SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Disusun oleh:
Hotifah Hartati
106043101301
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya penulisan skripsi ini bukan hasil
karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 03 oktober 2010
i
Segala pujian serta rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, dzat
yang menggenggam langit dan bumi, yang merajai hati manusia dan mampu meluluhkan
dan menguasai hati yang lirih dan yang memberikan kepada penulis kekuatan dan
kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat teriring salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah menebarkan cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia sehingga penulis
dapat menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya Islam. Semoga dihari akhirat
nanti seluruh umat Islam mendapatkan Syafa’atul Uzma dari beliau. Amiin
Skripsi ini sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu
di bangku kuliah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Berbagai
hambatan dan kesulitan selama proses penulisan skripsi ini dapat penulis lalui. Semua
ini karena do’a dan dukungan orang-orang yang ada di sekitar penulis. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada para
pihak yang telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini, diantaranya adalah:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Mukri Aji, MA dan Bapak Dr. M. Taufiki selaku Ketua Jurusan dan
ii
membimbing penulis dengan sabar dari awal hingga selesainya penulisan skripsi
ini.
4. Bapak/Ibu dosen pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi
ilmu, pengalaman dan nasehat kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis
dapatkan dari Bapak/Ibu dapat bermanfaat dunia dan akhirat serta menjadi amal
kebaikan bagi Bapak/Ibu dosen.
5. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.
6. Bapak lurah beserta staff kelurahan Cikokol Tangerang yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk melakukan riset di kelurahan Cikokol serta telah
membantu dalam kelancaran birokrasi.
7. Sebagian masyarakat kelurahan Cikokol yang telah bersedia menjadi responden
guna mengumpulkan data untuk menyeselesaikan skripsi ini.
8. Ucapan terima kasih juga penulis hanturkan kepada ayahanda dan ibunda
tercinta, Bpk, Hamzah dan Ibu Titi muryati terimakasih yang seagung-agungnya
atas perhatian, cinta, kasih sayang, pengorbanan, keiklasan, kesabaran yang tak
pernah habis serta doa-doa yang tak henti-hentinya mereka panjatkan kepada
allah SWT agar penulis senantiasa mendapatkan kesuksesan dalam belajar,
iii
9. Seluruh keluarga besar penulis kakak dan adik-adikku, kepada kakaku Amirudin
Spd. MA. teh karmilati S.E dan adik-adikku, syarif, zay, fikri dengan kecerian,
canda tawa mereka memberikan semangat kepada penulis agar penulis cepat
menyelesaikan skripsi ini.
10.Teman-teman seperjuangan PMF 2006. Selama 4 tahun kenal dan kuliah
bersama kalian merupakan hal terindah dalam hidup penulis.
11.Khusus untuk teman terbaik dan tersayang, anis dan raden, rival terima kasih
untuk motivasi yang tidak pernah dan henti kalian limpahkan untuk penulis.
Semoga semua pengorbanan dan kebaikan yang diberikan mendapatkan nilai
kebaikan di sisi Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.
Tak ada gading yang tak retak, skripsi ini jauh dari kesempurnaan, saran dan
kritik sangat penulis harapkan demi kebaikan ke depan.
Ciputat, 3 Juni 2010
iv
Daftar Isi ... iv
Daftar Tabel ... vi
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 6
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D.Metode Penelitian ... 8
E.Review Studi Terdahulu ... 9
F. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II HUKUM DAN BUDAYA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM DAN HUKUM ISLAM A. Hukum dalam Perspektif Antropologi Hukum ... 13
B. Kesadaran Hukum dan Ketaatan Hukum ... 17
C. Hukum dalam Perspektif Hukum Islam ... 20
D. Budaya Kemiskinan dan Mengemis Pandangan Hukum Islam .... 24
v
C. Kedaan sosiologis kelurahan Cikokol………..…………... 38
BAB IV MENGEMIS SEBAGAI PROFESI PADA MASYARAKAT CIKOKOL KOTA TANGERANG
A. Komunitas Pengemis Cikokol………. 44
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Budaya Mengemis………... 63
C. Mengemis Tinjauan Antropologi Hukum dan Hukum Islam…… 65
D. Penegakkan hukum yang mengatur kegiatan mengemis………… 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……… 75
B. Saran-saran ……… 77
vi
3.1 Jumlah penduduk berdasarkan kk…………... 41
3.2 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin………. 42
3.3 Jumlah penduduk berdasarkan usia……… 42
3.4 Jumlah penduduk berdarkan kewarganegaraan………. 43
3.5 Jumlah penduduk berdasarkan tinggkat pendidikan……….. 44
3.6 Jumlah sarana pendidikan negri………. 44
3,7 Sarana pendidikan swasta……….. 45
3.8 Jumlah keagamaan………. 46
3.9 Jumlah sarana ibadah………. 47
3.10 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan………. 48
4.1 Data pendidikan terakhir responden……….. 53
4.2 Data tempat tinggal responden ………... 55
4.3 Data usia pengemis……….... 56
vii
4.6 Data siapakah yang mensosialisasikan mengemis……….. 60
4.7 Data jam bekerja pengemis………. 61
4.8 Data ststus pernikahan pengemis……… 62
4.9 Data daerah asal pengemis………. 63
1
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia dikenal sebagai negara yang multikultural, multi etnik, agama,
ras, dan multi golongan. Bhinneka Tunggal Ika mencerminkan kemajmukan budaya
bangsa dalam naungan negara kesatuan republik Indonesia.1
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling
abstrak dari adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya merupakan
konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat,
mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup.2
Kemajmukan budaya dalam konteks masyarakat Indonesia merupakan
pengertian yang majemuk pula, oleh karena pengertian kebudayaan itu sendiri
bergantung pada aspeks di dalam kehidupan masyarakat secara teoritis dianggap
pokok untuk pemahaman perilaku warga masyarakat.3
Setiap manusia mempunyai apa yang dinamakan prilaku (bebevior), yakni suatu totalitas dari gerak motoris, persepsi dan fungsi kognitif dari fungsi. Salah
satu unsur dari perilaku adalah gerak sosial, yakni gerak yang terikat oleh empat
syarat : Pertama, diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, Kedua, terjadi
1
I Nyoman Nurjaya, Pengeloaan Sumber Daya Alam Dalam Perfektif Antropologi Hukum,
(Jakarta:Prestasi Pustaka Publiser,2008), h.2.
2
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta, Aksara Baru, 1980), h.204.
3
pada situasi tertentu, Ketiga, diatur oleh kaidah-kaidah tertentu, Keempat. Terdorong oleh motivasi-motivasi tertentu.4
Kebiasaan dan kelaziman yang diterima dan dipakai masyarakat secara
berulang, yang dijadikan pedoman dan diterapkanya dalam pelaksanaan
mewujudkan kebahagiaan, kesejahtreaan, keseimbangaan, kerukunan, ketertiban,
keadilan dan kedamaian dalam melangsungkan kehidupan itu merupakan suatu
sistem kontrol-sosial.5
Dalam pandangan antropologi, dimana saja ada manusia hidup
bermasyarakat harus ada sistem kontrol sosialnya. Sistem kontrol sosial itu akan
mempunyai kekuatan hukum, apabila ia digunakan oleh kekuatan masyarakat guna
mengatur perilaku manusia dan masyarakat bersangkutan, supaya kehidupan
mereka teratur. Sepanjang masyarakat itu teratur, karena ada yang mengatur dan
mempunyai kekuasaan, maka pada masyarakat itu terdapat hukum.
Sebagai kelanjutan dari usaha manusia dari usaha manusia dalam
masyarakat untuk memelihara sistem kemasyarakat, maka ia menghasilkan
kesamaan dan keserasian perilaku dari anggota individu dalam masyarakat atau
sebagian dari masyarakat itu. Jadi jelaslah bahwa lapangan penulisan antropologi
hukum ditunjukan pada suatu garis perilaku yang menunjukan kejadian
terus-menerus.
4
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,( Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.6.
5
Budaya kemiskinan seakan menjadi pilihan oleh sebagian masyarakat
Cikokol dan kemiskinan sering kali dipahami dalam pengertian sederhana, yakni
dalam keadaan kekuranganuang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak
terpenuhinya kebutuhan sehari-hari Padahal kemiskinan adalah masalah yang
sangat komplek, baik dari faktor penyebabnya maupun dampak yang akan
ditimbulkan dari masalah kemiskinan tersebut, dari masalah kemiskinan inilah
banyak orang yang mengambil profesi sebagai pengemis. Masalah pengemis adalah
masalah yang pelik.6 Ia tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang saja.
Di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa setiap manusia diperintahkan
untuk bekerja dan Al-Qur’an mendorong mereka melakukan usaha, serta
mengarahkan mereka menjadi orang-orang yang bersikap positif dalam menemukan
hidup dengan kesungguhan dan kerajinan agar dapat memberi dan memperoleh
manfaat untuk diri sendiri dan orang lain.7
Fenomena pengemis telah merebak luas dikota-kota besar di Indonesia,
khususnya Cikokol. Mereka mengganggu ketertiban umum, seperti kawasan lalu
lintas, dipersimpangan lampu merah, hingga mengganggu kenyamanan pejalan
kaki.
Di masyarakat Cikokol kota Tangerang jumlah pengemis setiap tahun
semakin meningkat. Ironisnya ada salah satu keluarga yang semua anggota
berprofesi sebagai pengemis dan menjadikan pekerjaan mengemis sebagai budaya,
6
Ali yafie, Nuansa Fiqih SoSial, ( Bandung : Mizan, 1995) , h.10.
7
padahal mereka jelas mengetahui bahwa terdapat hukum yang mengatur tentang
larangan mengemis di daerah Cikokol.
Mengemis merupakan salah satu jalan pintas bagi orang miskin untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada yang benar-benar tidak mampu sehingga ia
harus mengemis di jalanan dan tidak sedikit pula yang berpura-pura mengemis
hanya untuk mengambil keuntungan semata. Ia terkadang mempunyai rumah
bahkan telephon selular. Dalam koran jawa pos, seorang bos pengemis mengakui bahwa kesuksesan yang ia raih berawal dari hasil mengkoordinir
pengemis-pengemis disekitar tempat tinggalnya. Menurut pengakuan bos pengemis tersebut, dari hasil mengkoordinir pengemis ia bisa membeli rumah, alat rumah tangga, dan
bahkan ia sanggup membeli mobil. Ia mempunyai anak buah yang dijadikan
sebagai pengemis. Dari hasil anak buah tersebut ia bisa menghasilkan 200 s/d 300
ribu perhari.8
Dikarenakan perbedaan tempat dan lingkungan, perbedaan sejarah dan
asal-usulnya, perbedaan semangat dan jiwanya, perbedaan akal dan cara berpikirnya,
perbedaanya budaya dan agama yang mempengaruhinya, maka perilaku budaya
manusia itu berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Jadi tidak ada suatu
sistem pola perilaku manusia yang seragam, dan oleh karenanya tidak ada pula
suatu sistem kepribadian (personality) manusia itu yang sama.9
8
http// www.jawapos.co.id/metropolis/indeks/php/acd,detail,5773 diakses pada tanggal 2 januarai 2009.
9
Di luar persoalan agama dan pelanggaran ketertiban umum, setiap uang
yang diberikan kepada para pengemis membuat mereka merasa dihargai dan
menyebabkan menadahkan tanganya kepada orang lain. Sedekah yang kita berikan,
justru membuat pengemis semakin tergantung kepada pemberian orang lain tanpa
berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari mengemis. Akhirnya,
mereka akan menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencahariaannya atau
sebagai profesi. Dalam hal ini bukan kemiskinan yang menjadi alasan, tetapi
budaya pada diri masyarakat itu sendiri yang sudah melekat. Mereka berfikir bahwa
mengemis adalah profesi yang menjanjikan, walaupun sebenarnya mereka mampu
untuk mengambil pekerjaan yang lebih baik selain dari mengemis. Karena itu
mereka berani melanggar peraturan yang terkait dengan larangan mengemis di
daerah tersebut. Padahal pemerintah setempat telah berusaha menegakkan hukum
dengan cara mengadakan pembersihan kota dengan menagkap dan mengusir para
pengemis tetapi mereka tetap tidak berhenti dan terus menjalankan profesinya.
Oleh karena itu penulis akan membahas apa yang akan menjadi dasar pada
perilaku yang ada di masyarakat Cikokol kota Tangerang dan bagaimana
penegakkan hukum terkait tentang masalah pengemis.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis mencoba mengangkat masalah
mengemis sebagai profesi dan faktor-faktor yang melatar belakangi masalah
tersebut, dengan sudut pandang Antropologi Hukum.Pada akhirnya penelitian ini
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan dan penulisan skripsi ini tidak melebar dan lebih teraraH
maka penulis hanya membatasi tentang ruang lingkup pengemis yang berada di
Kelurahan Cikokol Kota Tangerang.
2. Rumusan Masalah
Dari pembatasan diatas maka masalah yang dapat penulis rumuskan adalah
sebagai berikut :
a. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi budaya mengemis dikomunitas
masyarakat Cikokol?
b. Bagaimana Profesi Pengemis dalam Perfekstif Antropologi Hukum?
c. Bagaimana penegakkan hukum yang mengatur kegiatan mengemis?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi budaya mengemis
di masyarakat Cikokol.
b. Untuk mengetahui tinjauan antropologi hukum terhadap budaya pengemis
sebagai profesi.
c. Untuk mengetahui bagaimana penegakkan hukum yang mengatur kegiatan
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Bagi penulis, kegunaan yang diharapkan berkembangnya wawasan
khasanah dan peka terhadap masalah yang berkembang yang ada
dimasyarakat.
b. Bagi mahasiswa, memberikan sumbangan keilmuan tentang budaya
Pengemis yang berkembang dimasyarakat Cikokol
c. Bagi Masyarakat, memberikan informasi dan gambaran bagaimana
Masyarakat lebih memilih memberi kepada pengemis yang sebenarya.
D. Studi Review
Berdasarkan telaah yang dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan
penulis melihat ada yang membahas tentang pengemis, seperti pada skripsi dibawah
ini :
1. Syarif. Pengemis dalam perpspektif Al-Hadits; Analisa kritis Hadits hadits Hak al-sail dalam kitab sunan Abi Daud. Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Usulludin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1425 H/2004. Pada skripsi
ini membahas tentang pengemis yang di pandang dari kaca mata hadits,
mengenai analisa kritis hadits-hadits Haq al-Sail dalam kitab sunan Abi Daud.
Dan dalam skripsi ini tidak menerangkan tentang berkembangya budaya
mengemis sebagai profesi hanya menganalisis pengemis dari sudut pandang
2. Muhammad Akmal. Pelayanan sosial bagi gelandangan dan pengemis di panti sosial Bina Karya “pengudi luhur”bekasi. Jurusan Kesejahteraan Sosial,
Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas`Islam Syarif Hidayatullah
Jakarta 1430/2009. Pada skripsi ini membahas tentang bagaimana pelayanan
gepeng dan jenis pelayanan apa saja yang diberikan di panti sosial Bina Karya
dalam membina para gelandangan dan pengemis.
Dan yang dibahas dalam skripsi ini adalah tentang mengemis sebagai profesi
dalam tinjauan Antropologi Hukum, apa yang menjadi kultur dalam profesi
mengemis dan meneliti pengemis dari perfekstif Antropologi Hukum yang berada
didaerah Cikokol Tangerang. Jadi disinilah letak perbedaan dengan skripsi
sebelumnya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian antropologi hukum,
yaitu penelitian yang mempelajari garis perilaku yang terjadi secara berulang-
ulang dan terus menerus dilaksanakan, karena perilaku itulah merupakan sesuatu
yang menjadi kebiasaan dan menjadi hukum dalam masyarakat bersangkutan.10
Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif yaitu
suatu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data seteliti mungkin
tentang manusia, keadaan atau gejala gejala lainnya. Dalam hal ini,berupa
10
kata tertulis dan lisan dari orang-orang yang bersangkutan .perilaku yang
diamati dengan menganalisa dan menguraikan serta mendeksripsikan budaya
mengemis pada masyarakat Cikokol yang telah penulis dapatkan dari informan
yaitu tokoh agama, kelurahan ,masyarakat setempat.
2. Sumber data
Adapun sumber data yaitu:
a. Data primer yaitu data yang dipeloreh secara langsung dari masyarakat11
data ini meliputi wawancara dengan pengemis ,masyarakat sekitar ,tokoh
agama dan lurah yang dianggap megetahui perilaku mengemis di
masyarakat Cikokol.
b. Data sekunder yaitu data yang dipeloreh dari bahan pustaka12 data ini
terdiri dari buku -buku artikel - artikel internet dan dari informasi lain
yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
3. Teknik pengumpulan data
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan
data dengan cara sebagai berikut :
a. Observasi
Obersasi adalah mengamati dan mendengar dalam rangka memahami,
mecari jawaba,mencari bukti terhadap fenomena yang berkaitan dengan
11
Sukandarrumudi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004),h.104.
12
perilaku masyarakat dengan mencatat fenomena tersebut guna
menemukan data analisis.
b. Indepth interview (wawancara mendalam)
Interview adalah mengadakan wawancara melalui percakapan tertentu dengan subjek penelitian yaitu para pengemis lurah, tokoh agama dan
masyarakat sekitar dengan menunjukan pertanyaan yang berkaitan dengan
apa yang diteliti13
4. Studi dokumentasi
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini
adala pedoman wawancara dan pedoman observasi dan didukung dengan buku
catatan dan foto -foto.
5. Teknik analisis data
Penulisan ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, data-data yang
dipeloreh melalui wawancara dan pengamatan. Data akan diolah dan dianalisis
secara deskriptif untuk kemudian ditarik kesimpulannya.
6. Teknik penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh fakultas syari’ah dan hukum universitas
islam negeri syarif hidayatullah Jakarta tahun 2007.
13
F. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis membagi kedalam
empat bab,yang secara garis besar penulis jabarkan sebagai berikut:
BAB I : Bab ini Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
permasalahan, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian
dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II Bab ini membahas tentang hukum dan budaya dalam
perspekstif antropologi hukum dan hukum Islam yang terdiri
dari, hukum dalam perspektif antropologi hukum, kesadaran
hukum dan ketaatan hukum, hukum dalam perspektif hukum
Islam, budaya kemiskinan dan mengemis pandangan hukum
Islam, pengemis dan perilaku menngemis,faktor-faktor yang
mendorong orang mengemis.
BAB III Bab ini membahas Tentang profil kelurahan Cikokol Kota Tangerang yaitu letak geografis kelurahan Cikokol, kondisi
demografis kelurahan Cikokol dan keadaan sosiologi.
BAB IV Bab ini menerangkan tentang mengemis sebagai profesi di
masyarakat Cikokol kota Tangerang, yang menerangkan
mempengaruhi budaya mengemis, mengemis tinjauan
antropologi hukum dan hukum islam, kegiatan hukum yang
mengatur kegiatan mengemis.
BAB V Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari
pembahasan yang sebelumnya, dan juga saran-saran sebagai
13
BAB II
HUKUM DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM
A. Hukum dalam Perspektif Antropologi Hukum
Satu masalah yang belum mencapai kata putus di antara para ahli
hukum ialah tentang pendefinisian hukum. Bahkan Immanuel Kant ±150
tahun yang lalu berkata, “Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem
Begriffe von Recht”. Pernyataan ini jika diterjemahkan berbunyi, “tidak seorang ahli hukum pun yang mampu membuat definisi tentang hukum”.1
Namun demikian, para ahli hukum tetap mencoba mendefinisikan hukum
dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yakni dari sudut pandang filsafat,
sosiologi, politik dan sejarah, dll.
Para ahli filsafat mendefinisikan hukum sebagai nilai yang
merupakan salah satu unsur pandangan manusia mengenai hal-hal yang harus
dianuti karena dianggap baik, dan hal-hal yang seharusnya dihindari karena
dianggap buruk.
Ahli sosiologi hukum atau sosiolog mendefinisikan hukum yang
secara umum berarti ilmu pengetahuan hukum yang menekankan pada studi
dan analisa secara empiris, terhadap hubungan timbal balik antara hukum
dengan gejala-gejala sosial lainnya.2
1
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum “Apakah itu?”, (Bandung: Remadja Karya, 1985) cet.II, h.1.
2
Ahli politik atau politikus mendefinisikan “hukum sebagai produk
politik”. Sebagai fakta sebenarnya, bukan hanya hukum dalam arti
Undang-undang yang merupakan produk politik, tetapi juga bisa mencakup hukum
dalam arti-arti yang lain, termasuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar.3
Ahli antropologi hukum, Pospisil4 menyebutkan bahwa hukum
sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena
itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi
oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi
dan religi, sedangkan Moore5 berpendapat bahwa hukum dipelajari sebagai
proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Karena itu,
hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan
perundang-undangan yang diciptakan oleh negara (state law), tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber
dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekansime pengaturan dalam masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana kontrol sosial (control social).6
Hukum sebagai aspek kebudayaan, mempunyai beberapa fungsi
fundamental untuk memelihara kedudukan masyarakat, yaitu:
3
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h.6.
4
Nama lengkapnya Leopold Pospisil. Ia adalah antropolog pertama yang melakukan penelitian lapangan di Papua New Guinea pada tahun 1950-an dan menuliskan buku tentang hasil penelitiannya Kapauku Papuans and Their Law yang diterbitkan oleh Yale University Press.
5
Henrietta Moore adalah seorang ahli teori terkemuka antropologi feminist. Beberapa karyanya adalah Feminisme dan Antrolopi, Anthropological Theory Today.
6
1. Merumuskan pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya
berperikelakuan, sehingga terjadi integrasi minimal dalam masyarakat,
2. Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga
dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban,
3. Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali, dan
4. Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan
antara warga masyarakat dan kelompok-kelompok, apabila terjadi
suatu perubahan-perubahan.7
Antropologi hukum merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang manusia (tropos) yang bersangkutan dengan hukum. Manusia yang dimaksud adalah individu yang hidup bermasyarakat, bergaul antara yang satu dengan
yang lain, baik masyarakat yang masih sederhana budayanya (primitif) maupun masyarakat yang sudah modern (maju). Budaya yang di maksud adalah budaya hukum, yaitu segala bentuk perilaku budaya manusia yang
mempengaruhi atau yang berkaitan dengan masalah hukum.
Hukum dalam perspektif antropologi memiliki arti luas. Ia bukan saja
hukum dalam arti dan bentuk perilaku sebagai bentuk kebiasaan yang
berulang-ulang terjadi, sebagaimana dalam hukum adat, atau hukum dalam
arti dan bentuk dan bentuk kaidah peraturan perundangan, seperti hukum
dalam arti dan pendekatan normatif. Tetapi masalah hukum juga dilihat dari
segi kecendikiawanan (intelektual), filsafat, ilmu jiwa dan beberapa faktor
7
yang melatar belakangi hukum tersebut, serta cara-cara menyelesaikan
sesuatu yang timbul dalam masyarakat. 8
Dalam antropologi hukum, hukum ditinjau sebagai aspek dari
kebudayaan. Manusia dalam kehidupan bermasyarakat dibekali untuk berlaku
dengan menjunjung nilai-nilai budaya, yang mana dalam masyarakat tertentu
harus dijunjung tinggi. Nilai-nilai budaya tercakup secara lebih konkrit dalam
norma-norma sosial, yang diajarkan kepada setiap warga masyarakat supaya
dapat menjadi pedoman berlaku pada waktu melakukan berbagai peranan
dalam berbagai situasi sosial. Norma-norma sosial sebagian tergabung dalam
kaitan dengan norma lain, dan menjelma sebagai pranata atau lembaga sosial
yang semuanya lebih mempermudah manusia dalam mewujudkan perilaku
yang sesuai dengan tuntunan masyarakatnya atau yang sesuai dengan
gambaran ideal mengenai cara hidup yang dianut dalam kelompoknya.
Gambaran ideal atau desain hidup ini, yang merupakan kebudayaan dari
masyarakat itu, hendak dilestarikan melalui cara hidup warga masyarakat.
Salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat supaya
melestarikan kebudayaan itu adalah hukum. 9
Dengan demikian, kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan
sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang
mendukung kebudayaan tersebut, karena dijadikan kerangka acuan dalam
8
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), h. 4.
9
bertindak dan bertingkah laku, maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi
dalam suatu masyarakat.
Tingkah laku manusia menjadi sorotan utama dalam menilai hukum
yang berlaku di dalam masyarakat. Sementara masyarakat sendiri adalah
unsur kategori yang pertama dari hukum. Menurut sifat kodratnya,
masyarakat adalah sebuah kesatuan yang terbentuk dari sekelompok orang
yang secara bersama-sama terikat oleh usaha untuk saling mencukupi
kebutuhan hidup satu sama lain. Masyarakat bukan sekedar kumpulan orang
melainkan merupakan sebuah kesatuan.
Dari uraian di atas, masalah hukum dalam antropologi hukum berarti
bukan semata-mata masalah hukum yang normatif sebagaimana terdapat
dalam perundangan-undangan, atau masalah hukum yang merupakan pola
ulangan perilaku yang sering terjadi sebagaimana terdapat pada hukum adat,
tetapi hal yang terpenting hukum dilihat dari aspek budaya perilaku manusia
dan faktor- faktor yang mempengaruhinya.
Jadi antropologi melihat hukum itu sebagai aspek dari kebudayaan,
yaitu suatu aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur
dalam mengatur perilaku masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan yang
terjadi dari norma-norma sosial yang telah ditentukan dapat diperbaiki.10
B. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum
Pada dasarnya supremasi hukum dijunjung tinggi atas kesadaran dan
kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Paham kesadaran hukum
10
sebagaimana dikemukakan oleh G. E. Lagemeijer yang dikutip oleh Soerjono
Soekanto sebenarnya berkisar pada pikiran-pikiran yang menganggap, bahwa
kesadaran dalam diri warga-warga masyarakat merupakan suatu faktor yang
menentukan bagi sahnya hukum. Pada awalnya masalah kesadaran hukum
timbul di dalam proses penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam
kerangka proses tersebut timbul masalah, oleh karena adanya ketidaksesuaian
antara dasar sahnya hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau
kesadaran warga masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya (atau
tidak ditaatinya) hukum positif tertulis tersebut, merupakan suatu keadaan
yang dicita-citakan atau dikehendaki, bahwa ada keserasian proporsional
antar pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat dan
kenyataan dipatuhinya hukum positif tertulis. Ide tentang kesadaran warga
masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis diketemukan di dalam
ajaran-ajaran tentang Rechtsgefuhl atau Rechtsbewusstsein yang intinya adalah, bahwa tak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat
kecuali atas dasar kesadaran hukumnya.11
Jadi, kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau
nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada.
Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan
bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam
masyarakat yang bersangkutan.
11
Kepatuhan seseorang terhadap hukum tergantung pada situasi, kondisi
dan tempat. Dalam tindakan dikenal 2 istilah, yaitu: Behavior of Action
(perilaku terhadap tindakan) dan Behavior of Law (perilaku terhadap hukum). Pada dasarnya hukum ada untuk ditaati dan dipatuhi. Namun, dalam keadaan
tertentu hukum hanya menjadi sebuah wacana yang diketahui tanpa dipatuhi.
Misalnya: semua orang mengetahui bahwa mencuri adalah perbuatan yang
dilarang dan ada sanksi bagi yang melakukannya, baik sanksi pidana (KUHP)
maupun sanksi moral dari masyarakat (cacian, hinaan, cibiran, dll). Namun,
dalam keadaan terdesak, misalnya kesulitan ekonomi, membuat seseorang
berani melanggar hukum yaitu dengan melakukan tindakan pencurian. Itu
hanyalah sebagian contoh kecil ketidakpatuhan seseorang pada hukum yang
berlaku dan tentunya masih banyak lagi tindakan-tindakan penyimpangan
hukum yang dilakukan secara sadar.
Selanjutnya Hoefnagels sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto
membedakan bermacam-macam derajat kepatuhan hukum sebagai berikut:
1. Seseorang berperikelakukan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan
menyetujuinya hal mana sesuai dengan sistem nilai-nilai dari mereka
yang berwenang.
2. Seseorang berperikelaku sebagaimana diharapkan oleh hukum dan
menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian yang
diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang bersangkutan.
3. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan
4. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui hukum
tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempunyai wewenang dan
5. Seseorang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan dia pun tidak
patuh pada hukum (melakukan protes).12
C. Hukum dalam Perspektif Hukum Islam
Dilihat dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan
sesuatu pada yang lain” seperti menetapkan haram pada khamar atau halal
pada air susu. Sedang menurut istilah para ulama usul fiqh, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Abu Zahrah adalah “Titah (khitab) Syari yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau
wadhi”. Yang dimaksud dengan khitab syari adalah ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya terhadap berbagai perbuatan mukallaf.
Seperti firman Allah; Dan dirikanlah Sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah
beserta orang-orang yang ruku’. (al-Baqarah : 43) Ayat ini menyatakan
ketentuan hukum bahwa melaksanakan sholat dan membayar zakat adalah
kewajiban yang mesti dilaksanakan. Khitab melalui ayat ini membentuk
ketentuan yang harus dilaksanakan. Kemudian adapula khitab dalam bentuk
larangan, seperti firman Allah : Hai orang-orang yang beriman janganlah
suatu kaum mengolo-olok kaum yang lain, karena boleh jadi kaum yang
diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. (al-Hujarat : 11)
12
Dua contoh diatas menunjukkan bahwa khitab syari yang mengikat para
mukallaf untuk mengerjakan dan meninggalkannya. Adapun khitab yang
dikemukakan dalam bentuk pilihan adalah ketentuan-ketentuan syari yang
memberi peluang kepada mukallaf.
untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Seperti bunyi surat
al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi : Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus
dirinya. Inilah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya,
dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka adalah
orang-orang yang zalim. Ayat ini memberi kebolehan bagi istri (melalui
wali-waliya) untuk mengajukan permohonan, iwadh (uang pengganti) kepada
suaminya, kalau rumah tangganya tidak harmonis dan sukar diperbaiki,
karena kesalahan dan kelalaian suaminya. Dalam kasus ini si istri boleh
mengajukan perceraian (khulu) atau mempertahankan pernikahannya.
Adapun maksud khitab wadhi adalah ketentuan syari tentang perbuatan
mukallaf yang mempengaruhi perbuatan (taklif), seperti pembunuhan yang
dilakukan seseorang anak terhadap orang tuanya sendiri dapat mempengaruhi
terhalangnya harta warisan yang ditinggalkannya. Rasulullah bersabda: orang
yang membunuh tidak memperoleh harta warisan dari orang yang terbunuh.
(H.R. Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah) Penjelasan dan contoh tentang
hukum Islam diatas menunjukkan bahwa hukum Islam adalah hukum yang
norma-norma hukum dari kedua sumber tersebut, terutama hal-hal yang menyangkut
selain ibadah belum terjangkau secara tegas, sehingga diperlukan kajian
mendalam dan komprehensif guna menganalisa tujuan makna yang tersirat
dari satu nash. Untuk kajian ini ulama melahirkan berbagai metodologi dan
pendekatan kajian hukum Islam yang menjadi cabang ilmu pengetahuan
tersendiri, yaitu ushul fiqh (teori hukum Islam). Metodologi yang lahir untuk
menjangkau nash yang belum tegas didasari oleh dalil-dalil yang menjadi
acuan mujtahid, hal demikian antara lain:
1. Metode ijma, didasari oleh firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 59
yang berbunyi :
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya
dan ulil amri diantara kamu. Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas
berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia
dan agama. Ulil amri dalam urusan dunia adalah raja, kepala negara,
pemimpin atau penguasa. Sedangkan ulil amri dalam urusan agama adalah
para mujtahid. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa jika para ulil amri itu
telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa,
maka kesepakatan mereka adalah ketentuan hukum yang mengikat dan harus
diikuti oleh kaum muslimin.
2. Metode Qiyas, dalil yang mengharuskan para mujtahid melakukan analogi
(qiyas) adalah dalil yang serupa dengan diatas surat an-Nisa ayat 59. disana
menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Namun
jika tidak ada di dalamnya, maka hendaklah mengikuti ulil amri, dan jika
tidak ada pendapat ulil amri, maka boleh menetapkan hukum dengan
mengembalikan masalah tersebut kepada al-Quran dan al-Hadits dengan
menghubungkan atau membandingkannya dengan hal serupa yang ada di
dalam al-Quran dan al-Hadits. Cara yang demikian dinamakan qiyas.
Selain dari dua metodologi di atas, masih banyak cara yang dilakukan
oleh para mujtahid untuk mencari solusi penyelesaian masalah yang kian
berkembang pasca kenabian dan khulafaurrasyidun, seperti metode istihsan,
mashlahat al-mursalah, urf, syar’un an qablana, istishhab, saddudz dzari’ah
dan madzhab sahabat yang keseluruhan dari metodologi tersebut memiliki
kaidah-kaidah sendiri yang menjadi acuan dalam pemecahan masalah dan
semua mengacu kepada semangat nash (al-Qur’an dan al-Hadits).
Kaidah-kaidah tersebut dibuat secara sistematis dan terbagi pada Kaidah-kaidah asasiyah dan
ghairu asasiyah. Kaidah asasiyah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam
Mazhab berjumlah 5 macam (panca kaidah) yaitu: segala masalah tergantung
pada tujuannya, kemadharatan itu harus dihilangkan, kebiasaan itu dapat
dijadikan hukum, yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan keraguan, dan
kesulitan itu dapat menarik kemudahan. Selanjutnya sebagian fuqaha
menambahkan dengan satu kaidah asasiayah lain yaitu “tiada pahala kecuali
dengan niat”. Dari kelima atau keenam kaidah tersebut diringkas oleh
menarik kemaslahatan”. Diantara kaidah asasiyah ini dibantu oleh kaidah
ghairu asasiyah yang jumlahnya diperdebatkan dikalangan fuqaha.
D. Budaya Kemiskinan dan Mengemis Pandangan Hukum Islam
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan.13 Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan
alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan
dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global.14 Kemiskinan
merupakan fenomena dalam kehidupan bermasyarakat yang menjadi masalah
bagi negara. Banyak cara yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam
mengakhiri masalah kemiskinan, tetapi hal ini masih menjadi problem besar
yang perlu perhatian khusus dalam menanganinya.
Kemiskinan yang telah berjalan dalam ruang dan rentang waktu yang
panjang memastikan, bahwa gejala tersebut tidak cukup diterangkan sebagai
realitas ekonomi. Artinya kemiskinan tidak sekedar gejala keterbatasan
lapangan kerja, pendapatan, pendidikan dan kesehatan masyarakat. Ini sudah
menjadi realitas sistem atau struktur dan tata nilai kemasyarakatan. Ia juga
memang suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap menyerah
kepada keadaan.15
13
Ahmad Sanusi, Agama di tengah Kemiskinan Refleksi atas Pandangan Islam dan Kristen dalam Perspektif Kerjasama Antar Umat Beragama (Jakarta: Logos, 1999), h. 11.
14
Sajogyo Pudjiwati Sosiologi Pedesaan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 23.
15
Tata nilai dan stuktur sosial ekonomi serta perilaku dan
kecenderungan aktual yang telah terbiasa dengan kemiskinan ini juga bukan
saja menyebabkan mereka yang miskin untuk tetap miskin. Keadaan ini
membuat keluarga masyarakat tersebut juga miskin terhadap arti kemiskinan
itu tersendiri.16
Kebudayaan kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks
sejarah. Namun lebih cenderung untuk tumbuh dan berkembang di
masyarakat yang mempunyai seperangkat kondisi-kondisi sebagai berikut:
1. Sistem ekonomi yang rendah, sistem produksi yang rendah.
2. Tingkat pengangguran tertinggi dan tenaga kerja yang tidak terampil.
3. Upah buruh yang rendah.
4. Kegagalan golongan berpenghasilan rendah dalam meningkatkan
keadaan sosial ekonomi.
5. Tidak ada usaha untuk maju dan selalu beranggapan bahwa status
ekonomi yang rendah sebagai hasil ketidaksanggupan mereka untuk
meraih hidup lebih maju.
Cara hidup sebagai kaum miskin yang berkembang dalam kondisi ini
merupakan kebudayaan kemiskinan. Hal ini dapat ditelaah di wilayah
perkotaan maupun pedesaan, dan dapat diuraikan dalam kerangka dan ciri-ciri
sosial, ekonomi dan psikologis yang saling berkaitan.
16
Kemiskinaan merupakan suatu adaptasi, penyesuaian dan sekaligus
juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di
dalam masyarakat yang berstrata kelas sangat individual, elastis, dan berisi
kapitalisme. Kebudayaan tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa
putus asa dan tanpa harapan yang merupakan wujud dari kesadaran bahwa
mereka yang hidup dalam kemiskinan merasa mustahil dapat meraih sukses
di dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang
lebih luas.17
Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap
peningkatan arus urbanisasi ke kota-kota besar, sehingga terjadi kepadatan
penduduk dan daerah-daerah kubu yang jadi pemukiman para urban tersebut.
Kesulitan dan keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia serta
keterbatasan pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka banyak
yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi
pengemis. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor munculnya budaya
mengemis.
Pada dasarnya pekerjaan mengemis merupakan pekerjaan yang sangat
ْز
wajahnya tidak ada sepotong daging pun. (HR. an-Nasai).Dengan ancaman yang keras ini, Rasulullah menjaga kehormatan
seorang muslim, membiasakan untuk bersikap iffah (menahan diri) dari ketergantungan kepada orang lain. Sebaliknya selalu bergantung pada diri
sendiri dan menjauhkan diri dari meminta-minta kepada manusia.
Rasulullah memberikan kelonggaran mengemis bagi seseorang dalam
keadaan yang bersifat atau karena suatu kebutuhan yang mendesak. Maka,
bagi siapa yang terpaksa meminta-minta karena dorongan kebutuhan yang
mendesak dan meminta bantuan kepada pemerintah atau perorangan, maka
tiada dosa baginya untuk meminta-minta.
Islam memperbolehkan meminta-minta karena salah satu tiga perkara,
yaitu: 19
a. Orang yang menanggung suatu tanggungan, sebelum dia hidup
mampu dibolehkan baginya untuk meminta kepada orang lain hingga
ia dapat menyelesaikan tanggungannya itu, jika tanggungannya telah
selesai kemudian ia menahan diri dan tidak meminta lagi kepada
orang lain.
18
An-Nasai’, Sunan an-Nasai’, (Bairut: Dar Ihya at-Thuros al-Arabi, tth), hal. 348. 19
b. Orang yang ditimpa suatu musibah yang menyebabkan kehilangan
harta, dibolehkan baginya untuk meminta kepada orang lain hingga ia
mendapatkan penopang hidupnya.
c. Orang yang ditimpa bencana, yang menyebabkan kehilangan seluruh
harta benda, seperti: bencana tsunami, gunung meletus, gempa bumi,
dll.
E. Pengemis dan Perilaku Mengemis
Dalam kamus bahasa Indonesia, kata pengemis tidak mempunyai akar
kata akan tetapi merupakan sinonim dari peminta-minta atau orang yang
meminta-minta. Mengemis adalah sinonim dari kata meminta-minta sedekah.
Akar kata meminta yaitu minta yang artinya bertindak supaya diberi atau
mendapat sesuatu, memohon, mempersilahkan, memerlukan, menimbulkan.
Kata (al-sail) dalam bahasa arab,20 di samping artinya orang yang bertanya juga mempunyai arti pengemis, yang meminta. Akar katanya dari (sa’ila) yang artinya meminta-minta, memohon, menanyakan, memberi pertanyaan
atau bertanya.21
Menurut Kementerian Sosial R.I pengemis adalah orang-orang yang
mendapat penghasilan dari meminta-minta dimuka umum dengan berbagai
alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.22
Sedangkan secara terminologi mengemis adalah meminta bantuan,
derma, sumbangan baik kepada perorangan maupun lembaga. Pengemis
21
Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir: Kamus Arab Indoesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,1997), h. 692.
22
identik dengan sosok individu yang berpenampilan serba kumal, yang
dijadikan sarana untuk mengungkapkan kebutuhan apa adanya dan juga bisa
menggunakan cara-cara lain.
Muthalib dan Sudjarwo dalam buku Ali Yafie memberikan tiga
gambaran umum pengemis, yaitu:23
1. Sekelompok orang miskin atau orang yang dimiskinkan oleh masyarakat,
2. Orang yang disingkirkan dari khalayak ramai, dan
3. Orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dari kemiskinan,
Sangat disayangkan, budaya mengemis yang tumbuh dalam
masyarakat Indonesia, bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang
benar-benar menghadapi kesulitan hidup, namun dimanfaatkan pula oleh segelintir
orang sebagai profesi untuk meraup kekayaan. Banyak cara yang dilakukan
para pengemis dalam menjalankan profesinya, baik oleh pengemis yang
benar-benar menghadapi kehidupan yang sulit sehingga ia terpaksa
mengemis, dan pengemis palsu yang hanya berpura-pura miskin.
Strategi atau cara-cara yang biasa dipakai para pengemis gadungan
hanya berpura-pura. Dalam menjalankan pekerjaannya, mereka menggunakan
trik-trik yang dapat menyakinkan orang lain untuk mencari belas kasihan dan
memberikan uang. Trik-trik yang biasa dipakai adalah sebagai berikut:
a. Menjual kemiskian
Para pengemis biasa berpenampilan kumuh, kotor, dan berpakaian
robek-robek atau compang camping. Tampilan seperti itu memberikan
23
kesan pada setiap orang yang melihatnya seakan-akan mereka sedang
memikul beban berat yang perlu dibantu dan mendorong orang lain
untuk memberi.
b. Menampilkan wajah kesedihan
Setiap sepanjang jalan di keramaian kota sering dijumpai pengemis
dari anak kecil hingga orang tua yang duduk di pinggir jalan dan
mengayunkan tangan dan mereka siap beraksi menampilkan wajah
kesedihan yang mendalam, agar membuka hati darmawan untuk
memberi.
c. Komunitas pengemis
Komunitas pengemis yaitu kumpulan sejumlah pengemis yang
terkoordinasi oleh kordinator yang menempatkan para
pengemis-pengemis di wilayah-wilayah tertentu, seperti di pusat kota dengan
lokasi yang berpindah-pindah dan para pengemis diwajibkan
menyetorkan uang hasil mengemis kepada kordinator pengemis yang
biasa dikenal bos pengemis.
d. Membawa anak
Membawa anak kecil yang digendong merupakan salah satu trik yang
dilakukan pengemis. Anak yang dibawa itu umumnya merupakan
anak pinjaman atau sewaan, untuk lebih menarik rasa iba orang lain
dengan harga sewaan mencapai Rp. 5000, - perharinya.24
24
Pengerahan anak di bawah umur, yang biasa digendong atau pengemis
anak-anak memang dinilai efektif untuk menarik simpati belas kasih dari
dermawan. Hal ini termasuk mengeksploitasi anak. Dengan wajah polos dan
lugu, mereka menjadi „boneka magnet’ bagi orang tua untuk mendapatkan
uang.
Menjadi pengemis memang bukan merupakan pilihan hidup untuk
mendapatkan nafkah. Namun dengan melakukan hal ini setidaknya mereka
mampu hidup berkecukupan. Hal ini diungkapkan diungkapkan Armasih, ibu
berumur 39 tahun, yang mengerahkan kedua anaknya Sofyan, 14 tahun dan
Rafi, 4 tahun. Keluarganya bisa membawa pulang Rp. 45.000,- setiap
harinya. Jika dikalkulasikan dalam sebulan, maka warga Jalan Pulau Nangka,
Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara ini mampu meraup uang sebesar Rp.
1.350.000,- setiap bulan. 25
F. Faktor-Faktor yang Mendorong Orang Mengemis
Ada banyak faktor yang mendorong orang untuk menjadi pengemis.
Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor internal dan eksternal, ada yang
bersifat permanen, dan ada yang bersifat mendadak. Faktor-faktor tersebut
adalah:26
1. Faktor urbanisasi
Diketahui bahwa di masyarakat Indonesia banyak terjadi
urbanisasi. Perpindahan penduduk mengakibatkan bermacam-macam dampak
25
http//pendapatan pengemis, perhari//.com diakses pada tanggal 20 April 2010.
26Syarif, “
bagi masyarakat setempat (pribumi) dan masyarakat baru (pendatang).
Tindakan masyarakat berpindah dari desa ke kota didasarkan atas harapan
pelaku urbanisasi itu sendiri untuk mengubah perekonomian ke keadaan
yang lebih baik.27
Jiwa atau ide yang mendorong perpindahan ke kota disebut
urbanisme. Urbanisme menjadi motivasi manusia untuk berpindah ke kota,
dan urbanisme tersebut menimbulkan penambahan jumlah penduduk kota
yang terus meningkat. Dalam hal ini urbanisme adalah proses perpindahan ke
kota dan urbanisme adalah ide abstrak yang terwujud di dalam kesadaran
yang berorientasi ke kota.28
Dengan adanya urbanisasi maka semakin banyak tenaga kerja untuk
mendapatkan pekerjaan. Mereka tergolong dalam golongan pencari kerja
dengan berbagai macam latar belakang pendidikan, pengalaman dan keahlian
yang berbeda-beda. Peningkatan jumlah para pencari kerja dan urbanisasi di
Indonesia berhubungan dengan masalah pengangguran. Masalah
pengangguran oleh banyak pihak diungkapkan sebagai akibat keterbatasan
lapangan pekerjaan, pendidikan yang rendah dan keterampilan yang kurang
dari para pencari kerja.
Sutopo Yuwono melihat bahwa masalah ketenegakerjaan di Indonesia
bukan hanya terfokus pada keterbatasan lapangan pekerjaan, keterbatasan
pendidikan dan keterampilan tetapi seperti yang dikatakannya “bahwa tidak
27
Sns .s. Hutabarat, Masalah Pertambahan Penduduk, (Bandung: Lembaga Penelitian Pendidikan Kependudukan Institut Keguruan dan Pendidikan (IKIP Bandung), h. 25.
28
terpenuhinya lowongan-lowongan pekerjaan difaktorkan tidak tersedianya
tenaga-tenaga kerja yang berkualitas.”29
Masalah tenaga kerja berkualitas menjadi penting untuk diperhatikan,
untuk meningkatkan kinerja tenaga kerja tersebut, karena masalah ini
menyangkut kepentingan perusahaan-perusahaan sebagai pengguna tenaga
kerja dan penyedia lapangan kerja. Ternyata perusahaan telah banyak
membuka banyak kesempatan kerja, tetapi fakta yang dihadapi oleh
perusahaan adalah kesulitan untuk mencari tenaga kerja yang sesuai dengan
kualifikasi perusahaan.
Karena kekurangan tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki
para pencari kerja maka sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan.
Berangkat dari hal tersebut tidak sedikit masyarakat urban yang mengubah
profesinya menjadi pengemis atau pemulung, dengan alasan sebagai batu
loncatan untuk menyambung hidup di kota besar. Meski mereka menyadari
bahwa profesi yang dikerjakannya adalah kurang mulia.
2. Faktor ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan orang-orang yang mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari karena mereka memang tidak
punya gaji tetap, santunan-santunan rutin atau sumber-sumber kehidupan
yang lain. Sementara mereka sendiri tidak memiliki keterampilan atau
keahlian khusus yang dapat mereka manfaatkan untuk menghasilkan uang,
seperti orang-orang yang menyandang cacat, orang-orang yang menderita
29
sakit, orang-orang yang sudah berusia lanjut sehingga tidak bisa lanjut
bekerja.30
3. Faktor kesulitan ekonomi
Orang-orang yang mengalami kesulitan ekonomi dan kerugian
harta yang cukup besar membutuhkan bantuan orang lain. Contohnya, para
pedagang yang jatuh bangkrut, atau para petani yang gagal panen secara total,
dan lain sebagainya. Mereka ini juga memerlukan bantuan karena sedang
mengalami kesulitan ekonomi secara mendadak sehingga tidak bisa
menghidupi kebutuhan keluarga.
Faktor-faktor kesulitan ekonomi yang muncul akibat tidak
seimbangnya antara penghasilan sehari-hari yang didapat dengan besarnya
nafkah yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
anggota keluarga yang berjumlah banyak.31 Di antara faktor-faktor tersebut
yang berpengaruh untuk meminta-minta atau menjadi pengemis adalah
kemiskinan.
30
Koyano, Pengkajian tentang Urbanisasi di Asia Tenggara, h. 15. 31
35
BAB III
PROFIL KELURAHAN CIKOKOL KOTA TANGERANG
A. Letak Geografis Kelurahan Cikokol
Kelurahan Cikokol salah satu dari 8 (delapan) kelurahan yang berada
Kecamatan Tangerang Kota Tangerang dengan luas wilayah 417 ha terdiri dari
13 RW dan 66 RT. Jumlah kepala keluarga di kelurahan Cikokol sebanyak 5709
KK. Tahun 2011 jumlah penduduk Cikokol 19.123 jiwa.
Batas wilayah Cikokol bagian utara berbatasan dengan kelurahan
babakan dan Sebelah Selatan Cikokol berbatasan dengan Kelurahan
Penunggangan Utara, wilayah Cikokol bagian barat berbatasan dengan sungai
Cisadane, sedangkan daerah Cikokol bagian timur berbatasan dengan Kelapa
Indah atau Pakajon. 1
Secara geografis, Cikokol tak jauh dari pusat perkoataan, dalam hal ini
dari ibu kota Tangerang. Menurut data yang diperoleh, jarak kelurahan Cikokol
dari pusat kecamatan ada ± 3 km, dari ibu kota propinsi Banten ± 45 km dan dari
ibu kota negara sejauh ± 21 km. Dengan demikian kemudahan sarana tranportasi,
jalur hubungan lalu lintas antar kelurahan dapat di tempuh dengan baik.
1
B. Kondisi Demografis Kelurahan Cikokol
Jumlah penduduk kelurahan Cikokol pada tahun 2010 berjumlah 19.123
jiwa dari 5.709 kk, terdiri dari 10.409 orang laki-laki dan 8.714 orang
perempuan.
Berikut tabel penduduk Cikokol berdasarkan kelompok usia:
Tabel 3.1
Jumlah penduduk Cikokol berdasarkan kelompok usia
No Umur (tahun) f %
1 0-5 1.064 5
2 6-10 1.610 8,5
3 11-15 2.539 14
4 16-20 2.014 10
5 21-25 2.079 10,5
6 25-30 2.228 11,5
7 30-35 1.224 7,5
8 36-40 2.270 12
9 41-45 2.009 11
10 46-50 817 4
11 51 keatas 1.179 6
Jumlah 19.123 100
Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun2010
Dari tabel diatas, dapat di ketahui bahwa penduduk dikelurahan Cikokol
umur 11-15 tahun menempati posisi jumlah terbanyak yaitu 2.539 orang.
penduduk dengan kelompok umur 46-50 tahun menempati posisi jumlah terkecil
yaitu 1.48 orang.berikut jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin:
Tabel 3.2
Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
No Jenis kelamin f %
1 Laki-laki 10.409 55
2 Perempuan 8.714 45
Jumlah 19.123 100
Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010
Wilayah Cikokol sama halnya dengan wilayah-wilayah lain, jumlah
penduduk setiap tahun bertambah dan dari segi bagunan fisik pun bertambah
mengikuti arus perkembangan. Menurut data yang ada pada tahun 2009 sampai
2010 yaitu 3,20%. Dan warga Cikokol lebih dominan berjenis kelamin laki-laki
yaitu 10.409 jiwa atau 54%.
Kelurahan Cikokol terdiri dari 13 rukun warga (RW) dan 66 rukun
tetangga (RT), dimana setiap kelurahan tidak hanya dihuni oleh warga asli
kelurahan Cikokol saja, tetapi para pendatang yang tersebar di wilayah ini baik
yang tinggal di kontrakan maupun yang tinggal dikost-kostan. Pencatatan atau
telah ada antara lain register datang, pindah lahir dan meninggal dunia sehingga
untuk pencatatan atau pendataan selalu mengacu pada register yang berlaku.
C. Keadaan Sosiologis Kelurahan Cikokol
1. Agama dan kepercayaan
Mayoriatas masyarakat kelurahan Cikokol beragama islam dan Kristen
menempati posisi penganut terbanyak kedua.untuk keterangan lebih lanjut lihat
tabel di bawah ini:
Tabel 3.3
Penduduk Cikokol berdasarkan agama dan kepercayaan
No Jenis agama f %
1 Islam 10.052 53
2 Kristen 5.002 26
3 Katolik 1.000 5
4 Hindu 2.759 14
5 Budha 3.10 2
6 Aliran kepercayaan lainya - -
Jumlah 19.123 100
Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010
2. Sarana ibadah
Keberadaan sarana mutlak dibutuhkan di tengah masyarakat di
kegiatan dalam beribadah. Untuk menjelaskan jumlah sarana peribadatan di
kelurahan Cikokol dapat di lihat pada tabel berikut:
Tabel 3.4
Jumlah sarana peribadatan di kelurahan Cikokol
No Sarana keperibadatan Jumlah
1 Masjid 12
2 Mushalla 18
3 Gereja -
4 Vihara -
5 Pura -
Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010
3. Pendidikan
Warga kelurahan Cikokol usia diatas 55 tahun pada umumnya
berpendidikan SD, sedang bagi penduduk yang usianya di bawah 55 tahun
mayoritas berpendidikan SLTP dan SMA, Nbahkan semakin banyak pula lulusan
dari perguruan tinggi.2 Untuk hal ini lebih jelas dapat dilihat dari tabel berikut:
2
Tabel 3.5
Penduduk Cikokol berdasarkan tingkat pendidikan
No Tingkat pendidikan f %
1 Tidak sekolah 164 1
2 SD/MI 4099 35
3 SMP/SLTP 2654 23
4 SMA/SLTA 3349 30
5 Akademi/D3 733 6
6 Sarjana s1-s3 560 5
Jumlah 11.559 100
Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010
Dari tabel tersebut diketahui bahwa penduduk dikelurahan Cikokol
dapat di katakan masih minim dalam hal pendidikan. Hal ini dapat dilihat dengan
banyaknya jumlah penduduk yang hanya tamat SD.
Adapun sarana pendidikan yang ada di Cikokol pendidikan agama dan
umum dari segi kuantitas cukup memadai. Sarana pendidikan di kelurahan
Cikokol terbagi dua yaitu sarana pendidikan negeri dan sarana pendidikan
swasta. Guna mendukung pendidikan formal pemerintah membangun sarana
pendidikan swasta jumlahnya lebih banyak dari sekolah dasar (SD) sampai
(SMA). Namun, pendidikan swasta jumlahnya lebih banyak dari sarana
pendidikan negeri. Berikut ini adalah tabel data sarana pendidikan negeri dan
Tabel 3.6
Jumlah Jiwa Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Tingkat pendidikan f %
1 SDN 6 40
2 SMPN 5 33
3 SMAN 4 27
4
Universitas
- -
5
Jumlah 15
100
Sumber data: laporan Monografi kelurahan Cikokol Tahun, 2010
Tabel. 3.7
Jumlah Sarana Pendidikan Swasta
No Sarana pendidikan f Jumlah
1 Taman bermain(playgroup) 15 15
2 SLTP 22 22
3 SLTA 30 30
4 Perguruan tinggi 2 2
Jumlah 69 87
4. Ekonomi
Mata pencarian penduduk Cikokol bermacam-macam. Pada umumnya
mata pencaharian penduduk Cikokol sebagai karyawan swasta, mengenai hal ini
dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 3.8
Penduduk Cikokol menurut mata pencaharian Mata Pencarian
No Mata pencarian Jumlah %
1 PNS 354 5
2 ABRI 23 0,3
3 Karyawan Swasta 5.578 83,5
4 Pedagang 289 4,5
5 peTani 90 1
6 Pertukangan 40 0,5
7 Buruh tani 30 0,4
8 Pengsiun 53 0,8
9 Tidak bekerja 255 4
Jumlah 6.712 100
Sumber data : laporan Monografi kelurahan Cikokol Tahun, 2010
Menurut lurah Cikokol, Naman Bakri bahwa penduduk Cikokol
tergolongpada masyarakat menengah kebawah dengan pendapatan rata-rata ± 3
juta perbulan.3
Sedangkan pertu,buhan perekonomian kota Tangerang mengalami
peningkatan. Hal ini di karenakan adanya penambahan lapangan kerja dalam
3
sektor industri. Sebagaimana disampaikan oleh kepala bidang penempatan kerja
dinas tenaga kerja, bapak Anwar Sanusi “ berdasarkan data dinas tenaga kerja
kota Tangerang. Terdapat peningkatan peluang kerja sekitar 40 ribu peluang di
banding tahun lalu yang menempati 30 ribu peluang. Ada peningkatan hingga 20
persen”.4
4
44
BAB IV
MENGEMIS SEBAGAI PROFESI PADA MASYARAKAT CIKOKOL KOTA TANGERANG
A. Komunitas Pengemis Cikokol
Data-data penelitian ini diambil berdasarkan wawancara dengan 37
narasumber yang terdiri dari: lurah Cikokol, 1 orang tokoh agama setempat, 5
orang warga Cikokol non pengemis dan 30 orang pengemis. Narasumber berasal
dari Rt. 03 Rw. 02 kelurahan Cikokol kecamatan Tangerang kota Tangerang.
Jumlah warga Rt 03 adalah 523 orang dan 170 Kepala Keluarga (KK).1
Fenomena kehadiran pengemis merupakan realitas sosial yang
berkembang di kota Tangerang saat ini. Faktor tersebut didasari oleh keadaan
sosial, ekonomi, keluarga dan tingkat urbanisasi yang tinggi menyebabkan
seseorang berprofesi sebagai pengemis untuk mencukupi kebutuhan hidup. Para
pengemis datang ke kota dengan motivasi untuk mencari pekerjaan yang lebih
baikdaripekerjaanmereka sebelumnya. Tetapi dengan latar belakang pendidikan
yang rendah dan keterbatasan pengalaman dan keahlian, maka sulit bagi mereka
untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini dikatakan oleh Bapak Simpen, 47 tahun
(seorang narasumber pengemis) sebagai berikut:
“Saya datang ke kota ini (Tangerang) ingin mencari pekerjaan yang lebih baik walaupun saya hanya lulusan SD. Dari pada di kampung jadi petani tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Karena
1
mencari pekerjaan di sini juga susah, untuk sementara ini saya bekerja sebagai pengemis”.2
Para pengemis umumnya hadir dari keluarga kurang mampu. Mereka
lahir dari keluarga dan lingkungan tempat tinggal yang jauh dari kecukupan.
Mereka berasal dari daerah, suku dan agama yang berbeda, seperti suku jawa,
sunda dan batak. Ironisnya pengemis di daerah Cikokol mayoritas beragama
Islam. Walaupun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda tetapi
kehidupan sosial mereka tetap berjalan baik.3
Dengan maraknya pengemis yang melakukan urbanisasi tidak lantas
menyadarkan mereka untuk memperbarui kartu tanda penduduk (KTP) mereka
agar sesuai dengan domisili mereka saat ini. Hal ini jelas menjadikan keberadaan
para pengemis itu tidak memiliki tanda kependudukan yang jelas di mata negara.
Kehadiran pengemis dapat diterima masyarakat tempat mereka tinggal.
Warga sekitar tempat tinggal pengemis tidak membedakan status sosial dan tidak
memarginalisasi ras dan suku tertentu. Para pengemis juga mengikuti kegiatan-kegiatan kemasyarakatan seperti kerja bakti, gotong royong, dan pengajian
mingguan.4 Hal ini seperti dipaparkan oleh bapak Karyo (49 tahun) asal Solo. Ia
mengatakan bahwa dalam satu minggu ada dua kali pertemuan pengajian yang
dihadiri oleh para pemuda dan orang tua dari kalangan pengemis. Dia juga punya
2
Wawancara pribadi dengan Bapak Simpen, Rabu 1 September 2010 Pukul 10:00 WIB.
3
Wawancara pribadi dengan Bapak Sholeh, Rabu tanggal 1 September 2010 Pukul 11:00 WIB.
4