• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja Pengrajin Boneka Di Kota Bekasi Dalam Penerapan Standar Nasional Indonesia Mainan Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kinerja Pengrajin Boneka Di Kota Bekasi Dalam Penerapan Standar Nasional Indonesia Mainan Anak"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

KINERJA PENGRAJIN BONEKA DI KOTA BEKASI

DALAM PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA

MAINAN ANAK

TINTIN PRIHATININGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kinerja Pengrajin Boneka di Kota Bekasi dalam Penerapan SNI Mainan Anak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

(4)

RINGKASAN

TINTIN PRIHATININGRUM. Kinerja Pengrajin Boneka di Kota Bekasi dalam Penerapan Standar Nasional Indonesia Mainan Anak. Dibimbing oleh PUDJI MULJONO dan DWI SADONO.

Penduduk Indonesia terdiri dari 25 persen anak-anak berusia 0 sampai 14 tahun, dengan tingkat impor mainan anak yang mencapai 60 juta dolar AS pada Agustus 2013, namun mainan anak-anak tersebut belum tentu seluruhnya memenuhi standar keselamatan. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan No.55/M-IND/PER/11/2013 tentang pemberlakuan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) pada mainan anak. Penerapan standar wajib seharusnya dimulai pada bulan April 2014, tetapi sebagian besar pengrajin boneka yang berada di industri skala kecil belum siap.

Kinerja industri kecil dalam pelaksanaan standar wajib adalah penting karena mereka memiliki kontribusi terhadap PDB Indonesia dan pada tahun 2013, 3,9 juta UKM mampu menyerap tenaga kerja dari 9,14 juta orang. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) menganalisis kinerja boneka pengrajin di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak, 2) menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak.

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2015 sampai November 2016 di Bekasi. Populasi penelitian ini adalah 46 pengrajin inti yang memiliki modal ekonomi dalam bentuk bahan baku, mesin dan biaya operasional produksi. Pengumpulan data dilakukan dengan sensus terhadap 46 pengrajin inti. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik deskriptif dan statistik inferensial (Rank Spearman).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak tergolong pada kategori tinggi dalam tingkat pemenuhan persyaratan administasi, pengujian dan penandaan. Hasil analisis korelasi rank Spearman menunjukkan bahwa faktor karakteristik yang berkorelasi dengan kinerja adalah pendidikan formal, pengalaman bisnis, kemampuan memenuhi permintaan pasar dan investasi usaha. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa faktor motivasi yang berkorelasi dengan kinerja adalah kebutuhan untuk kekuasaan. Faktor eksternal yang berkorelasi dengan kinerja adalah tingkat ketersediaan informasi dan tingkat pemberdayaan boneka pengrajin melalui pelatihan. Tidak satu pun dari faktor atribut inovasi yang terdiri dari tingkat keuntungan relatif, kompabilitas, kompleksitas dan observabilitas, yang berkorelasi dengan kinerja.

(5)

SUMMARY

TINTIN PRIHATININGRUM. Performance of Doll Craftsman in Bekasi in Indonesian National Standard of Children Toys Implementation. Undersupervision of PUDJI MULJONO dan DWI SADONO.

Indonesian population consist of 25 percent children age 0 until 14 years old, with imported children toys reach 60 million dollars in August 2013, but those children toys may not all of it meet safety standards. Government of Indonesia has issued Decree No.55/M-IND/PER/11/2013 regarding The Mandatory of Indonesian National Standard (SNI) on Children Toys. The mandatory standards implementation have to start in April 2014, but most of the doll craftsman which are in small scale industry not ready yet.

Performance of smallscale industry in mandatory standards implementation is importance since they have contribution to Indonesia GDP and in 2013, 3,9 million SMEs were able to absorb the labor force of 9.14 million people. The objectives of this study were: 1) to analyze the performance of doll craftsman in Bekasi in the implementation of SNI of children toys, 2) to analyze the factors related to the performance of doll craftsman in Bekasi in the implementation of SNI of children toys.

This research was conducted in April 2015 to November 2016 in Bekasi. The population were 46 core doll craftsman who have economic capital in the form of raw materials, machinery and operational costs of production. The data collection was conducted by census on the population. The analysis of data was performed by using the correlation test of rank Spearman.

The results of this research showed that the performance level of the doll craftsman in Indonesian National Standard of Children Toys Implementation was high in the rate of administration requirement, testing requirement and marking requirement. The characteristic factors correlated with performance were formal education, business experience, the ability to meet market demand and business investment. The motivation factors correlated with performance was needs for power. The external factors correlated with performance were the availability of information and the level of doll craftsman empowerment through training. None of the attribute of innovation factors correlated with performance.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

TINTIN PRIHATININGRUM

KINERJA PENGRAJIN BONEKA DI KOTA BEKASI

DALAM PENERAPAN STANDAR NASIONAL INDONESIA

MAINAN ANAK

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

(8)
(9)

Nasional Indonesia Mainan Anak Nama : Tintin Prihatiningrum

NIM : I351130151

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Pudji Muljono, MSi Ketua

Dr Ir Dwi Sadono, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Prof Dr Ir Sumardjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2015 sampai dengan November 2016 ini ialah Kinerja Pengrajin Boneka di Kota Bekasi dalam Penerapan SNI Mainan Anak.

Terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Pudji Muljono, MSi dan Dr Ir Dwi Sadono, MSi selaku komisi pembimbing atas pengertian, dukungan, ilmu dan semangat yang diberikan kepada penulis saat penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih kepada Dr Ir Anna Fatchiya, MSi selaku dosen penguji luar komisi dan Prof Dr Ir Sumardjo, MS selaku moderator dalam ujian tesis yang telah memberikan beragam masukan dan saran konstruktif dalam penyempurnaan tesis ini.

Terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen dan staf kependidikan Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, yang telah mendidik dan membantu penulis selama penyelesaian studi di IPB. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran Badan Standardisasi Nasional (BSN), Kementerian Perindustrian, Disperindag Kota Bekasi, HIKIB (Himpunan Industri Kecil Pengrajin Boneka), HIPBI (Himpunan Industri Pengrajin Boneka Indonesia) dan HIBAS (Himpunan Industri Pengrajin Boneka dan Jasa Bordir) dan seluruh pengrajin boneka di Kota Bekasi yang telah memberikan informasi dan menyediakan waktu dan pikirannya untuk menjadi responden dalam penelitian ini.

Ungkapan terima kasih dan rasa hormat setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada orang tua tercinta Almarhum Ayahanda Sundarto yang berpulang ke Rahmatullah di tengah penulisan tesis ini dan Ibunda Suyati atas kasih sayang, doa, nasihat, dan dukungan moril dan materil yang diberikan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Suami tercinta Adi Baskoro atas kasih sayang, motivasi dan kesabaran yang diberikan kepada penulis sampai saat ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada putra putri tercinta Muhammad Banyu Baskoro atas inspirasi yang diberikan dan Padma Anindya Baskoro yang hadir di tengah-tengah penulisan tesis ini.

Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan studi di Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh sahabat keluarga PPN atas kasih sayang, kebersamaan, diskusi, dukungan, nasihat yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membaca dan berkontribusi pada perkembangan standardisasi di Indonesia.

Bogor, November 2016

(12)
(13)

DAFTAR ISI

PRAKATA i

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL v

DAFTAR LAMPIRAN v

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Kinerja 6

Motivasi Wirausaha 7

Atribut Inovasi 8

Pengrajin 10

Pengrajin Boneka di Kota Bekasi 11

Pemberlakuan SNI Wajib 12

Penerapan SNI Wajib Mainan Anak 13

Faktor Eksternal Pengrajin 18

Tinjauan Penelitian Sebelumnya 18

Kerangka Pemikiran 20

Hipotesis Penelitian 23

3 METODE PENELITIAN 25

Desain Penelitian 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Populasi, Sampel dan Informan 25

Data dan Intrumentasi Penelitian 26

Definisi Operasional 27

Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen 33

Teknik Pengumpulan Data 34

Teknik Analisis Data 34

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 36

Gambaran Umum Wilayah Penelitian 36

Deskripsi Perkembangan Kerajinan Boneka di Kota Bekasi 37

Karakteristik Pengrajin 38

Motivasi Wirausaha Pengrajin 40

Faktor Eksternal Pengrajin 42

Atribut Inovasi SNI Mainan Anak 43

Kinerja Pengrajin Boneka 45

(14)

Hubungan Faktor Eksternal dengan Kinerja Pengrajin 50 Hubungan Atribut Inovasi SNI Mainan Anak dengan Kinerja

Pengrajin 51

5 SIMPULAN DAN SARAN 52

Simpulan 52

Saran 52

DAFTAR PUSTAKA 53

(15)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi industri berdasarkan jumlah tenaga kerja 10 2 Jumlah pengrajin inti di tiap kecamatan di Kota Bekasi 12

3 Jumlah sebaran data penelitian 26

4 Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran

karakteristik pengrajin 28

5 Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran

motivasi wirausaha pengrajin 29

6 Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran

faktor eksternal pengrajin 30

7 Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran

atribut inovasi SNI mainan anak 31

8 Variabel kinerja pengrajin dalam penerapan SNI mainan anak 32 9 Sebaran karakteristik pengrajin boneka di Kota Bekasi 38 10 Rentang skor motivasi wirausaha pengrajin boneka di Kota Bekasi

dalam penerapan sni mainan anak 41

11 Rentang skor faktor eksternal pengrajin boneka di Kota Bekasi

dalam penerapan SNI mainan anak 42

12 Rentang skor atribut inovasi SNI mainan anak 44 13 Rentang skor kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI

mainan anak 46

14 Nilai koefisien korelasi antara karakteristik pengrajin dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI

mainan anak 48

15 Nilai koefisien korelasi antara motivasi wirausaha pengrajin

dengan kinerja pengrajin 49

16 Nilai koefisien korelasi antara faktor eksternal pengrajin dengan

kinerja pengrajin 50

17 Nilai koefisien korelasi antara atribut inovasi dengan kinerja

pengrajin 51

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tanda SNI 60

2 Contoh penggunaan tanda SNI pada produk boneka pengrajin di

Kota Bekasi 60

3 Sketsa Peta Kota Bekasi 61

4 Sosialisasi penerapan SNI mainan anak kepada pengrajin boneka

oleh Dinas Perindag Kota Bekasi 62

5 Pelatihan manajemen organisasi kepada pengrajin boneka oleh

Dinas Perindag Kota Bekasi 62

6 Diskusi para pengrajin boneka di Kota Bekasi 63 7 Proses produksi boneka di Prada Toys Kota Bekasi 63 8 Wawancara bersama pengrajin boneka di Kota Bekasi 64 9 Wawancara bersama kepala sub bagian IKM Dinas Perindag

Bekasi 64

(16)
(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengrajin boneka di Indonesia dalam beberapa kurun waktu terakhir ini telah berpusat di Kota Bekasi, setelah sebelumnya, selamanya dua dekade sempat berkembang di daerah Bandung dan Cengkareng. Awal mula hadirnya pengrajin boneka di Kota Bekasi ditandai dengan krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 dan membuat beberapa pabrik boneka asing di Kota Bekasi yang menutup pabriknya sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja. Kebutuhan ekonomi dan lapangan kerja membuat beberapa orang kemudian membangun usaha pembuatan boneka yang terus berkembang hingga saat ini.

Sejalan dengan perkembangan industri boneka di Indonesia saat ini telah diberlakukan wajib standar mainan anak untuk produksi boneka yang juga mengatur berbagai jenis mainan lainnya seperti kelereng, puzzle, baby walker dan lainnya. Standar merupakan sebuah inovasi yang penting bagi industri karena memberikan dampak perbaikan pada setiap produk, baik berupa barang maupun layanan jasa, mulai dari alat transportasi, alat komunikasi, barang-barang elektronik hingga kebutuhan sandang pangan sehari-hari. Standar awalnya diterbitkan untuk memastikan barang dan jasa agar dapat diproduksi dan digunakan pada negara yang berbeda. Standar juga digunakan untuk mengurangi hambatan perdagangan barang dan jasa sehingga dapat diperdagangkan dengan bebas di seluruh dunia. Standar berlaku secara nasional maupun internasional dan pada dasarnya penerapannya bersifat sukarela (BSN 2011).

British Standard Institution (BSI) menyebutkan bahwa standar akan membantu memastikan industri mendapatkan hasil terbaik dengan menghasilkan produk berkualitas, menjaga konsistensi, efisiensi dan praktek terbaik serta menunjukkan bagaimana untuk terus meningkatkannya. Adopsi terhadap standar akan membantu untuk membuat produk dan jasa menjadi lebih aman, yaitu dengan mengurangi kecelakaan dan menyelamatkan nyawa, misalnya dengan menetapkan standar minimum untuk produk-produk seperti makanan, minuman, pakaian bayi, keselamatan kebakaran, peralatan listrik, atau pada penelitian ini misalnya pada mainan anak yaitu boneka, sehingga standar dapat melindungi dan memberi informasi yang dibutuhkan bagi konsumen untuk membuat pilihan (BSI 2009).

Berhasil atau tidaknya pengrajin boneka dalam memenuhi persyaratan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) mainan anak berhubungan dengan banyak faktor yang berada di dalam maupun di luar diri pengrajin. Faktor-faktor tersebut turut menentukan bagaimana hasil produksinya dapat memenuhi persyaratan dan diterima oleh semua pasar yang dituju.

(18)

sesuai keinginan konsumen. Studi membuktikan bahwa fokus pada standar dapat menjadi penentu utama dalam strategi upgrading memasuki segmen pertambahan nilai yang lebih tinggi, di mana hasil penelitian memperlihatkan secara konsisten keuntungan pemakaian standar (ISO 2011).

SNI adalah satu-satunya standar yang berlaku nasional di seluruh Indonesia yang dirumuskan oleh panitia teknis yang berada di masing-masing institusi teknis dan ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai lembaga pemerintah yang bertugas dalam pengembangan kegiatan standardisasi di Indonesia. Pada prinsipnya tujuan dari standardisasi nasional sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional adalah meningkatkan perlindungan kepada masyarakat untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun kelestarian fungsi lingkungan hidup (BSN 2010a).

Melalui program Gerakan Penerapan Standar Nasional Indonesia (Genap SNI), pada 11 komoditas prioritas dalam rangka China ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA), Badan Standardisasi Nasional (BSN) mencanangkan salah satunya Program Penerapan SNI mainan anak. Hal ini termasuk dengan kebijakan edukasi pada penerap SNI yang tergolong pada Industri Kecil Menengah (IKM) seperti pengrajin boneka di tengah banyaknya impor mainan anak dari Cina (BSN 2010b).

Adopsi SNI mainan anak oleh pengrajin boneka dengan modal sosial ekonomi yang terbatas menjadi sebuah tantangan tersendiri, karena dibutuhkan komitmen dan motivasi yang kuat dari pihak manajemen untuk meningkatkan kinerja dalam penerapan SNI. Penerapan SNI sangat erat kaitannya dengan kesiapan untuk mengerahkan tenaga, pikiran, waktu dan biaya. Analisis kemampuan industri mainan anak menunjukkan bahwa dari sudut penerapan teknologi, banyak produsen mainan anak di dalam negeri berproduksi dengan teknologi rendah, padahal tuntutan industri mainan anak semakin maju. Pembinaan penerapan SNI membantu pengrajin boneka mencapai kinerja yang diharapkan dalam penerapan SNI, sehingga produk yang dihasilkan dapat sesuai dengan SNI dan mengurangi adanya risiko bahan-bahan kimia berbahaya yang terkandung pada mainan anak (BSN 2010c).

Mainan anak merupakan salah satu bisnis terbesar di dunia yang menjanjikan keuntungan besar, dan menjadi komoditi yang berpengaruh pada Indonesia sebagai negara dengan populasi anak usia 0 sampai dengan 14 tahun yang berdasarkan CIA World Factbook mencapai lebih dari 25 persen (CIA 2016). Mainan anak adalah salah satu sasaran utama industri global, menurut Kementerian Perdagangan, hingga bulan Agustus 2013 nilai impor mainan anak telah mencapai 60 juta dolar, dengan 95 persen di antaranya berasal dari Cina. Namun, belum tentu seluruh mainan yang beredar itu aman untuk anak, hingga kemudian standar mainan anak diberlakukan wajib (Suryowati 2013).

(19)

keracunan timbal akan menderita penyakit pernapasan akut, penyakit pencernaan akut, serta melemahnya kerja zat-zat pembangun tulang sehingga berpotensi menyebabkan kerapuhan tulang (BPOM 2014).

Radio Australia menyebutkan bahwa pemerintah Cina menutup beberapa pabrik setelah penarikan tersebut, dan memulai program pendidikan. Sebagai negara pengekspor mainan terbesar di dunia, dengan 22 miliar mainan buatan Cina terdapat di luar Cina pada tahun 2006, hal ini menjadi perhatian khusus pemerintah Cina (Barboza & Story 2007).

Menurut International Standard Organization (ISO), dari hasil penelitian Statistic Brain, tiga penyebab penarikan produk di seluruh dunia adalah karena luka bakar, tersedak dan laserasi atau luka robek, dengan 17 persen di antaranya produk mainan anak. Penarikan produk paling banyak dilakukan untuk produk yang berasal dari Asia, dengan jumlah sebanyak 72 persen. Dalam penarikan ini paling banyak dilakukan pada produk asal Cina, disusul produk yang berasal dari Amerika Latin (ISO Focus 2013). Kejadian tersebut menjadi perhatian Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Toy Safety Initiative yang kemudian mendorong adanya harmonisasi standar terkait keamanan mainan anak di antara negara-negara anggota APEC dengan mengacu pada standar ISO (Nadarajan 2013).

Selain menjadi perhatian dalam konferensi APEC, menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), persaingan terkait mutu dan keamanan produk yang dihasilkan sangat penting dan menentukan kelangsungan usaha. Bagi pengrajin boneka, peluang dalam menghadapi tantangan tersebut adalah dengan meningkatkan kemampuan dan mencapai kinerja maksimal dalam menghasilkan produk-produk boneka yang berkualitas dan aman. Kinerja tersebut salah satunya terkait pada peningkatan jumlah produksi boneka sesuai dengan permintaan pasar dan pemenuhan standar yang menjamin kekuatan fisik boneka serta keamanan zat kimia yang terkandung dalam bahan-bahan pembuatnya. Pemenuhan standar ini, selain karena SNI mainan anak sudah wajib, juga untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan.

Perumusan Masalah

Terhitung sejak Oktober 2013 lalu, di Indonesia, melalui Peraturan Menteri Perindustrian No.24/M-Ind/PER/4/2013 yang kemudian direvisi melalui Peraturan Menteri No.55/M-IND/PER/11/2013 diberlakukan SNI mainan anak secara wajib untuk memberikan perlindungan keamanan dan keselamatan pada anak. SNI mainan anak tersebut secara umum mengatur spesifikasi sifat fisis dan mekanis (SNI ISO 8124-1:2010), spesifikasi sifat mudah terbakar (SNI ISO 8124-2:2010), perpindahan unsur tertentu atau migrasi zat kimia (SNI ISO 8124-3:2010), keamanan dan keselamatam mainan yang bisa dinaiki (SNI ISO 8124-4:2010), keamanan mainan elektrik (SNI IEC 62115:2011), persyaratan zat warna azo dan kadar formaldehida (SNI 7617:2010) (Kemenperin 2013a).

(20)

pemenuhan persyaratan sesuai standar dilakukan pengujian yang terdiri dari di antaranya uji fisis dan mekanis, uji bakar dan uji kimia pada satu lot produksi, dengan ketentuan satu lot produksi merupakan hasil produksi selama enam bulan. Pengujian ini dilakukan melalui laboratorium penguji yang telah mendapatkan akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan ditunjuk oleh Menteri Perindustrian dan Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) dengan ruang lingkup produk mainan (Kemenperin 2013a).

Keberadaan SNI bertujuan untuk mengurangi risiko dan bahaya penggunaan mainan anak. Harapannya hal ini akan mendukung upaya agar industri dapat memenuhi persyaratan minimal dalam proses produksinya. Pemberlakuan SNI mainan anak menunjukkan bahwa SNI berlaku sebagai acuan pasar selain juga menjadi tanda jaminan mutu, keamanan dan keselamatan konsumen, khususnya pada bayi dan anak. Pemberlakuan ini juga ditujukan untuk meningkatkan daya saing industri nasional dan menciptakan persaingan usaha yang sehat dan adil (Kemenperin 2013b).

Persyaratan administrasi, persyaratan sertifikasi dan persyaratan penandaan harus dipenuhi oleh seluruh industri mainan anak, baik untuk skala usaha kecil, sedang, maupun besar, buatan dalam maupun luar negeri. Jika pengrajin boneka tidak memiliki motivasi maupun kemampuan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut maka sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian, produk mainan anak yang diproduksi tidak boleh beredar di Indonesia. Ketentuan ini memberi dampak yang luas dari sisi kelangsungan usaha kecil menengah, ketenagakerjaan serta devisa negara. Bagi pengrajin boneka, tantangan ini dapat menjadi sebuah nilai tambah, namun juga dapat menjadi hambatan bagi kelangsungan usaha, karena itu, langkah apa yang dipilih akan menentukan perkembangan usahanya.

Tantangan ini akan menjadi hambatan jika pengrajin boneka tidak dapat dalam mencapai kinerja yang diharapkan dalam memproduksi boneka yang mampu bersaing. Penerapan SNI merupakan salah satu inovasi teknologi dalam upaya pengembangan produk dan perwujudan kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar. Proses untuk mencapai kinerja ini membutuhkan dukungan dan peningkatan sumber daya manusia.

Sejalan dengan uraian di atas, dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak?

2. Faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut, dirumuskan tujuan penelitian:

1. Menganalisis kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak.

(21)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk menganalisis kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak dan faktor-faktor yang berhubungan dengannya. Hal tersebut dapat menjadi dasar untuk mengkaji kebijakan dan program penerapan SNI, khususnya dalam program penerapan SNI Wajib mainan anak, serta untuk merumuskan model kebijakan Program Penerapan SNI. Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai :

1. Bahan acuan analisis kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak.

2. Bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam peningkatan kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak

Ruang Lingkup Penelitian

(22)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kinerja

Kinerja diartikan sebagai suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugasnya yang berdasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu (Hasibuan 2006). Sebagai perilaku, kinerja mencakup tindakan-tindakan dan perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi.

Kinerja seseorang merupakan tingkat keberhasilan seseorang dalam melakukan tugas pekerjaannya atau target kerjanya. Berdasarkan As’ad (2012) tiga faktor utama yang berpengaruh pada kinerja adalah kemampuan bekerja individu, usaha kerja yang didasari keinginan individu untuk bekerja, dan dukungan organisasional berupa kesempatan untuk bekerja bagi tiap individu. Menurut Gibson et al. (2011), kinerja dapat dinilai salah satunya dengan menilai keadaptasian, yaitu bagaimana sebuah organisasi dapat menyesuaikan dirimya dengan perubahan. Perubahan di sini dapat mengacu pada perkembangan teknologi, peraturan pemerintah, maupun tuntutan pasar terhadap kualitas dan variasi produk.

Inovasi sebagai proses gelombang panjang penciptaan nilai di mana perusahaan pertama kali menemukan dan mengembangkan pasar baru, pelanggan baru, serta kebutuhan yang sedang berkembang dan tersembunyi dari pelanggan menuntut adanya perkembangan baru dalam kinerja sebuah organisasi. Menurut Barney (2002), kinerja perusahaan didefinisikan sebagai perbandingan nilai yang diciptakan organisasi dengan penggunakan aset dan nilai yang diharapkan diperoleh oleh pemilik.

Pada penelitian ini kinerja pengrajin boneka dilihat dari segi sejauh mana penerapan SNI mainan anak dapat tercapai secara keseluruhan untuk mencapai target produksi boneka yang memenuhi persyaratan pengujian berdasaran SNI mainan anak dan mampu mendapatkan SPPT SNI beserta pemenuhan aplikasinya pada produk.

Kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI adalah dengan memenuhi persyaratan SPPT SNI mainan anak, sesuai dengan tata cara memperoleh SPPT SNI yang tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Nomor:02/BIM/PER/1/2014, tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemberlakuan dan Pengawasan Penerapan SNI Mainan Anak Secara Wajib. Persyaratan memperoleh SPPT SNI yang dimaksud adalah memiliki Ijin Usaha (IUI atau TDI), sertifikat merek atau TDM, surat pernyataan jaminan untuk tidak mengedarkan mainan pada saat proses pengujian, surat pencatatan Registrasi SPPT SNI dan mampu menyediakan satu lot produksi atau hasil produksi selama enam bulan.

(23)

Motivasi Wirausaha

Motivasi pada dasarnya adalah dorongan dari dalam diri seseorang yang dapat dipengaruhi oleh berbagai hal di luar dirinya. Terdapat beragam teori motivasi seperti teori hirarki kebutuhan (Abraham Maslow), teori tiga motif sosial (David McClelland), teori dua faktor (Frederick Herzberg), teori E-R-G (Clayton Alderfer), dan berbagai teori lainnya.

Teori hirarki kebutuhan Maslow terdiri dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri (Thoha 2010). Teori ini menekankan tingkatan kebutuhan di mana ada beberapa kebutuhan yang diutamakan dan harus dipenuhi sebelum kebutuhan yang lain, misalnya kebutuhan fisiologis seperti makan dan minum akan didahulukan sebelum kebutuhan aktualisasi diri. Setelah kebutuhan-kebutuhan dasar itu terpenuh maka akan mucul kebutuhan-kebutuhan lain (Samsudin 2009).

Kewirausahaan dalam Suryana (2006) adalah merupakan kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumberdaya untuk mencari peluang sukses. Seorang wirausaha memerlukan kreativitas agar usahanya dapat berjalan dengan baik, yaitu kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang. Seorang wirausaha juga harus memiliki kemampuan inovasi untuk menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan masalah dan menemukan peluang.

Berdasarkan McClelland (1961) dalam berwirausaha, seseorang dipengaruhi berbagai motivasi sesuai teorinya yaitu teori tiga motif sosial, motivasi tersebut adalah:

(1) Kebutuhan akan prestasi (need for achievement), yaitu pada saat seseorang melakukan kegiatan kewirausahaan didorong oleh keingginan mendapatkan prestasi dan pengakuan dari orang lain. Suryana (2006) menyebutkan bahwa McClelland mendefinisikan motif berprestasi sebagai dorongan yang ada pada diri individu untuk meraih sukses yang optimal, yang melebihi prestasinya di masa lalu dan prestasi orang lain. Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk unggul, berhubungan dengan seperangkat standar, dan bagaimana berjuang untuk sukses. Kebutuhan ini pada hirarki Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri individu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik sehubungan dengan hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah.

(24)

sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi kepemimpinan.

(3) Kebutuhan afiliasi (need for affiliation), pada saat seseorang melakukan kegiatan kewirausahaan didorong oleh keinginan untuk berhubungan dengan orang lain secara sosial kemasyarakatan. Kebutuhan akan afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan ini untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi.

Teori yang diungkapkan oleh McClelland yaitu achievement motivation theory atau teori motivasi prestasi, menyebutkan bahwa kebutuhan akan prestasi adalah dorongan untuk unggul dan sukses sesuai dengan standar yang ditentukan. Individu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah (Suryana 2006).

Atribut Inovasi

Suatu inovasi atau sistem baru, biasanya akan melalui berbagai proses sebelum akhirnya diterima oleh masyarakat. Sebuah inovasi memerlukan waktu untuk kemudian diadopsi oleh individu ataupun sekelompok masyarakat. Menurut Rogers (2003), adopsi adalah keputusan untuk memanfaatkan sepenuhnya dari suatu inovasi sebagai tindakan yang terbaik dan melewati urutan tahapan sebelum penerimaan produk baru, sedangkan penolakan adalah keputusan untuk tidak mengadopsi suatu inovasi yang tersedia.

Atribut inovasi merupakan salah satu hal yang mempengaruhi tingkat adopsi yaitu kecepatan relatif suatu inovasi diadopsi oleh anggota atau sistem sosial. Rogers (2003) menyebutkan terdapat lima atribut dalam teori difusi inovasi yang menentukan tingkat adopsi inovasi, yaitu:

(1) Keuntungan relatif (relative advantage) adalah sejumlah manfaat yang diterima dari suatu hasil inovasi dibandingkan manfaat yang diperoleh sistem lama. Hal ini menunjukkan sejauh mana sebuah inovasi inovasi dianggap sebagai sesuatu yang lebih baik daripada gagasan yang digantikannya, lebih bermanfaat dari inovasi sebelumnya, dan dapat dilihat manfaatnya dari sudut pandang teknis, ekonomis, prestise, kenyamanan dan kepuasan. Jika seseorang merasa bahwa sebuah inovasi memberikan manfaat yang tinggi maka ia akan mengadopsi inovasi tersebut. Tingkat keuntungan relatif sering dinyatakan sebagai keuntungan ekonomi, seperti dari segi prestise sosial, atau dengan cara lain. Sifat inovasi menentukan jenis suatu keuntungan relatif apakah secara ekonomi, sosial, dan sejenisnya dianggap penting oleh pengadopsi, meskipun karakteristik pengadopsi potensial juga dapat mempengaruhi pandangannya tentang keuntungan relatif mana yang paling penting.

(25)

potensial. Kompatibilitas ini berkaitan erat dengan nilai sosial budaya, kepercayaan, gagasan yang dikenalkan sebelumnya, dan keperluan yang dirasakan oleh individu. Hal itu akan dipengaruhi oleh kesesuaian sebuah inovasi dengan nilai diri adopter, pengalaman adopter, dan kebutuhan adopter.

(3) Kompleksitas (complexity) adalah sejauh mana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dipahami dan digunakan, mudah tidaknya inovasi dapat dipraktekkan oleh pemakai, merujuk pada tingkat kesulitan pemahaman dan penggunaan sebuah inovasi. Semakin kompleks dan rumit sebuah inovasi akan lebih sulit diadopsi.

(4) Trialibilitas (trialability) adalah tingkat di mana inovasi dicoba diterapkan sebagian untuk melihat sejauh mana suatu inovasi teknologi dapat diuji. (5) Observabilitas (observability) merupakan tingkat di mana hasil dari inovasi

terlihat oleh pihak lain, sejauh mana suatu inovasi dianggap mudah diamati dan dikomunikasikan kepada orang lain, atau dapat terlihat langsung. Atribut ini menjadi pertimbangan dalam mengadopsi sebuah inovasi terkait sejauh mana hasil adopsi inovasi dapat diamati dan dikomunikasikan.

Inovasi merupakan bagian dalam transformasi, globalisasi dunia dan persaingan usaha, hal ini menjadi sebuah kebutuhan, di mana semua industri bersaing dan bertahan dengan berbagai bentuk penyempurnaan dari produk yang sudah stabil. Hal ini sesuai dapat dilihat dalam tahapan proses keputusan inovasi menurut Rogers (2003):

(1) Tahap pengetahuan, yaitu tahapan di mana seorang individu sudah mengetahui adanya inovasi dan mengerti bagaimana inovasi itu berfungsi. Tahap ini terkait pada karakteristik sosial ekonomi, variabel kepribadian dan perilaku komunikasi.

(2) Tahap persuasi, yaitu ketika seorang individu sudah membentuk sikap terhadap inovasi yaitu apakah inovasi tersebut dianggap sesuai atau tidak bagi dirinya. Pada tahap ini, terkait bagaimana inovasi dapat diterima atau diadopsi.

(3) Tahap keputusan, yaitu tahap seorang individu sudah terlibat dalam pembuatan keputusan yaitu apakah menerima atau menolak inovasi. Adopsi mengacu pada keputusan untuk adopsi menggunakan seluruh inovasi dengan usaha yang maksimal, sementara penolakan adalah keputusan untuk tidak mengadopsi sebuah inovasi. Jika sebuah inovasi memiliki dasar percobaan parsial, biasanya diadopsi lebih cepat, karena kebanyakan orang pertama ingin mencoba inovasi dalam situasi mereka sendiri dan kemudian datang ke keputusan adopsi.

(4) Tahap implementasi, yaitu pada saat seorang individu menerapkan inovasi berdasarkan keputusan yang telah dibuatnya. Penerapan ini masih memiliki ketidakpastian akan hasil yang dapat mempengaruhi tindakan selanjutnya. (5) Tahap konfirmasi, yaitu pada saat seorang individu mencari penguat bagi

keputusan inovasi yang telah dibuatnya. Pada tahap ini pengrajin dapat mengubah keputusan untuk menolak inovasi yang telah di adopsi sebelumnya.

(26)

umur. Hal ini menurut Rogers (2003) dapat digambarkan dalam kategori pengadopsi yang dikelompokkan sebagai berikut yaitu:

(1) Innovators, yaitu kelompok yang berjiwa petualang, sehingga berani mengambil resiko, kelompok ini bersifat cerdas dan biasanya memiliki kemampuan ekonomi tinggi. Innovator, kemudian meneruskan inovasi melalui pengguna lain hingga akhirnya diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari kegiatan produktif. Meskipun begitu inovator bukanlah opinion leaders, karena secara umum, dalam mencoba hal baru inovator berpikir untuk kemanfaatan dirinya sendiri (jumlahnya sekitar 2,5%).

(2) Early Adopters, yaitu kelompok merupakan perintis atau pelopor, sehingga menjadi teladan bagi masyarakat, biasanya mereka adalah pemuka pendapat, orang yang dihormati dengan akses yang tinggi di dalam masyarakat. Pengadopsi awal ini memiliki status di lingkungan sosial dan menjadi pemimpin opini, mereka mengadopsi produk yang berhasil membuat mereka lebih dapat diterima dan dihormati (jumlahnya sekitar 13,5%).

(3) Early Majority atau pengikut dini, yaitu mayoritas awal yang penuh pertimbangan dan memiliki interaksi internal tinggi. Kelompok ini lebih konservatif dan memiliki status sedikit di atas rata-rata, cenderung lebih berhati-hati dan hanya mengadopsi produk yang memiliki penerimaan sosial baik (jumlahnya sekitar 34%).

(4) Late Majority atau pengikut akhir, memiliki ciri skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi, dan terlalu berhati-hati. Kelompok ini tidak mau mengambil resiko dan memilih untuk melakukan apa yang sudah dilakukan orang lain (jumlahnya sekitar 34%).

(5) Laggards atau kelompok kolot, merupakan mereka yang bersifat tradisional, terisolasi, wawasan terbatas dan bukan opinion leaders. Kelompok ini adalah yang terakhir di dalam suatu sistem sosial yang mengadopsi suatu inovasi. Mereka bersifat tradisional dan tidak suka menggunakan hal-hal baru (jumlahnya sekitar 16%).

Pengrajin

Pengrajin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah yang menghasilkan kerajinan dengan skala usaha Industri Kecil Menengah (IKM). Menurut BPS pembagian kriteria IKM didasarkan pada jumlah tenaga kerja, seperti yang dijabarkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi industri berdasarkan jumlah tenaga kerja

No. Jenis Industri Jumlah Tenaga Kerja (Orang)

1. Industri Rumah Tangga 1-4

2. Industri Kecil 5-19

3. Industri Sedang atau Menengah 20-99

4. Industri Besar > 99

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016

(27)

(1) Organisasi Kecil, yaitu organisasi yang menghasilkan barang/jasa dan memiliki kekayaan bersih lebih dari 50 juta rupiah sampai dengan paling banyak 500 juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 300 juta rupiah sampai dengan paling banyak 2 miliar 500 juta rupiah.

(2) Organisasi Menengah, yaitu organisasi yang menghasilkan barang/jasa dan memiliki kekayaan bersih lebih dari 500 juta rupiah sampai dengan paling banyak 10 miliar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 2 miliar 500 juta rupiah sampai dengan paling banyak 50 miliar rupiah.

Industri kecil yang dimaksud dalam penelitian ini sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor:41/M-IND/PER/2008, yaitu yang memiliki investasi seluruhnya di atas lima juta rupiah sampai dengan dua ratus juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau dengan kata lain industri kecil yang termasuk kategori wajib memiliki Tanda Daftar Industri (TDI).

Kesiapan pengrajin dalam menerapkan SNI berkaitan dengan keberlangsungan usaha, sehingga hal ini menjadi perhatian khusus. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, hingga tahun 2013, dari 3,9 juta IKM yang ada di Indonesia, mampu menyerap tenaga kerja sebesar 9,14 juta orang. Industri kecil menengah (IKM) di Indonesia berkontribusi 10 persen untuk Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional pada tahun 2012 dan ditargetkan kontribusi IKM dapat mencapai 50 persen pada tahun 2025.

Peluang IKM di tengah pertumbuhan kelas`menengah masyarakat Indonesia yang terus meningkat sangatlah besar. Dalam era ASEAN Economic Community saat ini, pertumbuhan ekonomi tersebut jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan menjadi lahan yang digarap oleh industri dari negara lain.

Pengrajin Boneka di Kota Bekasi

Pada pemberlakuan SNI wajib mainan anak, dari 12 jenis mainan yang termasuk di dalamnya, salah satunya adalah boneka. Kota Bekasi merupakan salah satu sentra produksi boneka di Indonesia. Jumlah keseluruhan pengrajin boneka di Kota Bekasi hingga tahun 2015 terdapat sekitar 300 pengrajin yang menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Kota Bekasi terdiri dari 46 pengrajin inti yaitu pengrajin boneka yang memiliki modal ekonomi dan selebihnya terdiri dari pengrajin plasma yaitu pengrajin yang merupakan binaan pengrajin inti untuk mengerjakan kerajinan boneka sesuai standar yang ditentukan. Pengrajin plasma dalam menjalankan produksinya tergantung pada permintaan dari pengrajin inti dalam hal jumlah maupun spesifikasi dan mutu produk. Secara keseluruhan bidang kerajinan boneka ini mampu menyediakan lapangan kerja untuk 10.000 orang yang tersebar di beberapa kecamatan di Kota Bekasi.

(28)

persyaratan sertifikasi dan bantuan dana dari APBD sebesar kurang lebih 15 juta rupiah untuk membiayai sertifikasi SNI mainan anak.

Program ini kembali diadakan pada tahun 2015 dengan target 12 pengrajin boneka mampu mendapatkan sertifikasi mainan anak. Kriteria pengrajin yang menerima pendampingan proses pemenuhan persyaratan SPPT (Sertifikat Produk Penggunaan Tanda) SNI mainan anak ini adalah pengrajin boneka yang telah memiliki persyaratan administrasi paling lengkap. Hal ini menjadi salah satu variabel yang ingin dilihat sebagai kinerja pengrajin boneka dalam penerapan SNI mainan anak.

Selain dari Dinas Perindag Kota Bekasi, beberapa pengrajin boneka juga mendapatkan insentif dari Kementerian Perindustrian RI dengan dana dari APBN dan pendampingan oleh Dinas Perindag Kota Bekasi, terhitung melalui program ini di Kota Bekasi terdapat satu pengrajin boneka yang telah memperoleh SPPT SNI dan dua pengrajin boneka lainnya masih dalam proses.

Data dari Dinas Perindag Kota Bekasi menunjukkan bahwa hampir di seluruh Kecamatan di Kota Bekasi terdapat pengrajin inti, dengan jumlah paling banyak di daerah Bantar Gebang dan Rawa Lumbu disusul Mustika Jaya, dan Bekasi Timur. Pengrajin inti yang tersebar di 8 kecamatan di Bekasi tersebut sebagian merupakan anggota dari asosiasi yang terdiri dari tiga asosiasi pengrajin boneka yaitu HIKIB (Himpunan Industri Kecil Pengrajin Boneka), HIPBI (Himpunan Industri Pengrajin Boneka Indonesia) dan HIBAS (Himpunan Industri Pengrajin Boneka dan Jasa Bordir).

Asosiasi tersebut memiliki koperasi yang dipergunakan salah satunya untuk pengajuan SNI mainan anak untuk merek bersama di samping masing-masing pengrajin juga memiliki SPPT SNI atas nama perusahaannya untuk produk yang lebih eksklusif. Jumlah pengrajin inti yang ada di tiap kecamatan di Kota Bekasi, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah pengrajin inti di tiap kecamatan di Kota Bekasi

No. Nama Kecamatan Jumlah Pengrajin inti Persentase

1 Bantar Gebang 20 43,5

2 Rawa Lumbu 9 19,6

3 Mustika Jaya 7 15,2

4 Bekasi Timur 4 8,7

5 Jati Asih 2 4,3

6 Bekasi Barat 2 4,3

7 Medan Satria 1 2,2

8 Bekasi Selatan 1 2,2

Total 46

Pemberlakuan SNI Wajib

(29)

practice, yaitu bersifat terbuka, transparan, tidak memihak dan konsensus, efektif dan relevan, koheren dan berdimensi pembangunan dengan memperhatikan kepentingan publik dan kepentingan nasional dalam meningkatkan daya saing perekonomian nasional (BSN 2010b).

Sesuai perjanjian TBT WTO, pengembangan standar nasional diupayakan mengacu dan tidak menduplikasi standar internasional, memberikan kesempatan bagi pemangku kepentingan untuk memberikan tanggapan dan masukan, serta dipublikasikan melalui media yang dapat diakses secara luas selama sedikitnya 60 hari. Hal ini dilakukan oleh BSN sebagai notification body dan enquiry point di Indonesia. Perbedaan dengan standar internasional harus dengan mudah diketahui dan diberikan penjelasan mengapa perbedaan tersebut diterapkan (BSN 2010b).

Penerapan SNI pada dasarnya bersifat sukarela, SNI dapat diberlakukan wajib pada saat diperlukan untuk melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, pemerintah dapat memberlakukan SNI tertentu secara wajib jika dianggap penting dan diperlukan. Pemberlakuan ini dilakukan oleh instansi pemerintah yang berwenang melalui regulasi teknis, dan produk yang tidak memenuhi ketentuan tersebut tidak boleh beredar di pasaran, karena itu perlu dilakukan tanpa menghambat persaingan usaha yang sehat (BSN 2010c).

Pemberlakuan SNI wajib membuat penilaian kesesuaian sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga perlu didukung oleh pengawasan pasar, baik pengawasan pra pasar untuk menetapkan kegiatan atau produk yang telah memenuhi ketentuan SNI wajib tersebut maupun pengawasan pasca pasar untuk mengawasi dan mengkoreksi kegiatan atau produk yang belum memenuhi ketentuan SNI (BSN 2010c).

Pemberlakuan standar wajib baru dapat diberlakukan secara efektif sekurang-kurangnya 6 bulan setelah ditetapkan untuk memberikan kesempatan semua pihak mempersiapkan diri. Pemberlakuan regulasi teknis tidak boleh membedakan produk yang diproduksi di dalam negeri dengan produk yang diproduksi di negara lain, dan tidak mendiskriminasikan produk dari suatu negara tertentu dengan produk dari negara lainnya (BSN 2010c).

Penerapan SNI Wajib Mainan Anak

Melalui Peraturan Menteri Perindustrian No.24/M-Ind/PER/4/2013 dengan beberapa perubahan pada Peraturan Menteri Perindustrian No.55/M-Ind/PER/11/2013, diberlakukan SNI Mainan Anak secara wajib bulan April 2014, untuk meningkatkan daya saing industri nasional dengan menjamin mutu hasil industri dan perlindungan konsumen. Peraturan ini berlaku untuk mainan anak usia di bawah usia 14 tahun, baik penggunaan normal hingga penggunaan kasar. Pemenuhan persyaratan dilakukan melalui pengujian di laboratorium yang telah terakreditasi yang terdiri dari uji fisis dan mekanis, uji bakar dan uji kimia (Kemenperin 2013a).

(30)

Produk (PPSP) untuk melakukan pengawasan pemberlakuan dan penerapan SNI Mainan secara wajib sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam satu tahun.

Peraturan Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM) Nomor. 02/BIM/PER/1/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemberlakuan dan Pengawasan SNI Mainan Secara Wajib menyebutkan bahwa untuk boneka yang mencakup bagian dan aksesorisnya, standar yang berlaku adalah SNI ISO 8124-1:2010, SNI ISO 8124-2:2010, SNI ISO 8124-3:2010, SNI 7617:2010 (Kemenperin 2014).

SNI ISO 8124-1:2010 merupakan adopsi identik dari ISO 8124-1:2009 dengan judul Safety of toys – Part 1: Safety aspects related to mechanical and physical properties, standar ini merupakan revisi dari SNI 12-6527.1-2001, Keamanan mainan - Bagian 1: Spesifikasi sifat fisis dan mekanis (BSN 2010d). SNI ISO 8124-2:2010 merupakan adopsi identik dari ISO 8124-2:2007 dengan judul Safety of toys–Part 2: Flammability, standar ini merupakan revisi dari SNI 12-6527.2-2001, Keamanan mainan-Bagian 2: Spesifikasi sifat mudah terbakar(BSN 2010e). SNI ISO 8124-3:2010 merupakan adopsi identik dari ISO 8124-3:2007 dengan judul Safety of toys–Part 3: Migration of certain elements, standar ini merupakan revisi dari SNI 12-6527.3-2001, Spesifikasi untuk perpindahan elemen-elemen tertentu (BSN 2010f).

Standar tersebut ketiganya disusun dengan cara reprint-republikasi oleh Sub Panitia Teknis 97-01-S1, Mainan Anak dari Panitia Teknis 97-01, Rumah tangga, hiburan dan olah raga, dengan sekretariat Kementerian Perindustrian. Standar ini telah dikonsensuskan di Jakarta, pada tanggal 8 Februari 2010, yang dihadiri oleh wakil-wakil dari pemerintah, produsen, konsumen, tenaga ahli, dan institusi terkait lainnya. Dalam standar ini istilah ―ISO‖ diganti dengan ―SNI ISO‖, dan

istilah ―International Standards‖ diganti dengan ―National Standards‖(BSN

2010e).

SNI 7617:2010 Tekstil mengenai Persyaratan zat warna azo dan kadar formaldehida pada kain untuk pakaian bayi dan anak disusun untuk melengkapi SNI di bidang tekstil. Standar ini menetapkan persyaratan mutu zat warna azo dan kadar formaldehida pada kain untuk pakaian bayi dan anak dari berbagai jenis serat tekstil meliputi kain tenun dan kain rajut. Penyusunan SNI ini didukung oleh data hasil uji dari bermacam-macam produk pakaian jadi bayi dan anak yang diperoleh dari pasar maupun dari industri kecil yang memproduksi pakaian untuk bayi dan anak. Standar ini disusun oleh Panitia Teknis 59-01, Tekstil dan Produk Tekstil (BSN 2010g).

Pemerintah memberi waktu kepada industri mainan untuk memenuhi persyaratan sesuai SNI hingga menjadi bulan Oktober 2014, dan kemudian diundur kembali hingga 30 April 2015. Pengrajin boneka merasa pemberlakuan itu menambah beban biaya produksi dan tidak seimbang dengan keuntungan yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkanpenerapan SNI dibutuhkan kampanye nasional standardisasi secara terus menerus dan berkesinambungan program penerapan SNI melalui edukasi, pembuatan kurikulum pelatihan standardisasi, peningkatan partisipasi para pelaku usaha serta mendorong keterlibatan lembaga-lembaga pelatihan dalam mendidik dan membina tenaga ahli standardisasi.

(31)

adanya pasar bebas, khususnya produk mainan yang masuk ke Indonesia dengan harga yang murah dan bersaing dengan produk lokal. Harga murah ini belum tentu merupakan jaminan bagi mainan tersebut. Produk mainan asal Cina yang masuk secara ilegal dan memunculkan kekhawatiran mengandung zat-zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan, selain itu standar mutu dan keamanannya pun memerlukan pengawasan yang ekstra ketat. Mainan asal Cina ini dapat ditemukan mulai dari pasar tradisional hingga ke pusat perbelanjaan.

Menurut Herjanto dan Rahmi (2010), Asosiasi Penggiat Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia (APMETI) menemukan mainan Cina yang beredar di Indonesia 80 persen mengandung logam berat dan racun. Kondisi ini diakui oleh pemerintah Cina bahwa 20 persen mainan anak-anak dan bayi di Cina berada di bawah standar. Mainan dari Cina yang beredar ciri-cirinya sebagian besar terbuat dari plastik, seperti bola, mobil-mobilan dan boneka, beratnya lebih ringan dari produk buatan lokal dan harganya lebih murah hingga 50 persen.

Survei yang dilakukan oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) sebanyak 60 persen masyarakat Indonesia tidak tahu tentang perlindungan konsumen. Apabila terdapat pengaduan oleh konsumen BPKN akan melakukan kajian dan menyampaikan rekomendasi kepada eksekutif untuk mengubah regulasi yang berpihak kepada konsumen (Virdhani 2013).

Menurut Endraswati (2011) konsumen membeli apa yang mereka yakini dapat menawarkan nilai tertinggi yang diberikan kepada pelanggan (customerdelivered value) yaitu perbedaan antara nilai total pelanggan (total customer value) dan biaya total pelanggan (total customer cost). Hal ini sangat terkait dengan mutu produk, Kotler (2005) dalam bukunya Manajemen Pemasaran, menyebutkan bahwa produk adalah sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian, untuk dibeli, digunakan atau dikonsumsi yang dapat memenuhi suatu keinginan atau kebutuhan. Produk meliputi obyek fisik, jasa, orang, tempat, organisasi dan gagasan. Mutu produk adalah kemampuan sebuah produk untuk menjalankan fungsinya, sehingga dapat dikategorikan meliputi tahan lama, handal, memenuhi aspek keamanan, keselamatan, teliti, memiliki kemudahan operasional dan perbaikan, serta atribut-atribut lainnya yang bernilai.

Pemberlakukan SNI Wajib mainan anak di Indonesia menentukan persyaratan bahwa mainan harus dibuat cukup besar (diameter 1,75 inci atau 4,4 sentimeter) dengan bagian yang tidak mudah lepas agar tidak berisiko tertelan, terutama untuk anak di bawah tiga tahun. Mainan yang beredar harus dibuat dari material atau bahan yang tidak mudah terbakar, memiliki permukaan dan sudut yang halus, dibuat kuat, kokoh dan tidak mudah pecah sehingga tidak menggores dan melukai anak. Mainan lipat atau mainan berengsel harus dirancang dengan aman agar tidak menjepit jari anak. Pemakaian zat kimia yang berbahaya tidak diperkenankan karena berpotensi terjadinya keracunan ataupun kematian.

Parameter persyaratan kritikal sesuai Annex B SNI ISO 8124-1:2010 menyebutkan bahwa terdapat poin-poin pentingnya label keselamatan peringatan bahaya tersedak atau kemungkinan bahaya lain yang dapat ditimbulkan oleh mainan, penandaan pabrik berisi nama dan alamat produsen atau produsen dalam bahasa Indonesia.

(32)

mainan tidak pecah saat dijatuhkan berkali-kali dari ketinggian tertentu, uji puntir 180 derajat atau 0,45 Nm selama 10 detik untuk memastikan mainan tidak mudah patah atau terlepas, uji tekan dengan gaya 114 sampai dengan 138 N selama 10 detik memastikan mainan tidak mudah pecah, uji tarik70 N digunakan untuk memastikan jahitan atau bagian mainan tidak mudah terlepas, pukul, dan suara.

Sementara pengujian sifat mudah terbakar sesuai SNI ISO 8124-2:2010 akan memastikan mainan dengan bahan-bahan yang mudah terbakar, seperti tekstil, bahan tenda atau terpal, telah dikondisikan dalam suhu tertentu dapat bertahan dari rata-rata tingkat keterbakaran. Uji bakar harus dilakukan pada mainan berbulu seperti boneka untuk memastikan mainan tidak mengandung seluloid atau mengandung cairan yang mudah terbakar dengan laju bakar kurang dari 30 mm per detik.

Penguji kimia sesuai SNI ISO 8124-3:2010 dilakukan untuk mengetahui kandungan zat kimia sesuai batas maksimal zat berbahaya seperti antimoni (Sb) tidak boleh lebih dari 60 ppm, arsenik(As) tidak boleh lebih dari 25 ppm, barium (Ba) tidak boleh lebih dari 1000 ppm, kadmium (Cd) tidak boleh lebih dari 75 ppm, Kromium (Cr) tidak boleh lebih dari 60 ppm, timbal (Pb) tidak boleh lebih dari 90 ppm, merkuri (Hg) tidak boleh lebih dari 60 ppm, dan selenium (Se) tidak boleh lebih dari 500 ppm.

Pada mainan dengan bahan dasar kain harus diuji persyaratan zat warna azo dan formaldehida sesuai SNI 7617:2010. Zat warna azo tidak boleh lebih dari 20 ppm karena bersifat beracun, mutagenik, karsiogenik dan alergi, pewarna ini biasa digunakan untuk memberi warna cerah dan bersifat tidak biodegradabel serta sulit hilang dari ekosistem. Formaldehida digunakan pada tekstil sebagai pengikat pigmen azo agar warna tahan lama, zat ini tidak boleh lebih dari 75 ppm karena bersifat berbahaya bila tertelan dapat menimbulkan muntah-muntah dan iritasi saluran pernapasan, untuk jangka panjang dapat menyebabkan kanker, mengacaukan susunan DNA.

Parameter keselamatan lainnya adalah persyaratan kandungan phthalates atau ftalat sesuai EN 71-5, zat ini adalah senyawa kimia yang ditambahkan ke plastik agar lebih lentur, zat ini sedikit demi sedikit akan terlepas dan berbahaya jika sampai tertelan karena bertindak sebagai anti androgen. Phthalates dengan jenis DBP, BBP, DEHP, DINP, DNOP dan DIDP tidak boleh lebih dari 0,1 persen.

Pada penelitian ini mainan anak yang dimaksud sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian No.55/M-IND/PER/11/2013adalah boneka, baik bagian maupun aksesorisnya dengan nomor Harmonized System (HS) 9503.00.21.00, 9503.00.22.00 dan 9503.00.23.00. Boneka tersebut tidak termasuk yang memakai batere atau elektronik, sehingga tidak perlu memenuhi SNI IEC 62115:2011 tentang keamanan Mainan Elektrik.

Peraturan Menteri tersebut mengatur bahwa perusahaan yang memproduksi mainan sebagaimana dimaksud dalam pemberlakuan secara wajib SNI mainan anak wajib memenuhi dan menerapkan SNI dengan:

(1) memiliki SPPT SNI sesuai ketentuan skema sertifikasi sebagai berikut: (a) pengujian kesesuaian mutu produk sesuai ketentuan SNI yang dilakukan

(33)

(b) penerbitan SPPT SNI dilaksanakan sesuai dengan Pedoman Standardisasi Nasional (PSN) 302:2006: Penilaian Kesesuaian—Fundamental Sertifikasi Produk melalui Pengujian kesesuaian mutu produk sesuai ketentuan SNI mainan anak

(2) pembubuhan tanda SNI pada setiap produk dan/atau kemasan di tempat yang mudah dibaca dan dengan proses yang menghasilkan tanda SNI tidak mudah hilang

(3) membubuhkan penandaaan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan

Berdasarkan sosialisasi SNI mainan anak terkait penerapan dan manfaatnya, BSN menyampaikan bahwa ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengrajin boneka untuk memperoleh sertifikasi SNI adalah sebagai berikut (BSN 2014):

(1) Persyaratan Administrasi Pengajuan SPPT SNI

Persyaratan permohonan SPPT SNI ditujukan ke LSPro (Lembaga Sertifikasi Produk) adalah dengan melampirkan spesifikasi produk dan pemohon memenuhi persyaratan administrasi di antaranya:

(a) Izin Usaha Industri (IUI) atau Tanda Daftar Industri (TDI)

(b) Sertifikat Merek atau Surat bukti Pendaftaran Merek (Tanda Daftar Merek) yang diterbitkan oleh Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Kementrian Hukum dan HAM, dan/atau Perjanjian Lisensi dari pemilik merek untuk merek yang telah didaftarkan pada Dirjen HKI.

(c) Surat pernyataan jaminan untuk tidak mengedarkan mainan pada saat proses pengujian.

(d) Surat Pencatatan (registrasi) SPPT SNI dari Dirjen Pembina Industri Kementrian Perindustrian.

(2) Persyaratan Sertifikasi

Proses sertifikasi pengujian dilakukan oleh laboratorium uji yang ditunjuk LSPro pada setiap lot produksi atau hasil produksi selama enam bulan. Proses Pengujian dilakukan berdasarkan SNI ISO 8124-1:2010, SNI ISO 8124-2:2010, SNI ISO 8124-3:2010 dan SNI 7617:2010.

Pengambilan hasil produksi dilakukan oleh Petugas Pengambil Contoh (PPC) yang ditugaskan oleh LSPro. Hasil uji contoh dituangkan dalam Sertifikat/Laporan Hasil Uji (SHU/LHU). Lingkup jaminan mutu mainan berdasarkan SPPT SNI merupakan jaminan pada saat mainan dalam keadaan baru. Jangka waktu Penerbitan SPPT SNI adalah lima hari kerja setelah semua persyaratan diterima dengan lengkap dan benar. Biaya penerbitan SPPT SNI merupakan tanggung jawab pemohon.

Satu SPPT SNI dapat memuat lebih dari satu merek produk dan famili produk (memiliki kesamaan merek, kode HS, kategori usia, fungsi utama (elektrik atau mekanik), bahan baku utama dan parameter uji.

(3) Persyaratan penandaan SNI

Sementara dalam penandaan SNI pelaku usaha pemegang SPPTSNI memiliki kewajiban melaporkan realisasi produk mainan kepada Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (Dirjen BIM) 1 bulan sejak diterbitkannya SPPT SNI. Pelaku usaha harus mencantumkan tanda SNI pada setiap produk dengan persyaratan, sebagai berikut:

(34)

(b) Tanda SNI tidak mudah hilang.

(c) Tanda SNI berbentuk bujur sangkar dengan ukuran minimal 7x7 mm. (d) Tanda SNI yang tidak memungkinkan dicantumkan pada produk, maka

dapat dicantumkan pada label atau kemasan terkecil.

(e) Tanda SNI dapat dilakukan menggunakan stiker permanen (yang tidak mudah lepas), diembos, dijahit, dicetak atau cara lain yang disesuaikan dengan jenis material dan produk.

(f) Tanda SNI pada mainan anak sesuai dengan pedoman KAN 403-2011 tentang penilaian kesesuaian-ketentuan umum penggunaan kesesuaian berbasis SNI dan/atau regulasi teknis (Lampiran 3)

Faktor Eksternal Pengrajin

Faktor eksternal pengrajin yang dimaksud di antaranya adalah informasi, insentif dan pemberdayaan pengrajin. Rogers (2003) menyebutkan media massa dalam teori hypodermic needle model atau teori jarum suntik dianggap memiliki pengaruh langsung, segera dan kuat pada pemirsanya. Sementara dalam two-step flow model media massa dianggap sebagai pembentuk pengetahuan dan komunikasi interpersonal seperti yang dilakukan instansi pemerintah, tenaga penyuluh lapangan, pengrajin lain dan lembaga sertifikasi produk dianggap lebih penting dalam mempengaruhi proses adopsi.

Insentif menurut Rogers (2003) adalah suatu hal yang diberikan baik berupa uang maupun bentuk lainnya yang ditujukan untuk mendorong adanya perubahan perilaku dengan meningkatkan keuntungan relatif dari sebuah ide atau inovasi baru. Insentif pada penelitian ini dilihat dari ketersediaan insentif penerapan SNI mainan anak yang berupa biaya sertifikasi, pelatihan pemahaman dokumen SNI, pendampingan pengujian produk dan publikasi di media massa.

Salah satu insentif yang diberikan adalah publikasi, sesuai Peraturan Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur (BIM) Nomor. 02/BIM/PER/1/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemberlakuan dan Pengawasan SNI Mainan Secara Wajib dilaksanakan melalui pemberian penghargaan, pemuatan berita dalam media cetak dan elektronik yang bertujuan untuk sosialisasi, memberikan informasi, dan pemahaman terhadap masyarakat atas penerapan SNI secara wajib. Publikasi ini dilakukan salah satunya untuk menghargai ketaatan penerapan SNI oleh produsen dan pelaku usaha lainnya serta pihak terkait (Kemenperind 2014).

Adapun pemberdayaan seperti disebutkan Mardikanto (2015) bertujuan memperbaiki pendidikan dan aksesibilitas yang mampu menumbuhkan semangat belajar seumur hidup dan diharapkan akan memperbaiki bisnis yang dilakukan dan memperbaiki kehidupan masyarakat yang tercermin dalam perbaikan pendapatan. Pemerintah daerah perlu mengambil peranan besar karena dianggap paling mengetahui keadaan industri di daerahnya. Meskipun begitu, kunci keberhasilan dari pemberdayaan IKM bergantung pada partipasi dari IKM sebagai pelaku utama dalam penerapan SNI.

Tinjauan Penelitian Sebelumnya

(35)

berhubungan dengan kajian kesiapan penerapan SNI, salah satunya oleh Herjanto dan Rahmi (2010) mengenai Kajian Kesiapan Pemberlakuan Secara Wajib Standar Mainan Anak-Anak. Penelitian tersebut dilakukan sebelum ditetapkan kebijakan SNI wajib mainan anak, karena itu setelah kebijakan tersebut diluncurkan dan pengusaha mainan anak mulai mengajukan sertifikasi SNI, maka dipilih topik mengenai Kinerja Pengrajin Boneka di Kota Bekasi dalam Penerapan Standar Nasional Indonesia Mainan Anak. Penelitian ini berhubungan dengan perubahan perilaku sebagai proses belajar dengan kesadaran kritis atas persaingan usaha yang sehat dan meningkatkan mutu produk.

Penelitian lain tentang SNI mainan anak di antaranya adalah sebagai berikut:

(1) Mabruri (2014) dalam penelitiannya mengenai standardisasi dan pengawasan peredaran produk mainan anak oleh pemerintah, menyimpulkan bahwa instrumen hukum SNI mainan anak maupun produsen mainan anak belum sepenuhnya baik, pengawasan terhadap pelaku usaha dalam hal peredaran produk mainan anak harus dioptimalkan dengan melibatkan masyarakat sebagai konsumen. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah perlu melakukan penyuluhan terkait hukum perlindungan konsumen, menambahkan beberapa aturan dalam instrumen hukum SNI mainan anak terkait pengawasan oleh masyarakat selaku konsumen dan meningkatkan sinergitas pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

(2) Vivianti (2013), yaitu Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Mainan Anak Impor Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Penelitian ini membahas perlindungan konsumen melalui pengaturan tentang penerapan SNI Wajib pada mainan impor, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam peredaran produk mainan anak impor serta pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat mainan yang tidak aman.

Sementara beberapa penelitian mengenai pengrajin boneka yang telah dilakukan, di antaranya:

(1) Utami (2014) dalam studinya pengaruh perilaku kewirausahaan terhadap keberhasilan usaha pada pengusaha boneka di sentra boneka Sukamulya Bandung, menyimpulkan perilaku kewirausahaan berpengaruh positif terhadap keberhasilan usaha sebesar 41,6 persen dan sisanya 58,4 persen dipengaruhi oleh faktor lain

(2) Sofatunisa (2014) dalam penelitiannya mengenai pengaruh kemampuan manajerial terhadap keberhasilan usaha pada pengrajin boneka di Sentra Industri Boneka di Kota Bandung, menyimpulkan bahwa kemampuan manajerial berpengaruh positif signifikan terhadap keberhasilan usaha yang diukur berdasarkan indikator laba.

(36)

(4) Werdiyati (2011) dalam penelitiannya strategi pemasaran dan pengembangan usaha perdagangan boneka CV. Hayashi Toys menyimpulkan bahwa dengan matriks QSP, didapatkan strategi prioritas, yaitu menjaga mutu dan memunculkan ciri khas produk untuk mengantisipasi persaingan usaha. Sedangkan prospek pengembangan produk boneka didapatkan bahwa perusahaan layak dan prospektif untuk dikembangkan melalui pengembangan produk yang sudah ada.

(5) Ningsih (2009) meneliti mengenai pemberdayaan kelompok pengrajin boneka dengan studi kasus di Kelurahan Bojong Menteng, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Menurut Ningsih diperlukan penguatan kelembagaan usaha koperasi KPB Bojongmenteng untuk meningkatkan kemampuan pengrajin untuk mempergunakan mesin-mesin dan kemampuan manajerial meliputi desain produk, kualitas produk, perencanaan pemasaran, pola penghitungan bahan baku, pola pengelolaan keuangan dan penerapan teknologi tepat guna) meliputi penerapan Total Quality Control dan melengkapi KPB dengan mesin-mesin canggih.

(6) Haryenny (2007) dalam studinya mengenai perbaikan sistem kerja di perusahaan boneka ivy Bandung ditinjau dari segi ergonomi, menyimpulkan bahwa perusahaan masih harus memperbaiki sistem kerja yang ada dengan melakukan perbaikan tata letak tempat kerja perbaikan pencahayaan, menambah jumlah apron, menyediakan kotak P3K, perbaikan kursi kerja, dan penerapan aktivitas 5S (seiri/Ringkas, seiton/Rapi, seiso/Resik, seiketsu/Rawat, shitsuke/Rajin).

(7) Ocktilia (2004) dalam penelitiannya pemberdayaan ekonomi rakyat melalui penguatan kemitraan lokal pada pengrajin boneka kain di kelurahan Sukagalih Kecamatan Sukajadi Kota Bandung, menyimpulkan bahwa terdapat kaitan yang erat antara kondisi peta sosial dengan keberadaan usaha pengrajin boneka kain namun berbagai potensi lokal yang dimiliki belum banyak dimanfaatkan. Hasil evaluasi evaluasi program kemitraan menunjukkan program masih bersifat top down dan belum berbasis komunitas, sehingga perlu diadakan pertemuan rutin antar pengrajin boneka kain. Selain itu perlu juga dilakukan pendataan terhadap potensi lokal dan optimalisasi peranan koperasi melalui kemitraan dalam bidang permodalan, pengadaan bahan baku, pemasaran dan penyelenggaraan pendidikan dan latihan.

Kerangka Pemikiran

(37)

Gambar 1 Kerangka berpikir kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam penerapan SNI mainan anak

Karakteristik pengrajin (X1)

X1.1 Tingkat pendidikan formal

pengrajin

X1.2 Lamanya menjalankan

usaha

X1.3 Kemampuan memenuhi

permintaan pasar

X1.4 Investasi modal usaha

Motivasi wirausaha pengrajin (X2)

X2.1 Tingkat kebutuhan prestasi X2.2 Tingkat kebutuhan

kekuasaan

X2.3 Tingkat kebutuhan afiliasi

Faktor eksternal pengrajin (X3)

X3.1 Tingkat ketersediaan

informasi mengenai penerapan SNI mainan anak

X3.2 Tingkat insentif penerapan

SNI mainan anak

X3.3 Tingkat pendampingan

penerapan SNI mainan anak

X3.4 Tingkat pemberdayaan

pengrajin

Atribut inovasi SNI mainan anak

(X4)

X4.1 Tingkat keuntungan relatif X4.2 Tingkat kompatibilitas X4.3 Tingkat kompleksitas X4.4 Tingkat observabilitas

Kinerja pengrajin boneka dalam

penerapan SNI mainan anak (Y)

Y1 Tingkat pemenuhan

persyaratana dministrasi Y2 Tingkat pemenuhan

persyaratan Pengujian Y3 Tingkat pemenuhan

persyaratan Penandaan Y4 Peningkatan omzet

Gambar

Tabel 2 Jumlah pengrajin inti di tiap kecamatan di Kota Bekasi
Gambar 1 Kerangka berpikir kinerja pengrajin boneka di Kota Bekasi dalam
Tabel 3.
Tabel 4 Sub variabel, definisi operasional, indikator, kategori pengukuran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian

klasifikasi biaya dan jumlah didasarkan pada dokumen pendukung yang diserahkan oleh penyedia barang dan/ atau jasa yang sesuai dengan yang tercantum

Desa Wadungasih adalah salah satu daerah di Kabupaten Sidoarjo yang beberapa penduduknya membudidayakan jamur tiram putih. Petani jamur tiram putih di Desa Wadungasih ini

Close dan Exit merupakan dua perintah yang berbeda, Close adalah menutup file yang sedang diedit namun tidak keluar dari program ms.word, sedangkan Exit adalah keluar dari

Oleh karena itu, dilakukan penelitian terhadap kulit batang durian merah (Durio dulci Becc.) dari fraksi diklorometana. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

Ijtihad yang dilakukan oleh khalifah Umar menginisiasi Imam Malik dan pengikutnya untuk berpendapat berbeda dengan beberapa mazhab lain terkait jumlah batasan

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam optimasi tablet hisap ekstrak daun dewa dengan variasi bahan pengikat yang mungkin dapat mempengaruhi tanggapan rasa dari

Acara-acara komedi Ramadhan ini menampilkan kuis dengan hadiah ratusan ribu rupiah, namun pertanyaan yang diajukan banyak yang tidak terkait dengan Ramadhan atau agama