• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Kelembagaan Awig-Awig Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai di Kabupeten Lombok Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Kelembagaan Awig-Awig Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai di Kabupeten Lombok Timur"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

NISA AYUNDA

H351110011

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN AWIG-AWIG

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Kelembagaan Awig-awig Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai di Kabupaten Lombok Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

(4)
(5)

RINGKASAN

NISA AYUNDA. Efektivitas Kelembagaan Awig-awig Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai di Kabupaten Lombok Timur. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT dan ZUZY ANNA.

Pemanfaatan sumber daya perikanan yang memiliki karakteristik sebagai sumber daya alam milik bersama (CPR) cenderung pada pemanfaatan secara bebas (open access), yang mengakibatkan penurunan produksi sumber daya perikanan. Telah banyak kebijakan dikembangkan untuk mengatur hak kepemilikan (property rights) untuk memanajemen sumber daya perikanan. Penguatan kelembagaan lokal seperti awig-awig menjadi salah satu pendekatan untuk mengelola pemanfaatan sumber daya perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai; (2) mengevaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan pantai; (3) mengevaluasi implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai di kabupaten Lombok Timur. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kelembagaan The institutional analysis and development (IAD) untuk menganalisis efektivitas kelembagaan awig-awig. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan bioekonomi surplus produksi Gordon-Schaefer (GS), analisis laju degradasi dan depresiasi, dan analisis efisiensi Data Envelopment Analysis (DEA) untuk menganalisis dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan pantai.

Hasil analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai menunjukkan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai belum berjalan secara efektif yang ditandai dengan belum semua aktor yang memanfaatkan sumber daya perikanan pantai terlibat secara aktif dalam kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan, peraturan yang disepakati masih lemah dalam memberikan batas pengaturan, dan resiko keselamatan jiwa yang tinggi pada kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai. Keadaan ini mengakibatkan masih ditemukan beberapa lokasi kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potas, serta hilangnya salah satu pulau kecil di wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur.

Hasil evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur memperlihatkan peningkatan upaya penangkapan setiap tahun yang diiringi oleh produksi sumber daya perikanan yang terus menurun; nilai produksi aktual telah melebihi nilai MSY; nilai upaya penangkapan aktual mendekati titik perpotongan TR-TC yang ditunjukkan dengan penurunan rente aktual (kerugian yang terus meningkat); nilai degradasi dan nilai depresiasi telah mendekati nilai ambang batas degradasi; dan penggunaan teknologi melebihi kapasitas input untuk mendapatkan per satuan output dalam kegiatan penangkapan.

(6)

merupakan rekomendasi yang ditawarkan dari hasil penelitian ini. Beberapa rekomendasi ini antara lain dilakukan peningkatan pemahaman pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan kepada para aktor; dan peningkatan peran dari aktor lokal pada perbaikan peraturan yang disepakati.

(7)

SUMMARY

NISA AYUNDA. The Institutional Effectivity of Awig-awig in Coastal Fisheries Management in Lombok Timur. Supervised by ACENG HIDAYAT and ZUZY ANNA.

Common-pool resources (CPR) of the use of coastal fisheries tend to be an open access that caused the decline of the fisheries resources. There are couple of policies developed to regulate the property rights to manage the fisheries management. Reviving the local institution such as awig-awig become one of the approaches to govern the use of coastal fisheries. This research aims to (1) analyze the awig-awig institution to manage the coastal fisheries; (2) to evaluate the effectiveness of awing-awig in regulating the coastal fisheries; (3) to evaluate the policy implication of awig-awig in governing the fisheries resources in the District of Lombok Timur. The institutional analysis and development (IAD) is applied in this research to analyze the institutional effectiveness of awig-awing. I also applied the bio-economic of Gordon-Schaefer (GS), the analysis of depreciation and degradation, and Data Envelopment Analysis (DEA) to investigates the efficiency of the resource use in the coastal area that implement the awig-awig.

The IAD of the awig-awig shows that awig-awig is not effective in regulating the use of coastal fisheries. As indicated in this research, the ineffectiveness of the awig-awig as an local institution can be seen in (1) the low involvement of the the actors who use the coastal resources in the management of awig-awig; (2) the rule in use are still weak to regulate the use of the coastal resources; (3) the high risk in the activities to monitor and enforce the awig-awig. Because of these ineffectiveness, the bombing and the use of cyanide are still found in several location.

The analysis of bio-economy shows that the fishing efforts has increase in frequency accompanied by the decrease of fisheries production. The decrease of fisheries production is due to over fishing that exceed the value of MSY and that the actual value of fishing effort has leads to the decrease of actual rent. The analysis on degradation and depreciation indicate that the fisheries resources are on the verge of the degradation threshold. The DEA shows that the use of technology in fisheries has already exceed the capacity utilization.

This thesis concludes that the ineffectiveness of the awig-awig as a local institution to regulate the coastal resources has serious implication for the biological and economic benefits of the coastal resources. Hence, this thesis recommends that there are needs to improve the development process, the rule in use and to improve the monitoring and enforcement activities of awig-awig. These improvements could be reached by increasing the understanding of actors in sustainable management of coastal resources, and to increase the participation of the local actors in developing the rule in use of awig-awig.

(8)
(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya da Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

NISA AYUNDA

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN AWIG-AWIG

(12)
(13)

Judul Tesis : Efektivitas Kelembagaan Awig-Awig Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai di Kabupeten Lombok Timur

Nama : Nisa Ayunda NIM : H351110011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Aceng Hidayat, MT Ketua

Dr. Zuzy Anna, M.Si Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc. Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah ekonomi kelembagaan, dengan judul Efektivitas Kelembagaan Awig-awig dalam Mengelola Sumber Daya Perikanan Pantai di Kabupaten Lombok Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir.Aceng Hidayat, MT dan Ibu Dr. Dra. Zuzy Anna, MSi selaku pembimbing. Di samping itu, ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc selaku Kepala Program Studi Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan (ESL), Ibu Eka Intan Kumala Putri, Bapak Sahad Simanjuntak, Bapak Yusman Syaukat, Bapak Ahyar selaku dosen-dosen di lingkungan Program Studi ESL atas diskusi-diskusi dan ilmu-ilmu yang telah diberikan, Ibu Sofie selaku sekretaris Program Studi, Ibu Intan selaku sekretaris Departemen ESL, Bapak Kastana selaku sekretaris Program Studi Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropik (ESK), teman-teman di Program Studi ESL dan ESK, dan para staf Departemen ESL atas dukungan dan kerja samanya selama penulis menempuh pendidikan di Program Study ESL.

Tidak mengurangi rasa hormat, penulis juga sampaikan rasa terima kasih kepada Badan Kerja Sama Luar Negeri (BKLN) yang telah memberikan Beasiswa Unggulan (BU-BKLN) dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PSPKL-IPB) melalui Governing Marine Conservation Area for Sustainable Fisheries Project yang telah membantu dalam sebagian pembiayaan penelitian ini. Penulis juga tidak lupa menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur, Komite Pengelola Perikanan Laut (KPPL) Kabupaten Lombok Timur (Pak M. Sholeh, Pak Tahir, Pak Yanto, dan Pak Syaifullah), teman-teman di Lombok Timur dan kepada Bapak Dedi Adhuri (Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)) atas informasi, saran-saran, dan diskusi-diskusinya.Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Bapak Soedarno dan Ibu Sugiyati, papa dan mama tercinta yang telah memberikan restu kepada penulis untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor. Mbak Rini Kusumawati dan Kakak Krystof Obidzinski atas dukungan baik psikologis dan financial, serta diskusi-diskusi ringan tentang sosial anthropologi, juga untuk Mas Yudha Pria Kusuma dan Mbak Yuli atas bantuannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(16)
(17)

DAFTAR ISI

1.6 Struktur Penulisan Tesis 5

2. TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1 Kelembagaan dalam Mengelola Sumber Daya Perikanan 7

2.1.1 Karakteristik Sumber Daya Perikanan 7

2.1.2 Karakteristik Pemanfaat Sumber Daya Perikanan 8

2.1.3 Peraturan yang Disepakati 9

2.1.4 Tata Kelola Sumber Daya Perikanan 11

2.2 Telaah Penelitian Terdahulu 12

3. METODE PENELITIAN 15

3.1 Metode Penelitian 15

3.1.1 Waktu dan Tempat Penelitian 15

3.1.2 Metode Pengumpulan Data 16

3.2 Metode Analisis Data 17

4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Topografi 21

4.2 Kondisi Demografi 21

4.3 Potensi Sumber Daya Perikanan 24

5. KELEMBAGAAN AWIG-AWIG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN PANTAI

29

5.1 Pendahuluan 29

5.2 Tinjauan Pustaka 30

5.3 Metode Penelitian 33

5.4 Metode Analisis Data 34

5.5 Hasil dan Pembahasan 34

5.5.1 Awig-Awig Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai Kabupaten Lombok Timur

35

5.5.2 Peraturan yang Disepakati 38

5.6 Simpulan 44

6. EVALUASI DAMPAK KELEMBAGAAN AWIG-AWIG TERHADAP

SUMBER DAYA PERIKANAN PANTAI 45

6.1 Pendahuluan 45

6.2 Tinjauan Pustaka 46

6.3 Metode Penelitian 47

6.4 Metode Analisis Data 48

(18)

6.5.1 Bioekonomi Surplus Produksi 50

6.5.2 Degradasi dan Depresiasi 57

6.5.3 Efisiensi DEA 60

6.6 Simpulan 72

7. IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA

PERIKANAN PANTAI DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR 73

7.1 Pendahuluan 73

7.2 Tinjauan Pustaka 74

7.3 Metode Penelitian 75

7.4 Metode Analisis Data 76

7.5 Hasil dan Pembahasan 76

7.6 Simpulan 80

8. KESIMPULAN 81

8.1 Kesimpulan 81

8.2 Saran 81

DAFTAR PUSTAKA 83

LAMPIRAN 87

(19)

DAFTAR TABEL

1.1 Jumlah lokasi penangkapan ikan dengan bom dan potas di wilayah

perairan pantai Kabupaten Lombok Timur tahun 2002-2013 3

2.1 Klasifikasi hak kepemilikan 9

2.2 Tipe hak kepemilikan dengan pemilik, hak pemilik, dan kewajiban

pemilik 10

3.1 Indikator, parameter, dan data yang diperlukan dalam penelitian 20 4.1 Kecamatan, desa pesisir, dan jumlah nelayan tahun 2006-2010 24 4.2 Jumlah perahu tangkap di Kabupaten Lombok Timur berdasarkan

tempat pendaratan tahun 2012 25

4.3 Jumlah alat tangkap yang dipergunakan di Kabupaten Lombok

Timur berdasarkan tipe dan tempat pendaratan tahun 2012 25 4.4 Produksi perikanan laut dan jumlah alat tangkap di Kabupaten

Lombok Timur tahun 2003-2007 26

4.5 Potensi wilayah budidaya laut di Kabupaten Lombok Timur 27 4.6 Penyebaran wilayah potensi budidaya air payau 27

4.7 Potensi budidaya ikan air tawar 28

5.1 Design principles 32

5.2 Aktor, tugas, dan kewenangan dalam awig-awig pengelolaan

perikanan pantai 36

5.3 Contoh perbedaan peraturan dalam awig-awig pengelolaan sumber

daya perikanan pantai 40

5.4 Pemetaan hak kepemilikan berdasarkan Schlager dan Ostrom (1992) 43 6.1 Hasil estimasi produksi aktual sumber daya ikan demersal 51 6.2 Hasil estimasi standarisasi upaya penangkapan 52 6.3 Hasil estimasi parameter biologi dengan CYP 53

6.4 Rincian kebutuhan melaut 54

6.5 Hasil estimasi biaya melaut dari alat tangkap pancing dan bagan

sampan 54

6.6 Hasil estimasi real price dan real cost tahun 2002-2011 55 6.7 Hasil estimasi produksi aktual dan produksi lestari 55 6.8 Hasil estimasi h, x, upaya, rente dengan parameter biologi CYP

dengan Maple 14 56

6.9 Upaya aktual, produksi aktual, dan rente aktual 57 6.10 Hasil estimasi nilai koefisien laju degradasi 58 6.11 Hasil estimasi nilai koefisien laju depresiasi 59

6.12 Data alat tangkap sebagai DMU 60

6.13 Nilai efisiensi alat tangkap sebagai DMU 61 6.14 Projection of potential improvment alat tangkap sebagai DMU 62

6.15 Data tahun sebagai DMU 63

6.16 Nilai efisiensi tahun sebagai DMU 63

6.17 Projection of potential improvment tahun sebagai DMU 65

6.18 Data nelayan pancing rawai sebagai DMU 66

6.19 Nilai efisiensi nelayan pancing rawai sebagai DMU 67 6.20 Projection of potential improvment nelayan pancing rawai sebagai

DMU 68

(20)

6.22 Nilai efisiensi nelayan bagan sampan sebagai DMU 70 6.23 Projection of potential improvment nelayan bagan sampan sebagai

DMU

71 7.1 Evaluasi awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai

Kabupaten Lombok Timur 76

7.2 Perbaikan kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya

perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur 78

DAFTAR GAMBAR

1.1 Klasifikasi sumber daya alam 1

2.1 Kerangka IAD 7

2.2 Hubungan antara hak kepemilikan dan hak akses 11

3.1 Gambar peta wilayah penelitian 15

3.2 Kerangka penelitian dan analisis data 18

4.1 Prosentase penduduk berdasarkan wilayah tempat tinggal 22

4.2 Prosentase penduduk berdasarkan umur 23

4.3 Prosentase penduduk berdasarkan bidang lapangan pekerjaan 23 5.1 Pembagian wilayah pesisir Kabupaten Lombok Timur 39 6.1 Total share produksi ikan demersal berdasarkan alat tangkap 52 6.2 Grafik perbandingan upaya dan produksi aktual tahun 2002-2011 53 6.3 Grafik produksi aktual dengan produksi lestari ikan demersal 56 6.4 Grafik produksi aktual dan koefisien laju degradasi 58 6.5 Grafik produksi aktual dan koefisien lau depresiasi 59 6.6 Grafik nilai efisiensi alat tangkap sebagai DMU 61

6.7 Grafik nilai efisiensi tahun sebagai DMU 64

6.8 Grafik nilai efisiensi nelayan pancing rawai sebagai DMU 67 6.9 Grafik nilai efisiensi nelayan bagan sampan sebagai DMU 70

DAFTAR LAMPIRAN

1. Gambar lokasi penangkapan ikan dengan bom dan potas di wilayah

perairan pantai Kabupaten Lombok Timur 87

2. Kondisi tempat tinggal nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur 88 3. Contoh Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Lombok

Timur 89

4. Contoh Surat Keputusan Kepengurusan KPPL Kawasan 92 5. Gambar sampan mesin tempel yang digunakan oleh nelayan lokal

Kabupaten Lombok Timur 93

6. Contoh sumber daya perikanan pantai yang ditangkap oleh nelayan

lokal Kabupaten Lombok Timur 94

7. Hasil analisis bioekonomi 95

8. Hasil Maple Output 98

(21)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Barang (goods) berdasarkan karakteristik fisik yang meliputi pembatasan (exclusion) dan persaingan (subtractability), dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yakni barang milik publik (public goods), barang milik bersama (common pool resources-CPR), barang milik kelompok (toll goods), dan barang milik pribadi (private goods) (Gambar 1.1). Persaingan dimaksudkan apakah saat suatu pihak mengkonsumsi sumber daya alam dapat menimbulkan persaingan dengan pihak lain. Pembatasan dimaksudkan apakah suatu pihak dapat membatasi pihak lain untuk memasuki suatu wilayah dan mengkonsumsi sumber daya alam yang ada (Ostrom et al. 1994).

Barang milik publik, seperti lampu mercusuar, memiliki karakteristik persaingan yang rendah untuk mengkonsumsi sumber daya alam dan suatu pihak sulit mencegah pihak lain untuk tidak mengkonsumsi sumber daya alam. Barang milik bersama (CPR), seperti sumber daya perikanan, memiliki karakteristik persaingan yang tinggi untuk mengkonsumsi sumber daya alam dan suatu pihak sulit mencegah pihak lain untuk tidak mengkonsumsi sumber daya alam. Barang milik kelompok, seperti perpustakaan, memiliki karakteristik persaingan yang rendah untuk mengkonsumsi sumber daya alam dan suatu pihak mudah melakukan pencegahan kepada pihak lain untuk tidak mengkonsumsi sumber daya alam. Barang milik pribadi, seperti mobil, memiliki karakteristik persaingan yang tinggi untuk mengkonsumsi sumber daya alam dan pihak lain mudah untuk melakukan pencegahan kepada pihak lain untuk tidak mengkonsumsi sumber daya alam (Ostrom et al. 1994; Grafton et al. 2004).

Pemanfaatan sumber daya perikanan sebagai barang miliki bersama cenderung bebas (open access), yang ditandai dengan sangat sulit mengendalikan permintaan (demand) dalam mengambil manfaat dari sumber daya perikanan (Ostrom et al. 1994). Jika hal ini terus berlanjut, terutama, setiap pemanfaat hanya menilai sumber daya perikanan dari seberapa besar biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan ikan

Barang publik Barang bersama (CPR)

Barang kelompok Barang pribadi

Gambar 1.1 Klasifikasi sumber daya alam (Ostrom et al. 1994; Grafton et al. 2004)

Persaingan

Rendah Tinggi

Mudah Sulit

(22)

2

dalam satu unit alat tangkap, keadaan ini akan memicu pada pemanfaatan sumber daya perikanan secara tangkap lebih (over-exploited) dan memicu konflik dalam memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada (Grafton et al. 2004).

Berbagai pengelolaan dilakukan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya perikanan, agar terhindar dari permasalahan tersebut di atas, antara lain melalui pengaturan kelembagaan (institutional arrangement) dan pemahaman kondisi sumber daya perikanan secara biologi dan ekonomi. Pengaturan kelembagaan dibuat untuk mengatur hak kepemilikan (property right) dalam memanfaatkan sumber daya perikanan. Pengaturan hak kepemilikan berkaitan dengan siapa yang berhak dan berwewenang untuk melakukan pengaturan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan bagaimana pengaturan pemanfaatan sumber daya alam dibuat dan dilaksanakan (Schlager dan Ostrom 1992; Ostrom et al. 1994; Agrawal 2003; Dolsak dan Ostrom 2003; Imperial dan Yandle 2003; Hidayat 2005; Petersen 2006; Fauzi 2010).

Pengetahuan kondisi sumber daya perikanan secara biologi berdasarkan informasi-nformasi tentang bagaimana stok sumber daya perikanan, seberapa kondisi sumber daya perikanan yang telah dimanfaatkan, seberapa keuntungan yang didapat dari kegiatan penangkapan dan kondisi maximum sustainable yield (MSY); maximum economic yield (MEY) sebagai standar pengukuran apakah sumber daya perikanan sudah dimanfaatkan secara efisien (Petersen 2006; Fauzi 2010).

Sehingga, para ekonom perikanan diharapkan dapat melihat keuntungan dan manfaat dari kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan secara signifikan melalui struktur hak kepemilikan dan kondisi sumber daya perikanan, agar pemanfaatan sumber daya perikanan dapat lebih terkontrol baik secara biologi dan ekonomi (Petersen 2006).

Beberapa pengelolaan terhadap sumber daya perikanan telah dikembangkan, antara lain pengelolaan oleh pemerintah (state property); pengaturan oleh individu (private property); dan pengaturan bersama (common property) (Schlager dan Ostrom 1992; Hidayat 2005). Pada penelitian ini, lebih membahas pada pengelolaan secara bersama. Beberapa dekade terakhir ini, pengelolaan secara bersama dijadikan sebagai salah satu alternatif pengelolaan sumber daya perikanan yang lebih efisien, dikarenakan pengelolaan ini dilakukan pada wilayah yang tidak terlalu luas, dan hak kepemilikan terutama dalam hak pembuatan peraturan dan sanksi berasal dari kesepakatan bersama oleh para pemanfaat sumber daya perikanan yang tinggal di sekitar sumber daya berada (Schlager dan Ostrom 1992). Salah satu pengelolaan sumber daya perikanan secara bersama yang berkembang di Indonesia adalah kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur. Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur ini merupakan adopsi dari kelembagan lokal yang berkembang di masyarakat Bali dan Lombok (Indrawasih 2008; Syaifullah 2009).

(23)

3

1.2 Perumusan Masalah

Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur yang merupakan pengadopsian dari awig-awig yang merupakan kebijakan lokal (norma, hukum adat, peraturan, larangan, dan sanksi) yang tidak tertulis mengenai hubungan antar masyarakat seperti perkawinan, pencurian, dan lain sebagainya yang berkembang di masyarakat Bali dan Lombok (Indrawasih 2008; Syaifullah 2009).

Berbeda dengan awig-awig pada umumnya, awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur ini memiliki kekuatan hukum secara tertulis baik yang berupa kesepakatan bersama di antara masyarakat lokal, maupun dukungan secara formal dari pemerintah daerah. Kesepatan bersama di antara masyarakat lokal ini tertuang dalam buku saku awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Lombok Timur. Buku saku ini ditetapkan oleh kepala desa, camat, dan ketua Badan Permusyawaratab Desa (BPD) di wilayah pesisir Kabupaten Lombok Timur, serta ketua Komite Pengawasan Perikanan Laut (KPPL) kawasan sejak tahun 2003. Dukungan formal dari pemerintah daerah melalui penetapan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai Secara Partisipatif.

Kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur diyakini merupakan perkembangan dari awig-awig yang ini diinisiasi oleh kelompok nelayan Nautilus dari desa Tanjung Luar. Awig-awig ini dibuat karena makin maraknya penggunaan bom dan potas dari kegiatan penangkapan ikan, penurunan hasil tangkapan, penangkapan ikan yang dilindungi, dan lain sebagainya. Tetapi, sampai saat ini, masih banyak ditemukan pelanggaran atas peraturan yang telah disepakati dalam awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai, seperti masih banyak kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan potas di wilayah perairan pantai di Kabupaten Lombok Timur yang ditunjukkan masih ditemukan beberapa lokasi kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potas (Tabel 1.1 dan Lampiran 1) dan kerusakan lingkungan (Syaifullah 2009).

Tabel 1.1 Jumlah lokasi penangkapan ikan dengan bom dan potas di wilaya perairan pantai Kabupaten Lombok Timur tahun 2002-2013

Tahun Jumlah lokasi kegiatan penangkapan ikan degan bom dan potas

(24)

4

Tabel 1.1 memperlihatkan lokasi kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potas di wilayah perairan pantai Kabupaten Lombok Timur terus bertambah setiap tahun. Berdasarkan kegiatan monitoring dan penegakkan awig-awig sejak tahun 2003, nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan bom dan potas ini banyak yang merupakan nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur sendiri (Syaifullah 2009).

Berdasarkan informasi-informasi tersebut di atas, beberapa pertanyan yang mendasari penelitian ini berdasarkan informasi dan permasalahan di atas, antara lain: 1. bagaimana kelembagaan awig-awig di Kabupaten Lombok Timur;

2. bagaimana dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur;

3. bagaimana implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur.

1.3 Hipotesis

Beberapa hipotesis pada penelitian ini, antara lain:

1. diduga telah terjadi disinsentif dari pelaksanaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur yang mengakibatkan ketidakefektivan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai;

2. ketidakefektifan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai berakibat pada pemanfaatan sumber daya perikanan pantai tidak efisien baik secara biologi dan ekonomi.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah mengevalusi efektifitas kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai menuju kepada pemanfaatan sumber daya perikanan yang lestari di wilayah perairan Kabupaten Lombok Timur. Tujuan khusus penelitian ini meliputi:

1. analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur;

2. evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap pemanfaatan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur;

3. evaluasi implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian yang ada, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. informasi tentang kinerja kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur; dan

(25)

5

1.6 Struktur Penulisan

Penulisan tesis ini terbagi menjadi delapan bab. Bab Pertama, pendahuluan, berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, hipotesis, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur penulisan tesis. Bab Kedua, tinjauan pustaka, berisikan tentang kajian-kajian pustaka terkait penelitian ini. Bab Ketiga, metode penelitian dan kerangka analisis data, berisikan tentang waktu dan tempat penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Bab Keempat, keadaan umum lokasi penelitian, berisikan tentang gambaran umum kondisi Kapubaten Lombok Timur, yang meliputi kondisi geografis, topografis, demografis, dan potensi sumber daya perikanan yang dimiliki oleh Kabupaten Lombok Timur.

Bab Kelima, analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur, berisikan pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dari tujuan pertama penelitian ini. Analisis ini dilakukan dengan pendekatan Institutional Analysis Development (IAD) yang meliputi analisis peraturan yang disepakati, analisis situasi aksi, dan analisis aktor. Bab Keenam, dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan pantai, berisikan pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dari tujuan kedua penelitian ini. Evaluasi dampak kelembagaan dilakukan dengan pendekatan analisis bioekonomi surplus produksi, analisis degradasi dan depresiasi, dan analisis efisiensi Data Envelopment Analysis (DEA).

(26)
(27)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelembagaan dalam Mengelola Sumber Daya Perikanan

Ostrom et al. (1994) berdasarkan kerangka Institutional Analysis Developtment (IAD), berpendapat bahwa pengelolaan terhadap sumber daya alam yang memiliki karakteristik CPR (Gambar 1.1), seperti sumber daya perikanan, dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain karakteristik sumber daya alam, karakteristik pemanfaat sumber daya alam, dan peraturan yang disepakati. Bagaimana pengelolaan ini berjalan dapat mempengaruhi bagaimana sumber daya alam tersebut dimanfaatkan (Gambar 2.1).

2.1.1 Karakteristik Sumber Daya Perikanan

Karakteristik sumber daya perikanan dalam kerangka IAD menitikberatkan pada pemahaman sumber daya perikana sebagai CPR (Gambar 1.1), yakni sumber daya alam yang memiliki karakteristik sangat sulit dilakukan pengawasan dan pencegahan agar seseorang tidak masuk di suatu wilayah perikanan tertentu dan seseorang tidak bisa mencegah orang lain untuk tidak meningkatkan upaya untuk mendapatkan manfaat dari sumber daya perikanan yang sama. Keadaan ini, sering menempatkan sumber daya perikanan sebagai sumber daya alam yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat rendah. Selama ini, nilai ekonomi dari sumber daya perikanan didasarkan pada estimasi dari biaya-biaya yang dikeluarkan dalam pengambilan manfaat dari sumber daya perikanan pantai per unit alat tangkap (Ostrom 1990; Grafton et al. 2004), sehingga mendorong pada pemanfaatan sumber daya perikanan secara bebas (open access), karena pemanfaat lebih memikirkan untuk mendapatkan hasil ikan sebanyak mungkin dengan biaya yang rendah. Jika hal ini terus berlanjut akan memicu pada pemanfaatan sumber daya perikanan secara tangkap lebih baik secara biologi dan ekonomi (Grafton et al. 2004).

Kondisi ini menunjukkan interaksi antara manusia sebagai pemanfaat dengan sumber daya alam dan lingkungan yang dimanfaatkan akan berpengaruh pada kualitas dan kuantitas sumber daya alam dan lingkungan tersebut (Hanna et al.

Gambar 2.1 Kerangka IAD (Ostrom et al. (1994) Karakteristik

sumber daya

Karakteristik pemanfaat sumber daya

Peraturan yang disepakati

Arena aksi a. Situasi aksi

b. Aktor

Pola interaksi

Hasil

(28)

8

1996:3). Demikian pula sumber daya perikanan, sebagai sumber daya alam yang memiliki daya gerak yang sangat tinggi dan sebagai sumber daya alam terbarukan, persediaannya di alam tergantung secara biologi dan ekonomi (Hanna et al. 1996; Petersen 2006). Secara biologi, persediaan sumber daya perikanan ini berkaitan dengan kematian (mortality) dan produksi (production). Berapa stok sumber daya perikanan yang ada, seberapa sumber daya perikanan yang telah dimanfaatkan, dan kondisi maximum sustainable yield (MSY) digunakan sebagai standar pengukuran apakah sumber daya perikanan dimanfaatkan secara efisien atau tidak (Hanna et al. 2006; Petersen 2006; Fauzi 2010). Secara ekonomi, persediaan sumber daya perikanan berkaitan dengan upaya penangkapan (effort) dan hasil tangkapan (yield) oleh manusia. Kondisi maximum economic yield (MEY), berapa keuntungan dari kegiatan penangkapan, dan melihat bagaimana kondisi open access mempengaruhi kedua kondisi (MSY dan MEY) tersebut digunakan sebagai standar pengukuan apakah sumber daya perikanan telah dimanfaatkan secara efisien (Hanna et al. 1996; Petersen 2006; Fauzi 2010).

Selain pemahaman tersebut di atas, perubahan kualitas dan kuantitas sumber daya alam dan lingkungan juga dapat dilihat dari laju degradasi, deplesi dan depresiasi. Pada penelitian ini, laju degradasi, deplesi, dan degradasi merujuk kepada Fauzi dan Anna (2005). Di mana, deplesi merupakan tingkat/laju pengurangan stok dari sumber daya alam yang tidak terbarukan (non-renewable resources). Dalam hal ini terjadi jumlah penurunan stok sumber daya alam yang jauh di atas laju penurunan stok yang seharusnya, atau terjadi laju eksploitasi yang lebih tinggi dari yang seharusnya (contoh pemanfaatan pasir laut). Degradasi merupakan penurunan kualitas/kuantitas sumber daya alam yang terbarukan (renewable resources). Dalam hal ini, kemampuan alami sumber daya alam terbarukan untuk beregenerasi sesuai kapasitas produksinya telah berkurang (contoh sumber daya ikan). Keadaan ini memperlihatkan baik deplesi dan degradasi lebih ditujukan pada perubahan kondisi fisik sumber daya alam dan lingkungan. Sedangkan, depresiasi sendiri lebih ditujukan kepada mengukur perubahan nilai moneter dari kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan, atau dengan kata lain depresiasi sebagai pengukuran deplesi atau degradasi yang dirupiahkan.

2.1.2 Karakteristik Pemanfaat Sumber Daya Perikanan

Karakteristik pemanfaat sumber daya perikanan pantai melibatkan siapa saja yang memanfaatkan sumber daya perikanan, bagaimana kondisi ekonomi para pemanfaat sumber daya perikanan, bagaimana hubungan di antara para pemanfaat, dan bagaimana pemanfaat ini mempengaruhi pada kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan (Dolsak dan Ostrom 2003).

(29)

9

2.1.3 Peraturan yang Disepakati

Beberapa literatur seperti Ostrom (1990), Ostrom et al. (1994) dan Hanna et al. (1996) berpendapat bahwa perubahan pada kualitas dan kuantitas sumber daya alam dan lingkungan yang diakibatkan dari kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan  oleh  manusia  akan  membawa  kepada  “the tragedy of the commons-Hardin  (1968)”,  sehingga diperlukan pengelolaan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya perikanan, salah satunya melalui penerapan property rights (hak kepemilikan) atas sumber daya alam dan lingkungan agar terhindar dari “the tragedy of the commons-Hardin” ini. 

Tujuan dari mengatur hak kepemilikan atas sumber daya perikanan, antara lain untuk mengatur siapa yang memiliki hak dan kewenangan dalam mengelola sumber daya perikana, siapa yang berhak untuk memanfaatkan sumber daya perikanan, dan kegiatan-kegiatan apa saja yang diperbolehkan dan dilarang dalam mengambil manfaat atas sumber daya perikanan (Ostrom 1990; Hanna et al. 1996).

2.1.3.1 Hak Kepemilikikan

Schlager dan Ostrom (1992) membagi hak kepemilikan atas sumber daya alam dan lingkungan terutama yang memiliki karakteristik sebagai CPR seperti sumber daya perikanan menjadi access (hak akses), withdrawal (hak memanfaatkan), management (hak manajemen), exclusion (hak ekslusif), dan alienation (hak alienasi) (Tabel 2.1).

Hak akses merupakan hak untuk memasuki suatu wilayah di mana sumber daya alam dan lingkungan berada, misalnya hak untuk memasuki suatu wilayah perairan. Hak memanfaatkan merupakan hak untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam dan lingkungan yang ada di suatu wilayah tertentu, misalkan hak untuk menangkap sumber daya ikan (Schlager dan Ostrom1992).

Hak manajemen merupakan hak untuk mengelola pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan yang ada, misalkan seberapa banyak sumber daya perikanan yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan dalam suatu wilayah perairan. Hak eksklusif merupakan hak untuk melakukan pembatasan pada pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan, dan memiliki hak untuk mentrasfer atau memindahtangankan hak kepemilikan tersebut. Hak alienasi merupakan hak untuk menjual, menyewakan atau keduanya atas hak kepemilikan yang dimiliki. Kelima hak kepemilikan ini dapat dimiliki oleh beberapa pihak yang berbeda, sehingga memungkinkan satu pihak hanya memiliki hak akses saja, atau satu pihak dapat juga memiliki lebih dari satu hak kepemilikan (Schlager dan Ostrom1992).

Tabel 2.1 Klasifikasi hak kepemilikan

Pemilik Pengelola Penyewa Pengguna Hak Akses dan

Memanfaatkan x x x x

Hak Manajemen x x x

Hak Eksklusif x x

Hak Alienasi x

(30)

10

2.1.3.2 Hak Kepemilikan versus Hak Akses Sumber Daya Alam

Pengaturan hak kepemilikan berdasarkan klaim atas sumber daya alam dan lingkungan dapat dibedakan menjadi hak kepemilikan secara bebas (open access ); hak kepemilikan pada swasta (private property); hak kepemilikan pada pemerintah (state property); dan hak kepemilikan bersama (common property) (Hanna et al. 1996) (Tabel 2.2).

Hak kepemilikan secara bebas (Open access), dicirikan bahwa tidak ada pihak yang mengklaim hak kepemilikan sumber daya alam dan lingkungan, sehingga siapa saja dapat mengakses dan memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan yang ada tanpa ada kewajiban apapun terhadap sumber daya alam dan lingkungan yang dimanfaatkan dan/atau pemanfaat yang lain (Hanna et al. 1996; Fauzi 2010). Hak kepemilikan pada swasta, hak kepemilikan sumber daya alam dan lingkungan diklaim oleh pihak swasta/individu. Pengaturan ini dicirikan adanya pengontrolan dalam mengakses sumber daya alam dan lingkungan baik dengan pembatasan wilayah dan pembatasan jumlah sumber daya alam dan lingkungan yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan (Hanna et al. 1996; Imperial dan Yandle 2005).

Hak kepemilikan pada negara, hak kepemilikan sumber daya alam dan lingkungan diklaim oleh pemerintah. Pengaturan ini dicirikan pemerintah yang memiliki hak dan kewenangan dalam pembuatan kebijakan dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan yang ada. Hak kepemilikan bersama, hak kepemilikan sumber daya alam dan lingkungan diklaim secara bersama. Pada hak kepemilikan bersama, masyarakat di sekitar sumber daya alam dan lingkungan biasanya yang memiliki klaim hak kepemilikan sumber daya alam dan lingkungan (Hanna et al. 1996; Imperial dan Yandle 2005).

Selain pengaturan hak kepemilikan berdasarkan klaim atas sumber daya alam, pengaturan hak akses terhadap sumber daya alam juga dinilai sangat penting. Di mana, hak akses ini dapat dibedakan menjadi akses terbuka (open access), dan akses terbatas (limited access) (Fauzi 2010).

Tabel 2.2 Tipe hak kepemilikan dengan pemilik, hak pemilik, dan kewajiban pemilik

Tipe Pengaturan Pemilik Hak Pemilik Kewajiban Pemilik

Individu/Swasta Individu/swasta Ada kontrol dalam mengakses

Mengindari

penggunaan yang tidak dapat diterima oleh sosial

Bersama/Komunal Bersama Tidak ada pembatasan

atas kepemilikan

Pemeliharaan dan pembatasan tingkat penggunaan sumber daya

Negara Pemerintah Pengaturan secara

(31)

11

Fauzi (2010) berpendapat bahawa terdapat empat kemungkinan kombinasi antara hak akses dan hak kepemilikian seperti terlihat pada Gambar 2.2, antara lain: 1. Tipe pertama

Di mana hak kepemilikan berada pada komunal atau negara dengan akses terbatas. Tipe kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumber daya alam yang lestari.

2. Tipe kedua

Di mana sumber daya alam dimiliki secara individu dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakteristik hak kepemilikan teridentifikasi dengan jelas dan pemanfaatan sumber daya yang berlebihan dapat dihindari.

3. Tipe ketiga

Di mana kombinasi antara hak kepemilikan komunal dan akses yang terbuka. Tipe inilah  yang dalam  perspektif Hardin (1968) menimbulkan “the tragedy of the common”. 

4. Tipe keempat

Kombinasi ini jarang terjadi (garis terputus-putus), di mana, sumber daya alam dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaat yang tidak sah, sehingga sumber daya alam akan cepat terkuras habis.

2.1.4 Tata Kelola Sumber Daya Perikanan

Arena aksi dalam kerangka IAD meliputi situasi aksi dan aktor yang terlibat dalam kelembagaan (Gambar 2.1). Arena aksi ini merupakan inti analisis dari kerangka IAD, predeksi-predeksi dan penjelasan tindakan-tindakan dari para aktor yang terlibat dalam kelembagaan (Ostrom et al. 1994).

Telah banyak cara untuk mengelola agar pemanfaatan sumber daya perikanan menuju pada pemanfaatan yang berkeadilan dan berkelanjutan baik secara biologi dan ekonomi. Tetapi, pengelolaan tidak mudah dilaksanakan terhadap sumber daya perikanan sebagai CPR, dan beberapa pengelolaan menagalami kegagalan. Seperti penerapan Total Allowable Catch (TAC) sebagai salah satu contoh pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah. Pengelolaan ini didasarkan pada data-data perikanan dan input dari kegiatan penangkapan, sehingga lebih ditujukan pada pembatasan pemanfaat, upaya penangkapan, dan jumlah tangkapan. Tetapi, karena pengaturan ini berlaku secara formal, mengakibatkan tingginya upaya penangkapan dan hanya beberapa nelayan saja (yakni nelayan yang memiliki modal besar dalam kegiatan

(32)

12

penangkapannya) yang dapat mengakses dan memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada. Oleh karena itu, pengelolaan ini sering melupakan kondisi nelayan lokal yang memiliki modal kecil dalam kegiatan penangkapan, akibatnya nelayan lokal tidak dapat mengakses dan memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada (Schlager dan Ostrom 1992; Imperial dan Yandle 2005).

Demikian pula, Individual Tradable atau Transferable Quata (ITQ) sebagai contoh pengelolaan yang dilakukan oleh swasta. Pengelolaan ini berdasarkan pada pertukaran atau pemindahtanganan hak untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan. Seperti pada pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah, penerapan ITQ juga memperlihatkan adanya ketidakadilan dalam kegiatan penangkapan ikan, karena hak ini biasanya dimiliki oleh individu, sehingga hanya nelayan yang memiliki modal besar yang dapat memiliki hak untuk mengakses dan memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada, dan/atau dapat memiliki hak lebih banyak dibandingkan dengan nelayan yang bermodal lebih kecil (Imperial dan Yandle 2005).

Pengaturan secara bersamalebih didasarkan pada norma, peraturan, dan sanksi dari masyarakat di sekitar sumber daya perikanan berada. Pengaturan ini dianggap lebih efisien, karena peraturan, larangan, dan sanksi dibuat berdasarkan kebiasan dan pengetahuan masyarakat di sekitar sumber daya perikanan. Sehingga peraturan, larangan, dan sanksi terutama dalam mengkontrol jumlah pemanfaat, jumlah sumber daya yang diperbolehkan untuk diambil dianggap lebih memihak pada kondisi fisik sumber daya perikanan yang ada dan kondisi ekonomi dari masyarakat pemanfaat sumber daya perikanan (Schlager dan Ostrom 1992). Tetapi, pengelolaan ini bukan berarti tidak memiliki kendala. Salah satu kendala yang biasa terjadi, adalah jika dukungan dari masyarat lokal menurun yang dikarenakan alasan kebutuhan ekonomi sehari-hari dan kurangnya pemahaman masyarakat lokal bahwa segala kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan yang mereka lakukan dapat mempengaruhi kondisi sumber daya perikanan yang ada, dan kondisi sumber daya perikanan ini juga dapat mempengaruhi keberlanjutan kegiatan penangkapan mereka (Imperial dan Yandle 2005).

2.2 Telaah Penelitian Terdahulu

Salah satu pengelolaan sumber daya perikanan pantai secara bersama yang berkembang di Indonesia adalah kelembagan awig-awig. Awig-awig ini merupakan norma, peraturan, larangan, dan sanksi yang tidak tertulis mengenai hubungan antar masyarakat seperti perkawinan, pencurian, dan sebagainya yang berkembang di mayarakat Bali dan Lombok (Indrawasih 2008). Di beberapa wilayah pesisir Lombok, awig-awig ini diadopsi untuk mengelola sumber daya perikanan pantai (Hidayat 2005; Solihin dan Satri 2007; Indrawasih 2008; Adrianto 2011).

(33)

13

Demikian pula, Solihin dan Satria (2007) berpendapat bahwa pengelolaan sumber daya perikanan secara sentralis oleh pemerintah telah menciptakan konflik antar pelaku perikanan dan tumpang tindihnya wilayah penangkapan ikan. Di mata nelayan kecil, kebijakan secara sentralis ini dipahami sebagai persekongkolan kaum komprador, yakni pemerintah, pengusaha, dan aparat penegak hukum dalam rangka pengurasan sumber daya ikan ikan tanpa memperdulikan nelayan kecil. Sehingga kedua literatur ini kemudian memandang pentingnya pengelolaan secara hak ulayat oleh masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan.

Pengelolaan sumber daya perikanan secara hak ulayat di Lombok telah berjalan sejak tahun1965 melalui upacara sawen, yakni kegiatan melarungkan kepala kerbau ke wilayah perairan yang bertujuan sebagai ucap syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah STW atas keberadaan sumber daya perikanan di wilayah mereka. Kemudiaan tradisi ini menghilang seiring dengan perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia (Solihin dan Satria 2007; Adrianto 2011). Tetapi, dengan ditetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi oleh Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Peraturan Daerah, memberikan kesempatan kembali bagi berkembangnya pengelolaan sumber daya perikanan yang berdasarkan kearifan lokal atau kebijakan lokal, seperti halnya awig-awig untuk mengelola sumber daya perikanan di wilayah perairan Lombok (Adrianto 2011).

Awi-awig di wilayah perairan Lombok ini dibuat karena semakin maraknya penggunaan bom dan potas dalam kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan Lombok. Sebagai penerapan dari pengelolaan yang diklaim secara bersama, awig-awig ini dibuat bersama-sama oleh masyarakat sekitar sumber daya perikanan. Pada perkembangnya, awig-awig ini kemudian mendapatkan dukungan secara formal terutama oleh pemerintah daerah setempat (Hidayat 2005; Solihin dan Satria 2007; Indrawati 2008; dan Adrianto 2011).

(34)
(35)

3. METODE PENELITAN

3.1 Metode Penelitian

3.1.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2013. Lokasi penelitian mencakup tujuh kawasan pengelolaan berdasarkan peraturan yang disepakati dalam awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (Gambar 3.1) dengan satu kawasan diwakili oleh satu desa penelitian, di mana KPPL Kawasan (lembaga informal yang bertugas dan berwewenang dalam pembuatan awig-awig) berada. Ketujuh kawasan ini antara lain (1) Kawasan Sambelia; (2) Kawasan Pringgebaya; (3) Kawasan Labuhan Haji; (4) Kawasan Sakra Timur; (5) Kawasan Teluk Jukung; (6) Kawasan Teluk Serewe; dan (7) Kawasan Teluk Ekas.

Kawasan Sambelia terletak di bagian Utara Kabupaten Lombok Timur. Kawasan ini memiliki beberapa pulau kecil (Gili), seperti Gili Lampu dan Gili Sulat, yang digunakan sebagai daerah wisata dan daerah kawasan konservasi laut, sehingga kawasan ini lebih ditujukan sebagai daerah wisata. Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan lokal di kawasan ini dilakukan dengan menggunakan perahu mesin tempel dan alat tangkap pancing. Kawasan Sambelia pada penelitian ini, diwakili oleh Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia sebagai lokasi desa penelitian.

Kawasan Pringgebaya memiliki salah satu pelabuhan terbesar di Kabupaten Lombok Timur, yakni Labuhan Lombok. Labuhan Lombok ini digunakan sebagai tempat penyeberangan Lombok–Sumbawa. Kapal-kapal besar dengan muatan di atas 5 gross ton (GT) dan kapal-kapal perikanan dari luar Lombok banyak bersandar dan dokking di Labuhan Lombok, sehingga tidak sedikit nelayan pendatang kemudian menetap di kawasan ini. Nelayan lokal di kawasan Pringgebaya menggunakan bagan sampan dengan satu perahu yang bermesin tempel dalam melakukan kegiatan

Gambar 3.1 Gambar peta wilayah penelitian (Adhuri 2013)

Keterangan:

(36)

16

penangkapan. Kawasan Pringgebaya pada penelitian ini, diwakili oleh Desa Labuhan Lombok, Kecamatan Pringgabaya sebagai lokasi desa penelitian.

Kawasan Labuhan Haji merupakan kawasan yang terletak paling dekat dengan ibu kota Selong. Hari Sabtu dan Minggu (weekends) pagi, Labuhan Haji banyak dikunjungi oleh penduduk dari luar Desa Labuhan Haji terutama dari Kota Selong, yang bertujuan untuk berekreasi dan/atau membeli ikan segar. Nelayan lokal di kawasan Labuhan Haji menggunakan sampan yang bermesin motor tempel dan alat tangkap pancing dalam melakukan kegiatan penangkapan. Kawasan Labuhan Haji pada penelitian ini diwakili oleh Desa Labuhan Haji, Kecamatan Labuhan Haji sebagai desa penelitian.

Kawasan Sakra Timur, seperti kawasan Labuhan Haji, nelayan lokal di kawasan ini melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan sampan bermesin tempel dan alat tangkap pancing. Kawasan Sakra Timur pada penelitian ini, diwakili oleh Desa Gelanggang, Kecamatan Sakra Timur sebagai lokasi penelitian.

Kawasan Teluk Jukung, seperti kawasan Pringgebaya, di kawasan ini terdapat pelabuhan terbesar di Kabupaten Lombok Timur dan memiliki jumlah nelayan terbanyak di wilayah pesisir Kabupaten Lombok Timur. Awig-awig pengelolaan perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur diyakini sebagai perkembangan dari awig-awig yang diinisiasi oleh kelompok nelayan di Kawasan Teluk Jukung. Nelayan lokal di kawasan Teluk Jukung melakukan kegiatan penangkapan dengan menggunakan sampan bermotor tempel dan alat tangkap pancing. Kawasan Teluk Jukung pada penelitian ini diwakili oleh Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak sebagai desa penelitian.

Kawasan Teluk Serewe dan Teluk Ekas terletak di bagian Selatan Kabupaten Lombok Timur. Teluk Serewe dan Teluk Ekas berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, tetapi letak kedua teluk ini masih berada di wilayah perairan yang terlindungi, sehingga banyak digunakan sebagai wilayah budidaya laut seperti budidaya rumput laut, lobster, dan jenis ikan laut lainnya. Nelayan lokal di kawasan ini banyak menggunakan sampan bermotor tempel dan alat tangkap pancing dalam melakukan kegiatan penangkapan. Kawasan Teluk Serewe pada penelitian ini diwakili Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru; dan Kawasan Teluk Ekas diwakili Desa Batu Nampar, Kecamatan Jerowaru sebagai desa penelitian.

3.1.2 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer berupa informasi tentang kelembagaan awig-awig yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan pihak-pihak terkait dalam pengelolaan sumber daya perikanan pantai di wilayah periaran pantai Kabupaten Lombok Timur. Pengambilan sample pada penelitian ini, menggunakan snow-ball sampling yang dilakukan dengan mengadaptasi Reed et al. (2009) dan Prell et al. (2009), yakni dengan menentukan terlebih dahulu beberapa aktor yang terlibat dalam kelembagaan awig-awig di Kabupaten Lombok Timur dan melakukan wawancara, kemudian dari informasi ini ditentukan beberapa aktor berikutnya yang terlibat dalam kelembagaan awig-awig.

(37)

17

Data sekunder berupa peraturan-peraturan yang terkait pengelolaan sumber daya perikanan di Kabupaten Lombok Timur, data perikanan, dan data-data pendukung lainnya seperti kondisi topografi dan demografi kondisi umum lokasi penelitian diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini, antara lain, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lombok Timur, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur, dan hasil-hasil penelitian sebelumnya baik yang berupa tesis, desertasi, dan jurnal-jurnal nasional dan international.

3.2 Metode Analisis Data

Metode analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif yang merupakan adopsi dari kerangka analisis kelembagaan Institutional Analysis Develompent (IAD) yang dikembangkan oleh Ostrom et al. (1994) (Gambar 2.1) dengan menyesuaikan kondisi di lapangan. Pada kerangka analisis kelembagaan IAD yang dikembangkan oleh Ostrom et al. (1994) terdapat tiga bagian analisis yakni:

1. Kondisi fisik sumber daya, kondisi masyarakat, dan peraturan yang disepakati Pada bagian pertama dalam penerapan kerangka analisis IAD ini dengan menganalisis kondisi fisik sumber daya, kondisi masyarakat, dan peraturan yang disepakati. Kondisi fisik sumber daya, menganalisis bagaimana karakteristik sumber daya alam dan lingkungan yang dimanfaatkan. Kondisi masyarakat, menganalisis karakteristik masyarakat teutama pemanfaat sumber daya alam dan lingkungan, yang biasanya merupakan masyarakat yang tinggal di sekitar sumber daya alam dan lingkungan berada. Peraturan yang disepakati, analisis peraturan, larangan dan sanksi yang disepakati bersama dalam mengakses, memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam dan lingkungan. Pengaturan ini dapat berupa peraturan secara formal maupun informal (Ostrom et al. 1994; Polsik dan Ostrom1999; Mokhahlane 2009).

2. Arena aksi

Arena aksi pada kerangka analisis IAD ini merupakan inti dari analisis kelembagaan, prediksi-predeksi, dan penjelasan tentang perilaku dari pada aktor yang terlibat dalam kelembagaan. Arena aksi ini meliputi analisis situasi aksi dan aktor. Situasi aksi menganalisis kondisi sosial di mana para aktor saling berinteraksi, melakukan pertukaran barang dan jasa, penyelesaian permasalahan, dan perselisihan, dan beberapa kegiatan lain yang terjadi saat para aktor ini memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan. Aktor menganalisis bagaimana preferensi dan tindakan-tindakan yang dilakukan para aktor yang terlibat dalam siatuasi aksi (Ostrom et al. 1994).

3. Hasil

(38)

18

dipertanggungjawabkan (accountabity), dan berkelanjutan (sustainability) (Ostrom et al. 1994; Polski dan Ostrom 1996).

Kerangka analisis IAD (Ostrom et al. 1994) ini, kemudian disesuaikan dengan kondisi pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur seperti terlihat pada Gambar 3.2 dan Tabel 3.1. Kerangka analisis data pada penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni analisis kelembagaan awig-awig, evaluasi dampak kelembagaan awig-awig, dan evaluasi implikasi kebijakan pengelolaan. Pada kerangka analisis ini, yang merupakan arena aksi adalah kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai.

1. Analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Analisis kelembagaan awig-awig ini merupakan adopsi dari bagian pertama dan kedua pada kerangka analisis IAD. Analisis kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai, berdasarkan pendekatan IAD dilakukan dengan menganalisis peraturan yang disepakati, situasi aksi, dan analisis aktor.

a. Awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur

Bagian ini membahas tentang hasil analisis situasi aksi dan analisis aktor. Pada penelitian ini, dibatasi pada analisis aktor yang turut serta dalam kelembagaan awig-awig di Kabupaten Lombok Timur dan bagaimana tugas dan kewenangan dari para aktor, bagaimana para aktor ini melaksanakan tugas dan kewenangan yang ada.

b. Peraturan yang disepakati

Bagian ini membahas tentang hasil analisis peraturan yang disepakati, yang dilakukan dengan identifikasi dan analisis pada peraturan, larangan, dan sanksi dari awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Lombok Timur apakah awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai Kabupaten Lombok Timur telah memenuhi kriteria pada “design principle” (Ostrom 1990).

(39)

19

2. Evaluasi dampak kelembagaan awig-awig terhadap sumber daya perikanan pantai

Evaluasi dampak kelembagaan awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai, pada penelitian ini merupakan adopsi dari bagian ketiga pada kerangka analisis IAD. Evaluasi dampak kelembagaan awig-awig, pada penelitian ini, dianalisis melalui pendekatan analisis bioekonomi surplus produksi Gordon-Schaefer (bioekonomi surplus produksi GS), analisis degradasi dan depresiasi, dan analisis efisiensi Data Envelopment Analysis (DEA).

a. Analisis bioekonomi surplus produksi Gordon-Schaefer (GS)

Analisis bioekonomi surplus produksi GS, pada penelitian ini, dibatasi pada kegiatan produksi perikanan tangkap oleh nelayan lokal yang melakukan kegiatan penangkapan di wilayah perairan pantai dengan menggunakan perahu motor tempel, alat tangkap pancing dan bagan sampan, dengan jenis sumber daya ikan cucut, kakap, dan kerapu. Kondisi ini dipilih karena sampai penelitian ini selesai dilakukan, awig-awig pengelolaan sumber daya perikanan pantai di Kabupaten Lombok Timur masih lebih difokuskan pada monitoring dan penegakkan sanksi pada kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan lokal yang melakukan kegiatan penangkapan di wilayah perairan pantai.

Analisis bioekonomi surplus produksi GS dilakukan menganalisis kondisi sumber daya perikanan aktual, upaya penangkapan aktual, dan kondisi sumber daya perikanan lestari, serta kondisi rente aktual dan rente lestari dengan mengikuti langkah-langkah yang dikembangkan oleh Anna 2003; Fauzi dan Anna 2005; dan Fauzi 2010.

b. Analisis degradasi dan depresiasi

Analisis degradasi dan depresiasi pada penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan pantai, dengan menganalisis laju degradasi dan laju depresiasi dari kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan lokal dalam memanfaatkan sumber daya perikanan, dengan mengikuti langkah-langkah yang dikembangkan oleh Anna 2003.

c. Analisis efisiensi DEA

Pendekatan analisis DEA yang digunakan pada penelitian ini untuk memahami bagaimana kondisi teknologi yang digunakan oleh nelayan lokal Kabupaten Lombok Timur dalam melakukan pemanfaatan akan sumber daya perikanan pantai terutama pada kegiatan penangkapan oleh nelayan lokal, apakah telah efisien atau tidak, dengan mengikuti langka-langkah yang dikembangkan oleh Fare et al. 2000; Anna 2003; Fauzi dan Anna 2005; dan Fauzi 2010.

3. Implikasi kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan pantai

(40)

20

Tabel 3.1 Indikator, parameter, dan data yang diperlukan dalam penelitian

Tujuan Indikator Parameter Data yang Diperlukan Analisis

(41)

21

4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITAN

Kabupaten Lombok Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan Selong sebagai Ibu Kota Kabupaten (Gambar 3.1). Kabupaten Lombok Timur memiliki luas wilayah 2.679,88 km2 yang terdiri dari wilayah daratan seluas 1.605,55 km (59,91%), dan wilayah lautan seluas 1.074,33 km (40,09%). Kabupaten Lombok Timur dikelilingi oleh pulau-pulau kecil (Gili) yang berjumlah 37 Gili dengan 6 Gili yang berpenghuni (BPS Kabupaten Lombok Timur 2009).

Kabupaten Lombok Timur secara geografis terletak antara 116-117° Bujur Timur dan antara 8-9° Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Lombok Timur sebelah Utara dibatasi oleh Laut Jawa dan Laut Flores; sebelah Selatan oleh Samudera Hindia; sebelah Barat oleh Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Barat; dan sebelah Timur oleh Selat Alas (DKP Kabupaten Lombok Timur 2010).

4.1 Kondisi Topografi

Kabupaten Lombok Timur terletak pada ketinggian antara 0-3.726 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan lereng bervariasi mulai dari kelas kemiringan lereng antara 0-2% sampai kelas kemiringan lereng lebih dari 40%. Bagian Utara merupakan dataran tinggi, dengan kondisi pantai landai dan berpotensi untuk pengembangan wisata bahari (terumbu karang dan mangrove); bagian Tengah merupakan dataran rendah yang subur dengan kondisi pantai landai; bagian Selatan merupakan dataran yang bergelombang dan berbukit-bukit, dengan kondisi pantai landai dan sebagian curam (bertebing), serta berpasir putih, dan berpotensi untuk pengembangan daerah wisata (DKP Kabupaten Lombok Timur 2010). Secara administratif, Kabupaten Lombok Timur terbagi menjadi 20 kecamatan, 13 kelurahan dan 96 desa (BPS Kabupaten Lombok Timur 2009). Berdasarkan pembagian ini, hanya 6 kecamatan dan 23 desa yang terletak di wilayah pesisir (DKP Kabupaten Lombok Timur 2010).

4.2 Kondisi Demografis

Jumlah penduduk di Kabupaten Lombok Timur sebanyak 1.105.671 yang terdiri dari pria 514.327 jiwa dan wanita 591.344 jiwa, sehingga seks rasio sebesar 87 per 100, artinya tiap 100 wanita terdapat 87 pria. Hal ini menggambarkan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk laki-laki. Dari jumlah penduduk di Kabupaten Lombok Timur, jumlah penduduk di wilayah pesisir sebesar 189.953 jiwa atau sekitar 17% dari populasi total (BPS Kabupaten Lombok Timur 2009) (Gambar 4.1).

(42)

22

rumah ditemukan yang pada awalnya tinggi bangunan 2 m di atas permukaan tanah, tetapi saat ini, hanya tinggal 0,5 m di atas permukaan tanah. Kondisi ini diakibatkan gelombang pasang tinggi yang melanda Kabupaten Lombok Timur pada awal tahun 2013.

Tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Lombok Timur selama 5 tahun terakhir rata-rata 213 jiwa/km2. Berdasarkan kepadatan penduduk, kecamatan di Kabupaten Lombok Timur dikelompokkan kedalam tiga kategori kepadatan, yaitu tinggi (>2.000 jiwa/km2), meliputi Sakra, Masbagik, Sukamulia dan Selong; sedang (1.000–2.000 jiwa/km2) meliputi Keruak, Sakra Barat, Sakra Timur, Terara, Montong Gading, Suralaga, Labuhan Haji dan Wanasaba; dan rendah (<1000 jiwa/km2) meliputi Jerowaru, Sikur, Pringgasela, Pringgabaya, Suela, Aikmel, Sembalun dan Sambelia (Kabupaten Lombok Timur 2014).

Jumlah penduduk di Kabupaten Lombok Timur yang beragama Islam selama tahun 2009 sebanyak 1.095.489 orang, Kristen sebayak 137 orang, dan Hindu sebanyak 539 orang. Dilihat dari ketersedian fasilitas peribadatan, Kabupaten Lombok Timur terkenal dengan sebutan seribu masjid, pada tahun 2009 tercatat sebanyak 1.184 atau dengan kata lain selama kurun waktu dua tahun telah dibangun masjid sebanyak 72 unit, sedangkan Gereja dan Pura masing-masing 1 unit dan berada di kecamatan Selong (Kabupaten Lombok Timur 2014).

Di bidang pendidikan, pemerintah Kabupaten Lombok Timur melalui program Wajib Belajar mengharuskan penduduk usia sekolah 6-17 tahun dapat mengikuti pendidikan formal SD sampai SLTP (Kabupaten Lombok Timur 2014). Berdasarkan kategori umur, penduduk Kabupaten Lombok Timur termasuk kategori struktur intermediate (peralihan umur muda ke umur tua). Lebih dari 30% penduduk berusia di bawah umur 15 tahun dan penduduk usia 65 tahun ke atas kurang dari 10% (Gambar 4.2). Sehingga rasio ketergantungan cukup tinggi sekitar 57 per 100, yakni 100 orang usia produktif menanggung beban hidup 57 orang usia tidak produktif dan belum produktif (BPS Kabupaten Lombok Timur 2009).

Potensi sumber daya manusia di Kabupaten Lombok Timur berdasarkan ketersedian tenaga kerja dan keahlian yang dimiliki oleh rata-rata tenaga kerja yang belum tersalurkan dari masing-masing kecamatan yang ada, sekitar 5-10% dengan rata-rata pendidikan terakhir SD-SMP dan banyak yang putus atau tidak sekolah (BPS Kabupaten Lombok Timur 2009).

Gambar 4.1 Prosentase penduduk berdasarkan wilayah tempat tinggal (BPS Kabupaten Lombok Timur 2009)

17%

83%

(43)

23

Persentase penduduk untuk 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha seperti bidang pertanian 48,80%; industri pengolahan 13,46%; usaha perdagangan sebesar 17,15%;bidang jasa 8,71%; bidang kontruksi 2,80%; angkutan dan komunikasi 6,05%; dan lain-lainnya sebesar 3,03% (Gambar 4.3). Dengan demikian, dapat dikatakan masyarakat cendrung melakukan kegiatan bertani atau berusaha membuka suatu usaha kecil seperti pengrajin patung, anyaman bambu, dan tenun timbul, terutama di wilayah terisolasi/terpencil meskipun demikian dapat memberikan keuntungan bagi wilayah Lombok Timur (BPS Kabupaten Lombok Timur 2009).

Sedangkan, profesi sebagai nelayan terutama nelayan tangkap banyak dilakukan secara turun-temurun. Jika sang ayah bekerja sebagai nelayan tangkap, maka minimal satu anak laki-laki dalam keluarga juga berprofesi sebagai nelayan, sehingga, pemahaman akan sumber daya perikanan dan kebiasan-biasaan dalam melakukan kegiatan penangkapan oleh nelayan yang satu dengan nelayan yang lain tidak banyak perbedaan. Keadaan ini didukung dari data Kecamatan dan Desa Pesisir, serta jumlah nelayan tahun 2006-2010 (Tabel 4.1), terlihat bahwa telah terjadi penambahan jumlah nelayan hampir di setiap desa pesisir dari tahun 2006-2010.

Gambar 4.2 Prosentase penduduk berdasarkan bidang lapangan pekerjaan (BPS Kabupaten Lombok Timur 2009)

48,80%

13% 17%

8,7% 2,8%

6% 3%

Bidang Pertanian Industri Pengolahan Usaha Perdagangan Bidang Jasa

Bidang Konstruksi Angkutan dan Komunikasi Lain-lain

Gambar 4.3 Prosentase penduduk berdasarkan umur (BPS Kabupaten Lombok Timur 2009)

30%

60% 10%

(44)

24

4.3 Potensi Sumber Daya Perikanan

Kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Lombok Timur didominasi oleh sampan dengan motor tempel (outbroad engine boat) sekitar 3.138 unit (Lampiran 2), kemudian diikuti dengan perahu tanpa motor (canoe) sebayak 479 unit, dan kapal motor (inboard engine boat) 345 unit (Tabel 4.2). Berdasarkan hasil observasi di lapangan, beberapa nelayan lokal yang menjadi responden menggunakan sampan dengan ukuran 7x1,5x0,5 m dan beberapa menggunakan sampan dengan ukuran 8x1,5x0,5 m. Motor tempel yang digunakan berkekuatan 2-4 horse power (PK) dengan wilayah penangkapan di perairan 2–4 mil dari air surut terendah atau di sekitar wilayah perairan pantai.

Tabel 4.1 Kecamatan, desa pesisir, dan jumlah nelayan tahun 2006-2010

No Kecamatan Desa/Kelurahan Jumlah Nelayan Per Tahun

2006 2007 2008 2009 2010

1 Jerowaru - Jerowaru 851 851 854 854 854

- Pemongkong 2.264 2.264 2.284 2.284 2.284

- Sukaraja 175 175 179 179 179

- Batu Nampar 871 871 876 876 876

Jumlah 4.161 4.161 4.193 4.193 4.193

2 Keruak - Tanjung Luar 5.253 5.253 5.278 5.278 5.278

- Pijot 757 757 759 759 759

Jumlah 6.010 6.010 6.037 6.037 6.037

3 Sakra Timur - Surabaya 265 265 266 266 266

- Gelanggang 340 340 342 342 342

Jumlah 605 605 608 608 608

4 Labuhan Haji - Penede Gandor 245 245 249 249 249

- Labuhan Haji 985 985 989 989 989

- Suryawangi 175 175 176 176 176

- Ijobalit 95 95 95 95 95

- Korleko 90 90 90 90 90

Jumlah 1.590 1.590 1.599 1.599 1.599

5 Pringgabaya - Kerumut 155 155 155 155 155

- Pohgading 60 60 60 60 60

- Batuyang 95 95 - - -

- Pringgabaya 227 324 330 330 330

- Labuhan Lombok 1.680 1.777 1.877 1.877 1.877

Jumlah 2.217 2.411 2.422 2.422 2.422

6 Sambelia - Labu Pandan 317 317 323 323 323

- Sugian 739 739 620 620 620

- Belanting 375 375 379 379 379

- Obel-obel 235 235 300 300 300

Jumlah 1.666 1.666 1.622 1.622 1.622

Total Jumlah 16.249 16.411 16.481 16.481 16.481

Gambar

Tabel 2.2 Tipe hak kepemilikan dengan pemilik, hak pemilik, dan kewajiban pemilik
Gambar 3.2 Kerangka penelitian dan analisis data
Tabel 3.1 Indikator, parameter, dan data yang diperlukan dalam penelitian
Tabel 4.1 Kecamatan, desa pesisir, dan jumlah nelayan tahun 2006-2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh guru serta pengamatan peneliti berdasarkan hasil observasi menjelaskan bahwa

・研修病院として急変時、入院時の対応だけではなく、退院後の生活を見据え

Rekam Medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan

Usaha kerajinan sulaman dan bordir di Sumatera Barat umumnya dan Bukittinggi khususnya, bermula dari usaha rumahan (industri rumah tangga), dilakukan pada

Tari Bungong Jeumpa adalah tarian daerah yang berasal dari Provinsi ..... Selain dilakukan dengan formasi berdiri, tari bungong jeumpa juga dilakukan dengan

KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KECAMATAN DELANGGU DAN KECAMATAN NGAWEN KABUPATEN KLATEN TAHUN 2006-2015 (Implementasi Untuk Bahan Ajar Geografi SMA Kelas XII Semester

bahwa untuk melaksanakan pasal 126 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka perlu ditetapkan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kecamatan