• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Fisikokimia Produk Gatot Dan Indeks Glikemiknya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi Fisikokimia Produk Gatot Dan Indeks Glikemiknya"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

INDEKS GLIKEMIKNYA

MARGARETA RETRI

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakterisasi Fisikokimia Produk Gatot dan Indeks Glikemiknya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

Margareta Retri

(4)
(5)

MARGARETA RETRI. Karakterisasi Fisikokimia Produk Gatot dan Indeks Glikemiknya. Dibimbing oleh SEDARNAWATI YASNI dan DIDAH NUR FARIDAH.

Produk gatot merupakan salah satu jenis makanan tradisional khas Yogyakarta dan Jawa Timur yang terbuat dari singkong yang difermentasi secara spontan pada kondisi ruang. Pengolahan produk gatot di industri kecil belum terstandarisasi sehingga produk gatot yang dihasilkan memiliki mutu yang tidak seragam. Manfaat produk gatot dalam bidang kesehatan belum banyak dikaji secara ilmiah, atau masih terbatas pada anggapan masyarakat bahwa produk gatot baik dikonsumsi penderita diabetes karena mempertahankan rasa kenyang lebih lama. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan bentuk pengolahan produk gatot yang baik secara sensori dengan atribut rasa, aroma, warna, kekerasan dan keseluruhan, melalui penentuan kondisi fermentasi dan jenis singkong sebagai bahan baku serta penentuan karakter fisikokimia dan nilai indeks glikemik dari produk gatot terpilih. Penelitian dilakukan dalam tahapan berikut: penentuan kondisi fermentasi yang dilakukan dengan kombinasi suhu dengan taraf 27 ± 1, 31 ± 1, 36 ± 1 oC; penambahan silika gel untuk menurunkan kelembaban udara relatif dengan taraf 150 g, 250 g dan 350 g; dan luas permukaan bahan baku untuk 1500 g singkong dengan taraf 715 ± 37, 760 ± 40, 936 ± 24 cm2; serta penentuan jenis singkong dari singkong mentega, roti dan manggu. Dari tahap penentuan kondisi fermentasi dan jenis singkong dilakukan pemilihan formula terbaik dengan pengukuran kekerasan dengan penetrometer dan uji sensori rating hedonik terhadap atribut rasa, aroma, warna, kekerasan dan keseluruhan. Selanjutnya pada produk gatot terpilih dilakukan analisis proksimat, analisis serat pangan, analisis kadar gula pereduksi, analisis daya cerna pati dan pengukuran indeks glikemik. Produk gatot terpilih memiliki kekerasan 14.30 mm/ 10 s/ 150 g dengan penerimaan keseluruhan agak disukai, serta memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi (42.89 %bb), serat pangan total yang tinggi (4.05 %bb), lemak yang rendah (0.92 %bb) dan protein yang rendah (0.35 %bb). Produk gatot terpilih memiliki nilai indeks glikemik tinggi yaitu 89, yang dipengaruhi oleh daya cerna pati yang tinggi (147.59%) dan kadar gula pereduksi yang tinggi (2.00 %bb). Berdasarkan hasil penelitian, pembuatan produk gatot yang baik adalah menggunakan singkong mentega yang difermentasi pada suhu 27 ± 1 oC, kelembaban relatif 40.6% (berdasarkan penggunaan 250 g silika gel) dan ukuran singkong panjang x lebar x tinggi 2 x 2 x 2 cm (berdasarkan luas permukaan bahan baku untuk 1500 g singkong 936 ± 24 cm2), dan pembatasan konsumsi produk gatot sebagai kudapan saja.

(6)

ABSTRACT

MARGARETA RETRI. The Physicochemical and Glycemic Index Characterization of Gatot Product. Supervised by SEDARNAWATI YASNI and DIDAH NUR FARIDAH.

Gatot product is a traditional food from Yogyakarta and East Java which is produced from spontaneous fermented cassava. The processing of gatot product in a small industry is not standardized, so gatot product has varied quality. The beneficial effect of gatot product in the field of health has not been scientifically studied. The limited perception mention that gatot product has beneficial effect for diabetic person because it keeps longer feel of stomach fullness.

The objectives of this study were to determine an organized processing that produces gatot product with good sensory quality with atribute of taste, aroma, color, hardness and overall, through determination of fermentation condition and type of cassava and also to determine physicochemical and glycemic index properties of selected gatot product.

This research was conducted in these steps: determination of fermentation condition which was conducted in combinations of temperature with factor level 27 ± 1, 31 ± 1, 36 ± 1 oC; the use of silica gel to reduce relative humidity with factor level 150 g, 250 g, 350 g; and raw material surface area for 1500 g cassava with factor level 715 ± 37, 760 ± 40, 936 ± 24 cm2; and also determination of cassava type from mentega cassava, roti cassava and manggu cassava. From determination of fermentation condition and type of cassava, a formula selection was conducted with parameters the hardness of gatot product with penetrometer measument and the acceptance in hedonic rating sensory test with taste, aroma, color, hardness and overall attribute. Then proximate analysis, total dietary fiber analysis, reducing sugar analysis, in vitro starch digestibility analysis dan glycemic index measurement were conducted to the selected gatot product.

The selected product had hardness 14.30 mm/ 10 s/ 150 g, with the highest overall sensory acceptance which was slightly like, and also had high content of carbohydrate (42.89 %wb), high content of total dietary fiber (4.05 %wb), low content of fat (0.92 %wb) and low content of protein (0.35 %wb). The glycemic index value was high (89) due to gatot product high reducing sugar content (2.00 %wb) and high in vitro starch digestibility (147.59%).

From the research, it could be implied that a good gatot product processing is used mentega cassava, under fermentation condition of temperature 27 ± 1 oC, relative humidity 40.6% (based on the use of 250 silica gel) and size of cassava cut length x width x height 2 x 2 x 2 cm (based on raw material surface area for 1500 g cassava 936 ± 24 cm2), and also limitation of gatot product consumption, only as snack.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

KARAKTERISASI FISIKOKIMIA PRODUK GATOT DAN

INDEKS GLIKEMIKNYA

MARGARETA RETRI

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya, penulisan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ialah produk gatot, dengan judul Karakterisasi Fisikokimia Produk Gatot dan Indeks Glikemiknya. Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak yang telah berperan serta dalam kelancaran penelitian, terutama kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M. Agr. sebagai dosen pembimbing yang

telah memberikan arahan sehingga penelitian ini berjalan ke arah yang tepat. 2. Ibu Dr. Ir. Didah Nur Faridah, S. TP., M. Si. selaku pembimbing kedua yang

telah membantu memberi petunjuk untuk melaksanakan penelitian.

3. Bapak dr. Naufal Muharam Nurdin S. Ked sebagai penanggung jawab medis selama pengujian nilai indeks glikemik.

4. Ibu Dr. Ir. Elvira Syamsir, S. TP., M. Si. selaku dosen penguji yang juga memberikan arahan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

5. Bapak Gatot, Bapak Yahya, Ibu Antin, Ibu Ririn, Ibu Yulia, Bapak Rojak, Ibu Irin dan Bapak Edi yang telah membantu jalannya penelitian selama di laboratorium.

6. Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang telah mengkaji protokol penelitian agar memenuhi etika penelitian. 7. Keluarga yaitu Bapa yang membantu dalam segala aspek di sepanjang

pengerjaan penelitian, serta Ibu dan Kakak yang setia memberi dukungan. 8. Seluruh teman ITP 48 terutama Michael Liong yang telah banyak memberi

bantuan melewati susah senang tugas akhir.

9. Seluruh responden yang bersedia menjadi subyek dalam uji indeks glikemik. 10.Seluruh staf Ilmu dan Teknologi Pangan.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

Bogor, Februari 2016

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

METODE PENELITIAN 4

Bahan Penelitian 4

Alat Penelitian 4

Prosedur Percobaan 4

Tahapan Penelitian 4

Analisis 7

Rancangan Percobaan 11

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Penentuan Kondisi Fermentasi 13

Kekerasan Produk Gatot pada Kondisi Fermentasi Berbeda 25 Warna Produk Gatot pada Kondisi Fermentasi Berbeda 29 Penerimaan Sensori Produk Gatot pada Kondisi Fermentasi Berbeda 37

Penentuan Jenis Bahan Baku 38

Penerimaan Sensori Produk Gatot dari Jenis Singkong Berbeda 40 Kekerasan Produk Gatot dari Jenis Singkong Berbeda 41 Warna Produk Gatot dari Jenis Singkong Berbeda 41 Karakter Kimia dan Indeks Glikemik Produk Gatot Terpilih 43

SIMPULAN DAN SARAN 47

Simpulan 47

Saran 48

DAFTAR PUSTAKA 49

LAMPIRAN 56

(13)

DAFTAR GAMBAR

1 Produk Gatot 1

2 Inkubator buatan untuk fermentasi produk gatot 5

3 Penentuan kondisi fermentasi 6

4 Penentuan jenis bahan baku 6

5 Kapang produk gatot yang diperkirakan adalah Periconia byssoides

melalui pengamatan dengan mikroskop perbesaran 400 kali 23

6 Periconia byssoides 23

7 Kapang produk gatot yang diperkirakan adalah Aspergillus niger

melalui pengamatan dengan mikroskop perbesaran 400 kali 23

8 Aspergillusniger 24

9 Bakteri asam laktat produk gatot yang diperkirakan adalah

Lactobacillus melalui pengamatan dengan mikroskop perbesaran 1000

kali diperbesar 24

10 Lactobacillus 24

11 Kekerasan produk gatot pada kelompok suhu berbeda 26 12 Kekerasan produk gatot pada kelompok bobot silika gel berbeda 27 13 Kekerasan produk gatot pada kelompok luas permukaan total singkong

berbeda 28

14 Kecerahan produk gatot pada kelompok suhu berbeda 29 15 Kecerahan produk gatot pada kelompok bobot silika gel berbeda 30 16 Kecerahan produk gatot pada kelompok luas permukaan total singkong

berbeda 31

17 Intensitas warna merah produk gatot pada kelompok suhu berbeda 32 18 Intensitas warna merah produk gatot pada kelompok bobot silika gel

berbeda 33

19 Intensitas warna merah produk gatot pada kelompok luas permukaan

total singkong berbeda 34

20 Intensitas warna kuning produk gatot pada kelompok suhu berbeda 35 21 Intensitas warna kuning produk gatot pada kelompok bobot silika gel

berbeda 36

22 Intensitas warna kuning produk gatot pada kelompok luas permukaan

total singkong berbeda 36

23 Penerimaan sensori produk gatot pada kondisi fermentasi berbeda 37 24 Penerimaan sensori produk gatot dari jenis singkong berbeda 40 25 Kekerasan produk gatot dari jenis singkong yang berbeda 41 26 Singkong mentega (a), singkong manggu (b), singkong roti (c) 42 27 Warna produk gatot dari jenis singkong berbeda 42

28 Produk gatot terpilih sebelum dikukus 43

29 Produk gatot terpilih setelah dikukus 43

(14)

DAFTAR TABEL

1 Kelembaban udara relatif inkubator yang dipengaruhi suhu dan silika

gel 13

2 Perbandingan penampakan produk gatot dari singkong mentega pada kondisi fermentasi berbeda setelah fermentasi dan setelah pengukusan 14

3 Suhu pertumbuhan beberapa mikroorganisme 25

4 Perbandingan penampakan produk gatot dari jenis singkong berbeda

setelah fermentasi dan setelah pengukusan 39

5 Nilai gizi produk gatot kukus terpilih 43

6 Indeks dan beban glikemik beberapa jenis pangan 46

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pengaruh kondisi fermentasi terhadap kekerasan produk gatot 56 2 Perbedaan kekerasan produk gatot dan produk gatot komersial 57 3 Pengaruh kondisi fermentasi terhadap kecerahan produk gatot 58 4 Pengaruh kondisi fermentasi terhadap intensitas merah produk gatot 59 5 Pengaruh kondisi fermentasi terhadap intensitas kuning produk gatot 60 6 Hasil uji ANOVA kecerahan, intensitas warna merah dan kuning

produk gatot berbeda kondisi fermentasi 61

7 Perbedaan penerimaan rasa produk gatot berbeda kondisi fermentasi 61 8 Perbedaan penerimaan warna produk gatot berbeda kondisi fermentasi 61 9 Perbedaan penerimaan aroma produk gatot berbeda kondisi fermentasi 62 10 Perbedaan penerimaan kekerasan produk gatot berbeda kondisi

fermentasi 62

11 Perbedaan penerimaan keseluruhan produk gatot berbeda kondisi

fermentasi 63

12 Perbedaan penerimaan rasa produk gatot berbeda jenis singkong 63 13 Perbedaan penerimaan warna produk gatot berbeda jenis singkong 63 14 Perbedaan penerimaan aroma produk gatot berbeda jenis singkong 64 15 Perbedaan penerimaan kekerasan produk gatot berbeda jenis singkong 64 16 Perbedaan penerimaan keseluruhan produk gatot berbeda jenis

singkong 64

17 Perbedaan kekerasan produk gatot dari jenis singkong yang berbeda 65 18 Perbedaan kecerahan produk gatot dari jenis singkong berbeda 65 19 Perbedaan intensitas merah produk gatot berbeda jenis singkong 66 20 Perbedaan intensitas kuning produk gatot berbeda jenis singkong 66

21 Surat keterangan lolos kaji etik 67

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produk gatot merupakan salah satu jenis makanan tradisional khas Yogyakarta dan Jawa Timur, terbuat dari singkong yang difermentasi secara spontan pada kondisi ruang. Produk ini memiliki tekstur yang empuk, warna coklat tua dengan corak hitam dan aroma yang khas (Gambar 1). Produk gatot umumnya dikonsumsi sebagai kudapan yang ditambah dengan gula merah dan kelapa parut.

Gambar 1 Produk Gatot (Sumber: Bisnis UKM 2013)

(16)

Secara keilmuan, kondisi proses fermentasi yang tidak diatur akan menyebabkan kondisi lingkungan yang tidak selalu menunjang pertumbuhan mikroorganisme sehingga tekstur, warna, aroma dan rasa produk gatot yang dihasilkan tidak selalu optimal dan seragam sehingga perlu ada metode yang melibatkan kondisi fermentasi yang diatur menjadi selalu mendukung pertumbuhan mikroorganisme.

Jenis singkong yang digunakan sebagai bahan baku turut berperan dalam menentukan mutu dan karakter sensori produk gatot. Beberapa industri kecil menggunakan limbah umbi singkong segar dari pengolahan singkong lain seperti keripik dan tepung singkong (bagian umbi yang tidak rata atau tidak memenuhi standar kualitas) dan beberapa industri kecil lainnya menggunakan singkong segar utuh. Jenis singkong yang berbeda memiliki tekstur dan rasa yang berbeda. Tekstur singkong dipengaruhi oleh kadar pati dan komponen serat pada dinding sel yang berperan dalam membentuk kekerasan dan kekokohan (Aro et al. 2005; Nuwamanya et al. 2011; Imanningsih 2012; Saratale dan Sang 2012). Rasa singkong dipengaruhi oleh kadar asam sianida yang memberikan sensasi pahit. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2011) dalam publikasi Agroinovasi: Inovasi Pengolahan Singkong Meningkatkan Pendapatan dan Diversifikasi Pangan menyatakan bahwa dalam singkong segar terdapat glukosida sianogenik yang dapat dihidrolisis oleh enzim linamarase menjadi glukosa dan asam sianida, yang membuat singkong terbagi menjadi singkong dengan kadar asam sianida tinggi, sedang dan rendah. Singkong mentega, manggu dan roti merupakan jenis singkong dengan kadar asam sianida rendah yang banyak dibudidayakan di Bogor.

Aspek penting yang menentukan kualitas produk gatot adalah pertumbuhan mikroorganisme selama proses fermentasi spontan. Pertumbuhan mikroorganisme dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti nutrisi, pH, potensial reduksi oksidasi, komponen antimikroba, aktivitas air dan struktur biologis pangan, serta faktor ekstrinsik seperti gas di lingkungan, suhu dan kelembaban udara relatif (Rahayu dan Nurwitri 2012). Beberapa faktor yang tidak diatur selama proses fermentasi spontan produk gatot di antaranya suhu dan kelembaban udara relatif. Suhu menentukan pertumbuhan mikroorganisme dengan mempengaruhi lamanya fase lag, kecepatan pertumbuhan, kegiatan enzimatis dan penyerapan nutrisi oleh mikroba. Suhu mempengaruhi kelembaban udara relatif. Suhu yang menurun akan menurunkan tekanan uap jenuh sehingga kelembaban udara relatif akan meningkat pada tekanan parsial uap air yang sama (Tichy 2007; Tichy dan Kallina 2010; Quansah et al. 2012; Cancro et al. 2015). Kelembaban udara relatif berkaitan dengan nilai aw (aktivitas air) karena terjadinya pindah massa antara bahan dan lingkungan hingga terjadi kesetimbangan air. Aktivitas air mencerminkan air bebas dalam bahan yang dapat digunakan mikroorganisme untuk proses biokimia seperti transpor nutrisi, reaksi enzimatik dan proses metabolisme lainnya (Rahayu dan Nurwitri 2012). Selain itu, luas permukaan bahan yang dapat ditumbuhi dapat pula mempengaruhi intensitas pertumbuhan mikroorganisme. Semakin kecil ukuran bahan maka luas permukaan total bahan yang dapat ditumbuhi mikroorganisme akan semakin besar pada bobot bahan yang sama.

(17)

yang lebih mudah diserap tubuh, kadar senyawa toksin atau antinutrisi yang telah menurun, probiotik yang dapat melindungi saluran pencernaan dan manfaat lain yang spesifik pada produk fermentasi tertentu (Borresen et al. 2012). Di lingkungan masyarakat terdapat anggapan bahwa produk gatot merupakan kudapan sehat bagi penderita diabetes karena mampu mempertahankan rasa kenyang dalam jangka waktu yang lama sehingga dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi jumlah konsumsi pangan. Akan tetapi, karakter lain seperti kemungkinan terjadi peningkatan gula darah akibat konsumsi produk gatot juga harus dikaji agar kemungkinan mampu mencegah terjadi hiperglikemia pada penderita diabetes dapat dipastikan. Dengan demikian, nilai indeks dan beban glikemik produk gatot harus dikaji, dan selanjutnya potensi produk gatot menjadi makanan pokok pengganti nasi dapat ditentukan dari indeks dan beban glikemik. Indeks glikemik digunakan dalam klasifikasi produk pangan berdasarkan potensi dalam menaikkan gula darah (Ihediohanma 2011). Nilai indeks glikemik dinyatakan sebagai pengukuran kemampuan 50 g karbohidrat tersedia dalam pangan untuk menaikkan glukosa darah, yang dinyatakan sebagai area di bawah kurva respon glikemik dibandingkan dengan area di bawah kurva respon glikemik 50 g glukosa pada subyek yang sama (Wolever et al. 2008; Onwulata et al. 2010; Arif et al. 2013). Pangan yang mengandung karbohidrat yang dipecah dengan cepat selama proses pencernaan dan melepaskan glukosa dengan cepat ke aliran darah cenderung memiliki indeks glikemik yang tinggi sementara pangan yang memiliki karbohidrat lambat cerna dan melepaskan glukosa secara perlahan cenderung memiliki indeks glikemik yang rendah (Itam et al. 2012). Pangan dengan indeks glikemik tinggi menyebabkan kenaikan gula darah yang lebih cepat sehingga cocok sebagai pengganti energi setelah aktivitas tinggi atau penderita hipoglikemia (Itam et al. 2012). Sementara pangan dengan indeks glikemik rendah memberikan efek menguntungkan pada kontrol gula darah jangka pendek maupun panjang pada penderita diabetes (Riccardi et al. 2008). Beban glikemik dinyatakan sebagai pengaruh respon glikemik terhadap konsumsi pangan per takaran saji.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menentukan kondisi fermentasi dan jenis singkong yang menghasilkan produk gatot yang diterima dengan baik secara sensori (warna, aroma, rasa, kekerasan dan keseluruhan) serta karakteristik fisikokimia dan nilai indeks glikemik dari produk gatot terpilih.

Manfaat Penelitian

(18)

METODE PENELITIAN

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam pembuatan produk gatot adalah singkong mentega, singkong roti dan singkong manggu berumur 9 bulan yang diambil dari Kampung Serempet Kelurahan Nangewer Kecamatan Cibinong Bogor. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah air destilata, natrium hidroksida, kalium sulfat, raksa oksida, larutan asam sulfat pekat, larutan asam borat jenuh, indikator merah metil-biru metil, natrium hidroksida-natrium tiosulfat, larutan asam klorida, heksana, larutan bufer natrium fosfat, enzim α-amilase Sigma-Aldrich A3403 (aktivitas enzim ≥ 500 unit/mg protein), enzim pepsin Sigma-Aldrich P7000 (aktivitas enzim ≥ 250 unit/mg protein), enzim pankreatin Sigma-Aldrich P1750 (aktivitas enzim 4 x USP), enzim alfa amilase Sigma-Aldrich 10065 (aktivitas enzim 30 U/mg), kertas saring Whatman, etanol, aseton, kalsium karbonat, natrium oksalat kering, larutan timbal asetat, tembaga sulfat pentahidrat, natrium kalium tartarat, glukosa, indikator biru metil, maltosa dan asam dinitrosalisilat dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam pembuatan produk gatot antara lain inkubator, lampu pijar dan silika gel. Alat yang digunakan untuk analisis adalah penetrometer, kromameter, soxhlet, alat destilasi kjeldhal, oven, tanur, pH meter, inkubator, spektrofotometer, mikroskop cahaya, glukometer, lancet, strip glukosa dan alat gelas lainnya.

Prosedur Percobaan

1. Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri atas 3 tahap, yaitu (1) penentuan kondisi fermentasi; (2) penentuan jenis singkong; (3) karakterisasi kimia dan indeks glikemik produk gatot terpilih. Secara garis besar, skema penelitian disajikan pada Gambar 3.

(19)

1.1 Penentuan Kondisi Fermentasi

Tahap ini bertujuan untuk menentukan kombinasi suhu, bobot silika gel dan luas permukaan total bahan baku untuk 1500 g singkong yang menghasilkan produk gatot yang memiliki penerimaan sensori yang baik. Jenis singkong yang digunakan adalah singkong mentega karena hasil produksi yang paling banyak dibandingkan dengan singkong roti dan manggu di Bogor, yang ditempatkan dalam inkubator bervolume 40 L untuk fermentasi. Inkubator yang digunakan berupa kotak plastik bertutup yang dilengkapi keranjang tempat singkong, dengan lampu pijar untuk menaikkan suhu dan silika gel untuk menurunkan kelembaban udara relatif (Gambar 2).

Gambar 2 Inkubator buatan untuk fermentasi produk gatot

Secara rinci, penentuan kondisi fermentasi dapat dilihat pada Gambar 3. Suhu 27 oC tidak menggunakan lampu, suhu 31 oC menggunakan lampu pijar 5 watt dan suhu 37 oC menggunakan lampu pijar 15 watt dan 5 watt. Bobot silika gel yang ditambahkan adalah 150 g, 250 g, dan 350 g, yang diganti secara berkala selama proses fermentasi. Interaksi suhu akibat lampu pijar dan penyerapan air oleh silika gel akan menurunkan kelembaban relatif inkubator. Singkong dengan bobot 1500 g yang dipotong dengan ukuran panjang x diameter 4 x 4 cm akan memiliki luas permukaan total 715 ± 37 cm2, yang dipotong dengan ukuran panjang x lebar x tinggi 4 x 2 x 2 cm akan memiliki luas permukaan total 760 ± 40 cm2 dan yang dipotong dengan ukuran panjang x lebar x tinggi 2 x 2 x 2 cm akan memiliki luas permukaan total 936 ± 24 cm2.

(20)

Gambar 3 Penentuan Kondisi Fermentasi

1.2 Penentuan Jenis Bahan Baku

Tahap ini bertujuan untuk menentukan jenis singkong dari singkong mentega, roti dan manggu, yang menghasilkan produk gatot terbaik secara sensori dengan atribut rasa, aroma, warna, kekerasan dan keseluruhan, yang difermentasi pada kondisi fermentasi terpilih dari tahap sebelumnya. Jenis singkong terpilih adalah jenis yang menghasilkan produk gatot yang memiliki penerimaan paling tinggi pada uji sensori rating hedonik dengan atribut warna, rasa, aroma, kekerasan dan keseluruhan. Secara rinci, penentuan jenis bahan baku dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Penentuan Jenis Bahan Baku

1.3 Karakterisasi Kimia dan Indeks Glikemik Produk Gatot Terpilih

Tahap ini bertujuan untuk menentukan kandungan gizi produk gatot terpilih dengan paramater proksimat, kadar serat pangan, kadar gula pereduksi, daya cerna pati in vitro dan indeks glikemik.

Singkong mentega

Fermentasi, yang dilakukan dengan faktor: 1. Suhu, taraf: 27 ± 1, 31 ± 1, 36 ± 1 oC 2. Bobot silika gel: 150, 250, 350 g

3. Luas permukaan total singkong: 715 ± 37, 760 ± 40, 936 ± 24 cm2

Produk gatot, yang dipilih dengan parameter:

1. Pengukuran kekerasan produk gatot dengan penetrometer (tidak berbeda signifikan dengan produk gatot komersial)

2. Penerimaan sensori rating hedonik berdasarkan atribut warna, aroma, rasa, kekerasan dan keseluruhan (paling tinggi)

Singkong mentega, manggu dan roti

Fermentasi, yang dilakukan dengan kondisi dari tahap Penentuan Kondisi Fermentasi

Produk gatot, yang dipilih dengan parameter:

(21)

2. Analisis

2.1Tekstur (Kilincceker dan Hepsag 2012)

Penetrometer diatur dengan pemasangan probe jarum, beban dan waktu penetrasi. Sampel diletakkan di tempat sampel dan jarum diatur sampai menempel pada permukaan sampel. Alat dijalankan dan tuas diangkat untuk mengetahui kedalaman penetrasi. Data diolah menggunakan program SPSS dengan uji ANOVA dan uji lanjut Dunnet.

2.2Sensori Rating Hedonik (BSN 2006)

Produk gatot mentah direndam selama 15 menit dalam larutan garam 1% dan diberi kelapa parut kukus setelah produk gatot matang agar penyajian sampel sama dengan bentuk produk saat konsumsi secara komersial. Panelis yang dilibatkan sebanyak 30 orang. Skala yang digunakan skala 7 titik; skala 1 mencerminkan sangat tidak suka dan skala 7 mencerminkan sangat suka. Data diolah menggunakan program SPSS dengan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan.

2.3Warna (Purwani et al. 2006)

Analisis warna dilakukan dengan Chromameter Minolta CR 300. Alat dikalibrasi dengan lempeng keramik dengan nilai L = 100 a = 0 dan b = 0. Sampel diletakkan di atas wadah dan diukur nilai L, a dan b. Nilai L menyatakan kecerahan dengan angka 0 untuk hitam dan 100 untuk putih, nilai a dan b menyatakan intensitas warna dengan –a menyatakan hijau, +a menyatakan merah, -b menyatakan biru, +b menyatakan kuning. Data diolah menggunakan program SPSS dengan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan.

2.4Proksimat

2.4.1Kadar Air (AOAC 2005)

Metode yang digunakan adalah gravimetri oven udara. Cawan alumunium dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan tersebut ditimbang dan ditempatkan 5 gram sampel di dalamnya. Sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC sampai bobot sampel konstan lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut (persamaan 1):

β γ (1)

dengan: W1 = bobot sampel awal (g); W2 = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g); W3 = bobot cawan kosong (g)

2.4.2Kadar Abu (AOAC 2005)

(22)

γ (2)

dengan: W1 = bobot cawan dan abu (g); W2 = bobot cawan kering (g); W3 = bobot sampel awal (g)

2.4.3Kadar Protein (AOAC 2005; Yeoh dan Truong 1996)

Metode yang digunakan adalah semi mikro Kjedhal untuk menghitung kadar protein kasar. Sebanyak 0.1 g sampel ditempatkan ke dalam labu Kjeldhal dan ditambahkan 2 g K2SO4, 50 mg HgO dan 2 mL H2SO4 pekat. Sampel mengalami destruksi selama 1-1.5 jam sampai cairan berubah jernih lalu didinginkan. Cairan tersebut ditambahkan dengan 2 mL air melalui dinding tabung dan dipindahkan ke alat destilasi, dilanjutkan dengan air destilata pembilas labu. Sebanyak 5 mL H3BO3 dan 2 tetes indikator merah metil-biru metil dalam labu erlenmeyer ditempatkan di ujung selang alat destilasi dan sebanyak 10 mL NaOH-Na2S2O3 ditambahkan ke dalam alat destilasi. Destilasi dihentikan sampai diperoleh sekitar 50 mL destilat. Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai cairan berubah warna menjadi ungu. Hasil titrasi dikoreksi dengan 3.24 untuk mendapatkan nilai protein kasarnya. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut (persamaan 3 dan 4):

β (3)

dengan: V1 = volume larutan HCl untuk titrasi sampel (mL); V2 = volume larutan HCl untuk titrasi blanko (mL); N HCl = konsentrasi larutan HCl (N); W = bobot sampel (mg)

γ β (4)

2.4.4Kadar Lemak (AOAC 2005)

Metode analisis yang digunakan adalah soxhlet untuk menghitung kadar lemak kasar. Labu dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel dihidrolisis lalu dikeringkan dan dibungkus dengan kertas saring. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam tempat ekstraksi sementara labu ditempatkan di bawahnya lalu ditambahkan pelarut heksana. Sampel direfluks selama 6 jam lalu pelarut diuapkan dan sampel dikeringkan dalam oven, didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan rumus sebagai berikut (persamaan 5):

β γ (5)

(23)

2.4.5Kadar Karbohidrat (AOAC 2005)

Kadar karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference dengan rumus sebagai berikut (persamaan 6):

(6)

2.5Kadar Serat Pangan (Asp et al. 1983)

Sebanyak 1 g sampel disoxhlet dan dikeringkan, lalu ditempatkan dalam erlenmeyer dan ditambahkan 25 mL buffer natrium fosfat 0.1 N pH 6 dan 0.1 ml termamyl. Erlenmeyer tersebut ditutup alumunium foil dan diinkubasi dalam penangas bergoyang bersuhu 100 oC selama 15 menit. Setelah dingin, suspensi ditambahkan 20 mL air destilata dan pH suspensi diatur menjadi 1.5 dengan penambahan HCl 4 M dan diberi 100 mg enzim pepsin. Suspensi kembali ditutup dan diinkubasi pada penangas bergoyang bersuhu 40 oC selama 60 menit. Setelah diinkubasi, suspensi ditambah dengan 20 mL air destilata dan diatur menjadi pH 6.8 dengan penambahan NaOH, lalu suspensi ditambahkan dengan 100 mg enzim pankreatin, ditutup dan diinkubasi pada suhu 40 oC selama 60 menit. Usai inkubasi, pH suspensi diturunkan menjadi 4.5 dengan penambahan HCl dan disaring melalui kertas saring Whatman no. 43 dengan pembilasan 2x10 mL air destilata, 2x10 mL etanol 95% dan 2x10 ml aseton. Residu dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang lalu diabukan dalam tanur bersuhu 550 oC selama 5 jam lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Residu merupakan serat pangan tidak larut.

Analisis serat larut air dilakukan menggunakan filtrat dari penyaringan sebelumnya. Filtrat ditambah dengan 400 mL etanol 95% 60 oC dan didiamkan. Setelah 1 jam, larutan disaring melalui kertas saring Whatman no. 43 dengan pembilasan 2x10 mL etanol 78%, 2x10 mL etanol 95% dan aseton 2x10 mL. Residu dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC, didinginkan dalam desikator, ditimbang lalu diabukan pada 550 oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Blanko dibuat dengan metode yang sama tanpa sampel. Kadar serat dihitung dengan rumus sebagai berikut (persamaan 7):

β γ (7)

dengan: W1 = bobot residu dan cawan alumunium setelah dikeringkan (g); W2 = bobot cawan alumunium kosong (g); W3 = bobot abu dan cawan porselen (g); W4 = bobot cawan porselen kosong (g); W5 = bobot kertas saring kering (g); W6 = bobot residu blanko yang sudah dikeringkan dan diabukan (g); W = bobot sampel awal (g), KP = kadar protein yang tidak terhidrolisis (%bb)

2.6Kadar Gula Pereduksi (Honig 2013)

(24)

didinginkan, larutan disaring melalui kertas saring Whatman No. 42. Sisa alkohol diuapkan dengan memanaskan filtrat dalam penangas air bersuhu 85 oC. Larutan ditambah dengan 1.5-2.5 mL Pb asetat sampai larutan jernih lalu dipindahkan ke labu takar 250 mL dan ditera dengan air destilata. Larutan kembali disaring dan diambil sebanyak 50 mL, ditambah dengan 2.5 g natrium oksalat kering dan disaring lagi.

Sebanyak 10 mL sampel dimasukkan dalam labu erlenmeyer bersama dengan sebuah spin bar lalu ditambahkan 5 mL Fehling A dan 5 mL Fehling B. Sampel dipanaskan hingga mendidih dan ditambahkan indikator biru metil lalu dititrasi dengan larutan glukosa sampai terbentuk endapan merah bata. Blanko dibuat dengan mengganti 10 mL sampel dengan air destilata. Sebanyak 10 mL air destilata dimasukkan dalam labu erlenmeyer bersama dengan sebuah spin bar lalu ditambahkan 5 mL Fehling A dan 5 mL Fehling B. Sampel ditambahkan dengan 10 mL larutan glukosa dari buret, lalu dipanaskan hingga mendidih. Larutan ditambah indikator biru metil lalu dititrasi dengan larutan glukosa sampai terbentuk endapan merah bata. Kadar gula pereduksi dihitung dengan rumus sebagai berikut (persamaan 8):

β γ (8)

dengan: V1 = volume larutan glukosa untuk titrasi blanko (mL); V2 = volume larutan glukosa untuk titrasi sampel (mL); V3 = volume sampel awal (mL); G = konsentrasi larutan glukosa (0.0025 g/mL); V4 = volume sampel yang dititrasi (mL); W = bobot sampel (g)

2.7Daya Cerna Pati Secara In Vitro (Yagoub dan Abdalla 2007)

Larutan standar dibuat dari larutan maltosa murni 0.5 mg/mL dengan volume 0.0; 0.2; 0.4; 0.8; 1.0 mL yang ditepatkan dengan air destilata hingga volume 1 mL dan diberikan 2 mL DNS. Sebanyak 1 g sampel atau pati murni dimasukkan dalam erlenmeyer 250 mL dan ditambahkan air destilata sebanyak 100 mL. Erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil dan dipanaskan dalam inkubator bersuhu 90 oC sampai sampel mengalami gelatinisasi sempurna. Sampel didinginkan dan dipindahkan sebanyak masing-masing 2 mL ke 2 buah tabung reaksi bertutup. Ke dalam kedua tabung tersebut ditambahkan 3 mL aquades dan 5 mL buffer natrium fosfat 0.1 N. Sebanyak 5 mL z α-amilase ditambahkan ke salah satu tabung dan 5 mL buffer fosfat ditambahkan ke tabung yang lain. Kedua tabung diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit. Sebanyak 1 mL dari kedua tabung diambil dan dimasukkan ke tabung reaksi berbeda yang berisi 2 mL pereaksi DNS dan dipanaskan pada suhu 100 oC selama 12 menit. Sampel, blanko dan standar diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada 520 nm. Bobot maltosa dihitung menggunakan kurva standar. Daya cerna pati dihitung dengan rumus sebagai berikut (persamaan 9):

(25)

dengan: W1 = bobot maltosa sampel (mg); W2 = bobot maltosa blanko sampel (mg); W3 = bobot maltosa pati murni (mg); W4 = bobot maltosa blanko pati murni (mg)

2.8Indeks Glikemik (Brouns et al. 2005; Rodríguez-Rejón et al. 2014; Wolever

et al. 2008)

Subyek yang terlibat sebanyak 10 orang dan merupakan civitas Institut Pertanian Bogor dengan persyaratan berusia 18-40 tahun, memiliki BMI 18-25 kg/m2, tidak hamil, tidak menyusui, tidak merokok, tidak sedang mengonsumsi obat-obatan atau alkohol dan tidak memiliki riwayat atau menderita diabetes. Setiap subyek harus berpuasa selain air putih selama 10 jam (22.00-08.00). Pengujian dilakukan setelah responden menyetujui informed consent

dengan metode uji yang telah mendapatkan ijin etik. Makanan yang diberikan adalah 25 g glukosa sebagai referen pada hari pertama dan produk gatot dengan karbohidrat tersedia setara dengan 25 g glukosa pada hari kedua dengan interval uji 1 minggu. Sebelum dilukai dengan lanset steril, jari responden dibersihkan dahulu dengan alkohol lalu darahnya dikeluarkan sedikit dan dibersihkan. Darah kedua dikeluarkan dan diambil dengan strip. Pengukuran gula darah dilakukan pada menit 0, 15, 30, 45, 60, 90 dan 120. Pada setiap waktu tersebut, sebanyak 20 µL darah diambil dan diukur nilai gula darahnya dengan glukometer. Luas area di bawah kurva (incremental) hubungan waktu dan konsentrasi gula darah dihitung pada masing-masing subyek dan jenis pangan. Indeks dan beban glikemik dihitung dengan rumus sebagai berikut (persamaan 10 dan 11):

(10)

dengan: A = luas area di bawah kurva (incremental) pangan sampel; B = luas area di bawah kurva (incremental) pangan referen

(11)

Rancangan Percobaan

(26)

Yijkl = µ + αi + j + k + (α )ij +(α )ik + ( )jk + (α )ijk + εijk

Keterangan

Yijkl = Kekerasan dan warna sampel pada faktor suhu taraf ke-i, faktor bobot silika gel ke-j dan luas permukaan singkong total taraf ke-k dan ulangan ke-l

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh utama faktor suhu taraf ke-i j = Pengaruh utama faktor bobot silika gel ke-j

k = Pengaruh utama faktor luas permukaan singkong total ke-k

(α )ij = Pengaruh interaksi faktor suhu taraf ke-i dan faktor bobot silika gel ke-j

(α )ik = Pengaruh interaksi faktor suhu taraf ke-i dan faktor luas permukaan singkong total taraf ke-k

( )jk = Pengaruh interaksi faktor bobot silika gel taraf ke-j dan faktor luas permukaan singkong total taraf ke-k

(α )ijk = Pengaruh interaksi faktor suhu taraf ke-i, faktor bobot silika gel taraf ke-j dan faktor luas permukaan singkong total taraf ke-k

εijk = Pengaruh acak pada faktor suhu taraf ke-i, faktor bobot silika gel ke-j dan faktor luas permukaan singkong total taraf ke-k

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penentuan jenis singkong adalah rancangan acak lengkap, dengan faktor perlakuan jenis singkong dengan tiga taraf yaitu singkong mentega, singkong manggu dan singkong roti. Model matematik rancangan percobaan ini adalah sebagai berikut.

Yij = µ + τi + εij

Keterangan

Yij = Kekerasan dan warna pada faktor jenis singkong taraf ke-i dan ulangan ke-j

µ = Rataan umum

τi = Pengaruh jenis singkong taraf ke-i

εij = Pengaruh acak pada faktor jenis singkong taraf ke-i dan ulangan ke-j

Rancangan percobaan yang digunakan dalam uji sensori rating hedonik pada penentuan kondisi fermentasi dan penentuan jenis singkong adalah rancangan blok acak lengkap, dengan faktor yang diblok adalah panelis. Model matematik rancangan percobaan ini adalah sebagai berikut.

Yij = µ + τi + j + εij

Keterangan

Yij = Penerimaan sensori pada perlakuan taraf ke-i dan kelompok ke-j µ = Rataan umum

τi = Pengaruh perlakuan taraf ke-i j = Pengaruh panelis ke-j

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Kondisi Fermentasi

Fermentasi produk gatot berlangsung secara spontan selama 7 hari, dengan mengandalkan mikroorganisme alami yang terdapat di singkong, yang berasal dari tanah tempat singkong tumbuh dan spora yang terbawa di udara dan menempel pada permukaan singkong. Proses fermentasi berlangsung pada kondisi suhu, kelembaban udara relatif dan ukuran singkong yang diatur pada kondisi yang berbeda-beda. Suhu fermentasi yang dilakukan adalah 27 ± 1 oC yang tidak menggunakan lampu pijar, suhu 31 ± 1 oC yang diatur menggunakan lampu pijar 5 watt dan suhu 36 ± 1 oC yang diatur menggunakan lampu pijar 5 watt dan 15 watt. Silika gel ditambahkan ke dalam inkubator sebanyak 150 g, 250 g dan 350 g untuk mengatur kelembaban udara relatif. Interaksi suhu dan kemampuan menjerap air silika gel menghasilkan kondisi kelembaban udara relatif yang berbeda-beda, yang tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Kelembaban udara relatif inkubator yang dipengaruhi suhu dan silika gel

Suhu (oC) Kelembaban udara relatif (%)

Silika gel 350 g Silika gel 250 g Silika gel 150 g

27 36.9 40.6 44.7

31 32.0 34.2 43.0

37 31.7 33.2 41.8

Semakin banyak silika gel yang ditambahkan, semakin rendah kelembaban udara relatif dalam inkubator karena semakin banyak uap air yang terjerap dalam silika gel. Semakin tinggi suhu, kelembaban udara relatif semakin menurun akibat tekanan uap jenuh meningkat pada tekanan parsial uap air yang sama (Tichy 2007; Tichy dan Kallina 2010; Quansah et al. 2012; Cancro et al. 2015).

Potongan 1500 g singkong selama proses fermentasi diatur ukurannya menjadi panjang x diameter 4 x 4 cm yang memiliki luas permukaan total 715 ± 37 cm2, ukuran panjang x lebar x tinggi 4 x 2 x 2 cm yang memiliki luas permukaan total 760 ± 40 cm2 dan ukuran panjang x lebar x tinggi 2 x 2 x 2 cm yang memiliki luas permukaan total 936 ± 24 cm2. Semakin kecil ukuran potongan singkong pada bobot singkong yang sama, semakin besar luas permukaan singkong yang dapat ditumbuhi oleh mikroorganisme.

(28)

14 Tabel 2 Perbandingan penampakan produk gatot dari singkong mentega pada kondisi fermentasi berbeda setelah fermentasi dan setelah

pengukusan

Kondisi fermentasi

Penampakan setelah fermentasi

Deskripsi Penampakan setelah

pengukusan Deskripsi

Suhu 27 ± 1oC, bobot silika gel 350 g, luas permukaan total singkong 715 ± 37 cm2

Warna coklat dengan sebagian kecil hitam, aroma singkong kuat, aroma apek tidak ada, aroma busuk

tidak ada, tekstur keras

Warna coklat dengan beberapa garis hitam, aroma karamel, tekstur

agak keras

Suhu 27 ± 1oC, bobot silika gel 350 g, luas permukaan total singkong 760 ± 40 cm2

Warna putih dengan sebagian kecil hitam, aroma singkong kuat, aroma apek tidak ada, aroma busuk tidak

ada, tekstur keras

Warna coklat, aroma karamel, tekstur agak

keras

Suhu 27 ± 1oC, bobot silika gel 350 g, luas permukaan total singkong 936 ± 24 cm2

Warna putih dengan sebagian hitam, aroma singkong kuat, aroma

apek tidak ada, aroma busuk tidak ada, tekstur keras

Warna coklat, aroma karamel, tekstur agak

(29)
(30)
(31)

17 ada, aroma apek kuat, tekstur agak

lunak

ada, aroma apek kuat, aroma busuk semilir, tekstur agak lunak

(32)
(33)

19 tidak ada, aroma apek kuat, aroma busuk agak kuat, tekstur agak lunak

Warna coklat, aroma singkong tidak ada, aroma apek kuat,

aroma busuk agak kuat, tekstur agak lunak

Warna coklat, aroma karamel dan agak apek, tekstur agak

(34)

20 tidak ada, aroma apek kuat, aroma busuk agak kuat, tekstur agak lunak

Warna coklat dengan tidak ada, aroma apek kuat, aroma

busuk agak kuat, tekstur lunak tidak ada, aroma apek kuat, aroma

busuk agak kuat, tekstur lunak apek kuat, aroma busuk agak kuat,

tekstur lunak

Warna coklat dengan bagian hitam, aroma karamel dan agak apek,

(35)

21 Kondisi

fermentasi

Penampakan setelah

fermentasi Deskripsi

Penampakan setelah pengukusan

Deskripsi

Di karung tidak diatur

Warna hitam, hijau, kuning dan putih, aroma singkong tidak ada, aroma apek sangat kuat,

aroma busuk agak kuat, tekstur lunak

Warna hitam, aroma agak apek, tekstur

(36)

Produk gatot dari singkong mentega yang difermentasi pada kondisi yang diatur memiliki jenis warna mikroorganisme yang lebih sedikit, aroma apek kapang yang lebih lemah dan tekstur yang lebih keras dibandingkan produk gatot dari singkong mentega yang difermentasi di dalam karung pada kondisi fermentasi yang tidak diatur, yang meniru fermentasi produk gatot komersial. Hal ini disebabkan produk gatot yang difermentasi dalam karung terkena air hujan dan udara luar yang masuk dari pori-pori karung, yang mengandung mikroorganisme dan sporanya sehingga jumlah mikroorganisme induk lebih banyak, yang selanjutnya berkembang biak dan menghasilkan pertumbuhan mikroorganisme yang lebih banyak pula.

Secara garis besar, semakin tinggi suhu fermentasi, jenis warna miselium yang tumbuh pada produk gatot lebih banyak dan intensitas aroma apek dan busuk menjadi sedikit lebih kuat pada bobot silika gel dan luas permukaan total singkong yang sama. Semakin sedikit silika gel yang ditambahkan ke dalam inkubator, intensitas pertumbuhan mikroorganisme semakin besar serta aroma apek dan busuk semakin kuat dan tekstur semakin lunak, baik pada produk gatot setelah fermentasi maupun setelah pengukusan, pada suhu dan luas permukaan total singkong yang sama. Semakin kecil ukuran singkong atau semakin besar luas permukaan total singkong, semakin besar intensitas pertumbuhan mikroorganisme, yang dilihat dari semakin banyaknya miselium, tetapi produk gatot yang berbeda ukuran tetap memiliki aroma dan tekstur yang sama serta warna yang serupa pada kondisi suhu dan penambahan bobot silika gel yang sama.

Kapang mesofilik merupakan mikroorganisme utama yang berperan dalam fermentasi produk gatot. Menurut Rifai (1983) dan Rahayu et al. (1996), mikroorganisme yang diketahui memiliki peran dalam fermentasi produk gatot adalah Aspergillus niger, Aspergillus spp., Penicillium spp., Trichoderma harzianum, Periconia byssoides, Curvularia lunata, Fusarium sp., Sporidesmium sp. dan didominasi oleh Botryodiplodia theobromae (atau Lasiodiplodia

theobromae). Selain itu terdapat juga khamir Candida tropicalis dan bakteri asam

(37)

Gambar 5 Kapang produk gatot yang diduga adalah Periconia byssoides melalui pengamatan dengan mikroskop perbesaran 400 kali

Gambar 6 Periconia byssoides

(Sumber: Herrera 2014)

Gambar 5 menunjukkan gambar kapang yang memiliki konidiofor berbentuk batang lurus panjang dan konidia berbentuk bulat yang bergerombol seperti buah anggur, seperti Periconia byssoides.

Gambar 7 Kapang produk gatot yang diduga adalah Aspergillus niger melalui pengamatan dengan mikroskop perbesaran 400 kali

konidiofor

konidia

konidiofor

konidia

spora

(38)

Gambar 8 Aspergillusniger

(Sumber: Okogbenin et al. 2014)

Gambar 7 menunjukkan kapang memiliki konidiofor berbentuk batang lurus dan kumpulan spora yang telah keluar dari konidia dan menyebar, seperti

Aspergillusniger.

Gambar 9 Bakteri asam laktat produk gatot yang diduga adalah Lactobacillus

melalui pengamatan dengan mikroskop perbesaran 1000 kali diperbesar

Gambar 10 Lactobacillus

(Sumber: Taghizadeh et al. 2015)

Gambar 9 menunjukkan bakteri asam laktat yang berbentuk kapsul seperti

Lactobacillus.

(39)

Tabel 3 Suhu pertumbuhan beberapa mikroorganisme

Trichoderma harzianum 15 – kurang dari 45d,e 25-30d

Curvularia lunata 15-37f 28f

Fusarium sp. 10-40g 28g

Lasiodiplodia theobromae 4-36h 25-28h,i

Candida tropicalis 20-42j -

Lactobacillussp. 5-53k 30-40k

Sumber: aParra dan Magan 2004; bMogensen et al. 2009; cBianchini dan Stratton

Kekerasan Produk Gatot pada Kondisi Fermentasi Berbeda

Singkong mengalami perubahan tekstur selama proses fermentasi akibat degradasi terhadap komponen penyusun umbi. Pati, beserta selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin yang menyusun dinding sel, membentuk tekstur keras dan kuat pada singkong (Nuwamanya et al. 2011; Imanningsih 2012; Saratale dan Sang 2012). Proses hidrolisis pati singkong oleh enzim ekstraseluler mikroorganisme selama fermentasi membuat tekstur produk gatot menjadi lunak. Hidrolisis terhadap polisakarida pembentuk dinding sel akan menurunkan kekokohan dinding sel sehingga menghasilkan produk gatot yang lunak.

Adejuwon (2011) memberikan informasi tentang fungsi dari enzim amilase. Hidrolisis pati oleh enzim α-amilase , α-dekstrin dan maltotriosa dengan mengkatalis hidrolisis ikatan glikosidik α-1,4 secara acak dan memecah polisakarida dari bagian tengah, sehingga disebut endoamilase. Hidrolisis pati oleh enzim -amilase menghasilkan maltosa dalam konfigurasi

-limit dekstrin dengan mengkatalis hidrolisis ikatan glikosidik

α-1,4 dari ujung non pereduksi dan memecah tiap ikatan glukosa kedua dari ujung polisakarida sehingga disebut eksoamilase. Enzim α-glukosidase atau glukoamilase mengkatalis hidrolisis ikatan α-1,4 residu glukosa dari ujung pati non pereduksi dan ikatan α-1,6 dengan kecepatan yang lebih lambat, menjadi glukosa. Sementara itu, dinding sel tanaman dapat didegradasi oleh mikroorganisme yang menghasilkan enzim ekstraseluler selulase, hemiselulase, pektinase dan ligninase untuk mendapatkan nutrisi (Aro et al. 2005).

Aspergillus niger memproduksi α-amilase, α-glukosidase/ glukoamilase,

selulase, hemiselulase dan pektinase (Pel et al. 2007; El-Enshasy et al. 2006; Yuan et al. 2008; Narasimha et al. 2006; Aro et al. 2005; Rokem 2010).

Penicillium spp. memproduksi α-amilase, glukoamilase, selulase, hemiselulase,

pektinase dan ligninase (Sun et al. 2007; Namasivayam dan Nirmala 2011; Jahangeer et al. 2005; Aro et al. 2005; Patil dan Chaudhar 2010; Wulandari et al.

(40)

Trichoderma harzianum memproduksi α-amilase, -amilase, glukoamilase, selulase, hemiselulase, pektinase dan ligninase (Mohamed et al. 2011; Kim et al. 2005; Maeda et al. 2011; Ahmed et al. 2012; Nabi et al. 2003; Rubeena et al.

2013). Curvularia lunata memproduksi glukoamilase, selulase dan pektinase (Feng et al. 2007; Gautam et al. 2012; Rathod dan Chavan 2010). Fusarium sp.

memproduksi α-amilase, glukoamilase dan selulase (Nwagu dan Okolo 2011; Bhatti et al. 2005; Jahangeer et al. 2005). Lasiodiplodia theobromae

memproduksi α-amilase, selulase dan pektinase (Adejuwon 2011; Mohamed dan Saad 2009).

Keterangan

Nilai adalah rerata ± SD; n = 2

Nilai yang diikuti huruf berbeda pada grafik yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p>0.05)

Gambar 11 Kekerasan produk gatot pada kelompok suhu berbeda

Kekerasan produk gatot diukur dengan menggunakan penetrometer. Semakin besar nilainya maka produk gatot semakin lunak. Gambar 11 taraf nyata 0.05. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi suhu fermentasi, produk gatot semakin keras. Hal ini disebabkan semakin tinggi suhu, kelembaban udara relatif semakin rendah sehingga air akan bergerak dari produk gatot ke lingkungan dan produk gatot menjadi semakin kering dan keras.

Interaksi bobot silika gel dan luas permukaan total singkong memberikan pengaruh signifikan pada taraf nyata 0.05. Berdasarkan trendline, semakin banyak silika gel dan semakin kecil luas permukaan total singkong, produk gatot semakin keras akibat mikroorganisme tumbuh lebih sedikit pada singkong dengan luas permukaan total yang lebih kecil sehingga uap air hasil metabolisme juga lebih sedikit. Uap air yang sedikit itu pula terjerap oleh silika gel yang lebih banyak sehingga produk gatot menjadi semakin kering dan keras. Selain itu, miselium kapang melindungi produk gatot dari kehilangan uap air dengan menahan uap air

(41)

sehingga produk gatot yang lebih banyak ditumbuhi kapang pada kondisi luas permukaan total lebih besar dan silika gel lebih sedikit, bersifat lebih basah dan lunak.

Keterangan

Nilai adalah rerata ± SD; n = 2

Nilai yang diikuti huruf berbeda pada grafik yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p>0.05)

Gambar 12 Kekerasan produk gatot pada kelompok bobot silika gel berbeda

Gambar 12 memperlihatkan perbedaan kekerasan produk gatot yang difermentasi pada bobot silika gel 30 g, 250 g dan 150 g. Bobot silika gel memberikan pengaruh signifikan terhadap kekerasan produk gatot pada taraf nyata 0.05. Semakin besar bobot silika gel, produk gatot semakin keras akibat semakin banyak air yang terjerap dalam silika gel sehingga produk gatot menjadi semakin kering dan keras. Interaksi suhu dan luas permukaan total singkong memberikan pengaruh signifikan pada kekerasan produk gatot pada taraf nyata 0.05. Berdasarkan trendline, semakin rendah suhu dan semakin kecil luas permukaan singkong total, produk gatot semakin keras, akibat mikroorganisme tumbuh lebih sedikit pada singkong dengan luas permukaan total yang lebih kecil dan metabolisme mikroorganisme lebih lambat pada suhu yang lebih rendah sehingga uap air hasil metabolisme juga lebih sedikit sehingga produk gatot menjadi semakin kering dan keras.

(42)

Keterangan

Nilai adalah rerata ± SD; n = 2

Nilai yang diikuti huruf berbeda pada grafik yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p>0.05)

Gambar 13 Kekerasan produk gatot pada kelompok luas permukaan total singkong berbeda

Gambar 13 memperlihatkan perbedaan kekerasan produk gatot yang difermentasi pada ukuran luas permukaan 715 ± 37 cm2, 760 ± 40 cm2 dan 936 ± 24 cm2. Luas permukaan total singkong memberikan pengaruh signifikan terhadap kekerasan produk gatot pada taraf nyata 0.05. Produk gatot dengan luas permukaan total singkong 760 ± 40 cm2 paling keras sementara produk gatot dengan luas pemukaan total singkong 715 ± 37 cm2 dan 936 ± 24 cm2 memiliki kekerasan yang tidak berbeda signifikan pada taraf nyata 0.05. Interaksi suhu dan bobot silika gel memberikan pengaruh signifikan terhadap kekerasan produk gatot pada taraf nyata 0.05. Berdasarkan trendline, semakin rendah suhu dan semakin kecil bobot silika gel, produk gatot semakin lunak karena pada suhu yang lebih rendah, kelembaban udara relatif lebih tinggi dan pada bobot silika gel lebih kecil, uap air yang terjerap lebih sedikit sehingga kondisi lingkungan dan produk gatot mengandung uap air lebih banyak sehingga produk gatot lebih lunak.

Interaksi suhu, bobot silika gel dan luas permukaan total singkong memberikan pengaruh signifikan terhadap kekerasan produk gatot pada taraf nyata 0.05. Berdasarkan trendline, kondisi fermentasi dengan suhu yang semakin tinggi, bobot silika gel yang semakin besar dan luas permukaan total singkong yang semakin kecil, menghasilkan produk gatot dengan yang semakin keras akibat pada suhu yang semakin tinggi, kelembaban udara relatif semakin rendah dan bersama dengan penjerapan air oleh silika gel yang semakin banyak, menghasilkan kondisi lingkungan yang kering, sehingga air akan bermigrasi dari produk gatot ke lingkungan sehingga produk gatot menjadi lebih kering dan keras. Selain itu, pertumbuhan mikroorganisme yang lebih sedikit akibat luas permukaan total singkong yang lebih kecil untuk ditumbuhi, membuat uap air hasil metabolisme mikroorganisme lebih sedikit sehingga produk gatot menjadi semakin kering dan keras.

Berdasarkan uji lanjut Dunnet, kondisi fermentasi yang menghasilkan produk gatot dengan kekerasan yang tidak berbeda signifikan pada taraf 0.05

Luas permukaan total singkong (cm2)

(43)

silika gel 250 g, luas permukaan total singkong 936 ± 24 cm2; kondisi fermentasi suhu 27 ± 1 oC bobot silika gel 150 g, luas permukaan total singkong 760 ± 40 cm2; kondisi fermentasi suhu 31 ± 1 oC, bobot silika gel 250 g, luas permukaan total singkong 715 ± 37 cm2; dan kondisi fermentasi suhu 36 ± 1oC, bobot silika gel 250 g, luas permukaan total singkong 715 ± 37 cm2.

Produk gatot dari kondisi fermentasi suhu 27 ± 1 oC bobot silika gel 150 g, luas permukaan total singkong 760 ± 40 cm2 dan suhu 36 ± 1oC, bobot silika gel 250 g, luas permukaan total singkong 715 ± 37 cm2 menghasilkan produk gatot yang berbau busuk sehingga tidak diikutsertakan dalam uji sensori. Dengan demikian hanya produk gatot yang difermentasi pada kondisi suhu 27 ± 1 oC, bobot silika gel 250 g, luas permukaan total singkong 936 ± 24 cm2 dan produk gatot yang difermentasi pada kondisi suhu 31 ± 1 oC, bobot silika gel 250 g, luas permukaan total singkong 715 ± 37 cm2 serta produk gatot komersial yang diuji karakter sensorinya.

Warna Produk Gatot pada Kondisi Fermentasi Berbeda

Singkong mentega mengalami perubahan warna visual dari kuning muda menjadi coklat dengan corak hitam setelah menjadi produk gatot kukus. Warna coklat berasal dari mikroorganisme Fusarium sp., Aspergillus sp., Periconia byssoides dan Sporidesmium sp. (Balali dan Iranpoor 2006; Reddy et al. 2010; Markovskaja dan Kačergius 2013; Prasher dan Singh 2014). Warna hitam berasal dari Lasiodiplodia theobromae, Aspergillus niger, Sporidesmium sp. dan

Curvularia lunata (Çeliker dan Michailides 2012; Reddy et al. 2010; Prasher dan

Singh 2014; Irshad et al. 2015).

Keterangan

Nilai adalah rerata ± SD; n = 2

Nilai yang diikuti huruf berbeda pada grafik yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p>0.05)

Gambar 14 Kecerahan produk gatot pada kelompok suhu berbeda

(44)

tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kecerahan produk gatot pada taraf nyata 0.05.

Keterangan

Nilai adalah rerata ± SD; n = 2

Nilai yang diikuti huruf berbeda pada grafik yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p>0.05)

Gambar 15 Kecerahan produk gatot pada kelompok bobot silika gel berbeda

Gambar 15 memperlihatkan pengaruh bobot silika gel terhadap kecerahan produk gatot. Bobot silika gel memberikan pengaruh signifikan terhadap kecerahan produk gatot pada taraf nyata 0.05. Produk gatot pada kondisi fermentasi yang diatur dengan 350 g silika gel bersifat paling cerah sedangkan produk gatot pada kondisi fermentasi 250 g dan 150 g silika gel memiliki kecerahan yang tidak berbeda signifikan pada taraf nyata 0.05, sehingga dapat diasumsikan semakin banyak silika gel yang digunakan, produk akan memiliki warna yang semakin cerah. Hal ini disebabkan pada kondisi silika gel yang lebih banyak, kelembaban udara relatif semakin rendah akibat uap air lebih banyak yang terjerap sehingga pertumbuhan mikroorganisme beserta pigmen hitam yang dihasilkannya semakin menurun dan berakibat produk gatot memiliki warna yang lebih cerah.

Interaksi suhu dan luas permukaan memberikan pengaruh signifikan terhadap kecerahan produk gatot pada taraf nyata 0.05. Berdasarkan trendline,

semakin rendah suhu dan semakin kecil luas permukaan total singkong, produk gatot semakin cerah. Pertumbuhan mikroorganisme semakin rendah pada permukaan yang lebih kecil dan pada suhu yang lebih rendah akibat metabolisme mikroorganisme lebih lambat sehingga pigmen hitam yang dihasilkan semakin sedikit dan produk gatot semakin cerah.

(45)

Keterangan

Nilai adalah rerata ± SD; n = 2

Nilai yang diikuti huruf berbeda pada grafik yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p>0.05)

Gambar 16 Kecerahan produk gatot pada kelompok luas permukaan total singkong berbeda

Gambar 16 memperlihatkan pengaruh luas permukaan total singkong terhadap kecerahan produk gatot. Luas permukaan total singkong memberikan pengaruh signifikan terhadap kecerahan produk gatot pada taraf nyata 0.05. Produk gatot yang difermentasi dengan luas permukaan total 936 ± 24 cm2 memiliki warna yang paling gelap, sementara produk gatot yang difermentasi dengan luas permukaan total singkong 715 ± 37 cm2 dan 760 ± 40 cm2 memiliki kecerahan yang tidak berbeda signifikan pada taraf nyata 0.05. Dengan demikian, dapat diasumsikan semakin besar luas permukaan total singkong, produk gatot memiliki warna yang semakin gelap. Hal ini disebabkan pertumbuhan mikroorganisme semakin banyak pada permukaan yang lebih luas sehingga pigmen hitam yang dihasilkan semakin banyak dan produk gatot semakin gelap. Interaksi suhu dan bobot silika gel tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kecerahan produk gatot pada taraf nyata 0.05. Interaksi suhu, bobot silika gel dan luas permukaan total singkong memberikan pengaruh signifikan terhadap kecerahan produk gatot pada taraf nyata 0.05.

0

Luas permukaan total singkong (cm2)

(46)

Keterangan

Nilai adalah rerata ± SD; n = 2

Nilai yang diikuti huruf berbeda pada grafik yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p>0.05)

Gambar 17 Intensitas warna merah produk gatot pada kelompok suhu berbeda

Gambar 17 memperlihatkan pengaruh suhu terhadap intensitas warna merah produk gatot. Warna merah berasal dari mikroorganisme Fusarium sp.,

Aspergillus sp., Penicillium sp. (Balali dan Iranpoor 2006; Reddy et al. 2010; Tiwari et al. 2011). Suhu tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap intensitas merah produk gatot pada taraf nyata 0.05. Interaksi bobot silika gel dan luas permukaan total singkong memberikan pengaruh signifikan terhadap intensitas merah produk gatot pada taraf nyata 0.05. Berdasarkan trendline, pada suhu 27 ± 1 oC, semakin rendah bobot silika gel dan semakin besar luas permukaan total singkong, intensitas waarna merah produk gatot menurun sedangkan pada suhu 31 ± 1 oC dan 36 ± 1 oC, semakin rendah bobot silika gel dan semakin besar luas permukaan total singkong, intensitas warna merah produk gatot meningkat. Pertumbuhan mikroorganisme semakin meningkat pada kondisi bobot silika gel yang lebih rendah akibat kelembaban udara relatif lebih tinggi dan luas permukaan singkong yang dapat ditumbuhi mikroorganisme semakin besar sehingga pigmen merah yang dihasilkan mikroorganisme juga semakin banyak dan berakibat intensitas warna merah produk gatot meningkat.

(47)

Keterangan

Nilai adalah rerata ± SD; n = 2

Nilai yang diikuti huruf berbeda pada grafik yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p>0.05)

Gambar 18 Intensitas warna merah produk gatot pada kelompok bobot silika gel berbeda

Gambar 18 memperlihatkan pengaruh bobot gel silika terhadap intensitas warna merah produk gatot. Bobot silika gel tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap intensitas warna merah produk gatot pada taraf nyata 0.05. Interaksi suhu dan luas permukaan total singkong memberikan pengaruh signifikan terhadap intensitas warna merah produk gatot pada taraf nyata 0.05. Berdasarkan trendline, pada kondisi fermentasi bobot silika gel 350 g, semakin rendah suhu dan semakin kecil luas permukaan total singkong, intensitas warna merah produk gatot semakin meningkat. Pada kondisi fermentasi bobot silika gel 150 g dan 250 g, semakin tinggi suhu dan semakin besar luas permukaan total singkong, intensitas warna merah produk gatot semakin meningkat. Hal ini disebabkan pertumbuhan mikroorganisme meningkat pada suhu yang lebih tinggi akibat metabolisme mikroorganisme lebih aktif dan permukaan yang dapat ditumbuhi lebih besar sehingga pigmen merah yang dihasilkan lebih banyak.

(48)

Keterangan

Nilai adalah rerata ± SD; n = 2

Nilai yang diikuti huruf berbeda pada grafik yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p>0.05)

Gambar 19 Intensitas warna merah produk gatot pada kelompok luas permukaan total singkong berbeda

Gambar 19 memperlihatkan pengaruh luas permukaan total singkong terhadap intensitas warna merah produk gatot. Luas permukaan total singkong memberikan pengaruh signifikan terhadap intensitas warna merah produk gatot pada taraf nyata 0.05. Produk gatot yang difermentasi pada kondisi luas permukaan total singkong 936 ± 24 cm2 memiliki intensitas warna merah yang paling tinggi, sementara produk gatot yang difermentasi pada kondisi luas permukaan total singkong 715 ± 37 cm2 dan 760 ± 40 cm2 memiliki intensitas warna merah yang tidak berbeda signifikan pada taraf nyata 0.05, sehingga dapat diasumsikan, semakin besar luas permukaan total singkong, intensitas warna merah produk gatot semakin tinggi. Hal ini disebabkan pertumbuhan mikroorganisme lebih banyak pada permukaan yang lebih luas sehingga pigmen merah yang dihasilkan lebih banyak dan intensitas warna merahnya semakin tinggi.

Interaksi suhu dan bobot silika gel memberikan pengaruh signifikan terhadap intensitas warna merah produk gatot pada taraf nyata 0.05. Berdasarkan

trendline, pada luas permukaan total singkong 936 ± 24 cm2, semakin tinggi suhu

dan semakin rendah bobot silika gel, intensitas warna merah semakin tinggi, sementara pada luas permukaan total singkong 715 ± 37 cm2 dan 760 ± 40 cm2, semakin tinggi suhu dan semakin rendah bobot silika gel, intensitas warna merah semakin rendah. Interaksi suhu, bobot silika gel dan luas permukaan memberikan pengaruh signifikan terhadap intensitas warna merah produk gatot pada taraf nyata 0.05.

Luas permukaan total singkong (cm2)

(49)

Keterangan

Nilai adalah rerata ± SD; n = 2

Nilai yang diikuti huruf berbeda pada grafik yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p>0.05)

Gambar 20 Intensitas warna kuning produk gatot pada kelompok suhu berbeda

Gambar 20 memperlihatkan pengaruh suhu terhadap intensitas warna kuning produk gatot. Warna kuning berasal dari mikroorganisme Fusarium sp.,

Aspergillus sp., Penicillium sp. (Balali dan Iranpoor 2006; Reddy et al. 2010; Tiwari et al. 2011). Suhu tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap intensitas warna kuning produk gatot pada taraf nyata 0.05. Interaksi bobot silika gel dan luas permukaan total singkong memberikan pengaruh signifikan terhadap intensitas warna kuning produk gatot pada taraf nyata 0.05. Berdasarkan

trendline, pada suhu 36 ± 1 oC, semakin kecil bobot silika gel dan semakin besar

(50)

Keterangan

Nilai adalah rerata ± SD; n = 2

Nilai yang diikuti huruf berbeda pada grafik yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p>0.05)

Gambar 21 Intensitas warna kuning produk gatot pada kelompok bobot silika gel berbeda

Gambar 21 memperlihatkan pengaruh bobot silika gel terhadap intensitas warna kuning produk gatot. Bobot silika gel tidak memberikan pengaruh terhadap intensitas warna kuning produk gatot pada taraf nyata 0.05. Interaksi suhu dan luas permukaan total singkong memberikan pengaruh nyata terhadap intensitas warna kuning produk gatot pada taraf nyata 0.05. Berdasarkan trendline, semakin tinggi suhu dan semakin besar luas permukaan total singkong, intensitas warna kuning produk gatot semakin menurun.

Keterangan

Nilai adalah rerata ± SD; n = 2

Nilai yang diikuti huruf berbeda pada grafik yang sama menunjukkan berbeda signifikan (p>0.05)

Gambar 22 Intensitas warna kuning produk gatot pada kelompok luas permukaan total singkong berbeda

Luas permukaan total singkong (cm2)

Gambar

Gambar 3 Penentuan Kondisi Fermentasi
Tabel 2 Perbandingan penampakan produk gatot dari singkong mentega pada kondisi fermentasi berbeda setelah fermentasi dan setelah
Gambar 5 Kapang produk gatot yang diduga adalah Periconia byssoides melalui
Gambar 8 Aspergillus niger
+7

Referensi

Dokumen terkait

mempertahankan rambut yang ada, atau hanya untuk membuat rambut tumbuh lebih cepat. 6) DS Laboratories adalah satu dari sangat sedikit perusahaan kosmetik yang

Ekstrudat yang berasal dari bahan baku sorgum yang disosoh memiliki nilai WSI lebih tinggi dibandingkan dengan sorgum yang tidak disosoh, sedangkan proses ekstrusi pada

Ekstrudat yang berasal dari bahan baku sorgum yang disosoh memiliki nilai WSI lebih tinggi dibandingkan dengan sorgum yang tidak disosoh, sedangkan proses ekstrusi pada

Berbeda dengan hasil penilaian warna, penilaian terhadap parameter rasa, aroma dan tekstur menunjukkan bahwa panelis atau konsumen lebih menyukai permen karamel

Pada pengujian t-test diatas disebutkan dijelaskan bahwa P Value T test lebih dari 0,05 baik dari segi warna, aroma, teksture, rasa serta secara keseluruhan berarti

Kelebihan dari penggunaan mikroalga sebagai bahan baku produksi bioethanol antara lain: proses fermentasi memerlukan energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan proses

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar panelis lebih menyukai aroma, rasa, warna, dan tekstur “serbat herbal” yang ditambahkan dengan biji

perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user86.Sawi Monumen Sawi monumen tubuhnya amat tegak dan berdaun kompak. Penampilan sawi jenis ini sekilas mirip dengan petsai. Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya sendiri berwarna hijau segar. Jenis sawi ini tegolong terbesar dan terberat di antara jenis sawi lainnya. D.Syarat Tumbuh Tanaman Sawi Syarat tumbuh tanaman sawi dalam budidaya tanaman sawi adalah sebagai berikut : 1.Iklim Tanaman sawi tidak cocok dengan hawa panas, yang dikehendaki ialah hawa yang dingin dengan suhu antara 150 C - 200 C. Pada suhu di bawah 150 C cepat berbunga, sedangkan pada suhu di atas 200 C tidak akan berbunga. 2.Ketinggian Tempat Di daerah pegunungan yang tingginya lebih dari 1000 m dpl tanaman sawi bisa bertelur, tetapi di daerah rendah tak bisa bertelur. 3.Tanah Tanaman sawi tumbuh dengan baik pada tanah lempung yang subur dan cukup menahan air. (AAK, 1992). Syarat-syarat penting untuk bertanam sawi ialah tanahnya gembur, banyak mengandung humus (subur), dan keadaan pembuangan airnya (drainase) baik. Derajat keasaman tanah (pH) antara 6–7 (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user9E.Teknik Budidaya Tanaman Sawi 1.Pengadaan benih Benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani. Kebutuhan benih sawi untuk setiap hektar lahan tanam sebesar 750 gram. Benih sawi berbentuk bulat, kecil-kecil. Permukaannya licin mengkilap dan agak keras. Warna kulit benih coklat kehitaman. Benih yang akan kita gunakan harus mempunyai kualitas yang baik, seandainya beli harus kita perhatikan lama penyimpanan, varietas, kadar air, suhu dan tempat menyimpannya. Selain itu juga harus memperhatikan kemasan benih harus utuh. kemasan yang baik adalah dengan alumunium foil. Apabila benih yang kita gunakan dari hasil pananaman kita harus memperhatikan kualitas benih itu, misalnya tanaman yang akan diambil sebagai benih harus berumur lebih dari 70 hari. Penanaman sawi memperhatikan proses yang akan dilakukan misalnya dengan dianginkan, disimpan di tempat penyimpanan dan diharapkan lama penyimpanan benih tidak lebih dari 3 tahun.( Eko Margiyanto, 2007) Pengadaan benih dapat dilakukan dengan cara membuat sendiri atau membeli benih yang telah siap tanam. Pengadaan benih dengan cara membeli akan lebih praktis, petani tinggal menggunakan tanpa jerih payah. Sedangkan pengadaan benih dengan cara membuat sendiri cukup rumit. Di samping itu, mutunya belum tentu terjamin baik (Cahyono, 2003). Sawi diperbanyak dengan benih. Benih yang akan diusahakan harus dipilih yang berdaya tumbuh baik. Benih sawi sudah banyak dijual di toko-toko pertanian. Sebelum ditanam di lapang, sebaiknya benih sawi disemaikan terlebih dahulu. Persemaian dapat dilakukan di bedengan atau di kotak persemaian (Anonim, 2007). 2.Pengolahan tanah Sebelum menanam sawi hendaknya tanah digarap lebih dahulu, supaya tanah-tanah yang padat bisa menjadi longgar, sehingga pertukaran perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user10udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap zat-zat makanan di dalamnya (AAK, 1992). Untuk tanaman sayuran dibutuhkan tanah yang mempunyai syarat-syarat di bawah ini : a.Tanah harus gembur sampai cukup dalam. b.Di dalam tanah tidak boleh banyak batu. c.Air dalam tanah mudah meresap ke bawah. Ini berarti tanah tersebut tidak boleh mudah menjadi padat. d.Dalam musim hujan, air harus mudah meresap ke dalam tanah. Ini berarti pembuangan air harus cukup baik. Tujuan pembuatan bedengan dalam budidaya tanaman sayuran adalah : a.Memudahkan pembuangan air hujan, melalui selokan. b.Memudahkan meresapnya air hujan maupun air penyiraman ke dalam tanah. c.Memudahkan pemeliharaan, karena kita dapat berjalan antar bedengan dengan bedengan. d.Menghindarkan terinjak-injaknya tanah antara tanaman hingga menjadi padat. ( Rismunandar, 1983 ). 3.Penanaman Pada penanaman yang benihnya langsung disebarkan di tempat penanaman, yang perlu dijalankan adalah : a.Supaya keadaan tanah tetap lembab dan untuk mempercepat berkecambahnya benih, sehari sebelum tanam, tanah harus diairi terlebih dahulu. perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user11b.Tanah diaduk (dihaluskan), rumput-rumput dihilangkan, kemudian benih disebarkan menurut deretan secara merata. c.Setelah disebarkan, benih tersebut ditutup dengan tanah, pasir, atau pupuk kandang yang halus. d.Kemudian disiram sampai merata, dan waktu yang baik dalam meyebarkan benih adalah pagi atau sore hari. (AAK, 1992). Penanaman dapat dilakukan setelah tanaman sawi berumur 3 - 4 Minggu sejak benih disemaikan. Jarak tanam yang digunakan umumnya 20 x 20 cm. Kegiatan penanaman ini sebaiknya dilakukan pada sore hari agar air siraman tidak menguap dan tanah menjadi lembab (Anonim, 2007). Waktu bertanam yang baik adalah pada akhir musim hujan (Maret). Walaupun demikian dapat pula ditanam pada musim kemarau, asalkan diberi air secukupnya (Sunaryono dan Rismunandar, 1984). 4.Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan dalam budidaya tanaman sawi meliputi tahapan penjarangan tanaman, penyiangan dan pembumbunan, serta pemupukan susulan. a.Penjarangan tanaman Penanaman sawi tanpa melalui tahap pembibitan biasanya tumbuh kurang teratur. Di sana-sini sering terlihat tanaman-tanaman yang terlalu pendek/dekat. Jika hal ini dibiarkan akan menyebabkan pertumbuhan tanaman tersebut kurang begitu baik. Jarak yang terlalu rapat menyebabkan adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara di dalam tanah. Dalam hal ini penjarangan dilakukan untuk mendapatkan kualitas hasil yang baik. Penjarangan umumnya dilakukan 2 minggu setelah penanaman. Caranya dengan mencabut tanaman yang tumbuh terlalu rapat. Sisakan tanaman yang tumbuh baik dengan jarak antar tanaman yang teratur (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user12b.Penyiangan dan pembumbunan Biasanya setelah turun hujan, tanah di sekitar tanaman menjadi padat sehingga perlu digemburkan. Sambil menggemburkan tanah, kita juga dapat melakukan pencabutan rumput-rumput liar yang tumbuh. Penggemburan tanah ini jangan sampai merusak perakaran tanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali (Anonim, 2007). Untuk membersihkan tanaman liar berupa rerumputan seperti alang-alang hampir sama dengan tanaman perdu, mula-mula rumput dicabut kemudian tanah dikorek dengan gancu. Akar-akar yang terangkat diambil, dikumpulkan, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah kering, rumput kemudian dibakar (Duljapar dan Khoirudin, 2000). Ketika tanaman berumur satu bulan perlu dilakukan penyiangan dan pembumbunan. Tujuannya agar tanaman tidak terganggu oleh gulma dan menjaga agar akar tanaman tidak terkena sinar matahari secara langsung (Tim Penulis PS, 1995 ). c.Pemupukan Setelah tanaman tumbuh baik, kira-kira 10 hari setelah tanam, pemupukan perlu dilakukan. Oleh karena yang akan dikonsumsi adalah daunnya yang tentunya diinginkan penampilan daun yang baik, maka pupuk yang diberikan sebaiknya mengandung Nitrogen (Anonim, 2007). Pemberian Urea sebagai pupuk tambahan bisa dilakukan dengan cara penaburan dalam larikan yang lantas ditutupi tanah kembali. Dapat juga dengan melarutkan dalam air, lalu disiramkan pada bedeng penanaman. Satu sendok urea, sekitar 25 g, dilarutkan dalam 25 l air dapat disiramkan untuk 5 m bedengan. Pada saat penyiraman, tanah dalam bedengan sebaiknya tidak dalam keadaan kering. Waktu penyiraman pupuk tambahan dapat dilakukan pagi atau sore hari (Haryanto et al., 1995). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user13Jenis-jenis unsur yag diperlukan tanaman sudah kita ketahui bersama. Kini kita beralih membicarakan pupuk atau rabuk, yang merupakan kunci dari kesuburan tanah kita. Karena pupuk tak lain dari zat yang berisisi satu unsur atau lebih yang dimaksudkan untuk menggantikan unsur yang habis diserap tanaman dari tanah. Jadi kalau kita memupuk berarti menambah unsur hara bagi tanah (pupuk akar) dan tanaman (pupuk daun). Sama dengan unsur hara tanah yang mengenal unsur hara makro dan mikro, pupuk juga demikian. Jadi meskipun jumlah pupuk belakangan cenderung makin beragam dengan merek yang bermacam-macam, kita tidak akan terkecoh. Sebab pupuk apapun namanya, entah itu buatan manca negara, dari segi unsur yang dikandungnya ia tak lain dari pupuk makro atau pupuk mikro. Jadi patokan kita dalam membeli pupuk adalah unsur yang dikandungnya (Lingga, 1997). Pemupukan membantu tanaman memperoleh hara yang dibutuhkanya. Unsur hara yang pokok dibutuhkan tanaman adalah unsur Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K). Itulah sebabnya ketiga unsur ini (NPK) merupakan pupuk utama yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik juga dibutuhkan oleh tanaman, memang kandungan haranya jauh dibawah pupuk kimia, tetapi pupuk organik memiliki kelebihan membantu menggemburkan tanah dan menyatu secara alami menambah unsur hara dan memperbaiki struktur tanah (Nazarudin, 1998). 5.Pengendalian hama dan penyakit Hama yang sering menyerang tanaman sawi adalah ulat daun. Apabila tanaman telah diserangnya, maka tanaman perlu disemprot dengan insektisida. Yang perlu diperhatikan adalah waktu penyemprotannya. Untuk tanaman sayur-sayuran, penyemprotan dilakukan minimal 20 hari sebelum dipanen agar keracunan pada konsumen dapat terhindar (Anonim, 2007). perpustakaan.uns.ac.iddigilib.uns.ac.idcommit to user14OPT yang menyerang pada tanaman sawi yaitu kumbang daun (Phyllotreta vitata), ulat daun (Plutella xylostella), ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis), dan lalat pengerek daun (Lyriomiza sp.). Berdasarkan tingkat populasi dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan, maka peringkat OPT yang menyerang tanaman sawi berturut-turut adalah P. vitata, Lyriomiza sp., P. xylostella, dan C. binotalis. Hama P. vitatamerupakan hama utama, dan hama P. xylostella serta Lyriomiza sp. merupakan hama potensial pada tanaman sawi, sedangkan hamaC. binotalis perlu diwaspadai keberadaanya (Mukasan et al., 2005). Beberapa jenis penyakit yang diketahui menyerang tanaman sawi antara lain: penyakit akar pekuk/akar gada, bercak daun altermaria, busuk basah, embun tepung, rebah semai, busuk daun, busuk Rhizoctonia, bercak daun, dan virus mosaik (Haryanto et al., 1995). 6.Pemanenan Tanaman sawi dapat dipetik hasilnya setelah berumur 2 bulan. Banyak cara yang dilakukan untuk memanen sawi, yaitu: ada yang mencabut seluruh tanaman, ada yang memotong bagian batangnya tepat di atas permukaan tanah, dan ada juga yang memetik daunnya satu per satu. Cara yang terakhir ini dimaksudkan agar tanaman bisa tahan lama (Edy margiyanto,