmons K, editor. Proceedings of The 6th International Symposium of Tilapia in Aquaculture; 2004 Sep 12-16; Manila, Philippines. Manila (PH): Bureau of Fisheries and Aquatic Resources. pp. 14-16.

Zepenfeld CC, Toni C, Becker AG, Dos Santos MD, Parodi TV, Heinzmann BM, Barcellos LJG, Koakoski G, Da Rosa JGS, Loro VL, Da Cunha MA, Baldisserotto B. 2014. Physiological and biochemical response of silver catfish, Rhamdia quelen after transport in water with essential oil of Aloysia triphylla

(40)

26

LAMPIRAN

Lokasi penangkapan benih alam (sungai, genangan musiman, rawa, dll)

Transportasi ke pengumpul benih di Kotabangun, Kutai, Kalimantan Timur (±2 jam)

Transportasi ke Kota Balikpapan menuju bandara dengan jalur darat (±4 jam)

Transportasi ke Bandara Sepingan (±30 menit)

Proses pada bagian jasa pengiriman kargo & barang (±2 jam)

Pengiriman ke Jakarta dengan pesawat terbang (±3 jam)

Proses pada bagian penerimaan kargo & barang (±2 jam)

Transportasi ke lokasi pembesaran di Jawa Barat

dengan kendaraan darat (±5 jam)

Transportasi ke lokasi pembesaran di Jawa Tengah

dengan kendaraan darat (±8 jam)

Bagan alir lama waktu transportasi benih ikan gabus dari Kalimantan Timur ke lokasi usaha pembesaran di pulau Jawa

(41)

27

Lokasi penangkapan benih alam (sungai, genangan musiman, rawa, dll)

Transportasi ke pengumpul benih di Mandiangin (±2 jam)

Transportasi ke Banjar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan (±1 jam)

Transportasi ke Bandara Syamsudo Noor, Banjarmasin (±3 jam)

Proses pada bagian jasa pengiriman kargo & barang (±2 jam)

Pengiriman ke Jakarta dengan pesawat terbang (±3 jam)

Proses pada bagian penerimaan kargo & barang (±2 jam)

Transportasi ke lokasi pembesaran di Jawa Barat

dengan kendaraan darat (±5 jam)

Transportasi ke lokasi pembesaran di Jawa Tengah

dengan kendaraan darat (±8 jam)

(42)

28

Lampiran 2 Prosedur transportasi penelitian

Aerasi air media transport selama ±24 jam dan pemberokan ikan uji sesuai hasil penelitian pendahuluan

Ikan dikemas ke dalam kantong transport berisi air 1,3 L dengan kepadatan sesuai rancangan perlakuan

Kantong transport diinjeksi oksigen dengan perbandingan 1:3 (air:oksigen) kemudian diikat karet gelang

Kantong dikemas ke dalam boks styrofoam dan dilakukan simulasi transportasi diatas bak berisi air

Pemberian goncangan ±15 menit tiap satu jam selama transportasi 24 jam

Aklimitisasi selama ±15 menit pada akhir transportasi dan dilanjutkan pemeliharaan pascatransportasi selama 28 hari

Bagan alir prosedur transportasi penelitian

Pemberian goncangan saat transportasi Arah goncangan horizontal

Wadah bak simulasi

Gambar

Tabel 1  Parameter uji penelitian
Tabel 2  Tingkat kelangsungan hidup benih ikan gabus Channa striata selama  pengujian kemampuan puasa
Gambar 1  Tingkat kelangsungan hidup (TKH) benih ikan gabus Channa striata;  (a)  transportasi; dan (b) pascatransportasi
Gambar 2  Laju pertumbuhan harian (LPH) benih ikan gabus Channa striata saat  pemeliharaan  pascatransportasi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Ini kerana e- pembelajaran dapat memudahkan pelajar pada masa kini untuk belajar dan mengakses bahan pelajaran tanpa batasan masa dan jarak(tempat). Namun begitu, dalam

Pengembangan Model Persamaan Konsumsi Bahan Bakar Efisien Untuk Mobil Penumpang Berbahan Bakar Bensin Sistem Injeksi Elektronik (EFI) , Prosiding, Seminar Nasional

Suatu Survey dilakukan utk menentukan apakah ada hubungan antara Keaktifan Kepala Keluarga (aktif atau tidak) dengan lokasi tempat tinggalnya (Kota atau Desa ). Berdasarkan data

Sejarah menyaksikan sebuah perkembangan dari teknologi media penyimpanan data yaitu perubahan dari floopy disk disk (1.44 Mb) to blue ray disc (25,000 Mb).

Orang bertipe seperti ini (fasik dan munafik) hanya patuh saat ada tujuan/kepentingan lain yang biasanya lebih bersifat pragmatis dan materialistis bukan berdasarkan

Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau

Bagian tersebut meliputi Bendahara Gaji, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Bendahara Dinas, Pejabat Penandatanganan Surat Perintah Membayar (PPSPM), Kantor Pelayanan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan aktivitas guru, aktivitas siswa, dan hasil belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran matematika materi operasi