• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faaliyah wasaail ash shurah fii tadriis maharad al-kalam lada talamidz as shofi al-awal main madrasah daarul maarif mutawashitoh Islamiya Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faaliyah wasaail ash shurah fii tadriis maharad al-kalam lada talamidz as shofi al-awal main madrasah daarul maarif mutawashitoh Islamiya Jakarta"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Disusun oleh:

Hotifah Hartati

106043101301

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya penulisan skripsi ini bukan hasil

karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 03 oktober 2010

(3)

i

Segala pujian serta rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, dzat

yang menggenggam langit dan bumi, yang merajai hati manusia dan mampu meluluhkan

dan menguasai hati yang lirih dan yang memberikan kepada penulis kekuatan dan

kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat teriring salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad

SAW yang telah menebarkan cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia sehingga penulis

dapat menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya Islam. Semoga dihari akhirat

nanti seluruh umat Islam mendapatkan Syafa’atul Uzma dari beliau. Amiin

Skripsi ini sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu

di bangku kuliah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Berbagai

hambatan dan kesulitan selama proses penulisan skripsi ini dapat penulis lalui. Semua

ini karena do’a dan dukungan orang-orang yang ada di sekitar penulis. Oleh karena itu,

penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada para

pihak yang telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini, diantaranya adalah:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Mukri Aji, MA dan Bapak Dr. M. Taufiki selaku Ketua Jurusan dan

(4)

ii

membimbing penulis dengan sabar dari awal hingga selesainya penulisan skripsi

ini.

4. Bapak/Ibu dosen pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi

ilmu, pengalaman dan nasehat kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis

dapatkan dari Bapak/Ibu dapat bermanfaat dunia dan akhirat serta menjadi amal

kebaikan bagi Bapak/Ibu dosen.

5. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.

6. Bapak lurah beserta staff kelurahan Cikokol Tangerang yang telah memberikan

izin kepada penulis untuk melakukan riset di kelurahan Cikokol serta telah

membantu dalam kelancaran birokrasi.

7. Sebagian masyarakat kelurahan Cikokol yang telah bersedia menjadi responden

guna mengumpulkan data untuk menyeselesaikan skripsi ini.

8. Ucapan terima kasih juga penulis hanturkan kepada ayahanda dan ibunda

tercinta, Bpk, Hamzah dan Ibu Titi muryati terimakasih yang seagung-agungnya

atas perhatian, cinta, kasih sayang, pengorbanan, keiklasan, kesabaran yang tak

pernah habis serta doa-doa yang tak henti-hentinya mereka panjatkan kepada

allah SWT agar penulis senantiasa mendapatkan kesuksesan dalam belajar,

(5)

iii

9. Seluruh keluarga besar penulis kakak dan adik-adikku, kepada kakaku Amirudin

Spd. MA. teh karmilati S.E dan adik-adikku, syarif, zay, fikri dengan kecerian,

canda tawa mereka memberikan semangat kepada penulis agar penulis cepat

menyelesaikan skripsi ini.

10.Teman-teman seperjuangan PMF 2006. Selama 4 tahun kenal dan kuliah

bersama kalian merupakan hal terindah dalam hidup penulis.

11.Khusus untuk teman terbaik dan tersayang, anis dan raden, rival terima kasih

untuk motivasi yang tidak pernah dan henti kalian limpahkan untuk penulis.

Semoga semua pengorbanan dan kebaikan yang diberikan mendapatkan nilai

kebaikan di sisi Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan.

Tak ada gading yang tak retak, skripsi ini jauh dari kesempurnaan, saran dan

kritik sangat penulis harapkan demi kebaikan ke depan.

Ciputat, 3 Juni 2010

(6)

iv

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel ... vi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 6

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D.Metode Penelitian ... 8

E.Review Studi Terdahulu ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II HUKUM DAN BUDAYA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM DAN HUKUM ISLAM A. Hukum dalam Perspektif Antropologi Hukum ... 13

B. Kesadaran Hukum dan Ketaatan Hukum ... 17

C. Hukum dalam Perspektif Hukum Islam ... 20

D. Budaya Kemiskinan dan Mengemis Pandangan Hukum Islam .... 24

(7)

v

C. Kedaan sosiologis kelurahan Cikokol………..…………... 38

BAB IV MENGEMIS SEBAGAI PROFESI PADA MASYARAKAT CIKOKOL KOTA TANGERANG

A. Komunitas Pengemis Cikokol………. 44

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Budaya Mengemis………... 63

C. Mengemis Tinjauan Antropologi Hukum dan Hukum Islam…… 65

D. Penegakkan hukum yang mengatur kegiatan mengemis………… 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……… 75

B. Saran-saran ……… 77

(8)

vi

3.1 Jumlah penduduk berdasarkan kk…………... 41

3.2 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin………. 42

3.3 Jumlah penduduk berdasarkan usia……… 42

3.4 Jumlah penduduk berdarkan kewarganegaraan………. 43

3.5 Jumlah penduduk berdasarkan tinggkat pendidikan……….. 44

3.6 Jumlah sarana pendidikan negri………. 44

3,7 Sarana pendidikan swasta……….. 45

3.8 Jumlah keagamaan………. 46

3.9 Jumlah sarana ibadah………. 47

3.10 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan………. 48

4.1 Data pendidikan terakhir responden……….. 53

4.2 Data tempat tinggal responden ………... 55

4.3 Data usia pengemis……….... 56

(9)

vii

4.6 Data siapakah yang mensosialisasikan mengemis……….. 60

4.7 Data jam bekerja pengemis………. 61

4.8 Data ststus pernikahan pengemis……… 62

4.9 Data daerah asal pengemis………. 63

(10)

1

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia dikenal sebagai negara yang multikultural, multi etnik, agama,

ras, dan multi golongan. Bhinneka Tunggal Ika mencerminkan kemajmukan budaya

bangsa dalam naungan negara kesatuan republik Indonesia.1

Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling

abstrak dari adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya merupakan

konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat,

mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup.2

Kemajmukan budaya dalam konteks masyarakat Indonesia merupakan

pengertian yang majemuk pula, oleh karena pengertian kebudayaan itu sendiri

bergantung pada aspeks di dalam kehidupan masyarakat secara teoritis dianggap

pokok untuk pemahaman perilaku warga masyarakat.3

Setiap manusia mempunyai apa yang dinamakan prilaku (bebevior), yakni suatu totalitas dari gerak motoris, persepsi dan fungsi kognitif dari fungsi. Salah

satu unsur dari perilaku adalah gerak sosial, yakni gerak yang terikat oleh empat

syarat : Pertama, diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, Kedua, terjadi

1

I Nyoman Nurjaya, Pengeloaan Sumber Daya Alam Dalam Perfektif Antropologi Hukum,

(Jakarta:Prestasi Pustaka Publiser,2008), h.2.

2

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta, Aksara Baru, 1980), h.204.

3

(11)

pada situasi tertentu, Ketiga, diatur oleh kaidah-kaidah tertentu, Keempat. Terdorong oleh motivasi-motivasi tertentu.4

Kebiasaan dan kelaziman yang diterima dan dipakai masyarakat secara

berulang, yang dijadikan pedoman dan diterapkanya dalam pelaksanaan

mewujudkan kebahagiaan, kesejahtreaan, keseimbangaan, kerukunan, ketertiban,

keadilan dan kedamaian dalam melangsungkan kehidupan itu merupakan suatu

sistem kontrol-sosial.5

Dalam pandangan antropologi, dimana saja ada manusia hidup

bermasyarakat harus ada sistem kontrol sosialnya. Sistem kontrol sosial itu akan

mempunyai kekuatan hukum, apabila ia digunakan oleh kekuatan masyarakat guna

mengatur perilaku manusia dan masyarakat bersangkutan, supaya kehidupan

mereka teratur. Sepanjang masyarakat itu teratur, karena ada yang mengatur dan

mempunyai kekuasaan, maka pada masyarakat itu terdapat hukum.

Sebagai kelanjutan dari usaha manusia dari usaha manusia dalam

masyarakat untuk memelihara sistem kemasyarakat, maka ia menghasilkan

kesamaan dan keserasian perilaku dari anggota individu dalam masyarakat atau

sebagian dari masyarakat itu. Jadi jelaslah bahwa lapangan penulisan antropologi

hukum ditunjukan pada suatu garis perilaku yang menunjukan kejadian

terus-menerus.

4

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,( Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.6.

5

(12)

Budaya kemiskinan seakan menjadi pilihan oleh sebagian masyarakat

Cikokol dan kemiskinan sering kali dipahami dalam pengertian sederhana, yakni

dalam keadaan kekuranganuang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak

terpenuhinya kebutuhan sehari-hari Padahal kemiskinan adalah masalah yang

sangat komplek, baik dari faktor penyebabnya maupun dampak yang akan

ditimbulkan dari masalah kemiskinan tersebut, dari masalah kemiskinan inilah

banyak orang yang mengambil profesi sebagai pengemis. Masalah pengemis adalah

masalah yang pelik.6 Ia tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang saja.

Di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa setiap manusia diperintahkan

untuk bekerja dan Al-Qur’an mendorong mereka melakukan usaha, serta

mengarahkan mereka menjadi orang-orang yang bersikap positif dalam menemukan

hidup dengan kesungguhan dan kerajinan agar dapat memberi dan memperoleh

manfaat untuk diri sendiri dan orang lain.7

Fenomena pengemis telah merebak luas dikota-kota besar di Indonesia,

khususnya Cikokol. Mereka mengganggu ketertiban umum, seperti kawasan lalu

lintas, dipersimpangan lampu merah, hingga mengganggu kenyamanan pejalan

kaki.

Di masyarakat Cikokol kota Tangerang jumlah pengemis setiap tahun

semakin meningkat. Ironisnya ada salah satu keluarga yang semua anggota

berprofesi sebagai pengemis dan menjadikan pekerjaan mengemis sebagai budaya,

6

Ali yafie, Nuansa Fiqih SoSial, ( Bandung : Mizan, 1995) , h.10.

7

(13)

padahal mereka jelas mengetahui bahwa terdapat hukum yang mengatur tentang

larangan mengemis di daerah Cikokol.

Mengemis merupakan salah satu jalan pintas bagi orang miskin untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada yang benar-benar tidak mampu sehingga ia

harus mengemis di jalanan dan tidak sedikit pula yang berpura-pura mengemis

hanya untuk mengambil keuntungan semata. Ia terkadang mempunyai rumah

bahkan telephon selular. Dalam koran jawa pos, seorang bos pengemis mengakui bahwa kesuksesan yang ia raih berawal dari hasil mengkoordinir

pengemis-pengemis disekitar tempat tinggalnya. Menurut pengakuan bos pengemis tersebut, dari hasil mengkoordinir pengemis ia bisa membeli rumah, alat rumah tangga, dan

bahkan ia sanggup membeli mobil. Ia mempunyai anak buah yang dijadikan

sebagai pengemis. Dari hasil anak buah tersebut ia bisa menghasilkan 200 s/d 300

ribu perhari.8

Dikarenakan perbedaan tempat dan lingkungan, perbedaan sejarah dan

asal-usulnya, perbedaan semangat dan jiwanya, perbedaan akal dan cara berpikirnya,

perbedaanya budaya dan agama yang mempengaruhinya, maka perilaku budaya

manusia itu berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Jadi tidak ada suatu

sistem pola perilaku manusia yang seragam, dan oleh karenanya tidak ada pula

suatu sistem kepribadian (personality) manusia itu yang sama.9

8

http// www.jawapos.co.id/metropolis/indeks/php/acd,detail,5773 diakses pada tanggal 2 januarai 2009.

9

(14)

Di luar persoalan agama dan pelanggaran ketertiban umum, setiap uang

yang diberikan kepada para pengemis membuat mereka merasa dihargai dan

menyebabkan menadahkan tanganya kepada orang lain. Sedekah yang kita berikan,

justru membuat pengemis semakin tergantung kepada pemberian orang lain tanpa

berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari mengemis. Akhirnya,

mereka akan menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencahariaannya atau

sebagai profesi. Dalam hal ini bukan kemiskinan yang menjadi alasan, tetapi

budaya pada diri masyarakat itu sendiri yang sudah melekat. Mereka berfikir bahwa

mengemis adalah profesi yang menjanjikan, walaupun sebenarnya mereka mampu

untuk mengambil pekerjaan yang lebih baik selain dari mengemis. Karena itu

mereka berani melanggar peraturan yang terkait dengan larangan mengemis di

daerah tersebut. Padahal pemerintah setempat telah berusaha menegakkan hukum

dengan cara mengadakan pembersihan kota dengan menagkap dan mengusir para

pengemis tetapi mereka tetap tidak berhenti dan terus menjalankan profesinya.

Oleh karena itu penulis akan membahas apa yang akan menjadi dasar pada

perilaku yang ada di masyarakat Cikokol kota Tangerang dan bagaimana

penegakkan hukum terkait tentang masalah pengemis.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis mencoba mengangkat masalah

mengemis sebagai profesi dan faktor-faktor yang melatar belakangi masalah

tersebut, dengan sudut pandang Antropologi Hukum.Pada akhirnya penelitian ini

(15)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Agar pembahasan dan penulisan skripsi ini tidak melebar dan lebih teraraH

maka penulis hanya membatasi tentang ruang lingkup pengemis yang berada di

Kelurahan Cikokol Kota Tangerang.

2. Rumusan Masalah

Dari pembatasan diatas maka masalah yang dapat penulis rumuskan adalah

sebagai berikut :

a. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi budaya mengemis dikomunitas

masyarakat Cikokol?

b. Bagaimana Profesi Pengemis dalam Perfekstif Antropologi Hukum?

c. Bagaimana penegakkan hukum yang mengatur kegiatan mengemis?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi budaya mengemis

di masyarakat Cikokol.

b. Untuk mengetahui tinjauan antropologi hukum terhadap budaya pengemis

sebagai profesi.

c. Untuk mengetahui bagaimana penegakkan hukum yang mengatur kegiatan

(16)

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Bagi penulis, kegunaan yang diharapkan berkembangnya wawasan

khasanah dan peka terhadap masalah yang berkembang yang ada

dimasyarakat.

b. Bagi mahasiswa, memberikan sumbangan keilmuan tentang budaya

Pengemis yang berkembang dimasyarakat Cikokol

c. Bagi Masyarakat, memberikan informasi dan gambaran bagaimana

Masyarakat lebih memilih memberi kepada pengemis yang sebenarya.

D. Studi Review

Berdasarkan telaah yang dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan

penulis melihat ada yang membahas tentang pengemis, seperti pada skripsi dibawah

ini :

1. Syarif. Pengemis dalam perpspektif Al-Hadits; Analisa kritis Hadits hadits Hak al-sail dalam kitab sunan Abi Daud. Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Usulludin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1425 H/2004. Pada skripsi

ini membahas tentang pengemis yang di pandang dari kaca mata hadits,

mengenai analisa kritis hadits-hadits Haq al-Sail dalam kitab sunan Abi Daud.

Dan dalam skripsi ini tidak menerangkan tentang berkembangya budaya

mengemis sebagai profesi hanya menganalisis pengemis dari sudut pandang

(17)

2. Muhammad Akmal. Pelayanan sosial bagi gelandangan dan pengemis di panti sosial Bina Karya “pengudi luhur”bekasi. Jurusan Kesejahteraan Sosial,

Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas`Islam Syarif Hidayatullah

Jakarta 1430/2009. Pada skripsi ini membahas tentang bagaimana pelayanan

gepeng dan jenis pelayanan apa saja yang diberikan di panti sosial Bina Karya

dalam membina para gelandangan dan pengemis.

Dan yang dibahas dalam skripsi ini adalah tentang mengemis sebagai profesi

dalam tinjauan Antropologi Hukum, apa yang menjadi kultur dalam profesi

mengemis dan meneliti pengemis dari perfekstif Antropologi Hukum yang berada

didaerah Cikokol Tangerang. Jadi disinilah letak perbedaan dengan skripsi

sebelumnya.

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan pendekatan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian antropologi hukum,

yaitu penelitian yang mempelajari garis perilaku yang terjadi secara berulang-

ulang dan terus menerus dilaksanakan, karena perilaku itulah merupakan sesuatu

yang menjadi kebiasaan dan menjadi hukum dalam masyarakat bersangkutan.10

Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif yaitu

suatu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data seteliti mungkin

tentang manusia, keadaan atau gejala gejala lainnya. Dalam hal ini,berupa

10

(18)

kata tertulis dan lisan dari orang-orang yang bersangkutan .perilaku yang

diamati dengan menganalisa dan menguraikan serta mendeksripsikan budaya

mengemis pada masyarakat Cikokol yang telah penulis dapatkan dari informan

yaitu tokoh agama, kelurahan ,masyarakat setempat.

2. Sumber data

Adapun sumber data yaitu:

a. Data primer yaitu data yang dipeloreh secara langsung dari masyarakat11

data ini meliputi wawancara dengan pengemis ,masyarakat sekitar ,tokoh

agama dan lurah yang dianggap megetahui perilaku mengemis di

masyarakat Cikokol.

b. Data sekunder yaitu data yang dipeloreh dari bahan pustaka12 data ini

terdiri dari buku -buku artikel - artikel internet dan dari informasi lain

yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

3. Teknik pengumpulan data

Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan

data dengan cara sebagai berikut :

a. Observasi

Obersasi adalah mengamati dan mendengar dalam rangka memahami,

mecari jawaba,mencari bukti terhadap fenomena yang berkaitan dengan

11

Sukandarrumudi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004),h.104.

12

(19)

perilaku masyarakat dengan mencatat fenomena tersebut guna

menemukan data analisis.

b. Indepth interview (wawancara mendalam)

Interview adalah mengadakan wawancara melalui percakapan tertentu dengan subjek penelitian yaitu para pengemis lurah, tokoh agama dan

masyarakat sekitar dengan menunjukan pertanyaan yang berkaitan dengan

apa yang diteliti13

4. Studi dokumentasi

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini

adala pedoman wawancara dan pedoman observasi dan didukung dengan buku

catatan dan foto -foto.

5. Teknik analisis data

Penulisan ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, data-data yang

dipeloreh melalui wawancara dan pengamatan. Data akan diolah dan dianalisis

secara deskriptif untuk kemudian ditarik kesimpulannya.

6. Teknik penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada pedoman

penulisan skripsi yang diterbitkan oleh fakultas syari’ah dan hukum universitas

islam negeri syarif hidayatullah Jakarta tahun 2007.

13

(20)

F. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis membagi kedalam

empat bab,yang secara garis besar penulis jabarkan sebagai berikut:

BAB I : Bab ini Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

permasalahan, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian

dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II Bab ini membahas tentang hukum dan budaya dalam

perspekstif antropologi hukum dan hukum Islam yang terdiri

dari, hukum dalam perspektif antropologi hukum, kesadaran

hukum dan ketaatan hukum, hukum dalam perspektif hukum

Islam, budaya kemiskinan dan mengemis pandangan hukum

Islam, pengemis dan perilaku menngemis,faktor-faktor yang

mendorong orang mengemis.

BAB III Bab ini membahas Tentang profil kelurahan Cikokol Kota Tangerang yaitu letak geografis kelurahan Cikokol, kondisi

demografis kelurahan Cikokol dan keadaan sosiologi.

BAB IV Bab ini menerangkan tentang mengemis sebagai profesi di

masyarakat Cikokol kota Tangerang, yang menerangkan

(21)

mempengaruhi budaya mengemis, mengemis tinjauan

antropologi hukum dan hukum islam, kegiatan hukum yang

mengatur kegiatan mengemis.

BAB V Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari

pembahasan yang sebelumnya, dan juga saran-saran sebagai

(22)

13

BAB II

HUKUM DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM

A. Hukum dalam Perspektif Antropologi Hukum

Satu masalah yang belum mencapai kata putus di antara para ahli

hukum ialah tentang pendefinisian hukum. Bahkan Immanuel Kant ±150

tahun yang lalu berkata, “Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem

Begriffe von Recht”. Pernyataan ini jika diterjemahkan berbunyi, “tidak seorang ahli hukum pun yang mampu membuat definisi tentang hukum”.1

Namun demikian, para ahli hukum tetap mencoba mendefinisikan hukum

dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yakni dari sudut pandang filsafat,

sosiologi, politik dan sejarah, dll.

Para ahli filsafat mendefinisikan hukum sebagai nilai yang

merupakan salah satu unsur pandangan manusia mengenai hal-hal yang harus

dianuti karena dianggap baik, dan hal-hal yang seharusnya dihindari karena

dianggap buruk.

Ahli sosiologi hukum atau sosiolog mendefinisikan hukum yang

secara umum berarti ilmu pengetahuan hukum yang menekankan pada studi

dan analisa secara empiris, terhadap hubungan timbal balik antara hukum

dengan gejala-gejala sosial lainnya.2

1

Lili Rasjidi, Filsafat Hukum “Apakah itu?”, (Bandung: Remadja Karya, 1985) cet.II, h.1.

2

(23)

Ahli politik atau politikus mendefinisikan “hukum sebagai produk

politik”. Sebagai fakta sebenarnya, bukan hanya hukum dalam arti

Undang-undang yang merupakan produk politik, tetapi juga bisa mencakup hukum

dalam arti-arti yang lain, termasuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar.3

Ahli antropologi hukum, Pospisil4 menyebutkan bahwa hukum

sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena

itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi

oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi

dan religi, sedangkan Moore5 berpendapat bahwa hukum dipelajari sebagai

proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Karena itu,

hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan

perundang-undangan yang diciptakan oleh negara (state law), tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber

dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekansime pengaturan dalam masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana kontrol sosial (control social).6

Hukum sebagai aspek kebudayaan, mempunyai beberapa fungsi

fundamental untuk memelihara kedudukan masyarakat, yaitu:

3

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h.6.

4

Nama lengkapnya Leopold Pospisil. Ia adalah antropolog pertama yang melakukan penelitian lapangan di Papua New Guinea pada tahun 1950-an dan menuliskan buku tentang hasil penelitiannya Kapauku Papuans and Their Law yang diterbitkan oleh Yale University Press.

5

Henrietta Moore adalah seorang ahli teori terkemuka antropologi feminist. Beberapa karyanya adalah Feminisme dan Antrolopi, Anthropological Theory Today.

6

(24)

1. Merumuskan pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya

berperikelakuan, sehingga terjadi integrasi minimal dalam masyarakat,

2. Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga

dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban,

3. Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali, dan

4. Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan

antara warga masyarakat dan kelompok-kelompok, apabila terjadi

suatu perubahan-perubahan.7

Antropologi hukum merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang manusia (tropos) yang bersangkutan dengan hukum. Manusia yang dimaksud adalah individu yang hidup bermasyarakat, bergaul antara yang satu dengan

yang lain, baik masyarakat yang masih sederhana budayanya (primitif) maupun masyarakat yang sudah modern (maju). Budaya yang di maksud adalah budaya hukum, yaitu segala bentuk perilaku budaya manusia yang

mempengaruhi atau yang berkaitan dengan masalah hukum.

Hukum dalam perspektif antropologi memiliki arti luas. Ia bukan saja

hukum dalam arti dan bentuk perilaku sebagai bentuk kebiasaan yang

berulang-ulang terjadi, sebagaimana dalam hukum adat, atau hukum dalam

arti dan bentuk dan bentuk kaidah peraturan perundangan, seperti hukum

dalam arti dan pendekatan normatif. Tetapi masalah hukum juga dilihat dari

segi kecendikiawanan (intelektual), filsafat, ilmu jiwa dan beberapa faktor

7

(25)

yang melatar belakangi hukum tersebut, serta cara-cara menyelesaikan

sesuatu yang timbul dalam masyarakat. 8

Dalam antropologi hukum, hukum ditinjau sebagai aspek dari

kebudayaan. Manusia dalam kehidupan bermasyarakat dibekali untuk berlaku

dengan menjunjung nilai-nilai budaya, yang mana dalam masyarakat tertentu

harus dijunjung tinggi. Nilai-nilai budaya tercakup secara lebih konkrit dalam

norma-norma sosial, yang diajarkan kepada setiap warga masyarakat supaya

dapat menjadi pedoman berlaku pada waktu melakukan berbagai peranan

dalam berbagai situasi sosial. Norma-norma sosial sebagian tergabung dalam

kaitan dengan norma lain, dan menjelma sebagai pranata atau lembaga sosial

yang semuanya lebih mempermudah manusia dalam mewujudkan perilaku

yang sesuai dengan tuntunan masyarakatnya atau yang sesuai dengan

gambaran ideal mengenai cara hidup yang dianut dalam kelompoknya.

Gambaran ideal atau desain hidup ini, yang merupakan kebudayaan dari

masyarakat itu, hendak dilestarikan melalui cara hidup warga masyarakat.

Salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat supaya

melestarikan kebudayaan itu adalah hukum. 9

Dengan demikian, kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan

sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang

mendukung kebudayaan tersebut, karena dijadikan kerangka acuan dalam

8

Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), h. 4.

9

(26)

bertindak dan bertingkah laku, maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi

dalam suatu masyarakat.

Tingkah laku manusia menjadi sorotan utama dalam menilai hukum

yang berlaku di dalam masyarakat. Sementara masyarakat sendiri adalah

unsur kategori yang pertama dari hukum. Menurut sifat kodratnya,

masyarakat adalah sebuah kesatuan yang terbentuk dari sekelompok orang

yang secara bersama-sama terikat oleh usaha untuk saling mencukupi

kebutuhan hidup satu sama lain. Masyarakat bukan sekedar kumpulan orang

melainkan merupakan sebuah kesatuan.

Dari uraian di atas, masalah hukum dalam antropologi hukum berarti

bukan semata-mata masalah hukum yang normatif sebagaimana terdapat

dalam perundangan-undangan, atau masalah hukum yang merupakan pola

ulangan perilaku yang sering terjadi sebagaimana terdapat pada hukum adat,

tetapi hal yang terpenting hukum dilihat dari aspek budaya perilaku manusia

dan faktor- faktor yang mempengaruhinya.

Jadi antropologi melihat hukum itu sebagai aspek dari kebudayaan,

yaitu suatu aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur

dalam mengatur perilaku masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan yang

terjadi dari norma-norma sosial yang telah ditentukan dapat diperbaiki.10

B. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum

Pada dasarnya supremasi hukum dijunjung tinggi atas kesadaran dan

kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Paham kesadaran hukum

10

(27)

sebagaimana dikemukakan oleh G. E. Lagemeijer yang dikutip oleh Soerjono

Soekanto sebenarnya berkisar pada pikiran-pikiran yang menganggap, bahwa

kesadaran dalam diri warga-warga masyarakat merupakan suatu faktor yang

menentukan bagi sahnya hukum. Pada awalnya masalah kesadaran hukum

timbul di dalam proses penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam

kerangka proses tersebut timbul masalah, oleh karena adanya ketidaksesuaian

antara dasar sahnya hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau

kesadaran warga masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya (atau

tidak ditaatinya) hukum positif tertulis tersebut, merupakan suatu keadaan

yang dicita-citakan atau dikehendaki, bahwa ada keserasian proporsional

antar pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat dan

kenyataan dipatuhinya hukum positif tertulis. Ide tentang kesadaran warga

masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis diketemukan di dalam

ajaran-ajaran tentang Rechtsgefuhl atau Rechtsbewusstsein yang intinya adalah, bahwa tak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat

kecuali atas dasar kesadaran hukumnya.11

Jadi, kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau

nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada.

Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan

bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam

masyarakat yang bersangkutan.

11

(28)

Kepatuhan seseorang terhadap hukum tergantung pada situasi, kondisi

dan tempat. Dalam tindakan dikenal 2 istilah, yaitu: Behavior of Action

(perilaku terhadap tindakan) dan Behavior of Law (perilaku terhadap hukum). Pada dasarnya hukum ada untuk ditaati dan dipatuhi. Namun, dalam keadaan

tertentu hukum hanya menjadi sebuah wacana yang diketahui tanpa dipatuhi.

Misalnya: semua orang mengetahui bahwa mencuri adalah perbuatan yang

dilarang dan ada sanksi bagi yang melakukannya, baik sanksi pidana (KUHP)

maupun sanksi moral dari masyarakat (cacian, hinaan, cibiran, dll). Namun,

dalam keadaan terdesak, misalnya kesulitan ekonomi, membuat seseorang

berani melanggar hukum yaitu dengan melakukan tindakan pencurian. Itu

hanyalah sebagian contoh kecil ketidakpatuhan seseorang pada hukum yang

berlaku dan tentunya masih banyak lagi tindakan-tindakan penyimpangan

hukum yang dilakukan secara sadar.

Selanjutnya Hoefnagels sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto

membedakan bermacam-macam derajat kepatuhan hukum sebagai berikut:

1. Seseorang berperikelakukan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan

menyetujuinya hal mana sesuai dengan sistem nilai-nilai dari mereka

yang berwenang.

2. Seseorang berperikelaku sebagaimana diharapkan oleh hukum dan

menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian yang

diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang bersangkutan.

3. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan

(29)

4. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui hukum

tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempunyai wewenang dan

5. Seseorang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan dia pun tidak

patuh pada hukum (melakukan protes).12

C. Hukum dalam Perspektif Hukum Islam

Dilihat dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan

sesuatu pada yang lain” seperti menetapkan haram pada khamar atau halal

pada air susu. Sedang menurut istilah para ulama usul fiqh, sebagaimana

yang diungkapkan oleh Abu Zahrah adalah “Titah (khitab) Syari yang

berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau

wadhi”. Yang dimaksud dengan khitab syari adalah ketentuan-ketentuan yang

ditetapkan Allah dan Rasul-Nya terhadap berbagai perbuatan mukallaf.

Seperti firman Allah; Dan dirikanlah Sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah

beserta orang-orang yang ruku’. (al-Baqarah : 43) Ayat ini menyatakan

ketentuan hukum bahwa melaksanakan sholat dan membayar zakat adalah

kewajiban yang mesti dilaksanakan. Khitab melalui ayat ini membentuk

ketentuan yang harus dilaksanakan. Kemudian adapula khitab dalam bentuk

larangan, seperti firman Allah : Hai orang-orang yang beriman janganlah

suatu kaum mengolo-olok kaum yang lain, karena boleh jadi kaum yang

diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. (al-Hujarat : 11)

12

(30)

Dua contoh diatas menunjukkan bahwa khitab syari yang mengikat para

mukallaf untuk mengerjakan dan meninggalkannya. Adapun khitab yang

dikemukakan dalam bentuk pilihan adalah ketentuan-ketentuan syari yang

memberi peluang kepada mukallaf.

untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Seperti bunyi surat

al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi : Jika kamu khawatir bahwa keduanya

(suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada

dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus

dirinya. Inilah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya,

dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka adalah

orang-orang yang zalim. Ayat ini memberi kebolehan bagi istri (melalui

wali-waliya) untuk mengajukan permohonan, iwadh (uang pengganti) kepada

suaminya, kalau rumah tangganya tidak harmonis dan sukar diperbaiki,

karena kesalahan dan kelalaian suaminya. Dalam kasus ini si istri boleh

mengajukan perceraian (khulu) atau mempertahankan pernikahannya.

Adapun maksud khitab wadhi adalah ketentuan syari tentang perbuatan

mukallaf yang mempengaruhi perbuatan (taklif), seperti pembunuhan yang

dilakukan seseorang anak terhadap orang tuanya sendiri dapat mempengaruhi

terhalangnya harta warisan yang ditinggalkannya. Rasulullah bersabda: orang

yang membunuh tidak memperoleh harta warisan dari orang yang terbunuh.

(H.R. Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah) Penjelasan dan contoh tentang

hukum Islam diatas menunjukkan bahwa hukum Islam adalah hukum yang

(31)

norma-norma hukum dari kedua sumber tersebut, terutama hal-hal yang menyangkut

selain ibadah belum terjangkau secara tegas, sehingga diperlukan kajian

mendalam dan komprehensif guna menganalisa tujuan makna yang tersirat

dari satu nash. Untuk kajian ini ulama melahirkan berbagai metodologi dan

pendekatan kajian hukum Islam yang menjadi cabang ilmu pengetahuan

tersendiri, yaitu ushul fiqh (teori hukum Islam). Metodologi yang lahir untuk

menjangkau nash yang belum tegas didasari oleh dalil-dalil yang menjadi

acuan mujtahid, hal demikian antara lain:

1. Metode ijma, didasari oleh firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 59

yang berbunyi :

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya

dan ulil amri diantara kamu. Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas

berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia

dan agama. Ulil amri dalam urusan dunia adalah raja, kepala negara,

pemimpin atau penguasa. Sedangkan ulil amri dalam urusan agama adalah

para mujtahid. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa jika para ulil amri itu

telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa,

maka kesepakatan mereka adalah ketentuan hukum yang mengikat dan harus

diikuti oleh kaum muslimin.

2. Metode Qiyas, dalil yang mengharuskan para mujtahid melakukan analogi

(qiyas) adalah dalil yang serupa dengan diatas surat an-Nisa ayat 59. disana

(32)

menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Namun

jika tidak ada di dalamnya, maka hendaklah mengikuti ulil amri, dan jika

tidak ada pendapat ulil amri, maka boleh menetapkan hukum dengan

mengembalikan masalah tersebut kepada al-Quran dan al-Hadits dengan

menghubungkan atau membandingkannya dengan hal serupa yang ada di

dalam al-Quran dan al-Hadits. Cara yang demikian dinamakan qiyas.

Selain dari dua metodologi di atas, masih banyak cara yang dilakukan

oleh para mujtahid untuk mencari solusi penyelesaian masalah yang kian

berkembang pasca kenabian dan khulafaurrasyidun, seperti metode istihsan,

mashlahat al-mursalah, urf, syar’un an qablana, istishhab, saddudz dzari’ah

dan madzhab sahabat yang keseluruhan dari metodologi tersebut memiliki

kaidah-kaidah sendiri yang menjadi acuan dalam pemecahan masalah dan

semua mengacu kepada semangat nash (al-Qur’an dan al-Hadits).

Kaidah-kaidah tersebut dibuat secara sistematis dan terbagi pada Kaidah-kaidah asasiyah dan

ghairu asasiyah. Kaidah asasiyah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam

Mazhab berjumlah 5 macam (panca kaidah) yaitu: segala masalah tergantung

pada tujuannya, kemadharatan itu harus dihilangkan, kebiasaan itu dapat

dijadikan hukum, yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan keraguan, dan

kesulitan itu dapat menarik kemudahan. Selanjutnya sebagian fuqaha

menambahkan dengan satu kaidah asasiayah lain yaitu “tiada pahala kecuali

dengan niat”. Dari kelima atau keenam kaidah tersebut diringkas oleh

(33)

menarik kemaslahatan”. Diantara kaidah asasiyah ini dibantu oleh kaidah

ghairu asasiyah yang jumlahnya diperdebatkan dikalangan fuqaha.

D. Budaya Kemiskinan dan Mengemis Pandangan Hukum Islam

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk

memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, pakaian, tempat berlindung,

pendidikan, dan kesehatan.13 Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan

alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan

dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global.14 Kemiskinan

merupakan fenomena dalam kehidupan bermasyarakat yang menjadi masalah

bagi negara. Banyak cara yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam

mengakhiri masalah kemiskinan, tetapi hal ini masih menjadi problem besar

yang perlu perhatian khusus dalam menanganinya.

Kemiskinan yang telah berjalan dalam ruang dan rentang waktu yang

panjang memastikan, bahwa gejala tersebut tidak cukup diterangkan sebagai

realitas ekonomi. Artinya kemiskinan tidak sekedar gejala keterbatasan

lapangan kerja, pendapatan, pendidikan dan kesehatan masyarakat. Ini sudah

menjadi realitas sistem atau struktur dan tata nilai kemasyarakatan. Ia juga

memang suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap menyerah

kepada keadaan.15

13

Ahmad Sanusi, Agama di tengah Kemiskinan Refleksi atas Pandangan Islam dan Kristen dalam Perspektif Kerjasama Antar Umat Beragama (Jakarta: Logos, 1999), h. 11.

14

Sajogyo Pudjiwati Sosiologi Pedesaan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 23.

15

(34)

Tata nilai dan stuktur sosial ekonomi serta perilaku dan

kecenderungan aktual yang telah terbiasa dengan kemiskinan ini juga bukan

saja menyebabkan mereka yang miskin untuk tetap miskin. Keadaan ini

membuat keluarga masyarakat tersebut juga miskin terhadap arti kemiskinan

itu tersendiri.16

Kebudayaan kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks

sejarah. Namun lebih cenderung untuk tumbuh dan berkembang di

masyarakat yang mempunyai seperangkat kondisi-kondisi sebagai berikut:

1. Sistem ekonomi yang rendah, sistem produksi yang rendah.

2. Tingkat pengangguran tertinggi dan tenaga kerja yang tidak terampil.

3. Upah buruh yang rendah.

4. Kegagalan golongan berpenghasilan rendah dalam meningkatkan

keadaan sosial ekonomi.

5. Tidak ada usaha untuk maju dan selalu beranggapan bahwa status

ekonomi yang rendah sebagai hasil ketidaksanggupan mereka untuk

meraih hidup lebih maju.

Cara hidup sebagai kaum miskin yang berkembang dalam kondisi ini

merupakan kebudayaan kemiskinan. Hal ini dapat ditelaah di wilayah

perkotaan maupun pedesaan, dan dapat diuraikan dalam kerangka dan ciri-ciri

sosial, ekonomi dan psikologis yang saling berkaitan.

16

(35)

Kemiskinaan merupakan suatu adaptasi, penyesuaian dan sekaligus

juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di

dalam masyarakat yang berstrata kelas sangat individual, elastis, dan berisi

kapitalisme. Kebudayaan tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa

putus asa dan tanpa harapan yang merupakan wujud dari kesadaran bahwa

mereka yang hidup dalam kemiskinan merasa mustahil dapat meraih sukses

di dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang

lebih luas.17

Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap

peningkatan arus urbanisasi ke kota-kota besar, sehingga terjadi kepadatan

penduduk dan daerah-daerah kubu yang jadi pemukiman para urban tersebut.

Kesulitan dan keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia serta

keterbatasan pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka banyak

yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi

pengemis. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor munculnya budaya

mengemis.

Pada dasarnya pekerjaan mengemis merupakan pekerjaan yang sangat

(36)

ْز

wajahnya tidak ada sepotong daging pun. (HR. an-Nasai).

Dengan ancaman yang keras ini, Rasulullah menjaga kehormatan

seorang muslim, membiasakan untuk bersikap iffah (menahan diri) dari ketergantungan kepada orang lain. Sebaliknya selalu bergantung pada diri

sendiri dan menjauhkan diri dari meminta-minta kepada manusia.

Rasulullah memberikan kelonggaran mengemis bagi seseorang dalam

keadaan yang bersifat atau karena suatu kebutuhan yang mendesak. Maka,

bagi siapa yang terpaksa meminta-minta karena dorongan kebutuhan yang

mendesak dan meminta bantuan kepada pemerintah atau perorangan, maka

tiada dosa baginya untuk meminta-minta.

Islam memperbolehkan meminta-minta karena salah satu tiga perkara,

yaitu: 19

a. Orang yang menanggung suatu tanggungan, sebelum dia hidup

mampu dibolehkan baginya untuk meminta kepada orang lain hingga

ia dapat menyelesaikan tanggungannya itu, jika tanggungannya telah

selesai kemudian ia menahan diri dan tidak meminta lagi kepada

orang lain.

18

An-Nasai’, Sunan an-Nasai’, (Bairut: Dar Ihya at-Thuros al-Arabi, tth), hal. 348. 19

(37)

b. Orang yang ditimpa suatu musibah yang menyebabkan kehilangan

harta, dibolehkan baginya untuk meminta kepada orang lain hingga ia

mendapatkan penopang hidupnya.

c. Orang yang ditimpa bencana, yang menyebabkan kehilangan seluruh

harta benda, seperti: bencana tsunami, gunung meletus, gempa bumi,

dll.

E. Pengemis dan Perilaku Mengemis

Dalam kamus bahasa Indonesia, kata pengemis tidak mempunyai akar

kata akan tetapi merupakan sinonim dari peminta-minta atau orang yang

meminta-minta. Mengemis adalah sinonim dari kata meminta-minta sedekah.

Akar kata meminta yaitu minta yang artinya bertindak supaya diberi atau

mendapat sesuatu, memohon, mempersilahkan, memerlukan, menimbulkan.

Kata (al-sail) dalam bahasa arab,20 di samping artinya orang yang bertanya juga mempunyai arti pengemis, yang meminta. Akar katanya dari (sa’ila) yang artinya meminta-minta, memohon, menanyakan, memberi pertanyaan

atau bertanya.21

Menurut Kementerian Sosial R.I pengemis adalah orang-orang yang

mendapat penghasilan dari meminta-minta dimuka umum dengan berbagai

alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.22

Sedangkan secara terminologi mengemis adalah meminta bantuan,

derma, sumbangan baik kepada perorangan maupun lembaga. Pengemis

21

Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir: Kamus Arab Indoesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,1997), h. 692.

22

(38)

identik dengan sosok individu yang berpenampilan serba kumal, yang

dijadikan sarana untuk mengungkapkan kebutuhan apa adanya dan juga bisa

menggunakan cara-cara lain.

Muthalib dan Sudjarwo dalam buku Ali Yafie memberikan tiga

gambaran umum pengemis, yaitu:23

1. Sekelompok orang miskin atau orang yang dimiskinkan oleh masyarakat,

2. Orang yang disingkirkan dari khalayak ramai, dan

3. Orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dari kemiskinan,

Sangat disayangkan, budaya mengemis yang tumbuh dalam

masyarakat Indonesia, bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang

benar-benar menghadapi kesulitan hidup, namun dimanfaatkan pula oleh segelintir

orang sebagai profesi untuk meraup kekayaan. Banyak cara yang dilakukan

para pengemis dalam menjalankan profesinya, baik oleh pengemis yang

benar-benar menghadapi kehidupan yang sulit sehingga ia terpaksa

mengemis, dan pengemis palsu yang hanya berpura-pura miskin.

Strategi atau cara-cara yang biasa dipakai para pengemis gadungan

hanya berpura-pura. Dalam menjalankan pekerjaannya, mereka menggunakan

trik-trik yang dapat menyakinkan orang lain untuk mencari belas kasihan dan

memberikan uang. Trik-trik yang biasa dipakai adalah sebagai berikut:

a. Menjual kemiskian

Para pengemis biasa berpenampilan kumuh, kotor, dan berpakaian

robek-robek atau compang camping. Tampilan seperti itu memberikan

23

(39)

kesan pada setiap orang yang melihatnya seakan-akan mereka sedang

memikul beban berat yang perlu dibantu dan mendorong orang lain

untuk memberi.

b. Menampilkan wajah kesedihan

Setiap sepanjang jalan di keramaian kota sering dijumpai pengemis

dari anak kecil hingga orang tua yang duduk di pinggir jalan dan

mengayunkan tangan dan mereka siap beraksi menampilkan wajah

kesedihan yang mendalam, agar membuka hati darmawan untuk

memberi.

c. Komunitas pengemis

Komunitas pengemis yaitu kumpulan sejumlah pengemis yang

terkoordinasi oleh kordinator yang menempatkan para

pengemis-pengemis di wilayah-wilayah tertentu, seperti di pusat kota dengan

lokasi yang berpindah-pindah dan para pengemis diwajibkan

menyetorkan uang hasil mengemis kepada kordinator pengemis yang

biasa dikenal bos pengemis.

d. Membawa anak

Membawa anak kecil yang digendong merupakan salah satu trik yang

dilakukan pengemis. Anak yang dibawa itu umumnya merupakan

anak pinjaman atau sewaan, untuk lebih menarik rasa iba orang lain

dengan harga sewaan mencapai Rp. 5000, - perharinya.24

24

(40)

Pengerahan anak di bawah umur, yang biasa digendong atau pengemis

anak-anak memang dinilai efektif untuk menarik simpati belas kasih dari

dermawan. Hal ini termasuk mengeksploitasi anak. Dengan wajah polos dan

lugu, mereka menjadi „boneka magnet’ bagi orang tua untuk mendapatkan

uang.

Menjadi pengemis memang bukan merupakan pilihan hidup untuk

mendapatkan nafkah. Namun dengan melakukan hal ini setidaknya mereka

mampu hidup berkecukupan. Hal ini diungkapkan diungkapkan Armasih, ibu

berumur 39 tahun, yang mengerahkan kedua anaknya Sofyan, 14 tahun dan

Rafi, 4 tahun. Keluarganya bisa membawa pulang Rp. 45.000,- setiap

harinya. Jika dikalkulasikan dalam sebulan, maka warga Jalan Pulau Nangka,

Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara ini mampu meraup uang sebesar Rp.

1.350.000,- setiap bulan. 25

F. Faktor-Faktor yang Mendorong Orang Mengemis

Ada banyak faktor yang mendorong orang untuk menjadi pengemis.

Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor internal dan eksternal, ada yang

bersifat permanen, dan ada yang bersifat mendadak. Faktor-faktor tersebut

adalah:26

1. Faktor urbanisasi

Diketahui bahwa di masyarakat Indonesia banyak terjadi

urbanisasi. Perpindahan penduduk mengakibatkan bermacam-macam dampak

25

http//pendapatan pengemis, perhari//.com diakses pada tanggal 20 April 2010.

26Syarif, “

(41)

bagi masyarakat setempat (pribumi) dan masyarakat baru (pendatang).

Tindakan masyarakat berpindah dari desa ke kota didasarkan atas harapan

pelaku urbanisasi itu sendiri untuk mengubah perekonomian ke keadaan

yang lebih baik.27

Jiwa atau ide yang mendorong perpindahan ke kota disebut

urbanisme. Urbanisme menjadi motivasi manusia untuk berpindah ke kota,

dan urbanisme tersebut menimbulkan penambahan jumlah penduduk kota

yang terus meningkat. Dalam hal ini urbanisme adalah proses perpindahan ke

kota dan urbanisme adalah ide abstrak yang terwujud di dalam kesadaran

yang berorientasi ke kota.28

Dengan adanya urbanisasi maka semakin banyak tenaga kerja untuk

mendapatkan pekerjaan. Mereka tergolong dalam golongan pencari kerja

dengan berbagai macam latar belakang pendidikan, pengalaman dan keahlian

yang berbeda-beda. Peningkatan jumlah para pencari kerja dan urbanisasi di

Indonesia berhubungan dengan masalah pengangguran. Masalah

pengangguran oleh banyak pihak diungkapkan sebagai akibat keterbatasan

lapangan pekerjaan, pendidikan yang rendah dan keterampilan yang kurang

dari para pencari kerja.

Sutopo Yuwono melihat bahwa masalah ketenegakerjaan di Indonesia

bukan hanya terfokus pada keterbatasan lapangan pekerjaan, keterbatasan

pendidikan dan keterampilan tetapi seperti yang dikatakannya “bahwa tidak

27

Sns .s. Hutabarat, Masalah Pertambahan Penduduk, (Bandung: Lembaga Penelitian Pendidikan Kependudukan Institut Keguruan dan Pendidikan (IKIP Bandung), h. 25.

28

(42)

terpenuhinya lowongan-lowongan pekerjaan difaktorkan tidak tersedianya

tenaga-tenaga kerja yang berkualitas.”29

Masalah tenaga kerja berkualitas menjadi penting untuk diperhatikan,

untuk meningkatkan kinerja tenaga kerja tersebut, karena masalah ini

menyangkut kepentingan perusahaan-perusahaan sebagai pengguna tenaga

kerja dan penyedia lapangan kerja. Ternyata perusahaan telah banyak

membuka banyak kesempatan kerja, tetapi fakta yang dihadapi oleh

perusahaan adalah kesulitan untuk mencari tenaga kerja yang sesuai dengan

kualifikasi perusahaan.

Karena kekurangan tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki

para pencari kerja maka sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan.

Berangkat dari hal tersebut tidak sedikit masyarakat urban yang mengubah

profesinya menjadi pengemis atau pemulung, dengan alasan sebagai batu

loncatan untuk menyambung hidup di kota besar. Meski mereka menyadari

bahwa profesi yang dikerjakannya adalah kurang mulia.

2. Faktor ketidakberdayaan

Ketidakberdayaan orang-orang yang mengalami kesulitan untuk

memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari karena mereka memang tidak

punya gaji tetap, santunan-santunan rutin atau sumber-sumber kehidupan

yang lain. Sementara mereka sendiri tidak memiliki keterampilan atau

keahlian khusus yang dapat mereka manfaatkan untuk menghasilkan uang,

seperti orang-orang yang menyandang cacat, orang-orang yang menderita

29

(43)

sakit, orang-orang yang sudah berusia lanjut sehingga tidak bisa lanjut

bekerja.30

3. Faktor kesulitan ekonomi

Orang-orang yang mengalami kesulitan ekonomi dan kerugian

harta yang cukup besar membutuhkan bantuan orang lain. Contohnya, para

pedagang yang jatuh bangkrut, atau para petani yang gagal panen secara total,

dan lain sebagainya. Mereka ini juga memerlukan bantuan karena sedang

mengalami kesulitan ekonomi secara mendadak sehingga tidak bisa

menghidupi kebutuhan keluarga.

Faktor-faktor kesulitan ekonomi yang muncul akibat tidak

seimbangnya antara penghasilan sehari-hari yang didapat dengan besarnya

nafkah yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

anggota keluarga yang berjumlah banyak.31 Di antara faktor-faktor tersebut

yang berpengaruh untuk meminta-minta atau menjadi pengemis adalah

kemiskinan.

30

Koyano, Pengkajian tentang Urbanisasi di Asia Tenggara, h. 15. 31

(44)

35

BAB III

PROFIL KELURAHAN CIKOKOL KOTA TANGERANG

A. Letak Geografis Kelurahan Cikokol

Kelurahan Cikokol salah satu dari 8 (delapan) kelurahan yang berada

Kecamatan Tangerang Kota Tangerang dengan luas wilayah 417 ha terdiri dari

13 RW dan 66 RT. Jumlah kepala keluarga di kelurahan Cikokol sebanyak 5709

KK. Tahun 2011 jumlah penduduk Cikokol 19.123 jiwa.

Batas wilayah Cikokol bagian utara berbatasan dengan kelurahan

babakan dan Sebelah Selatan Cikokol berbatasan dengan Kelurahan

Penunggangan Utara, wilayah Cikokol bagian barat berbatasan dengan sungai

Cisadane, sedangkan daerah Cikokol bagian timur berbatasan dengan Kelapa

Indah atau Pakajon. 1

Secara geografis, Cikokol tak jauh dari pusat perkoataan, dalam hal ini

dari ibu kota Tangerang. Menurut data yang diperoleh, jarak kelurahan Cikokol

dari pusat kecamatan ada ± 3 km, dari ibu kota propinsi Banten ± 45 km dan dari

ibu kota negara sejauh ± 21 km. Dengan demikian kemudahan sarana tranportasi,

jalur hubungan lalu lintas antar kelurahan dapat di tempuh dengan baik.

1

(45)

B. Kondisi Demografis Kelurahan Cikokol

Jumlah penduduk kelurahan Cikokol pada tahun 2010 berjumlah 19.123

jiwa dari 5.709 kk, terdiri dari 10.409 orang laki-laki dan 8.714 orang

perempuan.

Berikut tabel penduduk Cikokol berdasarkan kelompok usia:

Tabel 3.1

Jumlah penduduk Cikokol berdasarkan kelompok usia

No Umur (tahun) f %

1 0-5 1.064 5

2 6-10 1.610 8,5

3 11-15 2.539 14

4 16-20 2.014 10

5 21-25 2.079 10,5

6 25-30 2.228 11,5

7 30-35 1.224 7,5

8 36-40 2.270 12

9 41-45 2.009 11

10 46-50 817 4

11 51 keatas 1.179 6

Jumlah 19.123 100

Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun2010

Dari tabel diatas, dapat di ketahui bahwa penduduk dikelurahan Cikokol

(46)

umur 11-15 tahun menempati posisi jumlah terbanyak yaitu 2.539 orang.

penduduk dengan kelompok umur 46-50 tahun menempati posisi jumlah terkecil

yaitu 1.48 orang.berikut jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin:

Tabel 3.2

Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin

No Jenis kelamin f %

1 Laki-laki 10.409 55

2 Perempuan 8.714 45

Jumlah 19.123 100

Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010

Wilayah Cikokol sama halnya dengan wilayah-wilayah lain, jumlah

penduduk setiap tahun bertambah dan dari segi bagunan fisik pun bertambah

mengikuti arus perkembangan. Menurut data yang ada pada tahun 2009 sampai

2010 yaitu 3,20%. Dan warga Cikokol lebih dominan berjenis kelamin laki-laki

yaitu 10.409 jiwa atau 54%.

Kelurahan Cikokol terdiri dari 13 rukun warga (RW) dan 66 rukun

tetangga (RT), dimana setiap kelurahan tidak hanya dihuni oleh warga asli

kelurahan Cikokol saja, tetapi para pendatang yang tersebar di wilayah ini baik

yang tinggal di kontrakan maupun yang tinggal dikost-kostan. Pencatatan atau

(47)

telah ada antara lain register datang, pindah lahir dan meninggal dunia sehingga

untuk pencatatan atau pendataan selalu mengacu pada register yang berlaku.

C. Keadaan Sosiologis Kelurahan Cikokol

1. Agama dan kepercayaan

Mayoriatas masyarakat kelurahan Cikokol beragama islam dan Kristen

menempati posisi penganut terbanyak kedua.untuk keterangan lebih lanjut lihat

tabel di bawah ini:

Tabel 3.3

Penduduk Cikokol berdasarkan agama dan kepercayaan

No Jenis agama f %

1 Islam 10.052 53

2 Kristen 5.002 26

3 Katolik 1.000 5

4 Hindu 2.759 14

5 Budha 3.10 2

6 Aliran kepercayaan lainya - -

Jumlah 19.123 100

Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010

2. Sarana ibadah

Keberadaan sarana mutlak dibutuhkan di tengah masyarakat di

(48)

kegiatan dalam beribadah. Untuk menjelaskan jumlah sarana peribadatan di

kelurahan Cikokol dapat di lihat pada tabel berikut:

Tabel 3.4

Jumlah sarana peribadatan di kelurahan Cikokol

No Sarana keperibadatan Jumlah

1 Masjid 12

2 Mushalla 18

3 Gereja -

4 Vihara -

5 Pura -

Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010

3. Pendidikan

Warga kelurahan Cikokol usia diatas 55 tahun pada umumnya

berpendidikan SD, sedang bagi penduduk yang usianya di bawah 55 tahun

mayoritas berpendidikan SLTP dan SMA, Nbahkan semakin banyak pula lulusan

dari perguruan tinggi.2 Untuk hal ini lebih jelas dapat dilihat dari tabel berikut:

2

(49)

Tabel 3.5

Penduduk Cikokol berdasarkan tingkat pendidikan

No Tingkat pendidikan f %

1 Tidak sekolah 164 1

2 SD/MI 4099 35

3 SMP/SLTP 2654 23

4 SMA/SLTA 3349 30

5 Akademi/D3 733 6

6 Sarjana s1-s3 560 5

Jumlah 11.559 100

Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010

Dari tabel tersebut diketahui bahwa penduduk dikelurahan Cikokol

dapat di katakan masih minim dalam hal pendidikan. Hal ini dapat dilihat dengan

banyaknya jumlah penduduk yang hanya tamat SD.

Adapun sarana pendidikan yang ada di Cikokol pendidikan agama dan

umum dari segi kuantitas cukup memadai. Sarana pendidikan di kelurahan

Cikokol terbagi dua yaitu sarana pendidikan negeri dan sarana pendidikan

swasta. Guna mendukung pendidikan formal pemerintah membangun sarana

pendidikan swasta jumlahnya lebih banyak dari sekolah dasar (SD) sampai

(SMA). Namun, pendidikan swasta jumlahnya lebih banyak dari sarana

pendidikan negeri. Berikut ini adalah tabel data sarana pendidikan negeri dan

(50)

Tabel 3.6

Jumlah Jiwa Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat pendidikan f %

1 SDN 6 40

2 SMPN 5 33

3 SMAN 4 27

4

Universitas

- -

5

Jumlah 15

100

Sumber data: laporan Monografi kelurahan Cikokol Tahun, 2010

Tabel. 3.7

Jumlah Sarana Pendidikan Swasta

No Sarana pendidikan f Jumlah

1 Taman bermain(playgroup) 15 15

2 SLTP 22 22

3 SLTA 30 30

4 Perguruan tinggi 2 2

Jumlah 69 87

(51)

4. Ekonomi

Mata pencarian penduduk Cikokol bermacam-macam. Pada umumnya

mata pencaharian penduduk Cikokol sebagai karyawan swasta, mengenai hal ini

dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 3.8

Penduduk Cikokol menurut mata pencaharian Mata Pencarian

No Mata pencarian Jumlah %

1 PNS 354 5

2 ABRI 23 0,3

3 Karyawan Swasta 5.578 83,5

4 Pedagang 289 4,5

5 peTani 90 1

6 Pertukangan 40 0,5

7 Buruh tani 30 0,4

8 Pengsiun 53 0,8

9 Tidak bekerja 255 4

Jumlah 6.712 100

Sumber data : laporan Monografi kelurahan Cikokol Tahun, 2010

Menurut lurah Cikokol, Naman Bakri bahwa penduduk Cikokol

tergolongpada masyarakat menengah kebawah dengan pendapatan rata-rata ± 3

juta perbulan.3

Sedangkan pertu,buhan perekonomian kota Tangerang mengalami

peningkatan. Hal ini di karenakan adanya penambahan lapangan kerja dalam

3

(52)

sektor industri. Sebagaimana disampaikan oleh kepala bidang penempatan kerja

dinas tenaga kerja, bapak Anwar Sanusi “ berdasarkan data dinas tenaga kerja

kota Tangerang. Terdapat peningkatan peluang kerja sekitar 40 ribu peluang di

banding tahun lalu yang menempati 30 ribu peluang. Ada peningkatan hingga 20

persen”.4

4

(53)

44

BAB IV

MENGEMIS SEBAGAI PROFESI PADA MASYARAKAT CIKOKOL KOTA TANGERANG

A. Komunitas Pengemis Cikokol

Data-data penelitian ini diambil berdasarkan wawancara dengan 37

narasumber yang terdiri dari: lurah Cikokol, 1 orang tokoh agama setempat, 5

orang warga Cikokol non pengemis dan 30 orang pengemis. Narasumber berasal

dari Rt. 03 Rw. 02 kelurahan Cikokol kecamatan Tangerang kota Tangerang.

Jumlah warga Rt 03 adalah 523 orang dan 170 Kepala Keluarga (KK).1

Fenomena kehadiran pengemis merupakan realitas sosial yang

berkembang di kota Tangerang saat ini. Faktor tersebut didasari oleh keadaan

sosial, ekonomi, keluarga dan tingkat urbanisasi yang tinggi menyebabkan

seseorang berprofesi sebagai pengemis untuk mencukupi kebutuhan hidup. Para

pengemis datang ke kota dengan motivasi untuk mencari pekerjaan yang lebih

baikdaripekerjaanmereka sebelumnya. Tetapi dengan latar belakang pendidikan

yang rendah dan keterbatasan pengalaman dan keahlian, maka sulit bagi mereka

untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini dikatakan oleh Bapak Simpen, 47 tahun

(seorang narasumber pengemis) sebagai berikut:

“Saya datang ke kota ini (Tangerang) ingin mencari pekerjaan yang lebih baik walaupun saya hanya lulusan SD. Dari pada di kampung jadi petani tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Karena

1

(54)

mencari pekerjaan di sini juga susah, untuk sementara ini saya bekerja sebagai pengemis”.2

Para pengemis umumnya hadir dari keluarga kurang mampu. Mereka

lahir dari keluarga dan lingkungan tempat tinggal yang jauh dari kecukupan.

Mereka berasal dari daerah, suku dan agama yang berbeda, seperti suku jawa,

sunda dan batak. Ironisnya pengemis di daerah Cikokol mayoritas beragama

Islam. Walaupun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda tetapi

kehidupan sosial mereka tetap berjalan baik.3

Dengan maraknya pengemis yang melakukan urbanisasi tidak lantas

menyadarkan mereka untuk memperbarui kartu tanda penduduk (KTP) mereka

agar sesuai dengan domisili mereka saat ini. Hal ini jelas menjadikan keberadaan

para pengemis itu tidak memiliki tanda kependudukan yang jelas di mata negara.

Kehadiran pengemis dapat diterima masyarakat tempat mereka tinggal.

Warga sekitar tempat tinggal pengemis tidak membedakan status sosial dan tidak

memarginalisasi ras dan suku tertentu. Para pengemis juga mengikuti kegiatan-kegiatan kemasyarakatan seperti kerja bakti, gotong royong, dan pengajian

mingguan.4 Hal ini seperti dipaparkan oleh bapak Karyo (49 tahun) asal Solo. Ia

mengatakan bahwa dalam satu minggu ada dua kali pertemuan pengajian yang

dihadiri oleh para pemuda dan orang tua dari kalangan pengemis. Dia juga punya

2

Wawancara pribadi dengan Bapak Simpen, Rabu 1 September 2010 Pukul 10:00 WIB.

3

Wawancara pribadi dengan Bapak Sholeh, Rabu tanggal 1 September 2010 Pukul 11:00 WIB.

4

Gambar

gambaran umum pengemis, yaitu:23
Tabel 3.1 Jumlah penduduk Cikokol berdasarkan kelompok usia
Tabel 3.2 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
tabel di bawah ini:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nasionalisme yang ditampilkan oleh Hasyim dan Salman dalam film Tanah Surga Katanya diharapkan dapat memberikan contoh yang baik dan pelajaran bagi generasi muda untuk

untuk meninggalkan organisasi, namun perceived organizational support juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap keinginan untuk meninggalkan melalui

[r]

[r]

Customize Food Menu Basic Flow Sequence Diagram Customize Food Menu Alternate Flow Sequence Diagram Customize Food Menu Exception Flow Sequence Diagram Login Basic Flow

Hasil penelitianmenunjukkan bahwa tingkat konsentrasi siswa sebelum diberi penerapan dengan kriteria baik (0,00%), dan setelah diberi penerapandengan kriteria

menjelaskan isi puisi menyebutkan kembali isi bacaan pendek..

Berdasarkan hasil penelitian data yang dilakukan terhadap penerapan model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing untuk meningkatkan motivasi belajar IPA siswa kelas