• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vermicomposting oleh Cacing Tanah (Eisenia fetida dan Lumbricus rubellus) pada Empat Jenis Bedding

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Vermicomposting oleh Cacing Tanah (Eisenia fetida dan Lumbricus rubellus) pada Empat Jenis Bedding"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul

oleh cacing tanah ( dan ) pada empat jenis

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2010

(3)

!"#$%&#'&()$ * +, ")-.&"#

& &/" ! $ *( !" $"!%)$& &0 +, 1

Vermicomposting is organic processes to degrade wastes involving earthworms in

interaction with microorganisms. European and are the most

common earthworm species used in vermicomposting and g is one of the

importance factors in maintaining vermicomposting. The aim of the research was to study the influences of different beddings rice straw, corn peel, banana leaves and corrugated paper) on vermicomposting of grass. Parameters measured were (1) comsumption rate, (2) earthworm growth, (3) produced cocoons, (4) chemical composition of vermicompost. The ratio between the earthworm and the grass

( ) in each boxes was 1:1 covered with 300 g

material. The consumption rate was measured by calculating the percentage of organic waste consumed by the earthworm daily. Earthworm growth was measured by weighing their biomass weekly. The number of produced cocoons was used to predict their fecundity. The results showed that the highest

consumption rate was showed by kept in banana leaf bedding

(29.68%). The highest growth was showed by (39.90+2.38 g)

maintained in corn peel bedding, while the highest productivity 128.20±19.82

cocoon was showed significantly by living in straw (p<0.05).

The ratio of C:N in vermicompost produced by and was

lower than the initial food but not significant differences p=0.626. The content of

P and K in vermicompost was increased, whereas in vermicompost of

only P content was increased. Based on the productivity indicating their

fitness, this study suggests that the rice straw is the best for their life.

Keywords: , , vermicomposting, grass wastes,

(4)

! &2!- % %$ * )

-' !#' ) 3! $( ! $+$#+$ *

&2!-1

Berbagai bentuk dan jenis sampah dihasilkan oleh masyarakat. Sampah yang terkumpul disekitar rumah, pasar maupun di TPA semakin sulit untuk ditanggulangi. Salah satu cara yang baik untuk mereduksi sampah domestik

adalah dengan melakukan merupakan proses

konsumsi bahan organik dengan melibatkan kerjasama cacing tanah dan mikroorganisme. Hasil akhir dari proses ini adalah vermikompos yang sangat

berguna bagi tanaman. Cacing tanah dan merupakan dua dari

spesies cacing tanah yang sangat berpotensi dalam proses

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji peran dua spesies cacing tanah dalam mengolah bahan organik dengan mengukur: 1) laju konsumsi pakan, 2) pertumbuhan cacing tanah, 3) produktivitas cacing tanah dan 4) komposisi kimia vermikompos.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2008 sampai dengan Juni 2009. Penelitian ini terdiri atas dua tahap yaitu pemeliharaan dan budidaya cacing tanah dilaksanakan pada bulan Maret 2008 sampai Januari 2009, dan tahap eksperimen dan pengambilan sampel dilaksanakan pada bulan Februari?Juni 2009. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bagian Fungsi Hayati dan Prilaku Hewan, Departemen Biologi, FMIPA Institut Pertanian Bogor. Pada tahap pembudidayaan dilakukan persiapkan populasi cacing tanah, media hidup, dan wadah percobaan.

Cacing tanah yang digunakan adalah dan yang telah memiliki

klitelum. Media hidup terdiri dari kotoran sapi dan bahan organik berupa rumput

( ) sebesar 156 g Kotoran sapi sebesar 364 g digunakan

sebagai dikeringanginkan ± 10?12 hari. Pada bagian atas media

ditambahkan empat jenis yaitu jerami, kulit jagung, daun pisang dan

kardus masing?masing sebesar 300 g. Bahan organik dicacah kasar 2?3 cm dan direndam selama 1 hari kemudian ditiriskan. Tanah ditambahkan ke dalam media hidup sebesar 104 g untuk membantu proses pencernaan cacing tanah. Wadah percobaan berupa wadah plastik berukuran panjang, lebar, dan tinggi 35 cm x 31 cm x 12.5 cm. Seluruh wadah dilubangi pada dasarnya sebanyak 9?12 lubang dan ditutupi dengan kain kasa plastik.

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial (3x4) dengan 5 ulangan. Faktor pertama adalah jenis cacing tanah

dan kombinasi dan , dan faktor kedua adalah empat

jenis dengan rasio antara berat cacing tanah dan bahan organik 1:1.

Kondisi awal media hidup diatur pada suhu, kelembaban dan pH berturut?turut 25

o

(5)

Laju konsumsi bahan organik diukur dengan menimbang sisa bahan

organik menggunakan timbangan digital. Persentase laju konsumsi dihitung

dengan mengurangi bobot bahan awal dengan sisa bobot bahan setiap hari.

Selanjutnya, setiap tujuh hari dilakukan penambahan bahan organik ke dalam media hidup sebanyak 156 g.

Pertumbuhan cacing tanah diukur dengan menimbang cacing tanah di atas timbangan digital (ADAM PGW?4531, d=0.001 g). Produktivitas cacing tanah diukur dengan menghitung jumlah kokon yang diproduksi di dalam setiap wadah setiap tujuh hari. Kokon yang dihasilkan oleh masing?masing spesies cacing tanah ditempatkan pada wadah yang dialasi kapas lembab. Perkembangan kokon diamati setiap hari sampai menetas untuk mengetahui masa inkubasi kokon. Selanjutnya, jumlah juvenil yang keluar dari tiap kokon dihitung.

Vermikompos yang dihasilkan tiap spesies cacing tanah dari jenis bahan organik yang berbeda ditimbang seberat 100 g untuk dianalisa kandungan kimianya. Kandungan C organik dianalisa dengan metode Walkey & Black, N total dengan metode Kjeldahl, P dengan spektrofotometri dan K dengan Flamefotometri. Analisa kandungan kimia dilakukan di laboratorium tanah dan tanaman SEAMEO BIOTROP, Bogor. Selanjutnya, data dianalisis menggunakan

program SYSTAT 12 dan uji lanjut dengan uji Tukey (α=0.05).

Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh terhadap laju konsumsi

bahan organik dan pertumbuhan biomassa cacing tanah terlihat bervariasi karena laju konsumsi dan pertumbuhan biomassa yang dihasilkan pada setiap minggunya menunjukkan pola yang berubah?ubah. Laju konsumsi dan pertumbuhan biomassa

oleh cenderung lebih tinggi daripada dan gabungan

dan . Penurunan konsumsi bahan organik ini disebabkan oleh

kemampuan dispersal cacing tanah, ketersedian kotoran sapi sebagai bahan pemikat dan faktor abiotik yaitu pH, kelembaban dan suhu. Pertumbuhan biomassa cacing tanah sangat bergantung pada ketersediaan dan kualitas bahan organik. Cacing tanah yang mengkonsumsi bahan organik lebih banyak dapat tumbuh lebih cepat daripada cacing tanah yang mengkonsumsi sedikit bahan organik. Faktor lain yang menyebabkan perbedaan pertumbuhan karena

kemampuan toleransi terhadap perubahan lingkungan yang lebih baik

dibandingkan .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang dipelihara di dalam

jerami menghasilkan kokon dengan jumlah terbanyak. Total kokon yang

dihasilkan lebih banyak daripada . Bentuk dan ukuran kokon

kedua spesies cacing tanah bervariasi. Masa inkubasi kokon lebih

cepat daripada . Jumlah juvenil yang hasilkan lebih banyak

daripada . Tingginya produksi kokon pada jerami disebabkan

kemampuan untuk beraklimatisasi terhadap perubahan iklim mikro di

dalam wadah. Penyebab lainnya karena perbedaan kemampuan reproduksi,

memiliki reproduksi , dan

sedangkan reproduksinya .

Struktur media menunjukkan perubahan bentuk dan berat. Bobot basah

(6)

dan gabungan dan . Penurunan bobot basah media disebabkan proses konsumsi oleh cacing tanah, aktivitas mikrooragnisme dan peningkatan

suhu selama proses .

Kandungan kimiawi pada vermikompos dan

menggunakan jerami menghasilkan rasio C:N vermikompos yang lebih

rendah daripada substrat awal. Kandungan unsur P dan K pada vermikompos meningkat dari substrat awal. Akan tetapi, vermikompos

menghasilkan kandungan unsur P yang lebih rendah daripada substrat awal sedangkan kandungan unsur K lebih tinggi daripada substrat awal. Menurunnya rasio C:N pada vermikompos menunjukkan terjadi humifikasi dan stabilisasi

bahan organik selama proses . Peningkatan unsur P dan K pada

vermikompos menunjukkkan adanya peningkatan mineralisasi unsur?unsur yang diakibatkan oleh aktivitas enzim dan mikroorganisme dalam saluran percernaan cacing tanah. Pelepasan fosfor ke dalam bentuk yang dapat diserap oleh tumbuhan diperantai oleh fosfat yang dihasilkan di dalam saluran pencernaan cacing tanah, dan selanjutnya pelepasan fosfor dapat dilakukan oleh mikroorganisme di dalam

setelah dikeluarkan.

Kata kunci: , , , rumput (

(7)

4 5 $') $2$5 6 ) -/

5 $') $2$ / *$ *7 *

"# ! ! ! $ % &

% & % #

# ! % % ! % ' ' % &

$' & ' % % (

$'

# ! % ! % % ! & ! ) ( #

*# ! ! % & % ! $ % &

(8)

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

(9)
(10)

Judul Tesis : oleh Cacing Tanah ( dan ) pada Empat Jenis

Nama : Budi Afriyansyah

NRP : G352070071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rika Raffiudin. M.Si Ir. Tri Heru Widarto. M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana

Biosains Hewan

Dr. Bambang Suryobroto Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro. M.S.

(11)

Kupersembahkan karya tulis ini sebagai ibadah dan syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat hidup dan kesempatan menggali ilmu di Institut Pertanian Bogor.

Untuk:

• Keluarga besar Bapak Sukhasafri Majid, B.Sc (alm) dan Ibu Mulyana.

• Keluarga besar Bapak Wahyu Nurjaman dan Ibu Hadijah.

(12)

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah?Nya yang

berlimpah kepada penulis sehingga tesis yang berjudul ” oleh

cacing tanah ( dan ) pada empat jenis ”

telah dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Keberhasilan penulisan tesis ini tidak lepas dari masukan dan arahan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si dan Ir. Tri Heru Widarto, M.Sc, selaku komisi pembimbing atas jerih arahan, bimbingan dan dorongan semangat selama proses awal hingga terselesaikannya tesis ini; Dr. Bambang Suryobroto, Dr. Dedi Duryadi S, DEA, Dr. Achmad Farajallah, M.Si, Dr. RR. Dyah Perwitasari, M.Sc, Dr. Tri Atmowidi, M.Si, Berry Juliandi, S.Si, M.Si, Dra. Taruni Sri Prawasti dan seluruh staf laboratorium Zoologi yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang sangat bermanfaat; Dr. Ir. Sulistijorini M.Si, selaku penguji luar komisi; Bapak Rudi, budidayawan cacing tanah; Hari Nugroho S.Si, selaku Staf Peneliti di di Laboratorium Entomologi Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI yang telah membantu penulis dalam mengidentifikasi cacing tanah; Staf Laboratorium Tanah SEAMEO BIOTROP Bogor atas bantuannya menganalisa kandungan kimiawi vermikompos; Bapak Nunuk, laboran Lab. Fisiologi Tumbuham; Universitas

Bangka Belitung, Pemda Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, Pemda

Kotamadya Pangkalpinang yang telah memberikan bantuan pendidikan kepada penulis.

Disamping itu, ucapan terima kasih yang sangat dalam kepada istri tercinta Wiraswati. S.Pd. Ing atas cinta kasih, kesabaran dan dorongan semangat, keluarga besar Almarhum Sukhasafri Majid B.Sc atas doa dan perhatian, teman?teman satu Tim cacing tanah dan cacing laut: Puspa, Ilyas, Sevi dan Sri terima kasih atas kerjasama, dukungan dan persahabatan kita selama ini, serta teman?teman mahasiswa Biosains Hewan.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

(13)

1

Penulis dilahirkan di Pangkalpinang pada tanggal 16 Januari 1981 dari Almarhum Bapak Sukhasafri Majid, B.Sc dan Ibu Mulyana. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis telah menikah dengan Wiraswati. S.Pd. Ing pada tanggal 8 Maret 2009.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Pangkalpinang dan melanjutkan ke Universitas Sriwijaya Palembang. Tahun 2004 penulis dipilih menjadi mahasiswa aktif dan berprestasi pada Wisuda Ke?70 Universitas Sriwijaya. Tahun 2007, penulis diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan strata S2 di Institut Pertanian Bogor Mayor Biosains Hewan dengan biaya sendiri dan bantuan pendidikan dari Universitas Bangka Belitung, Pemda Propinsi Kepulauan Bangka Belitung serta Pemda Kotamadya Pangkalpinang.

(14)

Halaman

... xiv

... xvi

... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

... 4

Proses dan vermikompos ... 4

Taksonomi cacing tanah... ... 5

Klasifikasi ekologi dan pola pencarian pakan ... 6

Distribusi geografi cacing tanah ... 7

Penggunaan ... 7

Fisiologi cacing tanah ... 8

Sistem reproduksi ... 8

Sistem pencernaan ... 11

Sistem ekskresi ... 12

Sistem saraf... 13

(15)

... 16

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

Pemeliharaan dan Budi Daya Cacing Tanah ... 16

Pelaksanaan Penelitian dan Pengumpulan Data ... 18

Laju konsumsi bahan organik ... 20

Pertumbuhan cacing tanah ... 20

Produktivitas cacing tanah ... 21

Komposisi kimiawi vermikompos ... 21

Analisa Data ... 21

... 23

Nilai pH, kelembaban dan suhu media hidup cacing tanah... 23

Laju Konsumsi Bahan Organik... 28

Pertumbuhan Cacing Tanah ... 31

Produktivitas Cacing Tanah ... 33

Komposisi kimiawi vermikompos... 37

... 39

Pengaruh terhadap laju konsumsi bahan organik ... 39

Pengaruh terhadap pertumbuhan cacing tanah ... 40

Pengaruh terhadap produktivitas cacing tanah ... 42

yang terbaik untuk ... 44

Komposisi kimiawi Vermikompos ... 45

(16)

Kesimpulan ... 49

Saran ... 49

(17)

Halaman

1 Komposisi media biak dan perlakuan digunakan dalam percobaan ...

19

2 Hasil ANOVA laju konsumsi, bobot cacing tanah, jumlah kokon,

pH, kelembaban dan suhu pada perlakuan ,

serta gabungan dan pada empat jenis

setelah 4 minggu (M)...

24

3 Hasil ANOVA waktu inkubasi, jumlah juvenil, rasio C:N, P dan

K vermikompos menggunakan jerami pada perlakuan

dan setelah 4 minggu (M)...

35

4 Kandungan kimiawi vermikompos cacing tanah dan

dengan menggunakan jerami...

37

5 Hasil ANOVA bobot basah media pada perlakuan ,

serta gabungan dan pada empat jenis

setelah 4 minggu (M)...

(18)

Halaman

1 Perkawinan dan pembentukkan kokon ... 9

2 Bentuk, ukuran dan posisi spermatopore , sperma (a)

spermatopore (b &c), lokasi spermatopore pada dinding tubuh (d)...

10

3 Kokon (a), kokon (b) dan penetasan kokon

menjadi juvenil (c)...

10

4 Diagram sistem pencernaan ... 12

5 Anatomi nephridia dari ... 13

6 Spesies cacing tanah yang digunakan dalam penelitian:

(a) dan (b)...

17

7 Pemeliharaan dan budidaya cacing tanah dengan sistem

(a) dan (b)...

17

8 Wadah percobaan (a), bahan organik (b) dan (c)... 18

9 pH media cacing tanah a) b) dan c)

gabungan dan pada empat jenis ...

(19)

10 Kelembaban media cacing tanah a) b) dan c)

gabungan dan pada empat jenis ...

26

11 Suhu Media cacing tanah a) b) dan c)

gabungan dan pada empat jenis ...

27

12 Konsumsi pakan pada empat jenis ... 28

13 Konsumsi pakan pada empat jenis ... 29

14 Konsumsi pakan gabungan dan pada empat

jenis ...

30

15 Pertumbuhan biomassa spesies cacing tanah a) b)

dan c) gabungan dan pada empat

jenis ...

31

16 Jumlah rata?rata kokon yang dihasilkan cacing tanah a)

b) dan c) gabungan dan pada

empat jenis ...

34

17 Jumlah kokon total setiap spesies pada empat jenis ... 35

18 a) Masa inkubasi rata?rata kokon dua spesies cacing tanah dan b) Jumlah rata?rata juvenil tiap kokon cacing tanah ...

36

(20)
(21)

) " +!2 5 *

Sampah dari tahun ke tahun selalu meningkat, misalnya tahun 2005 di

DKI Jakarta sampah sebanyak 6.000 ton/hari (25.687 m3/hari) atau setara dengan

267 l/jiwa/hari dengan komposisi 65.05% merupakan bahan organik dan 34.94%

non?organik (Sagala 2005). Sampah rumput berpotensi memberikan manfaat

dalam pertanian, tetapi potensi ini tidak tereksploitasi. Sampah rumput

yang diperoleh di Kampus IPB Dramaga dari aktivitas

pembersihan setiap minggunya belum dimanfaatkan, padahal sampah rumput

berpotensi sebagai sumber nutrisi yang bermanfaat dalam pertanian. Penelitian

mengenai pemanfaatan sampah tumbuhan telah banyak dilaporkan seperti sampah

jerami gandum dengan kotoran sapi telah didekomposisi menjadi kompos oleh

cacing tanah (Ramos . 2005). Jadia & Fulekar (2008)

mendisign biorektor vermikompos untuk mendekomposisi sampah

sayuran.

Pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan cara pengurangan sumber

sampah ), penggunaan kembali ( ), pemanfaatan ulang

( ), pengolahan ( !, dan pembuangan ( ) (Janangan 2003).

Pengelolaan sampah rumput dapat dilakukan dengan cara pengomposan.

Pengomposan adalah proses dekomposisi oksidatif?biologi dari penyusunan

bahan?bahan organik dalam sampah (Sharma . 1997). Sampah Jerami padi

yang melalui proses oleh cacing tanah " # # ,

$ dan $ menghasilkan senyawa kimia N,

P, K, Ca dan Na yang penting bagi pertumbuhan tanaman (Reddy & Ohkura

2004). Menurut Senesi (1989) dekomposisi bahan organik menghasilkan CO2,

H2O, NH3, zat?zat anorganik dan substansi humus atau kompos.

merupakan proses biooksidasi dan stabilisasi bahan

organik yang melibatkan kerjasama antara cacing tanah dan mikroorganisme

(Dominguez . 1997). Proses ini berlangsung dalam rentang suhu mesofilik

(22)

terdapat di dalam bahan makanan diubah melalui aktivitas mikorganisme menjadi

bentuk yang lebih mudah diserap oleh tumbuhan (Ndegwa & Thompson 2001).

Proses lebih cepat dari pada pengomposan tradisional,

karena bahan?bahan organik melewati sistem pencernaan cacing tanah yang

mengandung banyak aktivitas mikroorganisme yang membantu proses

dekomposisi bahan organik (Dominguez . 1997a). Keunggulan vermikompos

yang dihasilkan dari proses mengandung banyak aktivitas,

populasi dan keanekaragaman mikroorganisme. Vermikompos juga mengandung

beberapa enzim seperti protease, amylase, lipase, selulase dan kitinase (Subler

. 1998).

Menurut Lavelle . (1999) empat komponen yang menentukan

keberhasilan adalah: kesesuaian substrat, faktor lingkungan

yang tepat, cacing tanah yang sesuai, desain dan pengoperasiannya.

Dalam proses yang harus diperhatikan adalah lingkungan hidup

yang baik, sumber makanan, kelembaban dan aerasi yang tersedia cukup, serta

perlindungan terhadap suhu tinggi akibat proses dekomposisi awal oleh

mikroorganisme Munroe (2004).

Penambahan suatu lapisan bahan organik di atas permukaan substrat dapat

menjadi tempat berlindung bagi cacing tanah dari suhu tinggi (Lavelle .

1999). Lapisan dari bahan organik ini disebut . yang baik

menurut Munroe (2004) memiliki daya serap yang tinggi terhadap air sehingga

dapat menjaga kelembaban, mampu menjaga sirkulasi oksigen, memiliki

kandungan protein rendah dan rasio C/N yang tinggi. Pemilihan yang

tepat merupakan kunci untuk keberhasilan proses .

Penelitian Manaf (2009) menunjukkan bahwa pertumbuhan dan

produktivitas cacing tanah pada kertas koran lebih tinggi daripada

serutan gergaji dalam . Jerami, kulit jagung, daun

pisang dan kardus juga memiliki potensi sebagai karena bahan?bahan ini

(23)

menggunakan empat jenis bahan yang berpotensi untuk digunakan sebagai

yaitu jerami, kulit jagung, daun pisang dan kardus.

Potensi dan dalam mendekomposisi sampah organik

telah dipelajari oleh beberapa peneliti (Albanell 1988; Reinecke . 1992;

Gunadi . 2003; Garg . 2005; Aira . 2006). Cacing ,

, " # dan yang hidup sebagai

diketahui sangat potensial untuk mendegradasi bahan organik (Gajalakshmi .

2002; Loh . 2004). Cacing telah dimanfaatkan untuk

mendekomposisi empat tipe bahan organik yaitu limbah pertanian, limbah industri

dan sampah rumah tangga menjadi vermikompos (Garg . 2005). Cacing

sangat aktif dalam mengkonsumsi bahan organik.

Pada penelitian ini pakan yang digunakan adalah rumput .

Rumput ini hidup sebagai gulma berdaun sempit dan perkembangbiakannya

sangat cepat karena menghasilkan biji yang sangat banyak sehingga untuk

mengendalikan populasi dibutuhkan biaya yang cukup besar (Barus 2003;

Haryatun 2008). Rumput dimanfaatkan sebagai rumput taman,

konservasi tanah dan pakan ternak.

/3/ ! !2$)$

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji potensi dan jenis bahan yang terbaik

untuk seperti: jerami, kulit jagung, daun pisang dan kardus dalam proses

menggunakan cacing tanah dan . Parameter

penelitian yang diamati meliputi (1) laju konsumsi pakan, (2) pertumbuhan cacing

tanah, (3) produktivitas cacing tanah dan (4) komposisi kimia vermikompos.

0 ) ! !2$)$

Hasil dari penelitian ini diharapkan (1) mengetahui vermireaktor untuk

mengelola sampah rumput melalui proses (2)

memberikan informasi tentang penggunaan empat jenis (jerami, kulit

jagung, daun pisang dan kardus) yang terbaik dalam proses

(24)

"&(!( ! 8!"#$5&#'&(

Konsep dimulai dari pengetahuan tentang spesies cacing

tanah tertentu yang memakan sisa bahan organik, mengubah sisa bahan organik

menjadi tanah, menghasilkan unsur hara tanah yang menguntungkan lingkungan.

Cacing tanah dan yang digunakan untuk

memiliki kategori ekologi yaitu , habitat hidupnya di kotoran atau sampah

serta memakan bahan?bahan organik (Lavelle . 1999).

Menurut Dominguez . (1997) mendefinisikan

sebagai proses dekomposisi bahan organik yang melibatkan kerjasama antara

cacing tanah dan mikroorganisme. Komponen utama dalam

terdiri atas: kesesuaian substrat, faktor lingkungan, jenis cacing tanah, desain

dan pengoperasian. Kualitas vermikompos dari limbah organik yang

dihasilkan tergantung dari bahan organik awalnya seperti kotoran hewan, sampah

dedaunan, sampah perkotaan dan limbah industri.

Cacing tanah mempercepat stabilisasi bahan organik dengan bantuan

mikroorganisme aerob dan anaerob yang terdapat di saluran pencernaan cacing

tanah. Cacing tanah merubah bahan organik secara alami menjadi bentuk yang

halus, mengandung humus dan vermikompos, yang merupakan nutrisi penting

bagi tumbuhan. Mikrorganisme menyebabkan degradasi secara biokimia bahan

organik dan cacing tanah memiliki peran mengubah substrat melalui akfitas secara

biologi. Mikroorganisme yang berperan dalam proses terutama

bakteri, fungi dan actinomycetes (Dominguez . 1997).

menghasilkan dua manfaat utama, yaitu biomassa cacing

tanah dan vermikompos (Sharma . 2005). Vermikompos memiliki struktur

halus, partikel?partikel humus yang stabil, porositas, kemampuan menahan air dan

aerasi, kaya nutrisi, hormon, enzim dan populasi mikroorganisme (Lavelle .

1999). Vermikompos yang dihasilkan berwarna coklat gelap, tidak berbau dan

(25)

Chaudhuri & Bhattacharjee (2002) mensyaratkan cacing tanah yang

digunakan dalam proses memiliki memiliki laju reproduksi yang

tinggi, tingkat produksi kokon yang tinggi, waktu perkembangan kokon yang

pendek dan keberhasilan penetasan kokon yang tinggi. Selain itu, cacing tanah

yang memiliki tingkat konsumsi bahan organik yang tinggi dan toleransi terhadap

perubahan lingkungan yang luas dapat digunakan di dalam proses

(Edwards 1998; Dominguez . 2000).

Beberapa spesies cacing tanah yang digunakan dalam proses

adalah: (Albanell 1988), (Reinecke . 1992),

(Gunadi . 2003), (Grag . 2005); (Delgado . 1995);

, (Banu . 2008);" # (Suthar 2007a).

5(& &#$ %$ *

-Cacing tanah dan termasuk ke dalam filum Annelida,

Kelas Clitellata, Sub Kelas Oligochaeta (Brusca & Brusca 2003). Cacing tanah

terbagi ke dalam 5 famili, yaitu Moniigastridae, Megascolecidae, Eudrilidae,

Glossoscolecidae dan Lumbricidae (Edward & Lofty 1972).

Habitat hidup dan dijumpai di tempat yang lembab,

dan hidup dalam kotoran hewan (Hartenstein . 1979; Edwards . 1988;

Gunadi . 2003). Cacing memiliki warna tubuh coklat tua dengan

belang kuning antar segmen tubuhnya. Bentuk tubuh bulat dengan panjang ± 32?

130 mm dan segmen tubuhnya berjumlah ±80?110 segmen. Cacing

memiliki warna merah kecoklatan atau merah violet pada bagian dorsalnya

sedangkan di bagian ventralnya berwarna lebih pucat. Bentuk tubuh agak pipih

dengan panjang 25?105 mm, dan segmen berjumlah 95?120 segmen. Memiliki

seta disetiap segmennya yaitu rambut yang keras, berukuran pendek dan

jumlahnya sedikit (Edward & Lofty 1972).

Famili Lumbricidae mencakup semua spesies cacing tanah, dengan tubuh

yang relatif besar dan pemakan serasah. Lumbricidae memiliki seta yang kadang

dengan ornamen . Lubang jantan ( ! umumnya terdapat pada

(26)

14. Testes terdiri dari dua pasang, dan terdapat pada segmen 10 dan 11. Testes

tidak mempunyai prostat, tetapi kadang kala terdapat kelenjar berbentuk prostat

dan spermatekanya sangat sederhana. Ovari terdapat pada segmen ke?13 bagian

posterior testes. Lambung sederhana dan berkembang baik, terdapat di depan

usus. Esophagus mengandung kelenjar kalsiferus yang berfungsi untuk

menetralisir media jika dalam kondisi asam. Klitelum berbentuk , terdapat

di bagian posterior dari lubang jantan (Edward & Lofty 1972).

2 ($0$5 ($ 5&2&*$ &2 ! % "$ 5

Spesies cacing tanah yang berbeda memiliki sejarah hidup yang berbeda

dan menempati ruang ekologi yang berbeda. Lee (1985) mengelompokkan spesies

cacing tanah ke dalam tiga katagori ekologi berdasarkan strategi mencari makanan

dan membuat liang, yaitu spesies , dan .

Cacing tanah hidup dan mencari serasah di lapisan atas tanah.

Cacing tanah memiliki tubuh kecil (1−7 cm), dan sangat sensitif terhadap

perubahan cahaya, contohnya (Hartenstein 1979; Sherman 2003)

dan (Kale & Bano 1988) Cacing tanah membuat

liang ephemeral ke dalam tanah selama periode diapause (Edward & Lofty 1972).

Spesies cacing tanah mempunyai daerah mencari makanan yang

luas, membuat liang secara horizontal dengan kedalaman ± 50 cm dan sangat

baik untuk (Sherman 2003). Cacing tanah ini memiliki ukuran panjang

tubuh 2−12 cm sebagai contoh Cacing tanah jenis ini

tidak memiliki pigmen tubuh dan membuat liang horizontal yang bercabang ke

dalam. Cacing tanah endogeic tidak memiliki pengaruh yang besar dalam

penguraian sampah karena cacing ini memakan bahan?bahan di bawah permukaan

tanah.

Spesies cacing tanah yang hidup memakan organik dan

mengubahnya menjadi humus. Cara hidupnya dengan mengambil serasah dari

permukaan tanah dan membawanya dengan menggali tanah sampai kedalaman

mencapai 2 m. Spesies cacing tanah yang hidup di lokasi ini memiliki ukuran

(27)

mengeluarkan sisa pencernaannya ( ) pada permukaan tanah dan muncul di

malam hari untuk memakan sampah pada permukaan tanah, kotoran dan bahan

organik lain yang diturunkan ke dalam liangnya. Cacing tanah memiliki

peran dalam dekomposisi bahan organik, siklus makanan dan pembentukan tanah

(Lavelle 1988).

$()"$+/($ !&*" 0$ %$ *

-Distribusi cacing tanah sangat luas di seluruh dunia. Akan tetapi, pada

daerah gurun, kutub, pegunungan dan daerah dengan sedikit tanah dan vegetasi

cacing tanah jarang ditemukan. Beberapa spesies cacing tanah yang terdistribusi

secara luas dikenal dengan istilah perigrin, sedangkan spesies yang hanya terdapat

pada satu daerah tertentu dikenal dengan istilah endemik (Hendrix & Bohlen

2002).

Cacing tanah umumnya hidup di darat dan beberapa hidup di air tawar.

Cacing tanah hidup pada suhu sedikit panas sampai daerah lebih dingin di daerah

Hemisphere bagian Utara, Jepang, Siberia, Asia Tengah, Eropa, India Utara dan

Pakistan, Israel, Jordan dan Amerika Utara. Wilayah distribusi sp

terdapat di Siberia, Rusia bagian selatan, Israel, Eropa dan Amerika Utara.

Wilayah distribusi sp terdapat di Siberia, Eropa, Iceland, Amerika

Utara dan telah tersebar luas di dunia (Edward & Lofty 1972). Hal ini berkaitan

dengan pola distribusi yang meliputi tiga faktor utama yaitu geografi,

distribusi alami dan distribusi oleh manusia (Monroy 2006).

! **/ !

Penambahan suatu lapisan bahan organik di atas permukaan substrat dapat

menjadi tempat berlindung bagi cacing tanah dari suhu tinggi selama proses

dekomposisi. Lapisan dari bahan organik ini disebut (Lavelle . 1999)

Menurut Munroe (2004) ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam

mempersiapkan bahan untuk agar cacing tanah dapat hidup pada tempat

yang homeotatis seperti habitat alaminya.

Pertama, bahan yang digunakan memiliki kemampuan untuk menyerap

(28)

tanah bernafas dan bertahan hidup. Kedua, memiliki kemampuan menjaga

sirkulasi udara atau aerasi di dalam wadah. Jika bahan yang digunakan terlalu

padat atau wadah yang terlalu sempit maka akan menghambat aliran udara

sehingga mengakibatkan cacing tanah kekurangan oksigen. Bentuk serta ukuran

partikel, tekstur dan struktur bahan dapat mempengaruhi aliran udara di dalam

wadah. Ketiga, memiliki kandungan protein yang rendah dan rasio C:N

yang tinggi. Kadar protein atau nitrogen yang tinggi mengakibat terjadinya

peningkatan suhu di dalam wadah.

Bahan?bahan yang digunakan sebagai memiliki keuntungan dan

karakteristik yang berbeda?beda. Pemilihan jenis merupakan salah satu

faktor penentu suksesnya proses dan . Menurut

Dickerson (2001) potongan koran kertas komputer, karton, kardus, potongan

daun, jerami, rumput kering atau tanaman yang mati, serbuk gergaji, lumut dapat

dimanfaatkan sebagai . Bahan?bahan ini mudah didapat dan merupakan

sampah yang belum dimanfaatkan dengan baik.

Bahan harus memiliki kandungan selulosa yang tinggi untuk

pengaturan aerasi di dalam wadah sehingga cacing mendapatkan sirkulasi udara

yang baik. Menurut Munroe (2004) pemilihan jenis yang tepat

merupakan kunci untuk keberhasilan proses Jerami, kulit

jagung, daun pisang dan kardus juga memiliki potensi sebagai karena

bahan?bahan ini memiliki karakteristik sebagai seperti kemampuan

menyerap air dan sirkulasi udara dengan kategori sedang?baik dan rasio C:N (48?

563) (Munroe 2004).

$($&2&*$ %$ *

-$()!# !'"& /5($

Cacing tanah bersifat hermaprodit atau biseksual, artinya pada setiap tubuh

cacing tanah terdapat alat kelamin jantan dan betina sekaligus (unisex). Namun,

dalam proses kawin ( ) cacing tanah akan berpasangan dengan cacing lain,

(29)

Metode kopulasi ketika akan melakukan perkawinan dua spesies cacing

tanah saling berdekatan dengan mendeteksi mukus yang dikeluarkan oleh bagian

ventral tubuhnya secara bersama?sama. Ujung kepala cacing tanah terletak pada

arah yang berlawanan. Keduanya saling mendekatkan diri pada daerah

pembukaan spermateka dimana daerah klitelum salah satu cacing tanah

menyentuh permukaan spermateka yang lainnya. Pada saat kopulasi, kedua cacing

tanah tidak sensitif dalam merespon rangsangan luar seperti sentuhan dan cahaya.

Banyak mukus yang disekresikan sehingga masing?masing cacing tanah

diselubungi oleh mukus antara segmen sembilan dan sisi posterior klitelum,

mukus?mukus tersebut saling melekat (Gambar 1) (Edwards & Lofty 1972).

Gambar 1 Perkawinan dan pembentukkan kokon (Dominguez .

2003; Davidson & Stahl 2005).

Sebuah celah semen terbentang dari gonofor jantan sampai klitelum

terlihat seperti benang. Tiap?tiap celah semen merupakan bagian dari dinding luar

tubuh yang melekuk ke dalam akibat dari terbentuknya rangkaian pori?pori oleh

kontraksi otot yang terbentang pada lapisan otot longitudinal. Kontraksi otot

membawa cairan sperma dari gonofor jantan menuju daerah klitelum. Cairan

sperma berkumpul di daerah klitelum dan akhirnya memasuki spermateka cacing

(30)

Setelah kopulasi berlangsung, cacing tanah terpisah dan masing?masing

klitelum mengeluarkan getah mukus yang akhirnya mengeras di sekeliling

permukaan luarnya. Ketika getah mukus mengeras, cacing tanah bergerak ke arah

belakang kemudian membuat selubung di sekeliling kepalanya dan ketika cacing

tanah terpisah sempurna, ujung selubung menutup untuk membentuk kokon.

Kokon mengandung cairan albumin yang diproduksi oleh kelenjar klitelum, ovum

dan spermatozoa yang disalurkan ke dalamnya ketika melewati pembukaan

spermateka. Kokon akan terus diproduksi sampai cairan sperma yang tersedia

habis. Fertilisasi terjadi secara eksternal tubuh cacing tanah, di dalam kokon

(Gambar 2) (Edwards & Lofty 1972).

Gambar 2 Bentuk, ukuran dan posisi spermatopore , sperma (a)

spermatopore (b &c), lokasi spermatopore pada dinding tubuh (d)

(Monroy . 2003)

Warna kokon berubah sesuai dengan perkembangannya. Pada saat

terbentuk kokon berwarna keputihan, kemudian berubah menjadi kuning,

kehijauan dan kecoklat?coklatan. Kokon yang berwarna kecoklatan

mengindikasikan perkembangan yang matang dan siap untuk menetas (Gambar 3)

(31)

Gambar 3 Kokon (a), kokon (b) dan penetasan kokon menjadi

juvenil (c).

Jumlah ovum yang dibuahi di dalam setiap kokon berkisar 1?20 untuk

cacing tanah Lumbricidae, tetapi tidak lebih dari satu atau dua yang bertahan

hidup dan menetas menjadi juvenil (Stephenson 1930). Penetasan kokon

dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Gerard 1967; Chaudhuri & Bhattacharjee

2002). Menurut Reinecke . (1992) suhu yang lebih tinggi dari 25 0C

menurunkan masa inkubasi rata?rata kokon cacing tanah .

$()!# ! %!"

Sistem pencernaan cacing tanah terdiri atas rongga mulut, faring, esofagus,

tembolok, lambung dan usus. Cacing tanah memperoleh makanan dari bahan

organik berupa organ tumbuhan, protozoa, rotifera, nematoda, bakteri, fungi dan

sisa?sisa pembusukan hewan (Edwards & Lofty 1972). Menurut Gansen (1962)

berdasarkan segmennya, bagian tubuh cacing tanah dikelompokkan ke dalam tiga

daerah sebagai berikut (Gambar 4):

1. Daerah penerima, terdapat pada segmen 1?14. Daerah ini terdiri atas

mulut, esofagus dan kelenjar faring tak berpembuluh yang mensekresi

getah asam yang mengandung enzim amilase.

2. Daerah sekresi, terdapat pada segmen 15?44. Daerah ini terdiri atas

tembolok, yang menuju ke lambung dan usus. Cacing tanah mensekresi

dua enzim protease dan satu enzim amilase terutama dari “sel piala”

dinding usus yang mensekresi banyak getah. Makanan yang telah dicerna

melintasi aliran darah di sepanjang epithelium usus dan dialirkan ke

a b c

(32)

berbagai bagian tubuh dan jaringan untuk digunakan dalam proses

metabolisme dan sebagai cadangan makanan.

3. Daerah absorpsi, terdapat pada segmen 44 sampai ke anus. Bahan

makanan yang tidak dicerna di dalam usus diselubungi oleh membran

peritrofik yang melapisi usus. Ketika bahan makanan diekskresi, membran

peritrofik akan membungkus (sisa pencernaan/kotoran cacing)

(Gansen 1962).

Tembolok berupa esofagus yang membesar untuk menyimpan makanan.

Lambung mencerna pakan secara mekanis dengan bantuan batuan kecil yang turut

masuk bersama pakan. Kelenjar kalsiferus yang dihasilkan oleh organ pencernaan

berfungsi untuk menyerap kalsium dari bahan yang dicerna. Kalsium berguna

untuk menetralisir media jika kondisinya asam. Tiflosol merupakan bagian dari

usus yang berlipat?lipat, berguna untuk memperluas permukaan usus. Lambung

dan usus mensekret enzim?enzim seperti protease, lipase, amilase, sellulase, dan

kitinase (Hand 1988). Selain itu fungi, algae, aktinomisetes dan mikroba hidup

pada usus cacing tanah. Sel kloragen adalah sel berpigmen pada usus tengah yang

berfungsi sebagai tempat metabolisme dan berperan dalam ekskresi. Lambung dan

usus bekerja sebagai bioreaktor dan hanya 5?10 % komponen organik dicerna dan

diserap tubuh selanjutnya dikeluarkan berupa butiran yang dilapisi mukus disebut

vermikompos (Hand 1988).

(33)

$()!# !5(5"!($

Organ ekskresi cacing tanah terdiri atas sepasang nefridia dan

metanefridia yang terletak di seluruh segmen tubuh kecuali pada tiga segmen

pertama dan terakhir. Sistem ekskresi bersifat sebagai penyaring yang

menggerakkan sisa atau sampah dan mengembalikan substansi yang berguna ke

sistem sirkulasi (Edward & Lofty 1972).

Nefridia berperan sebagai penyaring diferensial, karena terdapat lebih

banyak urea dan amonia. Kreatinin dan protein di dalam urin yang dihasilkan

lebih sedikit daripada di dalam cairan selom (Ramsay 1949). Nefridia memiliki

tiga fungsi pada proses ekskresi, yaitu filtrasi, reabsorbsi dan transformasi

kimiawi (Bahl 1947). Metanefridia cacing tersusun atas preseptal nefrostom,

postsegmental nefridioduct dan nefridiofor. Nefrostom bersilia bermuara di

rongga tubuh (pseudoselom) dan berlanjut pada saluran berliku?liku

(nefridioduct). Bagian akhir dari nefridioduct akan membesar seperti gelembung.

Gelembung ini akan bermuara ke bagian luar tubuh melalui pori yang merupakan

lubang nefridiofor. Ujung nefridiofor berbentuk bulbus berfungsi untuk

mendorong sisa atau sampah keluar tubuh (Gambar 5) (Edward & Lofty 1972).

(34)

Cairan yang diserap pada proses ekskresi berupa sisa atau sampah nitrogen

(amonia, urea, asam urat), protein selomik, air dan ion (Na+, K+, Cl?). Cairan tubuh akan ditarik ke nefrostom dan masuk ke nefridium oleh gerakan silia dan

otot. Saat cairan tubuh mengalir melalui nefridioduct, bahan?bahan yang berguna

seperti air, protein dan ion akan diambil oleh sel?sel tertentu dari tabung. Bahan?

bahan ini akan menembus kapiler dan disirkulasikan kembali. Sedangkan sampah

nitrogen dan sedikit air yang tersisa dalam nefridium akan diekskresikan keluar

melalui nefridiofor (Edward & Lofty 1972).

$()!# ( " 0

Sistem saraf utama pada cacing tanah terdiri atas sebuah ganglion serebral

dorsal, sepasang konektif atau penghubung sirkumenterik dan satu buah atau lebih

tali saraf longitudinal. Ganglion serebral dorsal mensuplai saraf bagian anterior

tubuh dan saraf prostomial. Pergerakan tubuh cacing tanah diatur oleh ganglion

subenterik. Sedangkan konektif sirkumenterik dan tali saraf longitudinal cacing

tanah mengontrol saraf sensoris dan motoris keseluruh dinding tubuh serta organ

di setiap segmen (Edward & Lofty 1972).

Organ sensoris cacing tanah terdiri atas dua macam, yaitu organ

fotoreseptor dan organ sensoris epitel. Di dalam setiap sel organ fotoreseptor

terdapat organel optik yang berbentuk lonjong atau memanjang. Permukaan luar

organel terdiri atas retina dan permukaan dalam terdiri atas substansi hialin yang

transparan. Organ sensoris epitel merupakan kumpulan 34?45 sel?sel yang

memanjang, besar dibagian dasarnya dan ujung distalnya berakhir pada

penonjolan rambut?rambut sensori sepanjang daerah kutikula yang tipis. Cacing

tidak memiliki mata, tetapi memiliki sel?sel sensoris yang strukturnya seperti

lensa di daerah epidermis dan dermis, terutama pada prostomium. Bagian tengah

dan prosterior tubuhnya kurang sensitif terhadap cahaya (Laverack 1963).

Organ sensoris yang bereaksi terhadap rangsangan kimia (kemoreseptor)

terdapat pada prostomium (Edward & Lofty 1972). Kemoreseptor berperan

penting dalam kehidupan cacing tanah. Kemereseptor dapat mendeteksi bahan

(35)

kemoreseptor juga berperan dalam proses perkawinan dengan mendeteksi getah

mukus yang dihasilkan oleh cacing tanah yang lain (Smith 1902).

$()!# !('$" ($

Cacing tanah tidak memiliki organ pernafasan yang spesifik, hanya

terdapat pembuluh darah kapiler yang mengandung hemoglobin. Pembuluh darah

ini melekat pada dinding tubuh cacing tanah. Proses pengangkutan oksigen dan

pelepasan karbon dioksida di dalam darah melalui difusi. Proses difusi terjadi

pada jaringan epidermis dan kutikula yang terdapat di permukaan tubuh cacing

tanah (Edward & Lofty 1972).

Pernapasan cacing tanah sangat dipengaruhi oleh kandungan hemoglobin

dan tekanan cairan di dalam tubuh. Hemoglobin mampu menyerap dan

mengalirkan oksigen melalui plasma darah ke seluruh tubuh. Kelembaban tubuh

diatur oleh kutikula melalui proses sekresi kelenjar mukus pada jaringan

epidermis , sehingga menurunkan tekanan cairan di dalam tubuh. Cacing tanah

mampu menyerap oksigen 25?240 mm3/30 menit pada suhu 9 0C? 270C (Pomerat

(36)

&5 ($ 1 5)/ ! !2$)$

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2008 sampai dengan Juni 2009.

Penelitian ini terdiri atas dua tahapan. Tahap pertama yaitu pemeliharaan dan

budidaya cacing tanah. Tahap kedua yaitu meliputi studi pendahuluan,

pengamatan dan pengambilan data. Lokasi penelitian terletak di Bagian Fungsi

Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, FMIPA Institut Pertanian

Bogor.

!#!2$- " +/ $ , % %$ * )

-Pada tahap ini dilakukan penyiapan populasi cacing tanah, media biak, dan

wadah percobaan. Cacing tanah yang digunakan pada penelitian adalah spesies

dan yang telah memiliki klitelum (Gambar 6). Kedua spesies

cacing ini diperoleh dari Bapak Rudi Rochmat pada peternakan ”Kelompok

Cacing Tanah Mandiri” di Desa Warna Sari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten

Bandung. Identifikasi spesies cacing tanah dilakukan di Laboratorium

Entomologi, Bidang Zoologi Puslit Biologi?LIPI, Cibinong. Kedua populasi

cacing tanah dibudidaya di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan

Departemen Biologi IPB selama 10 bulan.

Budidaya menggunakan dua metode, yaitu: sistem , yaitu sistem

budidaya cacing tanah dalam barisan yang disusun sejajar (Gambar 7a), dan

sistem , yaitu sistem budidaya cacing tanah yang menggunakan wadah

(Gambar 7b). Cacing tanah yang dibudidaya pada tahap persiapan sebanyak ± 1

kg untuk spesies dan . Budidaya bertujuan memperbanyak

populasi cacing tanah sehingga dapat dijadikan sebagai stok pada tahap

(37)

Gambar 6 Spesies cacing tanah yang digunakan dalam penelitian: (a) dan (b).

Gambar 7 Pemeliharaan dan budidaya cacing tanah dengan sistem (a)

dan (b).

a b

(38)

Gambar 8 Wadah percobaan (a), bahan organik (b) dan (c).

Media hidup cacing tanah menggunakan campuran kotoran sapi yang

diperoleh dari kandang Fakultas Peternakan IPB. Sebelum digunakan, media

kotoran sapi dikeringanginkan selama ± 10?12 hari bertujuan untuk menguapkan

gas beracun dan memudahkan pencampuran dengan tanah (Garg . 2005).

Tanah diambil dari kedalaman 50?100 cm kemudian dikeringkan selama 7 hari

dan diayak untuk memisahkan dari batuan kerikil, selanjutnya tanah

dihomogenkan dengan kotoran sapi.

b a

(39)

!2 5( ! !2$)$ ! */#'/2 )

Proses pelaksanaan penelitian meliputi persiapan wadah percobaan,

persiapan kotoran sapi, tanah, rumput, cacing tanah dan , pemeliharaan

dan pengukuran parameter penelitian (Gambar 8a). Analisis komposisi kotoran

sapi, tanah dan rumput dilakukan pada akhir penelitian meliputi: C?organik (%),

N?total (%), kadar P (mg/100 g), dan kadar K (mg/100 g).

Wadah percobaan pada penelitian ini berupa wadah plastik berukuran 35

cm x 31 cm x 12,5 cm sebanyak 60 buah. Seluruh wadah percobaan dilubangi

dengan diameter 3 mm, di bagian dasarnya sebanyak 9 lubang dan ditutupi

dengan strimin plastik. Pemberian lubang pada wadah tersebut berfungsi sebagai

aerasi dan untuk mengalirkan kelebihan air pada media.

Media berupa kotoran sapi sebagai starter sebesar 364 g dan tanah 104 g

ditimbangan digital % & ' ()*++ berskala 1500 g. Media dicampur

secara homogen dan diletakkan pada tiap dasar wadah. Pencampuran kotoran sapi

dan tanah dilakukan satu hari sebelum cacing tanah dimasukkan pada media.

Media yang digunakan dalam kondisi suhu 25 0C, kelembaban (RH) 67% dan pH

6.5. Kelembaban media 67% diperoleh dengan cara menambahkan air ke dalam

media.

Bahan organik berupa rumput jenis diperoleh dari sekitar

Kampus IPB dan dimasukkan ke dalam wadah (Gambar 8a). Setelah 7 hari

rumput dicacah kasar ± 2?3 cm kemudian direndam selama 1 hari dan ditiriskan.

Bahan organik ditimbang 156 g dengan timbangan digital % & ' ()*++

berskala 1500 g untuk persediaan bahan selama enam hari dan rumput diganti

setiap minggunya dengan bobot yang sama dan diletakkan bersebelahan dengan

(40)

Tabel 1 Komposisi media biak dan perlakuan yang digunakan dalam percobaan (kotoran sapi 364 g, tanah 104 g, dan rumput 156 g)

No

Cacing tanah dewasa ditimbang 26 g dimasukkan pada rasio cacing tanah :

bahan organik (1:1). Untuk menjaga kelembaban media dan mengurangi

penguapan maka digunakan dari jerami, kulit jagung, daun pisang dan

kardus yang dicacah kasar ± 5?7 cm dan telah direndam dengan air kecuali kardus

yang dibasahi dengan air menggunakan semprotan. Media biak yang telah berisi

cacing tanah ditutupi dengan kain kasa ukuran 30 cm x 30 cm dan empat jenis

, yaitu jerami, kulit jagung, daun pisang dan kardus masing?masing 300

gr.

Cacing tanah dimasukkan pada media dan setiap tujuh hari dilakukan

(41)

dengan air setiap tiga hari sekali. Kondisi tekstur media diamati apabila

ditemukan media terlalu padat maka dilakukan pembalikan, agar aerasi

berlangsung dengan baik.

Pengukuran parameter penelitian dilakukan setiap tujuh hari meliputi:

3/ 5& (/#($ + - &"* $5

Pemberian bahan organik pada cacing tanah berlaku setiap tujuh hari.

Perhitungan bahan dilakukan setiap hari dengan cara mengambilnya dari wadah

secara ( , menimbang dan mengembalikannya kembali ke dalam

wadah. Untuk perhitungan laju konsumsi diperoleh persentase penguraian mutlak

perhari (Boonruang 1984) dengan menggunakan rumus:

Y = ( − ,)#100%

Keterangan:

Y = % bahan organik yang dikonsumsi

BA = bobot awal penimbangan (g)

BK = bobot akhir penimbangan (g)

!")/#+/- % %$ * )

-Cacing tanah dipisahkan dari media dengan metode ( lalu

ditimbang untuk mengetahui bobot tubuhnya (Suthar & Singh 2008). Setelah

ditimbang cacing tanah dimasukkan kembali ke dalam wadah percobaan.

Penimbangan bobot cacing tanah menggunakan timbangan digital % & "- (

.*/)berskala 0.001 g.

"& /5)$8$) ( % %$ * )

-Produktivitas cacing tanah diukur dengan menghitung jumlah kokon yang

dihasilkan dalam tujuh hari. Kokon yang dihasilkan oleh masing?masing spesies

cacing tanah dipisahkan dari media dan ditempatkan pada wadah lain hingga

(42)

per kokon ditetaskan 10 butir kokon dari tiap spesies cacing tanah pada wadah

lain. Selanjutnya, jumlah juvenil yang keluar dari tiap kokon dihitung.

&#'&($($ 5$#$ .$ 8!"#$5&#'&(

Perubahan struktur media dapat ditunjukkan dengan mengambil sampel

media awal (kotoran sapi dan tanah) kemudian ditimbang setiap minggu. Bahan

organik berupa rumput yang telah menjadi vermikompos ditimbang

setiap tujuh hari dengan menggunakan timbangan digital % & ' ()*++

berskala 1500 g.

Cacing tanah dipisahkan dari vermikompos setelah empat minggu

pengamatan untuk dilakukan pemanenan. Pemisahan cacing tanah dilakukan

dengan ( yaitu memisahkan secara manual. Vermikompos yang sudah

dipanen pada perlakuan cacing tanah dan dengan

menggunakan jerami kemudian dilakukan analisis kandungan kimia yaitu

rasio C/N, kandungan P, dan K. Kandungan C organik dianalisis dengan metode

Walkey & Black, N total dengan metode Kjeldahl, P dengan spektrofotometri dan

K dengan Flamefoto metri. Analisis kandungan kimia dilakukan di laboratorium

Tanah dan Tanaman SEAMEO BIOTROP, Bogor.

2$($( )

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (3x4) dengan 5 ulangan. Sebagai

faktor pertama (A) adalah jenis cacing tanah yang terdiri dari: E = ,

L = dan C = kombinasi E dan L. Faktor kedua (B) adalah empat jenis

yaitu jerami, kulit jagung, daun pisang dan kardus, sehingga total

percobaan adalah 60 unit percobaan. Data dianalisis menggunakan program

SYSTAT 12 . Perbedaan antar beberapa perlakuan dianalisis dengan

(43)

$2 $ ' 6 !2!#+ + /-/ ! $ $ /' %$ *

-Hasil pengamatan yang dilakukan setiap tujuh hari selama empat minggu

menunjukkan bahwa pada perlakuan , dan gabungan

dan cenderung pH media hidup menurun pada minggu pertama. Nilai

pH media pada ketiga perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) pada

keempat jenis (Tabel 2). Selanjutnya pH media hidup meningkat dan

mengalami fluktuasi antara 6.3−6.5 (Gambar 9). Keasaman media hidup pada

perlakuan cenderung menurun pada minggu kedua dan cenderung

meningkat pada minggu ketiga dan minggu keempat (Gambar 9b).

Kelembaban media hidup pada perlakuan , dan

gabungan dan cenderung menurun setelah minggu kedua.

Kelembaban media hidup antara 48?67% (Gambar 10). Penurunan kelembaban

media hidup pada perlakuan (48%), perlakuan dan perlakuan

gabungan dan (52%) terendah terjadi pada minggu keempat

(Gambar 10a). Nilai kelembaban (RH) media selama empat minggu pengamatan

menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) pada keempat jenis yang

digunakan (Tabel 2).

Suhu media hidup cacing pada perlakuan , dan

gabungan dan bersama?sama meningkat pada minggu

pertama. Suhu media hidup antara 24.40?27.200C (Gambar 11). Penurunan suhu

pada ketiga perlakuan mulai terjadi pada minggu kedua. Pada perlakuan

minggu keempat penurunan suhu mencapai 24 0C, sedangkan pada perlakuan

dan gabungan dan masing?masing mencapai suhu

24.40 0C dan 25 0C (Gambar 11). Suhu media pada perlakuan

menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) pada keempat jenis yang

dipergunakan terjadi pada minggu pertama, ketiga dan keempat (Tabel 2). Pada

perlakuan suhu media minggu pertama menunjukkan berbeda nyata

(44)

menggunakan empat jenis menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) pada

minggu pertama, kedua dan ketiga perlakuan (Tabel 2).

Tabel 2 Hasil ANOVA laju konsumsi, bobot cacing tanah, jumlah kokon, pH,

kelembaban dan suhu pada perlakuan , serta

gabungan dan pada empat jenis setelah 4

minggu (M1?M4).

" #!)!" $2 $ '

Perlakuan M1 M2 M3 M4

0.137 0.801 0.053 0.856

0.068 0.616 0.040 0.288

1. Laju konsumsi

Gabungan dan 0.738 0.013 0.756 0.065

0.040 0.017 0.476 0.594

0.239 0.023 0.066 0.156

2. Bobot cacing tanah

Gabungan dan

0.013 0.001 0.000 0.002

0.002 0.000 0.002 0.001

0.002 0.216 0.075 0.002

3. Jumlah kokon

Gabungan dan

0.055 0.238 0.017 0.005

0.313 0.362 0.547 0.002

0.284 0.907 0.044 0.229

4. pH

Gabungan dan

0.441 0.299 0.547 0.299

0.940 0.966 0.285 0.044

0.892 0.949 0.155 0.451

5. Kelembaban

Gabungan dan

0.532 0.459 0.299 0.362

(45)

0.003 0.374 0.062 ?

Gabungan dan

(46)

Gambar 9 pH media cacing tanah a) b) dan c) gabungan

dan pada empat jenis .

(47)

Gambar 10 Kelembaban media cacing tanah a) b) dan c)

gabungan dan pada empat jenis .

(48)

Gambar 11 Suhu media cacing tanah a) b) dan c) gabungan

dan pada empat jenis .

(49)

3/ & (/#($ - "* $5

Laju konsumsi pakan selama empat minggu pengamatan

menunjukkan peningkatan (Gambar 12). Laju konsumsi tertinggi terlihat pada

cacing yang dipelihara di dalam jerami sebesar 29.49 % pada akhir

minggu ketiga (Gambar 12c). Laju konsumsi terendah terlihat pada cacing yang

dipelihara di dalam daun pisang sebesar 11.67 % pada akhir minggu

kedua (Gambar 12b). Konsumsi pakan pada akhir minggu menunjukkan tidak

berbeda nyata (p>0.05) antara keempat jenis yang dipergunakan selama

empat minggu pengamatan (Tabel 2).

Gambar 12 Konsumsi pakan pada empat jenis .

(50)

Konsumsi pakan pada keempat jenis juga

menunjukkan peningkatan pada akhir minggu selama empat minggu penelitian

(Gambar 13). Konsumsi tertinggi terlihat pada cacing yang dipelihara di dalam

daun pisang sebesar 29.68 % pada akhir minggu ketiga (Gambar 13c).

Konsumsi pakan terendah terlihat pada cacing yang dipelihara di dalam

kardus sebesar 10.77 % pada akhir minggu kedua (Gambar 13b). Konsumsi pakan

cacing pada empat jenis yang berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata

(P>0.05) setiap akhir minggu selama empat minggu pengamatan (Tabel 2).

Gambar 13 Konsumsi pakan pada empat jenis

(51)

Gambar 14 Konsumsi pakan gabungan dan pada empat jenis .

Laju konsumsi pakan gabungan dan secara bersama?

sama juga meningkat pada setiap akhir minggunya (Gambar 14). Laju konsumsi

tertinggi terlihat pada gabungan spesies cacing yang dipelihara di dalam

daun pisang sebesar 27.63 % pada akhir minggu ketiga (Gambar 14c). Laju

konsumsi pakan terendah terlihat pada gabungan kedua spesies cacing yang di

pelihara di dalam kardus sebesar 11.28 % pada akhir minggu kedua

(Gambar 14b). Konsumsi pakan menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) pada

empat yang berbeda setiap akhir minggunya selama empat minggu

(52)

!")/#+/- %$ *

-Gambar 15 Pertumbuhan biomassa spesies cacing tanah a) b)

dan c) gabungan dan pada empat jenis .

(53)

Pertumbuhan biomassa terjadi pada minggu pertama kemudian

mengalami penurunan pada minggu kedua, ketiga dan keempat (Gambar 15a).

Pertumbuhan ini hanya menunjukkan perbedaan yang nyata (p=0.017) pada empat

yang berbeda pada minggu kedua (Tabel 2). Pertumbuhan tertinggi

terlihat pada cacing yang dipelihara di dalam kardus sebesar 38.45±2.05

g pada minggu pertama. Pertumbuhan terendah terlihat pada cacing yang

dipelihara di dalam kulit jagung sebesar 21.24±4.51 g pada minggu

keempat (Gambar 15a). Pertumbuhan biomassa cacing pada empat jenis

yang berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) pada minggu pertama,

ketiga dan keempat (Tabel 2).

Pada Gambar 15b pertumbuhan biomassa tertinggi terlihat

pada minggu pertama, sedangkan pada minggu kedua, ketiga dan keempat

mengalami penurunan. Pertumbuhan biomassa cacing pada empat yang

berbeda menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) pada minggu pertama, ketiga

dan keempat, sedangkan pada minggu kedua pertumbuhan cacing menunjukkan

berbeda nyata (p=0.023) pada empat yang berbeda (Tabel 2).

Pertumbuhan tertinggi terlihat pada cacing yang dipelihara di dalam kulit

jagung sebesar 39.90±2.38 g pada minggu pertama. Pertumbuhan terendah terlihat

pada cacing yang dipelihara di dalam daun pisang sebesar 23.55±3.24 g

pada minggu keempat.

Pertumbuhan gabungan dan yang dipelihara di dalam

empat jenis yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) selama

empat minggu pengamatan. Pertumbuhan tertinggi gabungan kedua spesies cacing

terlihat pada daun pisang sebesar 38.21±1.87 g pada minggu pertama.

Pertumbuhan terendah terlihat pada gabungan kedua spesies cacing yang

dipelihara pada kardus sebesar 18.97±4.01 g pada minggu keempat

(54)

"& /5)$8$) ( %$ *

-Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan produksi kokon

pada minggu kedua. Produksi kokon ini menunjukkan berbeda nyata (p<0.05)

pada empat yang berbeda selama empat minggu pengamatan (Tabel 2).

Peningkatan rata?rata produksi kokon tertinggi pada cacing yang dipelihara di

dalam jerami sebesar 128.20±20 kokon. Produksi kokon terendah terlihat

pada cacing yang dipelihara di dalam kardus sebesar 11.20±5.17 kokon

(Gambar 16). Pada minggu ketiga dan keempat jumlah kokon yang diproduksi

oleh mengalami penurunan dari minggu sebelumnya (Gambar 16a).

Jumlah rata?rata kokon tertinggi terlihat pada minggu ketiga

sebesar 80.00±16.94 kokon dengan menggunakan jerami. Produksi kokon

terendah terlihat pada cacing yang dipelihara di dalam daun pisang

sebesar 12.40±5.03 kokon (Gambar 16b). Produktivitas cacing ini menunjukkan

tidak berbeda nyata (p>0.05) pada empat yang berbeda pada minggu

kedua dan ketiga. Peningkatan produksi kokon terlihat berbeda nyata

pada minggu pertama (p=0.002) dan minggu keempat (p=0.002) (Tabel 2).

Peningkatan jumlah produksi kokon tertinggi gabungan dan

yang dipelihara di dalam jerami sebesar 91.80±13.92 kokon

pada minggu kedua. Produksi kokon terendah terlihat pada gabungan kedua

spesies cacing yang dipelihara di dalam daun pisang sebesar 11.20±5.36

kokon pada minggu keempat (Gambar 16c). Produksi kokon menunjukkan

(55)

Gambar 16 Jumlah rata?rata kokon yang dihasilkan cacing tanah a) b)

dan c) gabungan dan pada empat jenis

(56)

Tabel 3 Hasil ANOVA waktu inkubasi, jumlah juvenil, rasio C:N, P dan K

vermikompos menggunakan jerami pada perlakuan dan

setelah 4 minggu.

" #!)!" # # $2 $ '

1. Waktu inkubasi (hari) 17.8±2.49 17.6±2.80 0.086

2. Jumlah juvenil (individu) 3.00±0.82 3.40±0.70 0.255

3. Rasio C:N vermikompos ? ? 0.626

4. Rasio P vermikompos ? ? 0.614

5. Rasio K vermikompos ? ? 0.430

Gambar 17 Jumlah kokon total setiap spesies pada empat jenis .

Jumlah kokon yang dihasilkan berjumlah 6869 kokon lebih

banyak dibandingkan yang menghasilkan 5726 kokon selama empat

minggu pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan penggunaan kardus

menghasilkan produksi kokon yang lebih tinggi dibandingkan

dan pada jerami, kulit jagung dan daun pisang (Gambar 17).

Dari 10 kokon yang diinkubasi diperoleh masa inkubasi kokon antara 14?

21 hari. Rata?rata waktu yang diperlukan untuk menetaskan kokon

17.8±2.49 hari dan 17.6±2.80 hari (Gambar 18a). Masa inkubasi rata?

0

Jerami Kulit jagung Daun pisang Kardus

(57)

rata antara dan tidak berbeda nyata (p=0.868) (Tabel 3).

Untuk rata?rata juvenil yang dihasilkan 3.00±0.82 juvenil dan

3.40±0.70 juvenil (Gambar 18b), dan kedua spesies cacing tanah menunjukkan

tidak berbeda nyata (p=0.255) (Tabel 3).

Gambar 18 a) Masa inkubasi rata?rata kokon dua spesies cacing tanah dan b) Jumlah rata?rata juvenil tiap kokon cacing tanah (rata?rata±SD).

(58)

&#'&($($ $#$ !"#$5&#'&(

Hasil analisa vermikompos pada perlakuan dan

dengan menggunakan jerami menunjukkan rasio C:N pada pakan awal

tidak berbeda nyata (p=0.626) (Tabel 3) dari vermikompos yang dihasilkan oleh

dan (Tabel 4). Peningkatan kandungan unsur P pada awal dan

akhir vermikompos terlihat tidak berbeda nyata (p=0.614).

Peningkatan kandungan unsur K antara vermikompos yang dihasilkan oleh

dan tidak berbeda nyata (p=0.430).

Tabel 4. Kandungan kimiawi vermikompos cacing tanah dan

dengan menggunakan jerami.

Huruf yang sama di belakang angka dalam baris atau kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05).

Tabel 5 Hasil ANOVA bobot basah media pada perlakuan ,

serta gabungan dan pada empat jenis

setelah 4 minggu (M).

" #!)!" $2 $ '

Perlakuan M1 M2 M3 M4

0.004 0.001 0.003 0.003

0.011 0.004 0.019 0.190

1. Bobot basah media

Gabungan dan 0.004 0.000 0.001 0.019

(59)

Pada Gambar 19a menunjukkan penurunan bobot media basah

pada kardus sebesar 269.30±33.53 g terjadi pada minggu keempat.

Penurunan bobot basah media ini menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

pada empat yang berbeda selama empat minggu pengamatan. Rata?rata

penurunan bobot basah media di dalam kardus sebesar

295.40±18.78 g pada minggu keempat (Gambar 19b). Penurunan ini menunjukkan

perbedaan yang nyata (p<0.05) pada empat jenis yang berbeda nyata pada

minggu pertama, kedua dan ketiga (Tabel 5). Penurunan bobot basah media

gabungan dan menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) antara

keempat yang berbeda pada setiap minggu. Penurunan bobot basah media

pada gabungan spesies cacing terlihat pada kardus sebesar 285.70±34.05

(60)

Gambar 19 Penurunan bobot basah media cacing tanah a) b)

dan c) gabungan dan pada empat jenis .

(61)

! * "/- !)!"- ' 3/ & (/#($ - "* $5

Laju konsumsi bahan organik optimal pada ketiga perlakuan, terjadi pada

akhir minggu ketiga pada perlakuan (Gambar 13c). Penurunan

konsumsi pakan mungkin disebabkan cacing tanah lebih dahulu mengkonsumsi

kotoran sapi daripada rumput pada minggu kedua, akan tetapi laju konsumsi

meningkat pada akhir minggu ketiga. Hal ini sesuai dengan pernyataan Van Rhee

(1977) bahwa cacing tanah dan merupakan spesies cacing

tanah yang hidupnya bergantung pada ketersedian kotoran hewan. Cacing tanah

mengkonsumsi pakannya dengan lambat jika tidak tersedia bahan pemikatnya

seperti kotoran sapi (Sinha . 2002).

Perbedaan persentase laju konsumsi mungkin disebabkan oleh spesies

cacing tanah. Meskipun secara ekologi dan termasuk

tetapi mempunyai habitat yang berbeda, yaitu cenderung berada di

permukaan media sedangkan berada di dalam dan di permukaan

media. Kemampuan dispersal yang luas menyebabkan tingginya

aktivitas mencari makan, sehingga laju konsumsi menjadi lebih tinggi

(Hendrix & Bohlen 2002; Lowe & Butt 2001;2002).

Faktor yang mungkin menyebabkan perbedaan laju konsumsi adalah suhu,

pH, dan kelembaban media. Selama proses konsumsi bahan organik berlangsung,

suhu di dalam wadah pemeliharaan pada empat yang berbeda relatif sama

pada 250C, 25.80C serta gabungan dan

250C. Laju konsumsi bahan organik pada lebih cepat dibandingkan

dan gabungan dan . Menurut Hou . (2005) suhu

yang tercatat selama proses sampah sayuran antara 15?28 0C.

Cacing tanah hidup pada suhu 15?25 0C dan mampu bertahan hingga suhu 300C,

tetapi bila lebih dari suhu 35 0C maka cacing akan mengalami kematian

(Neuhauser . 1988).

Berdasarkan pengamatan, laju konsumsi bahan organik terjadi pada pH

(62)

mengkonsumsi bahan organik dengan baik pada pH 6.4. Singh . (2005)

menyatakan bahwa pH selama berlangsung antara 4.3?8.3.

Cacing tanah tidak menyukai bahan organik yang mengandung asam, karena itu

pemisahan pakan dari media dapat menstabilkan pH (Nair . 2006). Jadia &

Fulakar 2008 melaporkan bahwa perubahan suhu dan pH disebabkan oleh reaksi

oksidasi mikroorganisme yang mengkonversi bahan organik menjadi asam?asam

organik pada fase mesofilik dan amonia pada fase termofilik.

Kelembaban media juga mempengaruhi laju konsumsi cacing tanah.

Berdasarkan hasil pengamatan terlihat kelembaban selama proses konsumsi bahan

organik oleh kedua spesies cacing tanah dan gabungan keduanya pada empat

yang berbeda antara 58?67 %. Menurut Gunadi . (2003) kelembaban

yang rendah menyebabkan cacing tanah menghindar dan mencari media yang

lebih lembab, dan jika kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan cacing

tanah mati. Perbedaan tingkat kelembaban menyebabkan metabolisme cacing

tanah untuk menghasilkan energi berbeda sehingga mempengaruhi laju

konsumsinya (Jadia & Fulakar 2008). Kaplan . (1980) menambahkan

kelembaban yang rendah 46?56% dapat menurunkan laju konsumsi dan

pertumbuhan . Sesuai dengan hasil penelitian Parvaresh . (2004) &

Palsania (2008) yang menyatakan kelembaban selama proses

antara 59.5?71.9 %.

Berdasarkan pengamatan dan analisis data terlihat bahwa pengaruh empat

jenis terhadap laju konsumsi bahan organik ketiga perlakuan cacing tanah

tidak berbeda nyata (p>0.05). Pengaruh empat jenis yang berbeda

terhadap peningkatan dan penurunan laju konsumsi pada akhir minggu ketujuh

bervariasi. Hasil laju konsumsi bahan organik yang bervariasi mengakibatkan

sulitnya menentukan jenis terbaik pada parameter laju konsumsi bahan

organik. Laju konsumsi bahan organik pada , serta gabungan

dan relatif sama, berturut?turut 29.49 %, 29.68 % dan 27.63

% Menurut Munroe (2004) pemilihan hendaknya memperhatikan aerasi,

struktur, bentuk, dan ukuran partikel bahan serta kemampuan absorbansi untuk

(63)

! * "/- !)!"- ' !")/#+/- %$ *

-Pertumbuhan biomassa perlakuan , serta gabungan

dan dengan menggunakan empat jenis pada akhir

minggu keempat menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05). Pola pertumbuhan

untuk ketiga perlakuan cacing tanah bervariasi setiap minggunya pada keempat

jenis yang berbeda, sehingga sulit menentukan jenis yang

memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan biomassa kedua spesies cacing

tanah dan gabungannya. Manaf . (2009) menyatakan bahwa perbedaan

pertumbuhan cacing tanah " # # pada koran dan serutan

gergaji disebabkan oleh karakteristik fisik (struktur, bentuk, dan ukuran )

dan pakan yang diberikan.

Pertumbuhan biomassa lebih tinggi dibandingkan dan

gabungan kedua spesies cacing tanah. Hal ini menunjukkan laju konsumsi yang

tinggi oleh terhadap bahan organik. Menurut Aira . (2006) kualitas

bahan organik yang baik tidak hanya meningkatkan populasi cacing tanah tetapi

juga pertumbuhan dan reproduksinya. Menurut Elvira . (1996) dan Garg .

(2005) yang mempelajari pola pertumbuhan dan dengan

menggunakan kotoran sapi menunjukkan laju pertumbuhan masing?masing 16.3

mg hari1dan 5.3 mg hari1.

Berdasarkan pengamatan, cacing tanah memilih mengkonsumsi kotoran

sapi terlebih dahulu dibandingkan sampah rumput sehingga mungkin

menyebabkan perbedaan pertumbuhan cacing tanah. Perbedaan jenis dan kualitas

pakan mempangaruhi pertumbuhan cacing tanah (Suthar 2007b). Berkurangnya

relung atau untuk mencari pakan karena persaingan antar individu cacing

tanah, mungkin menyebabkan pertumbuhannya menjadi berbeda. Menurut Elvira

. (1996) persaingan untuk mendapatkan pakan antar individu menyebabkan

perbedaan pertumbuhan spesies cacing tanah.

Cacing tanah dan merupakan dua spesies cacing tanah

yang hidup secara dan hidup bersimbiosis netral. Hal ini terlihat dari laju

(64)

Edwards (1988) cacing tanah dan merupakan spesies yang

teridentifikasi mampu untuk mendegradasi sisa bahan?bahan organik, akan tetapi

tidak semua bahan?bahan organik itu mampu didegradasi dan dikonsumsi serta

meningkatkan laju pertumbuhan cacing tanah.

Faktor lain yang mungkin menyebabkan perbedaan pertumbuhan adalah

kemampuan toleransi terhadap perubahan lingkungan yang lebih baik

dibandingkan . Hal ini sesuai penelitian Elvira . (1996) yang

menyatakan pertumbuhan biomassa terjadi sangat cepat dan memiliki

toleransi terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH dan kelembaban.

Kondisi pH, kelembaban dan suhu pada media hidup sangat berperan

dalam kelanjutan kehidupan cacing tanah. Hasil pengamatan menunjukkan

pertumbuhan biomassa yang baik berlangsung pada pH 6.4, kelembaban

63 % dan suhu 26.6 0C. Pada berlangsung pada pH 6.34, kelembaban

63.4 % dan suhu 25.8 0C serta gabungan kedua spesies cacing tanah terjadi pada

pH 6.38, kelembaban 65 % dan suhu 26 0C. Kondisi pH, kelembaban dan suhu

yang terkandung dalam media hidup tersebut mendukung proses kehidupan cacing

tanah. Menurut Edwards (1988) pertumbuhan cacing tanah dan

relatif lebih toleran terhadap perubahan pH dibandingkan suhu dan

kelembaban. Menurut Haimi & Huhta (1986), dapat hidup baik pada

media dengan campuran kotoran anjing dan sampah rumah tangga pada pH 6.2,

kelembaban 80 % dan suhu antara 22?260C.

Pertumbuhan biomassa cacing tanah berlangsung pada pH 5.0, suhu 25 0C

dan kelembaban 80 % . Banyak peneliti (Lowe & Butt 2001;2002; Langdon .

2001; Reinecke & Venter 1987) melaporkan bahwa faktor lingkungan yang baik

untuk pertumbuhan cacing tanah, seperti suhu, pH, dan kelembaban secara

berturut?turut antara 15?300C, 4?8, dan 60?70 %.

! * "/- !)!"- ' "& /5)$8$) ( %$ *

-Kokon yang dihasilkan terlihat lebih banyak daripada

mungkin disebabkan karena perbedaan kemampuan bereproduksi kedua spesies

Gambar

Gambar� 1� Perkawinan� dan� pembentukkan� kokon� ��� ������� (Dominguez� ��� ��.�
Gambar� 2� Bentuk,� ukuran� dan� posisi� spermatopore� ��� ������,� sperma� (a)�spermatopore� (b� &c),� lokasi� spermatopore� pada� dinding� tubuh� (d)�(Monroy������.�2003)��
Gambar�3�Kokon�����������(a),�kokon�������������(b)�dan�penetasan�kokon�menjadi�
Gambar�4�Diagram�sistem�pencernaan�����������(Horn������.�2002)�
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tentang pengaruh campuran lumpur biogas sapi perah dan serbuk sabut kelapa pada vermicomposting terhadap biomassa cacing tanah Lumbricus rubellus

rubellus dalam mengelola sampah daun baik secara tunggal maupun kombinasi dengan rasio antara cacing tanah dan sampah daun yang berbeda terhadap: (1) laju konsumsi bahan organik,

Perlu adanya penerapan vermikompos limbah sludge industri kecap dan seresah daun lamtoro pada tanaman untuk mengetahui kemampuan vermikompos dalam menyuburkan

Syawkoni (2016) telah melakukan penelitian pemanfaatan sampah organik pasar sebagai campuran pakan untuk meningkatkan pertumbuhan cacing tanah (Lumbricus Rubellus).

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan (1) Cacing tanah ( Lumbricus rubellus) efektif dalam dekomposisi sampah organik menjadi pupuk kascing, (2) Semakin

(2015) menyatakan bahwa syarat bahan organik yang dapat digunakan sebagai media pertumbuhan cacing tanah antara lain mempunyai daya serap yang tinggi untuk menahan

Pengaruh penggunan feses sapi dan campuran limbah organik sebagai pakan atau media terhadap produksi kokon dan biomasa cacing tanah Eisenia foetida

Daerah yang sesuai untuk pembudidayaan cacing tanah ini adalah daerah dengan potensi limbah organik yang besar, misal daerah pertanian, sehingga dapat menyediakan